You are on page 1of 12

JOURNAL READING

“Helicobacter Pylori Infection has no Impact on Manometric and pH-metric


Findings in Adolescents and Young Adults with Gastroesophageal Reflux and
Antral Gastritis: Eradication Results to no Significant
Clinical Improvement”

Pembimbing :
dr. Tatag, Sp.PD

Disusun Oleh :
Alivia Febianita
162.0221.175

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT TENTARA (RST) TK II DR. SOEDJONO MAGELANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UPN “VETERAN”JAKARTA
2018

1
Problem : Mengetahui perbandingan antara tehnik operasi pterygium yaitu transplantasi
selaput amnion (AMT) dan free Autograft konjungtiva terhadap angka kejadian inflmasi
konjungtiva postoperatif dan angka kekambuhan pterygium.

Intervensi : Membahas demografti pasien, tehnik operasi pterygium yang digunakan,


penggunaan MMC selama intraoperatif, dan pemberian terapi saat terjadi kekambuhan
pterygium.

Compare : Membandingkan angka kejadian inflmasi konjungtiva postoperatif dan angka


kekambuhan pterygium selama 1 tahun terakhir pasca operasi.

Outcome : Pemilihan tehnik operasi yang tepat untuk mengurangi kemungkinan munculnya
kejadian inflmasi konjungtiva postoperatif dan kekambuhan pterygium.

Pencarian Bukti Ilmiah


Kata Kunci : pterygium, tehnik operasi
Limitasi : 2010

Dipilih jurnal berjudul :


“Postoperative conjungtival Inflamation After Pterygium Surgery With Amniotic Membrane
Transplantation Versus Conjungtival Autograft”
Oleh :
Ahmad Kheirhan, Rahman nazari, Mojgan Nikdel, Hamed Ghassemi, Hassan Hashemi, dan
Mahmoud Jabbarvand Behrouz
Dimuat dalam :
American Journal of Ophthalmology Vol 152 N0. 5 page 733-738 November 2011

2
PERBANDINGAN INFLAMASI KONJUNGTIVA POST OPERATIF SETELAH
OPERASI PTERYGIUM DENGAN TRANSPLANTASI SELAPUT AMNION DAN
AUTOGRAFT KONJUNGTIVA

Tujuan : Untuk membandingkan inflamasi konjungtiva postoperatif pada daerah operasi


setelah operasi pterygium dengan menggunakan transplantasi selaput amnion dan Autograft
konjungtiva
Desain : Penelitian retrospektif, random, intervensi.
Metode : Empat puluh dua mata dari 42 pasien dengan pterygium primer menjalani
operasi eksisi diikuti pengangkatan jaringan fibrovaskular subkonjungtiva dan penggunaan
mitomicin C 0.02%. Kemudian pasien secara acak mendapatkan AMT (21 mata) atau free
Autograft konjungtiva (21 mata), dengan menggunakan jahitan pada kedua kelompok. Hasil
akhir yang diukur meliputi kemunculan inflamasi konjungtiva pada daerah operasi setelah 1
bulan pasca operasi dan kekambuhan dari pterygium.
Hasil : Follow up selama 12 bulan dilakukan pada 39 mata dari 39 pasien (19 dari
kelompok AMT dan 20 dari kelompok free Autograft konjungtiva). Pada 1 bulan pertama setelah
operasi,derajat inflamasi konjungtiva ditemukan pada 16 (84.2%) mata di Kelompok AMT. Dan
3 mata (15%) kelompok Autograft konjungtiva (P= 0.02). Injeksi subkonjungtiva triamcinolone
ditemukan pada mata inflamasi sedang-berat, yaitu 12 mata (63.1%) pada kelompok AMT dan 2
mata (10%) pada kelompok free Autograft konjungtiva (p=0.01). Kekambuhan pterygium
Konjungtiva ditemukan pada 2 mata (10.5%) di kelompok AMT dan 2 mata (10%) pada
kelompok Autograft konjungtiva (P=0.92%) . Setelah operasi, piyogenik granuloma ditemukan
pada 3 mata di kelompok AMT (15.8%) dan 1 mata (5%) pada kelompok Autograft Konjungtiva
(P=0.31).
Kesimpulan : Setelah operasi pterygium, inflamasi konjungtiva secara signifikan ditemukan
lebih sering pada AMT dibandingkan dengan Autograft konjungtiva. Walaupun demikian dengan
kontrol inflamasi dan penggunaan mitomicyn C intraoperasi, hasil akhir yang sama ditemukan
pada kedua tehnik tersebut.

3
Pterygium adalah keadaan dimana jaringan fibrovaskular Konjungtiva bulbar hingga ke
kornea. Sebelumnya, pterygium dikenal sebagai penyakit kronis; walau ternyata didapatkan bukti
yang menunjukkan pterygium merupakan lesi proliferasi dan infIamasi. Sebagai contoh, terdapat
sel proliferasi pada kepala pterygium, dan hyperplasia epitel dan peningkatan jaringan
fibrovaskular pada pemeriksaan histopatologi. Juga didapatkan peningkatan angka marker
inflamasi pada pterygium. Sebagai tambahan, secara klinis ditemukan bahwa mitomycin C
(MMC) yang memiliki efek menghambat proliferasi dapat mengurangi kekambuhan pterygium
setelah insisi dan steroid juga berguna untuk mengurangi kekambuhan pterygium.
Banyak tehnik yang dikembangkan untuk operasi pterygium.Meliputi bare sclera, rotasi
flap konjungtiva, free Autograft konjungtiva, transplantasi selaput amnion (AMT). Sehingga,
untuk mengurangi angka kekambuhan pterygium, berbagai metode tambahan dilakukan, seperti
radiasi B dan agen lainnya, termasuk MMC, 5-fluorouracil dan Thiotepa. Angka keberhasilan
yang beragam dilaporkanuntuk metode operasi yang berbeda. Walau demikian masih belum jelas
mengapa metocle yang satu lebih baik daripada metode yang lain.
Salah satu faktor yang berperan dalam keberhasilan operasi pterygium adalah inflamasi
konjungtiva post operatif. Dikatakan bahwa inflamasi konjungtiva pada sekitar daerah operasi
ditemukan hingga 31% sampai 40% pada kasus pasca operasi pterygium dengan AMT. dan
ditunjukkan bahwa tatalaksana inflamasi tersebut mempengaruhi hasil akhir keberhasilan post
operatif. Namun tidak diketahui apakah inflamasi konjungtiva post operatif ini juga muncul
setelah operasi pterygium dengan tehnik selain AMT dan pengaruhnya terhadap hasil akhir
operasi. Untuk menjawab pertanyan tersebut, penelitian ini dilakukan untuk membandingkan
kemunculan inflamasi konjungtiva di sekitar daerah operasi setelah operasi pterygium dengan
AMT dan free Autograft kongungtiva dan untuk mengetahui kemungkinan munculnya inflamasi
sebagai hasil akhir operasi pterygium dari kedua tehnik tersebut.
Dalam penelitian prospektif ini, 42 mata dari 42 pasien dengan pterygium nasal primer
menjalani operasi eksisi kemudian secara acak dipilih. 21 mata dari 21 pasien mendapatkan free
Autograft konjungtiva dan 21 mata dari 21 pasien mendapatkan tehnik AMT. Kemudian
dipilihkan secara acak bentuk murfologi pterygium pada tiap kelompok.
Sebelum operasi dan setelah operasi, setiap pasien menjalani pemeriksaan konjungtiva
dengan okular lengkap, meliputi fotografti slit lamp, pengukuran virus koreksi terbaik secara
akurat, dan penilalian tekanan intra ocular. Sebelum Operasi, bentuk morfologi pterygium

4
dikelompokkan berdasarkan penilaian Tan dkk. Dalam penilaian ini, pterygium dikelompokkan
sebagai grade T1 (pterygium atrofi), yaitu pembuluh darah episklera tidak tanpak jelas pada
badan pterygium, grade T3 (pterygium jaringan), dimana pembuluh darah episkleral terlihat
jelas, dan grade T2 (diantara grade T1 dan T3) yaitu keadaan dimana pembuluh darah episkleral
hanya terlihat jelas sebagian.
Sebelum operasi, dilakukan informed consent kepada setiap pasien. Semua operasi
dilakukan oleh satu ahli bedah (R.N.) dibawah pengaruh anestesi retrobulbar. Saat operasi,
kepala dan badan pterygium dilepaskan terlebih dahulu dengun tehnik yang sama pada setiap
pasien, yaitu dengan reseksi badan 2 mm didepan plica Somilunaris. Kemudian diikuti
pengangkatan jaringan fibrovascular subkonjungtiva 2 mm dari tepi konjungtiva dan pertemuan
kornea setelah kateterisasi minimal perdarahan pembuluh darah, diberikan 0,02% MMC pada
sclera dan dibawah tepi konjungtiva dengan menggunakan WecK-Cel surgical sponge yang
diregam dalam larutan 0,02% MMC.
Durasi pemberian MMC bedasarkan grade bertuk morfologi Pterygium preoperatif, yaitu
penggunaan 1 menit untuk grade 1, 3 menit untuk grade 2, dan 5 menit untuk grade 3. Setelah itu
permukaan mata dibasuh dengan 100 ml larutan garam fisologis, pasien secara acak
mendapatkan selaput amnion (Kelompok AMT) atau Free graft Konjungtiva (kelompok free
autograft konjungtiva). Untuk menutupi permukaan selaput amion sklera yang digunakan adalah
satu lapisan dengan stromal terbalik disambung dengan nylon 10-0 dengan jahitan interuptus.
Autograph konjungtiva free didapatkan dari supero-temporal konjungtiva bulbar yang diambil
secara hati hati untuk menghindari terambilnya jaringan tenon. Graft disambung dengan jahitan
interuptus dengan nylon 10-0 dengan mempertahankan orientasi limbal – fornicel.
Setelah operasi, semua pasien mendapatkan regimen antibiotic yang sama selama 2
minggu dan tapering topical steroid selama 3 minggu. Meliputi 0,1% betametasol 4 kali sehari
untuk satu bulan diikuti denga 0,1% fluorometolon 4 kali sehari selama 2 minggu, 3 kali sehari
untuk 2 minggu, 2 kali sehari untuk 2 minggu, dan 1 kali sehari untuk 2 minggu. Pemerikasaan
follow postoperatif dilakukan pada satu hari, 1 minggu, 2 minggu, 1 bulan, dan 3, 6,9, dan 12
bulan setelah operasi. Jahitan dilepas setelah 1 minggu pada kelompok autograph konjungtiva
dan setelah 2 minggu pada kelompok AMT.
Timbulnya inflamasi konjungtiva postoperatif pada sekitar daerah operasi dalam 1 bulan
setelah operasi menggunkan grade 0 ( tidak ada, I (ringan), II (sedang), dan III (berat), seperti

5
yang djelaskan sebelumnya). Mata dengan imflamsi dengan grade II dan III mendapatkan injeksi
subkonjungtiva 8 mg triamcinole acentonide disekeliling daerah operasi.

Temuan klinis pasien dengan pterigium primer dan temuan postoperatif setelah pembedahan dengan
transplantasi membran amnion atau free autograft konjungtiva
Kelompok
Kelompok autograft
Transplantasi membran Nilai P
konjungtiva
amnion
Jumlah mata 19 20
Umur 42.8 ±13.2 47.7 ±15.7 0.33
Jenis kelamin (laki
10/9 12/8 0.76
laki/perempuan)
Bentuk morfologi
0.89
pterigium
T1 4 5
T2 8 9
T3 7 6
Grade inflamasi
konjungtiva
postoperasi
0 3 (15.8%) 17 (85%) 0.02
I 4 (21.1%) 1 (5%)
II 7 36.8%) 2 (10%)
III 5 (26.3%) 0
Kekambuhan pterigium 0.92
Kekambuhan
2 (10.5%) 2 (10%)
konjungtiva
Kekambuhan kornea 0 0
Piogenik granuloma 3 (15.8%) 1 (5%) 0.31

Kekambuhan peteregium postoperatif dilaporkan dengan mengunakan dengan system


grading yang dijelaskan sebelumnya. Grading ini meliputi grade I yaitu tidak ada kekambuhan,
grade II munculnya pembuluh darah episkelera tanpa jaringan fibrovaskular pada daerah operasi,
grade III adalah munculnya jaringan fibrovascular pada daerah operasi namun tanpa adanya
6
infasi pada kornea dan grade IV kekambuhan sebenarnya yaitu jaringan fibro vascular
menginfasi hingga ke kornea (kekambuhan kornea) mata dengan kekambuhan pterygium
konjungtiva (grade III) mendapatkan satu injeksi subkonjungtiva 8 mg triamcinole acentonide
tunggal atau injeksi intralesi 5– fluorouracil selama dua minggu.
Analisa statistik dilakukan dengan menggunakan software SPSS versi 15 ( Spss, Inc,
Chichago, Ilinois, USA) test cis squre dan test t digunakan untuk membandingkan secara
kualitatif dan variable kuantitatif antara AMT dan kelompok Autograft Konjungtiva bila nilai p
0.05 atau kurang maka dianggap signifikan secara statistik.

HASIL
Dari 42 mata dalam penelitian ini, dengan 12 bulan follow up lengkap didapat 39 mata
dari 39 pasien ( 22 laki laki dan 17 perempuan dengan usia rata rata 45,6 +- 13,19 tahun (Range
19 samai 83 tahun) meliputi 19 mata di kelompok AMT dan 20 di kelompok Autograft
konjungtiva. Secara statistik Tidak ada perbedaan secara signifikan mengenai umur, jenis
kelamin, dan grede bentuk morfologi pterygium sebelum operasi antara dua kelompok. Operasi
dilakukan pada setiap kasus menggunakan metode amniotic selapute atau autograph konjungtiva.
Setelah operasi, pada pemeriksaan ditemukan inflamasi konjungtiva disekitar daerah
operasi pada 16 mata (84,2%) dalam kelompok AMT dan 3 mata (15%) dalam kelompok
autograft konjungtiva, (P=0,02) Pada kelompok AMT grade inflamasi postoperatif berupa grade
I (ringan ditemukan 4 mata (21,1% grade II (sedang 7 mata (36,8%, dan grade III (berat) 5 Mata
(26,3%) sedangkan pada kelompok autograftkonjungtiva ditemukan inflamasi grade I (ringan) di
1 mata (5%), grade II (sedang) 2 mata (10%). Injeksi subkonjungtiva triamcinolone acetonide
dilakukan pada 12 mata (63,21%) pada kelompok AMT dan 2 mata (10%) pada kelompok
autograph konjungtiva(P<0,001). Pemberian injeksi menunjukan pebaikan inflamasi pada mata
tersebut.
Kekambuhan peterygium grade III ditemukan pada 2 mata (10,5%) pada kelompok AMT
( di 3 dan 6 bulan setelah Operasi) dan pada 2 mata (10%) autograph konjungtiva (di 3 dan 12
bulan setelah operasi), tanpa adanya perbedaan yang signifikan secara statistic antar 2 kelompok
(P=9,2) kekambuhan pada 2 mata kelompok AMT mengalami inflamasi konjungtival (1 mata)
dan berat (1 mata) pada 1 bulan setelah operasi. Kekambuhan pada kelompok autograph

7
konjungtiva tidak mengalami inflamasi ( 1 mata) dan mengalami inflamasi sedang (1 mata) pada
Kunjungan 1 bulan. Mata dengan kekambuhan konjungtiva mendapatkan 1 injeksi
subkonjungtival 8 mg triamcinolone acetonide tunggal (2 mata), 1 dimasing masing kelompok
dan injeksi interlesi fluorouracil selama 2 minggu (2 mata 1 dimasing masing kelompok), tidak
ditemukan perkembangan kekambuhan kornea primer selama follow up. Perkembangan
pyogenic granuloma pada daerah operasi ditemukan pada 3 mata (15,8%) di kelompok AMT dan
1 mata (5%) di kelompok autograph konjungtiva (P=0,31) seluruh pyogenic granulomata
berkembang di tepi graft. Pada gruautograft konjungtiva di daerah subperotemporal dimana graft
konjungtiva diambil berhasil sembuh tanpa ada komplikasi pada seluruh mata. Tidak ada
komplikasi yang berhubungan graft selapute amnion atau graft konjungtiva pada mata selama
follow up postoperatif. Setelah injeksi triapsinolon asetonik tekanan intra ocular ditemukan
meningkat pada dua mata dan berhasil di control dengan pengobatan. Tidak ditemukan
komplikasi yang berhubungan dengan pemberian steroid pada seluruh mata.

DISKUSI
Penelitian restopektif acak ini menunjukan bahwa setelah operasi pterygium, infeksi
konjungtiva ditemukan secara signifikan lebih sering pada AMT dibanding pada Autograft
konjungtiva. Walaupun dengan pengontrolan inflamasi dan penggunaan MMC introperatif, hasil
akhir yang sama ditemukan pada kedua teknik. Penelitian selanjutnya dibutuhkan untuk
mengevaluasi infeksi konjungtival postoperatif dengan berbagai teknik operasi pterygium
Pada satu bulan setelah operasi pterygium, ketika respon inflamasi postoperatif disekitar
daerah operasi muncul 84,2% pada mata di kelompok AMT dan 15 % pada mata Autograft
Konjungtival. Inflamasi secara signifikan lebih sering didapati pada AMT dibaandingkan
autograph konjungtival (p=0,02). Sumber sebelumnya melaporkan infeksi konjungtival muncul
setelah operasi prepterygium dengan AMT dan setelah eksisi konjungtiva aklasi konjungtiva
Chlasi dan rekontruksi fornik. Walaupun inflamasi yang berhubungan denga penjahitan
ditemukan pada operasi prepterygium dengan autograph konjungtival teknik operasi lainya
sangat jarang dijelaskan
Solomon dkk melaporkan angka kejadian sebesar 31, 5% persisten inflamasi setelah
operasi pterygium, AMT yang mengunkan benang dan injeksi subkonjungtival triamcinolon
introperatif. Penelitian kami sebelumnya menunjukan 27 mata yang mendapatkan eksisi

8
pterygium, penggunaan MMC, dan AMT mengunakan benang atau lem fibrin dengan pemberian
injeksi triamsinolon intraoperatif pada 11 mata menunjukan angka inflamasi sebesar 40,7%.
Dengan penggunaan MMC tanpa pemberian injeksi triamsinolon introperatif pada penelitian ini,
inflamasi muncul pada 84,2 mata setelah AMT, halini menunjukan. Angka yang lebih tinggi,
dibandingkan penelitian sebelumnya. Hal tersebut hasil adanya pemberian injeksi triamsinolon
intraoperatif berdampak pada tingginya angka kejadian inflamasi pada penelitian ini
dibandingkan penelitian sebelumnya. Namun penelitian control dibutuhkan untuk mengevaluasi
pemberian steroid introperatif untuk mencegah terjadinya inflamasi
Pathogenesis dari inflamasi konjungtiva postoperatif persisten dan kemungkinan alasan
tingginya angka kejadian setelah AMT, yang diketahui memiliki efek anti inflamsi masih sulit
dijelaskan. Sebagai tambahan factor lain yang mungkin berperan dalam inflamasi postoperatif
masih banyak yang belum diketahui. Sebelumnya, dilaporkan bahwa setelah operasi pteregium
dengan AMT ditemukan angka kejadian inflamasi yang lebih tinggi pada penggunaan benang
dibandingkan dengan penggunaan lem fibrin (61,5% disbanding 21,4%) dalam penelitian ini,
benang dilepaskan setelah satu minggu pada kelompok autograft konjungtival dan setelah 2
minggu pada kelompok AMT. walaupun kemunculan inflamasi di evaluasi pada satu bulan
setelah operasi, durasi benang yang lebih lama tinggal pada kelompok AMT mungkin merupakan
penyebab dari inflamasi bahkan setelah benang dilepaskan. Namun inflamasi yang tetap muncul
pada penggunaan fibrin menunjukan ada nya kemungkinan factor lain.
Mistosin C, yang diketahui memiliki efek anti proliperatif digunakan pada seluruh mata
dalam penelitin ini. Walaupun MMC menurunkan inflamasi konjungtival pada mata dengan
konjungtivitis alergi, masih belum diketahui apakah penggunaan MMC dapat menurunkan
angka kejadian inflamasi konjungtiva inframatif operasi pterygium. Sehingga penelitian
selanjutnya menggunakan sampel yang lebih besar untuk mengevaluasi factor lain seperti umur,
jenis kelamin, bentuk morfologi pterygium, dan perbedaan teknik operasi yang dapat menujukan
kemungkinan muncul nya inflasmasi postoperatif
Pada operasi pterygium dengan penggunaan MMC kekambuhan pterygium konjungtiva
berkembang dengan rasio yang sama sebsar 10% pada kedua kelompok selama 12 bulan follow
up posoperatif. Beberapa penelitian debelumnya membangdingkan hasil operasi pterygium
dengan autograft konjungtiva atau AMT disebutkan bahwa untuk operasi pterygium,
kekambuhan pada AMT sama atau lebih tinggi dibandingkan Autograft konjungtiva. Namun

9
tidak ada satu pun penelitian menggunakan MMC yang terbukti menurunkan angka
kekambuhan. Sehingga angka kekambuhan yang sama ditemukan pada kelompok AMT dan
kelompok autograft konjungtiva pada penelitian ini berhubungan dengan penggunangan MMC
yang diberikan pada kedua kelompok. Namun factor lain masih mungkin berperann dalam
munculnya angka kekambuhan yang sama pada kedua kelompok sebagai control inflamasi
konjungtiva post operativ
Peneletian retrokspektif kami sebelumnya, menunjukan bahwa setelah operasi pterygium
dengan pemberian MMC dan AMT, mata dengan inflamasi konjungtiva pada satu bulan setelah
operasi tidak menunjukan kekambuhan bila diberikan injeksi subkonjungtiva triamsinolon.
Namun mata yang tidak mendapatkan pengobatan memiliki kekambuhan yang lebih tinggi.
Meskipun dengan autograftkonjungtival, tetap menunjukan angka kekambuhan yang lebih tinggi
pada pasien yang mendapat tropical steroid postoperatif in adekuat. Sehingga ini mungkin
menjadi alasan bahawa angka kekambuhan pterygium setelah eksisi dengan AMT lebih tinggi
dibandingkan autograph konjungtival seperti yang dilaporkan sebelumnya bahwa angka kejadian
inflamasi konjungtiva postoperatif setelah AMT lebih tinggi , yang dibiarkan tidak diobati.
Pengobatan inflamasi seperti yang dilakukan pada penelitian ini, mungkin yang menjadikan hasil
angka kembuhan yang sama antara pengguanaan AMT atau Autograft konjungtiva. Penelitian
selanjutnya diharapkan diharapkkan menbahas mekanisme kemungkinan lain dari hasil akhir
yang berbeda dari berbagai tehnik pembedahan untuk operasi pterygium.walaupun pemberian
injeksi konjungtival triamcinolon pada penelitian ini menunjukan resolusi dari inflamasi, metode
postoperatif terbaik untuk menangani inflamasi dan untuk mencegah kekambuhan masih belum
diketahui pada penelitian ini 3 dari 4 mata denga kekambuhan konjungtiva pterygium memiliki
inflamasi konjungtiva pada satu bulan setelah operasi walaupun telah diberikan injeksi
triamsinolon. Walaupun faktorlain berperan. Inflamasi yang muncul setelah injeksi triamsinolon
mungkin berakibat sebgai penyebab kekambuhan. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya,
subkonjungtiva 5-fluoroulacil atau triamcinolon pada penelitian ini berhasi untuk mencegah
pertumbuhan konjungtiva menjadi kekambuhan kornea pterygium. Sehingga fungsi agen anti
inflamasi lain dan agen anti faskular endothelial growth faktor untuk terapi inflamasi postoperatif
membutuhkan penelitian yang lebih lanjut
Berhubungan dengan tingginya angka kejadian inflamasi konjungtiva postoperasi
berbanding lurus dengan angka kejadian piogenik granuloma setelah AMT dibandingkan

10
autograft konjungtiva (15.8% banding 5%), walaupun perbedaan ini secara statitik tidak
bermakna secara signifikan. Kejadian tersebut, yang merupakan proses inflamasi, mungkin
terjadi akibat proses penyembuhan proliferasi fibrovaskular yang berlebihan. Walaupun angka
kejadian yang tinggi mungkin diakibatkan karena penggunaan benang yang lebih lama, namun
belum ada satupun penelitian yang membahas mengenai hubungan antara terjadinya Iuka dengan
penggunaan benang.
Kekurangan utama dalam penelitian ini adalah terbatasnya jumlah sampel. Namun follow
up postoperatif selama 1 tahun dinilai cukup untuk menilai kekambuhan pterygium. Serta tidak
hanya tehnik AMT dan tehnik Autograft konjungtiva yang telah dilakukan, grade bentuk
morfologi pterygium juga mempengaruhi hasil akhir pembedahan. Walaupun dengan sampel
yang terbatas, data kami menunjukkan bahwa inflamasi konjungtiva postoperatif lebih sering
muncul secara signifikan pada operasi pterygium dengan tehnik AMT dibandingkan tehnik
Autograft konjungtiva. Serta penggunaan MMC intraoperatif menimbulkan hasil yang sama pada
kedua kelompok terhadap angka kekambuhan pterygium.

11
12

You might also like