Professional Documents
Culture Documents
Oleh :
M. Ukrio Zefrizon
Majdah Rummy Rosidi
Sabrina Maharani
Refica Dewita S
Pembimbing :
KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
RUMAH SAKIT UMUM ARIFIN ACHMAD
PEKANBARU
2018
BAB I
1.1 Pendahuluan
Anestesiologi ialah ilmu kedokteran yang pada awalnya berprofesi menghilangkan nyeri
dan rumatan pasien sebelum, selama dan sesudah pembedahan. Perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi dibidang anestesi berlansung dengan sangat pesat. Pemahaman
yang memadai terhadap ilmu anestesi akan membantu praktisis dalam melaksanakan prosedur
anestesi, terutama dalam menentukan pilihan terhadap anestetik yang akan digunakan. Selain
efek anestesi, anestesi dapat pula mengakibatkan dampak pada sistem kardiovaskuer,
respirasi, dan termoregulasi.1 Pada prinsipnya dalam penatalaksanaan anestesi pada suatu
operasi terdapat beberapa tahap yang harus dilaksanakan yaitu pra anestesi yang terdiri dari
persiapan mental dan fisik pasien, perencanaan anestesi, menetukan prognosis, dan persiapan
pada hari operasi. Sedangkan tahap pelaksanaan anestesi terdiri dari premedikasi, masa
anestesi dan pemeliharaan, tahap pemulihan, dan perawatan pasca anestesi.2,3.
Skoliosis berasal dari bahasa Yunani yang berati kurva atau bengkok. Skoliosis
didefinisikan sebagai abnormalitas lengkungan ke lateraldai tulang belakang denan ukuran
lengkungan lebih besar dari 10 derajat. Ketika tubuh dilihat dari belakang, normalnya tulang
belakang terlihat lurus, namun pada skoliosis akan terlihat lekukan abnormal ketika tubuh
dilihat baik dari belakang, lateral, atau dari sisi ke sisi.4
Prevalensi skoliosis seluruh di Amerika menyerang 2-3 % atau sekitar 7 juta penduduk.
Sebagian besar skoliosis terdiagnosis pada anak dengan rentang usia 10-15 tahun. Pada tahun
2004, berdasarkan data The American Academy of Orthopedic Surgeons, sekitar 1,26 juta
pasien dengan gangguan tulang belakang dilayanan kesehatan, 93% diantaranya didiagnosis
skoliosis, dan paling banyak mengalami skoliosis idiopatik.5,6
Pada pasien skoliosis, tindakan anestesi dapat dilakukan dengan melakukan manajemen
pre operatif, intraoperatif, dan perencanaan post operatif yang benar. Beberapa kesulitan yang
dapat ditemukan selama tindakan anestesi pada pasien skoliosis adalah sistem pernapasa,
sistem kardiovaskular, dan perdarahan.8
BAB II
2.1 Skoliosis
a. Defenisi
Skoliosis adalah deformitas tulang belakang yang kompleks yang mengakibatkan
kelengkungan dan rotasi tulang belakang serta adeformitas tulang rusuk. Biasanya ada
keterlibatan sekunder dari sistem pernapasan, kardiovaskular dan neurologis.9
b. Epidemiologi
c. Etiologi
Selain itu arah rotasi vertebra selalu menuju ke sisi cembung, sehingga
menyebabkan kolumna anterior vertebre secara relatif menjadi terlalu panjang jika
dibandingkan dengan elemen-elemen posterior. Penyebab keempat ialah ketidak
seimbangan dari kekuatan dan masa kelompok otot di punggung.9
d. Klasifikasi: 9,14
scoliosis idiopatik
Dari semua kejadian pasien yang menderita penyakit scoliosis terdapat sekitar 70%
pasien scoliosis yang tidak diktehui pasti penyebabnya.
Neuromuscular
- UMN (cerebral palsy)
- LMN (Poliomielitis, meningomielokel)
- Muscular dystrophy
- Myotonic dystrophy
Congenital
- Hemivertebre
- Dengan deficit neurologis ( myelomeningokele)
Gangguan Mesenkimal
- Bawaan ( sindrom Marfan,Penyakit Morquio, amyoplasia
- Acquired (misalnya, Rheumatoid arthritis, penyakit Still)
- Lainnya (misalnya, Penyakit Scheurmann, osteogenesis imperfecta)
Trauma
- Vertebral ( fraktur, radiasi, operasi)
- Extravertebral ( Luka bakar, operasi toraks)
Skoliosis fungsional disebabkan karena posisi yang salah atau tarikan otot
paraspinal unilateral, yang dapat disebabkan karena nyeri punggung dan spasme otot.
Perbedaan panjang tungkai, herniasi diskus, atau penyakit pada sendi panggul juga dapat
men yebabkan terjadinya skoliosis fungsional. Pada skoliosis fungsional, tidak terjadi
rotasi vertebra yang bermakna dan biasanya reversibel. Terapi terhadap penyebab
skoliosis dapat memperbaiki kirvatur yang terjadi. Skoliosis struktural biasanya tidak
reversibel dan bisa berupa skoliosis idiopatik, kongenital, atau yang didapat.9
e. Patofisiologi
Kelainan tulang punggung yang disebut skoliosis ini berawal dari syaraf yang
lemah bahkan lumpuh yang menarik ruas ruas tulang belakang. Tarikan ini berfungsi
untuk menjaga ruas tulang belakang berada pada garis yang normal. Namun karena
beberapa faktor seperti salah satunya posisi duduk yang miring membuat syaraf menjadi
lemah bahkan lumpuh yang mengakibatkan ketidak seimbangan pada ruas tulang
belakang. 9
f. Gejala Klinis
Gejala yang paling umum dari skoliosis ialah suatu lekukan yang tidak normal dari tulang
belakang. Skoliosis dapat menyebabkan kepala tampak bergeser dari tengah atau satu
pinggul atau pundak lebih tinggi daripada sisi berlawanannya. Maslaah yang dapat timbul
akibat skoliosis ialah penuruan kualitas hidup dan disabilitas nyeri, deformitas yang
mengganggu secara kosmetik, hambatan fungsional, masalah paru, kemungkinan
terjadinya progresifitas saat dewasa, dan gangguan psikologis.9,14
g. Diagnosis
I. Anamnesis
Pada skoliosis kurag dari 20 derajat, jarang menimbulkan gejala. Namun keluhan
yang muncul adalah rasa pegal. Pada kelengkungan 2-40 derajat, penderita akan
mengalami penurunan daya tahan dalam posisi berdiri atau duduk yang lama. Bila kurva
diatas 40 derajat akan menyebabkan kelainan tulang belakang yang cukup berat, keluhan
akan semakin berat seiring dengan pertumbuhan tulang.9,14
Pada pemeriksaan skoliosis, baju pasien harus dibuka agar tulang belakang dapat
diperiksa secara langsung. Posisi terbaik untuk pemeriksaan ialah posisi berdiri,
meskipun pemeriksaan dengan posisi duduk, tidur tengkurap, atau tidur miring juga dapat
dilakukan sesuai dengn kondisi pasien. Hal hal yang harus diperhatikan pada
pemeriksaan fisik ialah deviasi prosessu spinosus dari garis tengah punggung yang
tampak miring, rib hump, asimetri skapula, kesimetrisan pinggul serta bagian atas dan
bawah trunkus, bentuk ( C atau S), dari arah puncak kurvatura. Skoliometer dapat
digunakan untuk mengukur sudut kurvatura tanpa foto radiografi.9
Salah satu pemeriksaan fisik adalah dengan cara “ The Addam’s Forward
Bending Test”. Pemeriksaan dilakukan dengan melihat pasien dari belakang yaitu dengan
menyuruhnya membungkuk 90 derajatke depan dengan lengan menjuntai ke bawah dan
telapak tangan berada pada lutut. Temuan abnormal berupa ketidaksimetrisan ketinggian
iga atau otot otot vertebra pada satu sisi. 9
Secara umum, tanda tanda skoliosis yang bisa diperhatikan pada penderita yaitu: 9
I. Sistem pernapasan
Skoliosis menurunkan kapasital vital paru (VC), mengurangi kapasitas residual
fungsional (FRC), dan pola penyakit paru restriktif yang ditandai dengan peningkatan
tingkat respirasi dan penurunan volume tidal. Tingkat keparahan kerusakan paru
dipengaruhi oleh sudut scoliosis (> 70o), jumlah vertebra yang terlibat (7 atau lebih), lokasi
cephalad dari kelengkungan dan hilangnya deviasi yang terlihat pada kyphosis toraks.
Kerusakan paru-paru dimanifestasikan oleh penurunan tekanan oksigen arterial akibat
shunting pulmoner.9 Abnormalitas dari fungsi paru terjadi karena geometri dari kerangka
thoraks akan menyebabkan penurunan pengembangan dinding dada
Ketika skoliosis semakin berkembang, pertukaran gas dipengaruhi oleh ketidakcocokan
ventilasi-perfusi, hipoventilasi alveolar, dan peningkatan gradien alveolar-arteri. Lama
periode hipoksemia menghasilkan hipertensi pulmonal, hiperkapnia, dan akhirnya gagal
napas.10 Pembedahan untuk skoliosis dilakukan untuk memperlambat perkembangan
penyakit dan mencegah komplikasi. Skoliosis dapat membatasi fungsi dari otot-otot
pernafasan yaitu, interkostalis tidak dapat meregang karena perubahan ruang interkostal,
menempatkan mereka pada kerusakan mekanis.10
Selain itu, efektivitas otot dapat terhambat dengan terbatasnya kemampuan thoraks
untuk berkembang. Skoliosis secara umum dikaitkan dengan perkembangan defek paru
restriktif yang dimanifestasikan oleh penurunan kapasitas paru total (TLC) pada tes fungsi
paru. Skoliosis infantil dan juvenil lebih dikaitkan dengan hipoplasia paru yang sebenarnya
karena deformitas toraks muncul selama periode pertumbuhan dan perkembangan paru.
Hipoinflasi dan atelektasis yang berlangsung lama menyebabkan pengurangan volume
paru lebih lanjut.11 Penurunan TLC sering dikaitkan dengan peningkatan volume residual
(RV), menghasilkan rasio RV / TLC yang sangat tinggi yang mencerminkan disfungsi otot
ekspirasi, yang tidak mengeluarkan nafas sepenuhnya. Dalam kasus skoliosis yang parah,
loop aliran-volume dapat menunjukkan bukti penurunan obstruksi saluran nafas yang
mungkin disebabkan oleh peradangan saluran napas kronis sekunder akibat pembersihan
sekresi yang buruk.9,12
II Sistem kardiovaskular
Perubahan kardiovaskular yang terkait dengan skoliosis lebih jarang tetapi lebih
serius daripada perubahan dalam sistem respirasi. Efeknya adalah perikarditis restriktif
dengan kemungkinan efusi perikardial sekunder. Pengisian jantung yang terbatas
menurunkan potensi peningkatan cardiac output. Selain itu, pemindahan atau kompresi
jantung karena deformitas toraks menyebabkan pengisian normal dapat terganggu dan
output jantung saat istirahat dapat terganggu. Selain kerusakan mekanis miokardium, dapat
terjadi kelainan kardiovaskular sekunder pada ketidakcukupan kronis sistem respirasi.13
Minimum O pt i o na l
i nve stig a ti o ns i nve stig a ti o ns
Plain chest X- PFT
Respiratory ray (bronchodilator
System reversibility)
Pulmonary
ABG diffusion
Capacity
Spirometry(FE
V1,FVC)
Dobutamine
ECG stress echo
Cardiovasc
ular system Dipyridamole/th
Echo allium
Scintigraphy
Complete Liver function
Blood blood count tests
Clotting
profile
Cross match
Urea/electrolytes
Teknik anastesi
I. Premedikasi
gangguan fungsi paru. Bronkodilator dapat digunakan sebagai bagian dari optimasi fungsi
paru-paru sebelum operasi, dan Pada pasien yang berisiko aspirasi, H2 block agen atau
penghambat pompa proton dapat diberikan dengan atau tanpa sodium sitrat.14
II. Induksi
defisiensi adenilat kinase dan lain-lain. Oleh karena itu sebaiknya untuk menghindari
III. Intubasi
terjadinya distorsi pada trakea dan bronkial akibat dari tidak lurusnya tulang toraks atau
servikal. Pada tindakan intubasi perlu diperharikan dan dipantau apakah ventilasi tetap
IV. Maintenance
teknik narkotik inhalasi dapat digunakan (nitrous oxide) atau teknik intravena
menjaga relaksasi pada pasien, disarankan untuk menggunakan atracurium dengan terus
menerus secara infus dan mempertahankan dalam keadaan konstan. Cairan intravena harus
Hampir sama dengan pasien lainnyanya, pada pasien scoliosis monitoring yang
perlu dilakukan seperti monitor EKG, tekanan darah pasien, saturasi oksigen atau
tercukupinya kebutuhan oksigen pasien, suhu tubuh, stetoskop pada dada untuk memantau
pernapasan atau memonitoring keberhasilan intubasi. Pemantauan urin output pasien juga
perlu dilakukan dengan cara memasang kateter, hal ini dilakukan untuk memantau
keseimbangan cairan dan untuk koreksi hipotensi akibat terjadinya syok hipovolemik
akibat kekurangan cairan atau kehilangan darah pada saat dilakukannya tindakan
pembedahan. 4,7,14
VI. Posisi
Pada pasien scoliosis pengaturan posisi pasien berguna untuk kemudahan tindakan
operatif dan penjagaan ventilasi pasien. Posisi kepala pasien harus benar benar
diperhatikan untuk mencegah terjadinya kebutaan akibat tekanan pada bola menyebabkan
trombosis pada arteri retina sentral Posisi kepala tidak boleh terlalu fleksi atau ekstensi
sehingga dapat diinspeksi dengan mudah Posisi kepala dan leher pada saat dilakukan
pembedahan harus sering untuk diperiksa ulang Ekstremitas atas harus diposisikan abduksi
Posisi perut pasien dapat memengaruhi besar kecilnya perdarahan yang terjadi
karena dengan adanya peningkatan tekanan abominal, maka olexus vena vertebra akan
meningkat dan dapat terjadi perdarahan. Posisi yang benar, pemberian pelemas otot dan
anesteia yang dalam dapat menurunkan risiko peningkatan ketegangan tekanan dinding
perut. Volume intravaskular dapat dipertahankan dengan mengganti darah dengan tiga kali
volume cairan saline. Pertimbangan untuk membuat pasien dalam keadaan hipotensi dapat
ganglionic blocking agents, beta adrenergic blocking agents, angiotensin converting enzim,
dan kombinasinya dapat diberikan untuk mencapai keadaan hipotensi. Keadaan ini akan
menurunkan risiko perdarahan sebanyak 30-50 % pada tekanan darah arteri 50-60
mmHg.4,7,14
Hipetermi maligna dapat terjadi pada pasien akibat dari anastesi sukinilkolin,
terdapat beberapa laporan yang diterbitkan terkait antara myopati dengan hipertermia
maligna dan beberapa sindrom ini memiliki kelainan skeletal termasuk scoliosis. Tanda
yang perlu diperhatikan terjadinya awal dari hipertermia maligna yaitu suhu tubuh yang
naik, denyut jantung yang meningkat, ventrikel aritmia atau hiperkapnia. Penatalaksanaan
pada hipertermia maligna yaitu pemberian oksigen 100%, menghentikan agen pemicu,
Dalam operasi tulang belakang yang luas kehilangan darah biasanya 10 hingga 30
yang ditularkan dan lain-lain. Untuk mengurangi kehilangan darah dapat dilakukan dengan
transfusi darah atau dengan beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mencegah kehilangan
b. Anestesi hipotensif dianggap cukup metode yang aman dan efektif untuk
mengurangi darah kehilangan hingga 58% selama operasi tulang belakang. Mean
tekanan arteri biasanya dijaga pada 60-65mmhg. Anestesi hipotensif dapat tercapai
IX. Wake up
Pada saat melakukan tes eake up Anestesiolog harus mempunyai dua asisten bahkan
lebih. Teknik anestesi pada pasien skoliosis dapat bervariasi. Umumnya pada pasien yang
menagalami skoliosis idiopatik adalah remaja yang sehat dan dapat bertoleransi dengan
teknik anestesi dan pembedahan. Penggunaan nitrous oxide, infus narkotik, dan relaksan
dapat diberikan. Pemberian suksinilkolin dihindari pada pasien yang mengalami gangguan
pada otot.
Pasien yang memiliki derajat kelengkungan lebih dari 120 derajat, skoliosis
memiliki risiko terjadinya paraplegia akibat adanya distraksi pada korda spinalis dan
terganggunya suplai aliran darah ke korda. Untuk mengetahui adanya defisit neurologis
dapat dilakukan pemeriksaan SSEP dan wake up test. Profilaksis preoperatif menggunakan
kortikosteroid dosis tinggi dapat dipertimbangkan pada pasien yang sebelumnya sudah
Pada saat melakukan pemeriksaan SSEP, akan berpengaruh terhadap obat obatan
anestesi, kecuali obat relaksan otot. Nitrous oxide, diazepam, droperidol, ethomidate,
thiopental, dan obat obatan narkotik. Pemberian nitrous oxide dapat menurunkan
amplitudo dan peningkatan dari latensi. Namun hal tersebut tidak menjadi masalah apabila
bila dilakukan anestetik yang dalam dan stabil. Contohnya, pemberian narkotika melalui
drip infus lebih baik bila dibandingkan dengan pemberian dosis intermitten. Apabila nilai
dari SSEP menjadi abnormal, dokter anestesi harus mempertahankan pemberian oksigen
dan perfusi dari saraf tulang belakang yang adekuat. Hipovolemi dan anemia harus segera
dikoreksi, saturasi dipertahankan ke nilai normal agar tidak terjadi keadaan hiperventilasi.
Jika SSEP masih menunjukkan hasil yang abnormal walaupun setelah dilakukan
usaha perbaikan, wake up test harus dilakukan untuk menentukan operatif tetap dilanjutkan
atau tidak. Bukti menunjukkan bahwa semakin pendek interval waktu antara deteksi cedera
dan penggantian instrumen memberikan hasil neurologis yang lebih baik. Penilaian tes
wake up digunakan untuk menilai integritas spinal motorik. Pasien diintruksikan untuk
meremas tangan anestesiolog, dan perhatikan respon terhadap remasan tangan dan kaki.
Apabila pasien mampu meremas tangan anestesiolog dan dapat memindahkan kakinya,
tiopental, atau pelemas otot. Selain pemeriksaan wake up, ada beberapa parameter yang
juga penting untuk diperhatikan pada pasien yang akan kita ekstubasi.
Berikut beberapa parameter pasien untuk dilakukan ekstubasi:1
Pasien yang menjalani operasi skoliosis sering memiliki morbiditas yang sudah ada
sebelumnya, dan operasi dapat mengakibatkan morbiditas lebih lanjut seperti kehilangan
darah yang signifikan dan pergeseran cairan, hipotermia, dan lain-lain. Setelah koreksi
scoliosis sebaiknya semua pasien harus dirawat di ruangan perawatan intensif. Ini sangat
penting pada mereka dengan myelopathy, disfungsi pulmonal, penyakit kardio vaskular,
operasi tulang belakang yang luas. Oksigen sungkup dapat diberikan untuk beberapa jam
pertama setelah ekstubasi dan mungkin diperlukan waktu yang lebih lama pada mereka
yang sudah disfungsi paru ada sebelumnya. Komplikasi paru (ARDS, pneumonia,
atelectasis, emboli paru) adalah komplikasi pasca operasi yang paling umum, komplikasi
tertentu lainnya yang bisa terjadi setelah operasi scoliosis adalah cedera neurologis, ileus,
Manajemen nyeri sangat dibutuhkan pada tindakan atau prosedur operatif yang
analgesik primer, opioid dan teknik regional jika perlu. Opioid dapat diberikan intravena
ataupun melalui infus, namun terdapat beberapa efek sampingnya seperti depresi
pernapasan, mual-muntah, dan sedasi, Sehingga perlu dibatasi penggunaannya. Studi
menunjukkan optimal dosis ofmorphine yaitu 2-5 mcg, pada pemberian analgesia selama
24 jam akan memberikan efek samping sedikit. Penggunaan opioid tidak akan mengganggu
penilaian neurologis. Namun efek dari suatu dosis opioid intratekal tunggal akan
mengakibatkan efek kerja yang terbatas. Teknik lain seperti infus, anestesi lokal atau
opioid atau keduanya telah digunakan. Penggunaan intravena ketamine dosis rendah telah
menunjukkan kemanjuran dengan dosis awal 0,25 mg.kg-1, diikuti melalui infus 2 - 2,5
mcg.kg-1.4,14
Ketika pasien sudah sampai diruang pemulihan, darah harus diperiksa untuk
menilai gas darah, hematokrit, elektrolit, BUN, dan kreatinin. Apabila sebelumnya terjadi
perdarahan hebat, jumlah trombosit, protrombin, dan PTT harus dieevaluasi. Hiponatremi
dan ekskresi natrium urin tinggi dapat terjadi saat pemebedahan skoliosis. Oleh karena itu,
pemeriksaan elektrolit darah diperiksa tiap 12 jam pada 24 jam pertama dan perhari selama
2 hari. Penurunan yang drastis dan cepat pada konsentrasi natrium <125 mEq/L akan
menyebabkan edema serebral dan kejang. Pemberian Ringer Lactat untuk menjaga
pengeluaran urin minimun 0,5-1 ml/kg/jam. Pemberian cairan koloid dapat diberikan
KESIMPULAN
kardiovaskular biasanya dalam bentuk peningkatan tekanan jantung, Anestesi sering dibutuhkan
untuk mengkoreksi pasien bedah ortopedi, sehingga perlunya dilakukan pertimbangan dan
penggelolalaan pada anastesi pasien skoliosi. Penilaian dan optimasi pra-anestesi yang dilakukan
dari sistem pernapasan dan kardiovaskular. Pertimbangan intraoperatif sangat penting dilakukan,
seperti pemantauan suhu dan balance mengontrol cairan, positioning, pemantauan integritas tulang
belakang dan konservasi darah, serta perawatan intensif pasca operasi dan terapi nyeri perlu untuk
diperhatikan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Beattie C. Sejarah dan prinsip prinsip ilmu anestesi. Dalam : Gilman AG, Hardman JG,
Limbird LE. Edisi ke-10. Jakarta. EGC. 2008. Hlm.313-21.
2. Latief, Said. Analgesia regional. Dalam : petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi II. Jakarta.
Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. 2009.
4. Scoliosis Research Society. What is Scoliosis ? [homepage on the internet]. [cited 2015 Sep
20]. Available from :
http://www.srs.org/patient_and_family/patient_handbook/what_is_scoliosis.htm
5. Scoliosis Media and Community Guide [booklet]. Stoghton : National Scoliosis Foundation
and DePuy Spine, Inc., 2009
6. Katz S, editir. The Burdon of Musculoskeletal Disease in The United States. Rosemont Bone
and Joint Decade, American Academy of Orthopedic Surgeon, 2008
7. Reamy, BV, Slakey JB. Adolescent Idiopathic Scoliosis : Review and Current Concept. Am
Fam Physician. 2001 ; 64 (1):111-6
8. Raw DA, Beattie JK, Hunter JM. Review article: Anaesthesia for spinal surgery in adults.
British Journal of Anaesthesia 2003; 91:886-904.
9. Goldstein LA, Waugh TR. Classification and terminology of scoliosis. Clin Orthop 1973;
93:10-22.
10. Koumbourlis AC. Review: Scoliosis and the respiratory sys-tem. Paed Resp Rev 2006;
7:152-160.
11. Vedantam R, Lenke LG, Bridwell KH, et al. A prospective evaluation of pulmonary function
in patients with adolescent idiopathic scoliosis relative to the surgical approach used for spinal
arthrodesis. Spine 2000; 25:82-90.
12. Day GA, Upadhyay SS, Ho EK, et al. Pulmonary functions in congenital scoliosis. Spine
1994; 19:1027-31.
13. Boyer J, Amin N, Taddonio R, et al. Evidence of airway ob-struction in children with idiopathic
scoliosis. Chest 1996; 109:1532-1535.
14. Victor M, Eddy S. Anasthesiology Problem-Oriented Patient Management. USA. 1998: 936-
956
15. Pelealu J, Leonard S. Rehabilitasi Medik Pada Skoliosis. Universitas manado. 2013; 8-14