Professional Documents
Culture Documents
MASTOIDITIS
PEMBIMBING:
DISUSUN OLEH:
AGUSTUS 2017
1
BAB I
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn. F
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 30 tahun
Alamat : Kuranji
Agama : Islam
Tanggal periksa : 12 September 2017
II. ANAMNESIS
2
Riwayat penyakit keluarga:
Hipertensi (+)
Diabetes Melitus (-)
Status lokalis
Pemeriksaan Telinga :
Auricula
Bagian Kelainan
Dextra Sinistra
Bentuk telinga Normotia
Aurikula Kelainan congenital - -
Peradangan - -
3
Massa - -
Nyeri tarik - +
Nyeri tekan tragus - +
Preaurikuler Kelainan kongenital - -
Peradangan - -
Massa - -
Edema - -
Sikatrik - -
Fistula - -
Pembesaran KGB - -
Nyeri tekan - -
Retroaurikuler Kelainan kongenital - -
Peradangan - -
Massa - -
Edema - +
Sikatrik - +
Fistula - +
Pembesaran KGB - -
Nyeri tekan - +
Liang telinga Kelainan kongenital - -
luar Peradangan - -
Massa - +
Edema - -
Fistula - -
Kelainan kulit - -
Sekret - + (purulen)
Serumen - +
Jaringan granulasi - +
Meatus acusticus Lapang Sempit
externus
Membran Kondisi Perforasi Tidak dapat
timpani Cone of light - dinilai
4
Pemeriksaan Pendengaran :
Pemeriksaan Hidung :
Cavum Nasi
Pemeriksaan
Dextra Sinistra
Inspeksi
Bentuk Tampak Simetris kanan dan kiri
Sikatrik - -
Hematom - -
Racoon’s eye - -
Palpasi
Nyeri tekan sinus paranasal - -
Krepitasi - -
Massa - -
Rhinoscopy anterior
Cavum nasi Sekret (-) Sekret (-)
Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Mukosa cavum nasi
Edema (-) Edema (-)
Sekret - -
Hipermis (-) Hipermis (-)
Concha inferior
Hipertrofi (-) Hipertrofi (-)
Hipermis (-) Hipermis (-)
Concha media
Hipertrofi (-) Hipertrofi (-)
5
Meatus inferior Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Meatus media
Massa (-) Massa (-)
Septum anterior Deviasi (-) Deviasi (-)
Rhinoscopy posterior
Nasofaring
Choana
Concha superior
Tidak dilakukan pemeriksaan
Concha media
Kelenjar adenoid
Massa
Pemeriksaan Tenggorok :
Pemeriksaan Kondisi
Faring & Rongga Mulut
Bibir Sianosis (-)
Mukosa mulut Hiperemis (-)
Lidah Normal
Gusi Normal
Gigi berlubang Tidak ada
Palatum durum Hipermis (-)
Palatum mole Hipermis (-)
Uvula Hipermis (-), Deviasi (-)
Arkus faring Hipermis (-), Simetris
Tonsil Normal, T1 – T1
Hipofaring & Laring
Pita suara
Epiglottis Tidak dilakukan pemeriksaan
Esophagus
6
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hematologi rutin
Radiologi: Foto polos posisi Schuller dan CT-Scan Os Mastoideus dengan
kontras
Audiometri
Kultur resistensi bakteri dari swab sekret auricula sinistra
V. DIAGNOSIS
Diagnosis kerja : Mastoiditis auric sinistra, OMSK benigna tipe tenang auric
dextra
Diagnosis banding : OMSK Maligna tipe aktif
VI. PENATALAKSANAAN
a) Medikamentosa
Amoksisilin tablet 2 x 500 mg
Tetes telinga H2O2 3% 2 x 5 gtt AS
Tetes telinga Ofloxacin 2 x 4 gtt AS
b) Operatif
Mastoidektomi radikal
VII. PROGNOSIS
Ad Vitam : Ad bonam
Ad Functionam : Dubia ad malam
Ad Sanationam : Dubia ad malam
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Secara anatomi telinga dibagi menjadi tiga bagian yaitu telinga luar, tengah dan
dalam.
Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga sampai membran
timpani. Daun telinga terdiri dari daun telinga dan liang telinga sampai membran
timpani. Daun telinga terdiri dari tulang rawan elastin dan kulit. Liang telinga
berbentuk huruf S, dengan rangka tulang rawan pada sepertiga bagian luar,
sedangkan dua pertiga bagian dalam rangkanya terdiri dari tulang. Panjangnya
kira-kira 2,5 – 3 cm.
8
Pada sepertiga bagian luar kulit telinga terdapat banyak kelenjar serumen
dan rambut. Kelenjar keringat terdapat pada seluruh liang telinga.Pada
duapertiga bagian dalam hanya sedikit dijumpai kelenjar serumen.
9
Telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang berupa dua setengah
lingkaran dan vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Ujung
atau puncak koklea disebut helikotrema, menghubungkan perilimfa skala
timpani dengan skala vestibuli.
10
Gambar 3. Potongan melintang koklea
Pada skala media terdapat bagian yang berbentuk lidah yang diebut
membrane tektoria, dan pada membran basal melekat sel rambut yang terdiri
dari sel rambut dalam, sel rambut luar dan kanalis Corti, yang membentuk
organ Corti.
Kegunaan air cells ini adalah sebagai udara cadangan yang membantu
pergerakan normal dari gendang telinga, namun demikian hubungannnya
dengan rongga telinga tengah juga bisa mengakibatkan perluasan infeksi dari
telinga tengah ke tulang mastoid yang disebut sebagai mastoiditis.
11
Gambar 4. Anatomi telinga dan tulang mastoid
2.2.Mastoiditis
2.2.1. Definisi
2.2.2 Epidemiologi
Negara-negara berkembang dan negara-negara di mana OMA tidak diobati
dengan antibiotik memiliki peningkatan insiden mastoiditis, mungkin dihasilkan
dari otitis media yang tidak diobati. Sebagai contoh, insiden mastoiditis akut di
Belanda, yang memiliki tingkat peresepan antibiotik rendah untuk OMA,
dilaporkan terdapat 3,8 kasus per 100.000 orang per tahun. Di semua negara lain
dengan tingkat peresepan antibiotik tinggi, kejadian ini jauh lebih rendah dari pada
ini, yaitu 1,2-2 kasus per 100.000 orang per tahun.
2.2.3. Etiologi
Mastoiditis kronis dapat disebabkan oleh kuman-kuman pseudomonas spp,
streptococcus spp, staphylococcus spp, eschericia coli.
2.2.4. Patofisiologi
Mastoiditis adalah hasil dari infeksi yang lama pada telinga tengah, bakteri
yang didapat pada mastoiditis biasanya sama dengan bakteri yang didapat pada
infeksi telinga tengah. Bakteri gram negatif dan Staphylococcus aureus adalah
beberapa bakteri yang paling sering didapatkan pada infeksi ini. Seperti telah
disebutkan diatas, bahwa keadaan-keadaan yang menyebabkan penurunan dari
sistem imun dari seseorang juga dapat menjadi faktor predisposisi mastoiditis. Pada
beberapa penelitian terakhir, hampir sebagian dari anak-anak yang menderita
mastoiditis, tidak memiliki penyakit infeksi telinga tengah sebelumnya. Bakteri
yang berperan pada penderita anak-anak ini adalah S. Pnemonieae.
Seperti semua penyakit infeksi, beberapa hal yang mempengaruhi berat dan
ringannya penyakit adalah faktor tubuh penderita dan faktor dari bakteri itu sendiri.
Dapat dilihat dari angka kejadian anak-anak yang biasanya berumur di bawah dua
tahun, pada usia inilah imunitas belum baik. Beberapa faktor lainnya seperti bentuk
13
tulang, dan jarak antar organ juga dapat menyebabkan timbulnya penyakit. Faktor-
faktor dari bakteri sendiri adalah, lapisan pelindung pada dinding bakteri,
pertahanan terhadap antibiotik dan kekuatan penetrasi bakteri terhadap jaringan
keras dan lunak dapat berperan pada berat dan ringannya penyakit.
Apabila ada otitis media stadium supuratif penyakit berlanjut dan tidak
dilakukan miringiotomi, maka membran timpani akan pecah sendiri biasanya
dikuadran anteroinferior, tapi ada kalanya disetengah posterior membran timpani.
Cairan yang keluar pada mulainya serosasangiosa, kemudian menjadi
mukopurulen. Mukosa jelas menebal dan berwarna merah dengan corakan banyak
neokapiler. Proses ini terjadi pada seluruh telingan tengah dan mastoid sehingga
menyumbat sel-sel mastoid yang kecil-kecil, mukosa yang menebal dapat menutup
aditus ad antrum sehingga drainase mastoid terganggu.
Stadium resulusi pada stadium ini infeksi mereda dan terjadi penyembuhan
telinga, sekret telinga kering, penebalan mukosa dan edem akan berkurang
perlahan-lahan namun bila sudah kembali normal makan peradangan lambat laun
akan kembali normal. Perforasi membran timpani yang kecil dapat cepat
menyembuh, biasanya tampak terbentuk jaringan parut, tetapi kadang-kadang
terbentuk parut atrofi kecil, ini merupakan titik lemah dari membarn timpani yang
sewaktu-watu dapat terinfeksi kembali dan mengeluarkan sekret telinga.
Penimbunan sedikit cairan steril aka tetap ada untuk beberapa tahun dalam daerah
coalescent di rongga mastoid tanpa menimbulkan gejala, hal ini kadang dapat
terlihat secara radiologik sebagai area radiolusen.
2.2.6. Diagnosis
Diagnosis mastoiditis ditegakkan melalui gejala klinis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang radiologi yang menunjukkan mastoiditis baik foto
polos mastoid Schuller maupun CT scan mastoid. Dengan CT scan bisa dilihat
bahwa air cell dalam prosesus mastoideus terisi oleh cairan (dalam keadaan normal
terisi oleh udara) dan melebar.
Temuan pada mastoiditis akut dan kronis termasuk penebalan periosteal, abses
subperiosteal, otitis media, dan tonjolan nipplelike (seperti puting) dari membran
timpani pusat. Menentukan adanya penebalan periosteal memerlukan perbandingan
dengan bagian telinga yang lain. Perubahan posisi dari daun telinga ke arah bawah
dan ke luar (terutama pada anak-anak <2 tahun) atau ke atas dan ke luar (pada anak-
anak <2 tahun) dapat ditemukan. Abses subperiosteal merubah posisi aurikel ke
lateral dan melenyapkan lipatan kulit postauricular. Jika lipatan tetap ada, proses
ini terjadi di lateral periosteum. Otitis media terlihat pada pemeriksaan dengan
otoskop.
Tonjolan nipplelike dari membran timpani sentral mungkin ada, ini biasanya
disertai rembesan nanah. Infeksi ringan persisten ( mastoiditis tersembunyi) dapat
terjadi pada pasien dengan otitis media rekuren atau efusi telinga persisten. Kondisi
ini dapat menyebabkan demam, sakit telinga, dan komplikasi lain.
Temuan pada mastoiditis kronis mungkin konsisten dengan komplikasi
ekstensi ke luar prosesus mastoideus dan periosteum yang mengelilinginya atau
dengan komplikasi lain intratemporal seperti lumpuh wajah.
Tanda-tanda meliputi:
Membran timpani terinfeksi atau normal
Demam berulang atau persisten
16
Tidak adanya tanda-tanda eksternal dari peradangan mastoideus
Pemeriksaan Laboratorium
Spesimen dari sel-sel mastoid yang diperoleh selama operasi dan cairan
myringotomy, ketika diperoleh, harus dikirim untuk kultur bakteri aerobik dan
anaerobik, jamur, mikobakteri dan basil tahan asam.
Jika membran timpani sudah perforasi, saluran eksternal dapat
dibersihkan, dan sampel cairan drainase segar diambil.
Ketelitian adalah penting untuk mendapatkan cairan dari telinga tengah
dan bukan saluran eksternal.
Kultur dan pengujian kepekaan terhadap isolat dapat membantu dalam
memodifikasi terapi inisial antibiotik.
Hasil kultur yang dikumpulkan dengan benar untuk bakteri aerobik dan
anaerobik sangat membantu untuk pilihan terapi definitif.
Pewarnaan Gram dari spesimen awalnya dapat membimbing terapi
antimikroba empiris.
Kultur darah harus diperoleh.
Pemeriksaan darah rutin dan laju sedimentasi dihitung untuk mengevaluasi
efektivitas terapi seterusnya.
17
Pemeriksaan LCS untuk evaluasi jika dicurigai perluasan proses ke
intrakranial.
Pemeriksaan Radiologi
Rontgen
Posisi ini menggambarkan penampakan lateral dari mastoid. Proyeksi foto dibuat
dengan bidang sagital kepala terletak sejajar meja pemeriksaan dan berkas sinar X
ditujukan dengan sudut 30° cephalo-caudad. Pada posisi ini perluasan pneumatisasi
mastoid serta struktur trabekulasi dapat tampak dengan lebih jelas. Posisi ini juga
memberikan informasi dasar tentang besarnya kanalis auditorius eksterna dan
hubungannya dengan sinus lateralis.
18
CT Scan
CT scan bisa dilihat bahwa sel-sel udara dalam prosesus mastoideus terisi
oleh cairan (dalam keadaan normal terisi oleh udara) dan melebar.
2.2.8. Tatalaksana
Terapi stadium supurasi pada saat didapatkan sekret perlu dilakukan
pemeriksaan kultur dan tes sensitivitas untuk menentukan antibiotik yang paling
tepat. Karena pemeriksaan ini memerlukan waktu 24-48 jam maka terapi segera
diberikan dengan antibiotik spektrum luas yang dapat diganti bila terdapat kuman
yang tidak sesuai, dengan adanya sekret antibiotik topikal dapat diberikan untuk
mengobati mukosa telinga tengah dan melindungi kulit liang telinga dari otitis
eskterna sekunder. Perwatan umum seperti istirahat baring, pemberian dekongestan
dapat diberikan.
20
Pengobatan awal berupa miringotomi yang cukup lebar, biakan dan
antibiotik yang sesuai diberikan intravena. Jika dalam 48 jam tidak didapatkan
perbaikan atau keadaan umum pasien bertambah buruk, maka disarankan untuk
dilakukan mastoidektomi sederhana. Bila gambaran radiologis memperlihatkan
hilangnya pola trabekular atau adanya progresi penyakit, maka harus dilakukan
mastoidektomi lengkap dengan segera untuk mencegah komplikasi serius seperti
petrosis, labirintis, meningitis dan abses otak. 5,6
Modalitas Terapi yang bisa dilakukan apabila perlu terapi pembedahan adalah :
21
Gambar 9. Mastoidektomi
2.2.9. Komplikasi
1. Paresis fasial.
Paresis fasial disebabkan oleh destruksi tulang yang meliputi N.VII
sehingga kontinuitasnya terganggu, paresis biasanya hanya bersifat
sementara.
2. Tromboflebitis.
3. Komplikasi intracranial antara lain :
Meningitis.
Abses otak.
Labirintis.
Komplikasi Operasi
Komplikasi pembedahan dengan teknik simple mastoidektomi antara lain:
1. Kerusakan nervus fasialis.
Nervus fasialis merupakan resiko utama untuk terjadinya kerusakan
selama dilakukannya proses pembersihan pada sejumlah sel-sel udara retrofasial.
2. Dislokasi incus.
22
Kebutaan alat-alat yang melewati antrum secara langsung terjadi pada
telinga tengah, resiko dislokasi ini mengalami proses yang singkat pada incus dari
fossa incudis dengan adanya pekak lateral.
3. Penetrasi sinus vena lateral.
Kadang-kadang sinus terletak didaerah permukaan sehinga kerusakan
dengan mudah dapat terjadi.
4. Penetrasi pada fossa dura tengah.
Jika mastoid dibuka pada tingkat yang tinggi, akan terjadi penetrasi pada
fossa dura tengah.
5. Post operatif hematom.
Berkumpulnya darah dibawah sutura sehingga menghasilkan devialitas
terhadap tekanan yang ada diikuti pemotongan dan gagalnya penggabungan
primer.
6. Reakumulasi post operatif pada pus.
Gagalnya pemindahan seluruh sel-sel udara yang ada dimukosa sehingga
menghasilkan supurasi yang berlanjut dan membentuk abses pada sub insisi post
operatif.
7. Kerusakan pada kokhlea.
23
Daftar Pustaka
1. Soepardi EA, Iskandar N, Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung
Tenggorok, Edisi ke-14, Jakarta, gaya Baru, FK-UI, 2001 : 54-60.
2. Adam GL, Boies LR, Higler PA, Alih Bahasa Wijaya, Caroline, Buku Ajara
Penyakit THT, Edisi ke-6, Jakarta, EGC, 1994 : 32, 95-112.
3. Adenan A, Kumpulan Kuliah Telinga, FK-USU, Medan :9-10,54-63.
4. Balenger JJ, Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher,
Jilid II, edisi ke-13, Jakarta, Binarupa Aksara, 1994 : 405-30.
5. Sjamsuhidajat R, De Jong W, Buku ajar Ilmu Bedah, edisi Revisi ,Jakarta,
EGC, 1997 :476.
6. Kelompok Studi Otologi. Guideline Penyakit THT di Indonesia.
55
8. Ogle, J.W., Lauer, B.A. Acute mastoiditis. Am. J. Dis. Child. 2000.
9. Mukmin, Sri; Herawati, Sri. Teknik Pemeriksaan THT. Laboratorium Ilmu
24