You are on page 1of 24

CASE REPORT

MASTOIDITIS

PEMBIMBING:

Dr. Ilham Priharto, Sp.THT-KL

DISUSUN OLEH:

Arlita Mirza Dian Prastiwi, S.Ked - 1102013043

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI

KEPANITERAAN KLINIK ILMU TELINGA HIDUNG TENGGOROKAN

RSUD DR DRADJAT PRAWIRANEGARA

AGUSTUS 2017

1
BAB I

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Nn. F
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 30 tahun
Alamat : Kuranji
Agama : Islam
Tanggal periksa : 12 September 2017

II. ANAMNESIS

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 12 September 2017 di


Bangsal Dahlia RSUD dr. Dradjat Prawiranegara Serang.

Keluhan utama : Nyeri telinga kiri dan keluar nanah

Keluhan tambahan : Pusing

Riwayat penyakit sekarang:


Pasien datang ke RSUD dr. Dradjat Prawiranegara Serang dengan
keluhan nyeri pada telinga kiri dan keluar cairan, keluhan disertai pusing,
keluhan dirasakan sejak 4 tahun SMRS. Sejak kecil memamng sering keluar
cairan pada kedua telinganya. Pasien mengaku pernah berobat di puskesmas,
namun keluhan tidak membaik.

Keluhan lain seperti demam, batuk, pilek, nyeri menelan, mual,


muntah, ataupun bicara pelo disangkal.

Riwayat penyakit dahulu:


 Hipertensi (-)
 Diabetes Melitus (-)
 Alergi (-)
 Asma (-)

2
Riwayat penyakit keluarga:
 Hipertensi (+)
 Diabetes Melitus (-)

III. PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan umum : Sedang
Kesadaran : Composmentis
Tanda vital
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 79x/menit
Pernapasan : 20x/menit
Suhu : 36,7C
Status generalis
Kepala : Normocephal, rambut hitam
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-)
THT : Status lokalis
Leher : Pembesaran KGB (-)
Thorax
Pulmo : Vesikuler (+), wheezing (-/-), Rhonki (-/-)
Jantung : BJ 1 & 2 reguler, gallop (-), murmur (-)
Abdomen : Bising usus (+)
Ekstremitas : akral hangat, edema kaki (-/-)

Status lokalis
Pemeriksaan Telinga :
Auricula
Bagian Kelainan
Dextra Sinistra
Bentuk telinga Normotia
Aurikula Kelainan congenital - -
Peradangan - -

3
Massa - -
Nyeri tarik - +
Nyeri tekan tragus - +
Preaurikuler Kelainan kongenital - -
Peradangan - -
Massa - -
Edema - -
Sikatrik - -
Fistula - -
Pembesaran KGB - -
Nyeri tekan - -
Retroaurikuler Kelainan kongenital - -
Peradangan - -
Massa - -
Edema - +
Sikatrik - +
Fistula - +
Pembesaran KGB - -
Nyeri tekan - +
Liang telinga Kelainan kongenital - -
luar Peradangan - -
Massa - +
Edema - -
Fistula - -
Kelainan kulit - -
Sekret - + (purulen)
Serumen - +
Jaringan granulasi - +
Meatus acusticus Lapang Sempit
externus
Membran Kondisi Perforasi Tidak dapat
timpani Cone of light - dinilai

4
Pemeriksaan Pendengaran :

Tes Rinne Tes Weber Tes Schwabach


Aurikula Dextra + Lateralisasi ke Sesuai pemeriksa
Aurikula Sinistra - kiri Memanjang
Kesimpulan: Tuli konduktif auricula sinistra

Pemeriksaan Hidung :

Cavum Nasi
Pemeriksaan
Dextra Sinistra
Inspeksi
Bentuk Tampak Simetris kanan dan kiri
Sikatrik - -
Hematom - -
Racoon’s eye - -
Palpasi
Nyeri tekan sinus paranasal - -
Krepitasi - -
Massa - -
Rhinoscopy anterior
Cavum nasi Sekret (-) Sekret (-)
Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Mukosa cavum nasi
Edema (-) Edema (-)
Sekret - -
Hipermis (-) Hipermis (-)
Concha inferior
Hipertrofi (-) Hipertrofi (-)
Hipermis (-) Hipermis (-)
Concha media
Hipertrofi (-) Hipertrofi (-)

5
Meatus inferior Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Meatus media
Massa (-) Massa (-)
Septum anterior Deviasi (-) Deviasi (-)
Rhinoscopy posterior
Nasofaring
Choana
Concha superior
Tidak dilakukan pemeriksaan
Concha media
Kelenjar adenoid
Massa

Pemeriksaan Tenggorok :
Pemeriksaan Kondisi
Faring & Rongga Mulut
Bibir Sianosis (-)
Mukosa mulut Hiperemis (-)
Lidah Normal
Gusi Normal
Gigi berlubang Tidak ada
Palatum durum Hipermis (-)
Palatum mole Hipermis (-)
Uvula Hipermis (-), Deviasi (-)
Arkus faring Hipermis (-), Simetris
Tonsil Normal, T1 – T1
Hipofaring & Laring
Pita suara
Epiglottis Tidak dilakukan pemeriksaan
Esophagus

6
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hematologi rutin
Radiologi: Foto polos posisi Schuller dan CT-Scan Os Mastoideus dengan
kontras
Audiometri
Kultur resistensi bakteri dari swab sekret auricula sinistra

V. DIAGNOSIS
Diagnosis kerja : Mastoiditis auric sinistra, OMSK benigna tipe tenang auric
dextra
Diagnosis banding : OMSK Maligna tipe aktif

VI. PENATALAKSANAAN
a) Medikamentosa
 Amoksisilin tablet 2 x 500 mg
 Tetes telinga H2O2 3% 2 x 5 gtt AS
 Tetes telinga Ofloxacin 2 x 4 gtt AS

b) Operatif
Mastoidektomi radikal

VII. PROGNOSIS
Ad Vitam : Ad bonam
Ad Functionam : Dubia ad malam
Ad Sanationam : Dubia ad malam

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Dan Fisiologi Telinga

Gambar 1. Anatomi Telinga

Secara anatomi telinga dibagi menjadi tiga bagian yaitu telinga luar, tengah dan
dalam.

2.1.1. Telinga Luar

Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga sampai membran
timpani. Daun telinga terdiri dari daun telinga dan liang telinga sampai membran
timpani. Daun telinga terdiri dari tulang rawan elastin dan kulit. Liang telinga
berbentuk huruf S, dengan rangka tulang rawan pada sepertiga bagian luar,
sedangkan dua pertiga bagian dalam rangkanya terdiri dari tulang. Panjangnya
kira-kira 2,5 – 3 cm.

8
Pada sepertiga bagian luar kulit telinga terdapat banyak kelenjar serumen
dan rambut. Kelenjar keringat terdapat pada seluruh liang telinga.Pada
duapertiga bagian dalam hanya sedikit dijumpai kelenjar serumen.

2.1.2. Telinga tengah

Telinga tengah yang terdiri dari :

 Membran timpani yaitu membran fibrosa tipis yang berwarna kelabu


mutiara. Berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari arah liang telinga
dan terlihat oblik terhadap sumbu liang telinga. Membran timpani dibagi ats
2 bagian yaitu bagian atas disebut pars flasida (membrane sharpnell) dimana
lapisan luar merupakan lanjutan epitel kulit liang telinga sedangkan lapisan
dalam dilapisi oleh sel kubus bersilia, dan pars tensa merupakan bagian yang
tegang dan memiliki satu lapis lagi ditengah, yaitu lapisan yang terdiri dari
serat kolagen dan sedikit serat elastin.
 Tulang pendengaran yang terdiri dari maleus, inkus dan stapes. Tulang
pendengaran ini dalam telinga tengah saling berhubungan.
 Tuba eustachius, yang menghubungkan rongga telinga tengah dengan
nasofaring. 2

2.1.3 Telinga dalam

Gambar 2. Anatomi Telinga Dalam

9
Telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang berupa dua setengah
lingkaran dan vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Ujung
atau puncak koklea disebut helikotrema, menghubungkan perilimfa skala
timpani dengan skala vestibuli.

Kanalis semisirkularis saling berhubungan secara tidak lengkap dan


membentuk lingkaran yang tidak lengkap. Pada irisan melintang koklea
tampak skala vestibule sebelah atas, skala timpani sebelah bawah dan skala
media (duktus koklearis) diantaranya. Skala vestibule dan skala timpani berisi
perilimfa sedangkan skala media berisi endolimfa. Ion dan garam yang terdapat
di perilimfa berbeda dengan endolimfa. Dimana cairan perilimfe tinggi akan
natrium dan rendah kalium, sedangkan endolimfe tinggi akan kalium dan
rendah natrium. Hal ini penting untuk pendengaran. Dasar skala vestibuli
disebut sebagai membran vestibuli (Reissner’s Membrane) sedangkan skala
media adalah membran basalis. Pada membran ini terletak organ corti yang
mengandung organel-organel penting untuk mekanisme saraf perifer
pendengaran. Organ corti terdiri dari satu baris sel rambut dalam (3000) dan
tiga baris sel rambut luar (12000). Sel-sel ini menggantung lewat lubang-
lubang lengan horizontal dari suatu jungkat jangkit yang dibentuk oleh sel-sel
penyokong. Ujung saraf aferen dan eferen menempel pada ujung bawah sel
rambut. Pada permukaan sel-sel rambut terdapat stereosilia yang melekat pada
suatu selubung di atasnya yang cenderung datar, bersifat gelatinosa dan
aselular, dikenal sebagai membrane tektoria. Membran tektoria disekresi dan
disokong oleh suatu panggung yang terletak di medial disebut sebagai limbus.

10
Gambar 3. Potongan melintang koklea

Pada skala media terdapat bagian yang berbentuk lidah yang diebut
membrane tektoria, dan pada membran basal melekat sel rambut yang terdiri
dari sel rambut dalam, sel rambut luar dan kanalis Corti, yang membentuk
organ Corti.

2.1.4. Tulang Mastoid

Tulang mastoid adalah tulang keras yang terletak di belakang telinga,


didalamnya terdapat rongga seperti sarang lebah yang berisi udara. Rongga-
rongga udara ini ( air cells ) terhubung dengan rongga besar yang disebut
antrum mastoid.

Kegunaan air cells ini adalah sebagai udara cadangan yang membantu
pergerakan normal dari gendang telinga, namun demikian hubungannnya
dengan rongga telinga tengah juga bisa mengakibatkan perluasan infeksi dari
telinga tengah ke tulang mastoid yang disebut sebagai mastoiditis.

11
Gambar 4. Anatomi telinga dan tulang mastoid

Struktur didalam tulang Mastoid : antrum mastoid ( rongga di belakang


epitimpani/ atik). Aditus ad antrum adalah saluran yang menghubungkan
antrum dengan epitimpani. Lempeng dura (dura plate ) adalah lempeng tips
yang keras dibanding tulang sekitarnya yang membatasi rongga mastoid
dengan sinus lateralis. Sudut sinodura adalah sudut yang dibentuk oleh
pertemuan duramater fosa media dan fosa posterior otak dengan sinus lateral
di posterior. Sudut ini ditemukan dengan membuang sebersih-bersihnya sel-sel
pneumatisasi mastoid di bagia posterior inferior lempeng dura dan postero
superior lepeng sinus. Sudut keras/ solid angel / hard angel adalah penulangan
yang keras sekali yang dibentuk oleh pertemuan 3 kanalis semisirkularis.
Segitiga trautmann adalah daerah yang terletak di balik antrum yang dibatasi
oleh sinus sigmoid, sinus lateral ( sinus petrosus superior), dan tulang labirin.
Batas medialnya adalah lempeng dura fosa posterior.

2.2.Mastoiditis
2.2.1. Definisi

Mastoiditis merupakan salah satu komplikasi intratemporal Otitis media


(OM) yang tidak tertangani dengan baik. Mastoiditis adalah segala proses
peradangan pada sel- sel mastoid yang terletak pada tulang temporal. Lapisan epitel
dari telinga tengah adalah sambungan dari lapisan epitel mastoid air cells yang
melekat di tulang temporal. Mastoiditis dapat terjadi secara akut maupun kronis.

Rongga telinga tengah dan rongga mastoid berhubungan langsung melalui


aditus ad antrum. Oleh karena itu infeksi kronis telinga tengah yang sudah
12
berlangsung lama bisanya disertai infeksi kronis di rongga mastoid. Infeksi rongga
mastoid dikenal dengan mastoiditis. Beberapa alhi menggolongkan mastoiditis ke
dalam komplikasi OMSK.

2.2.2 Epidemiologi
Negara-negara berkembang dan negara-negara di mana OMA tidak diobati
dengan antibiotik memiliki peningkatan insiden mastoiditis, mungkin dihasilkan
dari otitis media yang tidak diobati. Sebagai contoh, insiden mastoiditis akut di
Belanda, yang memiliki tingkat peresepan antibiotik rendah untuk OMA,
dilaporkan terdapat 3,8 kasus per 100.000 orang per tahun. Di semua negara lain
dengan tingkat peresepan antibiotik tinggi, kejadian ini jauh lebih rendah dari pada
ini, yaitu 1,2-2 kasus per 100.000 orang per tahun.

2.2.3. Etiologi
Mastoiditis kronis dapat disebabkan oleh kuman-kuman pseudomonas spp,
streptococcus spp, staphylococcus spp, eschericia coli.

2.2.4. Patofisiologi
Mastoiditis adalah hasil dari infeksi yang lama pada telinga tengah, bakteri
yang didapat pada mastoiditis biasanya sama dengan bakteri yang didapat pada
infeksi telinga tengah. Bakteri gram negatif dan Staphylococcus aureus adalah
beberapa bakteri yang paling sering didapatkan pada infeksi ini. Seperti telah
disebutkan diatas, bahwa keadaan-keadaan yang menyebabkan penurunan dari
sistem imun dari seseorang juga dapat menjadi faktor predisposisi mastoiditis. Pada
beberapa penelitian terakhir, hampir sebagian dari anak-anak yang menderita
mastoiditis, tidak memiliki penyakit infeksi telinga tengah sebelumnya. Bakteri
yang berperan pada penderita anak-anak ini adalah S. Pnemonieae.

Seperti semua penyakit infeksi, beberapa hal yang mempengaruhi berat dan
ringannya penyakit adalah faktor tubuh penderita dan faktor dari bakteri itu sendiri.
Dapat dilihat dari angka kejadian anak-anak yang biasanya berumur di bawah dua
tahun, pada usia inilah imunitas belum baik. Beberapa faktor lainnya seperti bentuk

13
tulang, dan jarak antar organ juga dapat menyebabkan timbulnya penyakit. Faktor-
faktor dari bakteri sendiri adalah, lapisan pelindung pada dinding bakteri,
pertahanan terhadap antibiotik dan kekuatan penetrasi bakteri terhadap jaringan
keras dan lunak dapat berperan pada berat dan ringannya penyakit.

Apabila ada otitis media stadium supuratif penyakit berlanjut dan tidak
dilakukan miringiotomi, maka membran timpani akan pecah sendiri biasanya
dikuadran anteroinferior, tapi ada kalanya disetengah posterior membran timpani.
Cairan yang keluar pada mulainya serosasangiosa, kemudian menjadi
mukopurulen. Mukosa jelas menebal dan berwarna merah dengan corakan banyak
neokapiler. Proses ini terjadi pada seluruh telingan tengah dan mastoid sehingga
menyumbat sel-sel mastoid yang kecil-kecil, mukosa yang menebal dapat menutup
aditus ad antrum sehingga drainase mastoid terganggu.

Setelah telinga mengeluarkan cairan keluhan nyeri akan hilang karena


penekanan pada membran timpani hilang, gejala toksemia dan demam mulai
berkurang, kini perubahan mukosa menyebabkan pendengaran jelas berkurang, bila
mukopus tertahan di mastoid akan terasa nyeri serta nyeri tekan di bagian belakang
telinga.

Pada pemeriksaan tampak sekret mukopurulen yang sering berpulsasi,


keluar melalui perforasi pars tensa membran timpani, bila tampak terlihat mukosa
menebal, berwarna merah dan lembut seperti bludru, pada perforasi yang kecil
tampak mukosa edem menonjol keluar melalui lubang perforasi dan sekret keluar
dari tengahnya hal ini disebut perforasi puting susu, dan disebut mastoiditis akut.

Stadium Komplikasi, komplikasi utama mastoiditis dengan perluasan


sekunder ke sinus venosus meningen atau labirin timbul karena drainase yang tidak
adekuat melewati aditus ad antrum akibat mukosa atik yang menebal, akibatnya
mastoid terisi oleh mukosa granuler yang edem serta sekret mukopus yang
mempunyai tekanan, kemudian proses ini akan menyebabkan absrobsi dinding
tulang mastoid yang tipis meluas sepanjang alur vena ke perifer merusak
periosteum mastoid. Pada proses stadium awal bersifat reversibel sedang yang
lanjut memerlukan tindakan pembedahan untuk memeperbaiiki drenase sebelum
14
terjadi perluasan ke sinus lateral atau meningen. Gejala keluarnya cairan dari
telinga, keluahan nyeri menghilang untuk sementara waktu kemudian gejala ringan
timbul kembali, terjadi demam subfebris dan toksisitas yang disertai oleh rasa nyeri
daerah mastoid, hal ini terjadi walaupun sekret dari telinga tengah sudah berkurang.
Tanda klinis terdapat nyeri tekan dan penebelan periosteum korteks mastoid
kemudian berlanjut menjadi masaa yang berfluktuasi bila terjadi abses
subperiosteum, pada pemeriksaan tampak dinding posterosuperior liang telinga
menggantung (sagging), gambaran membran timpani tidak jelas berbeda dengan
sebelumnya, gambaran radiologis menjukan sel-sel mastodi berselubung dan
terlihat penipisan (rarefaction) serta batas-batas sel mastoid hilang.

Stadium resulusi pada stadium ini infeksi mereda dan terjadi penyembuhan
telinga, sekret telinga kering, penebalan mukosa dan edem akan berkurang
perlahan-lahan namun bila sudah kembali normal makan peradangan lambat laun
akan kembali normal. Perforasi membran timpani yang kecil dapat cepat
menyembuh, biasanya tampak terbentuk jaringan parut, tetapi kadang-kadang
terbentuk parut atrofi kecil, ini merupakan titik lemah dari membarn timpani yang
sewaktu-watu dapat terinfeksi kembali dan mengeluarkan sekret telinga.
Penimbunan sedikit cairan steril aka tetap ada untuk beberapa tahun dalam daerah
coalescent di rongga mastoid tanpa menimbulkan gejala, hal ini kadang dapat
terlihat secara radiologik sebagai area radiolusen.

2.2.5. Manifestasi Klinis

1. Nyeri atau rasa tidak nyaman pada telinga.


2. Ottorhoea.
3. Pendengaran berkurang.
4. Demam.
5. Sakit kepala.
6. Nyeri tekan di daerah mastoid.
7. Edema pada prosessus mastoideus hiperemis yang lambat laun menjadi
abses.
8. Liang telinga bagian atas belakang turun (sangging). Hal ini disebabkan
oleh karena timbulnya periotitis pada tempat ini.
15
9. Membrana timpani menonjol keluar dan terjadi pengeluaran cairan yang
kontinu dan semakin banyak lubang perforasi gendang.
10. Kadang terdapat gejala iritasi vestibuler antara lain :
 Vertigo.
 Nistagmus.
 Mual.
 Muntah.

2.2.6. Diagnosis
Diagnosis mastoiditis ditegakkan melalui gejala klinis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang radiologi yang menunjukkan mastoiditis baik foto
polos mastoid Schuller maupun CT scan mastoid. Dengan CT scan bisa dilihat
bahwa air cell dalam prosesus mastoideus terisi oleh cairan (dalam keadaan normal
terisi oleh udara) dan melebar.
Temuan pada mastoiditis akut dan kronis termasuk penebalan periosteal, abses
subperiosteal, otitis media, dan tonjolan nipplelike (seperti puting) dari membran
timpani pusat. Menentukan adanya penebalan periosteal memerlukan perbandingan
dengan bagian telinga yang lain. Perubahan posisi dari daun telinga ke arah bawah
dan ke luar (terutama pada anak-anak <2 tahun) atau ke atas dan ke luar (pada anak-
anak <2 tahun) dapat ditemukan. Abses subperiosteal merubah posisi aurikel ke
lateral dan melenyapkan lipatan kulit postauricular. Jika lipatan tetap ada, proses
ini terjadi di lateral periosteum. Otitis media terlihat pada pemeriksaan dengan
otoskop.
Tonjolan nipplelike dari membran timpani sentral mungkin ada, ini biasanya
disertai rembesan nanah. Infeksi ringan persisten ( mastoiditis tersembunyi) dapat
terjadi pada pasien dengan otitis media rekuren atau efusi telinga persisten. Kondisi
ini dapat menyebabkan demam, sakit telinga, dan komplikasi lain.
Temuan pada mastoiditis kronis mungkin konsisten dengan komplikasi
ekstensi ke luar prosesus mastoideus dan periosteum yang mengelilinginya atau
dengan komplikasi lain intratemporal seperti lumpuh wajah.
Tanda-tanda meliputi:
 Membran timpani terinfeksi atau normal
 Demam berulang atau persisten
16
 Tidak adanya tanda-tanda eksternal dari peradangan mastoideus

Pemeriksaan neurologis umumnya menghasilkan temuan nonfocal.


Namun, keterlibatan saraf kranialis dapat terjadi pada penyakit lanjut.
Tanda-tanda meliputi:
 Palsy dari saraf abducens (saraf kranial VI)
 Palsy dari saraf wajah (saraf kranial VII)
 Rasa nyeri dari keterlibatan cabang oftalmik dari saraf trigeminal.

Pemeriksaan penunjang yang dapat diminta adalah, pemeriksaan kultur


mikrobiologi, hitung sel darah merah dan sel darah putih yang menandakan adanya
infeksi, pemeriksaan cairan sumsum untuk menyingkirkan adanya penyebaran ke
dalam ruangan di dalam kepala. Pemeriksaan lainnnya adalah CT-scan kepala,
MRI-kepala dan foto polos kepala.

Pemeriksaan Laboratorium
 Spesimen dari sel-sel mastoid yang diperoleh selama operasi dan cairan
myringotomy, ketika diperoleh, harus dikirim untuk kultur bakteri aerobik dan
anaerobik, jamur, mikobakteri dan basil tahan asam.
 Jika membran timpani sudah perforasi, saluran eksternal dapat
dibersihkan, dan sampel cairan drainase segar diambil.
 Ketelitian adalah penting untuk mendapatkan cairan dari telinga tengah
dan bukan saluran eksternal.
 Kultur dan pengujian kepekaan terhadap isolat dapat membantu dalam
memodifikasi terapi inisial antibiotik.
 Hasil kultur yang dikumpulkan dengan benar untuk bakteri aerobik dan
anaerobik sangat membantu untuk pilihan terapi definitif.
 Pewarnaan Gram dari spesimen awalnya dapat membimbing terapi
antimikroba empiris.
 Kultur darah harus diperoleh.
 Pemeriksaan darah rutin dan laju sedimentasi dihitung untuk mengevaluasi
efektivitas terapi seterusnya.

17
 Pemeriksaan LCS untuk evaluasi jika dicurigai perluasan proses ke
intrakranial.

Pemeriksaan Radiologi
 Rontgen

Posisi ini menggambarkan penampakan lateral dari mastoid. Proyeksi foto dibuat
dengan bidang sagital kepala terletak sejajar meja pemeriksaan dan berkas sinar X
ditujukan dengan sudut 30° cephalo-caudad. Pada posisi ini perluasan pneumatisasi
mastoid serta struktur trabekulasi dapat tampak dengan lebih jelas. Posisi ini juga
memberikan informasi dasar tentang besarnya kanalis auditorius eksterna dan
hubungannya dengan sinus lateralis.

18
CT Scan

Gambar 7. Mastoiditis dan CT scan mastoiditis

CT scan bisa dilihat bahwa sel-sel udara dalam prosesus mastoideus terisi
oleh cairan (dalam keadaan normal terisi oleh udara) dan melebar.

Pemeriksaan radiologis pada mastoiditis mengungkapkan adanya


opasifikasi sel-sel udara mastoid oleh cairan dan hilangnya trabekulasi normal dari
sel-sel tersebut. Hilangnya kontur masing-masing sel, membedakan temuan ini
dengan temuan pada otitis media serosa di mana kontur sel tetap utuh.

Mastoiditis dapat terjadi pada pasien-pasien imunosupresi atau mereka yang


menelantarkan otitis media akut yang dideritanya. Penyakit ini agaknya berkaitan
19
dengan virulensi dari organisme penyebab. Organisme penyebab yang lazim adalah
sama dengan penyebab otitis media akut.

2.2.7. Diagnosis Banding


1. Radang kelenjar yang letaknya retroaurikuler misalnya sebagai komplikasi dari
radang kulit kepala.
2. Furunkel (otitis eksterna sirkum kripta).

2.2.8. Tatalaksana
Terapi stadium supurasi pada saat didapatkan sekret perlu dilakukan
pemeriksaan kultur dan tes sensitivitas untuk menentukan antibiotik yang paling
tepat. Karena pemeriksaan ini memerlukan waktu 24-48 jam maka terapi segera
diberikan dengan antibiotik spektrum luas yang dapat diganti bila terdapat kuman
yang tidak sesuai, dengan adanya sekret antibiotik topikal dapat diberikan untuk
mengobati mukosa telinga tengah dan melindungi kulit liang telinga dari otitis
eskterna sekunder. Perwatan umum seperti istirahat baring, pemberian dekongestan
dapat diberikan.

Pengobatan berupa antibiotika sistemik dan operasi mastoidektomi. meliputi dua


hal penting :

 Pembersihan telinga (menyedot/mengeluarkan debris telinga dan sekret)


 Antibiotika baik peroral, sistemik ataupun topikal berdasarkan pengalaman
empirik dari hasil kultur mikrobiologi. Pemilihan antibiotika umumnya
berdasarkan efektifitas kemampuan mengeliminasi kuman, resistensi,
keamanan, risiko toksisitas dan harga. Pengetahuan dasar tentang pola
mikroorganisme pada infeksi telinga dan uji kepekaan antibiotikanya sangat
penting.

Terapi stadium komplikasi yaitu mastoiditis bila sebelumnya sudah diobati


maka penderita harus dirawat untuk pengawasan yang ketat karena keadaan ini
stadium lanjut dan tindakan pembedahan sangat diperlukan. Pada stadium ini
dilakukan tindakan mastoid untuk draenase abses.

20
Pengobatan awal berupa miringotomi yang cukup lebar, biakan dan
antibiotik yang sesuai diberikan intravena. Jika dalam 48 jam tidak didapatkan
perbaikan atau keadaan umum pasien bertambah buruk, maka disarankan untuk
dilakukan mastoidektomi sederhana. Bila gambaran radiologis memperlihatkan
hilangnya pola trabekular atau adanya progresi penyakit, maka harus dilakukan
mastoidektomi lengkap dengan segera untuk mencegah komplikasi serius seperti
petrosis, labirintis, meningitis dan abses otak. 5,6

Modalitas Terapi yang bisa dilakukan apabila perlu terapi pembedahan adalah :

1. Mastoidektomi sederhana/ simple mastoidektomi (operasi Schwartze).


Operasi ini dilakukan pada OMSK tipe aman yang dengan pengobatan
konservatif tidak sembuh, dengan tindakan operasi ini dilakukan
pembersihan ruang mastoid dari jaringan patologik. Tujuannnya ialah
supaya infeksi tenang dan telinga tidak berair lagi, pada operasi ini fungsi
pendengaran tidak diperbaiki.
2. Mastoidektomi Radikal
Operasi ini dilakukan pada OMSK bahaya dengan infeksi atau kolesteatoma
yang sudah meluas. Pada operasi ini rongga mastoid dan kavum timpani
dibersihkan dari semua jaringan patologik. Dinding batas antara liang
telinga luar dan telinga tengah dengan rongga mastoid diruntuhkan sehingga
ketiga daerah tersebut menjadi satu ruanggan. Tujuan operasi ini untuk
membuang semua jaringan patologik dan mencegah komplikasi ke
intrakranial, fungsi pendengaran tidak diperbaiki.
3. Mastoidektomi Radikal dengan modifikasi (operasi Bondy)
Operasi ini dilakukan pada OMSK dengan kolesteatoma didaerah atik,
tetapi belum merusak kavum timpani. Seluruh rongga mastoid dibersihkan
dari dinding posterior liang telinga direndahkan. Tujuan operasi ini ialah
membuang semua jaringan patologik dari rongga mastoid dan
mempertahankan pendengaran yang masih ada.

21
Gambar 9. Mastoidektomi

2.2.9. Komplikasi
1. Paresis fasial.
Paresis fasial disebabkan oleh destruksi tulang yang meliputi N.VII
sehingga kontinuitasnya terganggu, paresis biasanya hanya bersifat
sementara.
2. Tromboflebitis.
3. Komplikasi intracranial antara lain :
 Meningitis.
 Abses otak.
 Labirintis.

Komplikasi Operasi
Komplikasi pembedahan dengan teknik simple mastoidektomi antara lain:
1. Kerusakan nervus fasialis.
Nervus fasialis merupakan resiko utama untuk terjadinya kerusakan
selama dilakukannya proses pembersihan pada sejumlah sel-sel udara retrofasial.
2. Dislokasi incus.

22
Kebutaan alat-alat yang melewati antrum secara langsung terjadi pada
telinga tengah, resiko dislokasi ini mengalami proses yang singkat pada incus dari
fossa incudis dengan adanya pekak lateral.
3. Penetrasi sinus vena lateral.
Kadang-kadang sinus terletak didaerah permukaan sehinga kerusakan
dengan mudah dapat terjadi.
4. Penetrasi pada fossa dura tengah.
Jika mastoid dibuka pada tingkat yang tinggi, akan terjadi penetrasi pada
fossa dura tengah.
5. Post operatif hematom.
Berkumpulnya darah dibawah sutura sehingga menghasilkan devialitas
terhadap tekanan yang ada diikuti pemotongan dan gagalnya penggabungan
primer.
6. Reakumulasi post operatif pada pus.
Gagalnya pemindahan seluruh sel-sel udara yang ada dimukosa sehingga
menghasilkan supurasi yang berlanjut dan membentuk abses pada sub insisi post
operatif.
7. Kerusakan pada kokhlea.

23
Daftar Pustaka
1. Soepardi EA, Iskandar N, Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung
Tenggorok, Edisi ke-14, Jakarta, gaya Baru, FK-UI, 2001 : 54-60.
2. Adam GL, Boies LR, Higler PA, Alih Bahasa Wijaya, Caroline, Buku Ajara
Penyakit THT, Edisi ke-6, Jakarta, EGC, 1994 : 32, 95-112.
3. Adenan A, Kumpulan Kuliah Telinga, FK-USU, Medan :9-10,54-63.
4. Balenger JJ, Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher,
Jilid II, edisi ke-13, Jakarta, Binarupa Aksara, 1994 : 405-30.
5. Sjamsuhidajat R, De Jong W, Buku ajar Ilmu Bedah, edisi Revisi ,Jakarta,
EGC, 1997 :476.
6. Kelompok Studi Otologi. Guideline Penyakit THT di Indonesia.

Dalam:Perhimpunan Dokter Spesialis THT-KL Indonesia. Jakarta: 2007 p.

55

7. Rasad, sjahriar. Radiologi Diagnostik edisi ke 2. Jakarta:FKUI. 2005

8. Ogle, J.W., Lauer, B.A. Acute mastoiditis. Am. J. Dis. Child. 2000.
9. Mukmin, Sri; Herawati, Sri. Teknik Pemeriksaan THT. Laboratorium Ilmu

Penyakit THT, FK UNAIR. Surabaya. 2000.

10. Bluestone, C.D., Klein, J.O. Intratemporal complications and sequelae of

otitis media. in: C.D. Bluestone, S.E. Stool (Eds.) Pediatric

Otolaryngology. Saunders, Philadelphia, PA; 2003

24

You might also like