You are on page 1of 16

BAB I

PENDAHULUAN

Leukemia merupakan keganasan dari sel-sel pembentuk darah, sebagian

besar merupakan keganasan dari leukosit, tetapi dapat berawal dari sel darah jenis

lain. Leukemia dimulai di sumsum tulang yang merupakan tempat pembentukkan

sel-sel darah. Sel-sel darah selanjutnya dengan cepat akan dilepaskan ke dalam

darah, kemudian dapat ke kelenjar getah bening, limpa, hati, sistem saraf pusat

dan organ lain. Salah satu jenis leukemia yang sering terjadi pada anak-anak dan

remaja adalah leukemia limfoblastik akut.1

Angka kejadian LLA adalah 3-4 kasus per 100.000 anak. Setiap tahun di

Amerika Serikat sekitar 2.500 – 3.000 anak dan di Eropa sekitar 5000 anak

menderita LLA. Insiden tertinggi LLA terjadi pada usia 2-5 tahun. Anak laki-laki

mempunyai risiko leukemia yang lebih tinggi daripada anak perempuan.2

Etiologi leukemia masih belum diketahui dengan pasti. Para ahli telah

menemukan bahwa terdapat hubungan antara leukemia dengan beberapa faktor

risiko seperti faktor-faktor genetik, lingkungan, dan orang tua yang

mengkonsumsi alkohol atau perokok.1

Manifestasi klinik leukemia dapat berupa kelelahan dan kelemahan, pucat,

infeksi dan demam yang tidak sembuh dengan antibiotik, mudah berdarah atau

memar, nyeri sendi atau tulang, hilangnya napsu makan dan turunnya berat badan,

pembesaran kelenjar limfe, batuk, atau kesulitan bernapas, pembengkakkan muka

dan tangan, sakit kepala, serta muntah.3

1
Penanganan pasien LLA adalah dengan pemberian kemoterapi

menggunakan protokol kemoterapi internasional, yaitu induction, CNS preventive

therapy, consolidation/reinduction, dan maintenance therapy.2

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1.1. Definisi

Leukemia limfoblastik akut adalah saah satu tipe leukemia atau

kanker pada leukosit dimana terjadi keganasan proliferasi sel-sel limfoblast

muda dan ditunjukkan dengan adanya jumlah limfoblast yang berlebihan

dalam sumsum tulang, kelenjar limfa, dan darah.1

1.2. Epidemiologi

Leukemia akut pada masa anak-anak merupakan 30-40% dari

keganasan. Insidens rata-rata 4 – 4,5 / tahun/ 100.000 anak dibawah 15

tahun. Dinegara berkembang 83% ALL, 17% AML, lebih tinggi pada anak

kulit putih dibandingkan kulit hitam. Di Asia kejadian leukemia pada anak

kulit hitam lebih tinggi dibandingkan anak kulit putih. Di Jepang mencapai

4/100.000 anak, dan diperkirakan setiap tahun terjadi 1000 kasus baru.

Sedangkan di Jakarta insidennya mencapai 2.76/100.000 anak usia 1-4

tahun.3

Rasio laki-laki dan perempuan adalah 1,15 untuk LLA dan mendekati

1 untuk LMA. Puncak kejadian pada umur 2-5 tahun, spesifik untuk anak

kulit putih dengan ALL, hal ini disebabkan banyaknya kasus pre B-LLA

pada rentang usia ini. 3

Di negara-negara maju, insiden LLA pada anak 2-4 kali lipat

dibandingkan rata-rata insiden di negara-negara sedang berkembang. Hal ini

3
bisa dakibatkan oleh perbedaan faktor lingkungan, genetik, dan akurasi

diagnostik.4

1.3. Etiologi

Etiologi spesifik LLA belum diketahui, tetapi terdapat hubungan

dengan proses multifaktorial yang berkaitan dengan genetik, imunologi,

lingkungan, bahan toksik, dan paparan virus. Faktor lingkungan meliputi

ionizing radiation, bahan toksik kimia, herbisida dan pestisida. Pemakaian

obat-obatan seperti kontrasepsi, diethylstilbestrol, dan amfetamin, rokok,

konsumsi alkohol, kontaminasi zat kimia sebelum atau selama kehamilan

memiliki hubungan tidak konsisten dengan LLA. 2,4

Ionizing radiation dan paparan benzene merupakan faktor risiko yang

berhubungan erat baik dengan LLA maupun leukemia mieloid akut.

Beberapa penelitian melaporkan adanya kemungkinan hubungan antara

medan elektromagnetik dari daya voltase tinggi dengan perkembangan

leukemia, tetapi penelitian yang lebih besar tidak mengkonfirmasi hubungan

tersebut. Sampai saat ini, penyebab leukemia umumnya tidak dapat

diidentifikasi.5

1.4. Patofisiologi

Terdapat bukti yang kuat bahwa leukemia akut dimulai dari sel

tunggal yang berproliferasi secara klonal sampai mencapai sejumlah

populasi sel yang dapat terdeteksi. Walaupun etiologi mengenai leukemia

belum diketahui dengan pasti, tetapi penelitian mengenai leukemogenesis

pada hewan percobaan didapatkan bahwa penyebab (agent)nya mempunyai

4
kemampuan melakukan modifikasi nukleus DNA, dan kemampuan ini

meningkat bila terdapat suatu kondisi (mungkin suatu kelainan genetik)

tertentu seperti translokasi, amplifikasi, dan mutasi onkogen seluler. Hal ini

memperkuat anggapan bahwa leukemia dimulai dari suatu mutasi somatik

yang mengakibatkan terbentuknya “gugus” (clone) abnormal.3

Sebagian besar LLA mempunyai homogenitas pada fenotip

permukaan sel blast dari setiap pasien. Hal ini memberi dugaan bahwa

populasi sel leukemia itu berasal dari sel tunggal. Oleh karena homogenitas

itu maka dibuat klasifikasi LLA secara morfologik untuk memudahkan

pemakainnya dalam klinik, sebagai berikut : 5

L-1 Terdiri dari limfoblast sel kecil serupa, dengan kromatin homogen, anak

inti umumnya tidak tampak dan sitoplasma sempit.

L-2 pada jenis ini sel limfoblast lebih besar tetapi ukurannya bervariasi,

kromatin lebih kasar dengan satu atau lebih anak inti

L-3 terdiri dari sel limfoblast besar, homogen dengan kromatin bebecak,

banyak ditemukan anak inti serta sitoplasma yang basofilik dan

bervakuolisasi.

LLA dicirikan oleh proliferasi limfoblast imatur. Pada tipe leukemia

akut, kerusakan mungkin pada tingkat sel punca limfopoietik atau prekursor

limfoid yang lebih muda. Sel leukemia berkembang lebih cepat daripada sel

normal, sehingga menjadi crowding out phenomenon di sumsum tulang.

Perkembangan yang cepat ini bukan disebabkan oleh proliferasi yang lebih

5
cepat dari sel normal, tetapi sel-sel leukemia menghasilkan faktor-faktor

yang selain menghambat proliferasi dan diferensiasi sel darah normal, juga

mengurangi apoptosis dibandingkan sel darah normal.6

Perubahan genetik yang mengarah ke leukemia dapat mencakup: 6

1. Aktivasi gen yang ditekan (protogen) untuk membuat onkogen

yang menghasilkan suatu produk protein yang mengisyaratkan

peningkatan proliferasi

2. Hilangnya sinyak bagi sel darah untuk berdiferensiasi

3. Hilangnya gen penekan tumor yang mengontrol proliferasi normal

4. Hilangnya sinyal apoptosis

1.5. Manifestasi klinis

Gejala klinis umumnya berupa rasa tidak sehat, demam, pucat, kurang

nafsu makan, berat badan menurun, malaise, kelelahan, nyeri tulang dan

sendi, epistaksis dan cenderung terjadi perdarahan, rentan terhadap infeksi,

serta sakit kepala. Tanda klinis yang ditemukan adalah kenaikan suhu tubuh,

ekimosis atau petekie, splenomegali, hepatomegali, limfadenopati, anemia

dan letargi.2,3

1.6. Pemeriksaan Penunjang

Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan anemia (pada 43% kasus

kadar Hb < 7g/dL) normositik normokrom (tanpa peningkatan

kompensatorik dari retikulosit), trombositopenia (pada 28% kasus hitung

trombosit <50.000/mm3) dan leukopenia atau leukositosis (pada 17% kasus

hitung white blood cell (WBC) 50.000/mm3 dan 53% dengan WBC <10.000

6
sel/mm3). Peningkatan kadar asam urat darah dapat ditemukan karena

pergantiaan seluler cepat pada pasien dengan peningkatan jumlah WBC.

Kadar elektrolit kalium dan fosfat dapat menigkat dengan penurunan

kompensatorik kalsium. 7

Biopsi sumsum tulang melalui pungsi lumbal perlu dilakukan untuk

menentukan proporsi sel punca dalm sumsum tulang. Dicurigai adanya

suatu leukemia bila populasi sel punca >5%. Pengecatan sitokimiawi dapat

membantu dalam menentukan jenis leukemia akut, limfoid atau mieloid.

Immunophenotyping dilakukan untuk menganalisis antigen spesifik pada

permukaan hematopoietik. Walaupun tidak terdapat antigen spesifik

leukemia yang diidentifikasi, pola antigen permukaam sel dapat

menunjukkan perbedaan antara leukemia limfoid fan mieloid. Analisis

sitogenik sumsusm tulang bermanfaat untuk menentukan adanya non-

random numerical dan abnormaltas kromosom struktural pada sel-sel

leukemia, selain itu juga dapat membantu menentukan diagnosis, prognosis,

dan evaluasi respon terhadap terapi. Foto rontgen thorax dilakukan untuk

skrining massa mediastinal (umumnya pada LLA sel T). 7

1.7. Diagnosis Banding

Diagnosis banding LLA mencakup infeksi virus dan infeksi lainnya

(infeksi mononukleosis, sitomegalovirus, dan leishmania), keganasan

sumsum tulang lainnya (misalnya neuroblastoma, rabdomiosarkoma),

penyakit vaskuler kolagen, dan penyakit hematologik seperti idiopathic

7
trhrombocytopenic purpura (ITP), anemia aplastik, dan kelainan sumsum

tulang seperti fanconi disease. 8

Selain didalam darah dan sumsum tulang, del-del punca leukemia

(leukemia blast) dapat juga menginfiltrasi organ lain berupa limfadenopati

dan hepatosplenomegali yang dapat dideteksi dengan pemeriksaan sitologik,

histologik, atau diagnostic imaging.8

1.8. Tatalaksana

Tujuan penanganan LLA adalah mencapai remisi hematologi dan

klinis lengkap (complete remission , CR) yang ditentukan dengan hilangnya

semua tanda fisik dan kelainan sumsum tulang, restorasi hematopoiesis

normal (netrofil 1500 sel/mm3 dan trombosit >100.000 sel/mm3). Setelah

CR dicapai, pasien dipertahankan dalam CR kontinu. Secara umum, pasien

anak dianggap sembuh setelah CR kontinyu dicapai selama 5-10 tahun.

Pemberian regimen dapat menginduksi CR pada 98% kasus anak dengan

LLA. Kasus anak yang tidak mencapai CR pada akhir induksi mendapatkan

16% overall event-free survival (EFS). Rata-rata penyembuhan pada kasus

anak telah meningkat dari <5% pada tahun 1960 sampai 90% pada tahun

2005.7

Pemberian prednison secara oral dengan dosis 60-80 mg/hari, selain

itu bisa juga digunakan deksametason. Alkaloid vinca, bersama dengan

steroid berperan penting dalam induksi remisi LLA. Dosis vincristne per

minggu 1,5 mg/m2 (dosis maksimal 2,0 mg). Alkaloid vinca yang lain

seperti vinblastine dan vindesine masih kurang efektif dibandingkan

8
vincristine. L-Asparaginase mempunyai aktivitas terbatas terhadap

limfoblas. Daunorubicin memberikan aktivitas antileukemia yang bermakna

dosis kumulatif tidak boleh melebihi 300-400 mg pada anak dengan

leukemia akut. Antagonis asam folat memulai revolusi terapi LLA, dengan

methotrexate dan mercaptopurine (antagonis purin) menjadi dasar

maintenance kemoterapi LLA. Cytarabine arabinose (antagonis pirimidin)

berpotensi menginduksi remisi dan relaps LLA. Cyclophosphadine

merupakan alkylating drug untuk LLA, dan efektif baik untuk LLA-T

maupun LLA-B.8

9
BAB III

LAPORAN KASUS

A. Identitas

Nama : An. A.B

Jenis kelamin : Laki-laki

Umur : 11 tahun

Tempat tinggal : Kebun cengkeh

Pekerjaan : pelajar

Agama : Islam

Tanggal masuk rumah sakit : 05 Desember 2017

B. Anamnesis

Keluhan utama : pucat

Anamnesis terpimpin :

Pasien datang dengan keluhan pucat sejak kurang lebih 5 hari yang lalu

sebelum masuk rumah sakit. Keluhan disertai dengan demam sejak 3 hari

yang lalu. Pasien mual dan muntah, muntah 1x berisi makanan. Selain itu

pasien mengeluhkan nyeri pada telinga kanan dan kirinya. Sering keluar

cairan berwarna kekuningan pada telinga kirinya, sedangkan telinga

kanannya bengkak. Keluhan keluarnya cairan pada telinga pasien sudah

pernah terjadi 6 bulan yang lalu dan cairan yang keluar berupa nanah.

Makan dan minum baik, BAB dan BAK banyak seperti biasa.

Riwayat penyakit dahulu : sebelumnya pasien juga pernah mengalami

keluhan yang sama (pucat) dan kemudian pernah dilakukan transfusi

10
darah. Riwayat nyeri telinga sudah pernah dirasakan sebelumnya sekitar 6

bulan yang lalu.

Riwayat penyakit keluarga : tidak ada anggota keluarga yang memiliki

keluhan yang sama.

Riwayat pengobatan : pasien sudah diberikan paracetamol oleh ibunya

untuk menurunkan panasnya.

C. Pemeriksaan Fisik

Berat Badan : 31,5 kg status gizi : gizi baik

Tanda-tanda vital : S : 38,2˚C N : 130x/menit RR : 32x/menit

Kesadaran : kompos mentis

Wajah : tampak pucat

Mata : konjungtiva anemis

Telinga : dextra : nyeri tekan (+), nyeri tarik (+), otore (-)

Sinistra : nyeri tekan (+), otore (+)

Kelenjar limfa : pembesaran KGB (-)

Thorax :

Inspeksi : pergerakan dinding dada simetris

Perkusi : sonor

Palpasi : krepitasi (-)

Auskultasi : vesikuler

Abdomen

Inspeksi : datar

Auskultasi : bising usus (+)

11
Palpasi : hepatosplenomegali (-)

Perkusi : timpani

Ekstremitas : petekie (-), akral hangat

D. Hasil pemeriksaan laboratorium

Hemoglobin : 2,9 gr/dL

Leukosit : 19.700 (leukositosis)

Trombosit : 2.000 (trombositopenia)

SGOT : 16 u/L

SGPT : 10 u/L

GDS : 129 gr/dL

E. Diagnosis : susp. ALL

F. Diagnosis banding

1. AML

2. Sepsis

3. ITP

4. DIC

G. Terapi

Paracetamol drips 3 x

Transfusi PRC 5 kantong

Transfusi trombosit

Konsul THT

H. Anjuran pemeriksaan

Periksa apusan darah tepi

12
Periksa BMP (aspirasi sumsum tulang)

Kultur darah

I. Resume

An. A.B, 11 tahun datang dengan keluhan pucat, sudah dirasakan sejak 5

hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit, keluhan juga disertai dengan

demam serta mual dan muntah, muntah 1x berisi cairan. Selain itu pasien

juga mengeluhkan nyeri pada kedua telinganya disertai dengan keluar

cairan berwarna kuning pada telinga kirinya. Dari hasil pemeriksaan fisik

didapatkan anak tampak pucat, konjungtiva anemis, dengan hasil lab Hb

2,5 gr/dL, telinga otore, tidak terdapat hepatosplenomegali pada

pemeriksaan abdomen.

Hasil laboratorium lainnya : leukosit 19.700 (leukositosis), trombosit

2.000 g.dL (trombositopenia), pemeriksaan lanjutan yang disarankan

adalah pemeriksaan apusan darah tepi, aspirasi sumsum tulang dan kultur

darah.

13
BAB IV

PEMBAHASAN

Pada laporan kasus ini pasien anak laki-laki usia 11 tahun datang

dengan keluhan pucat. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya

yang menyatakan bahwa secara epidemiologi, Leukemia akut pada masa

anak-anak merupakan 30-40% dari keganasan. Insidens rata-rata 4 – 4,5

/tahun/ 100.000 anak dibawah 15 tahun.3 anak laki-laki mempunyai risiko

leukemia yang lebih tinggi dari pada amal perempuan.2

Secara klinis pasien terlihat pucat, dan dari anamnesis secara

autoanamnesis orang tua pasien mengatakan bahwa pasien sudah tampak

pucat sejak 5 hari yang lalu, keluhan disertai dengan demam, kurang napsu

makan, mual dan muntah. Pasien juga merasakan nyeri pada telinganya,

serta keluar cairan pada telinga kirinya. Pada 5 bulan yang lalu pernah

keluar cairan dari telinganya berupa darah dan nanah.

Berdasarkan teori, gejala klinis pada pasien leukemia yang umumnya

didapatkan berupa rasa tidak sehat, demam, pucat, kurang napsu makan,

berat badan menurun, malaise, kelelahan, nyeri tulang dan sendi, epistaksis

dan cenderung terjadi perdarahan, rentang terhadap infeksi, serta sakit

kepala.1

Dari hasil pemeriksaan fisik tidak ditemukan adanya penemuan klinis

yang berarti, hanya terdapat peningkatan suhu yaitu 38,2˚C, konjungtiva

anemis, pemeriksaan thorax dan abdomen dalam batasan normal tidak

terdapat hepatosplenomegali. Sedangkan berdasarkan teori temuan klinis

14
yang biasanya ditemukan adalah kenaikan suhu tubuh, ekimosis atau

petekie, splenomegali, hepatomegali, limfadenopati, anemia dan letargi.4

Dari hasil pemeriksaan penunjang didapatkan Hb 2,9 gr/dL yang

menunjukkan terjadi anemia, trombositopenia (2.000 g/dL), dan leukositosis

(19.700) dan hasil apusan darah tepi didapatkan banyak sel limfoblast

sehingga diagnosis mengarah pada leukemia limfositik akut. Berdasarkan

teori hasil pemeriksaan penunjang pada kasus ALL akan didapatkan adanya

anemia dengan kadar Hb <7 g/dL normositik normokromik, tanpa

peningkatan kompensatorik dari retikulosit, trombositopenia dengan nilai

trombosit <50.000/mm3 dan leukositosis.7

Pemeriksaan penunjang yang lain yang dianjurkan adalah aspirasi

sum-sum tulang untuk dapat mengkonfirmasi dengan baik proporsi sel

keganasan dalam sumsum tulang. Teori mengatakan bahwa dicurigai adanya

suatu leukemia jika populasi sel punca > 5%. Pengecatan sitokimiawi dapat

membantu dalam menentukan jenis leukemia akut, limfoid atau mieloid.6

Karena terbatasnya sarana pemriksaan di rumah sakit ini, maka atas

permintaan orang tua dan saran dari dokter pasien kemudian dirujuk ke

RSCM untuk dapat dilakukan biopsi atau pemriksaan aspirasi sumsum

tulang.

Sebelum pasien dirujuk, terapi simptomatis yang diberikan pada

pasien ini adalah dengan pemberian paracetamol drips untuk menurunkan

panas, dan transfusi PRC sesuai dengan nilai Hb 2,7 g.dL.

15
Secara umum, transfusi PRC hampir selalu diindikasikan pada kadar

Hb < 7,0 g/dL, terutama pada keadaan anemia akut. Dosis yang digunakan

untuk transfusi PRC pada anak adalah 10-15 mL/kgBB hari apabila Hb >

6,0 g/dL, sedangkan pada Hb < 5,0 g/dL, transfusi PRC dapat dilakukan

dengan dosis 5 mL/kgBB dalam 1 jam pertama. Rumus untuk menghitung

kebutuhan PRC adalah Hb yang diinginkan – Hb sekarang x berat badan x

4, sementara kebutuhan per hari adalah 10 – 15 kgBB/hari.9

16

You might also like