You are on page 1of 70

PENGENDALLAN MUTU LINGKUNGAN

DI KAWASAN USAHA PETERNAKAN SAP1 PERAH


CIBUNGBULANG BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006
SURAT PERNYATAAN

Karya tulis ini disusun berdasarkan suatu pemikim orginal dan merupakan
hak pribadi, dengan ini saya :
Nama :Akhmad Nugraha.
NRP : PO52020201
Program Studi :Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan.
Menyatakan bahwa tesis ini yang berjudul Pengendalian Mutu Lingkungan di
Kawasan Usaha Perternakan Sapi Perah Cibungbulang Bogor addah merupakan
karya ilmiah saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan Sumber informasi yang
berasal atau dikutif dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan
dalam teks dan dicantumkan dalarn Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Desember 2005

Akhmad Nugraha
ABSTRAK

AKHMAD NUGRAHA. Pengendalian Mutu Lingkungan di Kawasan Usaha


Peternakan Sapi Perah Cibungbulang Bogor. Dibawah bimbiugau
SURYAHADI dan YULI RETNANI. Suatu penelitian telah dilakukan di
Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) Sapi Perah di kecamatan Cibungbuiang
kabupaten Bogor sejak bulan Mei sampai dengan Oktober 2005 dengan tujuan :
(1) mengeiahui respon masyarakat terhadap keberadaan KUNAK, (2) mengetahui
proses pengolahan limbah peternakan sapi perah terhadap kualitas air sungai
Cigamea yang melintasi KUNAK dan (3) mengetahui kulitas air sungai Cigamea
sebagai landasan pengendalian mutu lingkungan. Data penelitian terdiri data
primer yang diperoleh melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner
terhadap masyarakat yang berdomisisli di sekitar sungai Cigamea baik yang
berada sebelum dan sesudah KUNAK. Wawancara juga dilakukan terhadap para
peternak KUNAK. Data sekunder bempa peta lokasilwilayah, data iklim. Kondisi
sosial masyarakat secara umum dan kondisi kesehatan masyarakat diperoleh dari
kantor kecamatan setempat, Koperasi Produksi Susu (KPS) Bogor, Kantor Badan
Metereologi dan Geofisika (BMG) dan Puskesmas Desa Pamijahan. Analisis air
sungai Cigamea dilakukan pada musim kemarau (Agustus). Contoh air diambii di
daerah sebelum dan sesudah sungai melintasi KUNAK masing-masing 3 (tiga)
kali berturut-tumt pada hari yang bebeda. Analisis fisika-kimiawi dan
mikrobiologis air terdiri atas : suhu, pH,. kelembaban, kekeruhan, oksigen terlamt,
padatan tersuspensi, amoniak, Biochemical Oxygen Demand (BOD), Chemical
Oxygen Demand (COD) dan bakteri E. Coli. Selanjutnya ditentukan Indeks Mutu
Kualitas Air Sungai (IMKAS). Respon masyarakat terhadap keberadaan KUNAK
secara umum tetap positip dan dirasakan bermanfaat karena membuka lapangan
pekerjaan dan terjadi perbaikan sarana prasarana di wilayah KUNAK. Peternak
telah melakukan pengendaliankontrol terhadap lingkungan peternakan, melalui
pengelolaan lilnbah ternak. Tidak terdapat pembuangan limbah ternak secara
langsung ke sungai. Sebagian besar (90.8%) peternak memanfaatkan kembali
limbah (feses, urin dan sisa pakan) untuk pemupukan mmput di sekitar kandang.
Sebagian kecil saja yang merintis pengolahan limbah menjadi gasbio dan produksi
kompos komersial. Baku mutu air sungai Cigamea, baik sebelum dan sesudah
KUNAK masih memenuhi standar PP no 82 tahun 2001. Tidak terjadi
peningkatan mencolok nilai-nilai : padatan tersuspensi, COD, BOD, E. coli
setelah sungai melintasi KUNAK. Pembahan-perubahan tidak menyolok,
sehingga nilai IMKAS sebelum dan sesudah KUNAK adalah masing-masing
berturut turut adalah 31,96 dan 36.48. Disimpulkan, bahwa pengelolaan limbah
ternak, walaupun telah dilakukan, namun belum secara maksimal. Produksi gasbio
dan pupuk organik merupakan altenatif pengolahan limbah yang prospektif.

Kata kunci :Sapi perah, mutu air, lingkungan ternak, Cigamea, Cibungbulang-
Bogor
ABSTRACT

AKHMAD NUGRAHA. Environmental Quality Control at The Ranch Area


of Dairy Cattle at Cibungbnlang Bogor. Supervised by SURYAHADI and
YULI RETNANI. A research was conducted at area of The Ranch ( KUNAK) of
Dairy Cattle at sub-district of Cibungbulang of Bogor regency since May up to
October 2005 with objectives to : ( 1) knowing response of society to existence of
KUNAK, ( 2) knowing process of waste processing of dairy cattle to the quality
water Cigamea river which passing by KUNAK and ( 3) knowing quality of water
of Cigamea river as basic for environmental quality control. Research composed
by primary data obtained through interview based on questioner to society around
the river of Cigamea at both before and after KUNAK. Interview is also
conducted to all breeder of KUNAK. Secondary data such as map of location and
climate are needed. Social condition in general and health condition was obtained
from office of local sub district, Co-operation Produce Milk (KPS). Bogor, Office
of Meteorology and Geophysics ( BMG) and Centre of Public Health (Puskesmas)
of Pamijahan Village. Water river analyze was conducted at dry season (August).
Samples of water were took in area of before and after the river get through
KUNAK areas of each three times respectively on different days.
Physic-chemical analyses and microbiological analyses of water consisted of :
temperature, pH, relative humidity (RH), crud content suspense, dissolve oxygen,
ammonia, Biological Oxygen Demand ( BOD), Chemical Oxygen Demand (
COD) and bacterium Eschercia coli. In addition, it was determined to Quality
Indices of River Water Quality (Indeks Mutu Kualitas Air Sunga = IMKAS). The
result shows that in general, society responses to existence of KUNAK remain
positive and felt useful due to opening field of work (job opportunity) and
repairing to several facilities in region of KUNAK. Breeder have conducted
controlled ranch environment through management of livestock waste. There is no
dismissal of waste of livestock directly to river. Most of (90.8%) breeder
exploited to return waste (fesses, urine and rest of grasses) for the fertilization
grass around the cage. Only few of breeder used to processing of waste as bio-gas
and produce commercial compost. Quality of water of river Cigamea both of
before and after KUNAK still fulfill standard of PP no 82 year 2001. There, was
no significant increasing values of crud content suspense, COD, BOD, Eschercia
coli after river passed through KUNAK. This change not significant, so that value
of IMKAS at before and after KUNAK are 31,96 and 36.48 respectively, then can
be distinguished there is degradation on the quality of water river of Cigamea. As
conclusion, that management of livestock waste, although have been conducted,
but not yet maximally . Produce organic biogas and manure are good alternative
and prospective for processing of waste.
Keywords : dairy cattle, quality of water, environmental livestock, Cigamea,
Cibungbulang-Bogor
@ Hak cipta Milik Akhmad Nugraha. Tahun 2006
Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari
Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun
baik cetak, fotokopi, mikrofilm dan sebagainya
PENGENDALIAN MUTU LINGKUNGAN
DI KAWASAN USAHA PETERNAKAN SAP1 PERAH
CIBUNGBULANG BOGOR

oleh

AKHMAD NUGRAHA

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
Pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006
Judo1 Tesis : Pengendalian Xutu Lingkungan di Kawasar~Usaha Petemaka1
Sapi Perah C~bungb~rnglang
Bogor.
Nania . AKHMAD NUGRAHA
NIM . P052020201.

Tanggal ujian :15 Ianuari 2006 Tanggal Lulus: 3 0 JAN 2006


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, kerena
atas rahrnat dan karuniaNya jualah penulisan tesis ini dengan judul Pengendaiian
Mutu Lingkungan di Kawasan Usaha Perternakan Sapi Perah
Cibungbulang Bogor dapat diselesaikan.
Pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis
menyampaikan ucapan trimakasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Dr.Ir.H.Suryahadi, DEA selaku ketua komisi pembimbing .
2. Ibu Dr.Ir.Yuli Retnani, M.Sc, selaku angota komisi pembimbing.
3. Bapak Dr.Ir.Surjono H.Sutjahjo, MS, selaku ketua Program PSL
4. Bapak Dr.Ir.Muladno, staf dosen program studi PSL. Pascasarjana IPB
atas kesediaan sebagai penguji dan memberi saran-saran atas perbaikan
tesis.
5. Pimpinan dan Staf Laboratorium Analisis dan Kalibrasi Industri Agro
Departemen Perindustrian RI..
6. Rekan-rekan sejawat PSL-IPB angkatan 2002.
Tak lupa rasa terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak
Drs.H.Akma1 Indra, kakak-kakak dan adii-adik serta istri yang telah membantu
serta mendoakan, semoga semua kebaikan yang telah diberikan kepada penulis,
mendapat imbalan yang setimpal, amin.
Akhimya penulis berharap, mudah-mudahan tulisan ini dapat bermanfaat
bagi semua pihak yang memerlukan.

Bogor, Januari 2006.


RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 27 Oktober 1959 di Bandung, Jawa Barat.


Penulis adalah anak ketiga dari enam bersaudara dari ayahanda H.Unin
Sastramihardja (Almarhum) dan Ibunda Hj Mindarsih Wangsadikusumah
(almarhumah). Tahun 1974 penulis lulus dari Sekolah Dasar Negeri 2 (SDN 2)
Banjar. Pada tahun 1976 lulus dari Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 (SMPN 1)
Banjar dan lulus dari Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) Banjar tahun 1980
Penulis terdaftar sebagai mahasiswa pada Fakultas Pendidikan Jurusan Biologi
Universitas Siliwangi (UNSIL) Tasikmalaya pada tahun 1980. dan mendapatkan
gelar Sarjana muda pada tahun 1983. Pada tahun 1985 melanjutkan pendidikan
sampai Sarjana penuh dan tamat tahun 1988 pada universitas yang sama dan pada
tahun 1993 tugas belajar di IKIP Bandung S1 ke dua dalam Pendidikan Ilmu
Pengetahuan Alam (IPA) tamat tahun 1995 dengan biaya dari Bank Dunia.
Sejak tahun 1986 diangkat sebagai guru di SPG Negeri Kuningan Jawa Barat.
Pada tahun 1990 sampai sekarang mejadi staf pengajar di Institut Keguruaan Ilmu
Pendidikan (IKIP) Bandung yang sekarang menjadi Universitas Pendidikan
Indonesia (UPI) Bandung. Pada tahun 2002 memperoleh kesempatan untuk
mengikuti pendidikan S2 pada Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan
beasiswa dari BPPS dan Universitas Pendidikan Indonesia.
Penulis menikah dengan Dedeh Ratnasari pada tahun 1988 dan telah
dikaruniai 4 orang putra-putri. Dema Frima Nugraha; Malti Dwimetiasari; Gema
Nugraha Putra dan Adinda Mutiarasari.
DAFTAR IS1

Halaman
DAFTAR IS1..................................................................... iv
DAFTAR TABEL ............................................................. v
DAFTAR GAMBAR ........................................................... vi
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................... vii

I.PENDAHULUAN ............................................................. 1
1.1. Latar Belakang .......................................................... 1
1.2. Tujuan Penelitian ....................................................... 3
1.3. Kerangka Pemikiran ................................................... 3
1.4. Perurnusan Masalah........................................................ 4
1.5. Hipotesis .................................................................... 5
1.6. Manfaat Penelitian ........................................................ 5

ILTINJAUAN PUSTAKA ......................................................


2.1. Pertemakan Sapi Perah Rakyat ..........................................
2.2. Limbah Temak ............................................................
2.2.1. Produk dan Limbah Temak Sapi Perah ...........................
2.2.2. Penanganan dan Pemanfaatan Limbah Sapi Perah .............
2.3. Pencemaran Air ............................................................
2.4. Paranleter Kualitas Air Sungai ...........................................
2.4.1. Suhu...................................................................
2.4.2. Nilai pH ..............................................................
2.4.3. Kekeruhan ............................................................
2.4.4. Padatan Tersuspensi ................................................
2.4.5. Nitrogen Amoniak (NH3)2 Nitrit ( N o d dan Nitrat (NO<) ...
2.4.6. Kebutuhan Oksigen Biokimiawi (Biochemical Oxygen
Demand) ..............................................................
2.4.7. Kebutuhan Oksigen kiiniawai (Chemical Oxygen Demand)
2.4.8. Colifrom..............................................................
2.5. Indeks Mutu Kualitas Air Sungai (IMKAS) ...........................
2.6. Baku Mutu Air .............................................................
2.7. Aspek Sosial Ekonomi ....................................................

.
111 METODE PENELITIAN ................................................ ..
3.1 Tempat dan Waktu ......................................................
3.2. BahandanAlat ..........................................................
3.3. Metode Pengumpulan Data .............................................
3.3.1. Pengambilan Sarnpel Air .......................................
3.3.2. Wawancara tersetruktur........................................
3.3.3. Data Sekunder...................................................
3.4. Analisis Data .............................................................
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................
4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian .................................
4.1 .1. Lokasi Penelitian..................................................
4.1.2. Sejarah KUNAK ..................................................
4.2. Respon Masyarakat Sekitar Teihadap KUNAK .........................
4.2.1. Dampak Terhadap Mobilitas Penduduk.......................
4.2.2. Dampak Terhadap Pemukiman Baru ..........................
4.2.3. Dampak Terhadap Tata Guna Tanah ...........................
4.2.4. Dampak Terhadap Surnber Pekejaan Baru ..................
4.3. Karaktertistik Petemak .................................................
4.4. Pengelolaan Usaha Temak Sapi Perah ..............................
4.4.1. Stmktur Populasi ..................................................
4.4.2. Tenaga Kerja dan Alokasi Waktu Kerja .......................
4.4.3. Pemberian Pakan Temak .........................................
4.4.4. Produktivitas Temak .............................................
4.4.5. Reproduksi dan Pengobatan.....................................
4.4.6. Perakandangan .....................................................
4.5. Manajemen Limbah Temak .......................................
4.6. Keadaan Kualitas Air Sungai Cigamea ..............................
4.7. Arah Pengendalian Lingungan KUNAK Sapi Perah
Cibungbulang................................................................................
4.7.1. Pemenfaatan Limbah Temak Sebagai Pupuk Organik .......
4.7.2. Penggunaan Limbah Temak Sebagai Media Tumbuh
Cacing Tanah .....................................................
4.7.3. Pemanfaatan Limbah Temak Untuk Produsi Gas Bio ......

KESIMPULAN DAN SARAN .................................................


Kesimpulan ...................................................................
Saran ...........................................................................

DAFTAR PUSTAKA ............................................................ 56


DAFTAR TABEL

Nomor Halarnan
Tabel 1 Patokan Kebutuhan akan Bahan Kering Sapi Perah ................. 7
Tabel 2 Perkiraan Perhitungan Limbah yang Dikeluarkan Ternak............ 8
Tabel 3 Peubah Kualitas Air dan Metoda Analisis yang Digunakan ....... 2
Tabel 4 Populasi dan J m l a h Sampel yang Diambil Peternak Sapi perah
di KUNAKCibungbulang dalam Satuan Temak (ST) .............. 23
Tabel 5 Matriks untuk Identifikasi dan Evaluasi Dampak .................. 23
Tabel 6 Jenis Dampak. ParameterAndikator Dampak dan Cara
Mengukumya ............................................................ 24
Tabel 7 Karakteristik Masyarakat Non Petemak di Sekitar KUNAK ...... 29
Tabel 8 Kondisi Permahan. Penggunaan Sumber Air dan Kesehatan
Masyarakat Nan Peternak KUNAK ................................... 31
Respon Masyarakat Non Petemak Terhadap Keberadaan
KUNAK ........................................................................................ 32
Tabel 10 Kardderistik Peternak di KUNAK ............................................ 36
Tabel 11 Struktur Pemilikan Sapi Petemak KUNAK ................................. 37
Tabel 12 Struktur Populasi Sapi di KUNAK ..................................... 38
Tabel 13 Jumlah Waktu dalam Kegiatan Usaha Temak Sapi Perah pada
KUNAK Cibungbulang ................................................ 39
Tabel 14 Penanganan Limbah Ternak di KUNAK Sapi Perah
Cibungbulang ............................................................................... 44
Tabel 15 Analisis Kualitas Air Pada Stasiun Pengamatan di Sungai
Cigamea Berdasarkan Parameter Fisika,Kimia dan Biologi ....... 47
Tabel 16 Hasil Analisis lndeks Mutu Kualitas Air Sungai Cigamea .......... 50
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
Gambar 1 Diagram Alur Kerangka Pemikiran........................................ 4
Gambar 2 Peta Lokasi Penelitian............................................................ 27
Gambar 3 Instalasi Gasbio......................................................... 43
Gambar 4 Penyaluran Limbah Sapi Perah ....................................... 44
Gambar 5 Denah Lokasi KUNAK ............................................... 45
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Usaha petemakan sapi perah di Indonesia urnumnya mempakan usaha


tradisional yang didominasi oleh petemak rakyat dengan skala yang relatif kecil.
Namun demikian, usaha temak sapi perah berskala kecil ini dirasakan cukup
berarti bagi peternak karena dapat menambah pendapatan mereka. Usaha
peternakan sapi perah ini dilihat dari kebutuhan masih jauh dari yang diharapkan
hasil produksi susunya.
Produksi susu sapi perah dalam negeri ini belurn dapat memenuhi
kebutuhan. Sebagai contoh produksi dalam negeri tahun 1997-2001 baru
mencapai 2,110.2 ribu ton, sedangkan kebutuhan mencapai 7,111.7 ribu ton
sehingga kekurangannya 5,001.5 ribu ton atau sebesar 70.33% dari total
kebutuhan mempakan impor (Ditjen Petemakan, 2001). Hal ini merupakan
tantangan bagi pemerintah dan petemak untuk mengupayakan bagaimana
meningkatkan produksi susu dengan meningkatkan produktivitas usaha temak
sapi perah di Indonesia.
Dalam menghadapi tantangan tersebut berbagai cara dilakukan oleh
pemerintah, salah satu cara yang ditempuh adalah pembangunan kawasan usaha
petemakan (KUNAK) sapi perah. Dengan adanya KUNAK sapi perah diharapkan
akan meningkatkan produksi dalam negeri sekaligus meningkatkan populasi sapi
perah dan meningkatkan pendapatan petemakan. Kecamatan Cibungbulang
mempakan salah satu wilayah yang ditetapkan sebagai KUNAK peternakan sapi
perah di Kabupaten Bogor.
Kawasan Usaha Beternakan (KUNAK) sapi perah Cibungbulang mulai
beroperasi pada tahun 1997 setelah diresmikan oleh Presiden Soehaxto tanggal 7
Januari 1997. Pada awalnya KUNAK didirikan untuk petemak sapi perah yang
mempakan anggota Koperasi Produksi Susu (KPS) Bogor dengan persyaratan
minimal mempunyai sepuluh ekor sapi laktasi dan berdomisili di Wilayah Bogor,
namun pada perkernbangannya sebagian besar petemak di KUNAK berada di luar
wilayah Bogor seperti Depok, Tangerang dan Jakarta.
Pengembangan usaha petemakan sapi perah mempunyai dampak positif
dan dampak negatif. Dampak positif dari pengembangan usaha petemakan sapi
perah terhadap pembangunan peternakan di Indonesia adalah karena dapat : (1)
menghemat devisa negara, (2) menciptakan lapangan pekerjaan, (3) meningkatkan
pendapatan petemak dan (4) perbaikan gizi nasional. Adapun dampak negatif
yang mungkin dapat timbul dari kegiatan usaha peternakan sapi perah ini adalah
dapat menimbulkan pencemaran, hal ini terjadi karena terdapatnya limbah dari
temak peliharaan. Limbah cair, limbah padat dan limbah gas adalah limbah yang
dihasilkan dari ternak sapi perah tersebut. Hal ini terjadi temtama jika limbah
tidak ditangani dengm baik atau jika limbah langsung dialirkan begitu saja ke
sungai atau ditimbun di tempat terbuka.
Sungai Cigamea yang melintasi desa Situ Udik Kecanlatan Cibungbulang
Kabupaten Bogor merupakan salah satu air sungai yang mungkin dapat tercemar
oleh limbah dari usaha petemakan sapi perah yang lokasinya dekat dengan sungai
Cigamea. Dengan adanya usaha petemakan sapi perah tersebut yang secara
langsung dan tidak langsung &pat menurunkan kualitas air sungai akibat
pembuangan limbah. Limbah petemakan dalam jurnlah besar dapat menimbulkan
permasalahan terutama terhadap kualitas air sungai yang sering dimanfaatkan
untuk kehidupan sehari-hari diantaranya untuk MCK (Mandi Cuci Kakus) bagi
masyarakat yang tinggal di sekitar sungai Cigamea.
Sehubungan dengan ha1 tersebut, dalam rangka pengendalian mutu
lingkungan maka perlu diteliti dampak yang mungkin timbul dari kegiatan usaha
petemakan sapi perah terhadap lingkungan. Untuk itu, maka perlu dilakukan
analisis kualitas air sungai Cigamea baik i t - sifat fisik; kirnia; dan biologi serta
meminta responlpenilaian masyarakat &an keberadaan kawasan usaha temak
(KUNAK) sapi perah Cibungbulang Kabupaten Bogor.
1.2. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk:


1. Mengetahui respon masyarakat terhadap kawasan usaha temak (KUNAK)
sapi perah.
2. Mengetahui proses pengelolaan limbah dari kegiatan KUNAK sapi perah
terhadap kualitas air sungai Cigamea.
3. .Mengetahui kualitas air sungai Cigamea sebagai landasan pengendalian
mutu lingkungan.

1.3. Kerangka Pemikiran

Usaha petemakan sapi perah disamping memberikan keuntungan yang baik


juga berpeluang mencemari lingkungan karena adanya limbah sebagai hasil
ikutan. Keadaan tersebut sering menimbulkan masalah di kalangan masyarakat,
terlebih lagi jika penanganan limbahnya kurang baik.
Perbedaan penanganan limbah umumnya terkait dengan sistem usaha
petemakan sapi perah yang diterapkan peternak, selungga menyebabkan
perbedaan tingkat pencemaran. Pengolahan limbah untuk menekan pencemaran
dapat dilakukan mulai sistem yang paling sederhana sampai sistem berteknologi
tinggi. Pemantauan terhadap pengelolaan limbah petemakan sapi perah hams
dilakukan, sehingga dapat diketahui sejauh mana limbah tersebut mencemari
lingkungan, selanjutnya dapat diambil langkah-langkah untuk mengantisipasi
darnpak negatif yang tejadi.
Kerangka pemikiran tersebut digambarkan dalam diagram alur seperti pada
Gambar 1. Dari diagram tersebut nampak bahwa tujuan utama petemakan sapi
perah adalah produksi susu dan daging untuk memenuhi kebutuhan manusia,
sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun demikian, juga
dihasilkan limbah yang kemungkinan langsung dibuang ke alam bebas termasuk
ke perairan umum dan mengakibatkan pencemaran terhadap aliran sungai, tetapi
ada juga limbah yang dikelola dengan baik seperti untuk dijadikan kompos.
Dengan kondisi tersebut, maka masyarakat akan memberikan responnya terhadap
keberadaan KUNAK sapi perah di sekitar tempat tinggalnya.
Kawasan Usaha Ternak

Susu dan Daging Limbah (Padat, Cair dan Gas)

Masyarakat Meningkat dengan Baik saluran Sungai

I I

Kemungkinan Terjadi
Respon Pencemaran Air Sungai
Masyarakat (Fisik, Kimia dan Biologi)

Gambar 1. Diagram Alur Kerangka Pemikiran Pengendalian Mutu Lingkungan di


Kawasan Usaha Peternakan Sapi Perah Cibungbulang Bogor

1.4. Perumusan Masalah

Limbah peternakan seperti urine dan feces bila tidak ditangani secara tepat
dapat mengakibatkan pencemaran lingkungan, namun sebaliknya bila manajemen
peternakan dan penanganan limbah dapat ditangani secara benar maka limbah
tersebut akan dapat berperan dalam meningkatkan kesuburan tanah, sehingga
dapat meningkatkan produksi rumput di sekitar peternakan. Bila disertai sentuhan
teknologi, feaces tesebut dapat dijadikan kompos/pupuk organik yang bemilai
ekonomis. Mengingat lokasi peternakan dilintasi oleh sungai Cigamea, maka akan
ada peluang terjadiiya pencemaran air sungai tersebut. Namun seberapa jauh
tingkat pencemaran tersebut sangat ditentukan oleh manajemen petemakan,
penanganan limbah dan kondisi fisik (topogrfi, vegetasi, d i m air) di sekitar
peternakan.
Dengan demikian masalah yang akan diiaji dalam penelitian ini adalah : (I)
Kegiatan KUNAK sapi perah yang menghasilkan L i b a h Padat, Cair dan Limbah
Gas, (2) Kegiatan KUNAK sapi perah yang dapat menimbulkan dampak pada
masyarakat sekitar dan (3) Kegiatan KUNAK sapi perah yang dapat
mempengaruhi kualitas air sungai Cigamea.
1.5. Hipotesis

Usaha petemakan sapi perah di lingkungan pemukirnan penduduk diduga


mernpunyai dampak terhadap masyarakat, antara lain:
1. Kawasan usaha petemakan di Kecamatan Cibungbulang akan rnempengaruhi
kualitas air sungai Cigamea desa Situ Udik,
2. Respon masyarakat terhadap keberadaan KUNAK tergantung dari dampak
yang ditimbulkan,
3. Lirnbah ternak berpengaruh terhadap kualitas air sungai Ciganea.

1.6. Manfaat Penelitian


Manfaat penelitian adalah diperoleh :
1. Informasi bagi petemak tentang cara penanganan limbah yang bermanfaat
untuk rneningkatkan efisiensi usaha petemakan
2. Manajernen Kunak Sapi Perah yang benvawasan lingkungan.
11. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Peternakan Sapi Perah Rakyat

Petemakan rakyat di Indonesia menurut Atmadilaga (1970) merupakan


usaha keluarga yang belum menggunakan kaedah ekonomi secara ketat,
sedangkan manifestasinya berbeda-beda di berbagai daerah sesuai dengan pola
pertanian atau pola tanamnya. Mubyarto (1982) menyatakan bahwa petemakan
rakyat dengan cara pemeliharaan yang tradisional, keterampilan yang dimiliki
sangat sederhana dan hanya menggunakan bibit lokal dalam jumlah dan mutu
yang relatif terbatas. Umumnya biaya yang dikeluarkan hanya untuk membeli
bibit, pembuatan kandang dan peralatan-peralatan lainnya.
Skala pemilikan temak sapi perah untuk petemakan rakyat ini berkisar 2-10
ekor sapi laktasi dan cara betemak sapi perah di Indonesia masih berdasarkan atas
pengalaman-pengalaman orang tuanya, yang diturunkan dari generasi ke generasi
(Sudono,1985).
Menurut Sutardi (198 1) jumlah pemberian ransum (hijauan dan konsentrat)
dapat diperkirakan berdasarkan kebutuhan akan bahan kering (BK). Tabel 1
menunjukkan kebutuhan akan BK khusus untuk sapi perah betina yang tumbuh,
sedangkan kebutuhan sapi jantan yang sedang tumbuh sampai bobot 250 kg atau
umur sekitar satu tahun sama dengan sapi betina. Setelah diberi makan kira-kira
10% lebih banyak dari jatah pemberian makanan pada sapi betina.

2.2. Limbah Ternak

Limbah adalah bahan yang timbul setelah proses utama selesai, umumnya
dibuang oleh masyarakat, dapat berbentuk padat, cair maupun gas (Partoatmodjo,
1991; Nitis, 1992). Lebih lanjut Nitis (1992) menyatakan limbah bisa be~upahasil
sampingan (by-product) dan bahan tidak terpakai (waste) serta bahan sisa
(residual). Henry dan Heinke (1989) menyatakan limbah temak dalam arti sempit
dapat dikatakan kotoran atau tinja (feces) dan air seni (urine) temak. Limbah
petemakan dalam arti luas adalah sisa produksi petemakan setelah diambil hasil
utamanya. Limbah menurut Kustaman (1991) pada dasarnya adalah suatu bahan
yang dibuang dari suatu sumber hasil aktivitas manusia, maupun proses-proses
alam dan tidak atau belum mempunyai nilai ekonomi, bahkan dapat mempunyai
nilai ekonomi.
Tabel 1. Patokan Kebutuhan akan Bahan Kering Sapi Perah
llmur Ternak (bulan) Bobot Hidup (Kg) Kebu~uhanBK (Kg)
Priode Menyusui
0-1
1-2
2-3
3-4
Disapih - 1 tahun
4-6
6-8
8-10
1-3 tahun
12-38
18-24
24-30
30-36
Sumber : Sutardi (1998)
Menurut Jenie dan Rahayu (1993) limbah dapat membahayakan kesehatan
masyarakat. Walaupun tidak terlibat langsung dalam perpindahan penyakit,
namun kandungan bahan organik yang tinggi dapat merupakan sumber makanan
yang baik bagi perkembangan organisme. Limbah yang dibuang ke aliran harus
memenuhi baku mutu yang telah ditetapkan, karena dapat membahayakan
kehidupan dan dapat mengganggu kelestarian lingkungan hidup. Pembuangan
berbagai jenis zat ke badan perairan penerima akan menyebabkan terjadinya
degradasi kualitas air penerima, sehingga pemanfaatannya merugikan (Hardjo
dkk, 1989).

2.2.1. Produk dan Limbah Ternak Sapi Perah

Pengeeian limbah menurut Mahida (1992) adalah buangan cairan dari suatu
lingkungan. masyarakat dan terutama terdiri dari air yang telah digunakan.dengan
minimal 0,1% bagian berupa zat padat yang terdiri dari senyawa organik dan
anorganik. Limbah merupakan komponen penyebab pencemaran yang terdiri dari
zat yang tidak bermanfaat bagi masyarakat.
Limbah padat adalah semua lirnbah yang berbentuk padatan berupa kotoran
temak, sisa makanan temak, temak yang mati, isi m e n dan isi usus hasil
pemotongan. Limbah cair adalah semua limbah berbentuk cairan atau berada
dalam cair. Limbah cair dalam usaha petemakan berasal dari urine, air pencucian
alat pada nunah potong hewan, air pembersih ruangan dan darah (Soehadji, 1992).
Sapi laktasi yang mempunyai bobot badan 450 kg membutuhkan m p u t
kurang lebih 30 kg, konsentrat 6 kg, air 50 liter untuk memproduksi susu 13 liter
per hari serta menghasilkan urine danfeaces kurang kurang lebih sebanyak 25 kg
per ekor per hari. Menurut Taiganides (1977) limbah padat sapi perah dihitung
9,4% bobot hidup dan menyatakan jumlah kuantitatif limbah yang dihasilkan
temak pada suatu petemakan akan memberikan sumbangan bagi tingkat
pencemaran lingkungan. Limbah yang dihasilkan temak diasumsikan berdasarkan
bobot hidup temak tersebut seperti terlihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Perkiraan Perhitungan Limbah yang Dikeluarkan Temak
Ayam
Limbah Simbul Unit Kerbau Domba Sapi Perah
Babi Petelur
Limbah Basah JKS %BB/hari 5.10 6.60 4.60 3.60 9.40
Total Padatan TTS % BBhari 13.50 25.30 17.20 29.70 9.30
Total Volatil TVS %BBhari 0.69 1.68 0.70 1.07 0.89
% 'ITS 31.80 21.40 16.20 8.80 20.40
% TVS 38.60 29.40 19.60 10.40 25.40
Sumber: Taiganides (1977)
Keterangan : JKS : Jumlah Kotoran Segar TVS : Jumlah Padatan Menguap
TTS : Jumlah Padatan BB : Bobot Hidup

2.2.2. Penanganan dan Pemanfaatan Limbah Sapi Perah

Limbah padat dapat diolah dengan menyimpan atau menumpuknya,


kemudian diaduk-aduk atau dibaiik-balikan. Penanganan limbah cair, menurut
Sugiharto (1987) dapat diolah secara fisik, kimia, dan biologi. Kotoran temak
dapat dimanfaatkan sebagai pupuk, penghasil gasbio atau bahan bakar dan sebagai
makanan temak.
2.3. Pencemaran Air
Pencemaran air menumt Peraturan Pemerintah No 82 Tahun 2001 tanggal
14 Desember 2001 adalah masuknya atau dimasukkannya mahluk hidup, zat,
energi dan atau komponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia, sehingga
kualitas air turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak behngsi
sesuai dengan peruntukannya. Menurut Fardiaz (1992) bahwa pencemaran air
merupakan penyimpangan sifat-sifat air dari keadaan normal dan bukan dari
kemurniannya Selanjutnya dijelaskan, bahwa ciri-ciri air yang mengandung
senyawa pencemar sangat bervariasi tergantung jenis air dan senyawa
pencemarnya atau komponen yang mengakibatkan pencemaran. Kehidupan
hewan air berkurang pada air yang tercemar berat, air akan nampak kemh dan
berbau menyengat. Todd (1980) menyatakan pencemaran air disebabkan oleh
bahan-bahan organik, anorganik, biologi, fisik dan radioaktif. Penyebab
pencemaran sangat erat kaitannya dengan pemakaian air oleh manusia dan
aktivitas manusia yang terlibat dalam siklus air tersebut.
Fardiaz (1992) mengelompokkan zat pencemar air menjadi 9 kelompok
antara lain : ( 1 ) padatan, (2) bahan-bahan buangan yang membutuhkan oksigen
(oxyigen demanding wastes), (3) mikroorganisme, (4)komponen organik sintetik,
(5) hara tanaman, (6) minyak, (7) senyawa anorganik dan mineral, (8) bahan radio
aktif, dan (9) panas. Pengelompokan tersebut bukanlah pengelompokan yang
baky karena satu jenis pencemar dapat masuk ke dalam lebih dari satu kelompok,
seperti bakteri dapat dimasukkan ke dalam kelompok mikroorganisme maupun
kelompok padatan, karena bakteri mempakan padatan tersuspensi.
Untuk mengetahui adanya pencemaran air, diperlukan pengujian sifat-sifat
air (KLH,2004). Sifat-sifat air yang umum diuji dan digunakan untuk menentuk&
tingkat pencemarannya antara lain: ( 1 ) pH, (2) suhu, (3) warna, bau dan rasa, (4)
jumlah padatan, (5) nilai BOD dan COD, (6) Mikroorganisme patogen (temtama
bakteri E.coli), (7) oksigen terlarut, ( 8 ) karbondioksida bebas, (9) nitrat, (10)
amonia, (11) fosfat (Sastrawijaya, 1991; Fardiaz, 1992). Peraturan Pemerintah
Nomor 82 tahun 2001 tanggal 14 Desember 2001 menetapkan kriteria mutu air
menjadi empat kelas yaitu kelas satu, kelas dua, kelas tiga dan kelas empat.
2.4. Parameter Kualitas Air Sungai

2.4.1 Suhu

Suhu merupakan salah satu indikator yang cukup penting dalam


menentukan kualitas air. Suhu memiliki hubungan yang erat dengan indikator
kualitas air lainnya, seperti: (1) jumlah oksigen terlarut (DO) dalanl air, (2)
kecepatan reaksi kimia, (3) kehidupan ikan dan hewan lainnya dalam air (Fardiaz,
1992). Wardoyo (1982) menyatakan kebutuhan ikan bass akan oksigen pada suhu
2 5 ' ~ mencapai dua kali lebih tinggi dibandingkan pada suhu 1 5 ' ~atau 1,5 kali
dibandingkan dengan suhu 20°C, karena suhu air mempengaruhi sifat fisik-kimia
perairan maupun fisiologi ikan.
Pertumbuhan embryo ikan mas (Cyprinus carpio) pada suhu 3 0 ' ~ setengah
kali dari pertumbuhannya pada suhu 2 0 ' ~ dan nafsu makan ikan mas nyata
menurun dengan meningkatnya suhu air. Ikan mas yang dipijahkan di kolam
secara alami, memijah setelah suhu air berkisar 20-22'~ (Wardoyo, 1982). Hal ini
sejalan dengan dengan anjuran Pescod (1973) yang menyatakan perubahan suhu
air yang mengalir karena limbah bersuhu tinggi tidak melebihi 2,8Oc dan untuk
perairan tergenang tidak lebih dari 1 , 7 ' ~ dari suhu normal, sedangkan PP No 20
tahun 1990 memberikan batas toleransi + 3 ' ~ dari suhu setempat (Soeratmo, 1998
dan Wardana, 1999). Suhu yang relatif tinggi menurunkan DO di dalam air,
sehingga ikan dan hewan lain mati karena kekurangan oksigen. Suhu air
kalilsungai yang relatif tinggi ditandai dengan munculnya ikan-ikan dan hewan air
lain ke permukaan untuk mencari oksigen (Fardiaz, 1992).

2.4.2. Nilai pH

Nilai pH air yang normal adalah sekitar netral berkisar 6-8, sedangkan pH
air tercemar mengalami perubahan, tergantung bahan pencemamya. Nilai pH
suatu perairan mencirikan keseimbangan asam dan basa serta merupakan
pengukuran konsentrasi ion hidrogen dalam air. Adanya karbonat-hidroksida dan
bikarbonat menaikan kebasaan air, sedangkan mineral bebas dan asam karbonat
menaikan kemasaman (Saeni, 1989). Perubahan kemasaman pada air buangan,
baik kearah alkali (pH naik) maupun kearah asam (pH turun) sangat mengganggu
kehidupan ikan dan hewan air di sekitarnya. Air buangan dengan pH rendah
bersifat sangat korosif terhadap baja dan sering menyebabkan pengkaratan pada
pipa-pipa besi (Fardiaz, 1992).
Pengukuran pH adalah uji parameter yang sangat penting dan praktis,
karena banyak reaksi kimia dan biokimia penting tejadi pada tingkat pH tertentu.
Wardoyo (1982) menyatakan untuk mendukung kehidupan ikan secara wajar
diperlukan perairan dengan pH berkisar 5,O - 9,O. Beberapa jenis ikan ada yang
tahan terhadap suasana asam dan basa, sehingga mempunyai batas toleransi pH
berkisar antara 4,O (acid death point) sampai 11,O (basic death point). Batas
toleransi organisme perairan terhadap pH dipengaruhi beberapa faktor seperti
suhu, DO, alkalinitas dan adanya berbagai anion dan kation serta stadia organisme
tersebut. Namun beberapa jenis organisme makanan ikan seperti Daphnia magna,
tidak dapat hidup layak pada perairan dengan pH h a n g dari 6,O. Pescod (1973)
menyatakan pH perairan yang ideal untuk perikanan berkisar 6,5-8,5. Selanjutnya
Sastrawijaya (1991) menyatakan air dengan pH 6,7-8,6 mendukung populasi ikan
dalam kolam, karena jangkauan pH tersebut pertumbuhan dan pembiakan ikan
tidak terganggu.

2.4.3. Kekeruhan

Kekeruhan (turbidity) suatu pengairan sangat dipengaruhi oleh partikel


koloid, liat (clay), lempung (silt), buangan industri, mikroorganisme dan partikel
tersuspensi dari pencemar dan bahan organik yang terkandung dalam perairan
@and et al, 1975; Saeni, 1991; Mahida, 1992). Peavy et al, (1986) menyatakan
padatan tersuspensi b e r p e n g d terhadap kekeruhan dan kecerahan air, sehingga
menghambat proses fotosintesis, karena terhambatnya transmisi cahaya di dalam
perairan. Kekeruhan merupakan indikasi kualitas air buangan dan air alami yang
mengandung koloid (Saeni, 1991). ..
Wardoyo (1982) menyatakan pengendapan dan pembusukan bahan-bahan
organik dapat mengurangi fungsi suatu perairan serta merusak lingkungan hidup
jasad dasar (benthos) dan wilayah pemijahan ikan (spawningground). Selanjutnya
disarankan tingkat kekeruhan air tidak melebihi 100 JTU (Jackson Turbidity Unif)
untuk air mengalir dan 50 JTU untuk air tergenang yang digunakan untuk
aktivitas perikanan.
2.4.4. Padatan Tersuspensi

Air tercemar mengandung padatan, seperti : padatan terendap (sedimen),


padatan tersuspensi dan koloid seperti tanah dan kwarsa, serta padatan terlarut
seperti garam dan molekul organik (Sastrawijaya, 1991). Alaerts dan Santika
(1987) menyatakan analisis zat padat dalam air sangat penting untuk menentukan
komponen air secara lengkap, untuk perencanaan serta pengawasan proses
pengolahan air minum maupun air buangan.
Padatan tersuspensi dan koloid merupakan padatan yang menyebabkan
kekeruhan air, tidak terlarut dan tidak mengendap langsung. Padatan tersuspensi
dalam air umumnya terdiri dari fitoplankton, zooplankton, kotoran manusia,
kotoran hewan, lumpur, sisa tanaman dan hewan dan limbah industri
(Sastrawijaya, 1991). Padatan tersuspensi total suatu contoh air adalah jumlah
bobot bahan tersuspensi dalam suatu volume air tertentu yang biasanya
dinyatakan dalam mg/l atau ppm. Padatan tersebut memiliki ukuran partikel dan
bobot yang lebih kecil dibandingkan padatan sedimen.
Air buangan umumnya mengandung padatan tersuspensi dan koloid seperti
protein. Hal ini dapat mengurangi penetrasi sinar ke dalam air, sehingga proses
fotosintesis tanaman air terganggu. Hasil analisis padatan tersuspensi sangat
berguna dalam penentuan tingkat pencemaran air sungai dan buangan, serta
evaluasi besarnya buangan domestik (Saeni, 1991).

2.4.5. Nitrogen Amonia (NHs), Nitrit (NO23 dan Nitrat (NO<)

Nitrogen sebagai salah satu hara yang terdapat dalam protein nierupakan
komposisi utarna plankton, dasar semua jaringan makanan yang terkait dengan air
dan kehidupan (Henry dan Heinke, 1989). Nitrogen dalam air ada dalam bentuk
gas Nz dan segera menjadi niQit (Nod, nitrat (NO<) dan amonia (NH3), yang
sumber utamanya adalah limbah berupa bahan organik-protein dan senyawa
anorganik (Wardoyo, 1982).
Halilintar menyebabkan fiksasi kimia nitrogen. Ledakan petir melafui udara
memberikan energi yang cukup untuk menyatukan nitrogen dan oksegen menjadi
nitrogen oksida ( N o d dan bereaksi dengan air membentuk nitrat (Nod. Nitrat
dalam tanah dan air paling banyak dibentuk oleh mikroorganisme secara biologis,
sedangkan dalam air nitrogen diikat oleh bakteri dan ganggang. Nitrogen dalam
feaces dan urine hewan berakhir menjadi amonia yang baunya tidak sedap
(Wiguna, 1999).
Amonia sulit digunakan oleh mikroorganisme, sehingga terlebih dahulu
diubah oleh bakteri menjadi nitrit dan kemudian menjadi nitrat oleh bakteri
lainnya. Sebagian nitrit diubah manjedi nitrogen bebas di udara oleh jamur.
Sebagai indikator pencemaran yang umum digunakan adalah nitrogen anorganik
seperti nitrit, nitrat dan amonia. Amonia merupakan hasil tambahan penguraian
protein tanaman maupun hewan atau feacesnya. Jadi jika ada amonia dalam air,
maka ada kemungkinan air tersebut tercemar feaces hewan. Disamping itu amonia
juga dapat terbentuk jika urea dan asam urat dalam urine mengurai. Siklus
nitrogen menunjukkan peran penting amonia yang dapat bereaksi dengan klor
sehingga dapat mengurai kemampuan klor untuk membunub bakteri.
Jika manusia membuang kotoran ke dalam air, maka amonia dalam air
meningkat sehingga tingginya konsentrasi amonia dalam air dapat memberikan
petunjuk terjadinya pencemaran limbah. Disamping itu nitrat juga terdapat dalam
pupuk buatan, maka konsentrasi nitrat yang tinggi dalam air juga disebabkan
adanya pengotoran lahan pertanian seperti penggunaan pupuk yang berlebihan.
Kemungkinan lain sebagai penyebab konsentrasi nitrat yang tinggi dalam air
adalah pembusukan sisa tanaman dan hewan serta kotorannya. Pengotoran oleh
1.000 ekor ternak hampir sama dengan pengotoran oleh 5.000 jiwa penduduk
(Sastrawijaya, 1991).
Mahida (1992) menyatakan dalam keadaan aerob, nitrogen amonia
dioksidasi menjadi nitrit oleh bakteri ototrof seperti Nitrosomonas, Nitrospira dan
Nitrococcous. Selanjutnya nitrit diubah menjadi nitrat oleh bakteri Nitrobacter,
Nitrospira dan Nitrococcous, dan proses tersebut disebut nitrifikasi. Nitrat
merupakan suatu senyawa alihan dalam proses p e ~ b a h a nzat organik ke dalam
bentuk yang tetap, sehingga konsentrasi nitrit dalam air adalah sangat rendah.
2.4.6. Kebutuhan Oksigen Biokimiawi (Biochenrical Oxygen Demand)

Biochemical Oxygen Demand (BOD) adalah kebutuhan oksigen untuk


proses dekomposisi bahan organik oleh mikroba. Di perairan proses dekomposisi
tersebut tidak sekaligus tetapi secara bertahap tergantung pada jumlah bahan
organik yang ada (Haryadi, 1995). BOD juga menggambarkan jumlah bahan
organik di perairan yang mudah teruraikan (biodegradable organic muter). Uji
BOD membutuhkan waktu yang cukup lama antara 20-25 hari untuk lnencapai
96% bahan organik terdekomposisi (Haryadi, 1995). Kelemahan lainnya adalah
ikut terhitungnya oksigen yang dikonsumsi oleh bahan-bahan anorganik atau
bahan-bahan tereduksi lainnya, yang disebut dengan intermediate o*ygen demand
(Fardiaz, 1992). Namun cara tersebut merupakan cara yang paling berguna dan
sensitif untuk mendeteksi dan mengukur pencemaran organik dalam perairan
(Mahida, 1992). Hal ini disebabkan untuk keperluan pengamatan dan dapat
diambil waktu standar 5 hari pada temperatur 20°c, yang diperkirakan sekitar
75% bahan organik terdekomposisi dan cukup memadai sebagai gambaran nilai
BOD yang disebut dengan BODs (Haryadi, 1995).
Nilai BOD dapat pula disebabkan adanya proses oksidasi maupun nitrifikasi
yang membutuhkan 02, sehingga BOD perairan meningkat. Sejalan dengan
pendapat Mahida (1992) yang menyatakan uji coba BOD tidak membedakan
antara kebutuhan oksigen karena oksidasi dan kebutuhan karena proses nitrifikasi.
Alaerts dan Santika (1987) menyatakan BOD menunjukkan jumlah DO yang
dibutuhkan organisme hidup untuk memecah atau mengoksidasi bahan-bahan
buangan tersebut. Konsurnsi oksigen yang tinggi ditunjukkan dengan semakin
kecilnya sisa DO, berarti kandungan bahan-bahan buangan yang membutuhkan
oksigen adalah tinggi. Dengan dernikian efek penting daripada limbah yang
dibuang ke dalam sungai adalah oksigen yang diambil oleh bakteri, sebagai usaha
untuk merobak bahan organik yang ada di dalam air.
Alaerts dan Santika (1987) menyatakan pemeriksaan BOD diperlukan untuk
menentukan beban pencemaran akibat air buangan penduduk atau industri, serta
untuk mendesain sistem pengolahan biologis bagi bahan pencemar. Penguraian
senyawa organik adalah peristiwa alamiah. Bila suatu badan air dicenlari oleh
senyawa organik, bakteri akan menghabiskan DO selama proses oksidasi sehiigga
keadaan menjadi anaerob. Kondisi ini mengakibatkan kematian ikan dalam air,
sehingga menimbulkan bau busuk pada air. Beberapa zat organik dan anorganik
seperti sianida dan tembaga, bersifat racun bagi bakteri, derajat keracunan ini
dapat dapat diperkirakan melalui analisis BOD. Air yang hampir mumi
mempunyai nilai BOD sekitar 1 ppm dan nilai BOD 3 ppm juga masih dinggap
cukup murni, serta kemumian air diragukan apabila nilai BOD sudah mencapai 5
ppm atau lebih (Sastrawijaya, 1992).
Nilai BOD juga didefinisikan sebagai jumlah oksigen yang dibutuhkan
mikroorganisme untuk menguraikan bahan organik di bawah kondisi aerobik
(Alaerts dan Santika, 1987). Bahan organik yang digunakan bakteri untuk
makanan dan energi diperoleh dari proses oksidasi. Nilai BOD menentukan pula
jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk menstabilkan bahan organik secara
biologis, sehingga uji ini sering digunakan untuk mengevaluasi efisiensi alat
pengolah limbah (Jackson et al., 1989).

2.4.7. Kebutuhan Oksigen Kimiawi (Chemical Oxygen Demattd)

Sastrawijaya (1991) mengatakan yang terkait erat dengan nilai BOD adalah
Chemical Oxygen Demand (COD). Alaerts dan Santika (1987) juga mengatakan
bahwa angka COD merupakan ukuran bagi pencemaran air oleh zat-zat organik
yang secara alamiah dapat dioksidasikan melalui proses mikrobiologis dan
mengakibatkan berkurangnya DO dalam air. Sejalan dengan pemyataan Haryadi
(1995), bahwa peningkatan nilai COD suatu perairan sejalan dengan peningkatan
jumlah bahan organik di perairan tersebut. Hal ini disebabkan karena COD
memberikan gambaran jumlah total bahan organik yang ada, baik yang mudah
maupun yang sulit terurai (non biodegradable).
Bakteri dapat mengoksidasi bahan organik menjadi C02 dan H20. Adanya
kalium diiomat dapat mengoksidasi bahan organik lebih banyak, sehingga nilai
COD menjadi lebih tinggi pada BOD yang sama. Parameter COD menunjukkan
banyaknya oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi zat organik dalam suatu
larutan. Jika bahan organik terlarut merupakan bahan organik tahan urai dan
sangat lambat mengalami proses penghancuran akan menghasilkan nilai COD
yang tinggi dan nilai BOD yang rendah. Perbandingan antara BOD dan COD
yang rendah kemungkinan bahan tersebut mengandung bahan yang sulit temrai
atau adanya bahan toksik bagi mikroorganisme, sehingga menghambat hasil BOD
(Alaerts dan Santika, 1987).

2.4.8. Coliform

Mikroorganisme yang terdapat dalam air berasal dari berbagai sumber


seperti udara, tanah, sampah, lumpur, tanaman hidup maupun mati, hewan hidup
atau mati, tinja manusia dan hewan serta bahan organik lainnya (Fardiaz, 1992).
Bakteri patogen yang dieksresikan manusia melalui tinja atau urine terbawa air
dan lalat, sehingga menular pada manusia laimya (Jackson et al., 1989). Setiap
orang melepaskan antara 100000-400000 bakteri coliform per hari, namun
sebagian besar diantaranya kurang berbahaya, sehingga bakteri ini agak sulit
terdeteksi.
Untuk mengetahui bakteri tersebut digunakan organisme indikator
(indicator organism). Bakteri indikator dapat menunjukkan adanya pencemaran
oleh tinja manusia atau hewan berdarah panas dan ha1 ini mudah dideteksi
(Vanderzant dan Splittsoesser, 1992). Coliform dapat digunakan sebagai indikator
karena keberadaannya dapat menunjukkan bahwa kuman patogen lainnya juga
ada. Tidak semua coliform berasal dari kotoran manusia, sebaliknya bila air tidak
mengandung bakteri indikator, berarti air tersebut tidak tercemar tinja dan tidak
mengandung bakteri patogen (Alaerts dan Santika, 1987; Jackson et al., 1989).
Fardiaz (1992) menyatakan bakteri Escherichia coli adalah salah satu
bakteri yang tergolong Coliform dan hidup secara normal dalam kotoran manusia
maupun hewan, sehingga coliform fecal, sedangkan colifor~nyang berasal dari
bangkai hewan atau tanaman mati disebut dengan coliform nonfecal seperti
Enterobacter aerogenes.
2.5. Indeks Mutu Kualitas Air Sungai (TMKAS)

Indeks pencemaran air (Water pollution indices) merupakan indeks yang


berguna untuk memantau dan menyampaikan status pencemaran air secara
kuantitatif berdasarkan baku mutu kualitas air yang berlaku. Ott (1978)
menyatakan, penentuan indeks diperlukan untuk menentukan tingkat pencemaran.
Semakin tinggi nilai indeks contoh air, maka tingkat pencemaran juga semakin
tinggi. Selanjutnya Ott (1978) mengelompokkan indeks kualitas air menjadi lima
kelompok yaitu :
( 1 ) Indeks kualitas air bersifat urnurn;
(2) Indeks kualitas air untuk penggunaan khusus;
(3) Indeks kualitas air untuk perencanaan;
(4) Indeks kualitas air dengan pendekatan statistk,
(5) Indeks kualitas air dengan pendekatan biologi.
Penentuan indeks hanya ditujukan bagi parameter air yang telah melarnpaui
batas baku mutu yang telah ditetapkan. Bila terjadi pencemaran, maka akan
terdapat kontribusi yang jelas terhadap nilai indeks air. Sebaliknya apabila tidak
terjadi pencemaran, maka kontribusinya nol.
Mutu lingkungan perairan, secara umum ditentukan dengan Indeks Mutu
Kualitas Air Sungai (IMKAS). IMKAS didasarkan atas bobot (Wi) dan sub indeks
(Ii) dari 8 parameter penting kualitas air. Hasil yang diperoleh dari perhitungan
IMKAS selanjutnya dibandingkan dengan kriteria baku mutu lingkungan perairan
menurut Brown et al., (1970) dalam Husin (1990).

2.6. Baku Mutu Air

Air memiliki peranan penting dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan


masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Penggunaan air sebagai
air minum dan mandi dapat dikatakan bahwa air berperan secara langsung dalam
kehidupan masyarakat sehari-hari. Namun penggunaan air untuk keperluan irigasi
pertanian, pembangkit tenaga listrik, transportasi adalah penggunaan air secara
tidak langsung dalam kehidupan masyarakat.
Penggunaan air sebagai air minum bagi masyarakat menuntut persyaratan
yang tinggi, karena menyangkut kehidupan manusia secara langsung tanpa adanya
peluang untuk terjadinya penguraian atau pengurangan kadar bahan-bahan yang
dapat membahayakan kesehatan masyarakat. Air yang tidak memenuhi syarat
sebagai air minum menimbulkan akibat yang segera nampak (akut) dan akibat
yang nampak secara perlahan-lahan atau dalam waktu yang lama (kronis).
Memperhatikan ha1 tersebut maka diadakan peraturan yang menyangkut air, yang
memberi batas aman untuk penggunaan air bagi peruntukan tertentu, misalnya
untuk meningkatkan populasi suatu jenis ikan dalam suatu perairan (Soeratmo,
1998; Wardana, 1999).
Baku mutu air dibagi menjadi empat kelas menurut peruntukannya,
ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah (PP) No 82 Tahun 2001, tertanggal 14
Desember 2001 (Kementerian Lingkungan Hidup, 2004) adalah sebagai berikut :
Kelas satu : Air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air baku air
minum, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air
yang sama dengan kegunaan tersebut;
Kelas dua : Air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasaranalsarana
rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, petemakan, air untuk
mengairi perianaman, dan atau peruntukan lain yang
mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut;
Kelas tiga : A
ir yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan
ikan air tawar, petemakan, air untuk mengairi tanaman, dan atau
peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama
dengan kegunaan tersebut;
Kelas empat : Air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pertanaman dan
atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama
dengan kegunaan tersebut.
2.7. Aspek Sosial Ekonomi

Hadimya usaha petemakan sapi perah di lokasi penelitian akan belpengaruh


terhadap aktivitas sosial ekonomi masyarakat di sekelilingnya, karena dapat
menyerap tenaga k e j a yang berasal dari daerah sekitamya. Salah satu aktivitas
sosial ekonomi yang dilakukan oleh masyarakat adalah usahatani di lahan sawah
yang produktivitasnya dipengaruhi oleh faktor seperti pengolahan lahan, bibit,
pangairan, pemupukan dan sebagainya.
Limbah petemakan sapi perah yang dibuang ke perairan yang aimya
digunakan sumber perairan, memberikan peluang adanya senyawa tertentu dalam
air sungai tersebut. Senyawa tersebut di satu sisi menyebabkan pencemaran dan di
sisi lain kemungkinan memberikan dampak positif terhadap tingkat kesuburan
lahan pertanian. Dengan demikian petani akan memiliki pandangan tersendiri atas
hadimya suatu usaha petemakan sapi perah di lingkungannya. Pandangari tersebut
dapat dilihat dari persepsinya terhadap petemakan sapi perah yang diduga sebagai
sumber pencemar.
Persepsi dipengaruhi oleh faktor dalam diri individu (internal factor) dan
faktor luar individu (external factor). Faktor internal termasuk kecerdasan, minat,
emosi, pendidikan, pendapatan, kapasitas alat indra dan jenis kelamin. Sedangkan
yang termasuk faktor ekstemal adalah pengaruh kelompok, pengalanlan masa lalu
clan perbedaan latar belakang sosial budaya. Persepsi individu dibatasi oleh : (1)
perbedaan pengalaman, motivasi dan keadaan; (2) perbedaan kemampuan alat
indra; (3) perbedaan sikap, nilai dan kepercayaan (Supriadi, 1989). Perbedaan
tersebut selanjutnya mempengaruhi perbedaan respon terhadap stimuli, seperti
kecenderungan mempersepsi sesuatu yang sesuai dengan sikap, nilai-nilai dan
kebutuhan seseorang (selective perception); kecenderungan hanya menerima
stimuli yang konsisten dengan sikap, nilai dan kepercayaan (selective exposure)
dan kecenderungan untuk mengingat pesan yang sesuai dengan sikap, nilai dan
kepercayaan (selective retention).
Van den Ban dan Hawkins (1999) mendefinisikan sikap sebagai perasaan,
pikiran dan kecenderungan seseorang yang kurang lebih bersifat permanen
mengenai aspek-aspek tertentu dalam lingkungan. Komponen sikap meliputi
pengelahuan, perasaan-perasaan dan kecenderungan untuk bertindak atau
kecenderungan evaluatif terhadap suatu objek yang memiliki konsekuensi
tertentu. Sikap terhadap perilaku dipengaruhi oleh keyakinan bahwa perilaku
membawa akibat tertentu beserta penilaian terhadap akibat tersebut. Perubahan
sikap seseorang terhadap suatu objek memiliki hubungan yang erat dengan
informasi yang dimiliki tentang objek tersebut.
111. METODE PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Kawasan Usaha Petemakan (KUNAK) sapi


perah Cibungbulang Kabupaten Bogor. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juni
sampai September 2005. Analisis sifat fisik, kimia dan biologi air di Laboratorium
Analisis dan Kalibrasi Balai Besar Industri Agro Depperin Bogor.

3.2. Bahan dan Alat


Alat yang digunakan antara lain: kuisioner, alat tulis dan Penggaris,
Anemometer, Barometer, DO meter, Termometer Hg, pH meter, Turbidimeter,
Spekfrofotomefer, Buret serta Timbangan Analitik. Peralatan yang digunakan
untuk pengambilan contoh air adalah botol gelas berukuran 500 mi.

3.3. Metode Pengumpulan Data

Pengambilan data primer dilakukan dengan cara pengamatadpengukuran


langsung dan melalui wawancara (dengan kuesioner terstruktur) baik pada lokasi
sebelum KUNAK dan setelah KUNAK. Data primer yang dikumpulkan meliputi :
(1) kualitas fisik, kimia dan biologi air sungai, (2) tanggapan penduduk yang
bermukii di sekitar sungai baik yang sebelum maupun setelah wilayah KUNAK
tentang kualitas air dan manfaat keberadaan KUNAK, (3) manajemen petemakan
dan penanganan limbah oleh petemak. Sedangkan data sekunder diperoleh dari
kantor pernerintah dan instansi yang terkait (KPS Bogor) serta diperkuat dengan
studi pustaka.

3.3.1. Pengambilan SampeI Air.

Pengambilan contoh air dilakukan mengikuti petunjuk Sutamihardja


(2001) sungai untuk sample dilakukan sebanyak tiga kali. Contoh air yang diambil
pada wilayah sebelum dan setelah wilayah KUNAK, yaitu jam 8.00, 12.00 dan
16.00 WIB (selang 4 jam) dan dilakukan selarna tiga hari. Air contoh diambil
dengan menggunakan botol pada daerah permukaan air sungai. Botol dicelupkan
ke dalam air sungai dan setelah penuh ditutup dalam keadaan masih terbenarn
dalam air, agar tidak ada gelembung udara yang masuklterperangkap. Botol yang
.. terisi kemudian dimasukkan ke dalam wadah berisi es batu sebelum di bawa ke
laboratorium. Contoh air sungai diambil pada jarak 0,5 - 1 m dari tepi sungai pada
ke dalaman 113 - !4 m dari atas permukaan air. Frekuensi pengambilan dan
analisis contoh dilakukan sebanyak tiga kali.
Macam analisis kualitas air yang dilakukan disesuaikan dengan parameter
kualitas air baku. Parameter yang dianalisis di laboratorium terdiri dari : (1) sifat
fisik air yaitu suhu, keke'iuhan, dan Total padatan tersuspensi (Total Suspended
SolidfTSS); (2) sifat kimia air yaitu pH, amonia, kebutuhan oksigen
biologis/BOD, dan kebutuhan oksigen kimiawi1COD; dan (3) sifat biologis air
yaitu coliforrn (Tabel 3). Analisis suhu dan pH (kebasaan dan keasaman)
dilakukan dengan pengukuran secara langsung
Tabel 3. Peubah Kualitas Air dan Metode Analisis yang Digunakan
Parameter Satuan Metode Analisis Peralatan
Sifat fisik
Suhu OC Pemuaian Termometer Hg
pH - Potensionitrik pH meter
Kekeruhan NTU Intensitas cahaya Turbidimeter
TSS mdl Gravimeter Timbangan analik,
kertas saring
0,45pm
Sifat kitnia
BOD5 mdl Titrimetrik BuretJTitrasi
COD mdl Titrimetrik BureVTitrasi
DO mdl Titrimetrik DO meter
Amoniak bebas mg/l Spektrometer Spektrometer

3.3.2. Wawancara Terstrukur :


Wawancara terstruktur dengan menggunakan kuesioner ini dilakukan
kepada responden yang berada di sekitar KUNAK sapi perah baik sebagai
petemak maupun masyarakat non petemak.
a) Wawancara dengan petemak sebanyak 10% dari jurnlah populasi seluruhnya.
Jumlah populasi seluruhnya adalah 120 orang. Jumlah sampel dalam
penelitian ini adalah 12 orang, penarikan sampel petemak dilakukan secara
statifikasi acak berimbang yang dibagi dalam tiga strata yaitu : (1) Skala I,
dengan pemilikan temak 1-5 ST (satuan ternak), (2) Skala I1 dengan kriteria
pemilikan temak 6-10 ST dan (3) Skala 111 dengan kriteria pemilikan.temak >
10 ST. Populasi dan jumlah sampel tiap skala yang diambil disajikan pada
Tabel 4. Wawancara dengan petemak ini dilakukan untuk mengetahui jenis
buangan dan penanganan limbah sebelum dibuang ke daerah badan sungai.
Tabel 4. Populasi dan Jumlah Sampel yang Diambil Petemak Sapi Perah di
KUNAK Cibungbulang dalam Satuan Temak (ST)
Uraian Skala I Skala I1 Skala 111 Keseluruhan
Populasi 42 57 53 152
Sampel 4 6 5 15

b) Wawancara dengan masyarakat di sekitar daerah petemakan sebanyak 40


kepala keluarga masing-masing 20 KK yang bertempat tinggal di bantaran
sungai yang berada sebelum dan sesudah sungai melintasi KUNAK.
Wawancara ini bertujuan untuk mengetahui dampak dari limbah terhadap
sungai Cigamea dan keseharian masyarakat.
Untuk mengetahui sejauh mana dampak usaha petemakan terhadap
masyarakat setempat dilakukan analisis dampak dengan menggunakai matriks.
Jenis dampak lingkungan bagi penduduk, peubahltolok u k u beserta cara
pengukurannya dalam penelitian yang akan dilakukan diperlihatkan dalam Tabel
5.
Tabel 5. Matriks untuk Identifikasi dan Evaluasi Dampak.
Komponen Lingkungan -
Dampak Lingkungan

Estetika
Kesehatan
Penyerapan tenaga kerja
Peningkatan pendapatan
Persepsi masyarakat
3.3.3. Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari:


a) Badan Metereologi dan Geofisika Balai Wilayah I1 Stasiun Klimatologi Kelas
I Darmaga Bogor
b) Kantor Kelurahan Pamijahan Kabupaten Bogor
c) Puskesmas Kelurahan Pamijahan Kabupaten Bogor
d) Studi pustaka yang berhubungan dengan analisis dampak lingkungan dan
.. .-
kualitas air -
Tabel 6. Jenis Dampak, ParameterIIndikator Dampak dan Cara Mengukumya
PararneterIIndikator
Jenis Dampak Cara Mengukumya
Dampak
Perekonomian Penyerapan tenaga Mencatat jumlah masyarakat yang
Lokal kerja bekerja pada usaha peternakan sapi
perah serta upah yang diterima
Mencatat besarnya penerimaan uang
Keadaan pendapatan yang diperoleh setiap keluarga per
bulan dari petemakan
Kesehatan Frekuensi timbulnya Meccatat jenis penyakit yang sering
Masyarakat suatu penyakit yang timbul atau diderila serta akibatnya
berhubungan dengan
petemakan sapi perah
Estetika Kualitas surnber air Di laboratorium dengan metode
minum tertentu
Penampilan air dan Organoleptik oleh responden

3.4. Analisis Data

Analisis kualitas air sebelum dan setelah Kunak, dilakukan secara deskriptif
dengan membandingkan~.data kualitas perairan y ~ ada
g dengan peraturan
pemeritah No. 82 tahun 2001 sedangkan untuk menentukan faktor-faktor
penyebab pencemaran air dan penganth cara penanganan limbah terhadap kualitas
air dilakukan dengan analisis deskriptif. Indeks Mutu Kualitas Air Sungai
dihitung berdasarkan National Sanitation Foundation Water Quality Index (NSF -
WQI). Prosedur Penentuan Indeks dengan persarnaan :
IMKAS = C (Wi x Ii)

Keterangan :

Wi : Bobot Parameter ke i untuk skala 0 -1


Ii : Nilai sub indeks parameter kualitas perairan
IMKAS : Indeks Mutu Kualitas Air Sungai
Hasil perhitungan indeks mutu Kualitas Air Sungai kemudian dibandingkan
dengan kriteria kualitas air menurut NSF - WQI, yaitu :

0 - 25 : Sangat Buruk
26 - 50 : Buruk
51 - 70 : Sedang
71 - 90 : Baik
91 - 100 : SangatBaik

Data yang diperoleh dari wawancara diolah dengan menggunakan metode


statistik deskriptif dengan uji komparatif yang disajikan dalam bentuk tabulasi
data persentase dan rataan.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

4.1.1. Lokasi Penelitian

Kawasan usaha peternakan (KUNAK) sapi perah Cibungbulang terletak di


Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat. Lokasi KUNAK ini meliputi tiga desa,
yaitu Desa Situ Udik, Desa Pasarean dan Desa Pamijahan. Luas lahan secara
keseluruhan sekitar 121.06 hektar yang terdiri dari 181 buah kapling, 181 buah
rumah tipe 21 m2, 3 buah rumah tipe 36 m2 dan satu kantor. Fasilitas lain meliputi
jalan aspal, jembatan, sarana air, jaringan iistrik, pohon pelindung serta biogas
kapasitas 1500 m3. KUNAK terdiri atas tiga wilayah. yaitu : lokasi KUNAK I
terdiri dari 98 kapling terletak di Gunung Geulis, yang secara administratif
termasuk wilayah Desa Situ Udik Kecamatan Cibungbulang dan Desa Pasarean
Kecamatan Pamijahan; lokasi KUNAK I1 terdiri dari 83 kapling terletak di Desa
Pamijahan Kecamatan Pamijahan dan sebagian di Desa Situ Udik Kecamatan
Cibungbulang; dan lokasi I11 terletak di Desa Ciasihan, tetapi sampai pada saat
penelitian belum dimanfaatkan.
Secara geografis KUNAK terletak pada ketinggian 200-250 meter di atas
permukaan laut, dengan temperatur berkisar antara 19' - 27' C dan curah hujan
berkisar antara 2000-3000 mmttahun. Topografi kawasan KUNAK adalah
bergelombang sampai dengan berbukit-bukit. Sumber air yang digunakan untuk
memenuhi kebutuhan seluruh kegiatan berasal dari sumber air Sungai Cigamea
melalui saluran irigasi Pasar Rebo yang digunakan untuk mengairi sawah sekitar
KUNAK. Peta lokasi Kunak dan aliran sungai Cigamea yang melintasinya
diperlihatkan dalam Gambar 2

4.1.2. Sejarah KUNAK

Ide awal pembangunan KUNAK sapi perah telah dimulai sejak tahun 1988
dan mengalami proses yang cukup panjang hingga akbir pada tahun 1995 baru
dapat diwujudkan awal pembangunannya dan selesai pada tahun 1996. Alasan
yang melatarbelakangi dibentuknya Kawasan Usaha Perternakan KUNAK Sapi
Perah Cibungbulang Bogor adalah : (1) usaha sapi perah secara nasional
berkembang dengan cepat dan meluas serta tidak terkecuali di Kabupaten Bogor
ud-- I'ETILO1;LUll~EhCLIIWi

Gambar 2: Peta Lokasi Penelitian


yang ditandai dengan se~nakinmeningkatnya jutnlah populasi sapi perah, produksi
susu dan peternakan sapi perah; (2) penyebaran usaha sapi perah yang selama ini
belutn terpola sesuai dengan tata ruang, telah memunculkan permasalahan bukan
saja dari aspek teknis, sosial dan ekonomi; (3) lokasi-lokasi sapi perah saat ini
banyak yang sudah tidak sesuai lagi dengan rancangan umuln tata ruang atau
rancangan detail tata ruang (RUTNRDTR) dan keberadaannya sering terdesak
oleh kepentingan lain termasuk pemukiman yang berkembang pesat; dan (4)
usaha sapi perah dewasa ini sudah harus bergerak dari usaha sambilan ke arah
usaha agribisnis yang bemawasan lingkungan dan petnanfaatan teknologi maju
(KPS - Bogor, 1996).
Pembentukan kawasan ini bertujuan untuk : (1) meningkatkan produktifitas
usaha sapi perah untuk meningkatkan pendapatan peternak, (2)relokasi usaha sapi
perah dalam rangka penataan dan pelestarian usaha sapi perah di Kabupaten
Bogor sesuai dengan pola tata ruang (RUTRIRUDR), (3) meningkatkan produksi
susu untuk pemenuhan kebutuhan susu dalam negeri sekaligus meningkatkan
populasi sapi perah dan menghemat devisa negara, (4) ~nemperluaslapangan
kerja, (5) sebagai persiapan dalam menghadapi era pasar bebaslliberasasi
perdagangan dan (6) pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan (KPS - Bogor,
1996).
Rencana pembangunan KUNAK terealisasi setelah KPS Bogor mendapat
pinjaman dana Bantuan Presiden (Banpres) melalui Kepres No. 064 / B / tahun
1994 untuk pembuatan 220 kandang ukuran 63 m2 dan Kepres No. 069 / B / 1994
untuk pembebasan lahan. Kegiatan pembebasan lahan dimulai bulan Januari 1995
dan berakhir pada pertengahan tahun 1996. Pembangunan fisik dimulai sejak
bulan Agustus 1996 dan secara keseluruhan pembangunan KUNAK sapi perah
selesai bulan Desember 1996. Kawasan Usaha Petemakan (KUNAK) Sapi Perah
Kecamatan Cibungbulang diresmikan tanggal 7 Januari 1997 oleh Presiden
Soeharto.
Pada awalnya KUNAK didirikan untuk peternak sapi perah yang merupakan
anggota Koperasi Produksi Susu (KPS) Bogor dengan persyaratan minimal
mempunyai sepuluh ekor sapi laktasi dan berdomisili di Wilayah Bogor, namun
pada perkembangannya sebagaian besar peternak di KUNAK berada di luar
wilayah Bogor seperti Depok, Tangerang dan Jakarta.

4.2. Respon Masyarakat Sekitar Terhadap KUNAK

Masyarakat sekitar KUNAK (non petemak) yang dijadikan responden


dalam penelitian ini adalah masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar KUNAK
yang memanfaatkan air sungai Cigamea untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-
hari. Masyarakat yang diambil adalah sebanyak 20 orang yang bertempat tinggal
sebelum KUNAK dan 20 orang yang bertempat tinggal setelah KUNAK. Hal ini
dilakukan untuk mengetahui bagaimana respon masyarakat terhadap adanya
kawasan usaha peternakan (KUNAK) sapi perah Cibungbulang yang sudah mulai
beroperasi sejak 7 Januari 1997, baik itu masyarakat yang bertempat tinggal
sebelum maupun setelah KUNAK. Karakteristik masyarakat non petemak yang
diwawancarai diperlihatkan pada Tabel 7.
Tabel 7. Karakteristik Masyarakat Non Peternak di Sekitar KUNAK.
Uraian Sebelum Lokasi KUNAK Setelah Lokasi KUNAK
Jumlah O h Jumlah YO
(Orang) (Orang)
1. Umur (tahun)
20 - 30
31 -40
41-50
51-60
> 60
2. Pendidikan
Tidak Sekolah
SD/MI/SR
SMP/MTs
SMA
Sarjana
3. Pekerjaan
Pedagang
Pelani
Buruh
Wiraswasta
PNS
4. Jml Augg. Keluarga
0
1-3
4-6
7-9
> I0

Berdasarkan Tabel 7 karakteristik masyarakat non peternak, baik yang


bermukim sebelum dan sesudah KUNAK tidak jauh berbeda ditinjau berdasarkan
umur, pendidikan, pekerjaan dan jumlah anggota keluarga. Sebagian besar
masyarakat berusia lebih dari 30 tahun. Berpendidikan kebanyakan sampai tamat
SD dan sebagian besar bekerja sebagai non PNS (pedagang, petani, buruh,
wiraswasta)
Kepala keluarga yang berpendidikan SD pada umumnya bekerja sebagai
buruh atau sebagai pedagang makanan, sedangkan yang berpendidikan SMP atau
SMA bekerja sebagai karyawan swasta atau pegawai negeri. Sebagian besar
responden sebagai warga biasa, tetapi ada beberapa orang sebagai tokoh
masyarakat antara lain sebagai ketua RW dan pemimpin informal.
Jumlah anggota rumah tangga pada lokasi sebelum KUNAK sebagian besar
(45%) terdiri dari 1 - 3 orang dan yang mewakili anggota rumah tangga 4 - 6 dan
7 - 9 orang masing-masing sebesar 30% dan .25%, sedangkan pada lokasi setelah
KUNAK diketahui jumlah anggota keluarga responden adalah sebagian besar
(40%) berjumlah 4 - 6 orang dan yang mewakili anggota rumah tangga I - 3
orang dan 7 - 9 orang masing-masing sebesar 35% dan 15%. Disini terlihat masih
banyak penduduk yang mempunyai anak banyak dan masih menganut
kepercayaan bahwa banyak anak banyak rejeki.
Kondisi perumahan responden pada sebelum KUNAK maupun setelah
KUNAK (Tabel 8). Adapun responden yang memiliki rumah sudah bertembok
adalah sebesar 40% pada lokasi sebelum KUNAK dan 45 % pada lokasi setelah
KUNAK. Secara umum masyarakat di sekitar lokasi KUNAK adalah masyarakat
menengah ke bawah.
Suinber air yang digunakan responden non petemak (10 dan 5%) berasal
dari sumur sendiri. Keadaan air sumur relatif jenih dan jumlahnya pun cukup
banyak; rekatif tetap sepanjang tahun; hanya pada musim kemarau agak
berkurang, sehingga hampir tidak pemah mengalami kesulitan.
Sebagian besar responden, menggunakan sungai Cigamea sebagai sumber
air dan sedikit yang menggunakan air ledeng. Sebagian besar responden di luar
KUNAK juga menggunakan sungai Cigamea sebagai tempat mandi, cuci dan
tempat buang air besar, sehingga responden menjadi pelaku dan yang terkena
pencemaran sungai Cigamea. Kejadian penyakit di wilayah penelitian, inengikuti
pola penyakit umum yang ada si wilayah Indonesia, yaitu : influenza, penyakit
perut dan kulit. Penyakit perut dan kulit yang sering dikaitkan dengan pencemaran
air frekuensinya relatif kecil. Namun demikian, ada gejala peningkatan frekuensi
kejadian kedua penyakit ini meningkat setelah KUNAK.
Tabel 8. Kondisi Perurnahan, Penggunaan Sumber Air dan Kesehatan
Masyarakat Non Peternak KUNAK.

Uraian Sebelum Kuuak Setelah Kunak


Jumlah Oh Jumlah O h

(Orang) ora an^)


1. Kondisi Rumah
Tanah 0 0 0 0
Semi Permanen 12 60 11 55
Tembok 8 40 9 45
2. Masa Tinggal
< 3 tahun 3 15 2 10
3 - 10 tahun 15 75 14 70
> I0 tahun 2 10 4 20
3. J a r a k ke Suugai
< I00 6 30 8 40
100 - 275 Il 55 10 50
> 275 3 15 2 10
4. Sumber Air Minum
Sumur Sendiri 2 10 I 5
Sungai 14 70 16 80
Ledeng (KUNAK) 4 20 3 15
5. Mandi dan Cuci
Sumur Sendiri 1 5 1 5
Ixdeng (KUNAK) 2 10 1 5
Sumur Sendiri&Sungai 2 10 2 10
Sungai 15 75 16 80
6. Tempat Kskus
MCK Sendiri 4 20 7 35
Sungai 8 40 8 40
Kolam 8 40 5 25
7. Jenis Penyakit
1. Influenza, batuk, panas 16 80 12 60
2. Perut 2 10 3 15
3. Demam 1 5 2 10
4. Kulit I 5 3 15
5. Pusing 0 0 0 0
Respon masyarakat non peternak terhadap keberadaan KUNAK dipaparkan
pada Tabel 9. Secara umum, respon masyarakat terhadap keberadaan KUNAK
masih positip, walaupun ada perbedaan sikap antara masyarakat di sepanjang
sungai Cigamea yang bermukim sebelum dan sesudah KUNAK. Sedikit saja
(15%) yang merasa adanya gangguan pencemaran oleh adanya KUNAK, lebih
dari 75% masyarakat merasakan kepuasan terhadap lingkungan KUNAK.
Keberadaan KUNAK ditanggapi beragam oleh masyarakat non peternak. Diakui
oleh masyarakat, keberadaan KUNAK memberikan lapangan kerja baru seperti
usaha warung, ojeg dan usaha kios-kios.
Tabel 9. Respon Masyarakat Non Peternak terhadap Keberadaan KUNAK.
Uraian Sehelum Kunak Setelah Kunak
Jumlah O h Jumlah YO
(Orang) (Orang)
1. Merasakan adanya gangguan
pencemaran air
Ya
Tidak
2. Merasakan mendapat manfaat
Mudah membeli susu
Ada kesempatan kerja
3. Kepuasan terhadap lingkungan
Puas
Biasa
Belum puas
4. Kebemdaan Kunak
Setuju
Tidak Setuju
5. Kegiatan Usaha
Wamng
Ojek
Kios-kios
6. Jenis Pekerjaan
Perawat Sapi
Pemeras Susu
Menanam Rumput
Menyabit Rumput
7. Kenvamanan
Nyaman 12 60 16 80
Tidak Nyaman 8 40 4 20
4.2.1. Dampak Terhadap Mobilitas Penduduk

Kehadiran kawasan usaha peternakan sapi perah tidak hanya merubah hutan
menjadi daerah peternakan dan daerah pemukiman baru, tetapi dampaknya
ternyata lebih luas lagi. Hadimya KUNAK selain menumbuhkan kesempatan
kerja baru di sektor peternakan juga mampu menumbuhkan kesempatan ekonomi
baru di bidang perdagangan dan jasa.
Kepadatan pendudukan di Desa Situ Udik dan Desa Pamijahan disebabkan
oleh adanya penduduk pendatang. Tujuan penduduk pendatang ke daerah ini
selain untuk betemak, juga ada yang sekedar melihat-lihat saja serta ada juga yang
bertujuan untuk berwisata sehingga daerah ini selalu didatangi terus, apalagi pada
hari minggu dan hari libur.
Dari hasil wawancara, responden menyatakan bahwa sebagian besar di
KUNAK adalah dari luar kampung yaitu sebesar 90% dari total peternak yang ada
di lokasi KUNAK. Mereka ini ada yang sebagai pemilik sapi, perawat sapi,
pemerah sapi, pembersih kandang. Walaupun sebagian besar pekerja diambil dari
luar kampung, tetapi ada juga yang berasal dari daerah di sekitar kawasan
KUNAK yaitu sebesar 10% dari total peternak yang berada di lokasi KUNAK.
Merekz ini selain sebagai pemilik ternak juga bekerja sebagai petnerah susu,
penyakit rumput dan satpam.

4.2.2. Dampak Terhadap Pemukiman Baru

Adanya kawasan usaha peternakan sapi perah mempunyai pengaruh


terhadap timbulnya pemukiman baru, yaitu adanya bangunan pengkaplingan-
pengkaplingan yang menjadi tempat tinggal peternak.
Disamping itu, dengan adanya kapling-kapling di KUNAK dikhawatirkan
. . interaksi sosial dengan masyarakat lokal (sekitamya)
akan terjadi isolasi, sehingga
kurang terjadi. Hal ini cukup beralasan, karena pada umutnnya jam kerja mereka
cukup penuh sehingga kesempatan untuk berkomunikasi dengan masyarakat
sekitarnya lebih sedikit.
4.2.3. Dampak Terhadap Tataguna Tanah

Areal seluas sekitar 140 hektar yang digunakan untuk pengembangan


KUNAK, asalnya merupakan daerah hutan dan pertanian, sehingga tataguna
tanahnya berubah, baik menjadi bangunan-bangunan perumahan maupun fasilitas
lainnya. Hasil obsewasi lapangan dan hasil wawancara dengan masyarakat serta
pejabat daerah setempat, ternyata adanya KUNAK dapat memberikan pengaruh
terhadap tata guna tanah di daerah tersebut. Seperti diungkapkan Koswara (1986),
bahwa halnpir setiap bidang kegiatan serta kehidupan ada sangkutannya dengan
tanah maupun tataguna tanah. Pembangunan gedung-gedung dan jalan-jalan akan
mendesak tanah pertanian yang subur inenjadi kurang subur.
Dilain pihak, para peternak yang berada di KUNAK ini, membuang
kotorannya langsung ke kebun rumput yang berada di sekitarnya sehingga
kotorannya bisa sebagai pupuk yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman. Ini
sesuai dengan pendapat Koswara (1986) yang menyatakan bahwa ternak selain
penghasil protein bagi manusia, juga kotorannya yang dikembalikan ke dalam
tanah setelah melalui berbagai proses perombakan serta mineralisasi oleh jasad
renik akan merupakan sumber hara yang diperlukan bagi pertumbuhan tanaman.

4.2.4. Dampak Terhadap S r ~ m b ePekerjaan


r Baru

Kegiatan dalam KUNAK lnelibatkan masyarakat yang berada di lokasil di


sekitar kawasan KUNAK. Keterlibatan masyarakat berarti tersedianya
kesempatan kerja. Kesempatan kerja tersebut dapat bersifat langsung dan tidak
langsung. Kesempatan kerja yang bersifat langsung melibatkan masyarakat yang
bekerja sepanjang tahun dalam kegiatan KUNAK, dan merupakan pekerjaan
pokok mereka. Sedangkan kesempatan kej a yang tidak langsung dalam kegiatan
KUNAK ini melibatkan orang-orang yang membutuhkan saran4 prasarana,
fasilitas dan lain-lain untuk kesejahteraan hidupnya.
Dampak terhadap kegiatan perekonornian lokal umumnya hanya dibatasi
pada hal-ha1 yang menyangkut tentang sektor perdagangan dan jasa sefi? industri
basis lainnya. Pembelian input produksi dan aneka bahan baku dari perusahaan-
perusahaan lokal setempat, serta adanya pengeluaran konsumsi dari para pekerja
proyek umumnya mendorong tumbuhnya kegiatan bisnis dan peluang kerja di
sektor perdagangan dan jasa setempat (Adiwibowo, 1988). Pada hasil penelitian
ini ternyata adanya KUNAK menyebabkan timbulnya perekonomian-
perekonomian baru di bidang perdagangan dan jasa seperti timbulnya warung-
warung kebutuhan sehari-hari, kios dan ojek.
Ternyata sebesar 100% responden menyatakan bahwa dengan adanya
KUNAK menyebabkan timbulnya ojek dan warung kebutuhan sehari-hari ,
sedang 72% responden masyarakat yang berjarak kurang dari 500 m dan 40%
responden masyarakat yang berjarak lebih dari 500 m menyebabkan timbulnya
kios-kios. Dengan demikian adanya KUNAK mampu memberikan sumber
pekerjaan baru kepada masyarakat sekitar. Penyerapan tenaga kerja yang
diakibatkan oleh adanya KUNAK secara langsung yailu sebagai penyabit rumput
(40%), perawat sapi (26.67%), pemeras susu (26.67%), dan penanam rumput
(6.67). Ini menunjukkan bahwa masyarakat lokal yang bekerja di KUNAK hanya
sebagai buruh kasar saja. Ini disebabkan karena yang bekerja di KUNAK
merupakan orang bawaan pemilik ternak tersebut yang berasal dari luar lokasi
KUNAK. Jumlah masyarakat lokal yang bekerja di KUNAK kurang dari 10
orang, dan keadaan ekonorninya tidak berubah, masih tetap seperti sebelumnya.

4.3. Karaktertistik Peternak

Karakteristik peternak sapi perah di KUNAK Cibungbulang dalam


penelitian ini meliputi : (1) umur, (2) pendidikan, (3) mata pencaharian dan (4)
pengalaman peternak (Tabel 10)
Hampir 50% petemak berumur 35-45 tahun, 30% berumur antara 46-55
tahun, sebanyak kurang lebih 3% berumur lebih dari 55 tahun, sedangkan yang
berumur kuarang dari 35 tahun (peternak muda) hanya sekitar 17%.
Tingkat pendidikan petemak di lokasi peternakan tergolong sedang.
Diketahui bahwa secara keseluruhan pendidikan petemak di KUNAK baru
berpendidikan tamatan dari tingkat SLTP/sederajatnya yaitu 50%. Pendidikan
yang lebih tinggi hanya sebagian kecil dan itupun terlihat pada peternak yang
memiliki skala usaha yang lebih tinggi (pemilikan lebih dari 10 ekor).
Tabel 10. Karakteristik Peternak di KUNAK
Uraian Skala I Skala I1 Skala IIi Keseluruhan
Jumlah % Jumlah % Jumlah Oh jurnlah %
I. Umur
< 35 th 1 25 1 17 0 0 2 17
36-45th 2 50 3 50 1 50 6 50
46 - 55 th 1 25 2 33 1 50 4 33
> 55 th 0 0 0 0 0 0 0 0
2. Pendidikan
Tamat SDISederajat 1 25 2 33 0 0 3 25
Tamat SLTPlSederajat 2 50 3 50 1 50 6 50
Tamat SLTNSederajat 1 25 1 17 1 50 3 25
Tamat Perguruan Tinggi 0 0 0 0 0 0 0 0
3. Mata Pencaharian
Peternak Sapi Perah 4 100 5 83 2 100 11 92
Pegawai Swasta 0 0 1 17 0 0 1 8
Pegawai
NegeriIABRIlPensiunan 0 0 0 0 0 0 0 0
4. Pengalaman Beternak
< 5 th 1 25 1 17 0 0 2 17
5-10 th 3 75 4 67 2 1 9 75

>loth 0 0 1 17 0 0 1 8

Usaba ternak sapi perah secara umum menempati posisi sebagai pekerjaan
utamalpekerjaan pokok, hasil pengamatan secara keseluruban diketabui bahwa
lebih dari 90% responden menyatakan bahwa pekerjaan beternak merupakan
pekerjaan utamanya. Hanya sebagian kecil (8%) peternak memiliki pekerjaan
lainnya dalam bidang swash.
Secara umum tingkat pengalaman beternak usaba ternak sapi perah pada
KUNAK relatif lama. Dari Tabel 10 diketahui bahwa, secara keseluruhan sebesar
75% responden berpengalarnan beternak antara 5 - 10 tahun, sedangkan sebesar
17% dan 8% baru berpengalaman < 5 tahun dan > 10 tahun.
Dalam perencanaan, KUNAK dibangun untuk anggota KPS Bogor dengan
persyaratan mempunyai sapi laktasi minimal 10 ekor. Dengan demikian anggota
KUNAK sudah mempunyai pengalaman beternak sapi perah, tetapi karena adanya
berbagai kendala, maka sebagian besar anggota KUNAK menjual kapling mereka
kepada orang-orang yang umumnya peternak baru yang sebelumnya beium pernah
betemak sapi perah dan mereka berasal dari luar Bogor seperti Jakarta, Depok dan
Bekasi, tetapi untuk yang merawatnya merupakan orang-orang lama yang sudab
bekerja di kapling-kapling tersebut
4.4. Pengelolaan Usaha Teruak Sapi Perah

4.4.1. Struktur Populasi

Pada umumnya sapi induk yang dipelihara adalah bangsa Fries Ifollund dan
keturunannya, dengan kisaran bobot badan 350-450 kg. Jumlah temak yang
dimiliki peternak adalah antara 1- 18 ekor per petemak (Tabel I I)
Tabel 1 1. Struktur Pemilikan Sapi Peternak KUNAK.
Uraian Skala l(1-5) Skala ll (6-10) Skala 111 (>lo) Keseluruhan
Ekor % Ekor % Ekor % Ekor %
1.Laktasi
Jumlahseluruhnya 15 41.63 39 41.99 27 21.78 81 32.12
Rataan IPeternak 3.8 6.5 13.5 23.8
2.Kering
Jumlah seluruhnya 1 3.27 11 11.76 23 18.74 35 13.97
Rataan I Peternak 0.3 1.8 11.5 13.6
Jantan Dewasa
Jurnlah seluruhnya 1 3.27 3 3.36 3 2.81 8 3.02
Rataan IPeternak 0.3 0.5 1.5 2.3
3.Dara
Jumlahseluruhnya 9 26.12 19 20.16 33 26.93 61 24..28
Rataan I Peternak 2.3 3.2 16.5 21.9
4.Pedet
Jumlahseluruhnya 9 25.21 22 23.18 37 29.98 67 26.67
Rataan I Peternak 2.3 3.7 18.5 24.4
Rataan IPeternak 8.8 15.7 61.5 86.0

Slrukur Populasi ternak diperlihatkan dalam Tabel 12. Ditinjau dari struktur
populasi terlihat ke~nampuan manajemen peternak masih kurang memadai.
Seyogyanya persentase sapi laktasi lebih dari 60%. Rendahnya persentase sapi
laktasi diduga karena manajemen pemeliharaan dan tatalaksana usahatemak yang
kurang baik. Hasil pengamatan di lapang menunjukkan bahwa penanganan
usahaternak tidak dilakukan langsung oleh peternak tetapi diserahkan sepenuhnya
kepada pekerja kandang, sehingga diduga tatalaksana usaha ternak yang dilakukan
pekerja kandang kurang baik, karena tingkat pengelolaan dan pengetahuan dalam
pemeliharaan sapi perah masih terbatas. Melihat persentase pemilikan sapi laktasi
maka kondisi di daerah penelitian masih kurang menguntungkan, sehingga perlu
adanya peningkatan persentase sapi laktasi melalui perbaikan tatalaksana
usahaternak sapi perah seperti ulnur beranak pertama, selang beranak, lama lalrtasi
dan niasa kering.
Tabel 12.. Struktur Populasi Sapi di KUNAK (2005)

2 Jantan Muda 1100


3 Jantan Dewasa 1,29
4 Betina Anak 6,87
5 Betina Muda 9,56
6 Betina Dewasa Laktasi 4535
7 Betina Dewasa Kering 12,44
8 Betina Dewasa Bunting 17,92

4.4.2. Tenaga Kerja dan Alokasi Waktu Kerja

Secara umum peternak sapi perah KUNAK Cibungbulang menggunakan


pekerja luar keluarga untuk mengelola usahaternaknya. Segala kegiatan yang
menyangkut usahaternak sapi perah diserahkan kepada pekerja kandang,
sedangkan peternak datang hanya satu kali dalam seminggu atau pada hari libur
untuk mengawasi dan melihat perkembangan usahatemak mereka.
Hasil pengamatan di lapang menunjukkan bahwa jenis kegiatan yang
dilakukan oleh pekerja dalam mengelola usaha ternak sapi perah adalah:
membersihkan kandang, memandikan sapi, memberi makan, memberi minum,
memerab, menyetor susu serta mencari dan memotong rumput. Kegiatan yang
menyita waktu paling banyak adalah mencari dan memotong rumput, ha1 ini
disebabkan karena rumput yang tersedia di sekitar kavling tidak mencukupi,
sehingga mereka harus mencari di luar KUNAK. Penggunaan jumlah waktu yang
diperlukan tenaga kerja dalam melakukan kegiatan usaha ternak sapi perah setiap
harinya pada Tabel 13.
Tabel 13. Jumlah Waktu dalam Kegiatan Usaha Temak Sapi Perah pada KUNAK
Cibungbulang
No Jenis Kegiatan Skala Skala Skala Keseluruhan
I I1 111
............................. Jam Pria per Hari .............................
1 Membersihkan Kandang 2.0 3.0 3.0 2.7
dan
Memandikan Sapi
2 Memerah 1 .O 2.0 2.5 1.8
3 Memberi Makan 1.0 1.0 I .O I .O
4 Memberi Minum 1.O 1 .O 1 .O 1 .O
5 Menyetor Susu 0.5 0.5 0.5 0.5
6 Mencari dan Memotonn- 3.0 3.5 3.5 3.3
Rum put
Jumlah 8.5 11.0 11.5 10.3

Dari Tabel 13 juga diketahui, bahwa secara keseluruhan kegiatan rnencari


dan memotong rumput memerlukan waktu yang paling lama yaitu antara 3-3.3
jam per hari, disusul dengan waktu untuk membersihkan kandang dan
memandikan sapi sela~na2-3 jam dan me~nerahsusu selama 1-2 jam per harinya
untuk dua kali pengambilanlpemerasan susu sapi yaitu waktu pagi dan sore liari.

4.4.3. Pemberian Pakan Ternak

Pakan ternak yang diberikan terdiri dari konsentrat pakar~limbah illdustri


pangan (ampas taliu) dan hijauan. Secara umum peternak responden meniperoleh
konsentrat dari KPS Bogor, yang disalurkan ke kapling masing-masing dan
pembayarannya akan dipotong langsung dari penerirnaan (hasil peiijualan susu)
setiap bulannya.
Hasil pengamatan pada daerah penelitian pemberian konsentrat tergantung
jumlah produksi yang dihasilkan, semakin besar tingjkat produksi susu yang
dihasilkan maka petemak akan meningkatkan pemberian konsentrat. Hasil
pengamatan dilapangan menunjukkan bahwa rasio pemberian koiisentrat dengan
tingkat produksi susu adalali 1: 2, artinya jika sapi laktasi menghasilkan susu 2
liter akan diberi konsentrat 1 kg.
Hijauanlrumput diperoleh dari lahan yang sudah tersedia pada setiap kapling
hijauanlrumput yang ditanami sekitar kapling sudah mencukupi, kliususnya bagi
petemak yang memiliki sapi di bawah 3-5 ekor. Bila kepemilikan sapi lebih
banyak, maka jumlah hijauanlrumput yang ditanami sekitar kapling tidak
rnencukupi sehingga peternak harus mencari dari luar KUNAK. Pencarian
hijauanlrumput dilakukan secara kolektif, yaitu peternak bersama-sama mencari
rumput dengan angkutan yang sama dan mereka hanya membayar uang
transportasi saja. Jenis rumput yang diberikan adalah rumput gajah atau
Pennisetium pirrpureum dan rumput lapangan lainnya.. Selain itu sebagian
peternak memberikan lirnbah pertanian berupa daun jagung, daun wortel, daun kol
yang diperoleh dari pasar iradisionai.
Pemberian hijauan dilakukan dengan sistem cut and carry. Rataan hijauan
yang diberikan setiap hari berkisar 30-40 kg ekorihari. Selain pakan, ha1 penting
yang dilakukan peternak setiap hari adalah pemberian minum yang diberikan
setiap saat sehingga ternak sapi perah dapat minum sepuasnya. Peternak
memperoleh air dari sumber mata air Cigamea yang pembayaran sesuai dengan
jumlah ternak yang dimiliki. Sistem pembayaran yang ditetapkan sesuai dengan
jumlah ternak, yaitu peternak yang memiliki sapi 5 10 ekor dari 10 ekor peternak
membayar Rp 10.000 - 12.500 per bulan, sedangkan yang lebih dari 10 ekor
peternak membayar Rp 12.500 - 25.000 per bulan. Peternak memperoleh air
secara bergiliran agar jumlahnya tercukupi. Hasil pengamatan di lapangan
rnenunjukkan bahwa, kebutuhan air dalam usaha ternak sapi perah KUNAK
Kecamatan Cibungbulang sudah tercukupi.

4.4.4. Produktivitas Ternak

Produk utama usaha ternak sapi perah adalah susu. Harga susu yang
diberikan KPS Bogor kepada peternak sesuai dengan kualitas susu. Dari hasil
pengamatan rataan harga susu yang diberikan KPS adalah Rp 1.300 sampai Rp
1.800, adanya perbedaan harga ini karena harga susu ditentukan oleh kualitas susu
yang dinilai dari kadar lemak (fat), dan bahan kering tanpa lemak (SNF). Harga
susu pagi hari lebih rendah dari sore hari, karena kadar lemak untuk sore hari
lebih besar dibandingkan dengan pagi. Petemak yang menjual susu keluar KPS
Bogor akan memperoleh harga Rp 2000 sampai Rp 2.500. Rataan produksi susu
pada KUNAK Cibungbulang secara keseluruhan per bulan adalah 1850
literibulan.
Rataan produktivitas secara keseluruhan adalah 9 llekorkari. Terdapat
kecenderungan bahwa semakin besar skala usaha semakin tinggi produktivitas
sapi laktasi yang dipelihara peternak.

4.4.5. Reproduksi dan Pengobatan.

Penanganan dan pelayanan kesehatan ternak diperoleh peternak dari KPS


Bogor. Hasil pengamatan menunjukkan tiap lokasi (lokasi I dan 11) ditangani
masing-masing oleh satu orang medis. Untuk mempermudah pekerjaan paramedis
yang harus menangani setiap kapling, di beberapa' tempat diletakkan kotak untuk
menampung pengaduan peternak apabila sapinya sakit ataupun estrus. Untuk
keseluruhan wilayah KUNAK , terdapat 16 kotak pengaduan. Paramedis yang
bertugas akan keliling dua kali sehari yaitu pagi sekitar jam 10.00 WIB dan sore
sekitar jam 14.00 WIB, untuk memeriksa kotak pengaduan sekaligus memeriksa
keadaan kesehatan ternak.
Penyakit yang sering menyerang sapi perah pada KUNAK adalah
Blucellosis (keguguran), mastitis, dan kembung. Brucellosis merupakan penyakit
yang menular dan merugikan secara ekonomi, sehingga ternak sapi perah yang
terjangkit penyakit ini dianjurkan untuk dipotong. Penanganan penyakit dan
pembelian obat-obatan diperoleh peternak dari KPS. Pembayaran dilakukan
dengan memotong dari jumlah produksi susu setiap bulan. Pernotongan dilakukan
sesuai dengan pelayanan yang diberikan dan obat-obatan yang digunakan peternak
setiap bulan.
Selain penanganan kesehatan, para medis juga berperan dalam
mengawinkan sapi dengan sistem inseminasi buatan. Paramedis
bertanggungjawab sepenuhnya dalam melakukan inseminasi buatan pada sapi
perah. Hasil pengamatan menunjukkan secara keseluruhan peternak menggunakan
inseminasi buatan untuk mengawinkan sapi perah, sehingga sapi pejantan tidak
digunakan oleh peternak.
4.4.6. Perkandangan

Kandang merupakan tempat bernaung ternak, sehingga harus dijaga


kebersihan dan kenyamanannya. Sistem perkandangan usaha ternak sapi perah
pada KUNAK Cibungbulang relatif seragam, antara kandang dan rumah tempat
tinggal pemelihara terpisah. Kandang terbuat dari lantai semen dan atap asbes
dengan dinding dan tembok. Masing-masing kandang dilengkapi dengan tempat
makan dan tempat minum yang terpisah dan setiap kandang memiliki saluran
tempat pembuangan kotoran. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa
secara umum kebersihan kandang cukup baik. Kandang dibersihkan dua kali
sehari yaitu pagi jam 05.00 WIB dan sore jam 14.00 WIB sebelum pemerahan
dilakukan.

4.5. Manajemen Limbah Ternak

Limbah temak adalah sisa buangan dari suatu kegiatan usaha peternakan seperti
usaha pemeliharaan temak, rumah potong hewan, pengolahan produk ternak, dll.
Limbah tersebut meliputi limbah padat dan limbah cair seperti feces, urine, sisa
makanan, embrio, kulit telur, lemak, darah, bulu, kuku, tulang, tanduk, isi rumen,
dl1 (Sihombing, 2000). Produksi limbah yang berupa feces, urin dan sisa pakan
dari jumlah populasi sapi perah yang berada di KUNAK sebanyak 1650 ekor
dapat menghasilkan limbah feces lebih kurang 16500 kg per hari, sebagian besar
atau 90,s % limbah tersebut dijadikan sebagai pemupukan mmput yang berada
disekitar kandang.
Pada mulanya hanya sebagian kecil saja (seorang peternak) yang
mempunyai instalasi gasbio yaitu pada kapling no 113. Pada awalnya, instalasi
gasbio ini merupakan percontohan dengan harapan dapat direplikasi pada
beberapa kapling laimya. Namun setelah berjalan, tidak ada penambahan instalasi
gasbio yang dibangun peternak, Manfaat langsung gasbio tersebut belum dapat
dirasakan. Selain itu, biaya investasi masih dipandang mahal. Pada tahun 2005,
kebutuhan adanya pengolahan limbah dalam bentuk gasbio mulai dirasakan
kembali dan saat ini sudah dibangun instalasi gasbio di 10 kapling sebagai
percontohan instalasi yang murah (menggunakan plastik sebagai tempat
fermentasi) seperti terlihat pada Gambar 3.
Gambar 3. lnstalasi Gasbio
Sebagian kecil yang mengolah limbah ternak (feces dan sisa pakan) menjadi
kompos. Penggunaan limbah temak sebagai pupuk langsung, tanpa melalui proses
pengkomposan terlebih dahulu akan mengakibatkan lambatnya daur ulang
(recycling) unsur hara dan akan mengakibatkan banyak bahan organik yang
relatip sulit dirombak akan tertinggal di kebun rumput atau akan terbawa hanyut
ke badan sungai.
Mengingat sebagian besar peternak memiliki kebun rumput, maka semua jenis
limbah tersebut dikembalikan ke kebun rumput. Sebagian besar peternak
menyadari, bahwa pengembalian limbah ternak ke kebun rumput merupakan
tindakan yang tepat, sebagai upaya pemupukan. Sebagian besar peternak,
menyadari pengembalian limbah ternak ke kebun rumput akan mampu menekan
penggunaan pupuk N (urea).
Keberhasilan penangann limbah ternak sangat tergantung pada
penanganan feses. urin dan sisa pakan. Kondisi penanganan limbah di KUNAK
diperlihatkan dalam Tabel 14.
Tabel 14 .Penanganan Limbah Temak di KUNAK Sapi Perah Cibungbulang

Perlakuanlpenanganan limbah Temak Jumlah %


Peternak
(kavling)
Dibuang langsung ke sungai lewat selokan pembuangan 0 0
Disalurkan langsung ke kebun mmput 138 90.8
Sebagian digunakan untuk kolam ikan (lele) dan selebihnya 1 0.65
disalurkan ke kebun rumput
Dikumpulkan terlebih dahulu, selanjutnya disalurkan ke 0 0
kebun iumput
Feses dan Sisa pakan dikeringkan dan digunakan kembali 0 0
Dikumpulkan lalu dikomposkan, setelah itu digunakan untuk 1 0,65
pemupukan di kebun rumput (didaur ulang)
Dikumpulkan, laiu dikomposkan, selanjutnya dijual sebagai 1 0,65
pupuk organik
Disalurkan ke instalasi gasbio
Digunakan sebagai pupuk pada pola pertanaman 0 0
campuranlmixed farming
Total Peternak (kavlind aaktif 152 100

Gambar 4. Penyaluran Limbah Sapi Perah : A= Saluran pembuangan kotoran


sapi ke kebun mmput, B= Pemanfaatan kembali limbah ternak untuk
pemupukan rumput.
Penggunaan limbah ternak sebagai pupuk organik, tanpa melalui proses
pengkomposan akan mengakibatkan lambatnya recycling unsur hara, dan akan
mengakibatkan banyak bahan organik yang relatip sulit dirombak akan tertinggal
di kebun rumput atau akan terbawa hanyut ke badan sungai.
Mengingat topografi lahan juga beragam (ada yang datar dan yang curam)
maka efektifitas pengembalian limbah ternak ke kebun juga beragam. Seberapa
jauh limbah ternak dapat mencapai badan sungai akan sangat ditentukan oleh
topografi, jarak< antar kapling. Gambargn sebaran kapling berkaitan dengan
jaraknya dengan badan sungai diperlihatkan dalam Gambar 5.

Gambar 5. Denah Lokasi KUNAK Cibungbulang, Bogor


4.6. Keadaan Kualitas Air Sungai Ci,uamea

Pemanfaatan sumberdaya air, baik untuk keperluan industri, pertanian


termasuk untuk peternakan maupun untuk keperluan manusia perlu terlebih
dahulu ditentukan status kualitas air ( baku mutu air). Adapun perubahan
karakleristik fisik, biologi dan kimia suatu perairan misalnya adalah akibat
perubahan pemanfaatan lahan di suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) yaitu meliputi
karakteristik perairan seperti seditnen, unsur hara, pestisida, logam berat, unsur
- %

kimia dan bahan radiasi lainnya yang kemungkinan berasal dari pemanfaatan
lahan pertanian termasuk peternakan atau kehutanan ( non point sources of
pollution).
Pengukuran Kualitas Air sungai di daerah peneiitian dibagi menjadi 2(dua)
stasiun yaitu Sebelum KUNAK dan Sesudah KUNAK. Pengambilan sampel
dilakukan pada Bulan Agustus selama 3 (tiga) hari berturut-turut.
Faktor fisik yang diamati yaitu meliputi suhu, kekeruhan, padatan
tersuspensi dan kelembaban. Suhu mempakan salah satu indikator penting dala~n
menentukan kualitas perairan karena mempunyai hubungan dengan kualitas
perairan lainnya seperti oksigen terlarut, kecepatan reaksi kimia, kehidupan
makhluk hidup lainnya di perairan (Ardiaz, 1992). Hasil analisis suhu perairan
menunjukkan bahwa kisaran yang relatif sama yaitu 25 O C.
Kekeruhan perairan berkisar 3,29-3,70 NTU. Turbiditi perairan umumnya
dipengaruhi oleh padatan tersuspensi yang terkandung di dalamnya. Semakin
tinggi kekeruhannya semakin tinggi padatan tersuspensinya. Padatan tersuspensi
mempengaruhi kekeruhan dan kecerahan air, sehingga menghambat proses
fotosintesis, karena terhambatnya transfer cahaya di dalam perairan (Wardoyo,
1992). Penentuan padatan tersusfensi sangat berguna dalam analisis pengairan
tercemar dan dapat digunakan untuk mengevaluasi kekuatan air buangan domestik
serta menentukan efisiensi pengolahan limbah (Saeni, 1989).
Rataan padatan tersuspensi berkisar 6,67-11,6 mgll. Hasil analisis ini
berdasarkan PP 82 tahun 2001 masih di bawah baku mutu yaitu 50. Padatan
tersuspensi air sebelum KUNAK 6,67mg/l sementara air setelah KUNAK
11,6mg/l Meskipun nilai ini masih dibawah baku mutu PP 82 tahun 2001 dapat
dilihat bahwa jumlah padatan tersuspensi air sesudah KUNAK lebih tinggi
dibandingkan air sebelum KUNAK. Kondisi ini kemungkinan disebabkan padatan
tersuspensi dalam limbah yang terbuang. Padatan tersuspensi perairan pada
umumnya terdiri dari plankton, kotoran hewan, lumpur, sisa tanaman dan hewan
serta limbah industri
Hasil pengamatan dan pengukuran di lapangan terhadap kualitas perairan
di 2 (dua) stasiun di daerah penelitian dapat dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15. Analisis Kualitas Air Pada Stasiun Pengamatan di Sungai Cigamea
Berdasarkan Paramater Fisika, Kimia dan Biologi.

.. ...
Suhu ("c) 24 25 25 25 24 25 25
01-1 6 7 7 6.6 6 7 7 6.6
Kelernbaban 95 95 95 95 96 96 97 96,3
Kekcruhan (NTU) 3,72 5,l 2,32 3,71 4.16 4,Ol 1,71 3,29
Oksigcn terlarut (DO)(rng/l) 7,29 7,15 7,20 7,21 7,18 7,05 7.22 7,15
Padatan Tersuspensi (rng/l) 7 7 6 6,67 13 12 10 11,6
Arnoniak (mg/l) 0,10 0,04 0,06 0,06 0.02 0.04 0,06 0,04
BODS(mdl) 5,68 3,38 2,58 3,88 5,58 3,58 2,93 4,01
COD (mg/l) 8,90 12,l 6,36 9,12 8,47 - 8,9 8,7
E. Colli (APW100 ml) - 1600 1600 1600 1600 1600 1600 1600
Strmber. :Laboratorium Analisis Indtufri Azro.
k
DEPPERIN
Ket :1,11,111;Hari pefngantbilansanfpel

Peubah kilniawi perairan yang diukur adalah pH, BOD, DO, COD dan
amoniak. Pengukuran pH adalah uji parameter yang sangat penting dan praktis,
karena banyak reaksi kimia dan biokima yang penting terjadi pada tingkat pH
tertentu. Pada pH tinggi, air kemungkinan mengandung sejumlah karbonat dan
basa hidroksil ( Henry dan Neinke, 1989). Hasil penelitian menunjukkan pH rata-
rata adalah 6,6. Nilai pH tersebut tergolong normal karena berada dalam ambang
batas baku mutu air berdasarkan PP 82 tahun 2001. Hal ini sejalan dengan Saeni
(1989), bahwa nilai pH air yang normal adalah berkisar antara 5,O-9,O dan
tergolong netral dan pH air tercemar mengalami perubahan, tergantung bahan
pencemarnya,
Nilai pH yang masih dalam keadaaan normal membuktikan bahwa limbah
peternakan belum ~nembahayakan sehingga perairan ini masih layak untuk
dijadikan keperluan rumah tangga, pertanian dan perikanan. pH suatu perairan
mencirikan keseimbangan antara asam dan basa, dan nilai ini merupakan
pengukuran konsentrasi ion hidrogen dalam air.
Oksigen adalah gas yang tidak benvarna, tidak berbau, tak berasa dan
hanya sedikit larut dalam air ( Satrawijaya, 1991). Semua makhluk yang hidup di
air sangat tergantung pada oksigen terlarut (DO), karena sangat esensial bagi
pernapasan. Disamping itu DO merupakan salah satu komponen utama bagi
metabolisme ikan dan organisme perairan lainnya, sehingga konsentrasi DO dapat
digunakan sebagai indikator mutu air. Hasil penelitian menunjukkan nilai oksigen
terlarut (DO) rata - rata 7,15-7,20 mg/l. Hasil analisis ini telah melampaui baku
mutu lingkungan, yaitu sebesar 6 mg/l berdasarkan PP 82 tahun 2001. Hal ini
kemungkinan terjadi karena adanya aktifitas pembuangan limbah dan
kemungkinan berasal dari proses fotosintesis dalaln perairan dan masuknya
oksigen dari udara karena pembahan tekanan parsial gas di udara maupun di air.
Sejalan dengan pemyataan Fardiaz (1991) dan Haryadi (1995), bahwa DO dalam
air herasai dari hasil fotosintesis tumbuhan air dan difusi dari udara serta riak air
yang menyebabkan aerasi.
Biological Oxygen Denland (BOD) adalah kebutuhan oksigen untuk
proses dekomposisi bahan organik oleh mikroba. Dalam perairan proses
dekomposisi tersebut tidak sekaligus terjadi, tetapi secara bertahap, tergantung
pada jumlah bahan organik yang ada (Haryadi, 1991). BOD juga menggambarkan
jumlah bahan organik di perairan yang mudah teruraikan (biodegradable organic
muter).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai BOD pada masing - masing
stasiun adalah 3,88 dan 4,01 mg/l. Berdasarkan PP NO 82 Tahun 2001 nilai ini
diatas baku mutu untuk kelas I dan I1 tetapi untuk Kelas I11 dan IV masih dibawah
baku mutu. Hal tersebut menunjukkan bahwa kemungkinan pembuangan limbah
petemakan meningkatkan BOD perairan. Kondisi ini kemungkinan karena
tingginya kebutuhan oksigen oleh mikroorganisme aerob untuk mengoksidasi
bahan-bahan organik dalam air yang berasal dari limbah peternakan. Hal tersebut
sejalan dengan Fardiaz (1991), bahwa angka BOD adalah jumlah oksigen yang
dibutuhkan oleh mikroorganisme aerob untuk menguraikan hampir semua
senyawa organik terlarut dan sebagian yang tersuspensi, sintesis sel dan oksidasi
sel melalui beberapa reaksi biokimia.
Sastrawijaya (1991) menyatakan bahwa yang terkait dengan nilai BOD
adalah nilai Chemical Oxigen Demand (COD). Nilai COD merupakan ukuran bagi
pencemaran air oleh senyawa organik yang secara alamiah dapat dioksidasikan
melalui proses kimiawi, sehingga berkurangnya DO dalam air (Alaerts dan
Santika, 1987). Untuk mengetahui jumlah bahan organik dala~n air dapat
dilakukan melalui uji COD, yang merupakan suatu uji untuk menentukan jumlah
oksigen yang dibutuhkan oleh suatu bahan oksidan seperti kalium dikhromat
untuk mengoksidasikan bahan organik dalam air.
Hasil penelitian lnenunjukkan pada air sebelum KUNAK (ST 1) nilai COD
9, 12 mgll sementara nilai COD setelah KUNAK (ST 11) yaitu 8,7. Nilai COD
pada ST 1 masih dibawah baku tnutu berdasarkan PP 82 tahun 2001. Nilai COD
pada S T I1 masih dibawah baku mutu air Kelas I,II, 111 dan IV berdasarkan PP
tahun 82 Tahun 2001. Pada Stasiun I dapat dilihat bahwa COD perairan lebih
tinggi dari stasiun 11. Hal tersebut kemungkinan karena meningkatnya jumlah
bahan organik perairan sebagai akibat pembuangan limbah rumah tangga.
Menurut Hatyadi (1995), bahwa peningkatan nilai COD suatu perairan sejalan
dengan peningkatan jumlah bahan organik di perairan tersebut, karena COD
metnberikan gambaran jumlah total bahan organik yang ada, baik yang mudah
maupun yang sulit terurai (lion biodegaradable).
Unsur Nitrogen lnerupakan salah satu unsur yang sangat dibutuhkan bagi
organistne air namuu dalam jumlah yang kecil. Di dalam perairan, nitrogen
dijumpai dalam bentuk senyawa tereduksi yaitu amonia, nitrit dan nitrat. Amonia
di julnpai dalam air dalam bentuk senyawa NH3 dan NH4. Amonia dalam perairan
berjumlah besar dapat mengakibatkan kematian organisme perairan dalam jumlah
besar sehingga senyawa ini merupakan racun bagi organisme perairan. Hasil
pengukuran konsentrasi amonia berkisar antara 0,06 - 0,04. Nilai ini masih berada
dibawah ambang baku mutu lingkungan Berdasarkan PP No. 82 Tahun 2001 yaitu
0,5.
Bakteri patogen yang ada dalain air jumlahnya sangat banyak dengan
konsentrasi yang rendah, sehingga sulit untuk dideteksi. Kesulitan tersebut diatasi
dengan menggunakan mikroorganisme indikator colifortn. Hasil penelitian
nienunjukkan total nilai colifornz 1600jm1/100ml. Berdasarkan PP 82 tahun 2001
Penanganali limbah ternak akan spesifik pada jenislspesies, jumlah
ternak, tatalaksana pemeliharaan, areal tanah yang tersedia untuk penanganan
limbah dan target penggunaan limbah. Penanganan limbah padat dapat diolah
menjadi kompos, yaitu dengan menyimpan atau menumpuknya, kemudian
diaduk-aduk atau dibalik-balik. Perlakuan pembalikan ini akan mempercepat
proses pematangan serta dapat meningkatkan kualitas kompos yang dihasilkan.
Setelah itu dilakukan pengeringan untuk beberapa waktu sampai kira-kira terlihat
kering.
Penanganan limbah cair dapat diolah secara fisik, kimia dan biologi.
Pengolahan secara fisik disebul juga pengolahan primer. Proses ini merupakan
proses terinurah dan tennudah, karena tidak memerlukan biaya operasi yang
tinggi. Metode ini hanya digunakan untuk memisahkan partikel-parlikel padat di
dalam limbah. Beberapa kegiatan yang tennasuk dalam pengolahan secara fisik
antara lain : floatasi, sedimentasi, dan filtrasi.
Pengolahan secara kimia disebut juga pengolahan sekunder (secondary
trealmenl) pang bisanya relatif lebih inahal dibandingkan dengan proses
pengolahan secara fisik. Metode ini umumnya digunakan untuk mengendapkan
bahan-bahan berbahaya yang terlarut dalaln limbah cair menjadi padat.
Pengolahan dengan cara ini meliputi proses-proses netralisasi, flokulasi,
koagulasi, dan ekstrasi.
Pengolahan secara biologi merupakan tahap akhir dari pengolahan
sekunder bahan-bahan organik yang terkandung di dalam limbah cair. Limbah
yang hanya meiigandung bahan organik saja dan tidak mengandung bahan kimia
yang berbahaya, dapat langsung digunakan atau didahului denghan pengolahan
secara fisik (Sugiharto, 1987).
Beberapa alternatif dan pengolahan limbah ternak di KUNAK yar.g
kiranya berpeluang mengurangi pencemaran air Sungai Cigamea, serta
bermanfaat secara berkelanjutan bagi usaha peternakan di daerah itu adalah
sebagi berikut.
4.7.1. Pemanfaatau Limbah Ternak Sebagai Pupuk Orgauik

Di Kunak Cibungbulang hampir seluruh petemak memanfaatkan limbah


temaknya sebagai pupuk organic. Kegiatan ini perlu diintensipkan. Tatacara
pemanfaatan limbah perlu diperbaiki, mengingat saat ini, ada kecenderungan
meningkatnyua nilai BOD, COD dan suspensi padatan air sungai Cigamea
setelah melintasi Kunak. Sebelum Kunak nilai BOD adalah 3.88% dan setelah
Kunak menjadi4.01% atau meningkat 5.73%. Demikian pula untuk COD dan
suspensi padatan meningkat drastic setelah Kunak, masing-masing 9.12% dan
96.1% meningkat 957% (hampir 10 kali lipat) Prosentase peningkatan nilai
COD lebih tinggi dari BOD, mengindikasikan proporsi bahan organic yang sulit
didekomposisisi mendominasi limbah organik yang sampai ke badan sungai.
Dekomposisi awal limbah sebelum mencapai sungai, akan dapat membantu
mengurangi pencemaran sungai Cigamea. Dekomposisi awal tersebut dapat
dilakukan dengan cara : (I). Memproduksi kompos, (2).
Mengumpulkadmenumpuk limbah beberapa hari sebelum dialirkan ke kebun
rumput. .Di negara China pembuangan litnbah petemakan disatukan
penampungannya dengan lirnbah manusia, untuk kemudian dijadikan pupuk
organik tanaman hortikultura. Selain itu ada juga yang mencampumya dengan
lumpur selokan, untuk kemudian digunakan sebagai pupuk. Sebanyak 8-1 0 kg
tinja yang dihasilkan oleh seekor sapi per hari dapat menghasilkan pupuk organik
atau kompos 4-5 kg per hari (Haryanto, 2000 )

4.7.2. Penggunaan Limbah Ternak Sebagai Media Tumbuh Cacing Tanah

Penggunaan limbah ternak sebagai bahan media produksi cacing di


KUNAK belum dilakukan. Sampai saat ini baru pada tingkat demonstrasi plot,
yang dilakukan oleh para mahasiswa Fakultas Petemakan IPB pada kegiatan
Kuliah Kerja Usaha (Suryahadi, 1994).
Penggunaan feses sapi untuk media hidupnya cacing tanah, telah diteliti
menghasilkan biomassa tertinggi dibandingkan campuran feces yang ditambah
bahan organik lain, seperti feses 50% + jerami padi 50%, feses 50% + limbah
organik pasar 50%, maupun feses 50% + isi rumen 50% (Farida, 2000).
4.7.3. Pemanfaatan Limbah Ternak untuk Produksi Gasbio

Introduksi produksi gasbio di KUNAK, dimulai sejak kawasan tersebut


dibangun, sebagai iangkah antisiparif mengurangi pencemaran aiar sungai
Cigame. Namun sampai sekarang, instalasi yang telah dibangun belum
termanfaatkan. Gasbio adalah campuran beberapa gas, tergolong bahan bakar gas
yang merupakan hasil fermentasi dari bahan organik dalam kondisi anaerob, dan
Oas
a yang dominan adalah gas metan (CH4) dan gas karbondioksida (COz)
(Simamora, 1989). Gasbio memiliki nilai kalor yang cukup tinggi, yaitu kisaran
4800-6700 kkal/m3, untuk gas metan murni (100 %) mempunyai nilai kalor 8900
kkal/m3. Menurut Maramba (1978) produksi gasbio sebanyak 1275-43 18 I dapat
digunakan untuk memasak, penerangan, menyeterika dan mejalankan lemari es
untuk keluarga yang berjumlah lima orang per hari.
Kotoran ternak ruminansia sangat baik untuk digunakan sebagai bahan
dasar pembuatan biogas. Ternak ruminansia mempunyai sistem pencemaan
khusus yang menggunakan mikroorganisme dalam sistem pencernaannya yang
berfungsi untuk mencerna selulosa dan lignin dari rumput atau hijauan berserat
tinggi. Oleh karena itu pada tinja ternak ruminansia, khususnya sapi me~npunyai
kandungan selulosa yang cukup tinggi. Berdasarkan hasil analisis diperoleh
bahwa tinja sapi mengandung 22.59% sellulosa, 18.32% hemi-sellulosa, 10.20%
lignin, 34.72% total karbon organik, 1.26% total nitrogen, 27.56:l ratio C:N,
0.73% P,dan 0.68% K (Lingaiah dan Rajasekaran, 1986).
Bahan gasbio dapat diperoleh dari limbah pertanian yang basah, kotoran
hewan (manure), kotoran manusia dan campurannya. Kotoran hewan seperti
kerbau, sapi, babi dan ayam telah diteliti untuk diproses dalam alat penghasil
gasbio dan hasil yang diperoleh metnuaskan (Harahap et al., 1980).
KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN

1. Respon masyarakat terhadap keberadaan Kunak relatip positip dan dirasakan


manfaatnya. Pembangunan Kawasan Usaha Pertemakan (KUNAK) sapi perah
Cibungbulang Bogor berdampak terhadap sosial ekonomi masyarakat
menyangkut : mobilitas penduduk, pemukiman baru, tata guna tanah, nilai
tanah, sumber pekerjaan barn, penyerapan tenaga kerja, pola mata
pencaharian, fasilitas kesehatan, pasilitas pendidikan masyarakat, penyediaan
air bersih, kenyamanan dan kesejahteraan masyarakat.
2. Kualitas air Cigamaea setelah melintas di kawasan KUNAK tidak mengalamii
penurunan secara signifikan, kerena nilai air sungai Cigamea BOD, DO,
COD, suhu, coliform dsb tidak berbeda antara sebelum dengan setelah melalui
KUNAK. IMKAS sungai tidak berbeda walaupun nilai IMKAS sungai
Cigamea sebelum melintasi KUNAK adalah b u d . Kadar anloniak air
Cigamea tidak berubah secara mencolok setelah melintasi KUNAK.
3. Penanganan limbah ternak sebagai upaya pengendalian lingkungan di kawasan
kunak Cibungbulang telah dilakukan dalam bentuk memanfaatkan kembali
limbah ternak @roses daur ulang) untuk pemupukan kebun rumput Namun
demikian upaya penanganan limbah ternak di kawasan KUNAK di
Cibungbulang tersebut masih perlu ditingkatkan. Pengelolaan lingkungan
KUNAK belllm optimal.
SARAN

Dalam rangka pembangunan kawasan usaha petemakan sapih perah


Cibungbulang Bogor yang benvawasan lingkungan disarankan kepada para
petemak untuk mengolah limbah temaknya menjadi suatu produk melalui aplikasi
teknologi tepat guna seperti produksi gasbio dan pembuatan pupuk kompos yang
dapat dikomersilkan. I-Ial ini juga merupakan upaya pengendalian lingkungan di
kawasan. Beberapa aliernatifpenanganan limbah yang perlu diintensifkan adalah,
I ) pembuatan pupuk kompos untuk tujuan komersial dan 2) pembuatan gasbio
DAFTAR I'USTAKA

Alaerts, G. dan S.S. Santika. 1987. Metode Penelitian Air. Penerbit Usaha
Nasional. Surabaya.
Atmadilaga, D. 1970. Politik Peternakan Indonesia. Biro Penelitian dan Afilasi.
Fakultas Peternakan Universitas Padjajaran. Bandung.
Clark, J. 1974. Coastal Ecosystem. Ecological Consideration for Managemant of
Coastal Zone. The Conservation Foundation. Washington, DC.
Fardiaz, S. 1992. Polusi Air dan Udara. Kerjasama Pusat Antar Universitas
Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor. Penerbit Kanisus. Yogyakarta.
Farida, E. 2000. Pengaruh Penggunaan Feses Sapi dan Campuran Limbah
Organik Lain Sebagai Pakan atau Media Produksi Kokon dan Biomassa
Cacing Tanah (Eiseliia.foe/ida savipy). [Skripsi] Jurusan Ilmu Nutrisi
dan Makanan Ternak. IPB, Bogor.
I-Iarahap F M, Apandi dan S. Ginting. 1978. Teknologi Gasbio. Pusat Teknologi
Pemnbangunan Institut Teknologi Bandung, Bandung.
Iiardjo, S., N.S. Indrasti dan T. Bantacut. 1989. Biokonversi Pemanfaatan Limbah
Industri Pertanian Depdikbud. Dirjen Dikti PAU Pangan dan Gizi IPB.
Bogor.
I-Iaryadi, S. 1995. Metode dan Teknik Analisis Laboratorium (2) Parameter kimia
dan analisis sedimen. Materi pelatihan Pengendalian Pencemaran Laut dan
I'esisir. Fakaltas Perikanan IPB dan Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan (Bapedal) 2-9 Oktober 1995..
Henry, J.G. and G.W. Heinke. 1998. Environmental Science and Engeneering.
Prentice-Hall International, Inc. the University of Toronto.
I-Iusin, Y.A. 1990. Metode dan teknik analisis kualitas air. Kursus Penyusunan
Aualisis Mengenai Danlpak Liilgkungan Angkatan VIII. 18 Sep-24 NOV
1990. Pusat Penelitian Lingkungan Nidup, Institut Pertanian Bogor.
Jackson, M.IJ., G.P. Morris, P.G. Smith, J.F. Crawford. 1989. Environmental
Iiealth Reference Book. Butterworth. London, Boston, Singapura, Sydney,
Toronto, Welington.
Jenie, 13.S.1. dan W.P. Rahayu. 1993. Penanganan Limball Industri Pangan.
Kansius. Jakarta.
Kementerian Lingkungan Hidup. 2004. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
No 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian
Penceinaran Air. Jakarta.
Kustaman, E. 1991. Metode dan Teknik Analisis Kualitas Air. Pusat
Pengembangan Lingkungan Hidup-Lembaga Penelitian, Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Lingaiah V. and P. Rajasekaran. 1986. Biodigestion of cowdung and organic
wastes mixed with oil cake in relation to energy in Agricultural Wastes
17(1986): 161-173.
Mahida, U. N. 1992. Pencemaran Air dan Pemanfaatan Limbah Industri. Rajawali
Press. Jakarta.
Maranba, F.D. 1978. Biogas and Waste Recycling. Maya Farm. Manila,
Philippines.
Mubyarto. 1982. Pengantar Ekonomi Pertanian. LP3S. Jakarta.
Munn, R., E., [ed]., 1979. Enviromental Impact Assessment. Principles and
Procedures, edisi ke-2. SCOPE Report. 5. John Wiley & Sons, New York.
Nitis, Md. 1992. Produksi dan Persediaan Limbah Pertanian dan Limbah Industri
Pertanian di Indonesia. Makalah/Materi Short Course on Recycling of
Agricultural and Industrial By-Products and Waste for Animal Feed in
Relation to Environmental Sanotation, Fakultas Petemakan Unud 3-28
Pebruari 1992.
Ott, W.R. 1978. Environmental Indices Theory and Practice. Ann Arbor Science
Publisher Inc. Michigan.
Par-toatmodjo, S. 1991. Pemanfaatan Ulang dan Pendaurulangan Sumberdaya.
Pusat Penelitian Lingkungan Hidup. Institut Pertanian Bogor.
Peavy, H.S., D.R. Rowe and G. Tchobanoglous. 1986. Environmental
Engineering. Mc. Graw Hill-Book Con~pany,New york.
Pescod, M.B. 1973. Investigation of Rational Effluent Stream Standards for
Tropical Countries. A.I.T. Bangkok, Thailand.
Rand, M.C., A.E. Greenberg and M.J. Taras. 1975. Standard Methods for The
Examination of Water and Wastewater. American Public Health
Assosiation, Washington, D.C.
Saeni, M.S. 1989. Kimia Lingkungan. Depdikbud Dirjen Dikti. PAU Ilmu Hayati.
Institut Pertanian Bogor.
Sastrawijaya, A.T. 1991. Pencemaran Lingkungan. Rineka Cipta. Jakarta.
Sihombing D T H. 2000. Teknik Pengelolaan Limball K e g i a t d s a h a
Petemakan. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Lembaga Penelitian,
Institut Pertanian Bogor.
Simamora S. 1989. Pengelolaan Limbah Petemakan (Animal Waste
Management). Teknologi Energi Gasbio. Fakultas Politeknik Pertanian
IPB. Bekerjasama dengan Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan.
Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen P dan K.
Soehadji. 1992. Kebijakan Pemerintah dalam Pengembangan Industri Petemakan
dan Penanganan Limbah Petemakan. Direktorat Jenderal Petemakan.
Departemen Pertanian. Jakarta.
Sudono, A. 1985. Produksi Sapi Perah. Jurusan Ilmu Produksi Ternak. Fakultas
Peternakan Institut Pertanian Bogor.
Sugiharto. 1987. Dasar-dasar Pengelolaan Air Limbah. UI Press. Jakarta.
Suratmo, F.G. 1998. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Cet. Kedelapan
(revisi) Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Suryahadi, 1 994. Kuliah Kerja Usaha Mahasiswa Peternakan. Laporan Kegiatan
KKU. Lembaga Pengabdian Masyarakat IPB.
Sutamihardja, R.T.M. 2001. Pengukuran Biochenzical O~ygenDemand (BOD)
Air Sungai Ciliwung. Bahan Kuliah Kualitas & Pengelolaan Pencemaran
Lingkungan. PSL-IPB.
Sutardi, T. 1981. Sapi Perah dan Pemberian Makanannya. Fakultas Peternakan.
IPB. Bogor.
Taiganides, R.E. 1977. Animal Wastes. Applid Science Publisher. LTD. London.
Todd, D.K. 1980. Ground Water Hidrology. 2"d ED. John Welly and Sons, New
York. Chischester Brisbane, Toronto.
Van den Ban A.W. dan H.S. Nawkins. 1999. Penyuluhan Pertanian. Cet. Pertama.
Penerbit Kanisus Yogyakarta.
Vanderzant, C. d m D.F. Spilittstoesser. 1992. Compendium of Method for The
Microbiology Examination of Food 3rdEd. American Public Health
Assosiatiou.
Wardana, W.A. 1999. Dampak Pencemaran Lingkungan. Cet. Kedua, Penerbit
Andi Yogyakarta, Perct. Andi Offset, Yogyakarta.
Wardoyo, S.T.H. 1982. Kriteria Kualitas Air untuk Keperluan Pertanian d m
Perikanan. Training Analisis Dampak Lingkungan, PPLH-PUSDI-PSL,
IPB, Bogor, 19 Jan-5 Peb. 1982.

You might also like