You are on page 1of 28

BAB I

LAPORAN KASUS

1. IDENTITAS PASIEN

 Nama Pasien : An. AA

 Jenis kelamin : Laki laki

 Tanggal Lahir : 03 juli 2008

 Umur : 10 tahun

 Alamat : Paya Rahat

 Pekerjaan : Pelajar

 Tanggal masuk RS : 25-05-2018

2. ANAMNESA (Autoanamnesa tanggal 26-05-2018 pukul 20.30 WIB)

1) Keluhan Utama : Demam sejak 4 hari yang lalu

2) Keluhan Tambahan : Bercak Kemerahan diseluruh tubuh, Kepala


pusing disertai Nyeri seluruh otot dan sendi

3) Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke UGD RSUD IBNU SINA Gresik pada tanggal 25


Mei 2018 dengan keluhan demam sejak 3 hari yang lalu disertai
dengan bercak kemerahan di seluruh tubuh, mual (+), muntah (+).
Pasien mengaku demam mulai timbul disertai dengan nyeri di
seluruh sendi dan kepala pusing, demam bersifat naik turun,

1
menggigil tidak dijumpai, kejang tidak dijumpai, pasien kemudian
berobat ke mantri dan diberi obat minum dan obat suntik yang
pasien tidak mengetahui jenis obatnya. Kisaran 2 hari yang lalu
pasien mengaku demam turun namun pasien mengeluh timbul
bercak kemerahan berawal di bagian ekstermitas atas dan tidak
gatal.

Kisaran 1 hari yang lalu bercak kemerahan mulai menyebar ke


seluruh tubuh dan pasien merasa lemas dan timbul gusi berdarah,
mual dan muntah dijumpai hanya saat makan saja. Isi muntah
sesuai jenis makanan yang dimakan. Nyeri sendi dijumpai, nyeri
kepala dijumpai, BAK (+), BAB (+) normal.

4) Riwayat Penyakit Dahulu

 Pasien mengaku belum pernah menderita penyakit seperti


sekarang ini sebelumnya.

 Riwayat hipertensi (-)

 Riwayat Diabetes melitus (-)

5) Riwayat Penyakit Keluarga

 Pasien mengaku teman satu kamar pasien sedang menderita


penyakit yang sama seperti pasien.

 Pasien mengaku tidak ada anggota keluarga pasien yang


menderita penyakit seperti pasien seperti sekarang ini.

 Riwayat Hipertensi (-)

 Riwayat Diabetes melitus (-)

6) Riwayat Pengobatan

 Pasien mengaku pernah berobat ke mantri sebelumnya dan


diberi obat suntik serta obat minum yang pasien tidak
mengetahui nama obatnya.
2
7) Riwayat Alergi

 Riwayat asma (-)

 Riwayat alergi obat (-)

8) Riwayat Kebiasaan Pribadi

 Riwayat merokok (-)

 Riwayat konsumsi alkohol (-)

3. Pemeriksaan Fisik

1) Keadaan umum : Tampak sakit sedang

2) Kesadaran : Compos mentis

3) Tekanan darah : 100/70 mmHg

4) Nadi : 70x / menit

5) Respirasi : 22x/ menit

6) Suhu : 38,8 oC

KEPALA

 Bentuk : Normal, simetris

 Rambut : Hitam, lurus, tidak mudah dicabut

 Mata : a/i/c/d -/-/-/-

3
 Telinga : Dalam batas normal

 Mulut : Mukosa bibir hiperemis (+), sianosis (-), lidah


tidak kotor, gusi berdarah (+).

 Hidung : Septum deviasi (-), Pernafasan cuping hidung (-),


perdarahan hidung (-).

LEHER

 Trakea ditengah, tidak teraba pembesaran KGB.

THORAX

Inspeksi : pergerakan dada simetris, retraksi suprasternal dan


intercostalis (-/-)

Palpasi : Vokal fremitus sama di kedua hemitoraks

Perkusi : Sonor pada kedua Hemitoraks

Auskultasi : Suara nafas vesikuler (+/+), Wheezing (-/-), Ronkhi (-/-)

JANTUNG

Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat

Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS VI garis midclavicularis sinistra.

Perkusi :

 Batas jantung atas sejajar garis horizontal setinggi ICS III garis
parasternal sinistra.

4
 Batas jantung kiri di ICS IV garis midclavicularis sinistra.

 Batas jantung kanan di garis sternalis dextra ICS III,IV dan V.

Auskultasi : S1-S2 Reguler, Gallop (-), murmur diastolic (-)

ABDOMEN

Inspeksi : datar, bercak kemerahan (+).

Palpasi : Supel, nyeri tekan (+) di regio kuadran kanan atas


abdomen, Hepar/Lien tidak teraba membesar.

Perkusi : timpani, shifting dullness (-)

Auskultasi : Bising usus (+) normal.

EKSTERMITAS

 Superior : Purpura (+/+), palmar eritema (+/+), akral dingin,


sianosis (-/-), ikterik (-/-)

 Inferior : Purpura (+/+), akral dingin, sianosis (-/-), ikterik (-/-)

5
4. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Darah Rutin ( tanggal 25-05-2018)

 Eritrosit : 4.990.000 mm3

 Hemoglobin : 15,1 mg/dl

 Leukosit : 5.200 mm3

 Trombosit : 26.000 mm3

 Hematokrit : 45,6 %

Pemeriksaan Darah Rutin (Tanggal 26-05-2018)

 Eritrosit : 3.810.000 mm3

 Hemoglobin : 11,6 mg/dl

 Leukosit : 3.400 mm3

 Trombosit : 30.000 mm3

 Hematokrit : 34,8 %

6
Pemeriksaan Serologi (26-05-2018)

 IgG : Positif

 IgM : Positif
Pemeriksaan Darah Rutin (Tanggal 19 juni 2013, pukul 13.55 WIB)

 Eritrosit : 4.000.000 mm3

 Hemoglobin : 12,3 mg/dl

 Leukosit : 4.900 mm3

 Trombosit : 53.000 mm3

 Hematokrit : 37,3 %
Pemeriksaan Darah Rutin ( Tanggal 27-05-2018)

 Eritrosit : 3.850.000 mm3

 Hemoglobin : 12,1 mg/dl

 Leukosit : 6.900 mm3

 Trombosit : 67.000 mm3

 Hematokrit : 35,5 %

Pemeriksaan Darah Rutin (Tanggal 28-05-2018)

 Eritrosit : 3.680.000 mm3

 Hemoglobin : 11,2 mg/dl

 Leukosit : 7.200 mm3

 Trombosit : 114.000 mm3

 Hematokrit : 34,9 %

7
5. DIAGNOSA BANDING

1) Demam berdarah dengue derajat II

2) Morbili

3) Chikungunya hemorraghic fever

4) Malaria

6. DIAGNOSA KERJA

1) Demam berdarah dengue derajat II

7. PENATALAKSANAAN

1) Non Medikamentosa

 Tirah baring

 Konsumsi cairan yang banyak : Air Putih, jus buah, Air


kelapa dll.

 Diet tinggi kalori tinggi protein

 Observasi tanda vital (TD, suhu, frekuensi pernafasan,


nadi)

 Awasi perdarahan, Periksa Hb, Ht, Trombosit tiap 12 jam.

2) Medikamentosa

 Infus IVFD RL 30 gtt/menit

 Ranitidine 1 ampul/12 jam

 Ceftriaxon 1 gr ampul/12 jam

 Norages 1 ampul/8 jam


8
 Golmun plus 1x1 tab

8. PROGNOSA

Dubia ad Bonam

BAB II

9
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

DHF atau Dengue Haemorraghic Fever adalah penyakit trombositopenia


infeksius akut yang parah, dan sering bersifat fatal, disebabkan oleh infeksi virus
dengue. Pada DHF terjadi hemokonsentrasi atau penumpukan cairan tubuh,
abnormalitas hemostasis dan pada kondisi yang parah dapat timbul kehilangan
protein yang masif (Dengue Shock Syndrome), yang dipikirkan sebagai suatu
proses imunopatologik.

2.2. Epidemiologi

Demam berdarah dengue tersebar di wilayah asia tenggara, pasifik barat


dan karibia. Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh
wilayah tanah air. Insiden DBD di indonesia antara 6 hingga 15 per 100.000
penduduk (1989 hingga 1995), dan pernah meningkat tajam saat kejadian luar
biasa hingga 35 per 100.000 penduduk pada tahun 1998, sedangkan mortalitas
DBD cenderung menurun hingga mencapai 2 % pada tahun 1999.

Penularan infeksi virus dengue terjadi melalui vektor nyamuk genus Aedes
(terutama Aedes aegypti dan Aedes albopictus). Peningkatan kasus setiap
tahunnya berkaitan dengan sanitasi lingkungan dengan tersedianya tempat
perindukan bagi nyamuk betina yaitu bejana yang berisi air jernih (bak mandi,
kaleng bekas dan tempat penampungan air lainnya).

Beberapa faktor diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi virus


dengue yaitu:

1. Vektor : perkembang biakan vektor, kebiasaan menggigit, kepadatan


vektor di lingkungan, transportasi vektor dari satu tempat ke tempat lain.

10
2. Pejamu : terdapatnya penderita di lingkungan / keluarga, mobilisasi dan
paparan terhadap nyamuk, usia dan jenis kelamin.
3. Lingkungan : curah hujan, suhu, sanitasi dan kepadatan penduduk.

2.3. Etiologi

Demam dengue dan DHF disebabkan oleh salah satu dari 4 serotipe virus
yang berbeda antigen.Virus ini adalah kelompok Flavivirus dan serotipenya
adalah :

 DEN-1
 DEN-2
 DEN-3
 DEN-4.
Infeksi oleh salah satu jenis serotipe ini akan memberikan kekebalan
seumur hidup tetapi tidak menimbulkan kekebalan terhadap serotipe yang lain.
Sehingga seseorang yang hidup di daerah endemis DHF dapat mengalami infeksi
sebanyak 4 kali seumur hidupnya.Dengue adalah penyakit daerah tropis dan
ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti.

2.4. Patofisiologi

Patogenesis terjadinya demam berdarah dengue hingga saat ini masih


diperdebatkan. Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa
mekanisme imunopatologis berperan dalam terjadinya demam berdarah dengue
dan sindrom renjatan dengue.

Respon imun yang diketahui berperan dalam patogenesis DBD adalah :

a. Respon imun humoral : berupa pembentukan antibodi yang berpaparan


dalam proses netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi komplemen dan
sitotoksisitas yang di mediasi antibodi. Antibodi terhadap virus dengue

11
berperan dalam mempercepat replikasi virus pada monosit atau makrofag.
Hipotesis ini disebut sebagai antibody dependent enhanchement (ADE).
b. Limfosit T baik T-helper (CD4) dan T sitotoksik (CD8) berperan dalam
respon imun seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T helper yaitu
TH1 akan memproduksi interferon gamma, IL-2 dan limfokin, sedangkan
TH2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-6, dan IL-10.
c. Monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi
antibodi namun proses fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi
virus dan sekresi sitokin oleh makrofag.
d. Selain itu aktivasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan
terbentuknya C3a dan C5a.

Hipotesis secondary heterologous infection

Halstead pada tahun 1973 mengajukan hipotesis secondary heterologous


infection yang menyatakan bahwa DHF terjadi bila seseorang terinfeksi ulang
virus dengue dengan tipe berbeda. Re-infeksi menyebabkan reaksi anamnestik
antibodi sehingga mengakibatkan konsentrasi kompleks imun yang tinggi.
Kurane dan ennis pada tahun 1994 merangkum pendapat halstead dan peneliti
lain, menyatakan bahwa infeksi virus dengue menyebabkan aktivasi makrofag
yang me-fagositosis kompleks virus-antibody non netralisasi sehingga virus
bereplikasi di makrofag. Terjadinya infeksi makrofag oleh virus dengue
12
menyebabkan aktivasi T helper dan T sitotoksik sehingga di produksi limfokin
dan interferon gamma. Interferon gamma akan mengaktivasi monosit sehingga
disekresi berbagai mediator inflamasi seperti TNF-a, IL-1, PAF (platelet
activating factor), IL-6 dan histamin yang mengakibatkan terjadinya disfungsi sel
endothel dan terjadi kebocoran plasma.
Peningkatan C3a dan C5a terjadi melalui aktivasi kompleks virus-antibodi
yang juga mengakibatkan terjadinya kebocoran plasma.
Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme :
1. Supresi sumsum tulang
2. Destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit
Gambaran sumsum tulang pada fase awal infeksi (< 5 hari) menunjukkan
keadaan hiposeluler dan supresi megakariosit. Setelah keadaan nadir tercapai akan
terjadi peningkatan proses hematopoiesis termasuk megakariopoiesis. Kadar
trombopoietin dalam darah pada saat terjadi trombositopenia justru menunjukkan
kenaikan, hal ini menunjukkan terjadinya stimulasi trombopoiesis sebagai
mekanisme kompensasi terhadap keadaan trombositopenia. Destruksi trombosit
terjadi melalui pengikatan fragmen C3g, terdapatnya antibodi VD, konsumsi
trombosit selama proses koagulopati dan sekuestrasi di perifer. Gangguan fungsi
trombosit terjadi melalui mekanisme gangguan pelepasan ADP, peningkatan kadar
b-tromboglobulin dan PF4 merupakan pertanda degranulasi trombosit.
Koagulopati terjadi sebagai akibat interaksi virus dengan endothel yang
menyebabkan disfungsi endotel. Berbagai penelitian menunjukkan terjadinya
koagulopati konsumtif pada demam berdarah dengue stadium III dan IV. Aktivasi
koagulasi pada demam berdarah dengue terjadi melalui aktivasi jalur ekstrinsik
(tissue factor pathway). Jalur intrinsik juga berperan melalui aktivasi faktor XIa
namun tidak melalui aktivasi kontak (kalikrein C1-inhibitor complex).

2.5. Manifestasi klinis

1. Demam dengue

Periode inkubasi adalah 1-7 hari. Manifestasi klinis bervariasi dan


dipengaruhi usia pasien. Pada bayi dan anak anak, dikarakteristikkan

13
sebagai demam selama 1-5 hari, peradangan faring, rinitis dan batuk
ringan. Pada remaja dan dewasa mengalami demam secara mendadak,
dengan suhu meningkat cepat hingga 39,4-41,1 oC, biasanya disertai nyeri
frontal atau retro-orbital khususnya ketika mata di tekan. Kadang kadang
nyeri punggung hebat mendahului demam. Ruam transien dapat terlihat
selama 24-48 jam pertama demam. Denyut nadi dapat relatif melambat
sesuai derajat demam. Mialgia dan artalgia segera terjadi setelah demam.

Pada hari kedua sampai hari ke enam demam, mual muntah terjadi dan
limfadenopati generalisata, hiperestesia atau hiperalgesia kutan, gangguan
pengecapan, dan anoreksia dapat berkembang. Sekitar 1-2 hari kemudian,
ruam mukopapular terlihat, terutama di telapak kaki dan telapak tangan,
kemudian menghilang selama 1-5 hari. Kemudian ruam kedua terlihat,
suhu tubuh yang sebelumnya sudah menurun ke normal, meningkat dan
mendemonstrasikan karakteristik pola suhu bifasik.

2. Demam berdarah dengue

Demam dengue dan demam berdarah dengue pada awal perjalanan


penyakit sulit dibedakan. Fase pertama yang relatif lebih ringan berupa
demam, malaise, mual muntah, sakit kepala, anoreksia, dan batuk berlanjut
selama 2-5 hari diikuti oleh deteriorasi dan pemburukan klinis. Pada fase
kedua, pasien umumnya pilek, ekstermitas basah oleh keringat, badan
hangat, wajah kemerah merahan, diaforesis, kelelahan, iritabilitas dan
nyeri epigastrik.

Sering dijumpai petekie menyebar di kening dan ekstermitas, ekimosis


spontan dan memar serta perdarahan dapat dengan mudah terjadi di lokasi
pungsi vena. Ruam makular atau mukopapular dapat dengan mudah terjadi
di lokasi pungsi vena. Ruam makular atau makulopapular dapat terlihat.
Respirasi cepat dan melelahkan, denyut nadi lemah dan cepat, suara
jantung melemah. Hati dapat membesar 4-6 dan biasanya keras dan sulit
digerakkan.
14
Sekitar 20-30% kasus demam berdarah dengue akan timbul syok (sindrom
syok dengue). Kurang dari 10% pasien mengalami ekimosis hebat atau
perdarahan gastrointestinal, biasanya sesudah periode syok yang tidak
diobati. Setelah krisis 24-36 jam, pemulihan terjadi dengan cepat pada
anak yang diobati. Temperatur dapat kembali normal sebalum atau selama
syok. Bradikardia dan ekstrasistol ventrikular umumnya terjadi saat fase
pemulihan.

Manifestasi Klinis infeksi Virus Dengue

2.7. Pemeriksaan Penunjang

1. Laboratorium

a) Leukosit

Dapat normal atau menurun. Mulai hari ke-3 dapat ditemui limfositosis
relatif (> 45% dari total leukosit) disertai adanya limfosit plasma biru
(LPB) > 15% dari jumlah total leukosit yang pada fase syok akan
meningkat.

b) Trombosit
15
Umumnya terdapat trombositopenia < 100.000 pada hari ke-3 sampai hari
ke-8

c) Hematokrit

Kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya peningkatan


hematokrit > 20% dari hematokrit awal, umumnya dimulai pada hari ke-3
demam.

d) Hemostasis

Dilakukan pemeriksaan PT, APTT, fibrinogen, D-dimer, atau FDP pada


keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan pembekuan darah.

e) Protein/albumin

Dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran plasma

f) SGOT/SGPT (Serum alanin aminotransferase) : Dapat meningkat

g) Elektrolit

Sebagai parameter pemantauan pemberian cairan

h) Golongan darah dan cross match (uji cocok serasi)

Bila akan diberikan transfusi darah atau komponen darah.

i) Imunoserologi

Dilakukan pemeriksaan IgG dan IgM terhadap dengue.

IgM : terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke-3,


menghilang setelah 60-90 hari.

IgG : pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke-14, pada
infeksi sekunder IgG mulai terdeteksi pada hari ke-2.

16
2. Pemeriksaan Radiologis

Pada foto dada didapatkan efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan
tetapi apabila terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat
dijumpai pada kedua hemitoraks. Pemeriksaan foto rontgen dada
sebaiknya dalam posisi dekubitus kanan. Asites dan efusi pleura dapat pula
di deteksi dengan pemeriksaan USG.

2.6. Diagnosis

Belum ada panduan yang dapat diterima untuk mengenal awal infeksi
virus dengue (WHO scientific working group, 2006). Perbedaan utama antara
demam dengue dan DBD adalah pada DBD ditemukannya adanya kebocoran
plasma.

1. Demam dengue

Ditegakkan bila terdapat dua atau lebih manifestasi klinis (nyeri kepala,
nyeri retroorbital, mialgia/artralgia, ruam kulit, manifestasi perdarahan,
leukopenia) di tambah pemeriksaan serologis dengue positif atau
ditemukan pasien demam dengue/ demam berdarah dengue yang telah
dikonfirmasi pada waktu dan lokasi yang sama.

2. Demam berdarah dengue

Berdasarkan kriteria WHO 1999 diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal
di bawah ini terpenuhi.

a) Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik

b) Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut :

 Uji bendung positif

 Petekie, ekimosis, purpura


17
 Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan
gusi) atau perdarahan dari tempat lain.

 Hematemesis atau melena.

c) Trombositopenia (jumlah trombosit < 100.000/ul)

d) Terdapat minimal satu dari tanda tanda kebocoran plasma sebagai


berikut :

 Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai


dengan umur dan jenis kelamin

 Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi


cairan, dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya.

 Tanda kebocoran plasma seperti : efusi pleura, asites atau


hipoproteinemia.

3. Sindrom syok dengue

Seluruh kriteria DBD disertai dengan kegagalan sirkulasi dengan manifestasi nadi
yang cepat dan lemah, tekanan darah turun (< 20 mmHg), hipotensi
dibandingkan standard sesuai umur, kulit dingin dan lembab serta gelisah.

Klasifikasi Derajat Penyakit Infeksi Virus Dengue

DD/DBD Derajat Gejala Laboratorium

DD Demam disertai 2 atau lebih tanda :  Leukopenia

 Sakit kepala  Trombisitopenia

 Nyeri retroorbital  Tidak ada bukti kebocoran plasma

 Mialgia  Uji serologi dengue (+)


 Artralgia

DBD I Gejala diatas ditambah uji bendung positif  Trombositopenia < 100.000

 Ht meningkat >20%

18
 Uji serologi dengue (+)

 Bukti ada kebocoran plasma

DBD II Gejala diatas ditambah perdarahan spontan  Trombositopenia < 100.000

 Ht meningkat > 20%

 Uji serologi dengue (+)

 Bukti ada kebocoran plasma

DBD III Gejala diatas ditambah kegagalan sirkulasi  Trombositopenia < 100.000
(kulit dingin dan lembab serta gelisah)
 Ht meningkat > 20%

 Uji serologi dengue (+)

 Bukti ada kebocoran plasma

DBD IV Syok berat disertai dengan tekanan darah dan  Trombositopenia < 100.000
nadi tidak terukur.
 Bukti ada kebocoran plasma

 Ht meningkat > 20%

 Uji serologi dengue (+)

2.8. Penatalaksanaan

Tidak ada terapi yang spesifik untuk demam dengue, prinsip utama adalah
terapi suportif. Dengan terapi suportif yang adekuat, angka kematian dapat
diturunkan hingga kurang dari 1%. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi
merupakan tindakan yang paling penting dalam penanganan kasusDBD. Asupan
cairan pasien harus tetap dijaga, terutama cairan oral. Jika asupan cairan oral
pasien tidak mampu dipertahankan, maka dibutuhkan suplemen cairan melaui
intravena untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi bermakna.

Perhimpunan Dokter Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) bersama


dengan divisi penyakit tropik dan infeksi dan Divisi Hematologi dan Onkologi
Medik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia telah menyusun protokol
penatalaksanaan DBD pada pasien dewasa dengan kriteria :

19
 Penatalaksanaan yang tepat dengan rancangan dan tindakan yang dibuat
sesuai atas indikasi

 Praktis dalam pelaksanaannya

 Mempertimbangkan cost effectiveness.

Protokol ini terbagi dalam 5 kategori antara lain :

1. Protokol 1 : Penanganan Tersangka DBD dewasa tanpa syok

Protokol 1 ini digunakan sebagai petunjuk dalam memberikan pertolongan


pertama pada penderita DBD atau yang diduga DBD di instalasi gawat
darurat dan juga dipakai sebagai petunjuk dalam memutuskan indikasi
rawat.

Seseorang tersangka DBD di ruang Gawat Darurat dilakukan pemeriksaan


hemoglobin (Hb), hematokrit (Ht), dan trombosit, bila :

 Hb, Ht dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000-


150.000, pasien dapat dipulangkan dengan anjuran kontrol atau
berobat jalan ke poliklinik dalam waktu 24 jam berikutnya,
(dilakukan pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit tiap 24 jam) bila
keadaan penderita memburuk segera kembali ke instalasi gawat
darurat.

 Hb, Ht normal tetapi trombosit < 100.000 dianjurkan untuk


dirawat.

 Hb, Ht meningkat dan trombosit normal atau turun juga dianjurkan


untuk dirawat.

20
Observasi dan pemberian cairan suspek DBD dewasa tanpa renjatan di UGD

2. Protokol 2 : Penanganan cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang


rawat

Pasien yang tersangka DBD tanpa perdarahan spontan dan masif


dan tanpa syok maka di ruang rawat diberikan cairan infus kristaloid
dengan jumlah seperti rumus berikut :

Volume cairan kristaloid per hari yang diperlukan :

1500 + ( 20 x ( BB dalam kg – 20 ) )

Setelah pemberian cairan dilakukan pemeriksaan Hb, Ht tiap 24 jam:

21
Bila Hb, Ht meningkat 10 – 20% dan trombosit < 100.000 jumlah
pemberian cairan tetap seperti rumus diatas tetapi pemantauan Hb, Ht dan
trombosit dilakukan tiap 12 jam.

Bila Hb, Ht meningkat > 20% dan trombosit < 100.000 maka
pemberian cairan sesuai dengan protokol penatalaksanaan DBD dengan
peningkatan Ht > 20%.

Pemberian cairan pada suspek DBD dewasa di ruangan

3. Protokol 3 : Penatalaksanaan DBD dengan hematokrit > 20%

Meningkatnya Ht > 20% menunjukkan bahwa tubuh mengalami


defisit cairan sebanyak 5%. Pada keadaan ini terapi awal pemberian cairan
adalah dengan memberikan infus cairan kristaloid sebanyak 6-7
ml/kg/jam. Pasien kemudian dipantau setelah 3-4 jam pemberian cairan.
Bila terjadi perbaikan yang ditandai dengan tanda tanda hematokrit turun,
frekuensi nadi turun, tekanan darah stabil, produksi urin meningkat maka
jumlah cairan infus di kurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam. 2 jam kemudian
dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan tetap menunjukkan
perbaikan maka jumlah cairan infus dikurangi menjadi 3 ml/kgBB/jam.
22
Bila dalam pemantauan keadaan tetap membaik maka pemberian cairan
dapat dihentikan 24-48 jam kemudian.

Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit > 20%

Apabila setelah pemberian terapi cairan awal 6-7 ml/kgBB/jam tadi


keadaan tetap tidak membaik, yang ditandai dengan hematokrit dan nadi
meningkat, tekanan nadi menurun < 20 mmHg, produksi urin menurun,
maka kita harus menaikkan jumlah cairan infus menjadi 10 ml/kgBB/jam.
2 jam kemudian dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan
menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan dikurangi menjadi 5
ml/kgBB/jam tetapi bila keadaan tidak menunjukkan perbaikan maka
jumlah cairan infus dinaikkan menjadi 15ml/kgBB/jam dan bila dalam
perkembangannya kondisi menjadi memburuk dan didapatkan tanda tanda
syok maka pasien ditangani sesuai dengan protokol tatalaksana sindrom
syok dengue pada dewasa. Bila syok telah teratasi maka pemberian cairan
dimulai lagi seperti terapi pemberian cairan awal.

4. Protokol 4 : Pelaksanaan perdarahan spontan pada DBD dewasa

23
Perdarahan spontan dan masif pada penderita DBD dewasa
adalah : perdarahan hidung/epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah
diberikan tampon hidung, perdarahan saluran cerna (hematemesis dan
melena atau hematoskesia), perdarahan saluran kencing (hematuria),
perdarahan otak atau perdarahan tersembunyi dengan jumlah perdarahan
sebanyak 4-5 ml/kgBB/jam. Pada keadaan seperti ini jumlah dan
kecepatan pemberian cairan tetap seperti keadaan DBD tanpa syok
lainnya. Pemeriksaan tekanan darah, nadi, pernafasan dan jumlah urin
dilakukan sesering mungkin dengan kewaspadaan Hb, Ht, dan trombosis
serta hemostase harus segera dilakukan dan pemeriksaan Hb, Ht dan
trombosit sebaiknya diulang tiap 4-6 jam.

Pemberian heparin diberikan apabila secara klinis dan laboratoris


didapatkan tanda tanda koagulasi intravaskular diseminata (KID).
Transfusi komponen darah diberikan sesuai indikasi. FFP diberikan bila
didapatkan defisiensi faktor faktor pembekuan (PT dan aPTT yang
memanjang), PRC diberikan bila nilai Hb kurang dari 10 g/dl. Transfusi
trombosit hanya diberikan pada pasien DBD dengan perdarahan spontan
dan masif dengan jumlah trombosit < 100.000/mm3 disertai atau tanpa
KID.

24
Penatalaksanaan perdarahan pada DBD dewasa

5. Protokol 5 : Tatalaksana sindrom syok dengue pada dewasa.

Bila kita berhadapan dengan sindrom syok dengue maka hal


pertama yang harus diingat adalah bahwa renjatan harus segera diatasi dan
oleh karena itu penggantian cairan intravaskular yang hilang harus segera
dilakukan. Angka kematian sindrom syok dengue sepuluh kali lipat
dibandingkan dengan penderita DBD tanpa renjatan, dan renjatan dapat
terjadi karena keterlambatan penderita DBD mendapatkan pertolongan dan
pengobatan, penatalaksanaan yang tidak tepat termasuk kurangnya
kewaspadaan terhadap tanda tanda renjatan dini, dan penatalaksanaan
renjatann yang tidak adekuat.

Pada kasus SSD cairan kristaloid adalah pilihan utama yang


diberikan sesuai resusitasi cairan, penderita juga diberikan oksigen 2-4
liter per menit. Pemeriksaan pemeriksaan yang harus dilakukan adalah
pemeriksaan darah perifer lengkap (DPL), hemostasis, analisis gas darah,
kadar natrium, kalium dan klorida, serta ureum dan kreatinin.

25
Pada fase awal, cairan kristaloid diguyur sebanyak 10-20 ml/kgBB
dan dievaluasi setelah 15-30 menit. Bila renjatan telah teratasi (ditandai
dengan tekanan darah sistolik 100mmHg dan tekanan nadi lebih dari 20
mmHg, frequensi nadi kurang dari 100 kali per menit dengan volume yang
cukup, akral teraba hangat, dan kulit tidak pucat serta diuresis 0,5 – 1
ml/kgBB/jam) jumlah cairan dikurangi menjadi 7 ml/kgBB/jam. Bila
dalam waktu 60-120 menit keadaan tetap stabil pemberian cairan menjadi
5 ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60-120 menit kemudian keadaan tetap
stabil maka pemberian cairan menjadi 3 ml/kgBB/jam.

Bila 24-48 jam setelah renjatan teratasi dan tanda tanda vital dan
hematokrit tetap stabil serta diuresis cukup maka pemberian cairan
perinfus harus dihentikan (karena jika reabsorpsi cairan plasma yang
mengalami ekstravasasi telah terjadi, ditandai dengan turunnya hematokrit,
cairan infus terus diberikan maka keadaan hipervolemia, edema paru atau
gagal jantung dapat terjadi).

Pengawasan dini kemungkinan terjadinya renjatan berulang harus


dilakukan terutama dalam waktu 48 jam pertama sejak terjadi renjatan
(karema selain proses patogenesis penyakit masih berlangsung, ternyata
cairan kristaloid hanya sekitar 20% saja yang menetap dalam pembuluh
darah setelah 1 jam saat pemberian). Oleh karena itu untuk mengetahui
apakah renjatan telah teratasi dengan baik, diperlukan pemantauan tanda
vital yaitu status kesadaran, tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi
jantung dan napas, pembesaran hati, nyeri tekan daerah hipokondrium
kanan dan epigastrik, serta jumlah diuresis.

Diuresis diusahakan 2 ml/kgBB/jam. Pemantauan kadar


hemoglobin, hematokrit, dan jumlah trombosit dapat dipergunakan untuk
pemantauan perjalanan penyakit. Bila setelah fase awal pemberian cairan
ternyata renjatan belum teratasi, maka pemberian cairan kristaloid dapat
ditingkatkan menjadi 20-30 ml/kgBB, dan kemudian dievaluasi setelah 20-

26
30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi, maka perhatikan nilai
hematokrit. Bila nilai hematokrit meningkat berarti perembesan plasma
masih berlangsung maka pemberian cairan koloid merupakan pilihan,
tetapi bila nilai hematokrit menurun, berarti terjadi perdarahan ( internal
bleeding ) maka penderita diberikan transfusi darah segar 10ml/kgBB dan
dapat diulang sesuai kebutuhan.

Sebelum cairan koloid diberikan maka sebaiknya kita harus


mengetahui sifat sidat cairan tersebut. Pemberian koloid sendiri mula mula
diberikan dengan tetesan cepat 10-20 ml/kgBB dan dievaluasi setelah 10-
30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi maka untuk memantau
kecukupan cairan dilakukan pemasangan kateter vena sentral, dan
pemberian koloid dapat ditambah hingga jumlah maksimum 30 ml/kgBB
(maksimal 1 – 1,5 l / hari) dengan sasaran tekanan vena sentral 15- 18
cmH2O. Bila keadaan tetap belum teratasi harus diperhatikan dan
dilakukan koreksi terhadap gangguan asam basa, elektrolit, hipoglikemia,
anemia, KID, infeksi sekunder. Bila tekanan vena sentral penderita sudah
sesuai dengan target tetapi renjatan tetap belum teratasi maka dapat
diberikan obat inotropik/vasopresor.

27
Penatalaksanaan sindrom renjatan dengue

28

You might also like