You are on page 1of 26

Case Report Session

IMPETIGO KRUSTOSA

oleh :

Teda Faadhila 1210312106

Nathasa Firdanasari 1210313023

Roby Putrama 1210313085

Pembimbing

dr. Lili Irawati, M. Biomed

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

PADANG

2018

1
BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Impetigo adalah penyakit kulit superfisial yang disebabkan infeksi

piogenik oleh bakteri Gram positif. Impetigo lebih sering terjadi pada usia anak-

anak walaupun pada orang dewasa dapat terjadi. Penularan impetigo tergolong

tinggi, terutama melalui kontak langsung. Individu yang terinfeksi dapat

menginfeksi dirinya sendiri atau orang lain setelah menggaruk lesi. Infeksi

seringkali menyebar dengan cepat di sekolah, tempat penitipan anak atau pada

tempat dengan hygiene buruk atau juga tempat tinggal yang padat

penduduk1,2,3

Impetigo krustosa merupakan jenis infeksi piogenik yang paling banyak

ditemukan di dunia (70% dari kasus impetigo).2,3,4 Impetigo krustosa harus

diobati secara cepat dan tepat karena dapat menyebabkan beberapa komplikasi

terutama glomerulonefritis akut.5 Terapi antibiotik topikal merupakan pilihan

pertama impetigo terutama bila lesi yang terbatas, tanpa gejala sistemik atau

komplikasi sementara terapi sistemik dipertimbangkan bila diperlukan.1,5

2
I.2. Tujuan

a. Memahami definisi, etiologi, epidemiologi, patofisiologi, tanda gejala,

diagnosa banding, komplikasi, penatalaksanaan dan prognosi Impetigo

Krustosa.

b. Dapat mengetahui dan membedakan diagnosa banding dari Impetigo

Krustosa.

I.3. Manfaat

a. Sebagai sumber informasi dan pelengkap bahan refrensi.

b. Untuk mendapatkan pengetahuan yang bermanfaat.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Definisi

Impetigo krustosa merupakan penyakit infeksi piogenik kulit

superfisial yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus, Streptococcus group

A beta-hemolitikus (GABHS), atau kombinasi keduanya dan digambarkan dengan

perubahan vesikel berdinding tipis, diskret, menjadi pustul dan ruptur serta

mengering membentuk krusta Honey-colored. dengan tepi yang mudah

dilepaskan.1,5

Pada negara maju, impetigo krustosa banyak disebabkan oleh

Staphylococcus aureus dan sedikit oleh Streptococcus group A beta-hemolitikus

(Streptococcus pyogenes). Banyak penelitian yang menemukan 50-60% kasus

3
impetigo krustosa penyebabnya adalah Staphylococcus aureus dan 20-45% kasus

merupakan kombinasi Staphylococcus aureus dengan Streptococcus pyogenes.

Namun di negara berkembang, yang menjadi penyebab utama impetigo krustosa

adalah Streptococcus pyogenes.4,5,6 Staphylococcus aureus banyak terdapat

pada faring, hidung, aksila dan perineal merupakan tempat berkembangnya

penyakit impetigo krustosa2

II.2. Epidemiologi

Terjadinya penyakit impetigo krustosa di seluruh dunia tergolong

relatif sering. Penyakit ini banyak terjadi pada anak - anak kisaran usia 2-5 tahun

dengan rasio yang sama antara laki-laki dan perempuan. Di Amerika, impetigo

merupakan 10% dari penyakit kulit anak yang menjadi penyakit infeksi kulit

bakteri utama dan penyakit kulit peringkat tiga terbesar pada anak. Di Inggris

kejadian impetigo pada anak sampai usia 4 tahun sebanyak 2,8% pertahun dan

1,6% pada anak usia 5-15 tahun. 1,3,4,6

Impetigo krustosa banyak terjadi pada musim panas dan daerah

lembab, seperti Amerika Selatan yang merupakan daerah endemik dan

predominan, dengan puncak insiden di akhir musim panas. Anak-anak

prasekolah dan sekolah paling sering terinfeksi. Pada usia dewasa, laki-laki lebih

banyak dibanding perempuan.2 Disamping itu, ada beberapa faktor yang dapat

mendukung terjadinya impetigo krustosa seperti:

- hunian padat

- higiene buruk

- hewan peliharaan

4
- keadaan yang mengganggu integritas epidermis kulit seperti gigitan

serangga, herpes simpleks, varisela, abrasi, atau luka bakar.1,4,5

II.3. Patogenesis

Gambar 1. Struktur Stretoccocus Pyogenes dan substansinya

Impetigo krustosa dimulai ketika trauma kecil terjadi pada kulit

normal sebagai portal of entry yang terpapar oleh kuman melalui kontak

5
langsung dengan pasien atau dengan seseorang yang menjadi carrier.

Kuman tersebut berkembang biak dikulit dan akan menyebabkan

terbentuknya lesi dalam satu sampai dua minggu.6

Cara infeksi pada impetigo krustosa ada 2, yaitu infeksi primer dan

infeksi sekunder.

Infeksi Primer

Infeksi primer, biasanya terjadi pada anak-anak. Awalnya, kuman

menyebar dari hidung ke kulit normal (kira-kira 11 hari), kemudian berkembang

menjadi lesi pada kulit. Lesi biasanya timbul di atas kulit wajah (terutama sekitar

lubang hidung) atau ekstremitas setelah trauma.4

Infeksi sekunder

Infeksi sekunder terjadi bila telah ada penyakit kulit lain sebelumnya

(impetiginisasi) seperti dermatitis atopik, dermatitis statis, psoariasis vulgaris,

SLE kronik, pioderma gangrenosum, herpes simpleks, varisela, herpes zoster,

pedikulosis, skabies, infeksi jamur dermatofita, gigitan serangga, luka lecet, luka

goresan, dan luka bakar, dapat terjadi pada semua umur2,7.

Impetigo krustosa biasanya terjadi akibat trauma superfisialis dan

robekan pada epidermis, akibatnya kulit yang mengalami trauma tersebut

menghasilkan suatu protein yang mengakibatkan bakteri dapat melekat dan

membentuk suatu infeksi impetigo krustosa2. Keluhan biasanya gatal dan nyeri4

Impetigo krustosa sangat menular, berkembang dengan cepat melalui

kontak langsung dari orang ke orang. Impetigo banyak terjadi pada musim panas

dan cuaca yang lembab. Pada anak-anak sumber infeksinya yaitu binatang

peliharaan, kuku tangan yang kotor, anak-anak lainnya di sekolah, daerah rumah

6
kumuh, sedangkan pada dewasa sumbernya yaitu tukang cukur, salon

kecantikan, kolam renang, dan dari anak-anak yang telah terinfeksi5.

II.4. Histopatologi

Terjadinya inflamasi superfisialis pada folikel pilosebaseus bagian atas.

Terdapat vesikopustul di subkorneum yang berisi coccus serta debris berupa

leukosit dan sel epidermis. Pada dermis terjadi inflamasi ringan yang ditandai

dengan dilatasi pembuluh darah, edema, dan infiltrasi leukosit polimorfonuklear.

5 Seringkali terjadi spongiosis yang mendasari pustula. Pada lesi terdapat kokus

Gram positif.2

II.5. Manifestasi Klinis

Impetigo krustosa dapat terjadi di mana saja pada tubuh, tetapi biasanya

pada bagian tubuh yang sering terpapar dari luar misalnya wajah, leher, dan

ekstremitas. Impetigo Krustosa diawali dengan munculnya eritema

berukuran kurang lebih 2 mm yang dengan cepat membentuk vesikel, bula

atau pustul berdinding tipis. Kemudian vesikel, bula atau pustul tersebut

ruptur menjadi erosi kemudian eksudat seropurulen mengering dan

menjadi krusta yang berwarna kuning keemasan (honey-colored) dan dapat

meluas lebih dari 2 cm. Lesi biasanya berkelompok dan sering konfluen

meluas secara irreguler. Pada kulit dengan banyak pigmen, lesi dapat

disertai hipopigmentasi atau hiperpigmentasi. Krusta pada akhirnya

mengering dan lepas dari dasar yang eritema tanpa pembentukan jaringan

scar.1,4,5,8

Lesi dapat membesar dan meluas mengenai lokasi baru dalam

waktu beberapa minggu apabila tidak diobati. Pada beberapa orang lesi

7
dapat remisi spontan dalam 2-3 minggu atau lebih lama terutama bila

terdapat penyakit akibat parasit atau pada iklim panas dan lembab, namun

lesi juga dapat meluas ke dermis membentuk ulkus (ektima).1,4

Kelenjar limfe regional dapat mengalami pembesaran pada 90%

pasien tanpa pengobatan (terutama pada infeksi Streptococcus) dan dapat

disertai demam. Membran mukosa jarang terlibat. 1,4,5

Gambar 2. impetigo krustosa di ekstremitas superior pada anak-anak1.

Gambar 3. impetigo

krustosa di sekitar

lubang hidung dan

mulut pada anak-

anak4.

II.6 Diagnosis

8
Diagnosis impetigo krustosa ditegakkan melalui anamnesis dan

pemeriksaan fisik dengan mengidentifikasi tanda dan gejala yang ada dan dapat

dibantu dengan pemeriksaan penunjang seperti pewarnaan Gram, biakan

kuman, dan tes serologi serta histopatologi.2,8

Pada pulasan gram, ditemukan coccus Gram positif yang lebih terlihat

bila pemeriksaan dilakukan saat lesi masih berupa vesikel. Biasanya diperlukan

pemeriksaan biakan kuman dan sensitivitas bila terapi tidak menghasilkan

respon baik yang menunjukkan sudah terjadi resistensi kuman. Pada

pemeriksaan serologi didapatkan ASO titer positif lemah pada pioderma

streptococcus. Leukositosis ditemukan pada sebagian penderita impetigo

krustosa. 2,8

II.7. Diagnosis Banding

Diagnosis banding Impetigo krustosa terdiri dari:

a. Dermatitis Atopik

Terdapat riwayat atopi seperti asma, rhinitis alergika. Lesi pruritus

kronik dan kulit kering abnormal dapat disertai likenifikasi.3,9

b. Dermatitis Kontak

Gatal pada daerah sensitif yang kontak dengan bahan iritan. 3

c. Herpes Simpleks

Vesikel dengan dasar eritema yang ruptur menjadi erosi ditutupi

krusta. Umumnya terdapat demam, malaise, disertai limfadenopati. 3,9

d. Varisela

Terdapat gejala prodomal seperti demam, malaise, anoreksia.

Vesikel dinding tipis dengan dasar eritema (bermula di trunkus dan

9
menyebar ke wajah dan ekstremitas) yang kemudian ruptur membentuk

krusta (lesi berbagai stadium).3

e. Kandidiasis

Kandidiasis (infeksi jamur candida): papul eritem, basah, umumnya

di daerah selaput lendir atau daerah lipatan. 3

f. Diskoid lupus eritematous

Ditemukan (plak), batas tegas yang mengenai sampai folikel rambut.

g. Ektima

Lesi berkrusta yang menutupi daerah ulkus yang menetap selama

beberapa minggu dan sembuh dengan jaringan parut bila menginfeksi

dermis. 3

h. Gigitan serangga

Terdapat papul pada daerah gigitan, dapat nyeri. 3

i. Skabies

Papul yang kecil dan menyebar, terdapat terowongan pada sela-sela

jari, gatal pada malam hari.3

II.8. Komplikasi

1. Ektima

Impetigo yang tidak diobati dapat meluas lebih dalam dan penetrasi

ke epidermis menjadi ektima. Ektima merupakan pioderma pada jaringan

kutan yang ditandai dengan adanya ulkus dan krusta tebal.4,5

2. Selulitis dan Erisepelas

10
Impetigo krustosa dapat menjadi infeksi invasif menyebabkan

terjadinya selulitis dan erisepelas, meskipun jarang terjadi. Selulitis

merupakan peradangan akut kulit yang mengenai jaringan subkutan

(jaringan ikat longgar) yang ditandai dengan eritema setempat, ketegangan

kulit disertai malaise, menggigil dan demam. Sedangkan erisepelas

merupakan peradangan kulit yang melibatkan pembuluh limfe superfisial

ditandai dengan eritema dan tepi meninggi, panas, bengkak, dan biasanya

disertai gejala prodromal.1,4,5

3. Glomerulonefritis Post Streptococcal

Komplikasi utama dan serius dari impetigo krustosa yang umumnya

disebabkan oleh Streptococcus group A beta-hemolitikus ini yaitu

glomerulonefritis akut (2%-5%). Penyakit ini lebih sering terjadi pada anak-

anak usia kurang dari 6 tahun. Tidak ada bukti yang menyatakan

glomerulonefritis terjadi pada impetigo yang disebabkan oleh

Staphylococcus. Insiden glomerulonefritis (GNA) berbeda pada setiap

individu, tergantung dari strain potensial yang menginfeksi nefritogenik.

Faktor yang berperan penting atas terjadinya GNAPS yaitu serotipe

Streptococcus strain 49, 55, 57,dan 60 serta strain M-tipe 2. Periode laten

berkembangnya nefritis setelah pioderma streptococcal sekitar 18-21 hari.

Kriteria diagnosis GNAPS ini terdiri dari hematuria makroskopik atau

mikroskopik, edema yang diawali dari regio wajah, dan hipertensi.1,5

4. Rheumatic Fever

Sebuah kelainan inflamasi yang dapat terjadi karena komplikasi

infeksi streptokokus yang tidak diobati strep throat atau scarlet fever. Kondisi

tersebut dapat mempengaruhi otak, kulit, jantung,dan sendi tulang.

11
II.9. Penatalaksanaan

A. Umum

 Menjaga kebersihan agar tetap sehat dan terhindar dari infeksi kulit.9

 Menindaklanjuti luka akibat gigitan serangga dengan mencuci area kulit yang

terkena untuk mencegah infeksi. 9

 Mengurangi kontak dekat dengan penderita 9

 Bila diantara anggota keluarga ada yang mengalami impetigo diharapkan

dapat melakukan beberapa tindakan pencegahan berupa: 9

- Mencuci bersih area lesi (membersihkan krusta) dengan sabun dan air

mengalir serta membalut lesi.

- Mencuci pakaian, kain, atau handuk penderita setiap hari dan tidak

menggunakan peralatan harian bersama-sama.

- Menggunakan sarung tangan ketika mengolesi obat topikal dan setelah

itu mencuci tangan sampai bersih.

- Memotong kuku untuk menghindari penggarukan yang memperberat

lesi.

- Memotivasi penderita untuk sering mencuci tangan.

B. Khusus

Pada prinsipnya, pengobatan impetigo krustosa bertujuan untuk

memberikan kenyamanan dan perbaikan pada lesi serta mencegah penularan

infeksi dan kekambuhan.3

1. Terapi Sistemik

Pemberian antibiotik sistemik pada impetigo diindikasikan bila

terdapat lesi yang luas atau berat, limfadenopati, atau gejala sistemik.1

12
a. Pilihan Pertama (Golongan ß Lactam)

Golongan Penicilin (bakterisid)

o Amoksisilin+ Asam klavulanat

Dosis 2x 250-500 mg/hari (25 mg/kgBB) selama 10 hari.3

Golongan Sefalosporin generasi-ke1 (bakterisid)

o Sefaleksin

Dosis 4x 250-500 mg/hari (40-50 mg/kgBB/hari) selama 10

hari.3

o Kloksasilin

Dosis 4x 250-500 mg/hari selama 10 hari.3

b. Pilihan Kedua

Golongan Makrolida (bakteriostatik)

o Eritromisin

Dosis 30-50mg/kgBB/hari. 4

o Azitromisin

Dosis 500 mg/hari untuk hari ke-1 dan dosis 250 mg/hari untuk

hari ke-2 sampai hari ke-4.4

2. Terapi Topikal

Penderita diberikan antibiotik topikal bila lesi terbatas, terutama

pada wajah dan penderita sehat secara fisik. Pemberian obat topikal ini

dapat sebagai profilaksis terhadap penularan infeksi pada saat anak

melakukan aktivitas disekolah atau tempat lainnya. Antibiotik topikal

diberikan 2-3 kali sehari selama 7-10 hari.5,6

o Mupirocin

13
Mupirocin (pseudomonic acid) merupakan antibiotik yang berasal dari

Pseudomonas fluorescent. Mekanisme kerja mupirocin yaitu

menghambat sintesis protein (asam amino) dengan mengikat isoleusil-

tRNA sintetase sehingga menghambat aktivitas coccus Gram positif

seperti Staphylococcus dan sebagian besar Streptococcus. Salap

mupirocin 2% diindikasikan untuk pengobatan impetigo yang disebabkan

Staphylococcus dan Streptococcus pyogenes.10

o Asam Fusidat

Asam Fusidat merupakan antibiotik yang berasal dari Fusidium

coccineum. Mekanisme kerja asam fusidat yaitu menghambat sintesis

protein. Salap atau krim asam fusidat 2% aktif melawan kuman gram

positif dan telah teruji sama efektif dengan mupirocin topikal.11

o Bacitracin

Baciracin merupakan antibiotik polipeptida siklik yang berasal dari Strain

Bacillus Subtilis. Mekanisme kerja bacitracin yaitu menghambat sintesis

dinding sel bakteri dengan menghambat defosforilasi ikatan membran

lipid pirofosfat sehingga aktif melawan coccus Gram positif seperti

Staphylococcus dan Streptococcus. Bacitracin topikal efektif untuk

pengobatan infeksi bakteri superfisial kulit seperti impetigo.10

o Retapamulin

Retapamulin bekerja menghambat sintesis protein dengan berikatan

dengan subunit 50S ribosom pada protein L3 dekat dengan peptidil

transferase. Salap Retapamulin 1% telah diterima oleh Food and Drug

Administraion (FDA) pada tahun 2007 sebagai terapi impetigo pada

remaja dan anak-anak diatas 9 bulan dan telah menunjukkan

14
aktivitasnya melawan kuman yang resisten terhadap beberapa obat

seperti metisilin, eritromisin, asam fusidat, mupirosin, azitromisin.6

II.10. Prognosis

Pada beberapa individu, bila tidak ada penyakit lain sebelumnya

impetigo krustosa dapat membaik spontan dalam 2-3 minggu. Namun, bila tidak

diobati impetigo krustosa dapat bertahan dan menyebabkan lesi pada tempat

baru serta menyebabkan komplikasi berupa ektima, dan dapat menjadi

erisepelas, selulitis, atau bakteriemi.4,7 Dapat pula terjadi Staphylococcal

Scalded Skin Syndrome (SSSS) pada bayi dan dewasa yang mengalami

immunocompromised atau gangguan fungsi ginjal. Bila terjadi komplikasi

glomerulonefritis akut, prognosis anak- anak lebih baik daripada dewasa.5

15
BAB III

LAPORAN KASUS

III.1. Identitas Pasien

Nama : An. ZR

Umur : 10 tahun

JenisKelamin : Perempuan

Agama : Islam

Pekerjaan : Pelajar

Alamat : Lubuk Begalung

III.2. Anamnesa

A. Keluhan Utama
Bintik – bintik merah dan berisi air pada daerah dagu sejak 3 hari yang

lalu.
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Awalnya timbul bintik-bintik merah dan membentuk gelembung

gelembung yang berisi air kurang lebih sejak 3 hari yang lalu, sebelumnya

pasien mengeluh batuk demam, kemudian timbul bintik-bintik awalnya

16
timbul pada daerah dagu kemudian menyebar hingga ke pipi dan hidung.

Bintik-bintik itu berisi air yang kemudian pecah dan berwarna merah pada

tepinya timbul keropeng.


C. Riwayat Penyakit Dahulu
Batuk sejak seminggu yang lalu.
D. Riwayat Penyakit Keluarga
Dikeluarga pasien tidak ada anggota keluarga yang mengalami hal

yang sama.
E. Riwayat Alergi
Pasien tidak mempunyai riwayat alergi.
F. Riwayat Pengobatan
Pasien belum pernah berobat sebelumnya.
G. Status Sosial Ekonomi
Pasien adalah seorang pelajar SD yang bertempat tinggal dengan orang

tua pasien.

III.3. Pemeriksaan Fisik

A. Status Generalis
Keadaan umum : tidak tampak sakit

Keadaan gizi : BB 20 kg

Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak

ikterik

Jantung : diharapkan dalam batas normal

Paru-paru : diharapkan dalam batas normal

Abdomen : diharapkan dalam batas normal

KGB Regional : tidak ada pembesaran KGB

Vital sign : diharapkan dalam batas normal

B. Status Dermatologikus

Lokasi : Dagu, pipi kiri dan kanan, hidung, leher.

Distribusi : Terlokalisir

17
Bentuk : bulat - tidak khas

Susunan : tidak khas

Batas : tegas

Ukuran lesi : plakat

Effloresensi : krusta kekuningan dan krusta hitam diatas dasar

makula eritem

C. Gambaran lesi

18
19
20
21
III.4. Pemeriksaan Penunjang

Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang.

III.5. Diagnosa Banding

III.6. Terapi

A. Umum
1. Menjaga kebersihan agar tetap sehat dan terhindar dari infeksi kulit.9
2. Menindaklanjuti luka akibat gigitan serangga dengan mencuci area
kulit yang terkena untuk mencegah infeksi. 9
3. Mengurangi kontak dekat dengan penderita 9

B. Khusus

1. Amoxicillin 3x250 mg

2. Chloramfenikol salf

III.7. Prognosis

Dubia et Bonam apabila tidak ada penyakit lain sebelumnya.

Namun, bila tidak diobati impetigo krustosa dapat bertahan dan

menyebabkan lesi pada tempat baru serta menyebabkan komplikasi berupa

ektima, dan dapat menjadi erisepelas, selulitis, atau bakteriemi.

22
BAB IV

PEMBAHASAN

Dari anamnesa didapatkan identitas pasien dengan nama An. ZR M. usia

10 tahun, datang ke BP umum puskesmas Lubuk Begalung pada hari Kamis, 24

Mei 2018 dengan keluhan bintik – bintik merah dan berisi air pada daerah dagu

sejak 3 hari yang lalu. Sebelumnya pasien mengeluh batuk demam, kemudian

timbul bintik-bintik, awalnya timbul pada daerah dagu kemudian menyebar

hingga ke pipi dan hidung. Bintik-bintik itu berisi air yang kemudian pecah dan

berwarna merah pada tepinya timbul keropeng.

Pemeriksaan status dermatologis didapatkan Lokasi di dagu, pipi kiri dan

kanan, hidung, leher, distribusi terlokalisir, bentuk bulat - tidak khas, susunan

tidak khas, batas tegas, ukuran plakat, effloresensi krusta kekuningan dan krusta

hitam diatas dasar makula eritem.

Berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik tersebut, pasien didiagnosis

dengan impetigo krustosa dikarenakan bentuk dari efloresensi penderita dan

letaknya berada wajah dan leher yang sesuai dengan predileksi. Pada pasien

terjadi infeksi primer yang biasanya terjadi pada anak-anak. Awalnya, kuman

menyebar dari hidung ke kulit normal, kemudian berkembang menjadi lesi pada

kulit. Lesi biasanya timbul di atas kulit wajah (terutama sekitar lubang hidung)

atau ekstremitas setelah trauma.4

Berdasarkan literatur, Impetigo Krustosa diawali dengan munculnya

eritema berukuran kurang lebih 2 mm yang dengan cepat membentuk vesikel,

bula atau pustul berdinding tipis. Kemudian vesikel, bula atau pustul tersebut

23
ruptur menjadi erosi kemudian eksudat seropurulen mengering dan menjadi krusta

yang berwarna kuning keemasan (honey-colored) dan dapat meluas lebih dari 2

cm.Krusta pada akhirnya mengering dan lepas dari dasar yang eritema tanpa

pembentukan jaringan scar.1,4,5,8 Hal ini sesuai dengan yang dialami pasien.

Pada pasien tidak dilakukan pemeriksaan penunjang karena dari anamnesis

dan pemeriksaan fisik sudah dapat ditegakkan diagnosa. Pada pasien juga tidak

ada diagnosa banding karena dari anamnesis dan pemeriksaan fisik sudah jelas

bahwa pasien menderita impetigo krustosa.

Pasien diberikan terapi dengan antibiotik oral dan topikal yaitu amoxicillin

3x250 mg dan antibiotik topikal chloramfenikol salf. Dosis amoxicillin anak

untuk infeksi kulit usia 4 bulan-12 tahun adalah 20-50 mg/kg/hari Pada pasien ini

dosis yang sesuai adalah 400-1000 mg terbagi dalam 3 dosis. Antiiotik topikal

yang diberikan adalah chloramfenikol. Kloramfenikol merupakan antimikroba

spektrum luas yang efektif terhadap bakteri grampositif dan bakteri gram negatif.

Mekanisme kerjanya adalah menghambat sintesa protein sel mikroba.

Pada pasien ini penulis memberikan prognosis dubia et bonam apabila

tidak ada penyakit lain sebelumnya. Namun, bila tidak diobati impetigo krustosa

dapat bertahan dan menyebabkan lesi pada tempat baru serta menyebabkan

komplikasi berupa ektima, dan dapat menjadi erisepelas, selulitis, atau bakteriemi.
1,3,5

24
BAB V

KESIMPULAN

Impetigo krustosa merupakan penyakit infeksi kulit terbatas pada lapisan

epidermis (superfisial) yang umumnya disebabkan oleh Staphylococcus aureus dan

Streptococcus group A beta-hemolitikus Penyakit ini lebih sering terjadi pada anak-anak,

baik laki-laki maupun perempuan. Predileksi impetigo krusta terdiri dari wajah, leher,

atau ekstremitas. Gambaran klinis yang dapat ditemukan berupa vesikel yang menjadi

pustul dan ruptur membentuk krusta khas berwarna kuning keemasan (honey-colored).

Lesi biasanya berkelompok dan konfluen dan dapat meluas melibatkan lokasi baru.

Penyakit impetigo krustosa yang lama tidak diobati kadang dapat menyebabkan

komplikasi berupa ektima, dan dapat menjadi erisepelas, selulitis, atau

bakteriemi.Terapi impetigo krustosa terdiri dari pembersihan krusta dengan kompres

basah, antibiotik topikal serta antibiotik sistemik bila diperlukan.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Hay R.J, B.M Adriaans. Bacterial Infection. In: Burns T, Brethnach S, Cox N,
Griffiths C (eds). Rook’s Text Book of Dermatology. 7 th ed. Turin: Blackwell. 2004.
p.27.13-15.
2. Heyman W.R, Halpern V. Bacterial Infection. Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini RP
(eds). Dermatology. 2nd ed. Spain: Mosby Elsevier. 2008. p.1075-77.
3. Cole C, Gazewood J. Diagnosis and Treatment of Impetigo. American Academy of
Family Physician. Vol.75. No.6. 2007. p.859-864. Diunduh dari:
http://www.sepeap.org/archivos/pdf/10524.pdf
4. Craft N, Peter K.L, Matthew Z.W, Morton N.S, Richard S.J. Superficial Cutaneous
Infection and Pyodermas. In: Wolff K et all (eds). Fitzpatrick’s Dermatology in
General Medicine. Vol 2. 7th Ed. New York: McGraw Hill. 2008. p.1695-1705.
5. Arnold, Odom, James. Bacterial Infection. In: James W.D, Berger T.G, Elston D.M
(eds). Andrew’s Disease of the Skin Clinical Dermatology. 10 th Ed. Canada: Saunders
Elsevier. 2006. p.255-6.
6. Amini Sadegh. Impetigo. Diunduh dari:
http://emedicine.medscape.com/article/1109204-treatment . Last update: May 20,
2010.
7. Norrby A, Teglund, Kotb M. Host Microbe Interactions in The Pathogenesis of
Invasive Group A Streptococcal Infections. Journal Medical Microbiology. Vol.49.
2000. p.849-52.
8. Trozak D.J, Tennenhouse D.J, Russel D.J. Impetigo (Impetigo Crustosa). In: Skolnik
N.S (eds). Dermatology Skills For Primary Care: An Ilustrated Guide. New Jersey:
Humana Press. 2006. p.317-23.
9. Wolff K, Richard Allen Johnson. Color Atlas and Sypnosis Of Clinical Dermatology.
Part 3rd. 9th Ed. New york: McGraw Hill. 2009. p.597-604.
10. Bonner M.W, Benson P.M, James W.D. Topical Antiboiotics. In: Wolff K et all (eds).
Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Vol 2. 7 th Ed. New York: McGraw
Hill. 2008. p.2113-15.
11. Koning S at all. Fusidic Acid Cream in The Treatment of Impetigo in General
Practice: Double Blind Randomised Placebo Controlled Trial. British Medical
Journal. 2002. Vol.324. p.203. Diunduh dari:
http://www.bmj.com/cgi/content/full/324/7331/203
12. Mayo clinic staff. Impetigo. Diunduh dari:
http://www.mayoclinic.com/health/impetigo/DS00464/DSECTION=complications.

26

You might also like