You are on page 1of 8

LAPORAN PENDAHULUAN

ATRESIA DUODENUM

A. DEFINISI
Atresia duodenum adalah suatu kondisi dimana duodenum (bagian pertama dari
usus halus) tidak berkembang dengan baik, sehingga tidak berupa saluran terbuka
dari lambung yang tidak memungkinkan perjalanan makanan dari lambung ke usus.
Pada kondisi ini duodenum bisa mengalami penyempitan secara komplit sehingga
menghalangi jalannya makanan dari lambung menuju usus untuk mengalami proses
absorbsi. Apabila penyempitan usus terjadi secara parsial, maka kondisi ini disebut
dengan duodenal stenosis (Hayden et al, 2003).
B. ETIOLOGI
Meskipun penyebab yang mendasari terjadinya atresia duodenum masih belum
diketahui, patofisologinya telah dapat diterangkan dengan baik. Seringnya ditemukan
keterkaitan atresia atau stenosis duodenum dengan malformasi neonatal lainnya
menunjukkan bahwa anomali ini disebabkan oleh gangguan perkembangan pada
masa awal kehamilan. Atresia duodenum berbeda dari atresia usus lainnya, yang
merupakan anomali terisolasi disebabkan oleh gangguan pembuluh darah mesenterik
pada perkembangan selanjutnya. Tidak ada faktor resiko maternal sebagai
predisposisi yang ditemukan hingga saat ini. Meskipun hingga sepertiga pasien
dengan atresia duodenum menderita pula trisomi 21 (sindrom Down), namun hal ini
bukanlah faktor resiko independen dalam perkembangan atresia duodenum.
C. KLASIFIKASI
Gray dan Skandalakis membagi atresia duodenum menjadi tiga jenis, yaitu:
1. Tipe I (92%)
Mukosal web utuh atau intak yang terbentuk dari mukosa dan submukosa tanpa
lapisan muskularis. Lapisan ini dapat sangat tipis mulai dari satu hingga beberapa
millimeter. Dari luar tampak perbedaan diameter proksimal dan distal. Lambung
dan duodenum proksimal atresia mengalami dilatasi (Mucosal web Tipe I atresia).
Arteri mesenterika superior intak.
2. Tipe II (1%)
Dua ujung buntu duodenum dihubungkan oleh pita jaringan ikat (Fibrous cord Tipe
II atresia). Arteri Mesenterika intak.
3. Tipe III (7%)
Dua ujung buntu duodenum terpisah tanpa hubungan pita jaringan ikat (Complete
separation Tipe III atresia).

D. PATOFISIOLOGI
Gangguan perkembangan duodenum terjadi akibat proliferasi endodermal yang
tidak adekuat (elongasi saluran cerna melebihi proliferasinya) atau kegagalan
rekanalisasi pita padat epithelial (kegagalan proses vakuolisasi). Banyak peneliti telah
menunjukkan bahwa epitel duodenum berproliferasi dalam usia kehamilan 30-60 hari
lalu akan terhubung ke lumen duodenal secara sempurna. Proses selanjutnya yang
dinamakan vakuolisasi terjadi saat duodenum padat mengalami rekanalisasi.
Vakuolisasi dipercaya terjadi melalui proses apoptosis, atau kematian sel terprogram,
yang timbul selama perkembangan normal di antara lumen duodenum. Kadang-
kadang, atresia duodenum berkaitan dengan pankreas anular (jaringan pankreatik
yang mengelilingi sekeliling duodenum). Hal ini sepertinya lebih akibat gangguan
perkembangan duodenal daripada suatu perkembangan dan/atau berlebihan dari
pancreatic buds. Pada tingkat seluler, traktus digestivus berkembang dari embryonic
gut, yang tersusun atas epitel yang merupakan perkembangan dari endoderm,
dikelilingi sel yang berasal dari mesoderm. Pensinyalan sel antara kedua lapisan
embrionik ini tampaknya memainkan peranan sangat penting dalam
mengkoordinasikan pembentukan pola dan organogenesis dari duodenum.
E. PATHWAY

Proliferasi endodement tidak adekuat


Ansietas
Gangguan Perkembangan

Kurang pengetahuan Atresia Duodenum POST OPERATIF

PRE OPERATIF Muntah

Volume cairan ↓ Intake nutrisi ↓ Resiko aspirasi

Dehidrasi Gangguan nutrisi


kurang dari
kebutuhan
Kekurangan Gangguan cairan
volume cairan dan elektrolit
Terputusnya
Ketidakseimbangan Insisi Bedah Kontuinitas Jaringan
asam basa

Resiko asidosis Gangguan rasa


Resiko Infeksi
metabolik nyaman nyeri

F. MANIFESTASI KLINIS
Pasien dengan atresia duodenal memiliki gejala obstruksi usus. Gejala akan
nampak dalam 24 jam setelah kelahiran. Pada beberapa pasien dapat timbul gejala
dalam beberapa jam hingga beberapa hari setelah kelahiran. Muntah yang terus
menerus merupakan gejala yang paling sering terjadi pada neonatus dengan atresia
duodenal. Muntah yang terus-menerus ditemukan pada 85% pasien. Muntah akan
berwarna kehijauan karena muntah mengandung cairan empedu (biliosa). Akan tetapi
pada 15% kasus, muntah yang timbul yaitu non-biliosaapabila atresia terjadi pada
proksimal dari ampula veteri. Muntah neonatus akan semakin sering dan progresif
setelah neonates mendapat ASI. Karakteristik dari muntah tergantung pada lokasi
obstruksi. Jika atresia diatas papila, maka jarang terjadi. Apabila obstruksi pada
bagian usus yang tinggi, maka muntah akan berwarna kuning atau seperti susu yang
mengental. Apabila pada usus yang lebih distal, maka muntah akan berbau dan
nampak adanya fekal. Apabila anak terus menerus muntah pada hari pertama
kelahiran ketika diberikan susu dalam jumlah yang cukup sebaiknya dikonfirmasi
dengan pemeriksaan penunjang lain seperti roentgen dan harus dicurigai mengalami
obstruksi usus. Ukuran feses juga dapat digunakan sebagai gejala penting untuk
menegakkan diagnosis. Pada anak dengan atresia, biasanya akan memiliki mekonium
yang jumlahnya lebih sedikit, konsistensinya lebih kering, dan berwarna lebih abu-abu
dibandingkan mekonium yang normal. Pada beberapa kasus, anak memiliki
mekonium yang nampak seperti normal (Kessel et al, 2011)
Pengeluaran mekonium dalam 24 jam pertama biasanya tidak terganggu. Akan
tetapi, pada beberapa kasus dapat terjadi gangguan. Apabila kondisi anak tidak
ditangani dengan cepat, maka anak akan mengalami dehidrasi, penurunan berat
badan, gangguan keseimbangan elektrolit. Jika dehidrasi tidak ditangani, dapat terjadi
alkalosis metabolik hipokalemia atau hipokloremia. Pemasangan tuba orogastrik akan
mengalirkan cairan berwarna empedu (biliosa) dalam jumlah bermakna. Anak dengan
atresi duodenum juga akan mengalami aspirasi gastrik dengan ukuran lebih dari 30
ml. Pada neonatus sehat, biasanya aspirasi gastrik berukuran kurang dari 5 ml.
Aspirasi gastrik ini dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pada jalan nafas anak.
Pada beberapa anak, mengalami demam. Kondisi ini disebabkan karena pasien
mengalami dehidrasi. Apabila temperatur diatas 103º F maka kemungkinan pasien
mengalami ruptur intestinal atau peritonitis (Kessel et al, 2011).
Pada pemeriksaan fisik ditemukan distensi abdomen. Akan tetapi distensi ini tidak
selalu ada, tergantung pada level atresia dan lamaya pasien tidak dirawat. Jika
obstruksi pada duodenum, distensi terbatas pada epigastrium. Distensi dapat tidak
terlihat jika pasien terus menerus muntah. Pada beberapa neonatus, distensi bisa
sangat besar setelah hari ke tiga sampai hari ke empat, kondisi ini terjadi karena ruptur
lambung atau usus sehingga cairan berpindah ke kavum peritoneal. Neonatus dengan
atresia duodenum memiliki gejala khas perut yang berbentuk skafoid (Kessel et al,
2011).
Saat auskultasi, terdengar gelombang peristaltik gastrik yang melewati
epigastrium dari kiri ke kanan atau gelombang peristaltik duodenum pada kuadran
kanan atas. Apabila obstruksi pada jejunum, ileum maupun kolon, maka gelombang
peristaltik akan terdapat pada semua bagian dinding perut (Kessel et al, 2011).
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Foto polos abdomen
Pada pemeriksaan foto polos abdomen bayi dalam keadaan posisi tegak akan
terlihat gambaran 2 bayangan gelembung udara (double bubble), gelembung
lambung dan duodenum proksimal atresia. Bila 1 gelembung mungkin duodenum
terisi penuh cairan, atau terdapat atresia pylorus atau membrane prapilorik.
Atresia pilorik sangat jarang terdapat dan harus ditunjang muntah tidak hijau. Bila
2 gelembung disertai gelembung udara kecil kecil di distal, mungkin stenosis
duodenum, diafgrama membrane mukosa, atau malrotasi dengan atau tanpa
volvulus.
2. USG Abdomen
Penggunaan USG telah memungkinkan banyak bayi dengan obstruksi duodenum
teridentifikasi sebelum kelahiran. Pada penelitian cohort besar untuk 18 macam
malformasi kongenital di 11 negara Eropa, 52% bayi dengan obstruksi duodenum
diidentifikasi sejak in utero. Obstruksi duodenum ditandai khas oleh gambaran
double-bubble (gelembung ganda) pada USG prenatal. Gelembung pertama
mengacu pada lambung, dan gelembung kedua mengacu pada loop duodenal
postpilorik dan prestenotik yang terdilatasi. Diagnosis prenatal memungkinkan ibu
mendapat konseling prenatal dan mempertimbangkan untuk melahirkan di sarana
kesehaan yang memiliki fasilitas yang mampu merawat bayi dengan anomali
saluran cerna.
H. PENATALAKSANAAN
1. Pre operasi
Tindakan dekompresi dengan pemasangan sonde lambung (NGT) dan lakukan
pengisapan cairan dan udara. Tindakan ini untuk mencegah muntah dan aspirasi.
Resusitasi cairan dan elektrolit, koreksi asam basa, hiponatremia dan hipokalemia
perlu mendapat perhatian khusus. Pembedahan elektif pada pagi hari berikutnya.
2. Intraoperasi
Tindakan ini memerlukan anestesi general dengan intubasi endotrakeal. Yang
sering banyak digunakan dengan insisi pemotongan otot, transversal, insisi
kuadran kanan atas. Namun, beberapa menggunakan motode laparoskopi untuk
memperbaiki (Blanco-Rodríguez, 2008).
Menurut Felicitass (2011), teknik pembedahan pada atresia duodenum :
a. Side to side anastomosis
Dimulai dari bagian dorsal dari anastomosis, sebuah duodenostomi melintang
dibuat di segmen proksimal. Bagian ujung dari lambung dan duodenum
dilakukan duodenotomi. Insisi pararel dibuat pada distal duodenum kemudian
lapisan posterior anastomosis dijahitkan.
b. For diamond shape duodenostomy
Diperlukan mobilisasi untuk menempatkan dinding duodenum proksimal terlihat
dengan jelas. Kemudian dibuat sayatan melintang di proksimal membujur ke
duodenum bagian distal.
c. For a duodenal web
Untuk web duodenum, membrane biasanya terletak di kedua bagian
duodenum, Lokasi membrane dapat dibantu oleh pemasangan NGT ke dalam
duodenum.
d. For membrane resection
Untuk reseksi membrane, sayatan dibuat memanjang. Kemudian
mengidentifikasi ampula vater. Eksisi dimulai dengan insisi radial di pusat
ostium. Sebelum menutup duodenum secara melintang, patensi duodenum
bagian distal diuji terlebih dahulu dengan menggunakan kateter silicon kecil.
3. Post operasi
Penggunaan selang transanastomik berada dalam di jejunum, pemberian makan
dapat diberikan setelah 48 jam paska operasi. Nutrisi parenteral via central atau
perifer dimasukan kateter dapat sangat efektif untuk menjaga nutrisi waktu yang
lama jika transanastomik enteral tidak cukup atau tidak dapat ditolenrasi oleh tubuh
pasien (Millar, 2005).
I. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
muntah
2. Kekurangan volume cairan dan elektrolit berhubungan dengan muntah
3. Resiko Aspirasi berhubungan dengan adanya reflek muntah
No Diagnosa Tujuan Intervensi
Keperawatan
I Ketidakseimbangan Setelah dilakukan  Kaji kebutuhan nutrisi
nutrisi kurang dari tindakan perawatan  Pantau keadaan umum
kebutuhan tubuh selama 3 x 24 jam,  Pantau kateter vena perifer
berhubungan diharapkan nutrisi kembali  Pantau Haluaran OGT
dengan muntah seimbang dengan kriteria  Pantau BAB
hasil :  Timbang dan catat berat
 BB meningkat badan Pasien pada jam
yang sama setiap hari
 Pantau terapi
II Kekurangan volume Setelah dilakukan  Kaji kebutuhan cairan dan
cairan dan elektrolit tindakan keperawatan elektrolit klien
berhubungan selama 3x24 jam,  Pantau keadaan umum
dengan muntah diharapkan cairan  Monitor tanda-tanda
elektrolit klien seimbang dehidrasi
dengan kriteria hasil:  Pantau haluaran OGT
 BB tidak menurun  Monitor Tanda tanda vital
 Bibir tidak kering  Monitor BAK
 Turgor kulit baik  Pantau pemberian terapi
 Capp. Refill <2detik cairan
III Resiko Aspirasi Setelah dilakukan  periksa haluaran cairan
berhubungan tindakan keperawatan melalui mulut
dengan adanya selama 3 x 24 jam,  auskultasi suara paru
reflek muntah diharapkan pasien tidak  pantau tanda-tanda aspirasi
mengalami aspirasi  Berikan kenyamanan
dengan kriteria hasil : terhadap penempatan posisi
 Tidak keluarnya cairan pasien
 mempunyai bunyi  Poisikan bayi dalam posisi

paru yang bersih dan miring


jalan napas yang  Ganti pengalas pasien jika

paten terjadi muntah melalui mulut


DAFTAR PUSTAKA

Anasruloh,Rahman . (2013). Dimuat dalam https://www.scribd.com/doc/76887410/Atresia-


Duodenum.

Kartono D. Atresia Duodenum dalam Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Editor Reksoprodjo S.
Binarupa Aksara. FKUI.

Pertmaq Stya Cnta .( 2014). Dimuat dalam https://www.scribd.com/doc/251157704/askep-


atresia-duodenum-docx.

Rahmat Wibowo, Nur . (2012). Dimuat dalam https://www.scribd.com/doc/94777717/Laporan-


Kasus-Atresia-Duodenum .

Triayu Irianti, Indah. (2012). Dimuat dalam https://www.scribd.com/doc/115474044/ STENOSIS-


DUODENUM .

You might also like