You are on page 1of 29

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. SKIZOFRENIA

1. Konsep Skizofrenia

Skizofrenia berasal dari dua kata, yaitu “Skizo” yang artinya retak atau pecah

(split), dan “frenia” yang artinya jiwa. Dengan demikian seseorang yang menderita

gangguan jiwa Skizofrenia adalah orang yang mengalami keretakan jiwa atau keretakan

kepribadian (splitting of personality) Hawari, 2009. Gangguan skizofrenia adalah

sekelompok reaksi psikotik yang mempengaruhi area fungsi individu, termasuk berpikir

dan berkomunikasi, menerima, dan menginterprestasikan realitas, merasakan dan

menunjukkan emosi, dan beperilaku dengan sikap yang dapat diterima secara sosial

Isaacs, 2004, menurut Kreapelin pada penyakit ini terjadi kemunduran intelegensi

sebelum waktunya, sebab itu dinamakannya demensia kemunduran intelegensi, precox

muda sebelum waktunya (Kaplan dan Sadock, 2010).

Skizofrenia adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu

gangguan psikiatrik mayor yang ditandai dengan adanya perubahan pada persepsi,

pikiran, afek, dan perilaku seseorang. Kesadaran yang jernih dan kemampuan

intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun defisit kognitif tertentu dapat

berkembang kemudian (Sadock, 2003). Gejala skizofrenia secara garis besar dapat di

bagi dalam dua kelompok, yaitu gejala positif dan gejala negatif. Gejala positif berupa

delusi, halusinasi, kekacauan pikiran, gaduh gelisah dan perilaku aneh atau bermusuhan

sedangkan gejala negatif adalah alam perasaan (afek) tumpul atau mendatar, menarik

diri atau isolasi diri dari pergaulan, ‘miskin’ kontak emosional pendiam, sulit diajak

9
10

bicara, pasif, apatis atau acuh tak acuh, sulit berpikir abstrak dan kehilangan dorongan

kehendak atau inisiatif .

Pasien skizofrenia beresiko meningkatkan risiko penyalahgunaan zat, terutama

ketergantungan nikotin hampir 90% pasien mengalami ketergantungan nikotin. Pasien

skizofrenia juga berisiko untuk bunuh diri dan perilaku menyerang. Bunuh diri

merupakan penyebab kematian pasien skizofrenia yang terbanyak, hampir 10% dari

pasien skizofrenia yang melakukan bunuh diri (Kazadi, 2008). Fase aktif skizofrenia

ditandai dengan gangguan jiwa yang nyata secara klinis, yaitu adanya kekacauan dalam

pikiran, perasaan dan perilaku. Penilaian pasien skizofrenia terhadap realita terganggu

dan pemahaman diri (tilikan) buruk sampai tidak ada. Fase residual ditandai dengan

menghilangnya beberapa gejala klinis skizofrenia yang tinggal hanya satu atau dua

gejala sisa yang tidak terlalu nyata secara klinis, yaitu dapat berupa penarikan diri dan

perilaku aneh (Buchanan, 2005).

Skizofrenia merupakan gangguan dalam cara berpikir, kemauan, emosi, dan

tindakan. American Psychietric Association (1994) mendefinisikan skizofrenia sebagai

sindrom atau psikologis atau pola perilaku yang penting secara klinis, yang terjadi pada

individu dan terjadi pada individu dan sindrom itu di hubungkan dengan adanya distress

atau distabilitas (Notosoedirdjo, Latipun, 2007).

Data statistik yang di kemukakan oleh World Health Organitation (WHO), 2016

terdapat sekitar 35 juta orang terkena depresi, 60 juta orang kena bipolar, 21 juta orang

terkena skizofrenia, serta 47,5 juta terkena dimensia. Data yang di temukan oleh peneliti

di Harvard University dan University Collage London, yang di muat dalam VOA
11

Indonesia mengatakan penyakit kejiwaan pada tahun 2016 meliputi 32% dari semua

jenis kecacatan di seluruh dunia, angka tersebut meningkat dari tahun sebelum nya.

2. Tipe dan klasifikasi skizofrenia

a. Skizofrenia simplex

Sering timbul pertama kali pada masa pubertas, gejala utama pada jenis simplex

adalah kedangkalan emosi dan kemunduran kemauan, gangguan proses berpikir

sukar di temukan, waham dan halusinasi jarang sekali terdapat.

b. Skizofrenia bebefrenik

Permulaan nya perlahan-lahan/sub akut dan sering timbul pada masa remaja antara

15-25 tahun gejala yang mencolok ialah gangguan proses berpikir, gangguan

kemauan dan adanya depersonalisasi.

c. Skizofrenia katatonik

Timbulnya pertama kali antara umur 15-30 tahun dan biasanya akut sering di

dahului oleh stress emosional, mungkin terjadi gaduh gelisah katatanik/stupor

katatonik.

d. Stupor katatonik

Pada stupor katatonik penderita tidak menunjukan perhatian sama sekali kungan

nya, emosinya sangat dangkal, gejala yang paling penting ialah gejala psikomotor

seperti mutisme, muka tanpa mimic, tidak bergerak sama sekali, menolak makan

dan terdapat grimas dan katalepsi.

e. Gaduh-gelisah katatonik

Terdapat hiperaktivitas motorik, tetapi tidak di sertai dengan emosi yang

semestinya dan tidak di pengaruhi oleh rangsangan dari luar.


12

f. Jenis paranoid

Skizofrenia paranoid agak berlebihan dari jenis-jenis yang lain dalam jalan nya

penyakit, bebefronik dan katatonik sering lama-kelamaan menunjukan gejala-gejala

skizofrenia simplex atau gejala-gejala bebefrenik dan katatonik percampuran tidak

demikian halnya dengan skizofrenia paranoid yang jalan nya agak konstan.

3. Riwayat klinis skizofrenia

Linda Carman (2007) menyebutkan bahwa riwayat klinis Skizofrenia sering kali rumit

dan cenderung terjadi dalam tiga fase, yaitu :

a. Fase Prodomal

1) Kemunduran dalam waktu lama (6-12 bulan) dalam tingkat fungsi perawatan

diri , sosial, waktu luang, pekerjaan atau akademik.

2) Timbul gejala positif dan negative

3) Periode kebingungan pada klien dan keluarga

b. Fase Aktif

1) Permulaan intervensi asuhan kesehatan, khususnya hospitalisasi

2) Pengenalan pemberian obat dan modalitas terapeutik lain nya.

3) Perawatan di fokuskan pada rehabilitasi psikiatrik saat klien belajar untuk

hidup dengan penyakit yang mempengaruhi pikiran, perasaaan, dan perilaku.

c. Fase Residual

1) Pengalaman sehari-hari dengan penanganan gejala

2) Pengurangan dan penguatan gejala

3) Adaptasi
13

4. Kriteria Diagnostik Skizofrenia

Adapun kriteria diagnostik skizofrenia meliputi (Maramis, 2009):

a. Gangguan pada isi pikiran delusi atau kepercayaan salah yang mendalam

merupakan gangguan pikiran yang paling umum dihubungkan dengan

skizofrenia. Delusi ini mencakup delusi rujukan, penyiksaan, kebesaran, cinta,

kesalahan diri, kontrol, nihil atau doss dan pengkhianatan. Delusi lain berkenan

dengan kepercayaan irasional mengenai suatu proses berpikir, seperti percaya

bahwa pikiran bisa disiarkan, dimasuki yang lain atau hilang dari alam

pikirannya karena paksaan dari orang lain atau objek dari luar. Delusi somatik

meliputi kepercayaan yang salah dan aneh tentang kerja tubuh, misalnya pasien

skizofrenia menganggap bahwa otaknya sudah dimakan rayap.

b. Gangguan pada bentuk pikiran, bahasa dan komunikasi proses berpikir dari

pasien skizofrenia dapat menjadi tidak terorganisasi dan tidak berfungsi,

kemampuan berpikir mereka menjadi kehilangan logika, cara mereka

mengekspresikan dalam pikiran dan bahasa dapat menjadi tidak dapat

dimengerti, akan sangat membingungkan jika kita berkomunikasi dengan

penderita gangguan pikiran, contoh umum gangguan berpikir adalah

inkoheren, kehilangan asosiasi, neologis, blocking dan pemakaian kata- kata

yang salah.

c. Gangguan persepsi halusinasi, halusinasi adalah salah satu simpton skizofrenia

yang merupakan kesalahan dalam persepsi yang melibatkan kelima alat indera

kita walaupun halusinasi tidak begitu terikat pada stimulus yang di luar tetapi

kelihatan begitu nyata bagi pasien skizofrenia. Halusinasi tidak berada dalam
14

kontrol individu, tetapi tejadi begitu spontan walaupun individu mencoba

untuk menghalanginya.

d. Gangguan afeksi (perasaan) Pasien skizofrenia selalu mengekspresikan

emosinya secara abnormal dibandingkan dengan orang lain. Secara umum,

perasaan itu konsisten dengan emosi tetapi reaksi ditampilkan tidak sesuai

dengan perasaannya.

e. Gangguan psikomotor pasien skizofrenia kadang akan terlihat aneh dan cara

yang berantakan, memakai pakaian aneh atau membuat mimik yang aneh atau

pasien skizofrenia akan memperlihatkan gangguan katatonik stupor (suatu

keadaan di mana pasien tidak lagi merespon stimulus dari luar, mungkin tidak

mengetahui bahwa ada orang di sekitarnya), katatonik rigid (mempertahankan

suatu posisi tubuh atau tidak mengadakan gerakan) dan katatonik gerakan

(selalu mengulang suatu gerakan tubuh) menonjol adalah afek yang

menumpul, hilangnya dorongan kehendak dan bertambahnya kemunduran

sosial.

5. Penatalaksanaan Skizofrenia

Ada berbagai macam terapi yang bisa kita berikan pada skizofrenia. Hal ini

diberikan dengan kombinasi satu sama lain dan dengan jangka waktu yang relatif

cukup lama. Terapi skizofrenia terdiri dari pemberian obat -obatan, psikoterapi, dan

rehabilitasi. Terapi psikososial pada skizofrenia meliputi: terapi individu, terapi

kelompok, terapi keluarga, rehabilitasi psikiatri, latihan ketrampilan sosial dan

manajemen kasus (Hawari, 2009). WHO merekomendasikan sistem 4 level untuk


15

penanganan masalah gangguan jiwa, baik berbasis masyarakat maupun pada tatanan

kebijakan seperti puskesmas dan rumah sakit.

1) Level keempat adalah penanganan kesehatan jiwa di keluarga

Level 4: melakukan home visit, namun tidak ke semua pasien (hanya yang

bermasalah), contohnya pasien yang jarang dikunjungi pihak

keluarga, pasien yang sering mengalami kekambuhan, dan pasien

dengan riwayat pemasungan.

2) Level ketiga adalah dukungan dan penanganan kesehatan jiwa di masyarakat

Level 3: memberikan penyuluhan/pengobatan gratis melalui program bansos.

3) Level kedua adalah penanganan kesehatan jiwa melalui puskesmas

Level 2: RSJ memiliki 32 jejaring puskesmas diseluruh Bali. Pihak RSJ

rutin melakukan kunjungan setiap bulannya disetiap puskesmas,

memberikan pengobatan secara rutin, melatih tenaga puskesmas

(dokter & perawat) untuk mampu memberikan penanganan

pertama pada pasien.

4) Level pertama adalah pelayanan kesehatan jiwa komunitas Penerapan nyata

yang dilakukan oleh pihak RSJ .

Level 1: RSJ setiap tahunnya melakukan bakti sosial dan program

komunitas yaitu penanganan & penyuluhan.

B. Defisit Perawatan Diri

1. Konsep Defisit Perawatan Diri

Perawatan diri mencakup aktivitas yang di butuhkan untuk memenuhi

kebutuhan sehari-hari, yang biasa di kenal dengan aktivitas kehidupan sehari-hari,


16

aktivitas ini di pelajari dari waktu ke waktu dan menjadi kebiasaan seumur hidup,

kegiatan perawatan diri tidak hanya melibatkan apa yang harus di lakukan tetapi juga

berapa, kapan, dimana, dengan siapa dan bagaimana (Miller dalam Carpenito-Moyet,

2009).

Keadaan seseorang yang mengalami kelainan dalam kemampuan untuk

melakukan atau menyelesaikan aktivitas kehidupan sehari-hari secara mandiri di sebut

dengan defisit perawatan diri, tidak ada keinginan klien untuk mandi secara teratur,

tidak menyisir rambut, pakaian kotor, bau badan, bau napas, dan penampilan tidak rapi

Defisit perawatan diri merupakan salah satu masalah yang timbul pada klien

gangguan jiwa, klien gangguan jiwa kronis sering mengalami ketidakpedulian untuk

merawat diri, keadaan ini merupakan gejala perilaku negatif dan menyebabkan klien di

kucilkan, baik dalam keluarga maupun masyarakat.

Kurangnya perawatan diri pada pasien dengan gangguan jiwa terjadi akibat

adanya perubahan proses pikir sehingga kemampuan untuk melakukan aktivitas

perawatan diri menurun.

Defisit perawatan diri adalah salah satu kemampuan dasar manusia dalam

memenuhi kebutuhan nya guna mempertahankan kehidupan nya, kesehatannya dan

kesejahteraannya sesuai dengan kondisi kesehatan nya, klien di nyatakan terganggu

perawatan dirinya jika tidak dapat melakukan perawatan dirinya (Aziz R., 2003).

2. Etiologi Defisit Perawatan Diri

Menurut Tarwoto dan Wartonah, (2000) penyebab kurang perawatan diri

adalah kelelahan fisik dan penurunan kesadaran. (Menurut Depkes, 2000) penyebab

kurang perawatan diri adalah :


17

a. Faktor predisposisi

1) Perkembangan

Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien sehingga perkembangan

inisiatif terganggu.

2) Biologis

Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu melakukan perawatan

diri.

3) Kemampuan realitas turun

Klien dengan gangguan jiwa dengan kemampuan realitas yang kurang

menyebabkan ketidakpedulian dirinya dan lingkungan termasuk perawatan diri.

4) Sosial

Kurang dukungan dan latihan kemampuan perawatan diri lingkungannya. Situasi

lingkungan mempengaruhi latihan kemampuan dalam perawatan diri.

b. Faktor presipitasi

Yang merupakan faktor presipitasi defisit perawatan diri adalah kurang penurunan

motivasi, kerusakan kognisi atau perceptual, cemas, lelah yang di alami individu

sehingga menyebabkan individu kurang mampu melakukan perawatan diri.

3. Jenis-jenis Defisit Perawatan Diri

Menurut Nanda (2012), jenis perawatan diri terdiri dari :

a. Defisit perawatan diri : merawat diri dan menjaga kebersihan diri

Hambatan kemampuan untuk melakukan perawatan diri dan menjaga kebersihan

diri

b. Defisit perawatan diri: makan dan minum


18

Hambatan kemampuan untuk melakukan aktivitas makan dan minum

c. Defisit perawatan diri : toileting (BAB/BAK)

Hambatan kemampuan untuk melakukan aktivitas eliminasi (BAB/BAK) sendiri

d. Defisit perawatan diri : berhias dan berpakaian

Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas berhias dan

berpakaian secara mandiri.

4. Tanda dan gejala

a. Makan

Klien mempunyai ketidakmampuan dalam menelan makanan, mempersiapkan

makanan, menangani perkakas, mengunyah makanan, membuka container,

memanipulasi makanan dalam mulut, mengambil makanan dari wadah lalu

memasukannya ke dalam mulut, melengkapi makan, mencerna makanan menurut

cara yang di terima masyarakat, mengambil gelas, serta mencerna makanan dengan

aman.

b. Eliminasi

Klien memiliki keterbatasan atau ketidakmampuan dalam mendapatkan jamban

atau kamar kecil, duduk atau bangkit dari jamban, memanipulasi pakaian untuk

toileting, membersihkan diri setelah BAB/BAK dengan tepat dan menyiram kamar

mandi.

c. Berpakaian/berhias

Klien mempunyai kelemahan dalam meletakkan potongan pakaian, menanggalkan

pakaian, serta memperoleh atau menukar pakaian. Klien juga memiliki

ketidakmampuan untuk mengenakan pakaian dalam, memilih pakaian,


19

menggunakan alat tambahan, menggunakan kancing tarik, melepaskan pakaian,

menggunakan kaos kaki, mempertahankan penampilan pada tingkat yang

memuaskan, mengambil pakaian dan mengenakan sepatu.

d. Mandi/hygiene

Klien mengalami ketidakmampuan dalam membersihkan badan, memperoleh atau

mendapatkan sumber air, mengatur suhu atau aliran air mandi, mendapatkan

perlengkapan mandi, mengeringkan tubuh, serta masuk dan keluar kamar mandi.

Menurut Depkes (2000), tanda dan gejala klien dengan defisit perawatan diri adalah :

a. Secara fisik : badan bau, pakaian kotor, rambut dan kulit kotor, kuku panjang dan

kotor, gigi kuning di sertai mulut bau dan penampilan tidak rapi.

b. Secara psikologis : malas, tidak ada inisiatif, menarik diri, isolasi diri, merasa tak

berdaya, rendah diri dan merasa hina.

c. Secara sosial : interaksi kurang, kegiatan kurang, tidak mampu berperilaku sesuai

norma, cara makan tidak teratur, BAB/BAK di sembarangan tempat, gosok gigi

dan mandi tidak mampu mandiri.

5. Dampak masalah Defisit Perawatan Diri

a. Dampak fisik

Banyak gangguan kesehatan yang di derita seseorang karena terpeliharanya

kebersihan perorangan dengan baik, gangguan fisik yang sering terjadi adalah

gangguan integritas kulit, gangguan membran mukosa mulut, infeksi pada mata

dan telinga, gangguan fisik pada kuku.

b. Dampak psikososial
20

Masalah yang berhubungan dengan personal hygiene adalah masalah gangguan

rasa nyaman, kebutuhan mencintai dan di cintai, kebutuhan harga diri, aktualisasi

diri dan gangguan interaksi sosial.

6. Mekanisme Koping

Mekanisme koping mempengaruhi respon individu dalam menanggapi stressor meliputi

status social ekonomi, keluarga, jaringan interpersonal, organisasi yang dinaungi oleh

lingkungan sosial yang lebih luas, juga menggunakan kreativitas untuk

mengekspresikan stress interpersonal seperti kesenian, musik, atau tulisan (Stuart and

Sundeen, 1998).

7. Masalah Keperawatan

Menurut Keliat (2006) masalah keperawatan yang muncul untuk kasus ini adalah :

a. Gangguan pemeliharaan kesehatan.

b. Defisit perawatan diri: mandi, berhias.

c. Menarik diri.

C. Kemandirian

1. Konsep Kemandirian

Kemandirian (self-reliance) adalah kemampuan untuk mengelola semua yang

dimilikinya sendiri yaitu mengetahui bagaimana mengelola waktu, berjalan dan berfikir

secara mandiri, disertai dengan kemampuan dalam mengambil resiko dan memecahkan

masalah. Dengan kemandirian tidak ada kebutuhan untuk mendapat persetujuan orang

lain ketika hendak melangkah menentukan sesuatu yang baru. Individu yang mandiri

tidak dibutuhkan yang detail dan terus menerus tentang bagaimana mencapai produk

akhir, ia bisa berstandar pada diri sendiri. Kemandirian berkenaan dengan pribadi yang
21

mandiri, kreatif dan mampu berdiri sendiri yaitu memiliki kepercayaan diri yang bisa

membuat seseorang mampu sebagai individu untuk beradaptasi dan mengurus segala hal

dengan dirinya sendiri (Parker, 2006).

Parker juga bependapat bahwa kemandirian juga berarti adanya kepercayaan

terhadap ide-ide diri sendiri. Kemandirian berkenaan dengan menyelesaikan sesuatu hal

sampai tuntas, kemandirian berkenaan dengan hal yang dimilikinya tingkat kompetensi

fisikal tertentu sehingga hilangnya kekuatan atau koordinasi tidak akan pernah terjadi

ditengah upaya seseorang mencapai sasaran serta kemandirian berarti tidak adanya

keragu-raguan dalam menetapkan tujuan dan tidak dibatasi oleh kekuatan akan

kegagalan (Parker, 2006). Dari berbagai pendapat diatas maka dapat disimpulkan bahwa

kemandirian adalah suatu keadaan seseorang dimana seseorang berusaha berdiri sendiri

dalam arti tidak bergantung pada orang lain dalam keputusan dan mampu melaksanakan

tugas hidup denganpenuh tanggung jawab.

Menurut Erikson kemandirian adalah usaha untuk melepaskan diri dari orang tua

dengan maksud untuk melepaskan dirinya dengan proses mencari identitas ego yaitu

perkembangan kearah individualitas yang mantap untuk berdiri sendiri Monks, (2006),

sedangkan menurut Gea, (2002) mandiri adalah kemampuan seseorang untuk

mewujudkan keinginan dan kebutuhan hidupnya dengan kekuatan sendiri.

2. Perkembangan Kemandirian

Perkembangan kemandirian adalah proses yang menyangkut unsur-unsur

normatif. Ini mengandung makna bahwa kemandirian merupakan suatu proses yang

terarah karena perkembangan kemandirian sejalan dengan hakikat eksistensi manusia,


22

arah perkembangan tersebut harus sejalan dan berlandaskan pada tujuan hidup manusia

(Ali, 2006).

Menurut Havighurst ( 2002) perkembangan menuju kemandirian dan kebebasan

pribadi secara normal berkembang hingga pada saat apabila seseorang telah mencapai

kebebasan secara emosional, financial dan intelektual. Kemandirian seperti halnya

kondisi psikologis yang lain, dapat berkembang dengan baik jika diberikan kesempatan

untuk berkembang melalui latihan yang dilakukan secara terus-menerus dan dilakukan

sejak dini.

Menurut Parker tahap-tahap kemandirian bisa digambarkan sebagai berikut

(Qomariyah, 2011) :

a. Tahap pertama, mengatur kehidupan dan diri mereka sendiri, misalnya: makan,

kekamar mandi, mencuci, membersihkan gigi, memakai pakaian dan lain

sebagainya.

b. Tahap kedua, melaksanakan gagasan-gagasan mereka sendiri dan menetukan arah

permainan mereka sendiri.

c. Tahap ketiga, mengurus hal-hal didalam rumah dan bertanggung jawab

d. Tahap keempat, mengatur dirinya sendiri diluar rumah, misalnya: di sekolah, di

masyarakat.

e. Tahap kelima, mengurus orang lain baik didalam maupun diluar rumah, misalnya

menjaga saudara ketika orang tua sedang diluar rumah.

3. Ciri-ciri Kemandirian

Tentang ciri kemandirian (Gea, 2002) menyebutkan beberapa hal yaitu percaya

diri, mampu bekerja sendiri, menguasai keahlian dan keterampilan, menghargai waktu
23

dan bertanggung jawab. Kemandirian mempunyai ciri-ciri tertentu yang telah

digambarkan oleh Parker dan Mahmud berikut ini:

a. Tanggung jawab berarti memiliki tugas untuk menyelesaikan sesuatu dan diminta

hasil pertanggung jawaban atas hasil kerjanya.

b. Independensi adalah suatu kondisi dimana seseorang tidak tergantung kepada otoritas

dan tidak membutuhkan arahan, independensi juga mencakup ide adanya

kemampuan mengurus diri sendiri dan menyelesaikan masalahnya sendiri.

c. Otonomi dan kebebasan untuk menentukan keputusan sendiri, berarti mampu untuk

mengendalikan atau mempengaruhi apa yang akan terjadi kepada dirinya sendiri.

d. Keterampilan memecahkan masalah, dengan dukungan dan arahan yang menandai,

individu akan terdorong untuk mencapai jalan keluar bagi persoalan-persoalan

praktis relasional mereka sendiri (Parker, 2006) .

4. Kemandirian dalam perawatan diri

Kemandirian (self-reliance) adalah kemampuan untuk mengelola semua yang

dimilikinya sendiri yaitu mengetahui bagaimana mengelola waktu, berjalan dan

berfikir secara mandiri, disertai dengan kemampuan dalam mengambil resiko dan

memecahkan masalah, sedangkan perawatan diri berarti tindakan memelihara

kebersihan dan kesehatan diri seseorang untuk kesejahtraan fisik dan psikisnya ,

seseorang di katakan mandiri dalam perawatan diri apabila orang tersebut dapat

menjaga kebersihan tubuhnya yang meliputi kebersihan kulit, gigi dan mulut,

rambut, mata, hidung, telinga, kaki, kuku, genetalia, serta kebersihan dan kerapian

pakaian nya dengan kemampuan dirinya sendiri secara mandiri.

D. TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK (TAK)


24

1. Konsep Terapi Aktivitas Kelompok

Kelompok adalah kumpulan individu yang memiliki hubungan satu dengan yang

lain, saling bergantung dan mempunyai norma yang sama (Stuart & Laraia, 2001

dikutip dari Cyber Nurse, 2009).

Terapi aktivitas kelompok merupakan terapi psikologi yang di lakukan secara

kelompok untuk memberikan stimulasi bagi pasien dengan gangguan interpersonal

(Yosep, 2008). Terapi aktivitas kelompok adalah salah satu upaya untuk memfasilitasi

psikoterapis terhadap sejumlah pasien pada waktu yang sama untuk memantau dan

meningkatkan hubungan antar anggota (Depkes RI, 1997). Terapi aktivitas kelompok

merupakan salah satu terapi modalitas yang di lakukan perawat kepada sekelompok

pasien yang mempunyai masalah keperawatan yang sama, aktivitas di gunakan sebagai

terapi, dan kelompok di gunakan sebagai target asuhan (Kelliat, 2005).

Penggunaan terapi aktivitas kelompok dalam praktik keperawatan jiwa lebih

efektif di berikan untuk memberikan dampak positif dalam upaya pencegahan,

pengobatan atau terapi pemulihan kesehatan. Keuntungan yang di dapat dari terapi

aktivitas kelompok meliputi dukungan, meningkatkan pemecahan masalah dan

meningkatkan hubungan interpersonal. Keunikan yang di miliki oleh masing-masing

individu akan mendorong seluruh anggota kelompok untuk mengungkapkan

permasalahannya. Terapi secara kelompok juga akan meningkatkan keterampilan untuk

mengekspresikan diri, keterampilan sosial serta keterampilan untuk berempati (Direja,

2011). Dalam terapi aktivitas kelompok ini penderita akan didorong untuk

mengungkapkan pengetahuan dan pengalaman penderita dalam melakukan perawatan


25

diri berupa tanya jawab dan melakukan kegiatan perawatan diri secara langsung

maupun stimulasi kegiatan perawatan diri (Kelliat & Pawirowiyono, 2015).

2. Manfaat Terapi Aktivitas Kelompok

Terapi aktivitas kelompok mempunyai manfaat :

a. Umum

1) Meningkatkan kemampuan menguji kenyataan (reality testing) melalui

komunikasi dan umpan balik dengan atau dari orang lain.

2) Membentuk sosialisasi

3) Meningkatkan fungsi psikologis, yaitu meningkatkan kesadaran tentang

hubungan antara reaksi emosional diri sendiri dengan perilaku defensive

(bertahan terhadap stress) dan adaptasi.

4) Membangkitkan motivasi bagi kemajuan fungsi-fungsi psikologis seperti

kognitif dan afektif.

b. Khusus

1) Meningkatkan identitas diri.

2) Menyalurkan emosi secara konstruktif.

3) Meningkatkan keterampilan hubungan sosial untuk diterapkan sehari-hari.

4) Bersifat rehabilitative meningkatkan kemampuan ekspresi diri, keterampilan

sosial, kepercayaan diri, kemampuan empati, dan meningkatkan kemampuan

tentang masalah-masalah kehidupan dan pemecahannya (Yosep, 2007).

3. Tahapan dalam Terapi Aktivitas Kelompok ( TAK)

Kelompok sama dengan individu, mempunyai kapasitas untuk tumbuh dan

berkembang. Kelompok akan berkembang melalui empat fase yaitu : Fase prakelompok,
26

fase awal kelompok, fase kerja kelompok, fase terminasi kelompok (Stuart & Laraia,

2001).

a. Fase prakelompok

Di mulai dengan membuat tujuan, menentukan leader, jumlah anggota, kriteria

anggota, tempat dan waktu kegiatan, media yang di gunakan . Menurut Yosep,

2007 jumlah anggota kelompok yang ideal dengan cara verbalisasi biasanya 7-8

orang, sedangkan jumlah minimum 4 dan maksimum 10. Kriteria anggota yang

memenuhi syarat untuk mengikuti TAK adalah sudah punya diagnose yang jelas,

tidak terlalu gelisah, tidak agresif, waham tidak terlalu berat.

b. Fase awal kelompok

Fase ini di tandai dengan ansietas karena masuknya kelompok baru, dan peran baru

Stuart dan Laraia (2001) fase ini di bagi menjadi 3 yaitu tahap orientasi, tahap

konflik dan tahan kohesif.

c. Fase kerja kelompok

Pada fase ini, kelompok sudah menjadi tim, kelompok menjadi stabil dan realistis

(Keliat, 2004). Pada akhir fase ini, anggota kelompok meyadari produktivitas dan

kemampuan yang bertambah di sertai percaya diri dan kemandirian (Yosep, 2007).

d. Fase Terminasi

Terminasi yang sukses di tandai oleh perasaan puas dan pengalaman kelompok

akan di gunakan secara individual pada kehidupan sehari-hari terminasi dapat

bersifat sementara atau akhir (Keliat, 2004).

4. Peran Perawat Dalam Terapi Aktivitas Kelompok


27

Peran perawat jiwa professional dalam pelaksanaan terapi aktivitas kelompok

pada penderita skizofrenia adalah

a. Mempersiapkan program terapi aktivitas kelompok sebelum melaksanakan terapi

aktivitas kelompok, perawat harus terlebih dahulu, membuat proposal. Proposal

tersebut akan dijadikan panduan dalam pelaksanaan terapi aktivitas kelompok,

komponen yang dapat disusun meliputi : deskripsi, karakteristik klien, masalah

keperawatan, tujuan dan landasan teori, persiapan alat, jumlah perawat, waktu

pelaksanaan, kondisi ruangan serta uraian tugas terapis.

b. Tugas sebagai leader dan coleader, meliputi tugas menganalisa dan mengobservasi

komunikasi yang terjadi dalam kelompok, membantu anggota kelompok untuk

menyadari dinamisnya kelompok, menjadi motivator, membantu kelompok

menetapkan tujuan dan membuat peraturan serta mengarahkan dan memimpin

jalannya terapi aktivitas kelompok.

c. Tugas sebagai fasilitator, perawat ikut serta dalam kegiatan kelompok sebagai

anggota kelompok dengan tujuan memberi stimulus pada anggota kelompok lain

agar dapat mengikuti jalannya kegiatan.

d. Tugas sebagai observer meliputi : mencatat serta mengamati respon penderita,

mengamati jalannya proses terapi aktivitas dan menangani peserta/anggota

kelompok yang drop out.

e. Tugas dalam mengatasi masalah yang timbul saat pelaksanaan terapi. masalah yang

mungkin timbul adalah kemungkinan timbulnya sub kelompok, kurangnya

keterbukaan resistensi baik individu atau kelompok dan adanya anggota kelompok
28

yang drop out, cara mengatasi masalah tersebut tergantung pada jenis kelompok

terapis, kontrak dan kerangka teori yang mendasari terapi aktivitas tersebut.

f. Program antisipasi masalah, merupakan intervensi keperawatan yang dilakukan

untuk mengantisipasi keadaan yang bersifat darurat (emergency dalam terapi) yang

dapat mempengaruhi proses pelaksanaan terapi aktivitas kelompok (Purwaningsih

dan Karlina, 2010).

5. Jenis-jenis Terapi Aktivitas Kelompok

a. Terapi Aktifitas Kelompok Stimulasi Kognitif / Persepsi

Pasien dilatih mempersepsikan stimulus yang disediakan atau stimulus yang

pernah dialami. Terapi aktifitas kelompok stimulus kognitif / persepsi adalah terapi

yang bertujuan untuk membantu pasien yang mengalami kemunduran orientasi,

menstimuli persepsi dalam upaya memotivasi proses berpikir dan afektif serta

mengurangi perilaku maladaptive.

Tujuan :

1) Meningkatkan kemampuan orientasi realita

2) Meningkatkan kemampuan memusatkan perhatian

3) Meningkatkan kemampuan intelektual

4) Mengemukakan pendapat dan menerima pendapat orang lain

5) Mengemukakan perasaannya

Karakteristik :

a) Penderita dengan gangguan persepsi yang berhubungan dengan nilai-nilai

b) Menarik diri dari realitas

c) Inisiasi atau ide-ide negagatif


29

d) Kondisi fisik sehat, dapat berkomunikasi ferbal, kooperatif dan mau mengikuti

kegiatan

b. Terapi Aktifitas Kelompok Stimulasi Sensori

Aktifitas digunakan untuk memberikan stimulasi pada sesasi pasien,

kemudian diobservasi reaksi sensori pasien berupa ekspresi emosi atau perasaan

melalui gerakan tubuh, ekspresi muka, ucapan.Terapi aktifitas kelompok untuk

menstimulasi sensori pada penderita yang mengalami kemunduran fungsi

sensori.Teknik yang digunakan meliputi fasilitas penggunaan panca indera dan

kemampuan mengekspresikan stimulus baik dari internal maupun eksternal.

Tujuan :

1) Meningkatkan kemampuan sensori

2) Meningkatkan upaya memusatkan perhatian

3) Meningkatkan kesegaran jasmani

4) Mengekspresikan perasaan

c. Terapi Aktifitas Kelompok Orientasi Realitas

Pasien diorientasikan pada kenyataan yang ada disekitar pasien yaitu diri

sendiri, orang lain yang ada disekeliling pasien atau orang yang dekat dengan

pasien, lingkungan yang pernah mempunyai hubungan dengan pasien dan waktu

saat ini dan yang lalu. Terapi aktifitas kelompok orientasi realitas adalah

pendekatan untuk mengorientasikan pasien terhadap situasi nyata.Umumnya

dilaksanakan pada kelompok yang mengalami gangguan orientasi terhadap orang,

waktu dan tempat.Teknik yang digunakan meliputi inspirasi represif, interaksi

bebas maupun secara didaktif.


30

Tujuan :

1) Penderita mampu mengidentifikasi stimulasi internal ( pikiran, perasaan,

sensasi somatik) dan stimulasi ekternal ( iklim, bunyi, situasi alam sekitar)

2) Penderita dapan membedakan antara lamunan dan kenyataan

3) Pembicaraan penderita sesuai realita

4) Penderita mampu mengenali diri sendiri

5) Penderita mampu mengenali orang lain, waktu dan tempat

Karakteristik :

a) Penderita dengan gangguan orientasi realita (GOR) ; (halusinasi, ilusi,

waham, dan depresionalisasi) yang sudah dapat berinteraksi dengan orang

lain

b) Penderita dengan GOR terhadap orang lain, waktu dan tempat yang

sudah dapat berinteraksi dengan orang lai

c) Penderita kooperatif

d) Dapat berkomunikasi verbal dengan baik

e) Kondisi fisik dalam keadaan sehat

d. Penyaluran energi

Penyaluran energi merupakan teknik untuk menyalurkan energy secara kontruktif

dimana kemungkinan pengembangan pola pola penyaluran energy seperti

katarsis, peluap marah dan rasa batin secara kontuksi dengan tanpa menimbulkan

kerugian pada diri sendiri maupun lingkungan

Tujuan :
31

1) Menyalurkan energi ; destruktif ke konstrukstif

2) Mengepresikan perasaan

3) Meningkatkan hubungan interpersonal

e. Terapi Aktifitas Kelompok sosialisasi

Pasien dibantu untuk melakukan sosialisasi dengan individu yang ada disekitar

pasien. Kegiatan sosialisasi adalah terapi untuk meningkatkan kemampuan pasien

dalam melakukan interaksii sosial maupun berperan dalam lingkungan sosial.

Sosialisasi yang dimaksudkan memfasilitasi psikoterapis untuk :

1) memantau dan meningkatkan hubungan interpersonal

2) member tanggapan terhadap orang lain

3) mengekspresikan ide dan tukar persepsi

4) menerima stimulasi eksternal yang berasal dari lingkungan

Tujuan umum :

meningkatkan hubungan interpersonal antar anggota kelompok, berkomunikasi,

saling memperhatikan, member tanggapan terhadap orang lain, mengekspresikan

ide serta menerima stimulus eksternal.

Tujuan khusus :

1) penderita mampu menyebutkan identitasnya

2) menyebutkan identitas penderita lain

3) berespon terhadap penderita lain

4) mengikuti aturan main

5) mengemukakan pendapat dan perasaannya

Karakteristik :
32

a) penderita kurang berniat atau tidak ada inisiatif untuk mengikuti kegiatan

ruangan

b) penderita sering berada ditempat tidur

c) penderita menarik diri, kontak sosial kurang

d) penderita dengan harga diri rendah

e) penderita gelisah, curuga, takut dan cemas

f) tidak ada inisiatif memulai pembicaraan, menjawab seperlunya, jawaban

sesuai pertanyaan

g) sudah dapat menerima trust, mau berinteraksi, sehat fisik

E. TERAPI SUPORTIF

1. Konsep Terapi Suportif

Kelompok suportif merupakan suatu kelompok atau peer dimana setiap anggota

saling berbagi masalah baik fisik maupun emosional atau menanggapi isu tertentu

(Stuart & Laraia, 2008).

Terapi suportif merupakan psikoterapi yang memerlukan peranan aktif terapis

untuk mengubah fungsi sosial dan kemampuan koping kliennya. Tujuan dari terapi ini

untuk menyembuhkan klien dari gangguan psikologis seperti harga diri rendah.Perawat

sebagai pemberi asuhan memberikan terapi suportif sesuai dengan nilai yang ada dalam

keperawatan.

Persuasi adalah Terapi Suportif yang di lakukan dengan menerangkan secara

masuk akal tentang gejala-gejala penyakitnya yang timbul akibat cara berpikir,

perasaan, dan sikapnya terhadap masalah yang di hadapinya.

Ada dua cara dalam terapi suportif yaitu sebagai berikut :


33

a. Sikap Terapis

1) Berusaha membangun, mengubah, dan menguatkan impuls tertentu serta

membebaskan nya dari impuls yang menggangu secara masuk akal dan sesuai

hati nurani.

2) Berusaha meyakinkan pasien dengan alasan yang masuk akal bahwa gejalanya

akan hilang.

b. Topik pembicaraan yaitu ide dan kebiasaan pasien yang mengarah pada terjadinya

gejala.

2. Tujuan Terapi Suportif

a. Menguatkan daya tahan mental yang telah di milikinya

b. Mengembangkan mekanisme daya tahan mental yang baru dan yang lebih baik

untuk mempertahankan fungsi pengontrolan diri.

c. Meningkatkan kemampuan adaptasi terhadap lingkungan.

3. Aspek Pendekatan dalam Terapi Suportif

Menurut Peterson dan Zderad (1976, dalam Setyoadi & Kushariyadi 2011) terdapat tiga

aspek-aspek pendekatan dalam terapi suportif yaitu :

a. Kongruen

Merupakan kemampuan untuk menyampaikan kepada klien bahwa perawat

memiliki perhatian tulus dan menghargai klien sebagai seorang manusia dalam

menjalankan perannya.

b. Penghargaan positif yang tidak terkondisi


34

Merupakan penyampaian kepada klien bahwa perawat menghargai dan menilai

klien sebagai seorang manusia tanpa membedakan siapa dan apa pekerjaan atau

jabatannya.

c. Empati

Merupakan upaya secara tulus untuk memahami bagaimana perasaan klien dan

mengetahui kemampuan untuk menyampaikan pemahaman kepada klien.

4. Indikasi Terapi Suportif

a. Klien yangh sedang mengalami stress emosional, takut, merasa sendiri atau saat

klien menghadapi ancaman kesakitan, trauma, dan bahkan kematian.

b. Klien yang gagal mengatasi stress yang sedang dihadapinya tanpa mempedulikan

apakah kegagalan tersebut didasari oleh kondisi psikiatri klien.

c. Klien dengan gangguan psikiatri yang berat (seperti skizofreni dan gangguan

afektif berat)

d. Klien dengan defisit perawatan diri.

5. Frekuensi dan Lama Terapi Suportif

Klien dianjurkan untuk melakukan terapi sekali atau lebih dalam seminggu untuk

beberapa minggu atau bulan (bahkan mencapai tahunan). Termasuk juga intervensi

krisis yang singkat (1-3 pertemuan)

6. Teknik Terapi Suportif

Tehnik terapi supportif yang digunakan didalam terapi supportif adalah sebagai berikut :

a. Memperkuat pertahanan psikologis

b. Membantu klien mengidentifikasi, mengekspresikan emosinya, dan membantu

untuk pertukaran masalah atau berbagai emosi.


35

c. Menenangkan, memberi sugesti, mengeluarkan semua masalah, abreaction, dan

manipulasi lingkungan.

d. Perawat bersikap aktif, menunjukkan minat, empati, hangat, pengertian dan

optimistis (mendengarkan klien, mengerti hal-hal yang menjadi perhatian klien dan

menolong klien untuk menentukaan arah)

e. Mengidentifikasi faktor-faktor presipitasi dan membantu mengoreksi.

f. Membantu memecahkan masalah eksternal (misalnya masalah pekerjaan dan rumah

tangga)

g. Melatih klien mengenali tanda-tanda ketidakmampuan mengompensasi di masa

depan

h. Menemui klien sesering mungkin (mula-mula 1-3 kali perminggu) secara teratur,

tetapi pertemuan ini harus diterminasi pada saat tujuan tercapai.

i. Mengenali bahwa beberapa klien depresi dapat memprovokasi kemarahan perawat

(melalui kemarahan, tuntutan yang tidak masuk akal)

j. Pemberian medikasi.

F. Pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok Suportif Terhadap Kemandirian Pasien

Skizofrenia Yang Mengalami Defisit Perawatan Diri

Defisit perawatan diri merupakan keadaan dimana seseorang yang mengalami

kelainan dalam kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas kehidupan

sehari-hari secara mandiri, serta tidak ada keinginan klien untuk mandi secara teratur, tidak

menyisir rambut, pakaian kotor, bau badan, bau napas, dan penampilan tidak rapi . Defisit
36

perawatan diri merupakan salah satu masalah yang timbul pada klien gangguan jiwa, salah

satu tindakan yang dapat di lakukan untuk mengatasi masalah tersebut yaitu dengan cara

melakukan atau memberikan suatu terapi seperti terapi aktivitas kelompok suportif.

Terapi aktivitas kelompok suportif merupakan terapi psikologi yang di lakukan

secara kelompok untuk memberikan stimulasi bagi pasien dengan gangguan interpersonal

(Yosep, 2008), dan juga merupakan salah satu upaya untuk memfasilitasi psikoterapis

terhadap sejumlah pasien pada waktu yang sama untuk memantau dan meningkatkan

hubungan antar anggota (Depkes RI, 1997), sering di manfaatkan sebagai salah satu terapi

modalitas yang di lakukan perawat kepada sekelompok pasien yang mempunyai masalah

keperawatan yang sama, aktivitas di gunakan sebagai terapi, dan kelompok di gunakan

sebagai target asuhan (Kelliat, 2005).

Penggunaan TAK suportif dalam praktik keperawatan jiwa lebih efektif di berikan

untuk memberikan dampak positif dalam upaya pencegahan, pengobatan atau terapi

pemulihan kesehatan.Keuntungan yang di dapat dari TAK meliputi dukungan,

meningkatkan pemecahan masalah dan meningkatkan hubungan interpersonal.

B. Kerangka Teori

Berdasarkan landasan teori yang di susun pada bab II, dapat di susun kerangka teori

berikut :
Faktor predisposisi

1. Faktor perkembangan
2. Faktor biologis
3. Faktor sosial
4. Kemampuan realitas
Defisit perawatan diri turun
pasien skizofrenia

Faktor prespitasi
37

You might also like