You are on page 1of 17

BAB II

LAPORAN TEORI

A. PENGERTIAN
Halusinasi merupakan salah satu gejala yang sering ditemukan pada klien
dengan gangguan jiwa, Halusinasi sering diidentikkan dengan Schizofrenia.
Dari seluruh klien Schizofrenia 70% diantaranya mengalami halusinasi.
Gangguan jiwa lain yang juga disertai dengan gejala halusinasi adalah
gangguan manik depresif dan delerium.

Halusinasi merupakan gangguan persepsi dimana klien mempersepsikan


sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu penerapan panca indra tanpa
ada rangsangan dari luar. Suatu penghayatan yang dialami suatu persepsi
melalui panca indra tanpa stimulus eksteren :Persepsi palsu. Berbeda
dengan ilusi dimana klien mengalami persepsi yang salah terhadap stimulus,
salah persepsi pada halusinasi terjadi tanpa adanya timulus eksternal yang
terjadi. Stimulus internal dipersepsikan sebagai sesutu yang nyata ada oleh
klien.

Menurut Varcarolis yang dikutip oleh Yosep (2010:217) halusinasi adalah


terganggunya persepsi sensori seseorang dimana tidak terdapat stimulus.
Sementara Menurut Keliat (2011:147) halusinasi adalah salah satu gejala
gangguan sensori persepsi yang dialami oleh pasien gangguan jiwa. Pasien
merasakan sensasi berupa suara, penglihatan, pengecapan,
perabaan/penghidungan tanpa stimulasi nyata. Halusinasi adalah persepsi
sensorik keliru dan melibatkan panca indera (Isaacs, 2002).

Halusinasi merupakan gangguan atau perubahan persepsi dimana klien


mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu penerapan
panca indra tanpa ada rangsangan dari luar. Suatu penghayatan yang
dialami suatu persepsi melalui panca indra tanpa stimulus eksteren/ persepsi
palsu (Maramis, 2005). Dan Stuart (2007) juga berpendapat Halusinasi
adalah kesan, respon dan pengalaman sensori yang salah.

B. Klasifikasi Halusinasi
Pada klien dengan gangguan jiwa ada beberapa jenis halusinasi dengan
karakteristik tertentu, diantaranya :

1. Halusinasi pendengaran
Karakteristik ditandai dengan mendengar suara, teruatama suara - suara
orang, biasanya klien mendengar suara orang yang sedang membicarakan
apa yang sedang dipikirkannya dan memerintahkan untuk melakukan
sesuatu.

2. Halusinasi penglihatan
Karakteristik dengan adanya stimulus penglihatan dalam bentuk pancaran
cahaya, gambaran geometrik, gambar kartun dan / atau panorama yang luas
dan kompleks. Penglihatan bisa menyenangkan atau menakutkan.

3. Halusinasi penciuman
Karakteristik ditandai dengan adanya bau busuk, amis dan bau yang
menjijikkan seperti: darah, urine atau feses. Kadang – kadang tercium bau
harum. Biasanya berhubungan dengan stroke, tumor, kejang dan dementia.

4. Halusinasi peraba
Karakteristik ditandai dengan adanya rasa sakit atau tidak enak tanpa
stimulus yang terlihat. Contoh: merasakan sensasi listrik datang dari tanah,
benda mati atau orang lain.

5. Halusinasi pengecap
Karakteristik ditandai dengan merasakan sesuatu yang busuk, amis dan
menjijikkan.

6. Halusinasi sinestetik
Karakteristik ditandai dengan merasakan fungsi tubuh seperti darah
mengalir melalui vena atau arteri, makanan dicerna atau pembentukan
urine.

C. RENTANG RESPON HALUSINASI

Halusinasi merupakan salah satu respon maladaptif individu yang berada


dalam rentang respon neurobiology. Ini merupakan respon persepsi paling
maladaptif. Jika klien sehat persepsinya akurat, mampu mengidentifikasi dan
menginterpretasikan stimulus berdasarkan informasi yang diterima melalui
panca indra ( pendengaran, penglihatan, penghidu, pengecapan, dan
perabaan ), klien dengan halusinasi mempersepsikan suatu stimulus panca
indra walaupun sebenarnya stimulus itu tidak ada. Diantara kedua respon
tersebut adalah respon individu yang karena sesuatu hal mengalami
kelainan persepsi yaitu salah mempersepsikan stimulus yang diterimanya
yang disebut sebagai ilusi. Klien mengalami ilusi jika interpretasi yang
dilakukannya terhadap stimulus panca indra tidak akurat sesuai stimulus
yang diterima.

Menurut Stuart dan Laraia (2001), halusinasi merupakan salah satu respon
maladaptif individu yang berada dalam rentang respon neurobiologi.
1. Pikiran logis: yaitu ide yang berjalan secara logis dan koheren.

2. Persepsi akurat: yaitu proses diterimanya rangsang melalui panca indra


yang didahului oleh perhatian (attention) sehingga individu sadar tentang
sesuatu yang ada di dalam maupun di luar dirinya.

3. Emosi konsisten: yaitu manifestasi perasaan yang konsisten atau afek


keluar disertai banyak komponen fisiologik dan biasanya berlangsung tidak
lama.

4. Perilaku sesuai: perilaku individu berupa tindakan nyata dalam


penyelesaian masalah masih dapat diterima oleh norma-norma social dan
budaya umum yang berlaku.

5. Hubungan social harmonis: yaitu hubungan yang dinamis menyangkut


hubungan antar individu dan individu, individu dan kelompok dalam bentuk
kerjasama.

6. Proses pikir kadang terganggu (ilusi): yaitu menifestasi dari persepsi


impuls eksternal melalui alat panca indra yang memproduksi gambaran
sensorik pada area tertentu di otak kemudian diinterpretasi sesuai dengan
kejadian yang telah dialami sebelumnya.

7. Emosi berlebihan atau kurang: yaitu menifestasi perasaan atau afek


keluar berlebihan atau kurang.
8. Perilaku tidak sesuai atau biasa: yaitu perilaku individu berupa tindakan
nyata dalam penyelesaian masalahnya tidak diterima oleh norma – norma
social atau budaya umum yang berlaku.

10. Perilaku aneh atau tidak biasa: perilaku individu berupa tindakan nyata
dalam menyelesaikan masalahnya tidak diterima oleh norma-norma sosial
atau budaya umum yang berlaku.

11. Menarik diri: yaitu percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang
lain, menghindari hubungan dengan orang lain.

12. Isolasi sosial: menghindari dan dihindari oleh lingkungan sosial dalam
berinteraksi.

D. JENIS –JENIS HALUSINASI

JENIS KARAKTERISTIK
HALUSINASI
Pendengara Mendengar suara atau kebisingan, paling sering
n suara orang. Suara berbentuk kebisingan yang
70 % kurang jelas sampai kata-kata yang jelas berbicara
tentang klien, bahkan sampai pada percakapan
lengkap antara dua orang yang mengalami
halusinasi. Pikiran yang terdengar dimana klien
mendengar perkataan bahwa klien disuruh untuk
melakukan sesuatu kadang dapat membahayakan.
Penglihatan Stimulus visual dalam bentuk kilatan cahaya,
20% gambar geometris,gambar kartun,bayangan yang
rumit atau kompleks. Bayangan bias menyenangkan
atau menakutkan seperti melihat monster.
Penghidu Membaui bau-bauan tertentu seperti bau darah,
urin, dan feses umumnya bau-bauan yang tidak
menyenangkan. Halusinasi penghidu sering akibat
stroke, tumor, kejang, atau dimensia.
Pengecapan Merasa mengecap rasa seperti rasa darah, urin atau
feses.
Perabaan Mengalami nyeri atau ketidaknyamanan tanpa
stimulus yang jelas. Rasa tersetrum listrik yang
datang dari tanah, benda mati atau orang lain.
Cenesthetic Merasakan fungsi tubuh seperti aliran darah di vena
atau arteri, pencernaan makan atau pembentukan
urine
Kinisthetic Merasakan pergerakan sementara berdiri tanpa
bergerak.
E. Tahapan / Tingkatan Halusinasi

Menurut Stuart dan Laraia (2001), terdiri dari 4 fase :


Fase I :
Klien mengalami perasaan mendalam seperti ansietas, kesepian, rasa
bersalah dan takut serta mencoba untuk berfokus pada pikiran yang
menyenangkan untuk meredakan ansietas. Di sini klien tersenyum atau
tertawa yang tidak sesuai, menggerakkan lidah tanpa suara, pergerakan
mata yang cepat, diam dan asyik sendiri.

Fase II :
Pengalaman sensori menjijikkan dan menakutkan. Klien mulai lepas kendali
dan mungkin mencoba untuk mengambil jarak dirinya dengan sumber yang
dipersepsikan. Disini terjadi peningkatan tanda-tanda sistem saraf otonom
akibat ansietas seperti peningkatan tanda-tanda vital (denyut jantung,
pernapasan dan tekanan darah), asyik dengan pengalaman sensori dan
kehilangan kemampuan untuk membedakan halusinasi dengan realita.

Fase III :
Klien berhenti menghentikan perlawanan terhadap halusinasi dan menyerah
pada halusinasi tersebut. Di sini klien sukar berhubungan dengan orang lain,
berkeringat, tremor, tidak mampu mematuhi perintah dari orang lain dan
berada dalam kondisi yang sangat menegangkan terutama jika akan
berhubungan dengan orang lain.

Fase IV :
Pengalaman sensori menjadi mengancam jika klien mengikuti perintah
halusinasi. Di sini terjadi perilaku kekerasan, agitasi, menarik diri, tidak
mampu berespon terhadap perintah yang kompleks dan tidak mampu
berespon lebih dari 1 orang. Kondisi klien sangat membahayakan.

F. Etiologi
Faktor predisposisi
Menurut Stuart (2007), faktor penyebab terjadinya halusinasi adalah:

Biologis
Abnormalitas perkembangan sistem saraf yang berhubungan dengan respon
neurobiologis yang maladaptif baru mulai dipahami. Ini ditunjukkan oleh
penelitian-penelitian yang berikut:
1. Penelitian pencitraan otak sudah menunjukkan keterlibatan otak yang
lebih luas dalam perkembangan skizofrenia. Lesi pada daerah frontal,
temporal dan limbikberhubungandenganperilakupsikotik.

Beberapa zat kimia di otak seperti dopamin neurotransmitter yang


berlebihan dan masalah – masalah pada system receptor dopamin dikaitkan
dengan terjadinya skizofrenia.

Pembesaran ventrikel dan penurunan massa kortikal menunjukkan terjadinya


atropi yang signifikan pada otak manusia. Pada anatomi otak klien dengan
skizofrenia kronis, ditemukan pelebaran lateral ventrikel, atropi korteks
bagian depan dan atropi otak kecil (cerebellum). Temuan kelainan anatomi
otak tersebut didukung oleh otopsi (post-mortem).

-Psikologis
Keluarga, pengasuh dan lingkungan klien sangat mempengaruhi respon dan
kondisi psikologis klien. Salah satu sikap atau keadaan yang dapat
mempengaruhi gangguan orientasi realitas adalah penolakan atau tindakan
kekerasan dalam rentang hidup klien.

-Sosial Budaya
Kondisi sosial budaya mempengaruhi gangguan orientasi realita seperti:
kemiskinan, konflik sosial budaya (perang, kerusuhan, bencana alam) dan
kehidupan yang terisolasi disertai stress.

Faktor Presipitasi
Menurut Stuart (2007), faktor presipitasi terjadinya gangguan halusinasi
adalah:

a. Biologis
Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur proses
informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang
mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi stimulus
yang diterima oleh otak untuk diinterpretasikan.

b. Stress lingkungan
Ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi terhadap stressor
lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku.

c. Sumber koping
Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menanggapi stressor.

G. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada pasien dengan Halusinasi adalah sebagai berikut :
1. Bicara sendiri, senyum sendiri, ketawa sendiri
2. Menggerakkan bibir tanpa suara
3. Pergerakan mata yang cepat
4. Menarik diri dari orang lain
5. Berusaha untuk menghindari orang lain
6. Perilaku panik
7. Curiga dan bermusuhan
8. Ekspresi muka tegang
9. Tampak tremor dan berkeringat
10. Mudah tersinggung, jengkel dan marah
11. Pehatian dengan lingkungan yang kurang
12. Tidak dapat membedakan realita dan tidak
13. Bertindak merusak diri, lingkungan dan orang lain
14. Diam
15. Rentang perhatianhanya beberapa detik atau menit

H. Akibat
Adanya gangguang persepsi sensori halusinasi dapat beresiko mencederai
diri sendiri, orang lain dan lingkungan (Keliat, B.A, 2006). Menurut Townsend,
M.C suatu keadaan dimana seseorang melakukan sesuatu tindakan yang
dapat membahayakan secara fisik baik pada diri sendiri maupuan orang lain.

Seseorang yang dapat beresiko melakukan tindakan kekerasan pada diri


sendiri dan orang lain dapat menunjukkan perilaku :
Data subjektif :
a. Mengungkapkan mendengar atau melihat objek yang mengancam
b. Mengungkapkan perasaan takut, cemas dan khawatir

Data objektif :
a. Wajah tegang, merah
b. Mondar-mandir
c. Mata melotot rahang mengatup
d. Tangan mengepal
e. Keluar keringat banyak
h. Mata merah

I. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan pada pasien halusinasi dengan cara :

1. Menciptakan lingkungan yang terapeutik


Untuk mengurangi tingkat kecemasan, kepanikan dan ketakutan pasien
akibat halusinasi, sebaiknya pada permulaan pendekatan di lakukan secara
individual dan usahakan agar terjadi knntak mata, kalau bisa pasien di
sentuh atau di pegang. Pasien jangan di isolasi baik secara fisik atau
emosional.

Setiap perawat masuk ke kamar atau mendekati pasien, bicaralah dengan


pasien. Begitu juga bila akan meninggalkannya hendaknya pasien di
beritahu. Pasien di beritahu tindakan yang akan di lakukan.

Di ruangan itu hendaknya di sediakan sarana yang dapat merangsang


perhatian dan mendorong pasien untuk berhubungan dengan realitas,
misalnya jam dinding, gambar atau hiasan dinding, majalah dan permainan

2. Melaksanakan program terapi dokter


Sering kali pasien menolak obat yang di berikan sehubungan dengan
rangsangan halusinasi yang di terimanya. Pendekatan sebaiknya secara
persuatif tapi instruktif. Perawat harus mengamati agar obat yang di berikan
betul di telannya, serta reaksi obat yang di berikan.

3. Menggali permasalahan pasien dan membantu mengatasi masalah yang


ada
Setelah pasien lebih kooperatif dan komunikatif, perawat dapat menggali
masalah pasien yang merupakan penyebab timbulnya halusinasi serta
membantu mengatasi masalah yang ada. Pengumpulan data ini juga dapat
melalui keterangan keluarga pasien atau orang lain yang dekat dengan
pasien.

4. Memberi aktivitas pada pasien


Pasien di ajak mengaktifkan diri untuk melakukan gerakan fisik, misalnya
berolah raga, bermain atau melakukan kegiatan. Kegiatan ini dapat
membantu mengarahkan pasien ke kehidupan nyata dan memupuk
hubungan dengan orang lain. Pasien di ajak menyusun jadwal kegiatan dan
memilih kegiatan yang sesuai.

5. Melibatkan keluarga dan petugas lain dalam proses perawatan


Keluarga pasien dan petugas lain sebaiknya di beritahu tentang data pasien
agar ada kesatuan pendapat dan kesinambungan dalam proses
keperawatan, misalnya dari percakapan dengan pasien di ketahui bila
sedang sendirian ia sering mendengar laki-laki yang mengejek. Tapi bila ada
orang lain di dekatnya suara-suara itu tidak terdengar jelas. Perawat
menyarankan agar pasien jangan menyendiri dan menyibukkan diri dalam
permainan atau aktivitas yang ada. Percakapan ini hendaknya di beritahukan
pada keluarga pasien dan petugas lain agar tidak membiarkan pasien
sendirian.

J. PENGKAJIAN KLIEN DENGAN HALUINASI


Halusinasi merupakan salah satu gejala yang ditampakkan oleh klien yang
mengalami psikotik, khususnya schizofrenia. Pengkajian klien dengan
halusinasi demikian merupakan proses identifikasi data yang melekat erat
dengan pengkajian respon neurobiologi lainnya seperti yang terdapat juga
pada schizofrenia.
1. Faktor Predisposisi
Beberapa faktor predisposisi yang berkontribusi pada munculnya respon
neurobiologi seperti halusinasi antara lain:

a. Faktor Genetik
Telah diketahui bahwa genetik schizofrenia diturunkan melalui kromoson
tertentu. Namun demikian kromoson yang keberapa yang menjadi factor
penentu gangguan ini sampai sekarang masih dalam tahap penelitian.
Diduga letak gen schizoprenia adalah kromoson nomor enam, dengan
kontribusi genetik tambahan No.4,8,5 dan 22 (Buchanan dan
Carpenter,2002). Anak kembar identik memiliki kemungkinan mengalami
schizofrenia sebesar 50% jika salah satunya mengalami schizofrenia,
sementara jika di zygote peluangnya sebesar 15 %, seorang anak yang salah
satu orang tuanya mengalami schizofrenia berpeluang 15% mengalami
schizofrenia, sementara bila kedua orang tuanya schizofrenia maka
peluangnya menjadi 35 %.

b. Faktor Neurobiologi.
Ditemukan bahwa korteks pre frontal dan korteks limbiks pada klien
schizofrenia tidak pernah berkembang penuh. Ditemukan juga pada klien
schizofrenia terjadi penurunan volume dan fungsi otak yang abnormal.
Neurotransmitter dopamin berlebihan, tidak seimbang dengan kadar serotin.

c. Studi neurotransmitter.
Schizofrenia diduga juga disebabkan oleh ketidak seimbangan
neurotransmitter dimana dopamin berlebihan, tidak seimbang dengan kadar
serotin.

d. Teori virus
Paparan virus influenza pada trimester ke-3 kehamilan dapat menjadi factor
predisposisi schizofrenia.

e. Psikologis.
Beberapa kondisi pikologis yang menjadi factor predisposisi schizofrenia
antara lain anak yang di pelihara oleh ibu yang suka cemas, terlalu
melindungi, dingin dan tak berperasaan, sementara ayah yang mengambil
jarak dengan anaknya.

2. Faktor presipitasi
Faktor –faktor pencetus respon neurobiologis meliputi :
- Berlebihannya proses informasi pada system syaraf yang menerima dan
memproses informasi di thalamus dan frontal otak.
- Mekanisme penghataran listrik di syaraf terganggu ( mekanisme gateing
abnormal)
- Gejala-gejala pemicu kondisi kesehatan lingkungan, sikap dan perilaku seperti yang
tercantum pada tabel dibawah ini ;
Kesehatan Nutrisi Kurang
Kurang tidur
Ketidak siembangan irama sirkardian
Kelelahan infeksi
Obat-obatan system syaraf pusat
Kurangnya latihan
Hambatan unutk menjangkau pelayanan kesehatan
Lingkungan Lingkungan yang memusuhi, kritis
Masalah di rumah tangga
Kehilangan kebebasan hidup, pola aktivitas sehari-hari
Kesukaran dalam berhubungan dengan orang lain
Isoalsi social
Kurangnya dukungan social
Tekanan kerja ( kurang keterampilan dalam bekerja)
Stigmasasi
Kemiskinan
Kurangnya alat transportasi
Ktidak mamapuan mendapat pekerjaan
Sikap/Perilaku Merasa tidak mampu ( harga diri rendah)
Putus asa (tidak percaya diri )
Mersa gagal ( kehilangan motivasi menggunakan
keterampilan diri
Kehilangan kendali diri (demoralisasi)
Merasa punya kekuatan berlebihan dengan gejala
tersebut.
Merasa malang ( tidak mampu memenuhi kebutuhan
spiritual )
Bertindak tidak seperti orang lain dari segi usia maupun
kebudayaan
Rendahnya kemampuan sosialisasi
Perilaku agresif
Perilaku kekerasan
Ketidak adekuatan pengobatan
Ketidak adekuatan penanganan gejala.

Sedangkan Menurut Keliat, 2006:45 masalah keperawatan yang perlu dikaji yaitu :
1. Resiko Mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan
DS: Pasien mengungkapkan ingin bunuh diri
DO:
- Menggebrak meja atau tempat tidur
- Menyalahkan obat atau zat
- Melakukan kekerasan fisik secara aktual/potensial

2. Perubahan persepsi sensori : halusinasi penglihatan


DS: Pasien mengungkapkan melihat seseorang, atau benda tanpa stimulus yang nyata.
DO:
- Tersenyum, tertawa sendiri
- Mengerakkan bibir tanpa suara
- Pergerakan mata yang cepat
- Respon verbal yang lambat
- Diam dan berkonsentrasi
3. Menarik diri
DS: Pasien mengatakan tidak suka bergaul dan suka sendirian.
DO:
- Kontak mata kurang
- Pasien suka melamun, berdiam diri, nada suara lemah, tampak lesu, kurang berbicara
dan menyendiri dalam ruangan.

4. Harga diri rendah


DS: Pasien mengejek atau mengkritik dirinya sendiri, pasien merasa bersalah dan
menghukum dirinya sendiri.
DO:
- Pasien tampak sulit bergaul
- Pasien banyak menunduk dan bicara lambat
- Pasien berpakaian tidak rapi

# DIAGNOSA KEPERAWATAN
Core Problem : Gangguan Persepsi Sensori : Halusinasi
Diagnosa Penyerta : Resiko menciderai diri, orang lain dan lingkungan

# RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN


Diagnosa1 :Halusinasi
Tujuan umum : Klien tidak mencederai diri sendiri, orang lain dan
lingkungan
Tujuankhusus :
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya dasar untuk kelancaran
hubungan interaksi seanjutnya
Tindakan :
a. Bina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip komunikasi
terapeutik dengan cara :
1) Sapa klien dengan ramah baik verbal maupun non verbal
2) Perkenalkan diri dengan sopan
3) Tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai
4) Jelaskan tujuan pertemuan
5) Jujur dan menepati janji
6) Tunjukkan sikap empati dan menerima klien apa adanya
7) Berikan perhatian kepada klien dan perhatian kebutuhan dasar klien

2. Klien dapat mengenal halusinasinya


Tindakan :
a. Adakan kontak sering dan singkat secara bertahap
b. Observasi tingkah laku klien terkait dengan halusinasinya: bicara dan
tertawa tanpa stimulus memandang ke kiri/ke kanan/ kedepan seolah-olah
ada teman bicara
c. Bantu klien mengenal halusinasinya
1) Tanyakan apakah ada suara yang didengar
2) Apa yang dikatakan halusinasinya
3) Katakan perawat percaya klien mendengar suara itu ,namun perawat sendiri
tidak mendengarnya.
4) Katakanbahwa klien lain juga ada yang seperti itu
5) Katakan bahwa perawat akan membantu klien
d. Diskusikan dengan klien :
1) Situasi yang menimbulkan / tidak menimbulkan halusinasi
2) Waktu dan frekuensi terjadinya halusinasi (pagi, siang, sore, malam)
e. Diskusikan dengan klien apa yang dirasakan jika terjadi halusinasi (marah,
takut, sedih, senang) beri kesempatan klien mengungkapkan perasaannya

3. Klien dapat mengontrol halusinasinya


Tindakan :
a. Identifikasi bersama klien cara tindakan yang dilakukan jika terjadi
halusinasi ( tidur, marah, menyibukkan diri dll)
b. Diskusikan manfaat cara yang digunakan klien, jika bermanfaat ber pujian
c. Diskusikan cara baru untuk memutus/mengontrol timbulnya halusinasi:
1) Katakan “ saya tidak mau dengar”
2) Menemui orang lain
3) Membuatjadwaln kegiatan sehari-hari
4) Meminta keluarga/teman/perawat untuk menyapa jika klien tampak bicara
sendiri
d. Bantu klien memilih dan melatih cara memutus halusinasinya secara
bertahap
e. Beri kesempatan untuk melakukan cara yang telah dilatih
f. Evaluasi hasilnya dan beri pujian jikaberhasil
g. Anjurkan klien mengikuti TAK, orientasi, realita, stimulasi persepsi

4. Klien mendapat dukungan dari keluarga dalam mengontrol halusinasinya


Tindakan :
a. Anjurkan klien untuk memberitahu keluarga jika mengalami halusinasi
b. Diskusikan dengan keluarga (pada saat berkunjung/pada saat kunjungan
rumah):
1) Gejala halusinasi yang dialami klien
2) Cara yang dapat dilakukan klien dan keluarga untuk memutus halusinasi
3) Cara merawat anggota keluarga yang halusinasi dirumah, diberi kegiatan,
jangan biarkan sendiri, makan bersama, bepergian bersama
4) Beri informasi waktu follow up atau kenapa perlu mendapat bantuan :
halusinasi tidak terkontrol, dan resiko mencederai diri atau orang lain
5. Klien memanfaatkan obat dengan baik
Tindakan :
a. Diskusikan dengan klien dan keluarga tentang dosis, frekuensi dan manfaat
minum obat
b. Anjurkan klien meminta sendiri obat pada perawat dan merasakan
manfaatnya
c. Anjurkan klien bicara dengan dokter tentang manfaat dan efek samping
minum obat yang dirasakan
d. Diskusikan akibat berhenti obat-obat tanpa konsultasi
e. Bantu klien menggunakan obat dengan prinsip 5 benar.

BAB III
PENUTUP
Berdasarkan pembahasan kasus diatas, maka kami dapat mengambil
kesimpilan dan saran sebagai berikuti :
A. Kesimpulan

1. Halusinasi banyak terjadi pada klien schizofrenia dengan masalah


keperawatan harg diri rendah dan atau menarik diri.
2. Halusinasi merupakan perubahan persepsi sensori terhadap rangsangan
eksternal dan atau internal.
3. Perencanaan keperawatan dengan masalah utama halusinasi berfokus
pada intervensi :
- Membina hubungan saling percaya
- Orientasi alam realita
- Tingkatkan aktifitas
4. Tidak semua gejala halusinasi yang terdapat dalam teori di jumpai pada
kasus di ruangan.
5. Keluarga merupakan faktor pendukung utama dalam membantu klien
mengatasi masalahnya baik selama dirumah sakit maupun berada dirumah.

B. Saran
1. Halusinasi merupakan perubahan persepsi sensori terhadap rangsangan
eksternal dan atau internal sehingga menimbulkan resiko tinggi mencederai
diri sendiri, orang lain dan lingkungan, untuk itu perawat dan keluarga perlu
mengenal tanda dan gejala halusinasi dan membawa klien ke alam realita.

2. Komunikasi terapeutik antara perawat, klien dan keluarga harus


dipertahanakan

3. Oleh karena keluarga merupakan faktor pendukung utama dalam


perawatan klien maka keluarga perlu di motivasi untuk terlibat secara aktif
dalam perawatan klien halusinasi.

4. Fiksasi bukan pilihan utama pada klien halusinasi tapi perhatikan dan
kenali respon klien yang berhubungan dengan halusinasi dan gunakan
komunikasi terapeutik bagi klien yang tidak kooperatif.

5. Perlunya meningkatkan kemampuan komunikasi klien pada perawat dan


keluarga
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito,L.J., Buku Saku Diagnosa Keperawatan, EGC, Jakarta, 1995.

Keliata,B.A. dk, Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa, EGC Penerbit Buku


Kedokteran, Jakarta 1999.

Stuart, G.W. dan Sundeen, S.J.,Principles and Practice of Psychiatric Nursing


(5th ed) St louis :Mosby Year Book, 1995.

Stuart, G.W. dan Laraia, M.T.,Principles and Practice of Psychiatric Nursing


(6th ed) St louis :Mosby Year Book, 1998.

Townsend, M.C., Diagnosa Keperawatan Pada Keperawatan Psikiatri:


Pedoman Untuk Pembuatan Rencana Keperawatan, EGC, Jakarta, 1998.

Kumpulan bahan kuliah, Ilmu Keperawatan Jiwa, tidak diterbitkan.

Keliat,Budi Ana. 1999. Proses keperawatan kesehatan Jiwa. Jakarta, EGC

Keliat,Budi Ana. 2006. Proses keperawatan kesehatan Jiwa Komunitas.


Jakarta, EGC
Keliat, Budi A. 2011. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas : CMHN (Basic
Course). Jakarta:EGC

Fitria, Nita. 2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan
dan Strartegi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP). Jakarta:
Salemba

Yosep, Iyus. 2010. Keperawatan Jiwa. Bandung:PT Refika Aditama

You might also like