You are on page 1of 48

1

PRESENTASI KASUS
GANGREN DIABETES

Disusun oleh:
Anton Hilman
105103003393

Pembimbing:
dr. M.Simangunsong, SpB, FINACS, MPH

Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah RSUP Fatmawati


Program Studi Pendidikan Dokter
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
2010
2

LEMBAR PERSETUJUAN

Presentasi Kasus dengan Judul


“Gangren Diabetes”
Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing, sebagai syarat untuk
menyelesaikan kepaniteraan klinik ilmu bedah di RSUP Fatmawati periode
1 Februari 2010 – 10 April 2010

Jakarta, Maret 2010

(dr. M.Simangunsong, SpB, FINACS, MPH)


3

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang senantiasa


melimpahkan rahmat dan hidayahNya sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah presentasi kasus ini dengan baik. Shalawat dan
salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Adapun judul yang penulis pilih untuk penulisan makalah presentasi
kasus ini adalah ” Gangren Diabetes”. Dalam penyusunan makalah ini,
penulis telah mencurahkan segala pikiran dan kemampuan yang dimiliki.
Namun tetap ada hambatan dan kendala yang harus dilewati.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. M.Simangunsong, SpB,
FINACS, MPH, selaku pembimbing makalah presentasi kasus dan seluruh
pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.

Jakarta, Maret 2010

Penulis
4

BAB I

PENDAHULUAN

1. 1. Latar Belakang Masalah

Dari berbagai penelitian epidemiologi, terbukti bahwa insidensi


Diebetes melitus (DM) meningkat secara menyeluruh di dunia.
Penelitian di Indonesia, terutama di kota-kota besar di Indonesia juga
menunjukkan kecenderungan yang sama. Menurut WHO, Indonesia
akan menempati peringkat kelima dunia dengan jumlah penderita
diabetes sebanyak 12,4 juta orang pada tahun 2025, naik 2 tingkat
dibanding tahun 1995. (Suyono, 2006)

Pembagian diabetes menjadi tipe primer yang menunjukkan tidak


adanya penyakit penyerta dan tipe sekunder, dikenali beberapa
keadaan yang menyebabkan atau memungkinkan terjadinya sindrom
metabolic. Diabetes tipe primer dibagi lagi menjadi diabetes mellitus
tergantung insulin dan tidak tergantung insulin. Tipe 1 merupakan
sinonim diabetes tergantung insulin dan tipe 2 merupakan di anggap
sama dengan diabetes tidak tergantung insulin (Schteingart, 2001).

Gejala klasik diabetes adalah poliuria, polidipsi dan polifagia.


Glukosa di urin menimbulkan efek osmotic yang menarik H 2O
bersamanya, menimbulakan diuresis osmotik yang ditandai oleh poliuria
(sering berkemih). Cairan yang berlebihan keluar dari tubuh
menyebabkan dehidrasi dan timbul rasa haus berlebihan (polidpsi),yang
merupakan mekanisme kompensasi untuk mengatasi dehidrasi. Karena
terjadi defisiensi glukosa intrasel, nafsu makan meningkat, sehingga
timbul polifagia (pemasukan makanan berlebihan) (Schteingart, 2001).

Pada penderita DM dapat terjadi komplikasi pada semua tingkat


sel dan semua tingkatan anatomik. Manifestasi komplikasi kronik dapat
terjadi pada tingkat pembuluh darah kecil (mikrovaskular) berupa
5

kelainan pada retina mata, glomerulus, syaraf dan otot jantung


(Waspadji, 2006).

Komplikasi DM pada pembuluh darah besar, manifestasi


komplikasi kronik DM dapat terjadi pada pembuluh darah serebral,
jantung dan pembuluh darah perifer (tungkai bawah). Penderita DM
juga menjadi lebih rentan terhadap infeksi, sehingga mudah terjadi
infeksi saluran kemih, tuberkulosis, dan infeksi kaki, yang kemudian
berkembang menjadi ulkus/gangren diabetes (Waspadji, 2006).

Ulkus kaki, infeksi dan gangren adalah penyebab utama rawat


inap penderita diabetes, sekitar 15-20 % dari 16 juta penduduk Amerika
Serikat yang mengidap penyakit diabetes. Di Amerika Serikat
diperkirakan bahwa 15% dari penderita diabetes akan mengalami
penyakit kaki diabetes, dimana insiden pertahun ulkus kaki 2-3%, dan
46 % dari 162.000 penderita diabetes yang dirawat inap di rumah sakit
disebabkan oleh ulkus kaki diabetik. (Karmila, 2009)

Ulkus kaki dan komplikasinya merupakan penyebab penting


mortalitas dan morbiditas penderita diabetes, sehingga memberi
dampak klinis dan ekonomi yang sangat besar. (Karmila, 2009)

Pengelolaan kaki diabetes mencakup pengendalian gula darah,


debridemen/membuang jaringan yang rusak, pemberian antibiotik, dan
obat-obat vaskularisasi serta amputasi. (Waspadji, 2006)
6

BAB II
STATUS MEDIK

1. Identitas Pasien

Nama : Ny. N.S

Usia : 48 tahun

Jenis kelamin : perempuan

Alamat : Jl.H.Mandor II/40A Cilandak Barat

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Status : menikah

Pendidikan : SMA

Agama : Islam

No. RM : 00973221

2. Anamnesis

Anamnesa dilakukan secara auto dan allo anamnesa pada tanggal


14 Februari 2010, pukul 15.30 WIB

Keluhan utama : Kaki kiri bengkak dan bernanah sejak 2 minggu

sebelum masuk Rumah Sakit (SMRS).

Riwayat penyakit sekarang :

Sejak 6 bulan SMRS, pasien merasa kedua kakinya sering

kesemutan, namun tidak baal pada kedua kaki. Pasien selama ini jarang

memakai alas kaki ketika berjalan di sekitar rumah.

Sekitar tiga minggu SMRS, telapak kaki kiri pasien tertusuk batu

kerikil, kemudian batu kerikil tersebut menancap ke dalam kulit dan batu
7

dikeluarkan oleh pasien. Luka bekas tertusuk batu semakin lama semakin

meluas dan membesar.

Sejak dua minggu SMRS, kaki kiri di sekitar luka pasien

membengkak, kemerahan, kemudian keluar nanah berwarna kehijauan

dan berbau busuk. Pasien selama ini hanya mengobati lukanya dengan

betadine, namun luka tidak kunjung sembauh dan semakin parah.

Kemudian pasien berobat ke Puskesmas dan pasien disuruh berobat ke

Rumah Sakit.

Pasien mengalami demam (+) naik turun sejak satu minggu SMRS.

Badan terasa lemas. Pasien menyangkal mempunyai penyakit kencing

manis, tetapi sejak 5 tahun yang lalu, pasien memiliki riwayat sering

buang air kencing pada malam hari (+), cepat merasa lapar dan banyak

makan (+), cepat merasa haus (+). Mual dan muntah (-), pandangan kabur

(-), kelemahan sebelah badan (-), BAB dan BAK tidak ada masalah.

Pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga, jarang olah raga, tidak

merokok, tidak mengkosumsi alkohol, tidak menjaga pola makannya.

Riwayat Penyakit Dahulu :

 Riwayat diabetes mellitus disangkal

 Riwayat hipertensi disangkal

 Riwayat penyakit Ginjal disangkal

 Riwayat Stroke disangkal

 Riwayat Asma, Alergi disangkal


8

Riwayat Penyakit Keluarga :

 Riwayat diabetes mellitus disangkal

 Riwayat hipertensi disangkal

 Riwayat penyakit Ginjal disangkal

 Riwayat Stroke disangkal

 Riwayat Asma, Alergi disangkal

3. PEMERIKSAAN FISIK

Status generalis

Keadaan Umum

Kesadaran : kompos mentis

Kesan sakit : sakit sedang

Tinggi badan : 156 cm

Berat badan : 55 kg

Gizi : baik

Sikap pasien : kooperatif

Mobilisasi : aktif

Tanda vital:

Tekanan darah : 160/90mmHg

Nadi : 90x/menit

Pernafasan : 24 x/menit

Suhu tubuh : 37.5º C


9

Kepala : - Bentuk normocephali

- Rambut warna hitam,tebal,distribusi merata

Wajah : - terlihat simetris

- warna kulit tidak anemis, tidak sianosis, tidak ikterik

Mata : - Alis mata hitam,tebal,distribusi merata

- Konjungtiva pucat +/+, Sklera tidak ikterik

- Refleks cahaya langsung +/+, refleks cahaya tidak langsung +/+

Telinga : - bentuk telinga simetris dan normotia

- Tidak ada nyeri tarik

- Tidak ada nyeri tekan pada tragus dan mastoid

- sekret (-)

Hidung : - Hidung simetris

-Tidak ada deviasi septum, sekret -/-

Mulut dan tenggorokan : - bibir terlihat simetris

- Tidak kering,tidak pecah-pecah,tidak sianosis

- Tonsil T1/T1

Leher: - trakea lurus di tengah

- tidak teraba pembesaran KGB

- tidak terlihat pembesaran tiroid

Paru:

- Inspeksi : pergerakan dada simetris saat stastis dan dinamis.

- Palpasi : vokal fremitus teraba simetris

- Perkusi : sonor dikedua lapang paru

- Auskultasi : suara napas vesikuler, Ronchi-/-,wheezing -/-


10

Jantung :

- Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat.

- Palpasi : teraba pada 1-2 cm sebelah medial garis

midclavicularis kiri di ICS 5

- Perkusi : Batas jantung kanan : garis sternalis dextra. Batas

jantung kiri : ICS 5, 2cm sebelah medial linea midclavicularis

sinistra.

- Auskultasi : S1 S2 reguler,murmur (-), gallop (-).

Abdomen

Inspeksi : abdomen datar, tidak tampak adanya ascites, tidak

terdapat

spider navy

Palpasi : abdomen supel, tidak ada defence muskular, NT (-), NL(-)

Hepar: tidak ada pembesaran

Lien: tidak ada pembesaran

Ginjal: ballottement -

Perkusi : timpani, tidak ada nyeri ketuk, tidak ada ascites

Auskultasi : bising usus (+) normal

Ekstremitas

Akral hangat, edema tungkai +/-

Status lokalis regio pedis sinistra

Inspeksi: terlihat adanya benjolan berukuran 10 x 10 x 4 cm, warna

kebiruan, tampak ulkus ditengahnya, nanah (+), batas tidak tegas,

dengan jaringan nekrotik di tepi luka.


11

Palpasi: teraba kenyal, hangat, nyeri tekan (+), Perabaan arteri

dorsalis pedis sinistra melemah, sensorik masih baik.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium tanggal 5-2-2010

Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan Interpretasi


Hematologi
- Hemoglobin 10,9 13.2-17.3 g/dl Normal
- Hematokrit 32 33-45 % Normal
- Leukosit 12,6 5-10 ribu/Ul Meningkat
- Eritrosit 3,92 41.40-5.90 ribu/Ul l Normal
- Trombosit 144 150-440 Menngkat
VER/HER/ KHER/RDW
- VER 78.9 fl 80.0-100.0 fl Menurun
- HER 24.1 pg 26.0-34.0 Menurun
- KHER 31.4 g/dl 32.0-36 Menurun
- RDW 12.5% 11.5-14.5 % Normal
Hitung Jenis
- Netrofil 72 50-70 % Meningkat
- Limfosit 23 20-40 % Normal
- Monosit 5 2-8 % Normal
Kimia Klinik
Fungsi Hati
- SGOT 32 0-34 U/I Normal
- SGPT 17 0-40 U/I Normal
Fungsi Ginjal
- Ureum Darah 50 mg/dl 20-40 mg/dl Normal
- Creatinin Darah 0.7 mg/dl 0.6-1.5 mg/dl Normal
Diabetes
- Gula darah sewaktu 459 mg/dl 70-140 mg/dl Meningkat
ELEKTROLIT
Natrium 134 135 - 147 Menurun
Kalium 4.30 3.10 -5.10 mmol/L Normal
Klorida 105 95 -108 mmol/L Normal
Urinalisa
- Urobilinogen 0,1 <1 Normal
- Protein urine +1 Negative Meningkat
- Keton +1 Negative Meningkat
- Bilirubin Negative Negative Normal
- Nitrit Negative Negative Normal
- pH 6,0 4,8-7,4 Normal
- Lekosit Negative Negative Normal
- Glukosa +2 Negative Meningkat
- Warna Kuning Yellow
- Kejernihan Keruh Clear
12

Foto Rontgen Thoraks

( 05 / 02 / 2010)

Kesan

• Jantung : dalam batas

normal.

• Pulmo : infiltrat minimal

di peribronchial..

Foto polos pedis sinistra

Kesan : tampak udara di soft tissue, tidak jelas adanya osteomyelitis.


13

RESUME
Pasien perempuan, 48 tahun datang dengan keluhan telapak kaki
kiri bengkak, keluar nanah sejak 2 minggu SMRS. Demam (+). Riwayat
trauma pada telapak kaki kiri 3 minggu SMRS. Kesemutan pada kedua
kaki sejak 6 bulan SMRS. Gejala polidipsi, poliphagia, poliuria (+) sejak
sekitar 5 tahun yang lalu.

Pemeriksaan fisik :
Tekanan darah :160/90mmHg, nadi :90x/menit , pernafasan : 24 x/menit,
suhu tubuh : 37.5º C, status generalis : dalam batas normal.
Status lokalis :
Pada regio pedis sinistra, ditemukan adanya benjolan berukuran 10 x 10
x 4 cm, warna kebiruan, tampak ulkus di tengahnya, nanah (+), batas tidak
tegas, dengan jaringan nekrotik di tepi luka.
Palpasi: teraba kenyal, hangat, nyeri tekan (+), Perabaan arteri dorsalis
pedis sinistra melemah, sensorik masih baik

DIAGNOSIS KERJA

Ulkus diabetik pedis sinistra

(Proteinuria, DM tipe-2, Hipertensi grade 2, Ketosis DM)


14

DIAGNOSIS BANDING
DVT (Deep vein Thrombosis)
Winiwarter-Buerger Disease

PENATALAKSANAAN

Insisi drainase dan debridement

PROGNOSIS

Ad vitam : bonam

Ad fungsionam : dubia ad bonam

Ad sanationam : dubia ad malam

Laporan Operasi

Diagnosis pre-Operasi : Gangren DM pedis sinistra

Diagnosis post-Operasi : Gangren DM pedis sinistra

Macam Operasi : Debridement

1. Paseien terlentang di atas meja operasi dalam anestesi spinal

2. A dan antisepsis daerah operasi dan sekitarnya

3. Insisi pada lateral pedis dan plantar pedis sinistra hingga ke dasar

fascia, dilakukan debridement jaringan nekrotik hingga tampak

jaringan sehat.

4. Irigasi dengan saline steril dan H202 sebanyak 2,5 liter

5. Luka dibersihkan dengan kassa steril

6. Perdarahan dikontrol

7. Luka ditutup dengan kassa lembab dan kassa kering

8. Operasi selesai
15

Instruksi Post-Op

 Awasi tanda vital dan luka operasi


 Diet biasa
 GV
 Ceftriaxon 2x1gr
 Metronidazole 3x 500mg
 Ketorolac 2x1 Amp
 IVFD RL 1 kolf/12 jam
 Kontrol gula darah sesuai TS IPD.

Follow up tanggal 06-02-2010

S : Demam (-), nyeri di luka minimal, kesemutan (-)

O : KU/KS : tampak sakit sedang/ kompos mentis

TD : 160/80 mmHg

Nadi : 90x/menit, reguler, isi cukup

RR : 22x/mnt

Suhu : 36,8 o C

Status lokalis :

Inspeksi : Regio Plantar pedis sampai s.d. kruris sinistra, post

debridemant hari ke-1, nanah (-), darah (+), jaringan granulasi (-),

edema (-), eritema (+).

Palpasi: teraba kenyal, hangat, nyeri tekan (+), Perabaan arteri

dorsalis pedis dekstra melemah, sensorik masih baik.

A : ulkus diabetik pedis sinistra post debridement hari ke 1

Proteinuria, DM tipe-2, Hipertensi gr-2, Ketosis DM.


16

P : GV 3x/hari PCT 3x 500mg (k/p)

IVFD NaCl 0,9% 1 kolf/ 8 jam. Ketorolac 3x1 Amp

Ceftriaxon 2x1 gr Ranitidin 2x1 amp

Metronidazol 3 x 500 mg Vit C 1 x 500 mg

Klindamisin 2x 100mg

Laboratorium tanggal 06-02-2010

Hb : 8,6 g/dl

Ht : 28 %

Leukosit : 9.700 / ul

Trombosit : 432 ribu/ul

Eritrosit : 3,84 juta/ul

GDS : 238 mg/dl

Follow up tanggal 14-02-2010

S : Demam (+), nyeri di luka minimal, kesemutan (-), sesak (-), batuk(-).

O : KU/KS : tampak sakit sedang/ kompos mentis

TD : 140/80 mmHg

Nadi : 90x/menit, reguler, isi cukup

RR : 20x/mnt

Suhu : 37,3 o C
17

Status lokalis :

Inspeksi : Regio Plantar pedis sampai s.d. kruris sinistra, post

debridemant hari ke-9, nanah (-), darah (+), jaringan granulasi (-),

edema (-), eritema (+).

Palpasi: teraba kenyal, hangat, nyeri tekan (+), Perabaan arteri

dorsalis pedis dekstra melemah, sensorik masih baik.

A : ulkus diabetik pedis sinistra post debridement hari ke 1

Proteinuria, DM tipe-2, Hipertensi gr-2

P : GV 3x/hari PCT 3x 500mg (k/p)

IVFD NaCl 0,9% 1 kolf/ 8 jam. Ketorolac 3x1 Amp

Ceftriaxon 2x1 gr Ranitidin 2x1 amp

Metronidazol 3 x 500 mg Vit C 1 x 500 mg

Klindamisin 2x 100mg

Laboratorium tanggal 10-02-2010

Hb : 8,3 g/dl

Ht : 27 %

Leukosit : 17.400 / ul

Trombosit : 351 ribu/ul

Eritrosit : 3,34 juta/ul

GDS : 220 mg/dl


18

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

A. Diabetes Melitus

1. Definisi

Diabetes Mellitus adalah suatu penyakit dimana kadar


glukosa (gula sederhana) di dalam darah tinggi karena tubuh tidak
dapat melepaskan atau menggunakan insulin secara adekuat.
Kadar gula darah sepanjang hari bervariasi, meningkat
setelah makan dan kembali normal dalam waktu 2 jam. Kadar gula
darah yang normal pada pagi hari setelah malam sebelumnya
berpuasa adalah berkisar antara 70-110 mg/dL darah. Kadar gula
darah biasanya kurang dari 120-140 mg/dL pada 2 jam setelah
makan atau minum cairan yang mengandung gula maupun
karbohidrat lainnya. Kadar gula darah yang normal cenderung
meningkat secara ringan tetapi progresif setelah usia 50 tahun,
terutama pada orang-orang yang tidak aktif (Suyono,2006).

2. Faktor Resiko

Beberapa faktor reskio yang dapat menyebabkan terjadinya


DM adalah usia > 45 tahun, berat badan lebih yaitu IMT >23 kg/m2,
hipertensi (> 140/90 mmHg), riwayat diabetes mellitus dalam garis
keturunan, riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat atau
berat badan lahir bayi > 4000 gr, kolesterol HDL < 35 mg/dl dan
atau trigliserida > 250 mg/dl (Suyono,2006).

3. Klasifikasi

Pembagian diabetes menjadi tipe primer yang menunjukkan


tidak adanya penyakit penyerta dan tipe sekunder, dikenali
beberapa keadaan yang menyebabkan atau memungkinkan
terjadinya sindrom metabolic. Diabetes tipe primer dibagi lagi
menjadi diabetes mellitus tergantung insulin dan tidak tergantung
19

insulin. Tipe 1 merupakan sinonim diabetes tergantung insulin dan


tipe 2 merupakan di anggap sama dengan diabetes tidak
tergantung insulin (Schteingart, 2001).

Primer
1. diabetes mellitus tergantung insulin (IDDM tipe 1)
2. diabetes mellitus tidak tergantung insulin (NIDDM tipe 2)
a. NIDDM non obes
b. NIDDM obes
c. Diabetes juvenile awitan dewasa
Sekunder
1. penyakit pancreas
2. kelainan hormonal
3. induksi obat atau zat kimia
4. kelainan reseptor insulin
5. sindroma genetic

4. Diabetes mellitus tipe 1

a. Etiologi
Diabetes mellitus tipe 1 ditandai dengan kekurangan
absolute insulin endogen akibat destruksi autoimun pada sel beta
pancreas dalam pulau langerhans, atau mungkin bersifat idiopatik
(Schteingart, 2001).

b. Patogenesis
Tahapan patogenesis diabetes mellitus tergantung insulin
1. adanya kerentanan genetik pada diabetes mellitus
2. keadaan lingkungan seperti infeksi virus maupun agen non
infeksius diyakini merupakan suatu mekanisme pemicu
diabetes mellitus
3. rangkaian respon peradangan pancreas disebut insulitis
dengan adanya infiltrasi limfosit T teraktivasi
20

4. perubahan atau transformasi sel beta sehingga tidak dapat


dikenali sebagai sel sendiri tetapi dilihat oleh system imun
sebagai sel asing.
5. perkembangan respon imun. Karena sel beta pancreas
sekarang dianggap sel asing sehingga terbentuk antibody
sitotoksik dan bekerja bersama-sama dengan mekanisme
imun seluler.
6. hasil akhirnya adalah perusakan sel beta dan penampakan
diabetes.

Gambar 1. Destruksi sel beta pancreas pada DM tipe-1


(Sumber :
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/imagepages/19212.htm)

c. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis diabetes mellitus dikaitkan dengan
konsekuensi metabolik defisiensi insulin. Pasien dengan defisiensi
insulin tidak dapat mempertahankan kadar glukosa plasma puasa
yang normal, atau toleransi glukosa setelah makan karbohidrat.
Ketika kadar glukosa darah meninggi ke tingkat pada saat jumlah
glukosa yang difiltrasi melebihi kapasitas sel-sel tubulus melakukan
21

reabsorpsi, glukosa akan timbul di urin (glukosuria). Glukosa di urin


menimbulkan efek osmotik yang menarik H 2O bersamanya,
menimbulakan diuresis osmotic yang ditandai oleh poliuria (sering
berkemih) (Schteingart, 2001).
Cairan yang berlebihan keluar dari tubuh menyebabkan
dehidrasi dan timbul rasa haus berlebihan (polidipsi),yang
merupakan mekanisme kompensasi untuk mengatasi dehidrasi.
Karena terjadi defisiensi glukosa intrasel, nafsu makan meningkat,
sehingga timbul polifagia (pemasukan makanan berlebihan). Akan
tetapi, walaupun terjadi peningkatan pemasukan makanan, berat
tubuh menurun secara progresif akibat efek defisiensi insulin pada
metabolisme lemak dan protein . Pasien mengeluh lelah dan
mengantuk (Schteingart, 2001).
Pasien dengan diabetes tipe 1 sering memperlihatkan gejala
awal yang eksplosif dengan polidipsi, poliuri, turunnya berat badan,
polifagia, lemah dan somnolen yang terjadi selama beberapa hari
atau beberapa minggu. Pasien dapat menjadi sakit berat dan timbul
ketoasidosis, serta dapt meninggal kalau tidak mendapatkan
pengobatan segera (Schteingart, 2001).

5. Diabetes mellitus tipe 2

a. Etiologi
Diabetes mellitus tipe 2 ditandai dengan resistensi insulin
perifer, gangguan sekresi insulin dan produksi hati yang berlebihan.
Tidak terdapat bukti adanya destruksi sel beta pancreas yang
diperantarai oleh autoimun. Obesitas seringkali berkaitan dengan
tipe ini (Schteingart, 2001).
b. Patogenesis
Makan berlebihan dalam jangka lama oleh seorang yang
gemuk menyebabkan peningkatan sekresi insulin untuk
mempertahankan kadar glukosa darah, yaitu dengan menyimpan
kelebihan zat gizi ini. Sebagai respon terhadap hiperinsulinemia
22

kronik, jumlah reseptor secara bertahap berkurang. Penurunan


kepekaan terhadap insulin pada orang yang gemuk tetapi normal
diatasi oleh tambahan sekresi insulin. Dengan cara ini, kelebihan
zat gizi disimpan walaupun terjadi penurunan ketersediaan reseptor
insulin, sehingga homeostasis glukosa darah dapat dipertahankan.
Namun, pada orang gemuk yang rentan diabetes, pembebanan
pancreas yang berkepanjangan oleh kelebihan kronik zat gizi pada
akhirnya mengalahkan kapasitas sel-sel beta pancreas yang
secara genetic sudah lemah. Walaupun sekresi insulin mungkin
normal dan sedikit meninggi, gejala insufisiensi insulin tetap timbul
karena jumlah insulin masih kurang memadai untuk mencegah
hiperglikemia yang nyata akibat penyerapan zat gizi yang
berlebihan (Schteingart, 2001).
Sebagian besar pasien DM tipe2 obes, dan obesitas itu
sendiri menyebabkan resistensi insulin. Namun penderita DM tipe2
yang tidak obes dapat mengalami hiperinsulinemia dan
pengurangan kepekaan insulin, membuktikan bahwa obesitas
bukan merupakan penyebab resistensi satu-satunya. Hal ini bukan
untuk mengurangi pentingnya peranan kelebihan lemak karena
penurunan berat badan yang sederhana seringkali menghasilkan
perbaikan besar dalam pengendalian glukosa darah pada penderita
DM tipe 2 yang obes (Schteingart, 2001).
Sebagai ringkasan defek sekresi insulin dan resistensi
insulin merupakan ciri khas DM tipe 2. mungkin keduanya
diperlukan untuk menampakan diabetes, karena individu yang
sangat obes dengan reisitensi insulin yang nyata dapat mempunyai
toleransi glukosa normal. Mungkin individu ini tidak mempunyai lesi
sel beta. Hal ini menunjukkan bahwa defek utama terletak pada sel
penghasil insulin. Massa sel beta intak pada DM tipe berlawanan
dengan DM tipe 1. Populasi sel alfa meningkat , hal ini
menyebabkan kelebihan glukagon dibanding insulin yang
merupakan ciri khas DM tipe2 (Schteingart, 2001).
23

c. Manifestasi klinis
Gejala mulai bertahap dibandingkan pada diabetes tipe1,
dan diagnosis sering dibuat jika individu tanpa gejala ditemukan
mempunyai peningkatan glukosa plasma pada pemeriksaan
laboratorium rutin. Pada hiperglikemika yang lebih berat, pasien
tersebut mungkin menderita polidipsi, poliuri, lemah dan somnolen .
biasanya mereka tidak mengalami ketoasidosis karena pasien ini
tidak defisiensi insulin secara absolute namun hanya relative.
Sejumlah insulin tetap disekresi dan masih cukup untuk
menghambat ketoasidosis (Schteingart, 2001).

Gambar 2. Resistensi Insulin pada DM Tipe-2


( Sumber : http://www.elements4health.com/new-cases-of-diabetes-
could-be-prevented-by-modest-lifestyles-changes.html )

6. Diagnosis
Jika keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu >
200 mg/dl sudah cukup menegakkan diagnosis DM. Hasil
pemeriksaan kadar glukosa darah puasa > 126 mg/dl juga
digunakan untuk patokan diagnosis DM. Untuk kelompok tanpa
keluhan khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru satu
kali saja abnormal, belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis
24

DM. Diperlukan pemastian yang lebih lanjut dengan mendapat


sekali lagi angka abnormal, baik kadar glukosa darah puasa > 126
mg/dl, kadar glukosa darah sewaktu > 200 mg/dl pada hari yang
lain, atau dari hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO) didapatkan
kadar glukosa darah pasca pembebanan > 200 mg/dl
(Suyono,2006).

7. Komplikasi

a. komplikasi metabolik akut


Komplikasi metabolic diabetes disebabkan oleh
perubahan yang relatif akut dari konsentrasi glukosa plasma.
Komplikasi metabolic yang paling serius pada diabetes mellitus
tipe 1 adalah ketoasidosis diabetic. Komplikasi metabolic akut
lain pada penderita diabetes mellitus tipe 2 adalah
hiperglikemia, hiperosmolar, koma nonketotik (HHNK). Dan
komplikasi metabolic lain yang sering dari diabetes adalah
hipoglikemia (Schteingart, 2001).
b. komplikasi vaskular jangka panjang
Komplikasi vaskular jangka panjang dari diabetes
melibatkan mikroangiopati dan makroangiopati. Mikroangiopati
merupakan lesi spesifik diabetes yang menyerang kapiler dan
arteriola retina (retinopati diabetic), glomerulus ginjal (nefropati
diabetic) dan saraf perifer (neuropati diabetic), otot-otot serta
kulit. Makroangiopati merupakan gambaran histopatologis
berupa aterosklerosis. Pada akhirnya, makroangiopati diabetic
ini mengakibatkan penyumbatan vascular. Jika mengenai arteri-
arteri perifer, maka dapat mengakibatkan insufisiensi vascular
perifer yang disertai klaudikasio intermiten dan gangrene pada
ekstremitas serta insufisiensi serebral dan stroke. Jika yang
terkena adalah arteri koronaria dan aorta, maka dapat
mengakibatkan angina dan infark miokardium (Schteingart,
2001).
25

B. Kaki Diabetes

1. Definisi

Kaki diabetik adalah kelainan pada tungkai bawah yang


merupakan komplikasi kronik diabetes mellitus. Suatu penyakit pada
penderita diabetes bagian kaki, dengan gejala dan tanda antara lain
sering kesemutan/gringgingan (asmiptomatus), jarak tampak menjadi
lebih pendek (klaudilasio intermil), nyeri saat istirahat, kerusakan
jaringan (necrosis, ulkus). (Armstrong,1998,hendromartono, 2004)

Salah satu komplikasi yang sangat ditakuti penderita diabetes


adalah kaki diabetik. Komplikasi ini terjadi karena terjadinya kerusakan
saraf, pasien tidak dapat membedakan suhu panas dan dingin, rasa
sakit pun berkurang ( Waspadji,2006).

2. Faktor Risiko Terjadinya Kaki Diabetik

Ada 3 alasan mengapa orang diabetes lebih tinggi risikonya


mengalami masalah kaki. Pertama, berkurangnya sensasi rasa nyeri
setempat (neuropati) membuat pasien tidak menyadari bahkan sering
mengabaikan luka yang terjadi karena tidak dirasakannya. Luka timbul
spontan sering disebabkan karena trauma ringan misalnya kemasukan
pasir, tertusuk duri, lecet akibat pemakaian sepatu/sandal yang sempit
dan bahan yang keras. Mulanya hanya kecil, kemudian meluas dalam
waktu yang tidak begitu lama. Luka akan menjadi borok dan
menimbulkan bau yang disebut gas gangren. Jika tidak dilakukan
perawatan akan sampai ke tulang yang mengakibatkan infeksi tulang
(osteomylitis). Upaya yang dilakukan untuk mencegah perluasan
infeksi terpaksa harus dilakukan amputasi (pemotongan tulang).
(Armstrong,1998).
26

Kedua, sirkulasi darah dari tungkai yang menurun dan kerusakan


endotel pembuluh darah. Manifestasi angiopati pada pembuluh darah
penderita DM antara lain berupa penyempitan dan penyumbatan
pembuluh darah perifer (yang utama). Sering terjadi pada tungkai
bawah (terutama kaki). Akibatnya, perfusi jaringan bagian distal dari
tungkai menjadi kurang baik dan timbul ulkus yang kemudian dapat
berkembang menjadi nekrosi/gangren yang sangat sulit diatasi dan
tidak jarang memerlukan tindakan amputasi (Armstrong,1998).

Gangguan mikrosirkulasi akan menyebabkan berkurangnya


aliran darah dan hantaran oksigen pada serabut saraf yang kemudian
menyebabkan degenarasi dari serabut saraf. Keadaan ini akan
mengakibatkan neuropati. Di samping itu, dari kasus ulkus/gangren
diabetes, kaki DM 50% akan mengalami infeksi akibat munculnya
lingkungan gula darah yang subur untuk berkembanguya bakteri
patogen. Karena kekurangan suplai oksigen, bakteri-bakteri yang akan
tumbuh subur terutama bakteri anaerob. Hal ini karena plasma darah
penderita diabetes yang tidak terkontrol baik mempunyai kekentalan
(viskositas) yang tinggi. Sehingga aliran darah menjadi melambat.
Akibatnya, nutrisi dan oksigen jaringan tidak cukup. Ini menyebabkan
luka sukar sembuh dan kuman anaerob berkembang biak
(Armstrong,1998).

Ketiga, berkurangnya daya tahan tubuh terhadap infeksi. Secara


umum penderita diabetes lebih rentan terhadap infeksi. Hal ini
dikarenakan kemampuan sel darah putih ‘memakan’ dan membunuh
kuman berkurang pada kondisi kadar gula darah (KGD) diatas 200 mg
%. Kemampuan ini pulih kembali bila KGD menjadi normal dan
terkontrol baik. Infeksi ini harus dianggap serius karena penyebaran
kuman akan menambah persoalan baru pada borok. Kuman pada borok
akan berkembang cepat ke seluruh tubuh melalui aliran darah yang bisa
berakibat fatal, ini yang disebut sepsis (Armstrong,1998).
27

3. Patofisiologi

Diabetes seringkali menyebabkan penyakit vaskular perifer yang


menghambat sirkulasi darah. Dalam kondisi ini, terjadi penyempitan di
sekitar arteri yang sering menyebabkan penurunan sirkulasi yang
signifikan di bagian bawah tungkai dan kaki. Sirkulasi yang buruk ikut
berperan terhadap timbulnya kaki diabetik dengan menurunkan jumlah
oksigen dan nutrisi yang disuplai ke kulit maupun jaringan lain, sehingga
menyebabkan luka tidak sembuh-sembuh (Armstrong,1998).

Kondisi kaki diabetik berasal dari suatu kombinasi dari beberapa


penyebab seperti sirkulasi darah yang buruk dan neuropati. Berbagai
kelainan seperti neuropati, angiopati yang merupakan faktor endogen
dan trauma serta infeksi yang merupakan faktor eksogen yang berperan
terhadap terjadinya kaki diabetik (Armstrong,1998).

Angiopati diabetes disebabkan oleh beberapa faktor yaitu


genetik, metabolik dan faktor risiko yang lain. Kadar glukosa yang tinggi
(hiperglikemia) ternyata mempunyai dampak negatif yang luas bukan
hanya terhadap metabolisme karbohidrat, tetapi juga terhadap
metabolisme protein dan lemak yang dapat menimbulkan pengapuran
dan penyempitan pembuluh darah (aterosklerosis), akibatnya terjadi
gaangguan peredaran pembuluh darah besar dan kecil., yang
mengakibatkan sirkulasi darah yang kurang baik, pemberian makanan
dan oksigenasi kurang dan mudah terjadi penyumbatan aliran darah
terutama di daerah kaki (Armstrong,1998).

Neuropati diabetik dapat menyebabkan insensitivitas atau


hilangnya kemampuan untuk merasakan nyeri, panas, dan dingin.
Diabetes yang menderita neuropati dapat berkembang menjadi luka,
parut, lepuh, atau luka karena tekanan yang tidak disadari akibat
adanya insensitivitas. Apabila cedera kecil ini tidak ditangani, maka
akibatnya dapat terjadi komplikasi dan menyebabkan ulserasi dan
bahkan amputasi (Armstrong,1998, Cunha,2005).
28

Sirkulasi yang buruk juga dapat menyebabkan pembengkakan


dan kekeringan pada kaki. Pencegahan komplikasi pada kaki adalah
lebih kritis pada pasien diabetik karena sirkulasi yang buruk merusak
proses penyembuhan dan dapat menyebabkan ulkus, infeksi, dan
kondisi serius pada kaki (Armstrong,1998, Waspadji,2006)

Dari faktor-faktor pencetus diatas faktor utama yang paling


berperan dalam timbulnya kaki diabetik adalah angiopati, neuropati dan
infeksi. Infeksi sendiri sangat jarang merupakan faktor tunggal untuk
terjadinya kaki diabetik. Infeksi lebih sering merupakan komplikasi yang
menyertai kaki diabetik akibat iskemia atau neuropati. Secara praktis
kaki diabetik dikategorikan menjadi 2 golongan:

a. Kaki diabetik akibat angiopati / iskemia

Penderita hiperglikemia yang lama akan menyebabkan


perubahan patologi pada pembuluh darah. Ini dapat menyebabkan
penebalan tunika intima “hiperplasia membran basalis arteria”,
oklusi (penyumbatan) arteria, dan hiperkeragulabilitas atau
abnormalitas tromborsit, sehingga menghantarkan pelekatan
(adhesi) dan pembekuan (Armstrong,1998, Waspadji,2006).

Selain itu, hiperglikemia juga menyebabkan lekosit DM tidak


normal sehingga fungsi khemotoksis di lokasi radang terganggu.
Demikian pula fungsi fagositosis dan bakterisid intrasel menurun
sehingga bila ada infeksi mikroorganisme (bakteri), sukar untuk
dimusnahkan oleh sistem plagositosis-bakterisid intraseluler. Hal
tersebut akan diperoleh lagi oleh tidak saja kekakuan arteri, namun
juga diperberat oleh rheologi darah yang tidak normal. Menurut
kepustakaan, adanya peningakatan kadar fripronogen dan
bertambahnya reaktivitas trombosit, akan menyebabkan tingginya
agregasi sel darah merah sehingga sirkulasi darah menjadi lambat,
dan memudahkan terbentuknya trombosit pada dinding arteria yang
29

sudah kaku hingga akhirnya terjadi gangguan sirkulasi


(Armstrong,1998, Waspadji,2006).

Manifestasi angiopati pada pembuluh darah penderita DM


antara lain berupa penyempitan dan penyumbatan pembuluh darah
perifer (yang utama). Sering terjadi pada tungkai bawah (terutama
kaki). Akibatnya, perfusi jaringan bagian distal dari tungkai menjadi
kurang baik dan timbul ulkus yang kemudian dapat berkembang
menjadi nekrosis/gangren yang sangat sulit diatasi dan tidak jarang
memerlukan/tindakan amputasi (Armstrong,1998, Waspadji,2006).

Tanda-tanda dan gejala-gejala akibat penurunan aliran darah


ke tungkai meliputi klaudikasi, nyeri yang terjadi pada telapak atau
kaki depan pada saat istirahat atau di malam hari, tidak ada denyut
popliteal atau denyut tibial superior, kulit menipis atau berkilat, atrofi
jaringan lemak subkutan ,tidak ada rambut pada tungkai dan kaki
bawah, penebalan kuku, kemerahan pada area yang terkena ketika
tungkai diam, atau berjuntai, dan pucat ketika kaki diangkat
(Armstrong,1998, Waspadji,2006).

b. Kaki diabetik akibat neuropati

Pasien diabetes mellitus sering mengalami neuropati perifer,


terutama pada pasien dengan gula darah yang tidak terkontrol. Di
samping itu, dari kasus ulkus/gangren diabetes, kaki DM 50% akan
mengalami infeksi akibat munculnya lingkungan gula darah yang
subur untuk berkembanguya bakteri patogen. Karena kekurangan
suplai oksigen, bakteri-bakteri yang akan tumbuh subur terutama
bakteri anaerob (Waspadji,2006).

Neuropati diabetik dapat menyebabkan insensitivitas atau


hilangnya kemampuan untuk merasakan nyeri, panas, dan dingin.
Diabetes yang menderita neuropati dapat berkembang menjadi
luka, parut, lepuh, atau luka karena tekanan yang tidak disadari
30

akibat adanya insensitivitas. Apabila cedera kecil ini tidak ditangani,


maka akibatnya dapat terjadi komplikasi dan menyebabkan ulserasi
dan bahkan amputasi (Waspadji,2006).

Secara klinis dijumpai parestesi, hiperestesi, nyeri radikuler,


hilangnya reflek tendon, hilangnya sensibilitas, anhidrosis,
pembentukan kalus, ulkus tropik, perubahan bentuk kaki karena
atrofi otot ataupun perubahan tulang dan sendi seperti Bunion,
Hammer Toes (ibujari martil), dan Charcot Foot. Secara radiologis
akan nampak adanya demineralisasi, osteolisis atau sendi Charcot
(Waspadji,2006).

Neuropati perifer pada kaki akan menyebabkan terjadinya


kerusakan saraf baik saraf sensoris maupun otonom. Kerusakan
sensoris akan menyebabkan penurunan sensoris nyeri, panas dan
raba sehingga penderita mudah terkena trauma akibat keadaan
kaki yang tidak sensitif ini (Waspadji,2006).

Gangguan saraf otonom disini terutama diakibatkan oleh


kerusakan serabut saraf simpatis. Gangguan saraf otonom ini akan
mengakibatkan peningkatan aliran darah, produksi keringat
berkurang atau tidak ada, hilangnya tonus vaskuler
(Waspadji,2006).

Hilangnya tonus vaskuler disertai dengan adanya


peningkatan aliran darah akan menyebabkan distensi vena-vena
kaki dan peningkatan tekanan parsial oksigen di vena. Dengan
demikian peran saraf otonom terhadap timbulnya kaki diabetik
neuropati dapat disimpulkan sebagai berikut : neuropati otonom
akan menyebabkan produksi keringat berkurang, sehingga
menyebabkan kulit penderita akan mengalami dehidrasi serta
menjadi kering dan pecah-pecah yang memudahkan infeksi, dan
selanjutnya timbulnya selullitis ulkus ataupun gangren. Selain itu
neuropati otonom akan mengakibatkan penurunan nutrisi jaringan
31

sehingga terjadi perubahn komposisi, fungsi dan keelastisitasannya


sehingga daya tahan jaringan lunak kaki akan menurun yang
memudahkan terjadinya ulkus (Waspadji,2006).

4. Klasifikasi Kaki Diabetik


Ada berbagai macam klasifikasi kaki diabetes, mulai dari yang
sederhana seperti klasifikasi Edmonds dari King’s College Hospital
London, Klasifikasi Liverpool, sampai klasifikasi Wagner yang lebih
terkait dengan penatalaksanaan kaki diabetes, serta klasifikasi
mutakhir dianjurkan oleh International Working Group on Diabetic Foot
( Klasifikasi PEDIS 2003) ( Waspadji,2006).

a. Klasifikasi Wagner
Menurut Wagner kaki diabetik dibagi menjadi :
1. Derajat 0 : tidak ada lesi terbuka, kulit masih utuh disertai
dengan pembentukan kalus ”claw”
2. Derajat I : ulkus superfisial terbatas pada kulit
3. Derajat II : ulkus dalam dan menembus tendon dan tulang
4. Derajat III : abses dalam, dengan atau tanpa osteomielitis
5. Derajat IV : gangren jari kaki atau bagian distal kaki dengan
atau tanpa selullitis
6. Derajat V : gangren seluruh kaki atau sebagian tungkai
bawah ( Waspadji,2006).

Berdasarkan pembagian diatas, maka tindakan pengobatan


atau pembedahan dapat ditentukan sebagai berikut :

 Derajat 0 : perawatan lokal secara khusus tidak ada


 Derajat I-IV : pengelolaan medik dan tindakan bedah minor
 Derajat V : tindakan bedah minor, bila gagal dilanjutkan
dengan tindakan bedah mayor seperti amputasi di atas lutut
atau amputasi bawah lutut ( Waspadji,2006).
32

Beberapa tindakan bedah khusus diperlukan dalam


pengelolaan kaki diabetik ini, sesuai indikasi dan derajat lesi yang
dijumpai seperti :

1. Insisi : abses atau selullitis yang luas


2. Eksisi : pada kaki diabetik derajat I dan II
3. Debridement/nekrotomi : pada kaki diabetik derajat II, III, IV
dan V
4. Mutilasi : pada kaki diabetik derajat IV dan V
5. Amputasi : pada kaki diabetik derajat V

b. Klasifikasi PEDIS International Consensus on the Diabetic


Foot 2003
Ada empat penilaian kaki diabetes menurut Klasifikasi
PEDIS International Consensus on the Diabetic Foot 2003:
 Impaired Perfusion
1 = None
2 = PAD + but not critical
3 = Critical limb ischemia

 Size/Extent in mm2, Tissue Loss/Depth


1 = Superficial fullthickness, not deeper than dermis
2 = Deep ulcer, below dermis, involving subcutaneous
structures, fascia, muscle or tendon
3 = All subsequent layers of the foot involved including
bone and or joint

 Infections
1 = No symptoms or signs of infection
2 = Infection of skin and subcutaneous tissue only
3 = Erythema> 2 em or infection involving subcutaneous
structure. No systemic sign(s) of inflammatory response
4 = Infection with systemic manifestation: Fever,
leucocytosis, shift to the left Metabolic
33

 Impaired Sensation
instability Hypotension,azotemia
1 = Absent
2 = Present

5. Penatalaksanaan

Untuk optimalisasi pengelolaan kaki diabetes, pada setiap tahap


harus diingat berbagai faktor yang yang harus dikendalikan, yaitu:
 mechanical Control-Pressure Control
 metabolic Control
 vascular Control
 educational Control
 wound Control
 microbiological Control-Infection Control

Pasien dapat diberikan antiagregasi trombosit, hipolipidemik dan


hipotensif bila membutuhkan. Antibiotikpun diberikan bila ada infeksi.
Pilihan antibiotik berupa golongan penisilin spektrum luas,
kloksasilin/dikloksasilin dan golongan aktif seperti klindamisin atau
metronidazol untuk kuman anaerob ( Waspadji,2006).

Prinsip terapi bedah pada kaki diabetik adalah mengeluarkan


semua jaringan nekrotik untuk maskud eliminasi infeksi sehingga luka
dapat sembuh. Terdiri dari tindakan bedah kecil seperti insisi dan
penaliran abses, debridemen dan nekrotomi. Tindakan bedah dilakukan
berdasarkan indikasi yang tepat ( Waspadji,2006).
34

C. Penyakit Buerger

1. Definisi
Penyakit Buerger atau Tromboangitis Obliterans (TAO) adalah
penyakit oklusi kronis pembuluh darah arteri dan vena yang berukuran
kecil dan sedang. Terutama mengenai pembuluh darah perifer ekstremitas
inferior dan superior. Penyakit pembuluh darah arteri dan vena ini bersifat
segmental pada anggota gerak dan jarang pada alat-alat dalam.
Penyakit Tromboangitis Obliterans merupakan kelainan yang
mengawali terjadinya obstruksi pada pembuluh darah tangan dan kaki.
Pembuluh darah mengalami konstriksi atau obstruksi sebagian yang
dikarenakan oleh inflamasi dan bekuan sehingga mengurangi aliran darah
ke jaringan (Hanley,2008).

2. Etiologi
Penyebabnya tidak jelas, tetapi biasanya tidak ada faktor familial
serta tidak ada hubungannya dengan penyakit Diabetes Mellitus.
Penderita penyakit ini umumnya perokok berat yang kebanyakan mulai
merokok pada usia muda, kadang pada usia sekolah . Penghentian
kebiasaan merokok memberikan perbaikan pada penyakit ini.
Walaupun penyebab penyakit Buerger belum diketahui, suatu
hubungan yang erat dengan penggunaan tembakau tidak dapat disangkal.
Penggunaan maupun dampak dari tembakau berperan penting dalam
mengawali serta berkembangnya penyakit tersebut. Hampir sama dengan
penyakit autoimune lainnya, Tromboangitis Obliterans dapat memiliki
sebuah predisposisi genetik tanpa penyebab mutasi gen secara langsung.
Sebagian besar peneliti mencurigai bahwa penyakit imun adalah suatu
endarteritis yang dimediasi sistem imun (Hanley,2008).
35

3. Patogenesis
Mekanisme penyebaran penyakit Buerger sebenarnya belum jelas,
tetapi beberapa penelitian telah mengindikasikan suatu implikasi
fenomena imunologi yang mengawali tidak berfungsinya pembuluh darah
dan wilayah sekitar thrombus. Pasien dengan penyakit ini memperlihatkan
hipersensitivitas pada injeksi intradermal ekstrak tembakau, mengalami
peningkatan sel yang sangat sensitive pada kolagen tipe I dan III,
meningkatkan serum titer anti endothelial antibody sel , dan merusak
endothel terikat vasorelaksasi pembuluh darah perifer. Meningkatkan
prevalensi dari HLA-A9, HLA-A54, dan HLA-B5 yang dipantau pada
pasien ini, yang diduga secara genetic memiliki penyakit ini (Hanley,2008).
Akibat iskemia pembuluh darah (terutama ekstremitas inferior),
akan terjadi perubahan patologis : (a) otot menjadi atrofi atau mengalami
fibrosis, (b) tulang mengalami osteoporosis dan bila timbul gangren maka
terjadi destruksi tulang yang berkembang menjadi osteomielitis, (c) terjadi
kontraktur dan atrofi, (d) kulit menjadi atrofi, (e) fibrosis perineural dan
perivaskular, (f) ulserasi dan gangren yang dimulai dari ujung jari
(Hanley,2008).

4. Manifestasi klinis
Gambaran klinis Tromboangitis Obliterans terutama disebabkan
oleh iskemia. Gejala yang paling sering dan utama adalah nyeri yang
bermacam-macam tingkatnya. Pengelompokan Fontaine tidak dapat
digunakan disini karena nyeri terjadi justru waktu istirahat. Nyerinya
bertambah pada waktu malam dan keadaan dingin, dan akan berkurang
bila ekstremitas dalam keadaan tergantung. Serangan nyeri juga dapat
bersifat paroksimal dan sering mirip dengan gambaran penyakit Raynaud.
Pada keadaan lebih lanjut, ketika telah ada tukak atau gangren, maka
nyeri sangat hebat dan menetap (Hanley,2008).
Manifestasi terdini mungkin klaudikasi (nyeri pada saat berjalan)
lengkung kaki yang patognomonik untuk penyakit Buerger. Klaudikasi kaki
merupakan cermin penyakit oklusi arteri distal yang mengenai arteri
36

plantaris atau tibioperonea. Nyeri istirahat iskemik timbul progresif dan


bisa mengenai tidak hanya jari kaki, tetapi juga jari tangan dan jari yang
terkena bisa memperlihatkan tanda sianosis atau rubor, bila bergantung.
Sering terjadi radang lipatan kuku dan akibatnya paronikia. Infark kulit
kecil bisa timbul, terutama pulpa phalang distal yang bisa berlanjut
menjadi gangren atau ulserasi kronis yang nyeri (Hanley,2008).
Tanda dan gejala lain dari penyakit ini meliputi rasa gatal dan bebal
pada tungkai dan penomena Raynaud ( suatu kondisi dimana ekstremitas
distal : jari, tumit, tangan, kaki, menjadi putih jika terkena suhu dingin).
Ulkus dan gangren pada jari kaki sering terjadi pada penyakit buerger
(gambar 4). Sakit mungkin sangat terasa pada daerah yang terkena.

Gambar 2. Manifestasi Klinis Buerger Disease


(http://doctorology.net/wp-content/uploads/2009/04/manifestasi-klinis-
buerger-disease.jpg)
Perubahan kulit seperti pada penyakit sumbatan arteri kronik
lainnya kurang nyata. Pada mulanya kulit hanya tampak memucat ringan
terutama di ujung jari. Pada fase lebih lanjut tampak vasokonstriksi yang
ditandai dengan campuran pucat-sianosis-kemerahan bila mendapat
rangsangan dingin. Berbeda dengan penyakit Raynaud, serangan iskemia
disini biasanya unilateral. Pada perabaan, kulit sering terasa dingin. Selain
itu, pulsasi arteri yang rendah atau hilang merupakan tanda fisik yang
penting (Hanley,2008).
Tromboflebitis migran superfisialis dapat terjadi beberapa bulan
atau tahun sebelum tampaknya gejala sumbatan penyakit Buerger. Fase
akut menunjukkan kulit kemerahan, sedikit nyeri, dan vena teraba sebagai
saluran yang mengeras sepanjang beberapa milimeter sampai sentimeter
37

di bawah kulit. Kelainan ini sering muncul di beberapa tempat pada


ekstremitas tersebut dan berlangsung selama beberapa minggu. Setelah
itu tampak bekas yang berbenjol-benjol. Tanda ini tidak terjadi pada
penyakit arteri oklusif, maka ini hampir patognomonik untuk tromboangitis
obliterans (Hanley,2008).
Gejala klinis Tromboangitis Obliterans sebenarnya cukup beragam.
Ulkus dan gangren terjadi pada fase yang lebih lanjut dan sering didahului
dengan udem dan dicetuskan oleh trauma. Daerah iskemia ini sering
berbatas tegas yaitu pada ujung jari kaki sebatas kuku. Batas ini akan
mengabur bila ada infeksi sekunder mulai dari kemerahan sampai ke
tanda selulitis.
Gambar 2 merupakan gambar jari pasien penyakit Buerger yang
telah terjadi gangren. Kondisi ini sangat terasa nyeri dan dimana suatu
saat dibutuhkan amputasi pada daerah yang tersebut.
Perjalanan penyakit ini khas, yaitu secara bertahap bertambah
berat. Penyakit berkembang secara intermitten, tahap demi tahap,
bertambah falang demi falang, jari demi jari. Datangnya serangan baru
dan jari mana yang bakal terserang tidak dapat diramalkan. Morbus
buerger ini mungkin mengenai satu kaki atau tangan, mungkin keduanya.
Penderita biasanya kelelahan dan payah sekali karena tidurnya terganggu
oleh nyeri iskemia (Hanley,2008).

5. Kriteria Diagnosis
Diagnosis pasti penyakit Tromboangitis Obliterans sering sulit jika
kondisi penyakit ini sudah sangat parah. Ada beberapa kriteria yang dapat
dijadikan kriteria diagnosis walaupun kriteria tersebut kadang-kadang
berbeda antara penulis yang satu dengan yang lainnya.
Beberapa hal di bawah ini dapat dijadikan dasar untuk mendiagnosis
penyakit Buerger :
1. Adanya tanda insufisiensi arteri
2. Umumnya pria dewasa muda
3. Perokok berat
38

4. Adanya gangren yang sukar sembuh


5. Riwayat tromboflebitis yang berpindah
6. Tidak ada tanda arterosklerosis di tempat lain
7. Yang terkena biasanya ekstremitas bawah
8. Diagnosis pasti dengan patologi anatomi
Sebagian besar pasien (70-80%) yang menderita penyakit Buerger
mengalami nyeri iskemik bagian distal saat istirahat dan atau ulkus
iskemik pada tumit, kaki atau jari-jari kaki (Hanley,2008).
Penyakit Buerger’s juga harus dicurigai pada penderita dengan satu
atau lebih tanda klinis berikut ini :
a. Jari iskemik yang nyeri pada ekstremitas atas dan bawah pada
laki-laki dewasa muda dengan riwayat merokok yang berat.
b. Klaudikasi kaki
c. Tromboflebitis superfisialis berulang
d. Sindrom Raynaud

6. Diagnosis Banding
Penyakit Buerger harus dibedakan dari penyakit oklusi arteri kronik
aterosklerotik. Keadaan terakhir ini jarang mengenai ekstremitas atas.
Penyakit oklusi aterosklerotik diabetes timbul dalam distribusi yang sama
seperti Tromboangitis Obliterans, tetapi neuropati penyerta biasanya
menghalangi perkembangan klaudikasi kaki (Hanley,2008).

7. Pemeriksaan Penunjang
Tidak terdapat pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk
mendiagnosis penyakit Buerger. Tidak seperti penyakit vaskulitis lainnya,
reaksi fase akut (seperti angka sedimen eritrosit dan level protein C
reaktif) pasien penyakit Buerger adalah normal.
Pengujian yang direkomendasikan untuk mendiagnosis penyebab
terjadinya vaskulitis termasuk didalamnya adalah pemeriksaaan darah
lengkap; uji fungsi hati; determinasi konsentrasi serum kreatinin,
peningkatan kadar gula darah dan angka sedimen, pengujian antibody
39

antinuclear, faktor rematoid, tanda-tanda serologi pada CREST (calcinosis


cutis, Raynaud phenomenon, sklerodaktili and telangiektasis) sindrom dan
scleroderma dan screening untuk hiperkoagulasi, screening ini meliputi
pemeriksaan antibodi antifosfolipid dan homocystein pada pasien buerger
sangat dianjurkan (Hanley,2008).
Angiogram pada ekstremitas atas dan bawah dapat membantu
dalam mendiagnosis penyakit Buerger. Pada angiografii tersebut
ditemukan gambaran “corkscrew” dari arteri yang terjadi akibat dari
kerusakan vaskular, bagian kecil arteri tersebut pada bagian pergelangan
tangan dan kaki. Angiografi juga dapat menunjukkan oklusi (hambatan)
atau stenosis (kekakuan) pada berbagai daerah dari tangan dan kaki.
Penurunan aliran darah (iskemi) pada tangan dapat dilihat pada
angiogram. Keadaan ini akan memgawali terjadinya ulkus pada tangan
dan rasa nyeri (Hanley,2008).
Meskipun iskemik (berkurangannya aliran darah) pada penyakit
Buerger terus terjadi pada ekstrimitas distal yang terjadi, penyakit ini tidak
menyebar ke organ lainnya , tidak seperti penyakit vaskulitis lainnya. Saat
terjadi ulkus dan gangren pada jari, organ lain sperti paru-paru, ginjal,
otak, dan traktus gastrointestinal tidak terpengaruh. Penyebab hal ini
terjadi belum diketahui.
Pemeriksaan dengan Doppler dapat juga membantu dalam
mendiagnosis penyakit ini, yaitu dengan mengetahui kecepatan aliran
darah dalam pembuluh darah (Hanley,2008).
Pada pemeriksaan histopatologis, lesi dini memperlihatkan oklusi
pembuluh darah oleh trombus yang mengandung PMN dan mikroabses;
penebalan dinding pembuluh darah secara difus. Lesi yang lanjut
biasanya memperlihatkan infiltrasi limfosit dengan rekanalisasi.
Metode penggambaran secara modern, seperti computerize
tomography (CT) dan Magnetic resonance imaging (MRI) dalam diagnosis
dan diagnosis banding dari penyakit Buerger masih belum dapat menjadi
acuan utama. Pada pasien dengan ulkus kaki yang dicurigai
40

Tromboangitis Obliterans, Allen test sebaiknya dilakukan untuk


mengetahui sirkulasi darah pada tangan dan kaki (Hanley,2008).

8. Terapi
Terapi medis penderita penyakit Buerger harus dimulai dengan
usaha intensif untuk meyakinkan pasien untuk berhenti merokok. Jika
pasien berhasil berhenti merokok, maka penyakit ini akan berhenti pada
bagian yang terkena sewaktu terapi diberikan. Sayangnya, kebanyakan
pasien tidak mampu berhenti merokok dan selalu ada progresivitas
penyakit. Untuk pembuluh darahnya dapat dilakukan dilatasi (pelebaran)
dengan obat vasodilator, misalnya Ronitol yang diberikan seumur hidup.
Perawatan luka lokal, meliputi mengompres jari yang terkena dan
menggunakan enzim proteolitik bisa bermanfaat. Antibiotic diindikasikan
untuk infeksi sekunder (Hanley,2008).
Terapi bedah untuk penderita buerger meliputi debridement
konservatif jaringan nekrotik atau gangrenosa , amputasi konservatif
dengan perlindungan panjang maksimum bagi jari atau ekstremitas, dan
kadang-kadang simpatektomi lumbalis bagi telapak tangan atau
simpatetomi jari walaupun kadang jarang bermanfat.
Revaskularisasi arteri pada pasien ini juga tidak mungkin dilakukan
sampai terjadi penyembuhan pada bagian yang sakit. Keuntungan dari
bedah langsung (bypass) pada arteri distal juga msih menjadi hal yang
kontroversial karena angka kegagalan pencangkokan tinggi.
Bagaimanapun juga, jika pasien memiliki bebrapa iskemik pada pembuluh
darah distal, bedah bypass dengan pengunaan vena autolog sebaiknya
dipertimbangkan (Hanley,2008).
Simpatektomi dapat dilakukan untuk menurunkan spasma arteri
pada pasien penyakit Buerger. Melalui simpatektomi dapat mengurangi
nyeri pada daerah tertentu dan penyembuhan luka ulkus pada pasien
penyakit buerger tersebut, tetapi untuk jangka waktu yang lama
keuntungannya belum dapat dipastikan.
41

Simpatektomi lumbal dilakukan dengan cara mengangkat paling


sedikit 3 buah ganglion simpatik, yaitu Th12, L1 dan L2. Dengan ini efek
vasokonstriksi akan dihilangkan dan pembuluh darah yang masih elastis
akan melebar sehingga kaki atau tangan dirasakan lebih hangat.
Terapi bedah terakhir untuk pasien penyakit Buerger (yaitu pada
pasien yang terus mengkonsumsi tembakau) adalah amputasi tungkai
tanpa penyembuhan ulcers, gangrene yang progresif, atau nyeri yang
terus-menerus serta simpatektomi dan penanganan lainnya gagal.
Hidarilah amputasi jika memungkinkan, tetapi, jika dibutuhkan, lakukanlah
operasi dengan cara menyelamatkan tungkai kaki sebanyak mungkin.
Beberapa usaha berikut sangat penting untuk mencegah komplikasi dari
penyakit buerger:
- Gunakanlah alas kaki yang dapat melindungi untuk menghindari
trauma kaki dan panas atau juga luka karena kimia lainnya.
- Lakukanlah perawatan lebih awal dan secara agresif pada lula-luka
ektremis untuk menghindari infeksi
- Menghindar dari lingkungan yang dingin
- Menghindari obat yang dapat memicu vasokontriksi

9. Prognosis
Pada pasien yang berhenti merokok, 94% pasien tidak perlu
mengalami amputasi; apalagi pada pasien yang berhenti merokok
sebelum terjadi gangrene, angka kejadian amputasi mendekati 0%. Hal ini
tentunya sangat berbeda sekali dengan pasien yang tetap merokok,
sekitar 43% dari mereka berpeluang harus diamputasi selama periode
waktu 7 sampai 8 tahun kemudian, bahkan pada mereka harus dilakukan
multiple amputasi. Pada pasien ini selain umumnya dibutuhkan amputasi
tungkai, pasien juga terus merasakan klaudikasi (nyeri pada saat berjalan)
atau fenomena raynaud’s walaupun sudah benar-benar berhenti
mengkonsumi tembakau (Hanley,2008).
42

D. Deep Vein Thrombosis (DVT)

1. Definisi
Trombosis vena dalam adalah suatu keadaan terjadinya gumpalan
darah (trombus) pada pembuluh darah balik (vena) dalam di daerah
tungkai bawah. Setiap tahunnya diperkirakan terdapat 1 di antara 1000
orang menderita kelainan ini. Dari jumlah tersebut, kurang lebih satu
sampai lima persen penderita meninggal akibat komplikasi yang
ditimbulkan (Sukrisman, 2006, NHLBI,2007).
Trombus yang terbentuk di tungkai bawah tersebut dapat lepas dari
tempatnya dan berjalan mengikuti aliran darah, disebut dengan emboli.
Emboli yang terbentuk dapat mengikuti aliran darah hingga ke jantung dan
paru. Biasanya emboli tersebut akan menyumbat di salah satu atau lebih
pembuluh darah paru, menimbulkan suatu keadaan yang disebut dengan
embolisme paru (pulmonary embolism) (Sukrisman, 2006).
Tingkat keparahan dari embolisme paru tergantung dari jumlah dan
ukuran dari emboli tersebut. Jika ukuran dari emboli kecil, maka akan
terjadi penyumbatan pada pembuluh darah paru yang kecil, sehingga
menyebabkan kematian jaringan paru (pulmonary infarction). Namun jika
ukuran emboli besar maka dapat terjadi penyumbatan pada sebagian atau
seluruh darah dari jantung kanan ke paru, sehingga menyebabkan
kematian (Sukrisman, 2006).

2. Etiologi
Ada 3 faktor yang dapat menyebabkan terjadinya trombosis vena dalam,
yaitu :
1. Cedera pada pembuluh darah balik
Pembuluh darah balik dapat cedera selama terjadinya tindakan
bedah, suntikan bahan yang mengiritasi pembuluh darah balik,
atau kelainan-kelainan tertentu pada pembuluh darah balik.
2. Peningkatan kecenderungan terjadinya pembekuan darah
Terdapat beberapa kelainan yang dapat menyebabkan
43

terjadinya peningkatan kecenderungan terjadinya pembekuan


darah. Beberapa jenis kanker dan penggunaan kontrasepsi oral
dapat memudahkan terjadinya pembekuan darah. Kadang-
kadang pembekuan darah juga dapat terjadi setelah proses
persalinan atau setelah tindakan operasi. Selain itu pembekuan
darah juga mudah terjadi pada individu yang berusia tua,
keadaan dehidrasi, dan pada individu yang merokok.
3. Melambatnya aliran darah pada pembuluh darah balik
Hal ini dapat terjadi pada keadaan seperti perawatan lama di
rumah sakit atau pada penerbangan jarak jauh. Pada keadaan-
keadaan tersebut otot-otot pada daerah tungkai bawah tidak
berkontraksi sehingga aliran darah dari kaki menuju ke jantung
berkurang. Akibatnya aliran darah pada pembuluh darah balik
melambat dan memudahkan terjadinya trombosis pada vena
dalam (Sukrisman, 2006, Kinnealley,2001).

Gambar 2. Trombosis vena dalam


( Sumber http://www.fortunestar.co.id/images/stories/trombosis-vena.jpg )
44

3. Manifestasi Klinis

Sebagian penderita trombosis vena dalam tidak mengalami gejala


sama sekali. Pada penderita-penderita ini biasanya gejala nyeri dada,
akibat dari embolisme paru, adalah indikasi pertama adanya suatu
kelainan. Jika trombus besar dan menyumbat aliran darah pada pembuluh
darah balik yang besar, maka akan timbul gejala pembengkakan pada
tungkai bawah, yang nyeri dan hangat pada perabaan (Sukrisman, 2006).
Beberapa trombus dapat mengalami perbaikan secara spontan dan
membentuk jaringan parut. Jaringan parut yang terjadi dapat merusak
katup yang terdapat pada pembuluh darah balik di daerah tungkai bawah.
Akibat kerusakan ini maka dapat terjadi pembengkakan pada daerah
tersebut. Pembengkakan biasanya lebih sering terjadi pada saat pagi
hingga sore hari karena darah harus mengalir ke atas, menuju jantung,
melawan gaya gravitasi. Pada malam hari pembengkakan yang terjadi
agak berkurang karena posisi tungkai bawah dalam keadaan horisontal
sehingga aliran darah balik dari tungkai bawah ke jantung lebih baik
(Sukrisman, 2006).
Gejala lebih lanjut dari trombosis vena dalam adalah terjadinya
perubahan warna pada kulit di sekitar daerah yang terkena menjadi
kecoklatan. Hal ini terjadi karena sel darah merah akan keluar dari
pembuluh darah balik yang bersangkutan dan mengumpul di bawah kulit.
Kulit yang berubah warna menjadi kecoklatan ini sangat rentan terhadap
cedera ringan seperti garukan atau benturan, menimbulkan suatu borok
(ulkus). Jika pembengkakan makin berat dan persisten maka jaringan
parut akan memerangkap cairan di sekitarnya. Akibatnya tungkai akan
membengkak permanen dan mengeras sehingga memudahkan terjadinya
ulkus yang sulit sembuh (Sukrisman, 2006, Kinnealley,2001).
45

5. Diagnosis
Diagnosis dari trombosis vena dalam dapat ditegakkan dari
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan fisik
ditujukan untuk menemukan adanya tanda dan gejala trombosis vena
dalam.
Beberapa pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan untuk
membantu diagnosis trombosis vena dalam antara lain:
 Ultrasonografi. Pemeriksaan ini menggunakan gelombang suara
untuk membentuk gambaran aliran darah melalui pembuluh darah
arteri dan pembuluh darah balik pada bagian tungkai yang terkena.
 Tes D-Dimer. Pemeriksaan ini mengukur kadar D-Dimer dalam
darah yang biasanya dikeluarkan ketika bekuan darah memecah.
 Venografi. Pemeriksaan ini merupakan suatu standar baku (gold
standard) pada trombosis vena dalam. Pada pemeriksaan ini suatu
pemindai akan diinjeksikan ke dalam pembuluh darah balik,
kemudian daerah tersebut akan dirőntgen dengan sinar X. Jika
pada hasil foto terdapat area pada pembuluh darah balik yang tidak
terwarnai dengan pemindai maka diagnosis trombosis vena dalam
dapat ditegakkan (Sukrisman, 2006, Kinnealley,2001).

6. Penatalaksanaan
Tujuan terapi untuk trombosis vena dalam adalah untuk mencegah
pembentukan bekuan darah yang lebih besar, mencegah terjadinya
emboli paru, serta mencegah terjadinya bekuan darah di masa yang akan
datang.
Beberapa obat dapat digunakan untuk mencegah dan mengobati
trombosis vena dalam. Obat-obatan yang paling sering digunakan adalah
golongan antikoagulan seperti warfarin atau heparin. Obat antikoagulan
berguna untuk mencegah terjadinya gumpalan darah. Perlu diperhatikan
pula bahwa obat-obatan golongan antikoagulan dapat menyebabkan
terjadinya efek samping perdarahan (Sukrisman, 2006, Kinnealley,2001).
46

Terapi lain yang dapat dilakukan adalah dengan pemasangan filter


atau penyaring yang diletakkan pada pembuluh darah balik dari tubuh
bagian bawah yang menuju ke arah jantung (vena cava inferior).
Penyaring ini berguna untuk mencegah emboli yang terbentuk mencapai
paru dan menimbulkan embolisme paru (Sukrisman, 2006).
Untuk mengurangi nyeri dan bengkak pada tungkai maka dapat
dilakukan elevasi atau kompresi pada tungkai yang terkena. Kompresi
dapat dilakukan dengan cara pemasangan stocking khusus, yang dapat
memberikan kompresi atau tekanan halus pada tungkai (Sukrisman, 2006,
Kinnealley,2001).

Daftar Pustaka
47

Armstrong, D & Lawrence, A . Diabetic Foot


Ulcers,Prevention,Diagnosis and Classification. 1998.
http://www.aafp.org/afp/980315ap/armstron.html,.
Diakses tanggal 10 Februari 2010.

Cunha, BA. Diabetic Foot Infections. 2005.


http://www.emedicine.com/med/topic3547.htm. Diakses
tanggal 10 Februari 2010.

Hanley, EJ. Buerger Disease. 2008.


http://www.emedicine.medescape.com/topic4600.htm.
Diakses tanggal 10 Februari 2010.

Hendromartono. DM Harus Diobati Meski Belum Bisa Disembuhkan.


2004. http://cybermed.cbn.net.id/detil.asp?
kategori=Health&newsno=2507. Diakses tanggal 10 Februari
2010.

Karmila N. Pengaruh Pemberian Warfarin Selama 7 Hari Tehadap


Status Hiperkoagulasi Penderita Ulkus Kaki Diabetik. 2009.
Tesis PPDS FK-USU. www.usu-library.co.id Diakses tanggal
10 Februari 2010.

Kinnealley, E. Penyakit Vaskular. Dalam Patofisiologi Konsep Klinis


Proses-Proses Penyakit, Sylvia AP, Lorraine MW, eds., Buku
II, Edisi 4, Jakarta : EGC; 2001; 611-37.

NHLBI. What is deep vein thrombosis. National Heart Lung and Blood
Institute 2007
http://www.nhlbi.nih.gov/health/dci/Diseases/DVT_WhatIs.htm
Diakses tanggal 10 Februari 2010
48

Schteingart, D. Pankreas Metabolisme Glukosa Dan Diabetes Mellitus.


Dalam Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit,
Sylvia AP, Lorraine MW, eds., Buku II, Edisi 4, Jakarta : EGC;
2001;163 : 117-1119

Suyono S. Diabetes Mellitus di Indonesia. Dalam Aru W Sudoyo,dkk,


(editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi keempat.
Jakarta: BP FKUI; 2006. hal 1874-8

Sukrisman. Trombosis vena dalam. Dalam : Aru W Sudoyo,dkk,


(editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi keempat.
Jakarta: BP FKUI; 2006. hal 802-6.

Waspadji S. Kaki Diabetes. Dalam : Aru W Sudoyo,dkk, (editor). Buku


Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi keempat. Jakarta: BP FKUI;
2006. hal 1933-36.

You might also like