You are on page 1of 58

A.

Anatomi Sistem Imun

Sistem Limfatik

Semua jaringan tubuh terendam di dalam cairan jaringan yang terdiri atas konstituen

darah dan materi sisa yang difus dari sel. Sebagian cairan jaringan kembali ke kapiler di
ujung vena dan sisanya berdifusi melalui dinding kapiler limfe yang lebih lebih

permeabel, membenyuk limfe.

Limfe mengalir melalui pembuluh yang ukurannya membesar dan sejumlah nodus limfe

sebelum kembali ke darah. Sistem limfatik terdiri atas : limfe, pembuluh limfe, nodus
limfe, organ limfe, misal limpa dan timus; serta jaringan limfoid difus, misal tonsil,
sumsum tulang. Fungsi sistem limfatik meliputi hal-hal berikut ini.

1. Drainase jaringan

Setiap hari, sekitar 21 liter cairan dari plasma, membawa zat terlarut dan sebagian protein

plasma, keluar dari ujung kapiler arteri dan masuk ke jaringan. Sebagian besar cairan ini
kemali secara langsung ke aliran darah melalui kapiler di ujung venanya, tetapi 3-4 liter

cairan dialirkan melalui pembuluh limfe. Tanpa ini, jaringan akan semakin cepat
tergenang, dan sistem kardiovaskuler mulai mengalami kegagalan karena volume darah

yang turun.

2. Absorpsi di usus halus

Lemak dan materi larut-lemak, misal vitamin larut-lemak, diabsorpsi ke dalam lakteal

sentral (pembuluh limfatik) vili.

3. Imunitas

Organ limfatik berfungsi dalam produksi dan maturasi limfosit, yaitu sel darah putih yang
bertanggung jawab terhadap imunitas. Karena itu, sumsum tulang dianggap jaringan

limfatik, karena limfosit dihasilkan di sini.


A. Limfe

Limfe adalah cairan bening menyerupai plasma yang tidak mengandung

protein plasma dan memiliki kompetensi yang serupa dengan cairan interstisial.

Limfe mengangkut protein plasma yang meresap ke dasar kapiler kembali ke

dalam aliran darah. Limfe juga membawa partikel yang lebih besar, misal bakteri
dan sisa sel dari jaringan yang rusak, yang kemudian difiltrasi dan dihancurkan
oleh nodus limfe. Limfe mengandung limfosit, yang bersirkulasi di dalam sistem

limfatik dan memungkikannya menjaga area tubuh yang berbeda. Di lakteal usu

halus, lemak diabsorpsi ke dalam limfatik yang membuat limfe (sekarang

disebut kili), tampak seperti susu.

1. Pembuluh Limfe

a Kapiler Limfe
Kapiler limfe berasal dari selular buntu di ruang interstisial. Kapiler ini

memiliki struktur yang sama dengan kapiler darah, tetapi dindingnya

lebih permeabel terhadap semua konstituen cairan interstisial, termasuk

protein dan sisa sel. Kapiler kecil bergabung membentuk pembuluh


limfe yang lebih besar. Hampir semua jaringan tubuh memiliki

pembuluh limfatik, kecuali sistem saraf pusat, tulang dan sebagian


besar lapisan superfisial kulit.

b Pembuluh Limfe Besar

Dinding pembuluh limfe memiliki ketebalan yang sama dengan

vena-vena kecil dan memiliki lapisan jaringan yang sama, yaitu serat
yang membungkus, lapisan tengah yang mengandung jaringan otot

polos dan elastik, serta bagian dalam yang dilapisi endotelium.

Pembuluh limfe memiliki banyak katup yang berbentuk cangkir untuk

memastikan agar limfe hanya mengalir satu arah, yakni menuju tiraks.
Tidak ada pompa, seperti jantung, yang terlibat dalam gerakan limfe ke

depan, tetapi lapisan otot di dinding pembuluh limfe besar memiliki


kemampuan intrinsik untuk berkontraksi sesuai irama (pompa limfatik).

Selain itu, adanya struktur yang secra berkala mengompresi pembuluh

limfatik dapat membantu dalam pergerakan limfe bersama pembuluh,


yakni biasanya meliputi kontraksi otot yang berdekatan dan pulsasi
arteri besar.

Pembuluh limfe semakin membesar karena pembuluh ini bergabung

bersama, yang akhirnya membentuk dua duktus besar, yakni duktus


torasik dan duktus limfatik kanan, yang akan mengalirkan cairan limfe
vena subklavia.
c Duktus Torasik

Duktus berawal pada kili sisterna, yakni saluran limfe yang berdilatasi

dan berada di abgian depan badan vertebra lumbal dua pertama.


Panjang duktus sekitar 40 cm dan bersambung ke vena subklavia kiri di

dasar leher. Duktus ini mengaliri limfe dari kedua kaki, rongga pelvis

dan abdomen, sebelah kiri toraks, kepala dan leher, serta lengan kiri.

d Duktus Limfatik Kanan

Duktus ini merupakan pembuluh limfe yang berdilatasi dan memiliki

panjang sekitar 1 cm. Duktus ini terbentang di dasar leher dan

bersambung le vena subklavia kanan. Duktus ini mengaliri limfe dari

sebelah kanan toraks, kepala dan leher, serta lengan kanan.

B. Organ dan Jaringan Limfatik


1. Nodus

Nodus limfe merupakan organ yang berbentuk kacang atau oval

yang terletak sering kali berkelompok, di sepanjang pembuluh limfe.


Limfe mengalir melalui sejumlah nodus (kelenjar), biasanya 8 - 10

nodus, sebelum kembali ke sirkulasi vena. Nodus ini memiliki

berbagai ukuran: sebagian berukuran kecil seperti peniti dan yang

paling besar berukuran sebesar almond,

Bagian luar nodus limfe terbungkus kapsul jaringan fibrosa yang

terendam di dalam substansi yang membentuk partisi atau trabekula.


Substansi nodus utama terdiri atas jaringan retikular dan limfatik yang
mengandung banyak limfosit dan makrofag. Empat atau lima

pembuluh limfe aferen masuk ke nodus limfe, sementara satu

pembuluh eferen membawa limfe keluar nodus. Tiap nodus memiliki


permukaan cekung (konkaf) yang disebut hilum di mana satu arteri
masuk serta satu vena dan pembuluh limfe eferan keluar.
Sejumlah besar nodus limfe yang terletak di posisi strategis pada

tubuh tersusun menurut kelompok superfisial dan profunda. Nodus


limfe dari kepala dan leher melewati nodus servikal superfisial dan

profunda. Limfe dari ekstremitas atas mengalir melalui nodus yang

berada di area siku, kemudian melalui nodus aksilaris superfisial dan


profunda. Limfe dari organ dan jaringan di rongga torasik mengalir
melalui kelompok nodus yang berada di dekat mediastinum, saluran

napas berat, esophagus, dan dinding dada. Sebagian besar limfe dari
payudara melalui nodus aksilaris. Limfe dari rongga pelvis dan
abdomen melalui banyak nodus limfe sebelum masuk ke kili siterna.
Nodus abdomen dan pelvis terutama berhubungan dengan

pembuluh darah yang memperdarahi organ dan berada di dekat

arteri utama, yaitu aorta dan arteri eksternal serta iliaka internal. Limfe

dari ekstremitas bawah mengalir melalui nodus superfisial dan

profunda, termasuk kelompok nodus di belakang lutut dan lipat paha

(nodus inguinalis).
fungsi nodus limfe adalah sebagai berikut :

1. Filtrasi dan fagositosi


Cairan limfe difiltrasi oleh jaringan retikular dan limfoid saat

melalui nodus limfe. Materi yang mengendap adalah mikroba, fagosit

yang hidup dan mati yang berisi mikroba yang dimakan, dihancurkan

di nodus limfe oleh makrofag dan antibody. Sebagian partikel

anorganik yang diinhalasi tidak dapat dihancurkan di nodus limfe

oleh fagositosis. Sebagian partikel ini tetap di dalam makrofag dan

tidak menyebabkan sel terbunuh atau rusak

2. Proliferasi limfosit
Limfosit T dan B teraktivasi memperbanyak diri di nodus limfe.

antibodi yang dihasilkan oleh limfosit B tersensitisasi masuk ke limfe


dan darah lalu mengaliri nodus

C. Limpa

Limpa mengandung jaringan retikular dan limpatik serta merupakan


organ limfe terbesar. Limpa terletak di regio hipokondria kiri rongga

abdomen di antara fundus lambung dan diafragma. Limpa berwarna


keunguan dan memiliki berbagai ukuran pada setiap individu, tetapi

biasanya memiliki panjang sekitar 12 cm, lebar 7cm, dan tebal 2,5 cm,

serta berat sekitar 200 g. Bentuk limpa sedikit oval dengan hilum di tepi
tengah. Permukaan anterior ditutupin peritoneum. Peritoneum
membungkus kapsul fibroelastik yang melekat pada organ, membentuk

trabekula. Materi selular, terdiri atas limfosit dan makrofag, yang disebut
pulpa splenik, dan terletak di antara trabekula. Pulpa merah merupakan
bagian diliputi darah, sedangkan pulpa putih mengandung area jaringan
limpatik dimana terdapat limfosit dan makrofag di sekitar pemnuluh

darah. Struktur yang masuk dan keluar limpah di hilum adalah sebagai

berikut:

1. Arteri splenik, suatu cabang arteri koliak

2. Vena splenik, cabang vena porta.

3. Pembuluh limfe ( hanya eferen)


4. Saraf.

Fungsi limfa adalah sebagai berikut :

1. Fagositosis.
seperti yang di jelaskan sebelumnya, erittrosit lama dan abnormal dan

dihancurkan di hati, kemudian bilirubinserta zat besi, diangkut ke hati via

vena splenik dan porta. Materi seluler lainnya, misal : leukosit, trombosit,

dan mikroba difgositosis di limpa. Tidak seperti nodus limfe, limpa tidak
memiliki limpatik aferen yang masuk sehingga limpa tidak tepapar

penyakit yang disebarkan oleh limfe.

2. Cadangan darah
Limpa mengandung 350 ml darah dan dalam berespons terhadap
stimulasi simpatis dapat dengan cepat mengembalikan volume ini ke

sirkulasi, misal pada perdarahan.


3. Respon imun

limpa mengandung limfosit T dan B, yang diaktivasi oleh keberadaan


antigen, misal pada infeksi. Proliferasi lifosit saat infeksi yang serius dapat

menyebabkan pembesaran limpa (splenomegali).

4. Eritropoiesis
limpa dan hati merupakan tempat produksi sel darah janin yang penting.

Selain itu, limpa juga dapat memenuhi fungsi ini pada orang dewasa pada
saat dibutuhkan.

D. Kelenjar Timus.

Kelenjar timus berada di bagian atas mediastinum di belakang

sternum dan memanjang ke atas hingga dasar leher. Berat kelenjar ini

sekitar 10-15 g saat lahir dan tumbuh hingga pubertas, selanjutnyamulai

mengalami atrofi. Berat maksimum timus, saat pubertas, yaiut antara 30


dan 40 g, sedangkan pada usia paruh baya, berat kelenjar timus kembali

kepada berat kelenjar semula saat lahir.

Struktur.
Timus terdiri atas dua lobus yang disatukan oleh jaringan ikat. Lobus

terbungkus oleh kapsul fibrosa yang terendam di dalam subtansi,

bercabang menjadi lobulus yang mengandung kerangka cabang sel

epithelial dan limfosit yang irregular.

Fungsi.
Limfosit ini berkembang menjadi limfosit T teraktivasi. Proses

perkembangan timus ini menghasilkan limfosit T matur yang dapat

membedakan jaringan sendiri dari jaringan asing dan juga memberikan


limfosit T kemampuan untuk bereaksi hanya terhadap satu antigen

spesifik dari jutaan sel. Limfosit T kemudian meninggalkan timus dan


masuk ke darah. Walaupun paling sering membelah pada usia bayi,

produksi limfosit T mungkin terus terjadi seumur hidup pada populasi sel

benih timus.
Maturasi timus dan jaringan limfoid lain distimulasi oleh timosin, suatu

hormone yang disekresi oleh sel epithelial yang membentuk kerangka


kalenjar timus. Involusi kelenjar dimulai saat remaja di mana dengan

bertambah usia, keefektifan limfosit T berespons terhadap antigen

menjadi berkurang.

Jaringan Limfoid Mukosa (Mucosa-Associated Lymphoid Tissue, MALT)

Di area strategis tubuh, terdapat kumpulan jaringan limfoid yang tidak


seperti limpa dan timus, tidak terbungkus di dalam kapsul. Jaringan ini
mengandung limfosit T dan B, yang bermigrasi dari sumsum tulang dan

timus, yang penting dalam deteksi dini agen penyerang. Akan tetapi,

karena jaringan ini tidak terpapar penyakit yang disebarkan limfe. MALT
ditemukan di sepanjang saluran cerna, di saluran napas, dan saluran

genitourinari, serta semua sistem tubuh yang terpapar lingkungan

eksternal. Kelompok utama MALT adalah tonsil dan bercak Peyer.

Tonsil terdapat dimulut dan tenggorok dank arena antigen dihancurkan


dengan ditelan dan diinhalasi

Bercak Peyer (folikel limfoid agregasi) kumpulan jaringan limfoid dalam

jumlah besar ditemukan di usus halus dan menangkap antigen yang


ditelan.

B . Fisiologi

Sistem pertahanan imun menghasilkan proteksi terhadap sel asing dan abnormal dan

membersihkan debris sel. Imunitas mengacu kepada kemampuan tubuh menahan atau
mengeliminasi benda asing atau sel abnormal yang potensial berbahaya.

Aktivitas-aktivitas berikut berkaitan dengan sistem pertahanan imun, yang berperan

penting dalam mengenali dan menghancurkan atau menetralisasi benda-benda didalam

tubuh yang dianggap asing oleh “diri normal”.

1. Pertahanan terhadap pathogen penginvasi (mikro-organisme penghasilan

penyakit, misalnya virus dan bakteri)


2. Pengeluaran sel-sel yang “aus” (misalnya sel darah merah yang tua) dan debris

jaringan (misalnya, jaringan yang rusak oleh trauma atau penyakit). Yang terakhir
ini penting untuk penyembuhan dan perbaikan jaringan.

3. Identifikasi dan destruksi sel abnormal atau mutan yang berasal dari tubuh

sendiri. Fungsi ini, yang diberi nama surveilans imun, adalah mekanisme
pertahanan internal utama terhadap kanker.
4. Respons imun yang tidak sesuai yang menimbulkan alergi, yaitu tubuh bereaksi

terhadapnzat kimia dari lingkungan yang tidak berbahaya, atau penyakitotoimun,


yaitu saat sistem pertahanan secara salah menghasilkan antibody
terhadapntubuh sendiri, sehingga terjadi kerusakan sel-sel tertentu di dalam
tubuh.

5. Penolakan sel-sel jaringan asing, yang menjadi kendala utama dalam


transplantasi organ.

Bakteri dan virus patogentik adalah sasaran utama sistem pertahan imun.

Musuh asing utama yang dilawan oleh sistem imun adalah bakteri dan virus. Bakteri

adalah mikro-organisme bersel tunggal yang tidak berinti dan diperlengkapi oleh semua
perangkat yang esensial bagi kelangsungan hidup dan reproduksi mereka. Bakteri

pathogen yang menginvasi tubuh mencetuskan kerusakan jaringan dan menimbulkan


penyakit terutama dengan mengeluarkan enzim atau toksin yang secara fisik mencederai

atau mengganggu fungsi sel dan organ yang terkena. Daya suatu pathogen

menimbulkan penyakit dikenal sebagai Virulensi.

Virus, berbeda dengan bakteri, bukanlah suatu entitas seluler yang dapat sendiri.
Virus hanya terdiri dari asam nukleat (DNA atau RNA) yang terbungkus di dalam suatu
selubung protein.karena tidak memiliki perangkat untuk menghasilkan energy dan

membentuk protein, virus tidak mampu menjalankan metabolism atau reproduksi,

kecuali jika mereka menginvasi sel pejamu (sel pada individu yang terinfeksi) dan
mengambil alih fasilitas biokimiawi sel tersebut untuk kepentingan mereka sendiri. Virus

tidak saja melemahkan sumber energy sel pejamu, tetapi asam-asam nukleat virus
juga memerintahkan sel pejamu untuk mensintesis protein-protein replikasi virus pada

sel pejamu berbeda sesuai dengan jenis virus.


Virus dapat menimbulkan kerusakan atau kematian sel melalui empat cara umum: (1)

deplesi komponen sel yang esensial oleh virus; (2) pembentukan zat yang toksik bagi sel
pejamu di bawah perintah virus; (3) transformasi sel-sel pejamu normal menjadi sel-sel

kanker; dan (4) penyatuan virus ke dalam sel sehingga mekanisme pertahanan tubuh

akan menghancurkan sel karena sel-sel tersebut tidak lagi dianggap sebagai sel “diri
normal” (dianggap asing).

Leukosit adalah sel-sel efektor pada sistem pertahanan imun.


Sel-sel yang bertanggung jawab atas berbagai strategi pertahanan imun adalah leukosit
(sel daeah putih) dan turunannya, yang secara singkat dibahas sebagai berikut (lihat
h.354-356):

1. Neutrophil adalah spesialis fagositik yang sangat mudah bergerak (mobil) dan

memakan serta menghancurkan bahan-bahan yang tidak diperlukan.

2. Eosinophil mengeluarkan zat-zat kimiawi yang menghancurkan cacing parasite

dan berperan dalam manifestasi alergi.

3. Basophil mengeluarkan histamine dan heparin, dan juga terlibat dalam


manifestasi reaksi alergi

4. Limfosit

a. Limfosit B berubah menjadi sel plasma, yang mengelurkan antibody yang


secara tidak langsung menyebabkan destruksi benda asing.

b. Limfosit T berperan dalam imunitas yang diperantarai oleh sel (imunitas

seluler) dengan melibatkan destruksi langsung sel-sel yang terinvasi virus

dan sel-sel mutan melalui cara-cara nonfagositik.


5. Monosit berubah menjadi makrofag, yaitu spesialis fagositik yang berukuran
besar dan terikat kejaringan.

Suatu leukosit berada dalam darah hanya untuk beberapa saat. Sebagian besar leukosit

keluar dari pembuluh untuk berada dijaringan dalam tugas pertahanannya. Akibatnya,
sel-sel efektor sistem imun tersebar luas diseluruh tubuh dan mampu bertahan di
berbagai tempat.

Hampir semua leukosut berasal dari precursor sel bakal yang umum di sumsum tulang

dan kemudian dikeluarkan ke dalam darah. Satu-satunya pengecualian adalah limfosit,


yang sebagian berasal dari koloni-koloni limfosit di berbagai jaringan limfoid yang

semula ditempati oleh sel-sel yang berasal dari sumsum tulang. Jaringan limfoid
mengacau secara kolektif pada jaringan yang menyimpan, menghasilkan, atau mengolah

limfosit. Jaringan ini mencakup kelenjar limfe, limpa, timus, tonsil, adenoid, apendiks

(usus buntu), agregat jaringan limfoid dilapisan dalam saluran pencernaan yang disebut
bercak peyer atau gut associated tissue (GALT), dan sumsum tulang (Gbr.12-1).
Jaringan-jaringan limfoid memiliki letak strategis untuk mencegat mikroorganisme

invasive sebelum mereka memiliki kesempatan untuk menyebar terlalu jauh. Sebagai
contoh, limfosit yang menempati tonsil dan adenoid berada ditempat yang strategis
untuk menyambut mikroba-mikroba yang masuk melalui inhalasi, sedangkan
mikro-organisme yang masuk melalui sistem pencernaan akan segera bertemu dengan

lomfosit di apendiks dan GALT. Pathogen-patogen potensial yang memperoleh akses ke

limfe disaring oleh kelenjar-kelenjar limfe, tempat mereka terpajan ke limfosit dan

makrofag yang melapisi bagian dalam saluran-saluran kelenjar limfe. Limpa, jaringan

limfoid terbesar, melakukan fungi imun terhadap darah serupa dengan fungsi yang

dilakukan oleh kelenjar limfe terhadap limfe. Melalui kerjannya pada populasi limfosit
dan makrofag, limpa membersihkan darah yang melewatinya dari berbagai

mikroorganisme dan benda asing lain serta mengeluarkam sel-sel darah merah yang
sudah aus (using). Timus dan sumsum tulang masing-masing berperan penting dalam

mengolah limfosit T dan B, untuk mempersiapkan sel-sel tersebut menjalankan

strategi-strategi imun spesifik mereka. Meringkaskan fungsi-fungsi utama berbagai

jaringan limfoid, yang sebagian dijelaskan di bab 11 dan sebagian akan dibahas di bab

ini.

Respon imun mungkin bersifat nonspesifik atau spesifik.

Respon imun diklasifikasikan sebagai respons imun nonspesifik atau spesifik, bergantung

pada derajat selektivitas mekanisme pertahanan. Respons imun nonspesifik adalah


proses pertahanan inheren yang secara nonspesifik mempertahankan tubuh dari invasi
benda asing atau abnormal dari jenis apapun, walaupun baru pertama kali terpajan.

Respons seperti ini membentuk lini pertama pertahanan terhadap berbagai factor yang

mengancam, termasuk agen infeksi, iritan kimiawi, dan cedera jaringan yang menyertai

trauma mekanis atau lika bakar. Respons imun spesifik, di pihak lain secara selektif
menyerang benda asing tertentu yang telah mereka temui sebelumnya. Respons-respons

spesifik ini diperantarai oleh limfosit, yang, setelah mendapatkan pajanan berikutnya ke
agen yang sama, mengenali dan secara diskriminatif melawan agen tersebut. Kita

mula-mula akan membahas respons nonspesifik sebelum berlanjut ke respons spesifik.

RESPONS IMUN NONSPESIFIK.


Pertahanan nonspesifik mencakup peradangan, interferon, sel natural killer, dan sistem

komplemen.
Pertahanan-pertahanan nonspesifik yang beraksi tanpa memandang apakah agen
pencetus pernah atau belum pernah dijumpai adalah:

1. Peradangan, suatu respons nonspesifik terhadap cedera jaringan, pada keadaan

ini spesialis-spesialis fagositik-neutrofil dan makrofag-berperan penting, disertai

bantuan dari sel-sel imun jenis ini.

2. Interferon, sekelompok protein yang secara nonspesifik mempeetahankan tubuh


terhadap infeksi virus.

3. Sel natural killer, sel jenis khusus mirip limfosit yang secara spontan dan relative
nonspesifik melisiskan (menyebabkan ruptur) dan menghancurkan sel pejamu

yang terinfeksi virus dan sel kanker.


4. Sistem komplemen, sekelompok protein plasma inaktif yang, apabila diaktifkan

secara sekuensial, menghancurkan sel asing dengan menyerang membranplasma.

Sistem komplemen dapat secara nonspesifik diaktifkan oleh adanya benda asing.

Sistem ini juga dapat diaktifkan oleh antibody yang dihasilkan sebagai bagian
dari respons imun spesifik terhadap mikro-organisme tertentu.

Kenyataan bahwa sistem komplemen terlibat dalam mekanisme pertahanan nonspesifik


dan spesifik memberi gambaran suatu hal penting. Berbagai komponem dalam sistem

imun melakukan ineraksi yang erat dan saking bergantung satu sam lain, sehingga

sistem ini sangat canggih dan efektif, tetapi juga rumit dan sulit dipilah-pilah. Dalam
pembahasan mengenai setiap komponen sistem imun juga akan dikemukakan

hubungan yang paling bermakna (signifikan) di antara sel-sel efektor imun. Sebagai
referensi lebih lanjut, apendiks C meringkaskan fungsi-fungsi imun utama dan interaksi.
Peradangan adalah respons nonspesifik terhadap invasi benda asing atau kerusakan

jaringan.

Peradangan mengacu kepada serangkaian proses nonspesifik inheren yang saling


berhubungan dan diaktifkan sebagai respon terhadap invasi benda asing, kerusakan
jaringan, atau keduanya. Tujuan akhir dari peradangan adalah untuk menarik protein
plasma dan fagosit ke tempat yang cedera atau terinvasi agar keduanya dapat (1)

mengisolasi, menghancurkan, atau menginaktifkan agen yang masuk; (2) membersihkan


debris; dan (3) mempersiapkan jaringan untuk proses penyembuhan dan perbaikan.
Respons peradangan secara keseluruhan sangatlah mirip apapun proses pencetusnya

(baik itu invasi bakteri, cedera kimiawi, atau trauma mekanis), walaupun terdapat

perbedaan-perbedaan ringan, bergantung pada penyebab dan lokasi kerusakan. Selama


respons peradangan biasanya dijumpai rangkaian kejadian berikut. Sebagai suatu

contoh , kita menggunakan invasi bakteri melalui kulit sebagai factor pencetus.

Pertahanan oleh makrofag jaringan residen. Ketika bakteri masuk ke tubuh melalui

suatu kerusakan di kulit, makrofag yang sudah berada di daerah tersebut segera

memfagosit mikroba-mikroba asing yang masuk tersebut. Walaupun biasanya tidak


terdapat dalam jumlah yang cukup untuk menghadapi serangan itu sendirian, makrofag

residen menahan infeksi selama periode sekitar satu jam pertama, sebelum mekanisme

lain dapat dimobilisasi. Makrofag biasanya bersifat agak stasioner, memakan debris dan
kontaminan yang ditemuinya, tetapi apabila diperlukan, sel-sel ini menjadi mobil dan

bermigrasi ke tempat-tempat pertempuran melawan agen invasive.

Vasodilatasi local hamper segera setelah invasi mikroba,arteriol di daerah tersebut

berdilatasi, sehingga terjadi peningkatan aliran darah ke tempat cedera. Vasodilatasi local
ini terutama disebabkan oleh histamine yang dikeluarkan ke jaringan yang rusak oleh sel

mast, sejenis sel yang terikat ke jaringan dan mirip dengan basophil darah. Peningkatan

penyaluran darah local tersebut menyebabkan lebih banyak leukosit fagositik dan protein
plasma (keduanya penting untuk respons pertahanan) yang tiba ditempat tersebut.

Peningkatan permeabilitas kapiler histamine yang dikeluarkan juga meningkatkan


permeabilitas kapiler dengan memperbesar pori-pori kapiler (ruang antara sel-sel

endotel), sehingga protein-protein plasma yang dalam keadaan normal tidak dapat

keluar dari pembuluh darah dapat lolos ke jaringan yang meradang. Edema local protein
plasma yang bocor dan tertimbun di cairan interstisium tersebut menimbulkan tekanan

osmotic koloid. Peningkatan tekanan osmotic local ini, yang disertai dengan peningkatan
tekanan darah kapiler akibat peningkatan aliran darah, cenderung mengingkatan filtrasi

dan menurunkan reabsorpsi cairan menembus kapiler yang bersangkutan. Hasil akhir

pengesesran keseimbangan cairan ini adalah edema local. Dengan demikian,


pembengkakan yang sering kita jumpai menyertai peradangan disebabkan oleh
perubahan-perubahan vaskuler yang diinduksi oleh histamine. Demikian juga,

manifestasi peradangan lain yang bersifat makro, misalnya kemerahan dan panas,
sebagian besar disebabkan oleh peningkatan aliran darah arteri yang hangat ke jaringan
yang rusak. Nyeri disebabkan oleh distensi local di dalam jaringan yang membengkak
dan oleh efek langsung zat-zat local diujung-ujung reseptor neuron aferen yang

mempersarafi daerah tersebut.ingatlah bahwa karakteristik proses peradangan yang

dapat diamatai ini merupakan kejadian yang berkebetulan dengan tujuan utama

perubahan vaskuler di daerah yang cedera untuk meningkatkan jumlah fagosit leukositik

dan protein plasma yang penting ke daerah tersebut.

Pembatasan daerah yang meradang protein plasma yang bocor yang paling penting
bagi respons imun adalah protein yang terlibat dalam sistem komplemen dan sistem

kinin(akan dijelakan kemudian) serta faktor Pembekuan dan anti pembekuan. Apabila
terpajan ke tromboplastin jaringan dijaringan yang cedera dank e zat-zat kimia spesifik

yang dikeluarkan oleh fagosit ditempat kejadian, fibrinogen, faktor akhir dalam sistem

pembekuan, diubah menjadi fibrin. Fibrin membentuk bekuan cairan interstisium

diruang-ruang sekitar bakteri pengivasi dan sel yang rusak. Pembatasan (pengenpungan)

daerah yang cedera dari jaringan yang sekitarnya ini mencegah atau atau paling tidak

memperlambat penyebaran bakteri dan produk-produk toksiknya. Kemudian,

faktor-faktor antipembekuan yang lebih lambat diaktifkan secara bertahap melarutkan


bekuan setelah bekuan tersebut tidak lagi diperlukan. Beberapa bakteri, misalnya

streptokokus, menghasilkan enzim-enzin yang bekerja pada plasminogen, suatu


precursor protei-plasma inaktif, dan mengubahnya menjadi plasmin, suatu enzim,
proteolitik yang melarutkan bekuan fibrin. Tindakan ini akan merusak proses pembatasan,

sehingga organism streptokokus ini dapat menyebar luas.


Emigrasi leukosit Dalam satu jam setelah cedera daerah yang terkena sudah dipadati
oleh leukosit yang keluar dari pembuluh. Neutrofil adalah sel yang pertama kali tiba,
diikuti dalam delapan sampai dua belas jam berikutnya oleh monosit yang bergerak lebih

lambat. Monosit membesar dan berubah menjadi makrofag dalam priode delapan

sampai dua belas jam berikutnya.


Emigrasi leukosit dari darah ke jaringan melibatkan proses marginasi, diapedesis,
gerakan amuboid, dan kemotaksis. Marginasi mengacu kepada melekatnya leukosit

darah, terutama neutrofil dan monosit, ke bagian dalam lapisan endotel kapiler
dijaringan yang terkena segera leukosit mulai keluar dengan mekanisme yang dikenal
sebagai diapedesis. Leukosit dengan mengambil perilaku mirip amuba. Menjulurkan
suatu tonjolan panjang-ramping menembus pori-pori kapiler, kemudian bagian sel

lainnya mengalir ke dalam tonjolan tersebut. Dengan cara ini leukosit mampu

menyelinap melalui pori-pori itu jauh lebih kecil daripada neutrofil dan bergerak seperti

amuba menuju ketempat kerusakan jaringan dan invasi bakteri. Neutrofil tiba ditempat

peradangan paling awal karena sel ini lebih mudah bergerak daripada monosit.

Migrasi sel-sel fagositik dipandu oleh gaya tarik mediator-mediator kimiwi tertentu,
atau kemotaksin, yang dikeluarkan ditempat kerusakn. Proses ini disebut sebagai

kemotaksis . Pengikatan kemotaksin dengan reseptor protein dimembran plasma sel


fagositik meningkatkan pemasukan Ca++ kedalam sel. Klasium kemudian mengaktifkan
perangkat kontraktil sel, sehingga sel merayap seperti amuba. Karena kosentrasi

kemotaksin secara progesif meningkat mendekati tempat cedera, sel-sel fagositik

bergerak secara tepat kearah tempat tersebut mengikuti gradient konsentrasi

kemotaksin.

Proliferasi leukosit Makrofag jaringan residden serta leukosit yang keluar dari
darah dan bermigrasi ke tempat peradangan segera disusul oleh sel-sel fagositik yang

baru rekrut dari susmsum tulang, dalam beberapa jam setelah awitan respons
peradangan, jumlah neutrofil dalam darah mungkin meningkat empat sampai lima kali
lipat daripada jumlah normalnya. Peningkatan ini sebagian disebabkan oleh pemindahan

sejumlah besar neutrofil yang sudah ada dari simpanan sumsum tulang ke darah dan

sebagian disebabkan oleh pembentukan neutrofil baru disumsum tulang. Juga terjadi

peningkatan pembentukan monosit yang berlangsung lebih lambat tetapi lebih bertahan
lama disumsum tulang, sehingga lebih banyak lagi tersedia sel-sel prekusor makrofag.

Selain itu,multiplikasi makrofag residen menambah simpanan sel-sel imun yang penting
ini. Ploliferasi neutrofil, monosit, dan makrofag baru serta mobilisasi simpanan neutrofil

dirangsang oleh berbagai mediator kimiawi yang dikeluarkan dari tempat peradangan.

Destruksi bakteri oleh leukosit Neutrofil dan makrofag membersihkan daerah yang
meradang dari zat-zat toksik dan infeksius serta debris jaringan, tindakan pembersihan

ini adalah fungsi primer respons peradangan. Kedua sel tersebut melakukan dengan cara
fagositik dan nonfagositik.

Fagositosis melibatkan pencaplokan dan degradasi (penguraian) intrasel partikel

asing dan debris jaringan. Makrofag dapat memakan sebuah bakteri dalam waktu kurang

dari 0,01 detik. Sel-sel fagositik memiliki banyak lisosom, yaitu organel yang berisi

enzim-enzim hidrolitik (jenis yang sama dengan yang menguraikan makanan disaluran

pencernaan). Setelah sebuah fagosit memasukan benda sasaran, terjadi fusi lisosom
dengan membrane yang membungkus benda tersebut dan lisosom mengeluarkan

enzim-enzim hidrolitiknya kedalam vesikel yang terbungkus membrane tersebut, sehigga


benda yang terperangkap bisa diuraikan. Banyak produk penguraian yang terbentuk

merupakan senyawa-senyawa organic dengan berat molekul rendah, misalnya asam


amino dan glukosa, yang dapat digunakan oleh sel fagositik itu sendiri atau, pada

kasus makrofag, dikeluarkan ke cairan ekstrasel untuk digunakan ditempat lain.

Partikel-partikel anorganik yang tidak dapat diuraikan namun sudah ditelan

(misalnya debu, partikel logam, atau xat warna tato) biasanya disimpan tanpa batas

waktu didalam sel fagositik. Pada kenyataannya, bakteri tertentu, terutama penyebab
tuberculosis, dapat dimakan tetapi tidak dapat dihancurakan karena bakteri ini resisten

terhadap zay-zat kimiawi lisosom. Organism ini dapat bertahan hidup dalam fagosit

selama beberapa tahun dan tidak menimbulkan efek yang jelas Karena terperangkap
dalam kapsul fibrosa. Organism tersebut baru menimbulkan penyakit apabila dibiarkan

lolos. Struktur yang sedikit banyak berdinding tersebut dikenal sebagai granuloma.

Fagosit akhirnya mati akibat akumulasi produk-produk sampingan toksik dari

penguraian benda asing atau pengeluaran secara tidak sengaja zat-zat kimia lisosom

kedalam sitosol. Neutrofil biasanya mati setelah memfagositosis lima sampai dua puluh
lima bakteri, sedangkan makrofag bertahan hidup lebih lama dan dapat memakan

sampai lebih dari seratus bakteri. Makrofag yang hidup lebih lama itu bahkan
membersihkan daerah peradangan dari neutrofil yang mati selain debris jaringan lainnya,

Pus (nanah) yang terbentuk pada luka terinfeksi adalah kumpulan dari sel-sel fagositik

ini, baik yang hidup maupun yang mati; jaringan nekrotik (mati) dicairkan oleh
enzim-enzim lisosom yang dikeluarkan oleh sel fagositik; dan bakteri.

Jelaslah, fagosit harus mampu membedakan antara sel normal dan se lasing atau
abnormal sebelum menjalankan misi destruktifnya. Apabila tidak, mereka tidak dapat
secara selektif menghancurkan zat-zat yang tidak diinginkan. Terdapat beberapa

prosedur selektif yang memungkinkan fagosit “mengenali” sasarn untuk dihancurkan.

Pertama, jaringan mati dan banyak benda asing memiliki karakteristik permukaan yang
berbeda dengan sel tubuh normal. Sebagai contoh, kekasaran permukaan yang terjadi

akibat cedera traumatic meningkatkan kemungkinan fagositosis debris sel. Kedua,

partikel asing secara sengaja ditandai untuk difagositosis dengan melapisinya dengan

mediator-mediator kimiawi yang dihasilkan oleh sistem imun. Zat-zat kimia yang

dihasilkan oleh sistem imun yang menyebabkan bakteri menjadi lebih rentan dikenal
sebagai opsonin. Opsonin yang paling penting adalah antibody dan salah satu protei

sistem komplemen yang sudah diaktifkan.

Suatu opsonin meningkatkan fegositosis dengan cara menghubungkan sel-sel asing

dengan sel-sel fagositik. Salah satu bagian molekul opsonin berikatan secara nonspesifik

dengan permukaan bakteri invasive, sementara bagian lain dari molekul opsonin tersebut

berikatan dengan tempat reseptor yang spesifik untuknya dimembran plasma sel
fagositik. Hubungan ini memastikan bahwa korban bakteri tersebut tidak memiliki

kesempatan untuk “melarikan diri” sebelum fagosit dapat melaksanakan serangan

mematikannya.

Mediasi respons peradangan aleh zat kimia yang dikeluarkan fagosit fagosit yang

dirangsang oleh mikroba menghasilkan banyak zat kimiawi, yang berfungsi sebagai
mediator respons peradangan. Mediator-mediator kimiawi ini menginduksi berbagai

aktivitas imun yang saling berkaitan, bervariasi dari respons local sampai manifestasi
sistemik yang menyertai invasi suatu mikroba. Berikut ini adalah sebagian fungsi

terpenting sekresi fagositik :

1. Sebagian zat kimia, yang sangat destruktif, secara langsung mematikan mikroba
yang belum difagosit. Sebagai suatu cara destruksi yang lebih samar, neutrofil
mengeluarkan laktoferin suatu protei yang mengikat erat besi, sehingga tidak
tersedia besi untuk digunakan oleh bakteri. Multiplikasi bakteri bergantung pada

ketersediaan kadar besi yang tinggi. Dengan demikian, fagosit mampu


menghancurkan benda asing yang masuk melalui cara-cara fagositik maupun
nonfagositik.

2. Sekresi fagositik merangsang pengeluaran histamine dari sel mast di

sekitarnya. Histamin kemudian menginduksi vasodilatasi local dan meningkatkan


permeabilitas vaskuler yang menyertai peradangan.

3. Sekresi fagositik mencetuskan sistem pembekuan dan antipembekuan untuk

mula-mula meningkatkan proses pengepungan dan kemudian mempermudah

disolusi gradual bekuan fibrosa setelah bekuan tersebut tidak lagi diperlukan.

4. Sekresi fagositik memecah kininogen, yaitu protein plasma prekusor inaktif yang
disintesis dihati, menjadi kinin yang aktif. Kalikrein, yang dihasilkan oleh neutrofil,

dapat melaksanakan pengaktifan ini. Setelah kaliklerin menghasilkan kinin, kinin

akan meningkatkan sebagai proses peradangan. Secara spesifik kinin


a) Merangsang beberapa langkah penting dalam sistem komplemen.

b) Memperkuat perubahan vaskuler yang dicetuskan oleh histamine.

c) Mengaktifkan reseptor-reseptor nyeri disekitarnya, sehingga bikut

berperan menimbulkan nyeri yang berkaitan dengan peradangan.


d) Berfungsi sebagai kemotksin kuat untuk menginduksi migrasi fagosit

kedaerah yang terkena. Melalui mekanisme umpan balik positif, neutrofil

yang baru datang mengeluarkan kalikrein, yang menghasilkan lebih


banyak kinin yang secara kemotaksin menarik lebih banyak neutrofil

untuk ikut bertempur.


5. Sekresi fagositik menginduksi timbulnya demam, terutama melalui pelepasan

pirogen endogen (endogenous pyrogen EP). Reseptor ini terutama terjadi

apabila organisme invasive telah masuk ke dalam aliran darah. Pirogen


endogen diyakini menyebabkan pengeluaran prostaglandin, suatu perantara

kimiawi local, didalam hipotalamus yang “menikkan thermostat”hipotalamus


yang mengatur suhu tubuh. Fungsi peningkatan suhu tubuh dalam melawan

infeksi masih belum jelas. Kenyataan bahwa demam merupakan gejala sistemik

peradangan yang sedemikian sering dijumpai mengisyaratkan bahwa suhu tubuh


yang lebih tinggi berperan penting dalam respons peradangan keseluruhan.
Bukti-bukti terakhir sangat menunjang anggapan ini. Sebagai contoh, suhu yang

lebih tinggi meningkatkan proses fagositis dan meningkatkan kecepatan aktivitas


peradangan yang bergantung pada enzim. Salah satu teori berpendapat bahwa
peningkatan suhu tubuh meningkatkan kebutuhan bakteri akan besi sekaligus
menurunkan konsentrasi besi dalam plasma. Defisiensi besi yang terjadi, menurut

teori ini, menggangu multiplikasi bakteri. Masalah kontrovensial apakah demam

itu dapat bermanfaat perlu sekali dituntaskan Karena sedemikian meluasnya

penggunaan obat-obat yang menekan demam (antipiretik). Walaupun demam

ringan mungkin bermanfaat, tidak diragukan lagi bahwa demam yang sangat

tinggi dapat merusak, terutama pengaruhnya pada susunan saraf pusat. Tidak
jarang anak-anak, yang mekanisme pengontrol suhunya belum berkembang

sempurna (stabil) seperti orang dewasa, mengalami kejang akibat demam tinggi.
6. Sekresi fagositik menurunkan konsentrasi besi dalam plasma dengan

mengganggu metabolisme besi dalam hati, limpa, dan jaringan lain, sehingga

ketersediaan besi untuk menunjang multiplikasi bakteri berkurang.

7. Sekresi fagositik merangsang granulopoiesis, sintesis dan pelepasan neutrofil

dan granulosit lain oleh sumsum tulang. Efek ini sangat penting dalam respons

terhadap infeksi bakteri.

8. Sekresi fagositik merangsang, mengeluarkan protein fase akut dari hati.


Kumpulan protein ini, yang belum dipilah-pilah oleh para ilmuan, menimbulkan

berbagai efek yang berkaitan dengan proses peradangan, perbaikan jaringan,


dan aktivitas sel imun. Ketika efek terakhir (reduksi besi plasma, peningkata
granulopoiesis, dan pengeluaran protein fase akut) semuanya disebabkan oleh

mediator endogen leukosit (leukocty endogenous mediator )suatu mediator

kimiawi yang disekresikan oleh makrofag. Bukti-bukti mengisyaratkan bahwa


LEM dan EP merupakan zat yang sama atau paling sedikit berhubungan sangat

erat.
9. Sekresi itu meningkatkan proliferasi dan diferensiasi limfosit B dan T, yang pada

gilirannya, berturut turut, berperan menghasilkan antibody dan imunitas seluler.

Secara spesifik, interleukin 1 (IL-1), suatu produk skretorik yang dikeluarkan oleh
makrofag, berperan menimbulkan efek ini pada limfosit. Yang menarik,IL-1
identik (atau berkaitan erat) dengan EP dan LEM. Tampaknya, zat kimia yang

sama menyebabkan berbagai efek diseluruh tubuh, yang semuanya ditunjukan


untuk mempertahankan tubuh dari infeksi atau cedera jaringan. Pada
kenyataannya. Pengeluaram EP/LEM/IL-1 dapat dipicu oleh keadaan-keadaan
penuh stress yang tidak berkaitan dengan invasi mikroba (sebagai contoh,

selama olahraga ketahanan tubuh). Dengan sedemikian, mediator ini mungkin

merupakan bagian dari respons protektif nonspesifik umum.

Daftar proses yang ditingkatkan oleh zat-zat kimia yang dikeluarkan oleh fagosit ini

belum lengkap, tetapi hal ini menggambarkan betapa luas dan kompleks nya respons

yang dicetuskan oleh mediator-mediator itu. Seperti segera akan terlihat, terdapat
intraksi makrofag limfosit lain yang penting yang tidak bergantung pada pengeluaran

zat-zat kimia dari sel fagositik. Dengan demikian,efek fagosit, terutama makrofag, pada

mikroba jauh dari sekedar taktik “makan dan hancurkan” yang mereka perlihatkan.

Perbaikan jaringan tujuan akhir proses peradangan adalah untuk mengisolasi dan

menghancurkan zat-zat perusak dan untuk membersihkan daerah tersebut agar dapat

dilakukan perbaikan jaringan. Disebagian jaringan (sebagai contoh, kulit, tulang dan hati),
sel-sel spesifik organ yang masih sehat disekitar tempat cedera mengalami pembelahan

sel untuk mengganti sel-sel yang hilang, sehingga perbaikannya sering sempurna.

Namun dijaringan yang bersifat nonregeneratif, misalnya saraf dan otot, sel-sel yang

hilang diganti oleh jaringan parut. Fibrolas, sejenis sel jaringan ikat, mulai membelah
secara cepat disekitr tempat cedera mengaeluarkan sejumlah besar protein kolagen.
Yang mengisi bagian yang ditinggalkan oleh sel yang hilang dan menyebabkan

terbentuknya jaringan parut. Bahkan dijaringan yang mudah diganti seperti kulit, jaringan

parut kadang-kadang terbentuk jika struktur-struktur kompleks dibawahnya, misalnya

folikel rambut dan kelenjar keringat, mengalami kerusakan permanen akibat luka dalam.
Silsilat dan glukokortikoid menekan respons peradangan

Berbagai obat dapat menekan proses peradangan; yang paling adalah slisilat dan

senyawa terkaitnya (obat jenis aspirin) dan glukokortikoid (obat yang mirip dengan
hormon steroid kortisol yang dihasilkan oleh korteks adrenal). salisilat mengganggu

respon peradangan dengan menurunkan pengeluaran histamin, sehingga terjadi

penurunan pembengkakakn, kemerahan, dan nyeri. Selain itu, salisilat menurunkan


demam dengan menghambat pembentukan prostaglandin, mediator lokal pada demam
yang disebabkan oleh EP.

Glukokortikoid, yaitu obat anti-inflamasi yang poten, menekan hampir semua aspek
respons peradangan. Selain itu, glukokortikoid menghancurkan limfosit di dalam jaringan

limfosid dan menurunkan produksi antibodi. Obat golongan ini bermanfaat untuk

mengobati respon imun yang tidak diinginkan, misalnya reaksi alergi (sebagai contoh,

asma dan ruam poison ivy) dan peradangan yang berkaitan dengan atritis. Namun,

dengan menekan respon peradangan dan respon imun lain yang melokalisasi dan

mengngeliminasi bakteri, terapi dengan obat ini juga menurunkan kemampuan tubuh
menahan infeksi. Karena itu, glokokortikoid jangan diberikan secara sembarangan.

Dalam hal ini, bagaimana peran normal hormon korteks adrenal kortisol? Apakah

sekresi kortisol kontra-produktif bagi sistem pertahanan imun? Secara tradisional,

kortisol tidak dianggap memperlihatkan aktivitas anti-inflamasi yang bermakna pada

konsentrasi normal di dalam darah. Efek anti-inflamasi hanya ditemukan oleh

glukokortikoid pada kabar farmakologis (yaitu, pada konsentrasi dalam darah yang
ditimbulkan oleh pemberian obat mirip-kortisol yang lebih tinggi dari pada rentang
fisiologis normal). Namun, hipotesis terbaru mengisyaratkan bahwa kortisol, yang

sekresinya meningkat sebagai respons terhadap situasi penuh stres apapun,

menimbulkan efek anti-inflamasi bahkan pada kadar fisiologis. Menurut teori ini, efek
anti-inflamasi kortisol memodulasi respon imun yang diaktifkan oleh stres, mencegah

respons-respons tersebut bekerja berlebihan, sehingga melindungi kita dri kerusakan

akibat mekanisme pertahanan yang berlebihan.


Interferon secara sementara menghambat multiplikasi virus di sebagaian besar sel

Selain respons peradangan, mekanisme pertahanan non-spesifik lain adalah pengeluaran

interferon dari sel-sel yang terinfeksi virus. Interferon secara singkat menghasilkan
resistensi nonspesifik terhadap infeksi virus dengan secara sementara menghambat
replikasi virus yang sama atau virus terkait lainnya di sel pejamu lain. Sewaktu virus
menginvasi sebuah sel, keberadaan asam nukleat virus menginduksi perangkat genetik

sel untuk membentuk interferon, yang kemudian dikeluarkan ke dalam cairan ekstrasel.

Setelah dilepaskan, interferon berikatan dengan reseptor di membran plasma sel-sel


di sekitarnya atau bahkan sel dari tempat dari tempat yang jauh yang dicapai melalui

alkran darah, dan memberi sinyal agar sel-sel tersebut mempersiapkan diri terhadap

kemungkinan serangan virus. Interferon tidak memiliki efek antivirus langsung; zat ini

memicu pembentukan enzim-enzim penghambat virus oleh sel pejamu. Pengikatan

dengan interferon menginduksi sel-sel lain ini untuk membentuk enzim-enzim yang
dapat merusak RNA messenger virus dan menghambat sintesis protein, yang keduanya

esensial bagi replikasi virus dan menghambat sintesis protein, yang keduanya esensial
bagi replikasi virus. Walaupun masih mampu menginvasi sel-sel yang sudah diberitahu

tersebut, virus tidak mampu mengatur sistesis protein sel untuk replikasi mereka sendiri.

Enzim-enzim inhibitor yang baru dibentuk ini tetap inaktif di dalam sel-sel pejamu
sampai sel-sel tersebut kemudian dimasuki oleh virus, pada saat itu enzim menjadi aktif

oleh keberadaan asam nukleat virus. Perlunya pengaktifan tersebut melindungi RNA

messenger dan perangkat pembentuk protein sel dari inhibisi yang tidak perlu oleh

enzim-enzim tersebut apabila tidak terjadi invasi virus. Karena pengaktifan hanya dapat
berlangsung dalam jangka waktu terbatas, hal ini merupakan makanisme pertahanan

jangka-pendek.

Interferon dikeluarkan secara nonspesifik dari setiap sel yang teinfeksi oleh semua

jenis virus dan, pada gilirannya, selama beberapa saat dapat menginduksi aktivitas
proteksi-diri terhadap banyak jenis virus di setiap sel yang dicapai oleh interferon

tersebut. Dengan demikian, interferon merupakan suatu strategi pertahanan yang

dengan cepat berespons dan bersifat umum terhadap invasi virus sampai mekaisme

imun yang lebih spesifik namun lebih lambat beraksi.


Selain mempermudah inhibisi replikasi virus, interferon juga memperkuat aktivitas

imun lain. Sebagai contoh, interferon meningkatkan aktivitas fegositik makrofag dan
merangsang pembentukan aktibodi. Interferon juga memiliki efek antikanker selain efek

antivirus. Untungnya, efek antikankernya tidak terbatas pada jenis kanker akibat virus.

Sebagian besar jenis kanker pada manusia tidak disebabkan oleh virus. Interferon sangan
meningkatkan kerja sel-sel pembunuh - sel natural killer dan jenis khusus limfost T, yaitu
sel T sitotoksis - yang menyerang dan menghancurkan sel yang terinfeksi virus dan sel

kanker. Selain itu, interferon itu sendiri memperlambat pembelahan sel dan menekan
pertumbuhan tumor.

Penemuan efek antivirus dan antikanker interferon menimbulkan harapan dn

antisipasi mengenai peran potensialnya sebagai senjata ajaib melawan segala musuk dari
virus flu biasa sampai kanker invasif yang fatal. Namun, selama seperempat abad setelah

penemuannya pada tahun 195, para pakar tidak mungkin dapat mengumpulkan iterferon

mausia dalam jumlah yang cukup banyak untuk dilakukan penelitian mengenai

kemungkinan pemakaian terapetiknya. (Interfron bersifat spesifik-spesies; setiap spesies

hewan tinggi menghasilkan sejenis interferon yang hanya mampu menimbulkan proteksi
terhadap makhluk lain dari spesies yang sama). selama dekade terakhir, kemajuan

teknologi memungkinkan para peneliti memasukkkan gen inerferon manusia ke dalam

gen bakteri, sehingga bakteri ini kemudian memproduksi interferon manusia. Melalui
teknologi DNA rekombinan ini, bakteri dapat diubah menjadi “pabrik” interferon untuk

memproduksi zat penting ini secara komersial dalam skala besar. Saat ini banyak riset

yang dilakukan untuk memproduksi zat penting ini secara komersial dalam skala besar.

Saat ini banyak riset yang dilakukan untuk menentukan potensi efektivitas interferon
dalam mengobati penyakit virus dan kanker. Penelitian diarahkan untuk pengobatan dan

bukan pencegahan, karena secara ekonomis kita tidak mungkin secara terus menerus

mmperthankan kadar proventif sementara. Namun, walaupun interferon saat ini sudah
berhasil digunakan untuk mengobati satu bentuk leukemia fatal yang jarang terjadi,

penelitian-penelitian lain belum memberi hasil seperti yang diharapkan.

Sel natural killer menghancurkan sel yang terinfeksi virus dan sel kanker pada

perjumpaan pertama mereka.


Sel natural killer yang terjadi secara alamiah, adalah sel-sel mirip-limfosit yang secara

nonspesifik menghancurkan sel yang terinfeksi virus dan sek kanker dengan secara
langsung melisiskan membran sel-sel tersebut pada sat pertama kali berjumpa. Cara

kerja sel ini dan sasaran utamanya hanya dapat mematikan sel-sel terinfeksi virus atau sel

kanker jenis tertentu yang pernah dijumpai oleh sel tersebut. Selain itu, setelah terpajan,
sel T sitotoksik memerlukan periode pematangan sebelum mampu melancarkan
serangan yang mematikan. Sel natural killer membentuk perthanan yang bersifat segera

dan nonspesifik terhadap sel yang terinfeksi virus dan sel kanker sebelum sel T sitotoksik
yang lebih spesifik dan lebih banyak berfungsi.

Sistem komplemen mematikan mikroorganisme secara langsung sendiri atau dengan

bekerja sama dengan antibodi pada sat memperkuat respons peradangan


Sistem komplemen adalah mekanisme pertahanan lain yang diaktifkan secara

nonspesifik sebagai respons terhadap invasi organisme.sistem ini juga dapat diaktifkan

oleh antibodi sebagai bagian dari strstegi imun spesifik. Pada kenyataannya, sistem ini

mendapatkan namanya dari fakta bahwa sistem tersebut melengkapi (complement) kerja

antibodi, yaitu mekanisme primer yang diaktifkan oleh antibodi untuk mematikan sel-sel
asing.

Seperti tradisi pada sistem pembekuan dan antipembekuan serta sistem kinin, sistem

komplemen terdiri dari protein-protein plasma yang dihasilkan oleh hati dan beredar

dalam darah dalam bentuk inaktif. Setelah komponen pertama, C1, diaktifkan, komponen

tersebut akan mengaktifkan komponen berikutnya, C2, dan demikian seterusnya, dalam

suatu jenjang reaksi pengaktifan. Lima komponen terakhir C5 sampai C9, membentuk
kompleks protein besar seperti donat, membrane attack complex, yang menyerang

membran permukaan mikroorganisme di dekatnya dengan membenamkan dirinya,

sehingga terbentuk sebuah saluran besar di membran permukaan mikroba tersebut.

Teknik membolongi ini menyebabkan membran bocor, terjadi fliks osmotik air ke dalam
sel korban, sehingga sel tersebut membengkak dan pecah. Lisis yang diinduksi oleh
komplemen ini adalah cara utama pembunuhan mikroba tanpa proses fagositosis.

Jenjang komplemen dapat diaktifkan melalui dua cara: (1) dengan memajankannya

ke rantai karbohidrat tertentu yang terdapat di permukaan mikroorganisme, tetapi tidak


terdapat di sel manusia (jalur alternatif, respon imun nonspesifik) dan (2) dengan

memajankannya ke antibodi yang dibentuk untuk melawan zat asing tertentu (jalur klasik,
respon imun spesifik). Melalui keduanya, pengaktifan sistem komplemen menyebabkan

lisis langusng mikroba penginvasi dan penguatan respons peradangan umum lainnya.

Tidak seperti sistem berjenjang lainnya, yang satu-satunya fungsi berbagai


komponenya adalah pengaktifan prekursor berikutnya dalam jenjang, beberapa protein

dalam jenjang komplemen juga melakukan fungsi penting lain. Selain destruksi lengsung
sel asing yang dilakukan oleh membrane attack comlex, berbagai komponen komplemen
yang sudah aktif juga memperkuat proses peradangan dengan (1) berfungsi sebagai

kemotaksin, yang menarik adan mengarahkan fagosit kemotaksin, yang menarik dan

mengarahkan fagosit profesional ke tempat pengaktifan komlemen (yaitu, tempat invasi


mikroba; (2) bekerja sebagai opsonin dengan berikatan dengan mikroba, sehingga

fagositosis menjadi lebih mudah; (3) meningkatkan vasodilatasi dan permeabilitas

vaskuler untuk meningkatkan aliran darah ke tempat invasi; (4) merangsang pengeluaran

histamin dari sel-sel mast di sekitarnya, yang kemudian meningkatkan perubahan

vaskuler lokal khas untuk peradangan dan (5) mengaktifkan kinin, yang semakin
memperkuat reaksi peradangan.

RESPON IMUN SPESIFIK

KONSEP UMUM

Respon imun spesifik mencakup imunitas yang diperantai oleh antibodi yang

dilaksanakan oleh turunan limfosit B dan imunitas yang diperantai oleh sel yang

dilaksanakan oleh limfosit T.

Respons imun spesifik adalah serangan selektif yang ditujukan untuk membatasi atau
menetralisasi sasaran tertentu yang oeleh tubuh telah dipersiapkan untuk dihadapi

karena tubuh sebelumnya sudah pernah terpajan ke sasaran tersebut. Terdapat dua kelas

respons imun spesifik: imunitas yang diperantarai oleh antibodi atau imunitas humoral
yang melibatkan pembentukan antibodi dan turunan limfosit B yang dikenal sebagai sel

plasma dan imunitas yang diperantarai oleh sel atau imunitas seluler yang melibatkan
pembentukan limfosit T aktif yang secara langsung menyerang sel-sel yang tidak

diinginkan.
Limfosit B dan T (sel B dan T) memiliki riwayat hidup yang berbeda dan, yang lebih

penting, sifat dan fungsi yang juga berbeda. Kedua jenis limfosit, seperti semu sel darah
lainnya, berasal dari sel bakal yang sama di sumsum tulang. Selama masa janin dn pada

masa kanak-kanak dini, sebagian limfosit imatur bermigrasi melalui darah ke timus,

tempat sel-sel tersebut mengalami pengolahan lebih lanjut untuk menjadi limfosit T.
Timus adalah suatu jaringan limfoid yang terletak di garis tengah suatu jaringan limfoid
yang terletak di garis tengah di dalam rongga dada di atas jantung dlam ruang di antara

kedua paru. Limfost yang matang tanpa memperoleh “pendidikan dari timus” menjadi
limfosit B. limfosit B pertama kali diemukan pada burung, tempat proses pematangannya
berlangsung di jaringan limfoid terkait-usus yang khas untuk burung, yaitu bursa
Fabrisius, dari sinilah berasal nama limfosit B. Pada manusia, tempat pematangan dan

diferensiasi sel B masih belum jelas, walaupun secaa umum diperkirakan berlangsung di

sumsum tulang.

Setelah dikeluarkan ke dalam darah dari sumsum tulang atau timus, sel B dan T

matang berdiam di jaringan limfoid parifer untuk membentuk koloni. Di sini, stelah

mendapat stimulasi yan tepat, sel-sel tersebut mengalami pembelahan untuk


menghasilkan generaasi baru sel B atau T, tergantung pada nenek moyang mereka.

Setelah masa kanak-kanak ini, sebagian besar limfosir baru berasal dari koloni limfosir

prifer ini dan bukan dai sumsum tulang.

Peran timus sampai sekarang masih tidak diketahui karena pengangkatan timus

pada orang dewasa tidak menimbulkan pengaruh yang jelas. Karena sebagian besar

migrsi dan diferensiasi sel T berlangsung pada masa perkembangan dini, timus secara
bertahap mengalami atrofi dan menjadi kurang penting seiring dengan semakin

dewasanya individu. Namun, timus tetap menghasilkan timosin, suatu hormon yang

penting untuk mempertahankan turunan sel T. Timosin meningkatka proliferasi sel T baru

di dalam jaringan limfois perifer dan memperkuat kemampuan imunologik sel-sel T yang
sudah ada.

Limfosit mampu mengenali secara spesifik dan berespons secara selektif terhadap

berbagai agen asing yang jenisnya hampir tidak terbatas serta terhadap sel kanker.

Proses pengenalan dan respons pada sel B dan T berbeda. Secara umum, sel-sel B
mengenali benda-benda asing yang berada dalam keadaan bebas, misalnya bakteri dan

toksin serta beberapa virus, yang mereka lawan dengan mengeluarkan antibodi spesifik
terhadap benda asing tersebut. Sel T mengkhususkan diri mengenali dan

menghancurkan sel-sel tubuh yang mengalami kekacauan, termasuk sel yang terinfeksi

virus dan sel kanker.

Suatu antigen menginduksi respon imun terhadap dirinya sendiri

Baik sel B maupun sel T, keduanya harus mampu secara spesifik mengenali sel-sel dan
benda lain yang tidak dibutuhkan untuk dihancurkan atau dinetralisasi karena berbeda
dari sel-sel diri yang normal. Pembedanntersebut dimungkinkan dengan adanya antigen.
Antigen adalah molekul kompleks berukuran besar yang mencetuskan respon imun

spesifik terhadap dirinya sendiri apabila antigen tersebut masuk ke dalam tubuh. Secara

umu, semakin kompleks suatu molekul, semakin besar antigenitasnya. Protein asing

adalah antigen yang paling sering dijumpai karena ukuran dan kompleksitasnya.

Walaupun makromolekul lain, misalnya polisakarida, juga dapat berlaku sebagai antigen.

Antigen dapat berada sebagai molekul tersendiri, misalnya toksin bakteri, atau
merupakan bagian integral dari sebuah struktur makromolekul, misalnya antigen yang

terdapat dipermukaan mikroba asing. Antigen kompleks mungkin memiliki banyak


tempat penentu antigen (antigenic determinant sites), yang masing-masing mampu

merangsang produksi dan berinteraksi dengan antibodi yang berbeda-beda.

Banyak substansi organik berberat molekul rendah yang tidak bersifat antigenik

dapat menjadi antigen apabila melekat ke potein tubuh. Molekul kecil seperti itu dikenal
sebagai hapten. Antibodi yang terbentuk terhadap kombinasi hapten-protein kemudian
dapat bereaksi dengan hapten saja apabila hapten tersebut masuk kembali ke dalam

tubuh. Contoh hapten adalah toksin poison ivy, berbagai obat (misalnya penisilin), dan

zat-zat lain yang sebenarnya tidak berbahaya, tetapi dapat memicu respons imun
berlebihan yang dikenal sebagai alergi pada individu yang tersensitisasi.
LIMFOSIT B : IMUNITAS YANG DIPERANTAI ANTIBODI

Antibodi memperkuat respons peradangan untuk meningkatkan destruksi antigen yang


merangsang produksi mereka.

Setiap sel B dan sel T memiliki reseptor di permukaannya untuk mengikat salah satu
jenis antigen. Pada kasus sel B, pengikatan dengan suatu antigen akan menyebabkan sel
berdiferensiasi menjadi sel plasma, yang menghasilkan antibodi yang mampu berikatan

dengan jenis antigen yang merangsang pembentukan antibodi itu. Selama


berdiferensiasi menjadi sel plasma, limfosit B membengkak karena retikulum endoplasma
kasar (tempat sintesis protein yang akan dikeluarkan) sangat berkembang. Karena

antibodi adalah protein, sel-sel plasma pada dasarnya menjadi pabrik protein yang

produktif, menghasilkan sampai dua ribu molekul antibodi perdetik. Sedemikian


besarnya komitmen perangkat pembuat protein di sel plasma untuk menghasilkan

antibodi membuat sel tersebut bahkan tidak mampu mempertahankan sintesis protein

kelangsungan hidup dan pertumbuhan sendiri. Akibatnya, sel p mati dalam rentang usia

lima sampai tujuh hari.

Antibodi dikeluarkan ke dalam darah atau limfe, bergantung pada lokasi sel plasma

yang aktif, tetapi semua antibodi pada akhirnya memperoleh akses ke darah, tempat
mereka dikenal sebagai globulin gamma atau imunoglobulin. Menurut perbedaan dalam

aktivitas biologis, antibodi dikelompokkan menjadi lima subkelas.

- Imunoglobulin IgM, berfungsi sebagai reseptor permukaan sel B untuk tempat

antigenn melekat dan disekresikan dalam tahap-tahap awal respons sel plasma.

- IgG, imunoglobulin yang paling banyak di dalam darah, dihasilkan dalam jumlah
besar ketika tubuh terpajan ulang ke antigen yang sama.

Bersama-sama, antibodi IgG dan IgM bertanggung jawab bagi sebagian besar

respons imun spesifik terhadap bakteri dan beberapa jenis virus.

- IgE, adalah mediator antibodi untuk respons alergi, misalnya hay fever, asma,
dan biduran.

- Imunoglobulin IgA, ditemukan dalam sekresi sistem pencernaan, pernapasan,

dan genitourinaria, serta di dalam air susu dan air mata.


- IgD, terdapat di permukaan sel B, tetapi fungsinya masih belum jelas.

Perlu dicatat bahwa klasifikasi ini didasarkan pada cara-cara antibodi berfungsi. Ini

tidak bearti bahwa hanya terdapat lima antibodi yang berbeda. Di dalam setiap subkelas
fungsional tersebut, terdapat jutaan antibodi yang berbeda, yang maisng-masing hanya
dapat berikatan dengan satu jenis antigen khusus.

Protein antibodi dari kelima sebkelas tersebut terdiri dari empat rantai polipeptida

yang saling berhubungan - dua rantai panjang yang berat dan dua rantai pendek yang
ringan - yang tersusun seperti huruf Y. Karakteristik daerah lengan Y menentukan dengan
antigen mana antibodi dapat diikat (yaitu, spesifisitas antibodi yang bersangkutan). sifat

bagian ekor antibodi, di pihak lain, menentukan sifat fungsional antibodi (apa yang

dilakukan antibodi setelah berikatan dengan antigen). Sebuah antibodi memiliki dua

tempat pengikat yang identik, satu di ujung setiap lengan. Fragmen pengikat antibodi ini

(antibody binding fragment. Fab) khas untuk setiap antibodi, sehingga setiap antibodi
hanya dapat berinteraksi dengan satu jenis antigen yang secara spesifik cocok

dengannya, seperti kunci dan anak kunci.variasi yang luar biasa dalam fragmen-fragmen
tempat pengikatan antigen ini membentuk sejumlah besar antibodi yang mampu

berikatan secara spesifik dengan jutaan jenis antigen.

Berbeda dengan darah Fab di ujung lengan yang bervariasi, bagian ekor setiap
antibodi dalam setiap subkelas identik satu sama lain. Bagian ekor, yang disebut daerah

konstan (constant region, Fc) antibodi, mengandung tempat pengikatan untuk

mediator-mediator tertentu aktivitas yang diinduksi oleh antibodi, yang bervariasi sesua

tap-tiap subkelas. Pada kenyataannya, perbedaan di daerah konstan merupakan dasar


untuk membedakan subkelas-subkelas antibodi. Sebagai contoh, daerah konstan

antibodi IgG, apabila diaktfkan oleh pengikatan antigen di daerah Fab, akan berika

dengan sel fagositik dan berfungsi sebagai opsonin untuk meningkatkan fagositosis.
Sebaliknya, daerah konstan antibodi IgE berikatan dengan sel mast dan basofil, walaupun

tidak terdapa antigen. Apabila antigen atau hapten yang sesuai masuk ke dalam tubuh
dan berikatan dengan antibodi yang sudah melekat ke sel tersebut, pengikatan tersebut

akan mencetuskan pengeluaran histamin dari sel mast dan basofil yang bersangkutan.

Histamin kemudian mencetuskan manifestasi alergi.


Imunoglobulin tidak dapat menghancurkan organisme asing atau benda yag tidak

diinginkan secara langsung setelah berikatan dengan antigen di permukaan organisme


tersebut. Bahakan antibodi menjalankan efek protektifnya melalui dua cara umum:

merintangi antigen secara fisik dan penguatan respons imun nonspesifik.

Antibodi secara fisik menghalangi sebagian antigen menimulkan efek yang


merugikan. Sebagai contoh, dengan mengikat toksin bakteri, antibodi dapat mencegah

zat kimia berbahaya ini berinteraksi dengan sel yang rentan. Proses ini dikenal sebagai
netralisasi. Demikian juga, antibodi dapat mengikat antigen-antigen permukaan
beberapa jenis virus, sehingga virus-virus tersebut tidak dapat masuk ke dalam sel dan

menimbulkan efek yang merugikan. Kadang-kadang beberapa molekul antibodi dapat

membentuk ikatan silang dengan molekul-molekul antigen untuk membentuk rantai


atau kisi-kisi kompleks antigen-antibodi. Aglutinasi adalah istilah yang diterapkan untuk

proses yang terjadi ketika sel-sel asing, misalnya bakteri atau tranfusi sel darah yang

tidak cocok, berikatan bersama-sama membentuk gumpalan. Apabila kompleks

antigen-antibodi semacam ini melibatkan antigen yang larut, misalnya toksin tetanus,

kisi-kisi yang terbentuk dapat berukuran sedemikian besar, sehingga menyebabkan


pengendapan. (Presipitasi adalah proses yang terjadi apabila suatu zat terpisah dari

larutannya).

Fungsi antibodi yang paling penting sejauh ini adalah meningkatkan respons imun

nonspesifik yang sudah dimulai oleh masuknya zat asing. Antibodi memberi tanda atau

mengidentifikasi benda asing sebagai suatu sasaran yang harus dihancurkan oleh sistem

komplemen, fagosit, atau sel-sel pembunuh sementara meningkatkan aktivitas berbagai


sistem pertahanan tersebut sebagai berikut :

1. Pengaktifn sistem komplemen. Apabila suatu antigen yang sesuai berikatan dengan
antibodinya, reseptor di bagian ekor antibodi akan berikatan dengan dan
mengaktifkan 1, komponen pertama sistem komplemen. Hal ini memulai jejang

reaksi yang akhirnya menyebabkan terbentuknya membrane attack complex, yang


secara spesifik ditujukan pada membran sel asing yang masuk mengandung antigen

yang memulai proses pengaktifan. Pada kenyataannya, antibodi adalah aktivator

paling kuat sistem komplemen. Serangan biokimi yang ditujukan pada membran sel
asing ini adalah mekanisme terpenting bagi antibodi untuk melaksanakan fungsi

protektif mereka.selain itu, berbagai komponen komplemen yang sudah aktif


meningkatkan hampir semu aspek proses peradangan. Perhatikan bahwa sistem

komplemen yang sama diaktifkan oleh suatu kompleks yang sama diaktifkan oleh

suatu kompleks antigen-antibodi apapun jenis antigenya. Walaupun pengikatan


antigen ke antibodi bersifat sangat spesifik, hasil akhirnya, yang ditentukan oleh
bagian ekor konstan antibodi, identik untuk semua antibodi di dalam subkelas

tertentu; sebagai contoh, semua antibodi IgG mengaktifkan sistem komplemen yang
sama.

2. Peningkatan fagositosis. Seperti telah dinyatakan, antibodi, terutama IgG, berfungsi


sebagai opsonim. Bagian ekor antibodi IgG yang berikatan dengan antigen mampu
mengikat reseptor di permukaan fagosit dan kemudian memudahkan fagositosis

korban yang mengandung antigen yang melekat ke antibodi.

3. Stimulasi sel pembunuh. Pengikatan antibodi ke natigen juga menginduksi serangan


sel pembawa antigen oleh killer cell (sel K). Sel K mensyaratkan sel sasaran dilapisi
oleh antibodi sebelum dapat dihancurkan melalui proses lisis membran plasmnya.

Dengan cara-cara tersebut, antibodi, walaupun tidak mampu secara langsung

menghancurkan bakteri atau bahan lain yang tidak diperlukan, dapat menyebabkan
destruksi antigen yang melekat padanya secara spesifik dengan memperkuat mekanisme

pertahanan letal non-spesifik yang lain.

Kadang-kadang, respons antigen-antibodi yang berlebihan secara tidak sengaja

dpat merusak sel-sel normal serta sel-sel asing invasif. Kompleks antigen-antibodi yang
terbentuk sebagai respons terhadap masuknya benda asing biasanya disingkirkan oleh
sel-sel fagositik setelah kompleks tersebut dalam jumlah besar, fagosit tidak dapat

membersihkan semua kompleks imun yang dibentuk tersebut. Kompleks

antigen-antibodi yang tidak dibersihkan atau terus mengaktifkan, antara lain, sistem
komplemen. Adanya komponen komplemen dan x=zat inflamatif aktif lain dalam jumlah

berlebihan dapat “tumpah”, merusak sel-sel normal di skitarnya selain sel-sel yang

memang tidak diperlukan. Selain itu, destruksi tidak selalu terbtas di tempat peradangan

semula. Kompleks antigen-antibodi dapat secara bebas beredar dan terperangkap di


ginjal, sendi, otak, pembuluh halus di kulit, dan di tempat lain, menyebabkan peradangan

dan kerusakan jaringan yang luas. Kerusakan yang ditimbulkan olek kompleks imun
semacam ini disebut sebagai penyakit kompleks imun, yang dapat merupakn penyulit

pada infeksi bakteri, virus, atau parasit.

Penyakit kompleks imun juga dapat terjadi akibat aktivitas peradangan yang
berlebihan yang disebabkan oleh adanya kompleks imun yang dibentuk oleh

“antigen-diri” (self-antigen, protein yang disintesis oleh tubuh sendiri dan antibodi yang
terbentuk terhadapnya, Artritis rematoid diperkirkan timbul melalui cara ini.

Setiap antigen merangsang klon limfosit B yang berbeda untuk menghilangkan antibody

Menurut teori imunologi awal, antibody diperkirakan dibuat “ sesuai pesanan”


apabila suatu benda asing masuk ke dalam tubuh. Sebaliknya, teori selektif seleksi

kolonal yang sekarang berlaku beranggapan bahwa selama masa perkembangan janin

tercipta bermacam-macam limfosit B, yang masing-masing mampu mesintensis antibody

terhadap antigen tertentu sebelum limfosit tersebut bertemu dengannya. Semua turunan

dari limfosit B tertentu membentuk satu keluarga yang terdiri dari sel-sel identic, atau

kolon, yang memiliki komitmen untuk menghasilkan antibody spesifik yang sama. Sel-sel
B tetap dorman, tidak mengeluarkan produk antibody khusus mereka, kecuali apabila

(atau sampai) mereka berkontak dengan antigen yang sesuai. Jika sesuatu antigen
berhasil masuk ke dalam tubuh, antigen tersebut akan mengaktifkan klon sel B tertentu

yang memiliki reseptor di permukaannya yang spesifik terhadap antigen tersebut.

Antibody pertama yang dihasilkan oelh sel B yang baru terbentuk adalah

immunoglobulin M, yang kemudian diletakkan ke membrane plasma sel dan tidak


disekresikan. Di membrane. IgM berfungsi sebagai reseptor untuk mengikat antigen
spesifik, hamper seperti “iklan” untuk jenis antibody yang dapat dihasilkan oleh sel yang

bersangkutan.peningkatan antigen yang sesuai ke sel B sama seperti “memesan” sel B

untuk menghasilkan dan mensekresikan antibody tersebut dalam jumlah besar.

Pengikatan antigen menyebabkan, klon sel B yang sudah diaktifkan bermultiplikasi

dan berdiferensi menjadi dua jenis sel-sel plasma dan sel pengikat. Sebagian besar

progeny diubah menjadi sel plasma, yaitu penghasil antigen yang memiliki tempat
pengikatan antigen yang sama dengan reseptor permukaan. Walaupun demikian, sel

plasma mengubah produksinya menjadi dari IgM menajdi IgG, yang disekresikan dan
tidak tetap menempel di membaran plasma. Di dalam darah, antibody yang disekresikan

tersebut berikatan dengan antigen bebas (yang tidak melekat ke limfosit), memberi

tanda kepada antigen tersebut agar dapat dihancurkan oleh system komplemen, ingesti
fagositik, atau cara lain.

Tidak semua limfosit B baru yang dihasilkan oleh pengaktifan klon berdiferensiasi
menjadi sel plasma penghasil antibody. Sebagian kecil limfosit B berubah menjadi sel
pengikat (memory cell), yang tidak ikut serta dalam respons imun yang sedang

berlangsung, tetapi tetap dorman dan memperluas klon spesifiknya. Jika orang yang

bersangkutan kembali bertemu dengan antigen yang sama, sel-sel pengikat ini sudah,
bersiap untuk melakukan tindakan yang lebih cepat daripada limfosit awal dalam klon.

Selama kontak awal dengan antigen antigen mikroba, respon antibody tertunda
selama beberapa jam sampai sel-sel plasma terbentuk dan belum mencapai puncaknya

sampai beberapa minggu. Respon ini dikenal sebagai respon primer. Sementara itu,
gejala-gejala yang khas untuk invasi mikroba menetap sampai mikroba tersebut mati

akibat seragam imun spesifik terhadapnya atau sel-sel yang terinfeksi mati. Setelah
mencapai puncak. Kadar antigen secara bertahap menurun. Walaupun sebagai antibody

dari respon primer ini mungkin tetap beredar untuk jangka waktu yang lama.

Panjang antigen semula yang menginduksi pembentukans sel-sel pengikat dapat

terjadi melalui timbulnya penyakit atau setelah divaksinasi. Pada vaksinasi, individu

secara sengaja dipajankan ke pathogen yang telah dilucturi kemampuannya untuk


menimbulkan penyakit, tetapi masih mampu menginduksi pembentukan antibody

terhadapnya.

Walaupun setiap diri kita pada dasarnya memiliki kemampuan berbagai klon sel B

yang sama, kumpulan tersebut secara bertahap bergeser untuk berespons secara sangat
efisien terhadap lingkungan antigenetik yang khas untuk setiap individu. Klom-klon

spesifik untuk antigen yang tidak pernah dijumpai oleh seorang akan dominan seumur

hidup. Sedangkan klon spesifik untuk antigen di lingkungan individu tersebut biasanya
akan membesar dan menguat melalui pembentukn sel-sel pengikat yang sangat

responsive.

Sel-sel pengikat tidak dibentuk untuk beberapa penyakit. Sehingga penjanan awal
tidak menimbulkan kekebalan seumur hidup, misalnya pada kasus “radang tenggorokan”.
Perjalanan dan keparahan penyakit akan sama seperti kali individu terinveksi ulang oleh
mikroba yang tidak “diingat” oleh system imun, beberapa jumlah pajanan sebelumnya.

Mengingat adanya jutaan antigen berbeda yang melawan sementara setiap diri kita
memiliki potensi untuk menghasilkan antibody, bagaimana mungkin seseorang
memiliki limfosit B yng sedemikian beragamnya, dengan setiap limfosit tersebut mampu

menghasilkan antibody yang berbeda? Antibody adalah protein yang diproduksi sesuai

cetak biru DNA. Karena semua sel tubuh. Termasuk sel penghasil antibody, memiliki DNA

inti yang sama , sulit dibayangakan beberapa banyak DNA yang harus dikemas dalam

nucleus setiap sel untuk mengkode pembentukan jutaan jenis antiboi, berasamaan
dengan instruksi genetic lainya yang digunakan oleh sel lain.

Imunitas aktif dihasilkan secara spontan imunitas pasif merupakan “pinjaman”

Pembentukan antibody akibat pajanan ke suatu antigen disebut sebagai imunitas aktif
terhadap antigen tersebut. Cara kedua agar seorang dapat memperoleh antibody adalah

dengan pemindahan langsung antibody yang dibentuk oleh orang lain. Imunitas

“pinjaman” yang diperoleh segera setelah menerima antibody yang sudah jad dikenal

sebagai imunitas pasif. Pemindahan antibody kelas IgG tersebut secara normal terjadi

pada ibu ke janin melewati palasenta selama perkembangan intrauterus. Selain itu

kolostrum ( susu pertama) ibu mengandung antibody IgA yang menambah perlindungan
bayi yang disusui.

Antibody yang dipindahkan secara pasif biasanya diuraikan dalam waktu kurang dari

satu bulan, tetapi sementara itu bayi baru lahir mendapatkan perlindungan imun yang

penting sampai bayi tersebut mendapatkan secara aktif mulai membentuk antibody
belum muncul sebagi setelah satu bulan kelahiran.

Imunitas pasif kadang-kadang digunakan secara klinis untuk meghasilkan


perlindungan segera atau utnuk meningkatkan resistensi terhadap suatu angen infeksius
yang sangat virulen dan toksik yang potesial mematikan yang pernah terpajan oleh

orang yang bersangkutan. Biasanya antibody jadi yang diberikan dipanen dari sumber
lain yang telah dipajankan ke bentuk antigen yang sudah dilemahkan. Untuk

memproduksi antigen dalam jumlah besar untuk imunitas pasief sering digunakan kuda

atau sapi. Walaupun penyuntikan serum yang mengandung antibody ini bermanfaat
untuk menghasilkan proteksi segera terhadap penyakit atau toksin tertentu, penerimaan
mungkin membentuk respon imun terhadap antiboid yang diberikan tersebut, karena

antibody itu adalah protein asing. Akibat dapat berupa reaksi alergi hebat, yang dikenal
sebagai serum sickness

Imunitas alamiah sebenarnya adalah kasus khusus imunitas yang didapat secara aktif.

Jika seorang diberi darah yang golongannya tidak sesuai , terjadi dua interaksi

antigen-antibodi. Yang menimbulkan konsekuensi paling serius adalah efek antibody.

Yang menimbulkan konsekuensi paling serius adalah efek antibody di dalam plasma
repine terhadap eritrosit donor yang masuk. Efek antibody donor pada antigen eritrosit

resipien kurang penting, kecuali jika dilakukan transfuse darah dalam jumlah besar,
karena antibody donor mengalami pengenceran oleh plasma resipien, sehingga hanya

sedikit sel darah merah resipien yang rusak.

Infeksi antibody dengan antigen yang terkait eritrosit dapat menyebabkan aglunitasi
atau hemolysis sel darah merah yang bersangkutan. Aglunitasi dan hemolysis sel darah

merah donor oleh antibody di plasma resipien dapat menimbulkan reaksi transfuse

yang kadang-kadang fatal. Gumpalan-gumpalan eritrosit donor dapat menyumbat

pembuluh darah halus. Selain itu keidak kecocokan transfusi adalah gagal ginjal akut
akibat dikeluarkanya sejumlah besar hemoglobin dari eritrosit donor yang rusak.

Apabila kadar hemoglobin bebas dalam plasma melebihi kadar krisis tertentu, terjadi

pengendapan hemoglobin di ginjal dan penyumbatan struktur-struktur pembentuk urine,


sehingga menimbulkan gagal ginjal akut.

Karena orang-orang dengan golongan darah O tidak memiliki antigen A atau B,

eritrosit mereka tidak akan diserang oleh antigen anti-A atau anti-B, sehingga mereka

dianggap sebagai donor darah universal. Darah mereka dapat transfusikan ke orang

dengan golongan darah apapun. Namun, orang dengan golongan O, karena antibody
anti-A dan anti-B yang terdapat di dalam plasma mereka akan menyerang antigen A atau

B yang terdapat dalam darah yang di berikan. Sebaliknya orang dengan golongan AB
disebut resipien universal. Karena tidak memiliki antobodi anti-A dan Anti-B, mereka

dapat menerima donor darah golongan apapun, walaupun mereka hanya dapat

mendonorkan darah ke orang berolongan AB. Karena mengandung antigen A dan B,


sel-sel mereka akan diserang jika ditransfusikan ke individu yang memiliki antibody
terhadap salah satu antigen tersebut.

Namun, istilah donor universal dan resipien universal sebenarnya agak menyesatkan.
Selain system ABO, terdapat banyak antigen eritrosit dan antibody plasma lain yang

dapat menimbulkan reaksi transfuse, yang terpenting di antaranya adalah factor Rh.

Individu yang memiliki factor Rh dikatakan memiliki darah Rh-positif, sementara yang
tidak memiliki factor Rh dianggap Rh-negatif, beberapa dengan system ABO, tidak dapat

antibody alamiah terhadapa factor Rh. Antibody anti-Rh diproduksi hanya oleh individu

Rh-negatif sewaktu mereka pertama kali terpajam ke antigen Rh asing yang terdapat di

dalam darah Rh-positif. Transfuse darah Rh-positif berikutnya pada dengan Rh-negatif

yang telah tersensitisasi tersebut dapat menimbulkan reaksi transfuse. Individu Rh-positif.
Sebaliknya, tidak pernah menghasilkan antibody terhadap factor Rh yang mereka miliki

sendiri. Dengan demikian, individu Rh-negatif harus diberi hanya darah Rh-negatif.

Sedangkan individu Rh-positif dapat dengan aman menerima darah Rh-positif atau
Rh-negatif. Factor Rh terutama penting dalam dunia kedokteran pada kasus seorang ibu

dengan Rh- negative membentuk antibody terhadap eritrosit janin Rh-positif yang

kandunganya dan menimbulkan penyakit yang disebut eritroblastosis fetalis.

Kecuali pada kasus-kasus yang sangat darurat, lebih baik dilakukan pencocokan

silang (cross-match) darah secara individual sebelumnya dilakukan transfuse walaupun

golongan darah ABO dan Rh-nya sudah diketahui, karena terdapat sekitar duabelas

system antigen eritrosit manusia minor lainnya. Kecocokan ditentukan dengan


mencampurkan sel darah merah dari calon donor dengan plasma dari resipien. Apabila
tidak terjadi penggumpalan, darah dianggap sudah cukup cocok untuk ditransfusikan.
Selain penting dalam transfuse, sebagai system golongan darah juga penting dalam

kasus-kasus legal mengenai paternitas, karena antigen-antigen eritrosit diwariskan.


Namun dalam tahun-tahun terahir “sidik jari” DNA telah menajdi tes yang lebih definitive.

Limfosit hanya berespons terhadap antigen yang telah diolah dan disajikan kepada
mereka oleh magrofak

Sel B biasanya tidak dapat melakukan tugas mereka menghasilkan antibody tanoa

bantuan dari mafrofag dan pada sebagian besar kasus, juga dari sel T. klon-klon sel B
yang relevan tidak mampu mengenal dan menghasilkan antibody sebagai respons
terhadap antigen asing “ mentah” yang masuk ke dalam tubuh; klon sel B harus secara

formal “diperkenalkan” ke antigen sebelum dapat bereaksi terhadapnya. Organosme atau

antigen asing mula-mula dimakan oleh makrofag, yang berkumpul di sekitar klon sel B

dan mengenai “perkenalan formal” tersebut. Selama fagositosis, magrofak mengelolah

antigen mentah dan kemudian “menyajikan” antigen yang telah diolah dengan
memajankannya di permukaan luar membran plasma magrofak sedemikian rupa,

sehingga sel B di dekatnya dapat mengenali dan bereaksi bereaksi terhadapnya.


Selain itu, magrofag penyaji antigen ini juga mengeluarkan interleukin 1, suatu

mediator kimia serba guna yang meningkatkan diferensiasi dan proliferasi klon sel B
yang telah diaktifkan. Interleukin 1 juga sangat berperan dalam menumbulkan demam

dan malese yang menyertai infeksi. Limfosit yang telah diaktifkan mengeluarkan antibody

yang diantaranya berfungsi memperkuat aktifitas fagositik.

Banyak antigen juga di sajikan secara serupa terhadap sel T. salah satu jenis khusus

limfosit T, yang telah dis sajikan oleh magrofak. Sel T penolong mengeluarkan suatu
mediator kimiawi, factor pertumbuhan sel B yang semakin memperkuat fungsi sel B

bersama dengan interleukin 1 yang dihasilkan oleh magrofag. Dengan demikian interaksi

suportif di Antara magrofag sel B dan sel T penolong secara sinergistis memperkuat
serangan imun fagosit-antibodi atas benda asing yang masuk.

Limfosit T : Imunitas Yang Diperantarai sel

Tigas jenis sel T khususkan untuk memastikan sel penjamu yang terinfeksi virus serta

untuk membantu ataumenekankan sel imun lain.


Walaupun penting dalam pertahanan spesifik terhadap bakteri invasive dan benda asing

lain, limfosit B dan produk antibodinya hanya merupakan separuh dan pasukan
pertahanan imun spesifik yang dimiliki tubuh limfosit T juga sama pentingnya dalam

pertahanan terhadap infeksi sebagai besar firus dan jamur serta berperan penting

dalam mengatur mekanisme imun.

Tidak seperti sel B, yang mengeluarkan antibodi yang dapat menyerang antigen yang

terletak jauh, sel T tidak mengeluarkan antibody. Sel-sel ini harus berkontak langsung
dengan sasaran, suatu proses yang dikenal sebagai imunitas yang diperantarai oleh sel.
Seperti sel B. sel T bersifat klonal dan sangat spesifik antigen. Di membrane plasmanya,

setiap sel T memiliki protein-protein reseptor unik, serupa tetap tidak identic dengan

reseptor permukaan di sel B. tidak spesifik sel B, serta sel T diaktfkan oleh antigen asing
hanya apabila hanya apabila antigen tersebut disajikan di permukaan suatu sel yang juga

membawa penanda identitas individu yang bersangkutan; yaitu baik antigen asing

maupun antigen diri harus terdapat di permukaan sel sebelum sel T dapat mengikat

keduanya .selama pematangn timus lah sel T belajar mengenal antigen asing dalm

kombinasi dengan antigen jaringan individu itu sendiri, suatu pelajaran yang diwariskan
ke semua turunan sel T berikutnya. Pentingnya persaratan antigen ganda dan sifat dari

antigen diri akan dibahas secara singkat.

Biasanya diperlukan waktu beberapa waktu beberapa hari setelah pajangan ke antigen

tertentu sebelum sel T tersensitisasi atau teraktifasi bersiap untukmelancarkan serangan

imun seluler. Sewaktu pajanan ke kombinasi antigen spesifik. Sel-sel dari klon sel T

komplementer berpoliferasi dan berdiferensiasi selama beberapa hari, menghasilkan


sejumlah besar sel T teraktivitas yang melaksanakan berbagai respon imunitas seluler.

Terdapat tiga subpopulasi sel T, bergantung pada peran mereka setelah diaktifkan oleh

antigen :

1. Sel T sitotoksik yang menghancurkan sel plasma yang memiliki antigen asing

misalnya sel tubuh yang dimasuki oleh virus, sel kanker dan sel cangkokan.
2. Sel T penolong yang meningkatkan perkembangan sel B aktif menjadi sel palasa,

memperkuat aktivasi sel T sitotoksik dan sel T penekan (suprsor) yang sesuai dan

mengaktifkan magrofak.
3. Sel T penekan yang menekankan produksi antibody sel B dan aktivitas sel T
sitotoksik dan penolong.

Sel T sitotoksik sasaran sel T sitotoksik yang paling sering adalah sel pejamu yang sudah

terinfeksi virus. Ketika suatu virus menginvasi sebuah sel, sebagai berikut keharusan agar
ia dapat bertahan hidup, pembungkus virus yang terdiri dari protein-protein antigenik

menyatu dengan membran permukaan sel pejamu untuk menyerang virus intrasel, sel T
sitotosik harus mengharuskan sel pejamu yang telah terinfeksi tersebut. Sel T sitotosik

dari klon yang spesifik untuk virus tersebut mengenali dan berkaitan dengan antigen
virus dan antigen diri di permukaan sel yang terinfeksi. Setelah disensitisasi oleh antigen

virus, sel T sitotoksik menghancurkan sel korban dengan mengeluarkan zat-zat kimiawi

yang melisiskan sel sebelum replikasi virus dapat dimulai.

Sel T penolong sel T penolong meningkatkan banyak aspek respons imun, terutama

melalui sekresi limfokin. Berikut ini adalah sebagian dari zat-zat perantara kimiawi yang

paling dikenal yang dihasilkan oleh sel t ini:

1. Seperti dinyatakan sebelumnya, sel T penolong mengeluarkan faktor


pertumbuhan sel B yang meningkatkan kemampuan klon sel B aktif
menghasilkan antibodi. Sekresi antibodi sangat menurun jika tidak terdapat sel T

penolong, walaupun sel T itu sendiri tidak memproduksi antibodi.

2. Sel T penolong juga mengeluarkan faktor pertumbuhan sel T, yang juga dikenal
sebagai interluekin 2 (II,-2) untuk meningkatkan akitivitas sel T sitotoksik, sel T

penekan, dan bahkan sel T penolong lain yang responsif terhadap antigen yang

masuk. Pada modelyang biasa, interleukin 1 yang dikeluarkan oleh makrofag


tidak hanya meningkatkan aktivitas klon sel B dan sel T yang sesuai, tetapi juga
merangsang sekresi interleukin 2 oleh sel T penolong yang sudah diaktifkan.

3. Sebagai zat kima yang dihasilkan oleh sel T berfungsi sebagai kemotaksin untuk

menarik lebih banyak neutrofil dan calon makrofag ke tempat invasi.


4. Setelah marofag ditarik ke darah invasi, sel T penolong mengeluarkan

macrophage-migrationinhibitor factor, suatu limfokin penting lain, yang


menahan sel-sel fagositik besar ini di tempat, sehingga tidak dapat bermigrasi ke

luar. Akibatnya, terjadi penumpukan makrofag dalam jumlah besar di daerah

yang terinfeksi. Faktor ini juga menimbulkan peningkatan daya fagositik


makrofag-makrofag tersebut. Apa yang disebut sebagai angry macrophage ini

memiliki kemampuan destruktif yang lebih besar. Sel-sel ini sangat penting
dalam mempertahankan tubuh dari bakteri penyebab tuberkulosis, karena

mikroba semacam ini mampu bertahan hidup terhadap fagositosis biasa yang

dilakukan oleh makrofag yang nonaktif.

Sel T penekan pengetahuan mengenal sel T penekan jauh lebih sedikit dibandingkan

subpopulasi sel T lainnya. Sel-sel ini tampaknya berfungsi membatasi reaksi imun melalui
mekanisme “chek and balance” dengan limfosit yang lain. Sementara sel B, sel T
sitotoksik, dan sel T penekan membatasi respons semua sel imun lain. Melalui metode

umpan balik negatif. Sel T penolong mendorong sel T penekan beraksi; sel T penekan,

pada gilirannya menghambat sel T penolong dan sel-sel lain yang untuk bertugas
dipengaruhi oleh sel T penolong. Karena lengkung umpan balik ini. Rspons imun

cenderung bersifat swasirna. Efek inhibasi oleh sel T penekan membantu mencegah

reaksi imun berlebihan yang dapat membahayakan tubuh. Peningkatan jumlah sel T

penekan sebagai respons terhadap infeksi virus biasanya berlangsung lebih lambat

dibandingkan dengan profilerasi sel T sitotoksik dan sel T penolong. Sehingga sel
penekan membantu menghentikan respons imun setelah respons tersebut melaksanakan

funsinya.

Sistem imun dalam keadaan normal tidak mengahsilkan antibodi atau sel T aktif terhadap

antigen tubuh sendiri. Tetapi mengarahkan serangan destruktifnya hanya kepada antigen

asing, tampaknya toleransi melibatkan paling sedikit empat mekanisme berbeda.

1. Seleksi klonal sebagai respons terhadap pajanan kontinu ke antigen tubuh


selama masa perkembangan dini. Klon-klon limfosit yang secara spesifik dapat

menyarang antigen diri pada beberapa kasus dihancur kan secara permanen

oleh suatu mekanisme yang belum diketahui. Ini adalah mekanisme utama
pembentukan toleransi.

2. Anergi klonal, baru-baru ini didentifikasi bahwa terdapat penunjang delesi klonal,
anergi klonal. Menurut teori ini, sel T harus menerima dua sinyal simultan spesifik

agar dapat diaktifkan (dinyalakan), satu dari antigen kompatibelnya dan satu dari
sel penyaji antigen kedua sinyal tersebut ada untuk antigen asing, yang di

perkenalkan ke sel T oleh sel penyaji antigen.


3. Inhibisi oleh sel T penekan, sebagian klon limfosit yang spesifik untuk jaringan

tubuh sendiri yang tidak dieliminasi selama masa perkembangan dini mungkin

seumur hidup dihambat oleh sel T penekan.


4. Sekuestrasi antigen. Sebagian molekul-diri dalam keadaan normal tersembunyi
dari sistem imun karena tidak perna berkontak dengan cairan ekstrasel tempat

beredarnya sel-sel imun dan produk-produknya. Contoh antigen-antigen


semacam itu adalah protein kornea (bagian anterior jernih pada mata) dan
tiruglobulin, suatu protein kompleks yang terdapat di dalam struktur penghasil
hormon di kelenjar tiroid.

Penyakit otoimun dapat timbul dari sejumlah penyebab yang berbeda.

1. Penurunan aktivitas sel T penekan atau ketidak seimbangan rasio sel T penekan
terhadap sel T penolong yang spesifik untuk antigen-diri mungkin merupakan

penyabab timbulnya beberapa keadaan (penyakit) otoimun.


2. Antigen-diri normal mungkin mengalami modifikasi oleh berbagai faktor,

misalnya obat, zat kimia lingkungan, virus, atau mutasi genetik, sehingga
antigen-antigen tersebut tidak lagi dikenal dan ditoleransikan oleh sistem imun.

3. Terpanjangnya antigen diri yang dalam keadaan normal tidak dapat diakses

kadang-kadang mencetuskan serangan imun terhadap antigen-antigen tersebut,

karena belum pernah bertemu dengan antigen diri yang tersembunyi, sistem

imun tidak “belajar” untuk mentoleransikan antigen-antigen diri yang secara


normal tidak dapat diakses ke sistem imun ini dapat terjadi karena kerusakan

jaringan akibat cedera atau penyakit.

4. Terpajannya sistem imun ke antigen asing yang secara struktural hampir identik

dengan antigen diri dapat menginduksi pembentukan antibodi atau limfosit T


aktif yang tidak hanya berinteraksi dengan antigen asing, tetapi juga berinteraksi
dengan antigen tubuh yang mirip tersebut, salah satu contohnya adalah bakteri

streptokokus penyebabb “ radang tenggorokan”. Bakteri ini memiliki

antigen-antigen yang secara struktural sangat mirip dengan antigen diri di

jaringan yang membungkus katup jantung orang-orang tertentu.


Antibodi yang dibentuk untuk melawan streptokukus juga dapat berika dengan

jaringan jantung tersebut.

Major histocompatibility complex adalah kode untuk huoman leukocte-associated


antigen yang terikat ke permukaan membran dan khas untuk setiap individu.

Apakah sifat alamlah antigen diri yang menyebabkan sistem imun belajar untuk
mengenalkan sebagai penanda sel-sel tubuh terdiri? Antigen diri adalah glikoprotein

(protein yang ditempeli oleh gula) yang terikat ke membran plasma; mereka dikenal
sebagai antigen terkait-leukosit manusia (human leukoctyle associated antigen) atau
antigen HLA, karena pertama kali ditemukan di leukosit, tetapi sebenarnya terdapat di
semua sel (kecuali eritrosit, yang tidak memiliki DNA nukleus untuk mengarahkan sintesis

antigen HLA).

Sel T biasanya berikatan dengan antigen_diri HLA hanya apabila antigen tersebut

berhubungan dengan antigen asing, misalnya protein virus, yang juga ditampilkan di

permukaan sel. Pada kasus sel T sitotoksik, hasil akhir pengikatan ini adalah destruksi sel

tubuh yang terinfeksi. Karena sel T tidak berkaitan dengan antigen asing. Sel-sel tubuh
normal akan terlindung dari serangan jantung.

Sel-sel T secara khusus berkaitan dengan antigen HLA yang terdapat di permukaan sel

cankokan ( yang ditransplantasikan) walaupun tidak terdapat antigen asing destruksi

sel-sel cengkongan yang terjadi kemudian merupaka penyebab penolakan bahwa

sebagian sel T “keliru” membaca antigen HLA asing yang terdapat di sel-sel donor karena

antigen tersebut mirip dengan kombinasi antara antigen asing konvesional dan antigen
diri HLA

Apabila terdeteksi secara dini sebelum bermestastasis, tumor ganas dapat diangkat

secara bedah. Sekali sel kanker telah menyebar dan tumbuh di berbagai tempat, tidak
mungkin dilakukan eliminasi kanker secara bedah. Dalam hal ini, digunakan obat-obat

yang menganggu sel yang membelah diri dan tumbuh secara cepat, misalnya obat

kemoterapi tertentu, sebagai usaha untuk mengahncurkan sel-sel ganas. Sayangnya,


obat-obat ini juga merugikan sel tubuh normal, terutama sel-sel yang cepat
berproliferasi, misalnya sel darah dan sel yang melapisi bagian dalam saluran

pencernaan.

Pada sebagian besar kasus, kanker yang tidak diobati menyebabkan kematian melalui
beberapa sebab yang tidak saling berkaitan. Masa ganas yang tumbuh tidak terkontrol
mendesak sel-sel normal dengan memperebutkan tempat dan makanan, namun sel-sel
kanker tidak dapat mengambil alih fungsih sel-sel yang mereka hancurkan. Sel-sel kanker

biasanya tetap imatur dan tidak mengalami spesialis, sering lebih mirip sel embrionik.

Walaupun banyak sel tubuh mengalami mutasi selama hidup seseorang, sebagian besar
dari mutasi selama hidup seseorang, sebagian besar dari mutasi tersebut tidak

menimbulkan keganasan karena tiga alasan:

1. Hanya sebagian dari mutasi tersebut yang menyebabkan hilangnya kontrol atas

pertumbuhan dan multiplikasi sel. Yang lebih sering terpengaruh adalah fungsi

sel yang lain.

2. Bukti mengisyaratkan bahwa suatu sel menjadi kanker hanya setelah akumulasi

banyak mutasi independen. Satu mutasi biasanya tidak cukup untuk

menimbulkan keganasan. Persyaratan ini mungkin berperan paling tidak


sebagian, terhadap insidens kanker yang jauh lebih tinggi pada orang berusia

lanjut, karena mutasi memiliki lebih banyak waktu untuk berakumulasi di sebuah
turunan sel. Selain itu, beberapa kanker dibuktikan dapat disebabkan oleh

virus-virus tumor, yang secara permanen mengubah sekuens DNA tertentu di sel

yang mereka masuki.

3. Sel-sel berpotensi kanker yang berhasil tumbuh biasanya dihancurkan oleh


sistem imun pada tahap awal perkembangannya. Diperkirakan bahwa sistem

imun mengenali sel-sel kanker karena sel-sel tersebut memiliki antigen

permukaan yang baru dan berbeda berdampingan dengan antigen diri yang
normal, baik karena mutasi genetik maupun oleh invasi suatu virus tumor.

Surveilans imun terhadap kanker bergantung pada pengaruh antara tiga jenis sel
imun sel T sitotoksik, sel natural killer,dan makrofag serta interferon.

Karena sel natural killer, tidak seperti sel T sitotoksik, tidak memerlukan pajanan dan

sensitisasi terhadap sel kanker terlebih dahulu sebelum dapat melancarkan seerangan
mematikan, sel-sel ini mungkin merupakan senjata tunggal terpenting tubuh melawan

kanker. Sel T sitotoksik diperkirakan penting dalam pertahanan terhadap beberapa jenis
kanker yang diinduksi oleh virus.

Kenyataan bahwa kanker kadang-kadang tetap muncul memiliki arti bahwa sel kanker
sesekali mampu lolos dari serangan mekanisme imun tersebut. Mengapa atau bagaimana
surveilans imun gagal menghancurkan sel-sel kanker yang baru terbentuk masih belum

jelas. Beberapa aspek lain pada sistem imun mungkin berperan. Sebagai contoh, telah
ditemukan adanya antibodi penghambat (blocking antibodies) yang mengganggu fungsi
sel T. Walaupun sel B dan antibodi diperkirakan tidak berperan langsung dalam

pertahanan terhadap kanker, sel B, sewaktu menemukan suatu sel mutan yang dianggap

asing terhadap sel muatan yang dianggap asing terhadap sel normal.

Tampaknya terdapat suatu lengkung regulatorik yang menghubungkan sistem imun

dengan sistem saraf dan endokrin.

Dari pembahasan sebelumnya, jelas tampak bahwa terdapat faktor-faktor pengontrol

kompleks yang bekerja di dalam sistem imun itu sendiri. Sampai sekarang, sistem imun

dianggap berfungsi di luar kontrol sistem lain di tubuh. Namun, penelitian-penelitian


menunjukkan bahwa terdapat hubungan penting antara sistem imun dan dua sistem

kontrol utama tubuh, sistem saraf dan endokrin.tampaknya, sistem imun mempengaruhi
dan dipengaruhi oleh sistem saraf dan endokrin. Sebagai contoh, interleukin 1 dapat

membangkitkan respons stres dengan mengaktifkan serangkaian proses saraf dan

endokrin yang menyebabkan sekresi kortisol, salah satu hormon utama yang dikeluarkan

selama stres, hubungan antara mediator respons imun dan mediator respons stres ini
sesuai, kortisol memobilisasi simpanan nutrien untuk tubuh, sehingga tersedia cukup

bahan bakar metabolik untuk memenuhi kebutuhan energi tubuh pada saat seseorang

sakit dan mungkin tidak cukup makan (atau,pada hewan mungkin tidak mampu mencari
makanan), selain itu, kortisol memobilisasi asam amino, yang berfungsi sebagai bahan

pembangun untuk memperbaiki kerusakan jaringan yang terjadi selama proses


pengaktifan sistem imun. Dalam arah yang sebaliknya, limfosit tanggap terhadap

sinyal-sinyal dalam arah yang berasal dari sistem saraf dan dari kelenjar endokrin

tertentu, sel-sel imun penting ini memiliki reseptor untuk berbagai neurotransmiter,
hormon, dan zat perantara kimiawi lainnya. Mediator-mediator yang mempengaruhi

aktivitas limfosit di antaranya adalah endorfin dan enkefalin, sekelompok senyawa yang
berfungsi sebagai neurotransmiter di SSP dan disekresikan ke dalam darah sebagai dari

kontrol pengeluaran kortisol oleh saraf.(untuk pembahasan mengenai kemungkinan efek

olaraga pada sistem imun, lihat fitur penyerta dalam kotak, lebih dekat tentang fisiologi
olahraga.)

PENYAKIT IMUN.

Penyakit defisiensi imun menurunkan resistensi terhadap invansi benda asing.


Abnormalitas fungsi sistem imun dapat menyebabkan timbulnya penyakit imun melalui

dua cara :

Penyakit defisiensi dan serangan imun yang tidak sesuai. Penyakit defisiensi terjadi

apabila sistem imun gagal berespon secara adekuat terhadap invansi benda asing.

Keadaan ini dapat bersifat kongenital ( terdapat sejak lahir) atau didapat (nonherediter),
dan mungkin secara spesifik mengenai imunitas humoral, imunitas seluler, atau keduanya.

Pada suatu penyakit herediter jarang yang dikenal sebagai severe combined
immunodeficiency, tidak terdapat baik sel T maupun sel B. penderitaanya memeliki

pertahanan yang sangat terbatas terhadap organisme patogen dan biasanya meninggal
semasa bayi, kecuali apabila hidup dilingkungan yang bebas kuman (yaitu hidup didalam

balon). status defisiensi imun didapat (non-herediter) dapat terjadi akibat destruksi

jaringan limfoid selama terapi jangka panjang obat-obatan anti-inflamasi, misalnya

turunan kortisol, atau akibat terapi kanker yang ditujukan untuk menghancurkan sel-sel

yang cepat membelah (yang sayangnya mengenal limfosit selain sel kanker). penyakit
defisiensi imun yang paling baru dan tragisnya yang paling sering dijumoai adalah AIDS

yang seperti dijelaskan sebelumnya disebebkan oleh HIV suatu virus yang menyerang

dan melumpuhkan sel T penolong.

Serangan imun yang tidak sesuai terhadap bahan lingkungan yang tidak berbahaya

menimbulkan alergi.

Kategori lain penyakit imun adalah serangan imun spesifik yang tidak sesuai dan

menimbulkan reaksi yang merugikan tubuh. Katagori ini mencakup (1) respon otoimun,

yakni sistem imun menyerang jaringan tubuh sendiri (2) penyakit kompleks imun, yakni
respon anti-bodi yang berlebhan dan “tumpah” merusak jaringan normal dan (3) alergi.

Dua yang pertama sudah dibahas diawal bab ini, sehingga kita sekarang akan
memusatkan perhatian pada alergi.

Alergi adalah akuisisi reaktivitas imun spesifik yang tidak sesuai, atau hipersensitivitas,
terhadap bahan-bahan lingkungan yang dalam keadaan normal tidak berbahaya,
misalnya debu atau serbuk sari, bahan penyebab yang dikenal sebagai alergen, mungkin

merupakan antigen atau berupa hapten yang menjadi antigen hanya apabila berkaitan
dengan suatu protein tubuh. Pajanan ulang ke alergen yang sama pada orang yang
sudah tersentisasi akan mencetuskan suatu serangan imun, yang dapat bervariasi dari

reaksi ringan yang mengganggu sampai reaksi parah yang merusak tubuh dan bahkan

dapat fatal.

Respons alergen dapat diklafikasikan menjadi dua kategori yang berlainan :

hipersensitivitas tipe cepat (immediate hypersensitivity) dan hipersensitivitas tipe lambat


(delayed hypersensitifity). pada hipersensitivitas tipe cepat, respon alergi mulai muncul

dalam waktu 20 menit setelah orang yang tersensitisasi terpajan ke alergen, sementara
pada hipersensitivitas tipe lambat, reaksi biasanya muncul satu hari atau lebih setelah

pajanan. Perbedaan dalam waktu tersebut disebabkan oleh perbedaan


mediator-mediator yang terlibat. Suatu alergen tertentu dapat mengaktifkan respons sel

B atau sel T. reaksi alergi tipe cepat melibatkan sel B dan dicetuskan oleh interaksi

antibodi dengan alergen. Reaksi tipe lambat melibatkan sel T dan proses selular terhadap

alergen yang berlangsung lebih lambat. Marilah kita membahas sebab dan akibat kedua

jenis reaksi tersebut secara lebih rinci.

Hipersensitivitas tipe cepat pada hipersensitivitas tipe cepat, antibodi yang berperan

dan proses-proses yang timbul kemudian setelah pajanan ke alergen berbeda dengan

respons tipikal antibodi terhadap bakteri. Alergen yang paling sering merangsang
hipersensitivitas tipe cepat adalah butir-butir serbuk sari, sengatan lebah, penisilin,

makanan tertentu, kapang debu, dan bulu binatang (unggas atau mamalia). (sebenarnya,
orang yang alergi kucing tidak alergi terhadap bulu kucing, yang mengendap dibulu

sewaktu kucing menjilati badannya. Demkian juga, orang tidak alergi terhadap debu atau

bulu burung sendiri, tetapi terhadap kutu-kutu kecil yang mendiami debu atau bulu
burung dan memakan skuama, atau serpihan kulit yang teres menerus mengelupas).

untuk alasan yang tidak diketahui, alergen-alergen tersebut berkaitan dengandan


mencetuskan sintesis antobodi IgE dan bukan antibodi IgG yang berkaitan dengan

antigen bakteri. Sewaktu individu dengan kecenderungan alergi terpajan pertamma kali

ke alergen tertentu, sel-sel B kompetibel mensintesis antibodi IgE yang spesifik untuk
alergen tersebut. Yang lebih penting , juga dibentuk sel-sel pengingat yang bersiap
untuk melancarkan respons yang lebih kuat pada pajanan ulang ke alergen yang sama.

Berbeda dengan respons humoral yang dicetuskan oleh antigen bakteri, antibodi
IgEtidak beredar bebas. Bahkan bagian ekor antibodi ini melekat ke sel mast dan basofil.

Pengikatan alergen yang sesuai dengan antibodi IgE yang melekat tersebut mencetuskan

pengeluaran beberapa zat perantara kimiawi dari sel mast dan basofil yang bersangkutan.
Sebuah sel mast (atau basofil) munbgkin dilapisi oleh sejumlah antibodi IgE yang

berbeda-beda yang masing-masing mampu berkaitan dengan alergen yang berbeda.

Dengan demikian, sel mast dapat dipicu untuk mengeluarkan produk-produk kimiawinya

oeh salah satu dari sejumlah alergen berbeda. Berikut ini adalah zat-zat kimia terpenting

yang dikeluarkan pada reaksi alergi tipe cepat :

1. Histamin yang menyebabkan vasodilatasi dan peningkatanpermeabilitas kapiler.

2. Slow-reactive substance of anaphylaxis (SRS-A), yang menyebabkan kontraksi otot


polos kuat dan berkepanjangan, terutama dijalan nafas halus.

3. Faktor kemotaksis eosinofil (eosinophil chemotactic factor), yang secara spesifik

menarik, eosinofil mengeluarkan enzim-enzim yang menyebabkan inaktivasi SRS-A

dan juga dapat menghambat histamin, mungkin berfungsi sebagai “tombol


pemadam” untuk membatasi respons alergi.

Gejala-gejala bervariasi bergantung pada tempat alergen dan mediator yang terlibat.

paling sering reaksi terlokalisasi dibagiantubuh tempat sel-sel pembawa IgE bertemu

untuk pertama kalinya dengan alergen. Apabila reaksi terbatas disaluran nafas atas
setelah seseoarang menghirup suatu alergen, misalnya serbuk sari ragweed, zat-zat kimia

yang dilepaskan akan menimbulkan gejala-gejala yan khas untuk hay fever sebagai

contoh penyumbatan hidung yang disebabkan oleh edema lokal yang dinduksi oleh
histamin dan bersin, serta pilek akibat peningkatansekersi mukosa sebagai respons

terhadap iritasi lokal. Jika reaksi terkonsentrasi dibronkeolus, timbul asma sempit atau
menyebabkan kontriksi saluran nafas tersebut, sehingga individu yang bersangkutan sulit

bernafas. Pembengkakan lokal dikulit akibat pelepasan histamin yang diinduksi alergi

menimbulkan biduran.

Pengobatan reaksi alergi tipe cepat yang terlokalisasi dengan antihistamin sering

kali hanya mengurangi gejala-gejalanya secara parsial, karena sebagian manifestasi


ditimbulkan oleh mediator kimiawi lain yang tidak dihambat oleh obat tersebut. Sebagai
contoh, antihismin yang tidak terlalu efektif untuk mengobati asma, gejala yang paling

serius ditimbulkan oleh SRS-A. mungkin diperlukan obat anti-inflamasi, msalnya turunan

kortisol untuk menghambat respons peradangan.

Reaksi sistemik yang mengancam nyawa dapat terjadi jika alergen masuk kedalam

darah atau jika terjadi pengeluaran zat-zat kimia dalam jumlah sangat besar dari tempat
yang terlokalisasi kedalam sirkulasi, apabila jumlah besar mediator kimawi ini

memperoleh askes kedalam darah, timbul reaksi sistemik yang sangat serius (melibatkan
seluruh tubuh) yang dikenal sebagai syok anafilaktik. Terjadi vasodilatasi luas dan

pergeseran masif cairan plasma kedalam ruang interstisium akibat peningkatan


meneyluruh permealibitas kapiler yang menyebabkan hipotensi berat. Yang

mengakibatkan kegagalan sirkulasi. Secara bersamaan terjadi kontriksi bronkiolus yang

dapat menimbulkan kegagalan pernafasan. Penderita tercekik karena tidak mampu

melewatkan udara melalui jalan nafas yang menyempit. Kecuali ada tindakan segera,

misalnya penyuntikan obat vasokontriktor-bronkidiator, syok anafilaktik sering


menyebabkan kematian. Reaksi ini penyebab mengapa bahkan sebuah sengatan lebah

atau satu dosis penisilin dapat saja berbahaya bagi individu yang tersenitisasi terhadap

alergen-alergen tersebut
Reaksi Hipersensitivitas Tipe Cepat versus Tipe Lambat

KARAKTERISTIK REAKSI HIPERSENSITIVITAS REAKSI HIPERSENSITIVITAS

TIPE CEPAT TIPE LAMBAT

Waktu awitan gejala Dalam 20 menit Dalam 1 sampai 3 hari


setelah pajanan ke

alergen.

Jenis respons imun yang Imunitas yang diperantarai Imunitas yang diperantarai sel
terlibat. antobodi terhadap alergen alergen terhadap sel T

Efektor imun yang terlibat. Sel B, antobodi IgE mast, basofil Alergi kontak misalnya alergi

histamin, slow-reactive subtance terhadap poison ivy, kosmetik

of anaphylaxis, faktor kemotaksis dan bahan pembersih rumah

esonofil tangga

Alergi yang sering terlibat Hay fever, asma, biduran, syok

ana filaktik pada kasus yang

parah

Pengobatan Anthimisin (efektif sebagian) obat Obat anti inflamasi msalnya

adrenergik untuk melawan efek turunan kortisol

histamn dan slow-reactive of ana


phylaxis, obat anti inflamasi

misalnya turunan kortisol


Hipersensitivitas lambat sebagian alergen mencetuskan hipersensitivitas tipe

lambat, suatu respons imun yang diperangtarai dengan sel T dan bukan oleh respons
antobodi IgE-sel B tipe cepat. Alergen-alergen tersebut antara lain adalah toksin poison

ivy dan zat kimia tertentu yang sering mengenai kulit, misalnya kosmetik dan bahan

pembersih rumah tangga. Biasana respons ditandai oleh erupsi kulit yang mencapai
puncaknya satu sampai tiga hari kontak dengan alergen terhadap sistem T yang sudah
tersensitisasi. Sebagai ilustrasi, poison ivy adalah suatu hapten yang dapat berkaitan

dengan protein kulit yang berkontak dengannya. Toksin itu sendiri tidak merugikan kulit
sewaktu berkontak, tetapi mengaktifkan sel T spesifik untuk toksin. Interkasi yang terjadi
menyebabkan kerusakan jaringan dan rasa tidak nyaman dan khas untuk penyakit Ini.
Pengobatan terbaik adalah dengan memberikan sediaan anti-inflamasi, misalnya yang

mengandung turunan kortisol.

Melalui penyuntikan desensitisasi (allergy shots). rejimen terapetik ini terdiri dari

penyuntikan teratur alergen penyebab dalam jumlah kecil tetapi semakin meningkat.

Melalui proses ini, individu (dengantingkat keberhasilan yang bervariasi) secara bertahap

menjadi semakin kurang sensitif terhadap pajanan alergen yang terjadi secara alamiah.
Tampaknya ironis bahwa pemajanan secara sengaja seseorang ke alergen yang sudah

diketahui dapat menyebabkan orang tersebut menjadi kurang peka terhadap alergen.

Mekanisme bagaimana desentisasi terjadi saat ini belum diketahui pasti, tetapi teori yang
dianut menyatakan bahwa hal tersebut terjadi karena pembentukan antobodi IgG

penghambat yang spesifik untuk alergen yang disuntikan. Sewaktu individu kembali

terpajan secara alamiah ke alergen, antobodi IgG penghambat komplementer akan

berikatan dengan alergen dan mencegah alergen tersebut berikatan dengan antibodi IgE
yang melekat ke sel mast dan basofil. Dengan demikian, sel-sel yang banyak

mengandung histamin ini dirangsang untuk mengeluarkan zat-zat kimia mereka yang

dapat menimbulkan gejala. Teori lain menarankan bahwa desensitisasi terjadi akibat
pengaktifan sel T penekan, merintangi sintesisi antobodi IgE yang spesifik terhadap

alergen yang bersangkutan.

PERTAHANAN EKSTERNAL

Pertahanan tubuh melawan mikroba asing tidak terbatas pada mekanisme-mekanisme

imun yang rumit dan saling terkait yang dapat menghancurkan mikroba yang dapat
masuk ke dalam tubuh. Selain sistem pertahanan tubuh internal, tubuh dilengkapi oleh

mekanisme pertahanan eksternal yang dirancang untuk mencegah penetrasi mikroba


apabila jaringan tubuh terpajan ke lingkungan eksternal. Pertahanan eksternal yang

paling jelas adalah kulit, atau integumen yang menutupi bagian luar tubuh.

Kulit terdiri dari epidermis protektif di sebelah luar dan dermis jaringan ikat disebelah
dalam.

Kulit, yaitu organ terbesar di tubuh, tidak hanya berfungsi sebagai sawar mekanis antara
lingkungan eksternal dan jaringan dibawahnya, tetapi secara dinamis juga terlibat dalam
mekanisme pertahanan dan berbagai fungsi penting lain. Kulit terdiri dari dua lapisan,

epidermis di sebelah luar dan dermis sebelah dalam.

Epidermis terdiri dari banyak lapisan sel epitel. Lapisan epidermis di bagian dalam terdiri

dari sel-sel berbentuk kubus yang hidup dan cepat membelah diri, sementara sel-sel di

lapisan luar mati dan menggepeng. Epidermis tidak mendapat pasokan darah langsung.

Sel-selnya hanya mendapat makanan melalui difusi nutrien dari jaringan pembuluh di

dermis di bawahnya. Sel-sel yang baru trebentuk di lapisan dalam secara terus menerus

mendorong sel-sel yang lebih tua mendekati permukaan dan semakin jauh dari pasokan
makanan. Hal ini, disertai oleh kenyataan bahwa lapisan luar secara kontinu mengalami

tekanan dan “wear and tear” menyebabkan sel-sel tua mati dan menggepeng. Sel-sel
epidermis berikatan erat satu sama lain melalui desmosom titik, yang berhubungan

dengan filamen keratin intrasel untuk membentuk suatu lapisan pembungkus kohesif

yang kuat. Selama pematangan sel penghasil keratin, terjadi akumulasi filamin-filamen

keratin secara prosegif yang saling berikatan silang di dalam sitoplasma. Sewaktu sel-sel
di bagian luar mati, yang tertinggal hanya inti kerati fibrosa yang membentuk skuama

keras-gepeng dan menjadi lapisan keratinisasi produktif kuat. Skuama pada lapisan

kreatinisasi paling luar ya g terkelupas atau tanggal akibat abrasi, secara terus-menerus
diganti melalui pembelahan sel, dan dengan demikian ketebalan lapisan keratinisasi ,

berbeda-beda untuk berbagai bagian tubuh. Lapisan ini paling tebal pada
tempat-tempat di bagian kulit mendapat tekanan paling besar misalnya di telapak kaki.

Lapisan keratinisasi bersifat kedap udara, cukup kedap air, dan sulit ditembus oleh

sebagian besar bahan. Lapisan ini berfungsi menahan lewatnya nahan dalam kedua arah
antara tubuh dan lingkungan eksternal. Sebagai contoh, lapisan ini memperkecil

kehilangan air dan konstituen vital lain dari tubuh. Manfaat lapisan keratinisasi protektif
dalam menahan cairan tubuh ini akan jelas tampak pada luka bakar luas. Pada jaringan

bakteri, tetapi juga terjadi pengeluaran air tubuh dan protein plasma, yang keluar dari

permukaan terbakar yang menimbulkan kosekuensi sistemik lebih serius. Gangguan


sirkulasi yang terjadi menyebabkan kematian.

Demikian juga, sawar kulit mengganggu masuknya sebagian besar bahan yang
berkontak dengan kulit termasuk bakteri dan zat kimia toksik, ke dalam tubuh. Umumnya
kulit memodifikasi senyawa-senyawa yang berkontak dengannya. Sebagai contoh,

enzim-enzim epidermis mampu mengubah banyak zat berpotensi karsinogen menjadi

senyawa yang tidak berbahaya. Namun sebagian bahan, terutama yang larut lemak,
mampu menembus kulit utuh. Obat-obat yang dapat diserap oleh kulit kadang-kadang

diberikan dalam bentuk “patch” (tempelan) kulit yang berisi obat yang bersangkutan.

Dermis adalah lapisan jaringan ikat yang mengandung banyak serat elastin (untuk

peregangan) dan serat kolagen (untuk kekuatan), serta jumlah besar pembuluh darah
dan ujung-ujung saraf khusus. Pembuluh darah dermis tidak hanya memasok darah ke

dermis dan epidermis, tetapi juga berperan penting dalam mengatur suhu. Kaliber
pembuluh-pembuluh darah ini, dan dengan demikian volume darah yang mengalir di

dalamnya, dapat dikontrol untuk mengubah-ubah tingkat pertukaran panas antara

pembuluh permukaan kulit ini dengan lingkungan eksternal. Reseptor-reseptor di ujung

perifer serat saraf aferen di dermis mendeteksi tekanan, suhu, nyeri dan masukan

somatosensorik lainnya. Ujung-ujung saraf aferen di dermis mengontrol kalober


pembuluh drah, ereksi rambut, dan sekresi oleh kelenjar eksokrin kulit,

Lipatan-lipatan epidermis tertentu massuk ke dalam dermis dibawahnya untuk

membentuk kelenjar eksokrin kulit-kelenjar keringat dan kelenjar sebasea-serta folikel


rambut. Kelenjar keringat yang terdapat di sebagian besar permukaan tubuh

mengeluarkan larutan garam encer melalui lubang-lubang kecil, pori-pori keringat, ke


permukaan tubuh. Penguapan keringat ini mendinginkan kulit dan penting dalam

pengaturan suhu. Jumlah keringat yang diproduksi dapat diatur dan bergantung pada

suhu lingkungan, jumlah panas yang dibentuk oleh aktivitas otot, dan berbagai faktor
emosi misalnya orang yang sering bekeringat apabila cemas. Suatu jenis kelenjar keringat

khusus yang terletak di daerah aksilan(ketiak) dan pubis menghasilkan keringat kaya
protein yang menunjang pertumbuhan bakteri permukaan, yang menyebabkan

timbulnya bau badan badan khas. Sebaliknya, sebagian besar keringat serta sekresi dari

kelenjar sebasea mengandung zat-zat kimia yang secara umum sangat toksik bagi
bakteri.

Sel-sel kelenjar sebasea menghasilkan sekresi berminyak yang dikenal sebagai sebum
yang disalurkan ke folikel rambut didekatnya. Dari sini sebum berminyak tersebut
mengalir ke permukaan kulit, meminyaki rambut dan lapisan keratinisasi luar untuk

membantu membentuk lapisan kedap-air dan mencegah mereka mengalami kekeringan

dan pecah-pecah. Kurangnya proteksi oleh sebum dapat terlihat pada tangan atau bibir
yang pecah-pecah. Kelenjar sebasea terutama aktif selama masa remaja, sehingga di

kelompok usia belasan ini sering memperlihatkan kulit yang berminyak.

Setiap folikel rambut dilapisi oleh sel-sel khusus penghasil keratin, yang mengeluarkan

keratin dan protein lain yang membentuk batang rambut. Rambut meningkatkan
kepekaan permukaan kulit terhadap rangsangan taktil (sentuhan). Pada beberapa spesies

yang lebih rendah, fungsi ini mungkin lebih disempurnakan. Sebagai contoh, sungut
kucing sangat peka dalam hal ini. Peran rambut yang lebih penting pada hewan-hewan

rendah adalah konservasi panas, tetapi fungsi ini tidak bermakna bagi manusia yang

relatif tidak berbulu. Seperti rambut, kuku juga produk keratinisasi khusus yang berasal

dari struktur epidermis hidup, yakni dasar kuku (nail bed).

Sel-sel khusus di epidermis menghasilkan keratin dan melamin serta berperan dalam
pertahanan imun.

Epidermis mengandung empat jenis sel residen, melanosit, keratinosit, sel langerhans,

dan sel granstein ditambah limfosit T transien yang tersebar di seluruh epidermis dan

dermis. Masing-masing jenis sel residen ini melakukan fungsi tertentu.

Melanosit menghasilkan pigmen cokelat melanin, yang jumlahnya menentukan berbagai

corak warna cokelatdi kulit berbagai ras. Selain ditentukan secara herediter, kandungan

melanin juga dapat ditingkatkan secara singkat, oleh pajanan ke berkas sinar ultraviolet
dari matahari. Melanin tambahan ini yang penampakan luarnya menyebabkan timbulnya

“tan” (warna cokelat, melaksankan fungsi produktif, yaitu menyerap berkas sinar
ultraviolet yang berbahaya.

Sel epidermis yang paling banyak jumlahnya adalah keratinosit, yang seperti diisyaratkan
oleh namanya, mengkhususkan diri menghasilkan keratin. Pada saat mati, sel-sel ini
membentuk lapisan keratinisasi protektif di bagian luar kulit. Sel-sel ini juga berperan

menghasilkan rambut dan kuku. Fungsi keratinosit yang baru-baru ini ditemukan adalah
perannya dalam proses imunologis. Keratinosit mengeluarkan interleukin 1 (suatu produk
yang juga dihasilkan oleh makrofag), yang mempengaruhi pematangan sel T yang

cenderung terlokalisasi di kulit. Yang menarik, sel-sel epitel timus dibuktikan memiliki

kemiripan anatomis, molekuler, dan fungsional dengan keratinosit. Tampakanya


pematangan sel T pasca timus berlangsung di kulit di bawah arahan keratinosit.

Dua jenis sel epidermis lain juga berperan dalam imunitas. Sel Langerhans, yang
bermigrasi ke kulit dari sumsum tulang, dan Sel Granstein , jenis sel epidermis terakhir

yang ditemukan dan paling sedikit diketahui, berfungsi sebagai sel penyaji antigen. Sel
Langerhans menyajikan antigen ke sel T penolong dan mempermudah ketanggapan

sel-sel tersebut terhadap antigen-antigen terkait kulit. Sebaliknya sel Granstein


tampaknya berinteraksi dengan sel T penekan dan mungkin berfungsi sebagai “rem” bagi

respons imun yang diaktifkan oleh kulit. Sel Langerhans lebih peka terhadap kerusakan

yang ditimbulkan oleh radiasi ultraviolet (misalnya dari matahari) dibandingkan dengan

sel Granstein. Hilangnya sel Langerhans akibat pajanan ke radiasi ultraviolet dapat

menyebabkan predominasi sinyal penekan terhadap sinyal penolong yang dalam


keadaan normal lebih dominan, sehingga kulit menjadi lebih rentan terhadap invasi

mikroba dan sel kanker.

Berbagai komponen sistem imun di epidermis secara kolektif disebut sebagai


skin-associated lymphoid(SALT, jaringan limpoid terkait kulit). Penelitian-penelitian
terakhir mengisyaratkan bahwa kulit mungkin memiliki peran yang lebih besar dalam
pertahanan imun spesifik dibandingkan dengan yang dijelaskan disini. Hal ini dapat

dipahami, karena kulit berfungsi sebagai permukaan tubuh utama yang berhadapan

dengan lingkungan eksternal.


Selain itu, epidermis juga mensistesis vitamin D dengan adanya sinar matahari. Jenis sel

yang menghasilkan vitamin D maasih belum diketahui . vitamin D, yang berasal dari
molekul prekursor yang berkaitan erat dengan kolesterol, mendorong penyerapan Ca++

dari saluran pencernaan ke dalam darah. Biasanya diperlukan suplemen vitamin D melalui

makanan karena kulit biasanya tidak cukup mendapat pajanan sinar matahri untuk
menghasilkan vitamin ini dalam jumlah adekuat.

Tindakan-tindakan protektif di dalam rongga tubuh yang berhubungan lingkungan


eksternal menghambat invasi patogen ke dalam tubuh.

Sistem pertahanan tubuh manusia harus melindungi tubuh dari masuknya patogen

potensial tidak saja dari permukaan luar tubuh, tetapi juga dari rongga-rongga internal.

Yang berhubungan secara langsung dengan lingkungan eksternal- yaitu sistem

pencernaan, sistem genitourinaria, dan sistem pernapasan. Sistem-sistem ini menerapkan

berbagai strategi untuk menghancurkan mikroorganisme yang masuk melalui rute-rute


ini.

Air liur yang dikeluarkan ke dalam mulut di pintu masuk saluran pencernaan

mengandung suatu enzim yang melisiskan bakteri tertentu. Banyak bakteri yang dapat
bertahan hidup dan tertelan akan dibunuh oleh getah lambung yang sangat asam. Lebih

dalam di saluran pencernaan, lapisan dalam usus dilengkapi oleh gut-associated


lymphoid tissue(jaringan limfoid terkait usus). Namun, mekanisme defensif ini tidak 100%
efektif. Sebagian bakteri tetap dapat bertahan hidup dan mencapai usus besar bagian

terakhir dari saluran pencernaan, tempat mereka terus berkembang biak. Yang

mengejutkan, populasi mikroba normal ini membentuk suatu sawar alamiah terhadap
infeksi di dalam usus bagian bawah. Flora residen yang tidak berbahaya ini secara

kompetitif menekan pertumbuhan patogen potensial yang berhasil lolos dari serangan

antimikroba dibagian-bagian awal saluran pencernaan. Kadang-kadang, antibiotik yang


diberikan per oral untuk melawan suatu infeksi didalam tubuh menimbulkan infeksi lain

disaluran pencernaan. Dengan melumpuhkan sebagian flora usus normal, antibotik


mungkin menyebabkan pertumbuhan berlebihan spesies patogenik yang

resisten-antibiotik.
Didalam sistem genitourinaria (reproduksi dan kemih), mikroba yang masuk akan

menemui lingkungan yang tidak ramah karena urin dan sekresi vagina yang asam.
Organ-organ genitourinaria juga menghasilkan mukus lengket yang seperti kertas

penangkap lalat, menangkap partikel-partikel kecil yang masuk. Kemudian

partikel-partikel tersebut dimakan oleh fagiosit atau di sapu ke luar sewaktu organ
mengosongkan isinya (misalnya, partikel-partikel tersebut disiram ke luar dengan aliran
urin).

Sistem pernapasan juga diperlengkapi dengan beberapa mekanisme pertahanan penting

terhadap partikel yang terhirup. Sistem pernapasan adalah permukaan terluas pada
tubuh yang berkontak langsung dengan lingkungan eksternal yang semakin terpolusi.
Luas permukaan sistem pernapasan yang terpajan ke udara adalah tiga puluh kali lebih

besar daripada luas permukaan kulit. Partikel-partikel di udara yang berukuran besar

akan tersaring oleh rambut-rambut yang terdapat di pintu masuk hidung. Organ limfoid,

yakni “tonsil” dan “adenoid” membentuk proteksi imunologis terhadap patogen yang

terhirup di awal sistem pernapasan, terdapat jutaan tonjolan halus mirip bulu yang

dikenal sebagai silia. Yang secara terus menerus bergerak menyapu ke arah luar. Saluran
pernapasan diliputi oleh suatu lapisan mukus kental-lengket yang dikeluarkan oleh

sel-sel epitel dinding saluran pernapasan. Lapisan mukus ini, yang dipenuhi oleh semua
debris berbentuk partikel yang terhirup (misalnya debu) dan melekat kepadanya, secara

konstan digerakkan ke atas tenggorokan oleh gerakan silia. Tangga berjalan mukus ini

juga dikenal sebagai eskalator mukus. Ukus yang kotor tersebut dikeluarkan (diludahkan)

atau biasanya tertelan tanpa disadari oleh orang yang bersangkutan. Setiap benda asing

berbentuk partikel yang tidak dapat dicerna kemudian akan dikeluarkan melalui feses.

Selain menjaga agar paru tetap bersih, mekanisme ini juga penting untuk pertahan

terhadap serangan bakteri, karena banyak bakteri masuk ke dalam tubuh melalui partikel
debu. Yang juga berperan dalam pertahanan infeksi saluran pernapasan adalah antibodi

yang dikeluarkan ke dalam mukus. Selain itu, terdapat banyak spesialis fagositosik yang
disebut makrofag alveolusyang melakukan pembersihan didalam kantung udara
(alveoulus) paru. Pertahanan pernapasan yang lain adalah batuk dan bersin. Mekanisme

refleks yang sering terjadi ini adalah ekspulsi (pengeluaran) kuat berbagai benda sebagai

usaha untuk menyingkirkan iritan dari trakea (batuk) atau hidung (bersin).
Merokok menekan mekanisme-mekanisme pertahanan pernapasan normla. Asap dari

sebatang rokok dapat melumpuhkan silia selama beberapa jam, dan pajanan berulang
asap rokok akhirnya dapat menyebabkan kerusakan silia. Kegagalan aktivitas silia untuk

menyapu ke luar mukus yang dipenuhi partikel akan menyebabkan berbagai karsinogen

tetap berada di dalam saluran pernapasan untuk jangka lama. Selain itu, merokokok juga
melemahkan makrofag alveoulus. Partikel-partikel yang terdapat didalam asap rokok
tidak saja membajiri makrofag ttetapi komponen tertentu dalam asap rokok juga

memiliki efek toksik langsung pada makrofag, sehingga kemampuan sel ini memakan
benda asing berkurang. Selain itu, bahan-bahan tertentu di dalam asap tembakau
mengiritasi lapisan mukosa saluran pernapasan, sehingga terjadi produksi mukus
berlebihan yang dapat menyumbat saluran pernapasan secara parsial. Batuk perokok

(smoker’s cough) adalah usaha untuk mengeluarkan mukus stasioner yang berlebihan ini.

Efek ini dan efek toksik langsung lainya pada jaringan paru menyebabkan peningkatan

insidens kanker paru dan penyakit pernapasan kronik yang berkaitan dengan merokok.

Polutan udara mencakup sebagian dari bahan-bahan yang juga dijumpai di dalam asap

rokok dan dapat mempengaruhi sistem pernapasan dengan cara yang sama.

BAB DALAM PERSPEKTIF : FOKUS PADA HOMEOSTASIS

Kita tidak akan dapat bertahan hidup melewati awal masa bayi apabila kita tidak memiliki

mekanisme-mekanisme pertahan tubuh. Mekanisme-mekanisme ini menahan dan

mengeliminasi benda-benda asing yang potensial berbahaya, yang denganya kita terus

menerus berkontak dilingkungan eksternal yang tidak ramah ini. Mekanisme tersebut

juga menghancurkan sel-sel abnormal yang sering muncul didalam tubuh. Homeostasis
dapat secara optimal dipertahankan dan dengan demikian hidup juga dapat

dipertahankan, hanya jika sel-sel tidak megalami cedera fisik atau terganggu fungsinya

oleh mikroorganisme patogenik atau tidak diganti oleh sel-sel yang berfungsi abnormal,
misalnya sel yang mengalami trauma atau sel kanker. Sistem pertahanan imun yaitu

jaringan interaktif-kompleks beraneka segi dari leukosit, produk-produk sekretorik nya,


dan protein plasma, berperan secara tidak langsung bagi homeostasis dengan menjaga
agar sel-sel tetap hidup, sehingga mereka dapat melaksanakan fungsi khusus mereka

untuk mempertahankan lingkungan internal yang stabil. Sistem imun melindungi sel-sel

sehat lain dari benda asing yang berhasil masuk ke dalam tubuh, mengeliminasi sel-sel
kanker yang baru tumbuh, dan membersihkan sel yang cedera atau mati untuk

digantikan oleh sel baru yang sehat.

Kulit berperan secara tidak langsung pada homeostasis dengan berfungsi sebagai sawar

protektif anatara lingkungan eksternal dan sel-sel tubuh lainnya. Kulit membantu

mencegah bahan asing yang berbahaya, misalnya patogen dan zat kimia toksik, masuk
ke dalam tubuh dan membantu mencegah hilangnya cairan tubuh dan membantu

mencegah hilangnya cairan tubuh. Kulit juga berperan secara langsung pada homestasis

dengan membantu mempertahankan suhu tubuh melalui kelenjar keringat dan


penyesuaianaliran darah kulit. Jumlah panas yang dibawa k permukaan tubuh untuk
disalurkan ke lingkungan eksternal ditentukan oleh volume darah hangat yang mengalir
ke kulit.

Sistem lain yang memiliki rongga internal yang berhubungan dengan lingkungan

eksternal, misalnya sistem pencernaan, genitourinaria, dan pernapasan, juga memiliki

kemampuan pertahanan untuk mencegah agen (bahan) eksternal berbahaya masuk ke

dalam tubuh melalui rute-rute tersebut.

You might also like