Professional Documents
Culture Documents
i
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Krisis hipertensi adalah suatu keadaan peningkatan tekanan darah yang
mendadak sistolik ≥ 180 mmHg dan/atau tekanan darah diastolik ≥ 120 mmHg,
pada penderita hipertensi, yang membutuhkan penanggulangan segera. Krisis
hipertensi dibagi menjadi dua kategori, yaitu hipertensi emergensi dan hipertensi
urgensi. Hipertensi emergensi adalah peningkatan secara mendadak tekanan darah
sistolik ≥ 180 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥ 120 mmHg disertai dengan
adanya kerusakan target organ akut atau progresif sehingga membutuhkan
penurunan tekanan darah segera. Hipertensi urgensi adalah peningkatan secara
mendadak tekanan darah sistolik ≥ 180 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥ 120
mmHg tanpa gejala yang berat atau kerusakan target organ progresif dimana
kondisi ini membutuhkan penurunan tekanan darah dalam beberapa jam. 2
2.2 EPIDEMIOLOGI
Hipertensi merupakan masalah klinis yang sangat umum di negara barat.
Hipertensi mengenai sekitar 72 juta orang di USA dan sekitar 1 miliar orang di
dunia. Kebanyakan dari mereka merupakan hipertensi primer dan sekitar 30% nya
tidak terdiagnosis. Selanjutnya, hanya sekitar 14% - 29% pasien di Amerika
dengan hipertensi memiliki tekanan darah yang terkontrol. Insiden dari hipertensi
meningkat sesuai umur. Pada studi Framingham angka kejadian hipertensi pada
pria meningkat dari 3,3% di usia 30-39 tahun menjadi 6,2% di usia 70-79 tahun.
Selain itu, insidensi hipertensi lebih tinggi pada ras Afrika-Amerika dibandingkan
mereka yang berkulit putih. Prevalensi dan insidensi hipertensi di Mexico-
Amerika sama atau lebih rendah dibandingkan dengan kulit putih non-Hispanik. 1
Di Indonesia masalah hipertensi cenderung meningkat. Hasil Survei
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 menunjukkan bahwa 8,3%
penduduk menderita hipertensi dan meningkat menjadi 27,5% pada tahun 2004.
Menurut Pusat Penelitian Biomedis dan Farmasi Badan Penelitian Kesehatan
2
Departemen Kesehatan R.I tahun 2009, prevalensi hipertensi di Indonesia
meningkat mencapai 32,2%. Dari kasus hipertensi yang terjadi di Indonesia,
mereka yang memiliki riwayat minum obat hanya 7,8% atau hanya 24,2% dari
kasus hipertensi di masyarakat. Hal ini menunjukkan 75,8% kasus hipertensi di
Indonesia belum terdiagnosis dan terjangkau oleh pelayanan kesehatan. 1
Semakin meningkatnya kasus hipertensi yang terjadi di dunia dapat
menyebabkan semakin seringnya terjadi komplikasi lebih lanjut yang dapat
mengancam jiwa. Diperkirakan sekitar 1 % dari pasien hipertensi akan mengalami
krisis hipertensi. Sebelum adanya terapi antihipertensi, komplikasi ini mencapai
angka 7% dari populasi kejadian hipertensi. Secara epidemiologis, kejadian krisis
hipertensi paralel dengan distribusi hipertensi primer dalam komunitas, dan lebih
tinggi pada mereka orang African-American dan usia lebih tua, dimana pria
terkena 2 kali lebih sering dibandingkan wanita. Kebanyakan dari pasien yang
mengalami krisis hipertensi ialah mereka yang sudah terdiagnosis memiliki
hipertensi primer dan banyak diantaranya sudah diberikan terapi antihipertensi
dengan kontrol tekanan darah yang tidak adekuat. Pada beberapa penelitian yang
ada menunjukkan bahwa pasien dengan krisis hipertensi memiliki peluang yang
lebih besar untuk menderita gangguan somatoform,stroke serta penyakit jantung
hipertensi dan atau penyakit jantung koroner. Kurangnya tenaga dokter, kegagalan
untuk memberikan terapi antihipertensi lebih awal, serta ketidaksesuaian dalam
memberikan terapi antihipertensi menjadi faktor resiko yang cukup besar untuk
terjadinya hipertensi emergensi. Hal inilah yang menyebabkan semakin tingginya
kejadian krisis hipertensi yang terjadi pada pasien-pasien hipertensi. 1,2
2.3 PATOFISOLOGI
Patofisiologi terjadinya krisis hipertensi masih belum begitu jelas, namun
demikian ada dua peran penting yang menjelaskan patofisiologi tersebut yaitu :
1. Peran langsung dari peningkatan tekanan darah
2. Peran mediator endokrin dan parakrin
2.3.1 Peran peningkatan Tekanan Darah
3
Peningkatan mendadak tekanan darah yang berat maka akan terjadi
gangguan autoregulasi disertai peningkatan mendadak resistensi vaskuler sistemik
yang menimbulkan kerusakan organ target dengan sangat cepat. Gangguan
terhadap sistem autoregulasi secara terus-menerus akan memperburuk keadaan
pasien selanjutnya. Pada keadaan tersebut terjadi keadaan kerusakan endovaskuler
(endothelium pembuluh darah) yang terus-menerus disertai nekrosis fibrinoid di
arteriolus. Keadaan tersebut merupakan suatu siklus (vicious circle) dimana akan
terjadi iskemia, pengendapan platelet dan pelepasan beberapa vasoaktif. Trigernya
tidak diketahui dan bervariasi tergantung dari proses hipertensi yang
mendasarinya.4,5
Bila stress peningkatan tiba-tiba tekanan darah ini berlangsung terus-
menerus maka sel endothelial pembuluh darah menganggapnya suatu ancaman
dan selanjutnya melakukan vasokontriksi diikuti dengan hipertropi pembuluh
darah. Usaha ini dilakukan agar tidak terjadi penjalaran kenaikan tekanan darah
ditingkat sel yang akan menganggu hemostasis sel. Akibat dari kontraksi otot
polos yang lama, akhirnya akan menyebabkan disfungsi endotelial pembuluh
darah disertai berkurangnya pelepasan nitric oxide (NO). Selanjutnya disfungsi
endotelial akan ditriger oleh peradangan dan melepaskan zat-zat inflamasi lainnya
seperti sitokin, endhotelial adhesion molecule dan endhoteli-1.4
Mekanisme ditingkat sel ini akan meningkatkan permeabilitas dari sel
endotelial, menghambat fibrinolisis dan mengaktifkan sistem koagulasi. Sistem
koagulasi yang teraktifasi ini bersama-sama dengan adhesi platelet dan agregasi
akan mengendapkan materi fibrinoid pada lumen pembuluh darah yang sudah
kecil dan sempit sehingga makin meningkatkan tekanan darah. Siklus ini
berlangsung terus dan menyebabkan kerusakan endotelial pembuluh darah yang
makin parah dan meluas.4
4
Gambar 1. Patofisiologi Hipertensi Emergensi 4
2.3.3 Peranan Mediator Endokrin dan Parakrin
Sistem renin-Angiotensin-Aldosteron (RAA) memegang peran penting
dalam patofisiologi terjadinya krisis hipertensi. Peningkatan renin dalam darah
akan meningkatkan vasokonstriktor kuat angiotensin II, dan akan pula
meningkatkan hormon aldosteron yang berperan dalam meretensi air dan garam
sehingga volume intravaskuler akan meningkat pula. Keadaan tersebut diatas
bersamaan pula dengan terjadinya peningkatan resistensi perifer pembuluh darah
yang akan meningkatkan tekanan darah. Apabila tekanan darah meningkat terus
maka akan terjadi natriuresis sehingga seolah-olah terjadi hipovolemia dan akan
merangsang renin kembali untuk membentuk vasokonstriktor angiotensin II
sehingga terjadi iskemia pembuluh darah dan menimbulkan hipertensi berat atau
krisis hipertensi.4,5
5
2.4 FAKTOR PRESIPITASI KRISIS HIPERTENSI
Keadaan-keadaan klinis yang sering mempresipitasi timbulnya krisis
hipertensi antara lain ialah 5,6:
Kenaikan tekanan darah tiba-tiba pada penderita hipertensi kronis primer
Hipertensi renovaskular
Glomerulusnefritis akut
Sindroma withdrawal anti hipertensi
Cedera kepala dan ruda paksa pada susunan saraf pusat
Renin-sekretin tumor
Pemakaian prekusor katekolamin pada pasien yang mendapat MAO
Inhibitor
Penyakit parenkim ginjal
Pengaruh obat : kontrasepsi oral, anti depresan trisiklik, simpatomimetik
(pil diet sejenis amfetamin), kortikosteroid, NSAID
Luka bakar
Progresif sistematik sklerosis, SLE
2.6 DIAGNOSIS
Hipertensi ini memerlukan penurunan tekanan darah segera meskipun
tidak perlu menjadi normal, untuk membatasi atau mencegah terjadinya kerusakan
organ sasaran. Perburukan cepat artinya jika tidak diberikan terapi secara efektif
6
dalam waktu tertentu, terdapat kemungkinan terjadinya kegawatdaruratan. Krisis
hipertensi adalah keadaan hipertensi yang memerlukan penurunan tekanan darah
segera karena akan mempengaruhi keadaan pasien selanjutnya. Tingginya tekanan
darah bervariasi, yang terpenting adalah cepat naiknya tekanan darah. 6,7
Pada hipertensi emergensi, situasi di mana diperlukan penurunan tekanan
darah yang segera dengan obat antihipertensi parenteral karena adanya kerusakan
organ target akut atau progresif. Kerusakan yang dapat terjadi antara lain. 4,5 :
1. Neurologik : Encephalopati hipertensi, stroke hemoragik (intraserebral
atau subdural) atau iskemik, papil edema.
2. Kardiovaskuler : Unstable angina, infark miokardium akut, gagal jantung
dengan edema peru, diseksi aorta.
3. Renal : Proteinuria, hamaturia, gagal ginjal akut, krisis ginjal scleroderma.
4. Mikroangiopati : anemia hemolitik.
5. Preeklampsia dan eklampsia.
7
atau serebrovaskular sebelumnya harus dicari, karena komplikasi terapetik lebih
sering terjadi pada pasien dengan riwayat penyakit tersebut. 5,6
Pada hipertensi urgensi, situasi di mana terdapat peningkatan tekanan
darah yang bermakna (ada yang menyebut tekanan darah sistolik > 220 mmHg
atau tekanan darah diastolik > 125 mmHg) tanpa adanya gejala berat atau
kerusakan target organ progresif dan tekanan darah perlu diturunkan dalam
beberapa jam. 5,6
Prinsip-prinsip penegakan diagnosis hipertensi emergensi dan hipertensi
urgensi tidak berbeda dengan penyakit lainnya 4,6 ;
1. Anamnesis
Riwayat hipertensi dan terapinya, kepatuhan minum obat, tekanan darah
rata-rata, riwayat pemakaian obat-obat simpatomimetik dan steroid,
kelainan hormonal, riwayat penyakit kronik lain, gejala-gejala serebral,
jantung dan gangguan penglihatan.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Pengukuran tekanan darah pada kedua lengan, perabaan denyut
nadi perifer (raba nadi radialis kedua lengan dan kemungkinan
adanya selisih dengan nadi femoral, radial-femoral pulse leg ),
b. Mata ; Lihat adanya papil edema, pendarahan dan eksudat,
penyempitan yang hebat arteriol.
c. Jantung ; Palpasi adanya pergeseran apeks, dengarkan adanya
bunyi jantung S3 dan S4 serta adanya murmur.
d. Paru ; perhatikan adanya ronki basal yang mengindikasikan CHF.
e. Status neurologik ; pendekatan pada status mental dan perhatikan
adanya defisit neurologik fokal. Periksa tingkat kesadarannya dan
refleks fisiologis dan patologis.
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan dilakukan dengan memperhatikan penyakit dasarnya,
penyakit penyerta, dan kerusakan target organ. Yang sering dilakukan
antara lain; pemeriksaan elektrolit, BUN, glukosa darah, kreatinin,
8
urinalisis, hitung jenis komponen darah dan SADT. Pemeriksaan lainnya
antara lain foto rontgen toraks, EKG dan CT-Scan.
2.7 PENATALAKSANAAN
2.7.1 Dasar-dasar penatalaksanaan krisis hipertensi
Tekanan darah yang sedemikian tinggi haruslah diturunkan karena
penundaan akan memperburuk penyakit yang akan timbul baik cepat maupun
lambat. Tetapi di pihak lain, penurunan yang terlalu agresif juga dapat
menimbulkan berkurangnya perfusi dan aliran darah ke organ vital terutama otak,
9
jantung, dan ginjal. Untuk menurunkan tekanan darah sampai ke tingkat yang
diharapkan perlu diperhatikan berbagai faktor antara lain tekanan darah perlu
diturunkan segera atau bertahap, pengamatan yang menyertai krisis hipertensi,
perubahan aliran darah dan autoregulasi tekanan darah pada organ vital, pemilihan
obat anti hipertensi efektif untuk krisis hipertensi, dan monitoring efek samping
obat. .4,5,6
AUTOREGULASI
Autoregulasi adalah penyesuaian fisiologis organ tubuh terhadap
kebutuhan dan pasokan darah dengan mengadakan perubahan pada resistensi
terhadap aliran darah dengan berbagai tingkatan perubahan kontriksi/dilatasi
pembuluh darah. Dengan pengetahuan autoregulasi dalam menurunkan tekanan
darah secara mendadak dimaksudkan untuk melindungi organ vital agar tidak
terjadi iskemi. Bila tekanan darah turun, terjadi vasodilatasi, jika tekanan darah
naik timbul vasokonstriksi. Pada individu normotensi, aliran darah otak masih
tetap pada fluktuasi mean arterial pressure (MAP) 70-105 mmHg. Rumus
perhitungan MAP ialah :
Sistolik + 2 x Diastolik
MAP =
3
Bila MAP turun di bawah batas autoregulasi, maka otak akan memakai
oksigen lebih banyak dari darah untuk kompensasi dari aliran darah yang
berkurang. Bila mekanisme ini gagal, maka dapat terjadi iskemi otak dengan
manifestasi klinik seperti mual, menguap, pingsan dan sinkope. Autoregulasi otak
ini kemungkinan disebabkan oleh mekanisme miogenik yang disebabkan oleh
stretch reseptor pada otot polos arteriol otak, walaupun hipoksia mempunyai
peranan dalam perubahan metabolisme di otak. Pada orang normal dengan
normotensi, autoregulasi aliran darah ke otak dipertahankan pada MAP antara 60-
120-140 mmHg sehingga penurunan tekanan darah yang cepat sampai batas
hipertensi, masih dapat ditoleransi. Pada penderita hipertensi kronis, penyakit
serebrovaskular dan usia tua, batas ambang autoregulasi ini akan berubah dan
bergeser ke kanan pada kurva dimana dipertahankan pada MAP tinggi yaitu 120-
10
160-180 mmHgsehingga pengurangan aliran darah terjadi pada tekanan darah
yang lebih tinggi.4,5,6
11
adalah yang bekerja cepat, efek penurunan tekanan darah dapat dikontrol dan
dengan sedikit efek samping. Bila diagnosis krisis hipertensi telah ditegakkan,
langkah-langkah yang harus dilakukan ialah 5,6,7:
1. Rawat di ICU. Bila ada indikasi, pasang femoral intraarterial line dan
pulminari arterial kateter untuk menentukan fungsi kardiopulmoner dan status
volume intravaskuler.
2. Anamnesis singkat dan pemeriksaan fisik, dengan menentukan :
Penyebab krisis hipertensi
Penyakit lain yang menyerupai krisis hipertensi disingkirkan
Adanya kerusakan organ target
3. Tentukan tekanan darah yang diinginkan didasari dari lama tingginya tekanan
darah sebelumnya, cepatnya kenaikan dan keparahan hipertensi, masalah klinis
yang menyertai serta usia pasien.
Menurunkan tekanan arteri rata-rata (MAP) sebanyak 25% atau mencapai
tekanan darah diastolik 100 – 110 mmHg dalam waktu beberapa menit
sampai satu atau dua jam. Kemudian tekanan darah diturunkan menjadi
160/100 mmHg dalam 2 sampai 6 jam. Tekanan darah diukur setiap 15
sampai 30 menit.
Pada stroke, penurunan tekanan darah hanya boleh 20% dan khusus pada
stroke iskemik penurunan tekanan darah secara bertahap bila tekanan
darah > 220/130 mmHg.
Penurunan tekanan darah yang terlalu cepat dapat menyebabkan iskemia
renal, serebral dan miokardium.
Pada hipertensi emergensi, pemberian obat antihipertensi melalui
intravena (IV). Berikut ini merupakan obat antihipertensi parenteral yang
digunakan, antara lain :
Tabel 3. Obat Antihipertensi Intravena pada Hipertensi Emergensi 4
12
Berdasarkan kerusakan organ target, obat antihipertensi yang diberikan ialah :
Tabel 4. Pilhan Obat Antihipertensi Sesuai Kerusakan Organ Target 4
HIPERTENSI URGENSI
Pada hipertensi urgensi, tujuan pengobatan ialah penurunan tekanan darah
sama seperti hipertensi emergensi, hanya saja dalam waktu 24 sampai 48 jam.
Penderita dengan hipertensi urgensi tidak memerlukan rawat inap di rumah sakit.
Sebaiknya penderita ditempatkan di ruangan yang tenang, tidak terang, dan diukur
kembali dalam 30 menit. Bila tekanan darah masih sangat meningkat, maka dapat
13
dimulai pengobatan. Umumnya digunakan obat-obat oral antihipertensi dalam
menanggulangi hipertensi urgensi. Berikut ini ialah obat antihipertensi oral yang
diberikan, antara lain 6,7,8:
Nifedipine
Pemberian bisa secara sublingual (onset 5-10 menit), bukal (onset 5–10
menit), oral (onset 15-20 menit), durasi kerja 5 – 15 menit secara sublingual/
buccal. Efek samping: sakit kepala, takikardi, hipotensi, flushing, oyong.
Clonidine
Pemberian secara oral dengan onset 30–60 menit, durasi kerja 8-12 jam.
Dosis: 0,1-0,2 mg, dilanjutkan 0,05-0,1 mg setiap jam sampai dengan 0,7 mg.
Efek samping: sedasi, mulut kering. Hindari pemakaian pada AV blok derajat
2 dan 3, bradikardi, sick sinus syndrome. Over dosis dapat diobati dengan
tolazoline.
Captopril
Pemberian secara oral/sublingual. Dosis 25 mg dan dapat diulang setiap 30
menit sesuai kebutuhan. Efek samping: angioneurotik edema, rash, gagal
ginjal akut pada penderita bilateral renal arteri stenosis.
Prazosin
Pemberian secara oral dengan dosis 1-2 mg dan diulang per jam bila perlu.
Efek samping: sinkop, hipotensi ortostatik, palpitasi, takikardi, sakit kepala.
14
bertahap dan mencapai batas aman dari MAP. Penderita yang telah mendapat
pengobatan antihipertensi cenderung lebih sensitif terhadap penambahan terapi.
Untuk penderita hipertensi dengan riwayat penyakit serebrovaskular dan koroner,
pasien umur tua serta pasien dengan volume depletion maka dosis obat nifedipine
dan clonidine harus dikurangi. Seluruh penderita diobservasi paling sedikit selama
6 jam setelah tekanan darah turun untuk mengetahui efek terapi dan juga
kemungkinan timbulnya hipotensi ortostatil. Bila tekanan darah penderita yang
diobati tidak berkurang maka sebaiknya penderita dirawat dirumah sakit. 6,7,9
15
Catatan :
- The American Stroke Association merekomendasikan penurunan tekanan
darah sebesar 10-15% bila tekanan darah sistolik > 220 mmHg atau diastolik >
120 mmHg.
- Nifedipin dapat mengakibatkan stroke non-hemoragic dan infark miokard bila
tekanan darah terlalu cepat diturunkan.
- Candexartan cilexetil per oral pada stroke akut memberikan perbaikan kualitas
hidup dalam 1 tahun pertama dengan tidak menurunkan tekanan darah yang
berlebihan.
16
2.8.2 KRISIS HIPERTENSI PADA PENYAKIT JANTUNG
2.8.2.1 DISEKSI AORTA AKUT
Definisi
Suatu kondisi akibat robekan pada dinding aorta sehingga lapisan
dinding aorta terpisah dan darah dapat masuk ke sela-sela lapisan dinding
pembuluh darah aorta. 10
Manifestasi klinis
Keluhan dapat bervariasi :
Nyeri khas aorta : onset mendadak, nyeri teriris sudah maksimal
dirasakan saat awal, lokasi nyeri sesuai lokasi dimana robekan aorta
terjadi.
Rasa nyeri dada seperti nyeri dada khas infark miokard, bila proses
diseksi menjalar ke ostium arteria koronaria.
Rasa nyeri di leher disertai pandangan kabur, bila proses diseksi
ekstensi ke arteri karotis.
Sinkope merupakan petanda komplikasi yang fatal, seperti tamponade
jantung, hipoperfusi serebri.
Diagnosis
Kecurigaan diagnosis diseksi aorta berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik cukup untuk menatalaksana sebagai diseksi aorta.
Diagnosis pasti dengan pencitraan dengan : ekokardiografi transesofageal
(TEE), CT-Scan kontras, MRI. 10
17
B-blocker merupakan obat pilihan utama untuk mengurangi shear
stress dan mengontrol tekanan darah.
Terapi medikamentosa dapat dilakukan pada diseksi aorta desenden
tanpa komplikasi ke organ lain, yakni hipoperfusi ginjal, ekstremitas
dan mesenterika.
Setelah pasien stabil, idealnya 24-48 jam, obat intravena diganti
dengan oral.
Manifestasi klinis
Keluhan/gejala : sesak napas, orthopnoe, dyspneu on effort
Pemeriksaan fisik
Tekanan darah sesuai definisi krisis hipertensi
Frekuensi pernapasan meningkat
Pada pemeriksaan jantung ditemukan S3 dan/atau S4 gallop
Pada pemeriksaan paru ditemukan suara napas ekspirasi
memanjang disertai ronki basah halus di seluruh lapangan paru
Peningkatan tekanan vena jugularis
Diagnosis
Peningkatan tekanan darah sesuai krisis hipertensi
Gejala dan tanda gagal jantung
Edema paru pada foto thorak
18
Prinsip tatalaksana dan sasaran tekanan darah
Terapi diberikan dengan urutan sebagai berikut :
1. O2 dengan target saturasi O2 perifer > 95%, bila perlu dapat
digunakan CPAP atau ventilasi mekanik non-invasif bahkan
ventilasi mekanik invasif
2. Pemberian nitroglycerin sublingual, bila perlu dilanjutkan dengan
pemberiaan drip
3. Pemberiaan diuretik loop intravena (furosemid)
4. Pemberiaan obat anti-hipertensi intravena atau sublingual
5. Bila tidak ada kontra indikasi morfin IV dapat dipertimbangkan
Target penurunan tekanan darah sistolik atau diastolik sebesar 30
mmHg dalam beberapa menit. Sasaran akhir tekanan darah sistolik < 130
mmHg dan tekanan darah diastolik < 80 mmHg sebaiknya dicapai dalam 3
jam. 10
Manifestasi klinis
Keluhan : nyeri dada dengan penjalaran ke leher atau lengan kiri
dengan durasi lebih dari 20 menit dan dapat disertai dengan gejala
sistemik berupa keringat dingin, mual dan muntah dan pemeriksaan fisik
tidak ditemukan tanda-tanda gagal jantung. 10
Diagnosis
1. Anamnesis
19
2. EKG
3. Enzim petanda kerusakan otot jantung (CKMB, Troponin T)
20
epinefrin dan nor-epinefrin yang dilepaskan ke dalam peredaran darah. Selain itu,
stimulasi beta-reseptor ginjal oleh kadar katekolamin yang tinggi menyebabkan
dilepaskannya renin yang pada akhirnya meningkatkan tekanan arteri. Diagnosis
feokromositoma ditegakkan dengan pemeriksaan katekolamin plasma.
Katekolamin urine dan/atau metabolitnya dalam urine 24 jam (seperti metanefrin
dan vanil mandelic acid). Feokromositoma jarang ditemukan namun merupakan
penyebab yang penting pada krisis hipertensi. Pada feokromositoma, kontrol awal
tekanan darah dapat diberikan sodium nitroprusside atau phentolamine IV. Beta
blockers dapat ditambahkan untuk meningkatkan kontrol tekanan darah tetapi
jangan diberikan sendiri sampai alfa-blokade dapat dibuktikan merupakan
hipertensi paradoksial. Benzodiapine dapat menjadi salah satu obat anti hipertensi
yang utama untuk intoksikasi kokain. Obat ini menurunkan denyut nadi dan
tekanan darah melalui efek anxiolitik dan oleh karena itu direkomendasikan untuk
pasien keracunan kokain. 10
21
BAB III
KESIMPULAN
22