You are on page 1of 19

Case Presentation 1

Leukokoria ODS et causa Retinopati Prematuritas

Fitri Rahmalia Akbar


H1A 013 024

BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MATARAM

2018

BAB I

0
PENDAHULUAN

Istilah leukokoria berarti “white pupil” atau pupil yang berwarna putih.
Leukokoria berasal dari bahasa Yunani “leukos” artinya putih dan “kore” artinya
pupil.1 Leukokoria disebut juga cat’s eye yang berarti pupil putih.2
Leukokoria pada pemeriksaan klinis tampak sebagai reflek pupil yang
berwarna putih. Refleks pupil normal terlihat sebagai warna merah (red reflex)
yang terlihat pada pemeriksaan ophthalmoskop.3 Normalnya saat cahaya masuk ke
dalam mata melewati media refraksi (kornea, lensa, vitreus) yang bening hingga
mencapai retina, maka akan terlihat pantulan atau refleksi fundus berwarna merah.
Pada leukokoria, karena sinar yang masuk terhalang oleh keadaan patologis maka
terlihat putih dibelakang pupil.2
Leukokoria dapat disebabkan oleh abnormalitas pada lensa (katarak),
kelainan pada vitreous (persistent hyperplastic primary vitreous, perdarahan
vitreous), kelainan pada retina (retinoblastoma, retinopathy of prematurity,
toxocariasis, coat’s disease, retinal detachment, koloboma), kelaianan pada nervus
optikus (optic nerve coloboma).3 Retinopati Prematuritas (ROP) adalah
pertumbuhan abnormal pembuluh darah retina, yang sering terjadi pada bayi
prematur. Di dunia sekitar sepuluh persen bayi lahir prematur (sebelum usia
kehamilan 37 minggu). Hal ini dapat meningkatkan faktor resiko terjadinya
retinopati prematuritas.4 Insidensi ROP di Indonesia pada bayi dengan berat lahir
kurang dari 1500 gram dan atau usia kehamilan kurang dari 32 minggu berkisar
sekitar 11,9 sampai 30,5 %. Faktor resiko lainnya yang dapat meningkatkan
insidensi ROP antara lain : asfiksia, transfusi darah, pemberian oksigen lebih dari
tujuh hari, sepsis dan penyakit jantung (PDA).5
Leukokoria dapat menjadi gejala awal dari berbagai kelaianan yang terjadi
pada mata. Beberapa diagnosa banding dapat dipersempit melalui anamnesis dan
pemeriksaan klinis mata yang menyeluruh.1 Berikut akan dibahas laporan kasus
pasien dengan Leukokoria ODS et causa Retinopathy of Prematurity.

1
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Alya Nida Ulkharimah
Umur : 7 bulan
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Suku : Dompu
Alamat : Dompu
No. RM : 14 40 34
Tanggal Pemeriksaan : 9 Mei 2018

2.2 Anamnesis
A. Keluhan Utama:
Kedua mata pasien tidak bisa melihat.

B. Riwayat Penyakit Sekarang:


Pasien datang ke Poliklinik Mata RSUP Provinsi NTB dengan keluhan
kedua mata tidak bisa melihat. Ibu pasien mengeluhkan anaknya tidak
bisa melihat, hal ini baru disadarinya. Ibu pasien pernah mencoba
memanggil pasien serta memberikan mainan, namun tidak ada respon dari
pasien. Ibu pasien pernah memfoto pasien dan tampak kedua mata pasien
berwarna putih menyala. Ibu juga sering memperhatikan mata pasien,
terkadang bola mata pasien bergerak sendiri ke arah kanan dan kiri. Ibu
pasien mengatakan apabila mangajak senyum anaknya, tidak ada respon
yang diberikan oleh pasien. Ibu pasien juga mengatakan apabila dipanggil
anaknya tidak menoleh ke arah sumber suara. Saat ini pasien sudah bisa
tengkurap tapi belum bisa bangkit untuk duduk sendiri.

C. Riwayat Penyakit Dahulu

2
Ibu pasien menyangkal adanya riwayat trauma, riwayat asma, riwayat
kejang.

D. Riwayat Persalinan dan Kehamilan


Pasien lahir prematur usia 8 bulan, dengan berat badan lahir rendah yaitu
1300 gram. Pasien lahir dengan tindakan SC ditolong oleh dokter di
Rumah Sakit. Saat lahir, pasien tidak langsung menangis, kemudian di
rawat di NICU selama 1 bulan. Selama dirawat di NICU pasien diberikan
bantuan oksigen untuk pernapasan. Selama hamil ibu pasien mengaku
tidak pernah sakit dan tidak pernah mengonsumsi obat-obatan secara
bebas.

E. Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada keluarga pasien yang mengalami hal serupa dengan pasien.
Tidak ada riwayat penyakit kongenital pada keluarga.

F. Riwayat Alergi
Riwayat alergi obat dan makanan (-)

G. Riwayat Pengobatan
Pasien baru pertama kali berobat ke RSUP Provinsi NTB.

2.3 Pemeriksaan Fisik


− Status Generalis
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran/GCS : Compos mentis / E4V5M6
− Pemeriksaan Tanda Vital
Nadi : 120 kali/menit
Frekuensi Napas : 32x/menit
Suhu : 36,1 0C
Berat Badan : 5,9 kg (gizi kurang)
Panjang Badan : 66 cm
Lingkar Kepala : 38,5 cm (mikrosefali)

− Status Lokalis

3
No Pemeriksaan Mata Kanan Mata Kiri

4
1. Posisi bola mata Ortoforia Ortoforia
2. Gerakan bola mata Nistagmus (+) Nistagmus (+)
3. Palpebra Edema (-) (-)
Superior
Hiperemi (-) (-)
Pseudoptosis (-) (-)
Entropion (-) (-)
Ektropion (-) (-)
Spasme (-) (-)
4. Palpebra Edema (-) (-)
Inferior
Hiperemi (-) (-)
Entropion (-) (-)
Ektropion (-) (-)
5. Konjungtiva Hiperemi (-) (-)
Palpebra
Sikatrik (-) (-)
Superior
Masa (-) (-)
Eksudat (-) (-)
Nyeri tekan (-) (-)
6. Konjungtiva Hiperemi (-) (-)
Palpebra
Sikatrik (-) (-)
Inferior
Masa (-) (-)
Eksudat (-) (-)
7. Konjungtiva Injeksi (-) (-)
Bulbi Konjungtiva
Injeksi Siliar (-) (-)
Massa (-) (-)
Edema (-) (-)
8. Sclera Massa (-) (-)
9. Kornea Bentuk Cembung Cembung
Kejernihan Jernih Jernih
Permukaan Licin Licin
Sikatrik (-) (-)

5
Benda Asing (-) (-)
10. Bilik Mata Kedalaman Dangkal Dangkal
Depan
Hifema (-) (-)
Hipopion (-) (-)
11. Iris Warna Coklat Coklat
Bentuk Bulat dan regular Bulat dan regular
12. Pupil Bentuk Bulat Bulat
Ukuran ± 3 mm ± 3 mm
Refleks cahaya (+) (+)
langsung
Refleks cahaya (+) (+)
tidak langsung
13. Lensa Kejernihan Keruh Keruh
14. TIO Palpasi Kesan normal Kesan normal
15. Funduskopi Refleks Fundus (-) (-)
Gambaran fundus (-) (-)

2.4 Dokumentasi Pasien

Gambar 1. ODS

6
Gambar 2. OD

Gambar 3. OS
2.5 Pemeriksaan Penunjang

Gambar 4. Hasil B Scan Pasien

7
BAB III
IDENTIFIKASI MASALAH DAN ANALISA KASUS

1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan data yang diperoleh melalui anamnesis dan pemeriksaan
oftalmologi, terdapat beberapa masalah yang dapat diindentifikasi antara lain:
a. Subjektif
ODS
1) Mata kanan dan kiri tidak bisa melihat
2) Mata kanan dan kiri berwarna putih saat difoto
3) Bola mata kanan dan kiri terlihat bergerak sendiri ke kanan dan ke
kiri

Beberapa masalah lainnya yang dapat diindentifikasi dari anamnesis antara


lain:
1) Pasien lahir prematur usia 8 bulan.
2) Pasien lahir dengan berat badan lahir rendah yaitu 1300 gram.
3) Pasien tidak langsung menangis saat lahir
4) Pasien mendapat perawatan di NICU dengan bantuan oksigen untuk
pernapasan selama satu bulan.
Beberapa masalah perkembangan yang dapat diindentifikasi dari
anamnesis antara lain:
1) Ibu pasien mengatakan apabila mangajak senyum anaknya, tidak ada
respon yang diberikan oleh pasien.
2) Ibu pasien mengatakan apabila dipanggil anaknya tidak menoleh ke
arah sumber suara.
3) Saat ini pasien sudah bisa tengkurap tapi belum bisa bangkit untuk
duduk sendiri.

8
b. Objektif
OD OS
1) Leukokoria OD (+) 1) Leukokoria OS (+)
2) Nistagmus OD (+) 2) Nistagmus OS (+)
3) Refleks fundus OD (-) 3) Refleks fundus OS (-)

2. Analisa Kasus
Orang tua pasien pada kasus di atas mengeluhkan kedua mata anaknya
tidak bisa melihat. Ibu pasien pernah memfoto pasien dan tampak kedua mata
pasien berwarna putih menyala. Ibu juga sering memperhatikan mata pasien,
terkadang bola mata pasien bergerak sendiri ke arah kanan dan kiri. Berdasarkan
keluhan yang disampaikan oleh orang tua pasien tersebut, kasus ini dapat
digolongkan kedalam gangguan mata yang disebut leukokoria disertai nistagmus.
Beberapa diagnosis banding yang dapat dipertimbangkan pada keluhan mata
leukokoria pada anak antara lain bisa diakibatkan oleh adanya abnormalitas pada
lensa (katarak kongenital), kelainan pada vitreous (persistent hyperplastic primary
vitreous), kelainan pada retina (retinoblastoma, retinopathy of prematurity,
koloboma), kelaianan pada nervus optikus (optic nerve coloboma). 3 Berdasarkan
anamnesis riwayat persalinan, pasien lahir prematur usia 8 bulan, dengan berat
badan lahir rendah yaitu 1300 gram. Pasien lahir dengan tindakan SC ditolong
oleh dokter di Rumah Sakit. Saat lahir, pasien tidak langsung menangis, kemudian
di rawat di NICU selama 1 bulan. Selama dirawat di NICU pasien diberikan
bantuan oksigen untuk pernapasan. Berdasarkan keluhan utama pasien yakni tidak
bisa melihat disertai anamnesis faktor resiko berupa riwayat persalinan prematur,

9
berat badan lahir rendah, asfiksia, pemberian oksigen selama satu bulan, maka hal
pertama yang dipikirkan sebagai diagnosa kerja adalah retinopati prematuritas.

Retinopati Prematuritas (ROP) adalah pertumbuhan abnormal pembuluh


darah retina, yang sering terjadi pada bayi prematur. Pasien pada kasus lahir pada
usia kehamilan 32 minggu, dengan berat badan lahir rendah yaitu 1300 gram. Usia
kehamilan prematur dan berat badan lahir rendah merupakan faktor risiko utama
retinopati prematuritas. Kedua faktor tersebut terkait dengan tingkat
ketidakmatangan perkembangan saraf dan vaskular retina saat lahir. Selanjutnya,
semakin rendah usia kehamilan dan berat lahir, semakin banyak kehilangan faktor
- faktor pertumbuhan dan nutrisi yang biasanya disediakan oleh lingkungan
intrauterin untuk janin.4 Penelitian tentang insidensi ROP di Indonesia
menunjukkan, pada bayi dengan berat lahir kurang dari 1500 gram dan atau usia
kehamilan kurang dari 32 minggu berkisar sekitar 11,9 sampai 30,5 %. 5
Faktor resiko lainnya yang dapat meningkatkan insidensi ROP antara lain :
asfiksia, transfusi darah, pemberian oksigen lebih dari tujuh hari, sepsis dan
penyakit jantung (PDA).5 Hal ini sesuai dengan kondisi pasien, pasien lahir tidak
menangis mengalami asfiksia dan diberikan oksigen di NICU selama satu bulan.

10
Gambar 5. Patogenesis Retinopati Prematuritas.4

Saat di dalam kandungan, tekanan oksigen rendah dan vaskularisasi retina


tumbuh normal. Fase satu, setelah lahir vaskularisasi retina terhambat karena
hilangnya nutrisi dan faktor pertumbuhan yang disediakan selama masa
kehamilan. Pertumbuhan pembuluh darah berhenti dan saat retina matang,
kebutuhan metabolik meningkat, menyebabkan hipoksia. Retina hipoksik
menstimulasi ekspresi faktor-faktor yang diatur oleh oksigen seperti
erythropoietin (EPO) dan faktor pertumbuhan endotel vaskular (VEGF), yang
merangsang neovaskularisasi retina. Fase dua, insulin-like growth factor 1 (IGF-
1) meningkat perlahan dari konsentrasi rendah setelah kelahiran prematur hingga
konsentrasi cukup tinggi untuk memungkinkan aktivasi jalur VEGF. Resolusi
retinopati dapat dicapai melalui pencegahan fase 1 dengan meningkatkan IGF-1
ke konsentrasi in-utero dan dengan membatasi oksigen untuk mencegah tekanan
VEGF. Sebagai alternatif, VEGF dapat ditekan pada fase 2 setelah
neovaskularisasi dengan terapi laser.4

11
Gambar 6. Stadium retinopati prematuritas.4
Retina dibagi menjadi tiga zona, tingkat keparahan retinopati dibagi
berdsarkan zona ini. Stadium 1 merupakan pertumbuhan pembuluh darah ringan
yang abnormal, memiliki ciri garis demarkasi tipis antara vaskularisasi dan
nonvaskularisasi retina. Pada stadium 2 terdapat garis batas yang lebih jelas. Pada
stadium 3 terjadi proliferasi ekstraretinal fibrovascular. Pada stadium 4 terdapat
bagian retina detasemen, dan stadium 5 dengan detasemen retina total. Pada tahap
3, neovaskularisasi ekstraretinal dapat menjadi cukup berat untuk menyebabkan
pelepasan retina (stadium 4-5), yang biasanya menyebabkan kebutaan.4
Pada pasien juga didapatkan nistagmus pada mata kanan dan kiri.
Nistagmus adalah gerakan bola mata ritmis, involunter, bolak balik baik
horizontal, vertikal ataupun berputar. Diagnosis nistagmus ditegakkan apabila
diagnosa neurologis dan kelainan okular sudah dieksklusi. Diagnosa neurologis
nistagmus yaitu SOL (space occupying lesions), penyakit metabolik dan
neurodegeneratif. Diagnosa okular nistagmus antara lain dapat terjadi pada
kelaianan saraf optik maupun ROP.6

12
Gambar 7. Algoritma untuk diagnosa banding pasien leukokoria.1

Beberapa diagnosa banding pada kasus ini yang kemudian dieksklusi


antara lain :
1. Katarak Kongenital
Katarak kongenital adalah katarak yang mulai terjadi sebelum atau segera
setelah bayi lahir dan bayi berusia kurang dari 1 tahun. Penyebab katarak
kongenital antara lain adalah riwayat prenatal infeksi ibu seperti rubela pada
kehamilan trismester pertama, pemakaian obat selama kehamilan, riwayat
kehamilan ibu dengan kejang dan ikterus. Riwayat trauma saat persalinan
serta genetik juga dapat menjadi faktor resiko katarak kongenital. Gejala
klinis pada katarak kongenital berupa leukokoria. Katarak kongenital dapat
menimbulkan komplikasi berupa nistagmus dan strabismus.7
Katarak kongenital pada kasus ini dapat dipertimbangkan sebagai diagnosa
banding karena gejala utama pada pasien adalah leukokoria. Katarak
kongenital dapat dieksklusi sebagai diagnosa kerja dikarenakan dari
anamnesis tidak didapatkan faktor resiko berupa riwayat infeksi pada ibu,
riwayat kejang maupun kuning selama ibu hami, serta tidak ada penggunaan
obat selama kehamilan. Pada pasien juga tidak didapatkan adanya riwayat
trauma saat persalinan serta tidak ada riwayat herediter katarak.
2. Persistent hyperplastic primary vitreous (PHPV)
Persistent hyperplastic primary vitreous (PHPV) adalah kelainan
perkembangan okular yang terdiri dari berbagai tingkat glial dan proliferasi
vaskular dalam rongga vitreus. Terdapat kegagalan struktur dalam vitreus.
Hal ini dikaitkan dengan mikroftalmia dan biasanya terjadi unilateral. PHPV
adalah kondisi yang progresif dengan gejala awal katarak pada saat lahir.
Membran dan lensa dapat berotasi secara anterior dan menyebabkan
glaukoma sekunder.6
Persistent hyperplastic primary vitreous pada kasus ini dapat dipertimbangkan
sebagai diagnosa banding karena gejala utama pada pasien adalah leukokoria.

13
Persistent hyperplastic primary vitreous dapat dieksklusi sebagai diagnosa
kerja dikarenakan tidak ditemukan gejala berupa mikroftalmia pada pasien.

3. Retinoblastoma
Retinoblastoma adalah tumor maligna intraokular primer yang umunya terjadi
pada anak-anak. Kebanyakan kasus terjadi pada anak kurang dari 5 tahun,
dengan puncak insidensi usia 1 tahun. Sekitar 40% retinoblastoma diturunkan
secara autosomal dominan akibat mutasi gen Rb1. Gejala klinis tersering
adalah leukokoria, gejala lainnya dapat berupa strabismus, heterokromia,
nyeri pada mata, atau selulitis orbita.6
Retinoblastoma pada kasus ini dapat dipertimbangkan sebagai diagnosa
banding karena gejala utama pada pasien adalah leukokoria. Retinoblastoma
dapat dieksklusi sebagai diagnosa kerja dikarenakan dari usia pasien masih 7
bulan, usia tersebut bukan merupakan puncak insidensi retinoblastoma. Dari
anamnesis tidak didapatkan riwayat herediter retinoblastoma pada keluarga.
Tidak ditemukan gejala lain berupa strabismus, heterokromia, nyeri pada
mata, atau selulitis orbita pada pasien.

Gambar. B Scan menunjukkan tumor solid dengan kalsifikasi pada Retinoblastoma. 1

4. Koloboma

14
Koloboma dapat didefinisikan sebagai defek atau lubang pada jaringan yang
terbentuk selama masa perkembangan embriologi. Hal ini dapat menimbulkan
defek pada kelopak mata, lensa, iris, badan siliar, koroid ataupun diskus optik.
Efek penglihatan pada koloboma tergantung dari lokasi defek yang terjadi.
Koloboma pada kelopak mata dapat menjadi gejala pada beberapa sindrom
seperti pada sindrom Goldenhar. Koloboma pada iris memiliki singkatan
gejala CHARGE (coloboma, heart defect, atresia of choanae, retardation of
growth and development, genital hypoplasia and ear abnormalities), hal ini
juga berkaitan dengan sindrom Turner dan sindrom Klinefelter.6 Koloboma
pada kasus ini dapat dipertimbangkan sebagai diagnosa banding karena gejala
utama pada pasien adalah leukokoria. Koloboma dapat dieksklusi sebagai
diagnosa kerja dikarenakan pada pemeriksaan fisik mata tidak ditemukan
adanya defek pada mata pasien.

3.1 Assessment
Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik, tanda dan gejala yang
terdapat pada pasien mengarahkan pada diagnosa Leukokoria ODS et causa
Retinopathy of Prematurity + Nistagmus.
Diagnosis Kerja:
Leukokoria ODS et causa Retinopati Prematuritas + Nistagmus
3.2 Planning
A. Usulan Pemeriksaan Lanjutan
- Konsul bagian anak untuk mencari gangguan perkembangan dan
kelaianan kongenital lainnya.
B. Tatalaksana
Tujuan pengobatan pada retinopati prematuritas adalah untuk penglihatan.
Retinopati prematuritas pada stadium 3 atau lebih membutuhkan pengobatan
lanjutan untuk menghentikan pertumbuhan pembuluh darah abnormal pada retina.
Beberapa bentuk pengobatan ROP :
 Terapi krio, yaitu memakai suhu beku untuk membekukan bagian retina
yang dipengaruhi ROP, yang akan menghentikan pertumbuhan pembuluh
darah tidak sehat dalam mata.

15
 Terapi laser, bertujuan untuk menghentikan pertumbuhan yang berlebihan
pembuluh darah. Laser dipergunakan untuk membakar bagian kecil retina
yang dikenai ROP.
 Bedah retina dilakukan pada stadium 4 atau 5 apabila retina mulai lepas.

3.4 KIE
- Orang tua pasien diberikan informasi terkait penyakit yang dialami
anaknya.
- Orang tua pasien diberikan edukasi untuk membawa anaknya kontrol
kembali ke bagian anak untuk mengetahui apakah terdapat gangguan
perkembangan serta kelainan kongenital pada anak.
- Orang tua pasien diminta untuk terus memantau kondisi mata anak,
perkembangan anak, serta memberikan nutrisi yang cukup bagi anaknya.
3.5 Prognosis
 Prognosis penglihatan (ad functionam)
Prognosis pengelihatan pasien ad malam
 Prognosis nyawa (ad vitam)
Prognosis nyawa pasien ad bonam

16
BAB IV

RINGKASAN AKHIR

Pasien seorang perempuan, usia 7 bulan dengan keluhan kedua mata tidak
bisa melihat. Pasien memiliki riwayat lahir prematur, dengan berat badan lahir
rendah. Pasien pernah dirawat di NICU dan diberikan oksigen selama satu bulan.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan leukokoria ODS (+), nistagmus ODS (+)
refleks fundus ODS (-). Diagnosis kerja : Leukokoria ODS et causa Retinopati
Prematuritas + Nistagmus. Rencana pemeriksaan tambahan konsul bagian anak.
Prognosis penglihatan dubia ad malam.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Kumar, V. S., dan Arora, T., 2014. An Approach to a Child with


Leukocoria. DOS Times, 19(8), pp.69–73. Available at: www.dos-
times.org/pulsar9088/20140610130603510.pdf.
2. Kemala Sayuti, Azwin Aziz, Maya, 2011. Profil Leukokoria pada Anak di
RSUP Dr. M. Djamil Padang. MKA, 37 (April 2014). Available at:
http://jurnalmka.fk.unand.ac.id/index.php/art/article/viewFile/138/134.

3. Buscombe, C., dan Headland, S., 2013. Infantile Leukocoria : The White
Pupil. Bujo, 1(1), pp.1–4. Available at:
www.buos.co.uk/bujo/documents/1/bujo.2013.006.pdf.

4. Hellstrom, A., Smith, dan Dammann, O., 2013. Retinopathy of


Prematurity. The Lancet Global Health, 382, pp.1445–1457. Available at:
https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0140673613601786.

5. Siswanto, J.E., 2017. Retinopathy of Prematurity in Indonesia : Incidence


and Risk Factors. Journal of Neonatal-Perinatal Medicine. Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/28304327.

6. Mansoor, Tihami dan Ahmed, 2016. Eye Pathologies in Neonates. Int J


Ophthalmol, 9(12). Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5155001/.

7. Ilyas, S, Yulianti, SR. 2015. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 5. Badan Penerbit
FK UI : Jakarta.

18

You might also like