Professional Documents
Culture Documents
Global
NUR MULIANI
XI IPA 1
SMAN 2 | BONTANG
Mengerikan, Level CO2 di Atmosfer Mencapai Tingkat Tertinggi dalam 800 Ribu
Tahun
Liputan6.com, London - Konsentrasi karbon dioksida atau CO2 di atmosfer telah mencapai
tingkat tertinggi dalam setidaknya 800.000 tahun. Hal itu dianggap cukup mengerikan bagi
para ilmuwan.
Pada bulan April, konsentrasi CO2 di atmosfer melebihi rata-rata 410 parts per million (ppm)
dalam satu bulan, menurut Observatorium Mauna Loa di Hawaii.
Ini adalah pertama kalinya dalam sejarah pembacaan observatorium itu bahwa rata-rata
bulanan CO2 telah melampaui level tersebut. Demikian seperti dikutip dari The
Independent pada Minggu (6/5/2018).
Para ilmuwan telah memperingatkan tingkat karbon dioksida yang melintasi ambang dapat
menyebabkan pemanasan global di luar tingkat "aman" yang diidentifikasi oleh masyarakat
internasional, mendorong kenaikan permukaan laut.
Karbon dioksida adalah gas rumah kaca paling penting yang dipancarkan oleh aktivitas
manusia termasuk pembakaran bahan bakar fosil, seperti batu bara dan minyak, pembuatan
semen dan penggundulan hutan.
CO2 tetap di atmosfer selama puluhan ribu tahun, memerangkap panas dari radiasi matahari
dan mendorong perubahan iklim.
Sebelum tahun 1800, CO2 atmosfer rata-rata sekitar 280ppm, yang menunjukkan efek emisi
buatan manusia sejak revolusi industri. Para ilmuwan percaya bahwa dunia tidak pernah
mengalami peningkatan kadar CO2 secepat dan sebanyak ini.Tahun lalu, Organisasi
Meteorologi Dunia (WMO) mengatakan bahwa konsentrasi CO2 pada 2017 sekitar 400ppm
melebihi variabilitas alami yang terlihat selama ratusan ribu tahun.
Setengah Kehidupan Alam Liar Terancam Punah dalam 100 Tahun
Liputan6.com, New York - Setengah dari kehidupan alam liar dan 60 persen tanaman di
banyak hutan besar di dunia terancam punah dalam satu abad ke depan. Hal itu sangat
mungkin terjadi jika manusia tidak segera bertindak menanggulangi pemanasan global.
Dilansir dari Time.com pada Kamis (15/3/2018), pernyataan di atas didapat dari hasil
penelitian ilmiah oleh World Wildlife Fund, bekerja sama dengan Universitas Anglia Timur
dan Universitas James Cook, yang dimuat di jurnal Climatic Change.
Hasil penelitian tersebut memperingatkan bahwa pemanasan global dan beragam fenomena
terkait, seperti badai ekstrem, tidak teraturnya curah hujan, serta kekeringan panjang, dapat
menimbulkan ancaman keras terhadap kelangsungan banyak biodiversitas, seperti lembah
Sungai Amazon, Kepulauan Galapagos, bagian tenggara Australia, serta pantai-pantai di
kawasan Eropa dan Karibia.
"Hari-hari yang semakin panas, kekeringan dalam waktu panjang, dan berbagai bencana
intens lainnya akan dianggap 'kenormalan' baru, tapi mengancam kelangsungan makhluk
hidup di banyak bagian di Bumi," ujar Nikhil Advani, ahli cuaca yang memimpin penelitian
terkait.
Studi terkait meneliti kemungkinan dampak perubahan iklim pada hampir 80.000 spesies
tanaman dan hewan di 35 biodiversitas terbesar di dunia.
Mereka meneliti tiga skenario pemanasan global, yaitu peningkatan suhu Bumi sebanyak 2
derajat Celsius, ambang batas Perjanjian Paris, dan kenaikan suhu Bumi sebesar 3,2 derajat
Celsius yang diperingatkan oleh PBB.
Ketiga skenario tersebut, justru diketahui kian parah terjadi saat ini. Kenaikan suhu tercatat
berpotensi menyentuh angka 4,5 derajat Celsius pada akhir abad ke-21.
Pemanasan Global Bikin Beruang Kutub Jadi Kurus
Temuan ini diketahui peneliti dengan mengerahkan kamera video di sembilan beruang kutub
betina. Dari alat yang ada, bisa dimonitor tentang darah dan berat badan. Setelah dilakukan
pemantauan selama 10 hari, diketahui ada lima beruang kutub yang kehilangan berat badan.
Lalu, empat beruang kutub lainnya kehilang bobot 1,5-2,5 kilogram setiap hari.
"Ini adalah penurunan jumlah berat badan yang begitu besar," kata pemimpin studi yang juga
ahli biologi hewan liar US Geological Survey, Anthony Pagano.
Iklim yang dulu membuat beruang kutub bisa mencari mangsa dengan mudah, sehingga bisa
memberi makan anak-anak dan mampu bertahan ketika musim dingin tiba. Namun, karena es
menyusut, sulit bagi beruang kutub memangsa anjing laut seperti dikatakan Pagano
mengutip NY Post, Senin (5/2/2018).
Cara beruang kutub memangsa anjing laut amat mengandalkan lapisan es. Hewan ini kerap
menunggu anjing laut yang keluar dari lubang untuk mendapatkan udara. Sayangnya, ketika
lapisan es mencair, beruang harus banyak bergerak dan berenang untuk mencapai mangsa.
Pagano menceritakan lapisan es di Arktik menebal pada saat musim dingin lalu mulai
meleleh di musim panas. Namun, perubahan iklim membuat lapisan es menipis lebih awal
dan lebih cepat. Beruang kutub betina harus membakar energi 60 persen lebih banyak dari
sebelumnya. Jarak yang ditempuh untuk mendapatkan mangsa bisa mencapai 250 kilometer
dalam 10 hari.
"Jika itu buruk bagi beruang kutub, mungkin perubahan iklim bisa berpengaruh pada kita,
manusia," kata Durner.
Kondisi berburu seperti ini membuat beruang kutub menghabiskan energi lebih banyak,
hipotermia, dan risiko meninggal lebih tinggi seperti disampaikan profesor biologi dari
University of Alberta, Andrew Derocher yang tidak terlibat dalam studi ini.
Pemanasan Global: Suhu Bumi Meningkat dalam 3 Tahun Terakhir
Liputan6.com, Washington, DC - Menurut data yang dilansir oleh Badan Kelautan dan
Atmosfer Nasional (NOAA) Amerika Serikat (AS), tahun 2017 adalah tahun terpanas ketiga
setelah 2016 dan 2015.
Dilansir dari laman The Verge, kecenderungan suhu Bumi dalam jangka panjang meningkat
1,1 derajat Celcius dalam tiga tahun terakhir, beberapa tingkat lebih tinggi dari suhu sebelum
terjadinya Revolusi Industri pada Abad ke-18.
Pernyataan NOOA tersebut sedikit berbeda dengan laporan yang dikeluarkan oleh NASA,
yakni rata-rata peningkatan suhu Bumi tercatat meningkat sebanyak 0,90 derajat Celcius.
Meski kedua lembaga sama-sama menyimpulkan satu hal: Bumi makin panas.
Kenaikan suhu Bumi, menurut NASA, berdampak pada terjadinya beragam anomali cuaca di
banyak tempat d penjuru dunia, termasuk paling terakhir adalah badai bom siklon yang
melanda kawasan pantai timur AS.
NASA mengatakan lewat Twitter, tahun 2017 merupakan tahun terpanas kedua di Bumi,
"melanjutkan tren pemanasan ke-17 dari 18 tahun terpanas dalam satu dekade sejak tahun
2001."
Dalam satu abad terakhir, tercatat kenaikan suhu Bumi rata-rata lebih dari 1 derajat Celcius.
Kenaikan ini utamanya disebabkan oleh tidak terkendalinya emisi karbon dioksida dan gas
buang lainnya, hasil aktifitas manusia yang merusak atmosfer.
Tren pemanasan global paling terlihat dampaknya di kawasan Arktik atau Kutub Utara, yang
selama satu dasawarsa terakhir kerap dilaporkan kehilangan cukup banyak volume es setiap
tahunnya.
Begitupun juga kawasan Antartika di belahan bumi selatan, yang meskipiun mengalami
pencairan es lebih sedikit, namun tetap dianggap mengkhawatirkan, khususnya terkait
dampaknya pada kenaikan permukaan laut.
Ini Dampak Perubahan Iklim terhadap Angka Kematian Manusia
Sementara itu, angka kematian akibat pemanasan global akan terus meningkat di beberapa
wilayah dunia.
Dilansir dari The Telegraph, Selasa (14/11/2017), data menunjukkan hampir 50 ribu orang
tewas akibat flu yang terjadi pada musim dingin di Inggris. Jumlah tersebut dinyatakan akan
berkurang sekitar 32 sampai 50 persen, jika skenario terburuk perubahan iklim benar-benar
terjadi di pengujung abad ke-21.
Di sisi lain, jumlah kematian pada musim panas yang telah merenggut sekitar dua ribu jiwa
akan meningkat hingga lima atau tujuh kali lipat.
Hal ini dipertegas Antonio Gasparrani, seorang profesor biostatistik dan epidemiologi dari
London School of Hygiene & Tropical Medicine. Ia berkata, "Perubahan iklim saat ini
dikenal luas sebagai ancaman global terbesar pada abad ke-21."
"Kabar baiknya, jika kita mengambil tindakan untuk mengurangi pemanasan global, jumlah
kematian tadi akan menjadi jauh lebih rendah," dia menegaskan.
Potensi meningkatnya jumlah kematian akibat pemanasan global tersebut merupakan hasil
penelitian dari sekelompok peneliti yang dipublikasikan di The Lancet Planetary Health.
Penelitian dilakukan untuk mengukur dampak kesehatan dari meningkatnya suhu temperatur
global.
Peneliti coba membandingkan jumlah kematian yang terjadi akibat suhu dingin dan panas di
451 lokasi di seluruh dunia, dengan menggunakan data berupa 85 juta kematian yang terjadi
antara 1984-2015. Itu dilakukan demi menaksir dampak perubahan iklim pada kematian di
beberapa lokasi.
Tim penelitian juga memperkirakan, bagaimana angka kematian itu dapat berubah
berdasarkan empat skenario alternatif tentang perubahan iklim yang dirancang oleh Panel
Antar Pemerintah Tentang Perubahan Iklim (IPCC).
Para peneliti kemudian memaparkan "skenario terburuk" bagi beberapa wilayah beriklim
hangat, jika saja emisi gas rumah kaca terus meningkat sepanjang abad ke-21.
Seperti contoh, angka kematian di Eropa Selatan yang meningkat 6,4 persen di pengujung
abad bila pemanasan global terus dibiarkan terjadi.
Asia Tenggara juga akan bernasib serupa, dengan adanya peningkatan angka kematian
sebesar 12,7 persen tiap tahunnya. Begitu juga Amerika Selatan, dengan peningkatan 4,6
persen jumlah kematian setiap tahunnya.
Sementara itu, peningkatan jumlah kematian di wilayah beriklim lebih sejuk seperti Eropa
Utara tidak akan terjadi, atau bahkan berkurang.
Hasil dari penelitian menyimpulkan, skenario buruk tersebut dapat dicegah, jika sejumlah
negara yang terikat dalam Perjanjian Paris 2015 segera mencegah terjadinya pemanasan suhu
bumi di atas 2 derajat Celsius. Jika itu dapat dilakukan, jumlah kematian tiap tahunnya dapat
ditekan menjadi -0,4 hingga 0,6 persen.
Tanggapan:
Dampak pemanasan global memang belum terlalu terasa pada masyarakat Indonesia. Hanya
cuaca yang tidak menentu yang menyebabkan beberapa penyakit yang masih bisa diobati.
Namun, sesungguhnya pemanasan global layaknya bom waktu yang sedang menghitung
mundur.
Tanda – tandanya mulai terlihat di beberapa negara. Bahkan di artikel kedua dan ketiga mulai
menjabarkan dampaknya secara ngamblang bahwa setengah populasi alam liar akan punah.
Itu bukanlah sebuah gurauan karena di artikel ketiga telah dijelaskan dampak pemanasan
global menyebabkan beruang kutup kurus dan meningkatkan tingkat kematian beruang kutup
yang berbanding lurus dengan tingkat kepunahan mereka.
Pemanasan global sedang terjadi sekarang. Jika kita tidak menanggulangi atau bertindak
maka akan terjadi seperti yang diperhitungkan para ilmuwan di artikel kelima, kepunahan
makhluk hidup.
Berikut hal – hal sederhana yang dapat menanggulangi atau mengurangi dampak dari
pemanasan global:
1.Melakukan penghematan listrik
Dengan berhemat listrik, secara tidak langsung kita telah mengurangi kadar CO2 pada lapisan
atmosfer karena sebagian besar gas CO2 ini dihasilkan dari pembangkit listrik yang berbahan
bakar fosil.
Reuse, merupakan cara pemanfaatan sampah atau memanfaatkan kembali barang yang sudah
tidak terpakai atau penggunaan barang – barang yang tidak sekali pakai, jadi barang tersebut
masih dapat digunakan dan dimanfaatkan untuk pemakaian kedua dan seterusnya. Misalnya
seperti menggunakan kertas bekas untuk kertas corat-coret atau catatan keperluan sehari hari
atau menggunakan sapu tangan yang bisa digunakan kembali daripada menggunakan kertas
tissue.
Reduce, yaitu melakukan penghematan dan mengurangi sampah. Misalnya hemat dalam
menggunakan kertas dan tissue karena kertas dan tissue terbuat dari kayu yang harus ditebang
dari pohon di hutan. Atau bisa juga membeli produk yang berlabel ramah lingkungan dan
mengurangi pemakaian produk yang dikemas plastik atau styrofoam. Dan berhenti
menggunakan semprotan aerosol untuk mengurangi CFC yang akan mengganggu lapisan
Ozon bumi.
Recycle, yaitu mendaur ulang barang – barang yang sudah tidak dapat digunakan menjadi
barang yang memberikan manfaat. Misalnya dengan cara memisahkan barang – barang yang
berbahan organik dan bukan organik terlebih dahulu. Lalu yang berbahan organik bisa
dimanfaatkan menjadi pupuk kompos dan yang bukan organik seperti botol plastik bisa
dikreasikan menjadi kotak pensil atau pot tanaman.