You are on page 1of 6

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Masa balita merupakan periode penting dalam proses tumbuh kembang

manusia. Perkembangan dan pertumbuhan di masa itu menjadi penentu

keberhasilan pertumbuhan dan perkembangan anak di periode selanjutnya. Masa

tumbuh kembang di usia ini merupakan masa yang berlangsung cepat dan tidak

akan pernah terulang, karena itu sering disebut golden age atau masa keemasan,

namun di masa ini akan rentan mengalami penyakit yang berdampak pada status

gizi di masa selanjutnya. Masalah yang biasa terjadi dimasa ini adalah terjadinya

penyakit infeksi yang dapat menurunkan asupan balita yang akan berdampak pada

salah satunya adalah stunting (1).

Pertumbuhan pada masa balita terutama baduta (bawah dua tahun)

merupakan salah satu indikator status kesehatan di masa dewasa. Pertumbuhan

merupakan salah satu indikator terbaik untuk melihat status gizi dan kesehatan

anak usia bawah lima tahun (balita). Pertumbuhan pada masa balita terutama

baduta (bawah usia dua tahun) merupakan salah satu indikator status kesehatan di

masa dewasa (2). Gangguan pertumbuhan yang terjadi pada usia baduta

meningkatkan risiko penyakit kronis pada usia dewasa. Periode usia baduta

merupakan periode 1000 hari pertama kehidupan yaitu dimulai dari sejak

pembuahan sampai usia dua tahun setelah lahir dimana periode ini salah satu

penentu kualitas manusia (3). Oleh karena itu, sejak masa konsepsi seorang ibu

1
2

harus dalam kondisi kesehatan yang optimal. Hasil penelitian menemukan bahwa

kejadian stunting meningkat pada usia 1 tahun sampai 2 tahun (4).

Di dunia, lebih dari 2 juta kematian anak dibawah umur 5 tahun

berhubungan langsung dengan gizi buruk terutama akibat stunted dan wasting

sedangkan sekitar 1 juta kematian akibat kekurangan vitamin A dan zinc. Satu dari

tiga anak berusia dibawah 5 tahun atau sekitar 178 juta anak yang hidup di Negara

miskin dan berkembang mengalami kekerdilan/pendek, 111,6 juta hidup di Asia

dan 56,9 juta hidup di Afrika. Menurut data UNICEF terdapat sekitar 195 juta

anak yang hidup dinegara miskin dan berkembang mengalami stunted (5).

Menurut data UNICEF, di Indonesia diperkirakan 7,8 juta anak berusia

dibawah 5 tahun mengalami stunting dan memposisikan Indonesia masuk ke

dalam 5 besar Negara dengan jumlah anak dibawah 5 tahun yang mengalami

stunting tinggi. Hasil rikesdas 2007 menunjukkan bahwa angka kejadian stunting

secara nasional sebesar 36,7% yang berati 1 dari 3 anak dibawah 5 tahun

mengalami stunted sedangkan hasil rikesdas 2010 menunjukkan bahwa angka

kejadian stunting sebesar 49,2% (6,7).

Masalah stunting/pendek pada balita masih cukup serius, angka nasional

37,2% tahun 2013 yang berati terjadi peningkatan dibandingkan tahun 2010

sebesar 35,6% dan tahun 2007 sebesar 36,8%. Prevalensi pendek pada balita umur

0-59 bulan di Provinsi Kalimantan Tengah tahun 2015 sebesar 33,3% dan terjadi

peningkatan pada tahun 2016 sebesar 34,1%. Sedangkan prevalensi pendek pada

balita di Kabupaten Barito Utara tahun 2015 sebesar 27,5% dan tahun 2016

sebesar 36,8%. Data tersebut menunjukkan bahwa di Kabupaten Barito Utara


3

terjadi peningkatan kejadian stunting dan melebihi dari target RPJMN 2015-2019

yang telah ditetapkan sebesar 28% (8). Hal tersebut menunjukkan bahwa masalah

pendek masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Kabupaten Barito Utara.

Menurut WHO tahun 2010, masalah kesehatan masyarakat dianggap berat bila

prevalensi pendek sebesar 30-39% dan serius bila prevalensi pendek ≥ 40 % (9).

Secara garis besar penyebab stunting dapat dikelompokkan dalam 3

tingkatan yaitu tingkat masyarakat, rumah tangga (keluarga) dan individu (10).

Pada tingkat masyarakat, sistem ekonomi, sistem pendidikan, sistem kesehatan,

dan sistem sanitasi dan air bersih menjadi faktor penyebab kejadian stunting (11).

Pada tingkat rumah tangga (keluarga), kualitas dan kuantitas makanan yang tidak

memadai, tingkat pendapatan, jumlah dan struktur anggota keluarga, pola asuh

makan anak yang tidak memadai, pelayanan kesehatan dasar yang tidak memadai

dan sanitasi dan air bersih tidak memadai menjadi faktor penyebab stunting,

dimana faktor-faktor ini terjadi akibat faktor pada tingkat masyarakat (12). Faktor

penyebab yang terjadi di tingkat rumah tangga akan mempengaruhi keadaan

individu yaitu anak berumur dibawah 5 tahun dalam hal asupan makanan menjadi

tidak seimbang, berat badan lahir rendah (BBLR) dan status kesehatan yang buruk

(13).

Menurut UNICEF, ada 3 faktor yang menjadi penyebab secara tidak

langsung terjadinya stunting yaitu sanitasi dasar yang meliputi stop buang besar

sembarangan, sumber air bersih, dan cuci tangan pakai sabun. Di Kabupaten

Barito Utara, masyarakat yang memiliki sanitasi dasar memiliki presentase rendah

yaitu sebesar 21,2%, sumber air bersih sebesar 30,4%, dan CTPS sebesar 25%.
4

Sanitasi dasar merupakan salah satu faktor yang menyebabkan penyebab utama

kejadian penyakit yang disebabkan karena sanitasi yang buruk. Sanitasi dasar

adalah sarana sanitasi rumah tangga yang meliputi sarana pengelolaan sampah dan

limbah rumah tangga. Sanitasi yang buruk merupakan penyebab utama terjadinya

penyakit di seluruh dunia termasuk stunting dikarenakan higiene yang buruk dan

air yang terkontaminasi yang menyebabkan penyakit diare sehingga balita akan

mengalami kekurangan nutrisi yang akan berdampak pada kejadian stunting.

Diperkirakan sekitar 2,6 juta orang di seluruh dunia kekurangan akses terhadap

sanitasi. Jika keadaan ini terus berlanjut pada tahun 2015 akan terdapat 2,7 juta

orang tanpa akses terhadap sanitasi dasar dapat menurunkan risiko kejadian

penyakit dan kematian terutama pada anak (14).

CTPS merupakan perilaku cuci tangan pakai sabun di masyarakat yang

dapat mencegah pola penyebaran penyakit masyarakat seperti diare. Apabila

CTPS tidak dilakukan maka akan menyebabkan higiene dari individu menjadi

buruk yang akan berdampak pada pola asuh ibu kepada anak juga akan buruk. Hal

tersebut apabila dilanjutkan dapat menyebabkan pertumbuhan anak menjadi

terganggu dan akan berakibat anak menjadi pendek (stunting) (15).


5

DAFTAR PUSTAKA

1. Soetjiningsih. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: EGC, 2008.

2. Ernawati F, Muljati S. Hubungan panjang badan lahir terhadap

perkembangan anak usia 12 bulan. Panel Gizi Makan 2014; 37(2): 109-

118.

3. World Bank. Repositioning mutrition as central to development: a strategy

for large-scale action. Washington, DC: World Bank, 2006.

4. Vaktsjold A, Van Tri D, Trong Phi D and Sandanger T. Stunted growth in a

cohort of two years old in The Khanh Hoa Province in Vietnam: a follow

up study. J Rural Trop Public Health 2010; 9(1): 77-81.

5. UNICEF. Progress for children, 2007.

6. Riset Kesehatan Dasar 2007.

7. Riset Kesehatan Dasar 2010.

8. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Hasil pemantauan status gizi

(PSG) tahun 2016. Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat, 2017.

9. WHO.Nutrient adequancy of exclusive breatfeeding for the term infant

during the first six month of life. Geneva, 2010.

10. Tando NM. Durasi dan frekuensi sakit balita dengan terjadinya stunting

pada anak SD di Kecamatan Malalayang Kota Manado. Gizido 2012; 4(1):

338-348.

11. Nadiyah, Briawan D. Faktor risiko stunting pada anak usia 0-23 bulan di

Provinsi Bali, Jawa Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Jurnal Gizi dan

Pangan 2014; 9(2): 25-132.


6

12. Vaozia S, Nuryanto. Faktor risiko kejadian stunting pada anak usia 1-3

tahun (studi di Desa Menduran Kecamatan Brati Kabupaten Grobogan).

Journal of Nutrition College 2016; 5(4): 314-320.

13. Nimah K, Nadhiroh SR. Faktor yang berhubungan dengan keajadian

stunting pada balita. Media Gizi Indonesia 2015; 10(1): 13-19.

14. Langit LS. Hubungan kondisi sanitasi dasar rumah dengan kejadian diare

pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Rembang 2. Jurnal Kesehatan

Masyarakat 2016; 4(2): 1-10.

15. Djarkoni IL. Hubungan perilaku cuci tangan pakai sabun dengan kejadian

diare di SD Advent Sario Kota Manado. Jurnal Kedokteran Komunitas dan

Tropik 2014; 2(3): 95-105.

You might also like