You are on page 1of 32

MOHAMMAD NATSIR: PEMIMPIN, PEJUANG, DAN NEGARAWAN

YANG TULUS DAN SEDERHANA

Abdullah Hehamahua

I. PENDAHULUAN

1. Karakter Pemimpin

Pemimpin hakikatnya adalah seorang komandan, manajer, dan pelayan.


Sebagai komandan, pemimpin dengan visi dan misi yang dipunyai, berada di
depan membawa bawahannya ke pintu gerbang tujuan perjuangan. Fungsi
utamanya, memberi arah, perintah, dan hala tuju yang harus dilalui dan diikuti
seluruh bawahannya. Untuk itu, dia harus berada di depan sebagai teladan
sekaligus siap menerima segala risiko, baik berupa penderitaan fisik, psikis
maupun nyawa.
Itulah karakter Abah Mohammad Natsir yang saya kenal, baik melalui
riwayat hidup yang ditulis pelbagai kalangan, cerita dari kawan-kawan, maupun
yang saya alami sendiri. Setidaknya sejarah mencatat, sebagai Ketua Fraksi
Masyumi di Parlemen, Abah Natsir memimpin gerakan dengan mosi
integralnya sehingga lahir NKRI dari pelbagai negara-negara serikat yang ada
di Indonesia pada waktu itu. Sebagai komandan, beliau juga siap menerima
segala risiko perjuangan di mana ketika bersama kawan-kawan di PRRI
mengoreksi total kesalahan prinsipil yang dilakukan Soekarno, beliau bersama-
sama kawan-kawannya masuk penjara.
Sebagai manajer, Abah Natsir menjadikan bawahannya sebagai partner,
mitra kerja. Dimintai, dikumpulkan, dan diterima semua ide, informasi, dan
saran dari siapa saja, termasuk bawahan yang terbawah sekali. Itulah
sebabnya lahir Forum Nasi Bungkus DDII yang melibatkan semua angkatan
dari Pimpinan, tokoh, dan pengikut Masyumi di mana saya sebagai orang
termuda ikut di dalamnya. Di forum yang dilaksanakan setiap ba’da shalat
Jum’at ini, Abah Natsir lebih banyak mendengar informasi, saran, dan masukan
dari 14 peserta forum lainnya. Beliau hanya sekali-sekali memberi komentar

1
atau kalau dimintai pendapat. Bak palu hakim di meja hijau, jika abah Natsir
telah mengeluarkan pendapat, sepertinya tidak ada sanggahan yang serius.
Sebagai pelayan, Abah Natsir membantu menyediakan keperluan orang
lain, baik tamu maupun karyawan sendiri. Bahkan, beliau sendiri memberi
tanda dengan spidol di surat kabar setiap hari, berita mana yang akan digunting
oleh bagian dokumentasi untuk dikliping. Hamper tidak ada karyawan atau
tamu dari daerah yang meminta tolong, pulang dengan tangan hampa, minimal
berupa tiket pesawat terbang.

2. Pejuang Tanpa Pamrih


Sebagai pejuang sejati, Abah Natsir jarang mengharapkan imbalan materi
maupun nonmateri. Apalagi berupa pangkat, jabatan, dan harta. Ketika keluar
dari penjara orde lama, Abah Natsir mengirim surat ke Menteri Keuangan
Jepang, Fukuda agar mau membantu pembangunan Indonesia. Aneh bukan.?
Dipenjarakan oleh pemerintah Indonesia, tetapi meminta bantuan luar negeri
untuk pembangunan nasional Indonesia. Ketika memeroleh anugerah doctor
honoris causa dari Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM), 1980, beliau
ikhlas tidak hadir di acara presitisius di Kuala Lumpur itu karena Abah Natsir
dilarang pemerintah Indonesia untuk keluar negeri. Bahkan, ketika masyarakat
Aceh menyatakan diri keluar dari Indonesia akibat lambatnya penetapan Aceh
sebagai daerah istimewa, Abah Natsir ikhlas mengundurkan diri dari jabatan
Perdana Menteri agar persoalan Aceh dapat cepat diselesaikan.

3. Kenegerawan yang Tulus


Ketika wajib mengoreksi kesalahan Soekarno, beliau tulus mengundurkan
diri dari jabatan Perdana Menteri, demi kelancaran pengelolaan pemerintahan.
Ketika bebas dari tahanan orde lama, abah Natsir tulus menerima putusan
pemerintah yang tidak bersedia merehabilitasi Masyumi, partai yang pernah
dipimpinnya. Beliau pun dengan kawan-kawan membentuk Dewan Dakwah
Islamiah Indonesia dengan moto: kalau dulu kita berdakwah melalui politik,
sekarang kita berpolitik melalui dakwah.

2
4. Kesederhanaan dalam Perilaku
Sejarah mencatat, Rasulullah saw sering shaum sunat karena tidak ada
makanan di rumah yang akan dikonsumsi. Bahkan ketika meninggal dunia,
baju perang Rasulullah saw masih tergadai. Begitulah kesederhanaan hidup
duniawi seorang rasul, kepala negara, panglima perang yang bernama
Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib, uswah seluruh muslimin/
muslimah sejagat. Itulah yang menjadi teladan Abah Natsir. Sedemikian
sederhana sehingga sampai meninggal dunia, Abah Natsir tidak punya rumah
pribadi. Bahkan, ketika mengundurkan diri dari jabatan Perdana Menteri, Abah
Natsir pulang diboncengi sepeda oleh mantan sekretarisnya. Demikian pula,
sampai meninggal dunia, mobil yang digunakan adalah mobil DDII, bukan mobil
pribadi.
Dari empat pendekatan di atas - karakter pemimpin, pejuang tanpa pamrih,
negarawan yang tulus, dan perilaku sederhana - saya mengisahkan sosok
Abah Mohammad Natsir sebagai Pemimpin, Pejuang, dan Negarawan yang
Tulus dan Sederhana.

II. MENGHORMATI TAMU


A. Tamu adalah Raja
Dalam pelbagai riwayat, diketahui, Rasulullah saw sangat menghargai dan
menghormati tamu. Bahkan, dalam kondisi tertentu, selendangnya
dibentangkan di lantai untuk menjadi alas tempat duduk tamu khususnya.
Diriwayatkan juga, Rasulullah saw mengantar tamunya sampai ke pintu pagar.
Abah Mohammad Natsir, yang saya perhatikan dan alami, sangat menghargai
dan mengormati tamu.
Pada suatu siang, kami delegasi Forum Ukhuwah Generasi Muda Islam,
mau menemui Abah Natsir. Siang itu, beliau berkantor di Masjid Al Munawarah,
Tanah Abang, Jakarta Pusat. Delegasi yang datang pada waktu itu (yang saya
masih ingat): Yunani Alyutsa dan Natsir Zubaidi (PII); Ahmad Zainal Abidin
Urra, Sahar L. Hasan, dan saya sendiri (HMI), Ahmad Bagja dan M. Rojak
(PMII); dan Soetrisno Muhdam (Pemuda Muhammadiyah),
Ketika menuju pintu kantor DDII Jakarta, terlihat Abah Natsir sudah keluar
mau menuju mobil. Menyaksikan kami datang, beliau menghentikan langkah

3
menuju mobil. Beliau langsung masuk ke dalam ruangan kerjanya. Kami pun
dipersilahkan masuk.
Dengan senyum tetapi serius, beliau mendengar pembicaraan kami.
Sebagai jubir, saya menjelaskan maksud kedatangan kami, yakni hasrat yang
tinggi agar terciptanya persatuan umat Islam di Indonesia. Sebab, pada waktu
itu, eksistensi kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya umat Islam, tak
ubahnya telur di ujung tanduk. Ada aliran kepercayaan dan asas tunggal
Pancasila yang akan dimasukkan ke dalam GBHN. Bahkan, sudah diterbitkan
dan diajarkan PMP (Pendidikan Moral Pancasila) di peringkat SD sampai
dengan SMA yang sangat berpotensi menggerus aqidah Islam murid-murid
muslim/muslimah. Bahkan sebelumnya telah ada Petisi 50 di mana Abah
Natsir, salah seorang penanda tangan yang mengkritik presiden Soeharto yang
memaksakan penerapan asas tunggal Pancasila.
Mendapat dukungan moril dari abah Natsir, pertemuan-pertemuan
dilanjutkan dengan tokoh-tokoh yang lain, di antaranya yang masih saya ingat:
Pak Syafruddin Prawiranegara dan Burhanuddin Harahap (dari Masyumi); KH
Masykur dan Ali Mas’um (Rois Am NU); pak AR Fachruddin dan Lukman Hakim
(PP Muhammadiyah); pak CH Ibrahim dan Dr. Bustamam (Syarikat Islam),
serta Buya Mustafa Basyir (Kiblat Center). Akhirnya semua tokoh Islam
menandatangani pernyataan bersama, menolak PMP.

B. Menghargai Pendapat Tamu


Selama berkantor di DDII, saya beberapa kali diminta Abah Natsir
menemani beliau ketika menerima tamu. Apalagi tamu dari kalangan pemuda
dan mahasiswa, baik dalam maupun luar negeri. Tiga pertemuan yang sampai
sekarang saya masih ingat, yakni:

1. Pertemuan dengan Mahasiswa Yogyakarta


Para mahasiswa ini dengan semangat berapi-api mengemukakan
pendapatnyar. Saya yang merasa senior dari mereka di organisasi
mahasiswa agak jengkel, tetapi abah Natsir, senyum-seyum saja. Intinya,
mereka meminta abah Natsir memberi komando kepada umat Islam untuk
melakukan perlawanan, bahkan perang terhadap pemerintah.

4
“Berapa peleton tentera di belakang saudara,?” tanya abah Natsir
selesai mendengar pernyataan mahasiswa tersebut. Saya kaget
mendengar pertanyaan itu. Setelah mendengar penjelasan beliau, saya
baru mengerti. “di belakang saya dan kawan-kawan, ada beberapa peleton
tentara. Tetapi, kemudian mereka khianat.” Saya baru ingat, ketika peristiwa
PRRI yang merupakan salah satu bentuk tuntutan otonomisasi daerah
karena Soekarno semakin menyimpang dari konstitusi, kolonel Simbolon
dengan pasukannya berada di belakang PRRI. Tetapi, ketika ada perintah
pembumi-hangusan Sumatera Barat dari Jakarta, tentara ini
mmeninggalkan abah Natsir dan kawan-kawan.

2. Pertemuan dengan Ketua WAMY


Pada tahun 1982, Ketua WAMY (World Assembly Moslem Youth)
datang dari Amerika Serikat didampingi oleh Ketua WAMY Asia Tenggara,
saudara Komaruddin Noor. Saya diperintahkan Abah Natsir menjemput
mereka di bandara. Kalau tidak salah ingat, saya bersama Kang Hardi Arifin
yang ke bandara.
Pada pertemuan itu, Ketua WAMY menginformasikan perkembangan
organisasi kepemudaan Islam di dunia dan kegiatannya. Beliau juga
meminta informasi mengenai perkembangan organisasi kemahasiswaan di
Indonesia. Selama pertemuan, abah Natsir lebih banyak mendengar dan
hanya sekali-kali memberi komentar. Pak Roem yang juga hadir dalam
pertemuan itu, sama dengan abah Natsir, hanya memberi sedikit komentar.
3. Pertemuan dengan Mahasiswa Jakarta
Pasca revolusi Iran (1979), mahasiswa yang tergoda dengan semangat
revolusi Iran, bertambah banyak. Namun, pada waktu yang sama, mereka
juga terseret ke arena keyakinan dengan ikut-ikutan ajaran dam
pemahaman syiah. Apalagi, mereka yang sempat datang ke Iran,
khususnya di kota Qum. Saya pada waktu itu juga mendapat undangan
(dalam kapasitas sebagai Ketua Umum PB HMI) dari Kedutaan Besar Iran
untuk menghadiri peringatan revolusi Iran di Teharan. Namun, saya tidak
menghadiri acara tersebut dengan pertimbangan aqidah dan ideologis.
Pada pertemuan ini, abah Natsir menanyakan, apakah mahasiswa-
mahasiswa di Jakarta, ada yang tergoda dengan ajaran syiah. Jawaban
5
mahasiswa agak mengejutkan saya, apalagi abah Natsir. Lebih-lebih ketika
mahasiswa ini menyebutkan salah satu kampus besar di Jakarta terkena
virus syiah. Selesai pertemuan, abah Natsir langsung memerintahkan saya
untuk menangani masalah syiah di kampus-kampus di Jakarta.
Kalau tidak salah, dua pekan sesudahnya saya mengadakan
pertemuan dengan beberapa aktivis HMI dan PII. Saya ingat betul, hadir
dua mantan Ketum HMI Cabang Jakarta, seorang aktivis HMI Cabang
Jakarta, seorang mantan Pengurus HMI Cabang Medan, beberapa
Pengurus HMI Rayon KSK (yang memang berkantor di Kramat Raya 45),
dan beberapa aktivis HMI dan PII yang bekerja di DDII dan LIPPM. Hadir
pula seorang dokter yang merupakan pimpinan syiah DKI.
Menghadapi Ketua syiah DKI dan kawan-kawannya tersebut, saudara
Nabhan Husein (mantan Ketua HMI Cabang Ciputat) diminta hadir.
Ternyata luar biasa beliau menguasai masalah syiah dan kelemahan-
kelemahannya. Satu hasil konkrit dari pertemuan waktu itu, tiga tokoh HMI
dapat dikembalikan ke mashab suni. Namun, sampai sekarang, masih ada
dua orang yang belum berhasil diyakinkan kesesatan ajaran syiah.

4. Memberi Oleh-Oleh ke Tamu


Cerita dari kawan-kawan di Kramat Raya 45, setiap tamu dari daerah
yang bertemu abah Natsir, ketika mau pulang, diberi oleh-oleh, setidaknya
berupa tiket pesawat terbang. Hal ini dialami isteri dan anak-anak saya
ketika mereka bersilaturrahim ke rumah abah (1991). Ketika berada di
Jakarta, isteri dan anak-anak dikawanin ustadz Syuhada Bahri, menemui
abah di rumah beliau. Abah menanyakan langsung satu per satu sekolah
anak-anak. Ketika mengetahui, anak tertua baru selesai ujian akhir SD,
abah menyarankan agar pelajarannya dilanjutkan ke Ngruki.
Salah satu ciri khas abah ketika melayani tamu, khususnya yang
datang dari daerah, selalu ada pesangon. Melalui ustadz Syuhada, semua
biaya tiket isteri dan empat anak saya dari Jakarta ke Kuala Lumpur,
ditanggung oleh abah Natsir.

6
C. MELIBATKAN DAN BERSAMA BAWAHAN

1. Pemimpin sebagai Komandan


Sebagai komandan, seorang pemimpin berada di depan, menjadi
teladan dan guide atau pemandu umatnya. Hal ini dapat dilihat dari beberapa
peristiwa penting, baik di dunia internasional, nasional, Dewan Dakwah,
maupun apa yang saya pribadi alami.
a. Di Malaysia, ada PAS (Partai Islam Se-Malaysia) disebut sebagai
Masyumi-nya Malaysia. Tujuan PAS adalah memperjuangkan berdirinya
negara Islam, setidaknya berlaku syariat Islam di negeri jiran tersebut.
Mereka terinspirasi dengan pidato Abah Natsir di sidang Konstituante
yang memperjuangkan Islam sebagai Dasar Negara. Hari ini, dua
provinsi di Malaysia yang menerapkan syariat Islam adalah Kelantan
dan Trengganu karena kedua wilayah ini dikuasai oleh PAS.
Hal yang sama berlaku di ABIM (Angkatan Belia Islam Malaysia).
Betapa tidak.? Abah Natsir yang mengirim surat ke Dr. Mahathir
Mohammad, Perdana Menteri Malaysia waktu itu, meminta agar Anwar
Ibrahim dibebaskan dari tahanan. Puncak karier Anwar Ibrahim adalah
Wakil Perdana Menteri sampai terjadi perselisihan politik di antara mereka
berdua pada tahun 1998.
Di dalam negeri, visi dan misi Abah Natsir, jelas sekali: suatu baldatun
tayyibatun wa rabbun ghafur. Itulah hakikat pidato beliau sebagai Ketua
Fraksi Masyumi yang memperjuangkan Islam sebagai dasar negara. Itulah
sebabnya, ketika Indonesia menjadi beberapa negara serikat, visi abah
Natsir terang benderang, memperjuangkan negara kesatuan Republik
Indonesia. Melalui lobi beliau dengan visi dan misi yang kemudian dikenal
sebagai mosi integral, Abah Natsir berhasil menyatukan Indonesia dalam
bentuk NKRI dewasa ini. Sebagai tanda terima kasih pemerintah, abah
Natsir diangkat sebagai Perdana Menteri pertama NKRI.
Visi yang jelas sebagai seorang komandan terlihat dari ide beliau
menyusun suatu undang-undang yang mengatur secara nasional sistem
pemerintah daerah. Hal ini merupakan respons beliau atas tuntutan
masyarakat Aceh agar pemerintah pusat segera menetapkan Aceh
sebagai daerah khusus. Ketika saya ajukan pertanyaan ke Abah Natsir
7
(dalam Forum Nasi Bungkus), mengapa tidak segera diterbitkan ketentuan
Aceh sebagai daerah istimewa agar tidak terjadi pemberontakan,
jawabannya menunjukan visi dan wawasan kenegaraan luar biasa. Visi
besar abah Natsir yang lain ketika pada lain kesempatan di forum yang
sama (Forum Nasi Bungkus), saya mengajukan pertanyaan yang lebih
bersifat protes: Mengapa waktu itu, bukan orang NU saja yang ditunjuk
menjadi Menteri Agama sehingga mereka tidak keluar dari Masyumi.?
“Pendekatan kita adalah kualifikasi, tolok ukur, sistemik di mana ditetapkan
terlebih dahulu persyaratan seseorang menjadi Menteri agama itu. Bukan
golongan mana yang harus menjadi Menteri Agama. Kalau ternyata,
kualifikasi itu dipenuhi seseorang yang kebetulan orang NU, individu itulah
yang dilantik. Sebaliknya, jika kualifikasi itu ada di orang Muhammadiyah
atau Syarikat Islam, tokoh itulah yang diamanahkan sebagai Menteri
agama. Jadi pendekatannya, pendekatan kualitatif, pendekatan sistem,
bukan pendekatan kelompok,” demikian jawaban abah Natsir.

2. Pemimpin sebagai Manajer


Sebagai manajer, pemimpin menjadikan bawahan, karyawan atau
anggotanya sebagai mitra kerja. Sebagai mitra, setiap bawahan, karyawan
atau anggota mempunyai hak dan kewajiban yang sama sesuai dengan job
desk masing-masing. Salah satu haknya, mereka boleh mengajukan saran,
pendapat atau masukan guna memajukan organisasi, Lembaga atau
negara. Itulah pola kepemimpinan yang diterapkan abah Natsir. Beberapa
pengalaman mengenai hal ini yang saya masih ingat, antara lain:
a. Laporan Rutin
Saya diajak bergabung di Forum Nasi Bungkus pada tahun 1981,
tidak lama setelah selesai mengemban amanah sebagai Ketua Umum
PB.HMI. Forum ini merupakan ide abah Natsir untuk mengumpulkan
semua tokoh dan aktivis yang sealiran dengan ideologi Masyumi yang
diperjuangkan DDII. Tujuannya, mendengar dan menampung pelbagai
saran, informasi dan ide, bagaimana menyelamatkan bangsa dan
negara yang terancam hancur akibat kezaliman presiden Soeharto.
Pertemuan dilakukan setiap selesai shalat Jum’at di kantor DDII
disertai mengonsumsi nasi bungkus. Itulah sebabnya, kelompok ini
8
diberi nama: Forum Nasi Bungkus. Anggotanya terdiri dari lintas
generasi. Generasi pertama: abah Natsir sendiri, pak Syafruddin
Perwiranegara, pak Mohammad Roem, pak Yunan Nasution, pak Ali
Akbar, dan pak Burhanuddin Harahap (dokter Ali Akbar hanya
beberapa kali mengikuti pertemuan karena faktor kesehatan. Pak
Yunan Nasution, karena kesibukan rutin sebagai sekjen DDII, sering
tidak hadir). Generasi kedua: pak Anwar Haryono, pak Muhammad
Suleman, pak Nursal, pak Rajab Ranggasoli, pak Ibrahim Madilao, dan
pak AM Luthfi (satu-satunya peserta yang bukan berlatar aktivis ormas
Islam, tetapi karena banyak membantu abah Natsir khususnya dalam
membangun masjid Salman, ITB bersama bang Imad, maka beliau
diajak dalam forum ini. Beliau juga arsitek pembangunan Gedung DDII
yang sekarang). Salah seorang dari generasi kedua yang pernah hadir
adalah pak Amin Elly (mantan anggota DPR dari PPP Maluku.
Generasi ketiga: bang Husein Umar (mewakili PII), mang Endang
Jauhari (mewakili GPII) dan saya sendiri (mewakili HMI). Seharusnya,
unsur GPII diwakili ustadz Abdul Qadir Jaelani. Tetapi, disebabkan
beliau terlalu sering konfrontatif dengan orang-orang tua di DDII, maka
secara psikologis akan mengganggu kenyamanan forum sehingga
disepakati Mang Endang yang mewakili unsur GPII. Ada pula seorang
yang dapat dikategorikan sebagai generasi ketiga, mas Amin Rais,
pernah sekali diundang hadir dalam forum ini ketika beliau baru kembali
dari Amerika Serikat.
Dalam pertemuan yang keberapa (saya sudah lupa), saya
mengusulkan agar pada setiap pertemuan, ada laporan perkembangan
negara dalam sepekan terakhir, ada kegiatan konkrit yang dilakukan
selama sepekan berikutnya dan kemudian dilaporkan pelaksanaannya
pada pertemuan berikut. Masya Allah, usul saya diterima, bahkan saya
ditunjuk sebagai sekretaris forum dan bertanggung jawab dalam
pelaporan serta eksekusi program yang diputuskan forum.
Dalam posisi inilah, saya biasa meminta tolong ustadz Syuhada
Bahri, ustadz Ahmad Zainal Abidin Urra, dan ustadz Hafidz
mengadakan pelatihan da’i di daerah-daerah tertentu. Dalam kegiatan
tertentu, terlibat pula ustadz Abu Ridha, Sahar L. Hassan, Ramli
9
Hutabarat (almarhum), dan Mutammil Mulla yang waktu itu menjabat
Ketua Umum (PB. PII). Dari kegiatan ini pula lahir forum usroh, setiap
hari Kamis (habis jam kantor) di masjid Al Munawaroh, Tanah Abang.
Sesuai dengan konsep Hasan Al Bana, selain menjadi forum
transformasi keilmuan (khususnya aqidah dan Syariah), di forum ini
juga dibicarakan kegiatan operasional antara lain mengeksekusi
putusan Forum Nasi Bungkus. Usroh ini beranggotakan ustadz Fauzi
Agustjik, ustadz Abu Ridha, ustadz Ahmad Zainal Abidin Urra, Sahar
L. Hassan, Pak De, dan yang termuda adalah ustadz Syuhada Bahri
Bertindak sebagai guru (murabbi), ustadz Dahlan (mantu ustadz Abdul
Qadir Hasan, berarti cucu mantu ustadz Hasan Bandung).

b. Pembentukan Forum Cendekiawan Bulan Bintang


Pada suatu waktu, beberapa aktivis HMI, PII, dan GPII bertemu
dan berdialog dengan abah Natsir, mengambil tempat di kantor LIPPM.
Dari sekian informasi, keluhan, bahkan kritikan, ada aktivis yang protes
abah Natsir karena membiarkan aktivis yang dianggap dekat DDII yang
bertindak dan membuat pernyataan yang aneh-aneh. Jawaban abah
cukup membuat saya merenung, bahkan sampai sekarang. “Mereka
kan orang-orang cerdas, bahkan ada yang bergelar doctor. Masa kita
akan mengajar mereka pula,?” kurang lebih substansi jawaban abah
waktu itu.
Satu hal yang pasti, follow up dari pertemuan di antara abah Natsir
dan para aktivis itu, Forum Nasi Bungkus kemudian memutuskan,
membentuk Forum Cendekiawan Bulan Bintang.

c. Menghadapi Ekses Pasca Peristiwa Tanjung Priok


Sebelum pukul 07.00 hari Kamis tahun 1984, OB LIPPM datang ke
rumah saya di Jalan Tambak, Menteng, Jakarta Pusat. Saya sangat
terkejut. Sesampai di kantor, sudah ada abah Natsir dan pak Anwar
Haryono. Saya langsung masuk ke ruangan pak Anwar Haryono.
Begitu duduk, beliau langsung mengatakan, “tadi malam saudara Amir
Bikki, syahid.” Inna lillahi wa inna ilaihi roojiun. Untuk beberapa detik,
saya terdiam, bisu. Bukan saja rasa sedih, tetapi juga ada rasa dosa
10
dan penyesalan. Sebab, saya memang mendapat tugas khusus untuk
memastikan, kegiatan perlawanan umat Islam terhadap asas tunggal
Pancasila, khususnya di daerah Tanjung Priok, tidak abortus. Atas
amanah Forum Nasi Bungkus, saya menghubungi beberapa aktivis
untuk mengatur ritme gerakan perlawanan terhadap asas tunggal agar
tidak mengalami abortus. Saya menemui Hary Azhar Aziz (Ketum PB
HMI) waktu itu dan Yahya Sutisna (wakil Abdul Qadir Djaelani) di
sekretariat PB HMI, Jalan Diponegoro 16, Jakarta Pusat.
Kesepakatan yang diambil, seingat saya ada lima butir: (a)
Suasana perlawanan terhadap asas tunggal dijaga suhunya sehingga
tidak abortus akibat terjadinya suatu huru-hara atau kegiatan anarkis.
(b) Puncak perlawanan terhadap asas tunggal dilakukan di Senayan
ketika berlangsung Sidang Umum MPR. (c) Saudara Hari sebagai
Ketua Umum PB.HMI mengamankan jajarannya secara nasional agar
tidak terpancing dengan operasi intelijen sehingga terjadi huru hara
dan penangkapan para aktivis. (4) Saya dan ustadz Abdul Qadir
Djaelani mundur dari panggung terbuka, khususnya tabligh akbar dan
ceramah-cerama di masjid. Biarkan kader-kader lapis kedua yang maju
ke depan dan kami berdua hanya memonitor dari belakang layar. (5)
Diharapkan ustadz Abdul Qadir Djaelani menegur beberapa ustadznya
yang terkadang kurang memerhatikan adab dakwah sehingga dapat
disomasi atau dipidana penegak hukum dengan tuduhan, “perbuatan
tidak menyenangkan,” atau tuduhan “mencemarkan nama baik.” Saya
juga berjanji akan menegur beberapa aktivis dan ustadz dari kubu HMI
agar tidak melanggar adab dakwah yang diteladankan Rasulullah saw.
Sepekan sebelum tragedi Tanjung Priok, informasi yang diperoleh,
suasana di Tanjung Priok, sangat panas. Saya ditugaskan untuk
mengumpulkan para korlap agar datang ke LIPPM pada hari Sabtu
pagi mendengar wejangan dari para orang tua. Semua sudah berhasil
dihubungi melalui jalur masing-masing, setidaknya tiga jalur besar:
HMI, PII, dan GPII. Seorang yang belum berhasil dihubungi. Sampai
ba’da maghrib saya hubungi dari kantor LIPPM adalah almarhum Amir
Bikki. Suara pembantu dari telepon mengatakan, bang Amir Bikki
sedang mengantar isteri ke dokter. Andaikan jarum takdir dapat ditarik
11
mundur, di mana saya berhasil berbicara dengan beliau melalui telepon
malam itu, mungkin peristiwa berdarah yang mengorbankan ratusan
nyawa tak berdosa itu, dapat dihindari.
Lamunan saya terhenti ketika terdengar salam di luar ruangan
kerja pak Anwar Haryono. Kami pun menuju ruang rapat yang sempit
dan sederhana. Satu per satu orang-orang tua, khususnya peserta
Forum Nasi Bungkus, memasuki ruang rapat: Ada pak Syafruddin
Perwiranegara, pak Burhanuddin Harahap, pak Nursal, pak Rajab
Ranggasoli, pak Ibrahim Madilao. Satu-satunya yang bukan anggota
Forum Nasi Bungkus yang ikut hadir adalah pak Dalari Umar. Tentu,
beliau diundang karena pada waktu itu beliau adalah Ketua KMJ (Korp
Mubaligh Jakarta) di mana saya juga sering mendapat jadwal khutbah
Jum’at di daerah DKI Jakarta.
Dalam pertemuan tersebut, pak Dalari Umar menginformasikan
bahwa beliau menerima telepon dari Jakarta Utara, meminta pak
Syafruddin Perwiranegara hadir dalam acara penguburan jenazah
almarhum Amir Bikki. Tentu saja, sebagai Ketua Umum Korp Mubaligh
Indonesia (KMI), wajar kalau beliau memenuhi undangan tersebut.
Tetapi, pada waktu itu, saya meminta agar tidak ada seorang pun di
antara bapak-bapak yang hadir dalam upacara pemakaman. Nanti,
setelah upacara pemakaman, bapak-bapak yang mau mengucapkan
ta’ziah, dapat mengunjungi rumah almarhum. Pak Syaf dengan pak
Dalari Umar agak heran mendengar permintaan saya tersebut. Dengan
keberanian yang ada, saya jelaskan argumentasi saya. Kalau salah
seorang di antara bapak-bapak, khususnya pak Syaf atau pak Dalari
yang datang ke upacara pemakaman, akan ada permintaan dari
jamaah untuk pak Syaf atau pak Dalari memberi komando, menyerang
kantor Kodim, kantor Polres, atau mengumumkan perang terhadap
pemerintah. Sebab, hemat saya, di pekuburan itu, pasti ada aparat
intelijen atau pihak lain yang akan memprovokasi agar terjadi huru hara
yang lebih besar sehingga ada alasan untuk dilakukan penangkapan
para orang tua. Pada kesempatan tersebut saya juga melaporkan
bahwa, beberapa menit yang lalu, saudara MS Ka’ban sebagai Ketua
Umum HMI Cabang Jakarta menemui saya, melaporkan keadaan yang
12
terjadi di lapangan. Sudah terjadi penangkapan terhadap beberapa
tokoh dan aktivis di antaranya pak AM Fatwah, KH Mawardi Noer,
Abdul Qadir Djaelani, dan Tony Ardhi. “Abang jangan pulang ke rumah
karena tadi saya lihat, rumah abang sudah dikepung para intel,” saran
saudara Ka’ban. Rupanya, pagi-pagi beliau sudah datang ke rumah
untuk melaporkan perkembangan terkini pasca peristiwa berdarah di
Tanjung Priok.
Masya-Allah, setelah mendengar alasan dan argumentasi saya,
rapat menyetujui, baik pak Syaf maupun pak Dalari Umar tidak
menghadiri acara pemakaman almarhum Amir Bikki.

d. Ijin Untuk Hijrah


Setelah kurang lebih tiga bulan berpindah-pindah dari satu tempat
ke tempat lain di Jakarta dari pengejaran anak buah Jenderal Beni
Murdhani, saya memutuskan, meminta ijin ke abah Natsir untuk hijrah
ke Malaysia. Saya menemui pak Rajab Ranggasoli, Penasihat Politik
abah Natsir (yang juga seorang staf Jenderal Nasution). “Jika gerakan
ini mau diteruskan, saya akan teruskan karena basis-basis gerakan,
termasuk di luar Jawa, masih terkordinasi. Tapi, jika menurut orang tua,
gerakan ini tidak diteruskan, saya merasa tidak efektif berada di dalam
negeri,” curhat saya ke Pak Radjab Ranggasoli.
“Ya, sudah diputuskan, lebih banyak mudaratnya bagi umat dan
bangsa kalau diteruskan. Saudara diperintahkan pak Natsir untuk
hijrah ke Malaysia, membantu Anwar Ibrahim di sana,” kata pak
Radjab.
e. Putusan Diambil Berdasarkan Keadaan di Lapangan
Ketika dengan kawan-kawan, baik dari Jakarta maupun Medan
sudah berada di Kuala Lumpur dan bersilaturrahim ke rumah
Komaruddin Noor, wakil Anwar Ibrahim, terasa aroma kekurang-siapan
kawan-kawan ABIM berperan sebagai golongan Anshar. Sebagai
orang yang punya sedikit pengalaman di organisasi, saya paham
maksud saudara Komaruddin. Oleh karena itu, saya menyarankan
agar para muhajirin tidak berhubungan langsung dengan Anwar
Ibrahim. Meskipun saya mendapat perintah untuk membantu Anwar
13
Ibrahim di Malaysia, tetapi melihat kondisi yang ada, karier politik
Anwar Ibrahim yang waktu itu baru menjabat Wakil Menteri Pertanian,
bias tergerus. Sebab, lawan-lawan politik yang berada di kubu Wakil
Perdana Menteri Musa Hitam (wakil Ali Murtopo sebagai agen CIA Asia
Tenggara) akan mengisukan, Anwar Ibrahim berkolaborasi dengan
para pemberontak dari Indonesia.
Namun, untuk memastikan kebenaran ijtihad itu, saya mengirim
surat ke abah Natsir, melaporkan keadaan politik di Malaysia
khususnya, kawan-kawan ABIM dan Anwar Ibrahim. Balasan surat dari
abah, sangat singkat, tulisan tangan di selembar kertas buku tulis. Isi
surat abah itu, menceriterakan pesan panglima angkatan laut yang ada
di markas kepada anak buahnya, komandan di kapal perang di tengah
laut yang sedang berhadapan dengan kapal musuh. Pesannya singkat:
“kamu yang berada di medan perang. Kamu yang lebih tau, apa yang
harus dilakukan.”
Masyaa – Allah, itulah gaya kepemimpinan abah Natsir sebagai
seorang manajer. Berdasarkan surat abah itulah, saya tidak melakukan
hubungan langsung dengan Anwar Ibrahim, bahkan sampai beliau
menjadi Wakil Perdana Menteri. (Tetapi ketika beliau ditangkap oleh
Mahathir Muhammad, saya dengan isteri ke rumah beliau,
menyampaikan simpati kepada isterinya).

3. Pemimpin sebagai Pelayan


a. Mencoret-coret Surat Kabar
Saya menyaksikan, setiap pagi di kantor LIPPM, abah Natsir
membaca surat kabar, kemudian memberi tanda dengan spidol kecil.
Setelah dibaca, surat kabar itu diserahkan ke karyawan LIPPM yang
tugasnya setiap pagi membuat kliping koran. Jadi sebagai pimpinan,
abah juga berperan sebagai pelayan dalam membantu kerja-kerja anak
buahnya. Dengan demikian, karyawan hanya tinggal menggunting
bagian surat kabar yang sudah ditandai abah.
b. Membantu Rumah Tangga Karyawan
Boleh dibilang, semua karyawan, baik di DDII maupun di LIPPM,
tidak dikecewakan ketika mereka curhat ke beliau, baik mengenai
14
rumah tangga, sekolah anak sampai ke sewa rumah. Pada
kesempatan ini, saya hanya menceritakan pengalaman pribadi:
1) Pada suatu hari, ibu mertua mengeluh, memerlukan sejumlah
uang. Sebagai mantu tertua sementara ayah mertua (hanya
pensiunan pelda) sudah meninggal dunia, saya yang tumpang di
istana mertuan indah, merasa serba salah. Sebagai mantan Ketua
Umum PB. HMI, tapi tidak punya rekening koran, apalagi tabungan.
Tidak ada jalan lain kecuali curhat ke abah, meminjam duit di kantor
(LIPPM). Akhirnya, saya memeroleh pinjaman dengan potong gaji.
Kalau tidak salah, gaji saya waktu itu. Rp. 75.000;
2) Ketika mengetahui, saya dikejar-kejar oleh anak buah Jenderal
Beni Murdhani dan anak isteri sudah tidak tinggal di rumah, abah
perintahkan kawan-kawan di kantor untuk mencari rumah
kontrakkan agar anak isteri dapat berteduh dengan rasa aman dari
teror, intimidasi dan pengejaran aparat intel. “Cari rumah
kontrakkan yang ada pekarangan luas dan dekat sekolah agar
anak-anaknya dapat bermain dan bersekolah,” begitu kurang lebih
perintah abah yang diceriterakan kembali oleh al akh Sahar L.
Hassan. Disebabkan akhi Sahar tinggal di belakang Perguruan Asy
Syafiah, Jatiwaringin, maka ditemukanlah rumah yang sangat
besar dengan pekarangan yang luas. Sedemikian besarnya
sehingga ketika saudara Mutammil Mula bersilaturrahim ke tempat
pengungsian itu, beliau komentari, wah abang tinggal di istana.
Di tempat inilah, anak saya tertua sekolah di kelas 1 di SD Asy
Syafiah dan anak nomor dua sekolah di TK yang sama. Pada waktu
yang sama, isteri saya dipekerjakan sebagai tukang jahit di
usahanya adik pak KH Abdul Rasyid Abdullah Syafei. Semua itu
atas perintah dan campur tangan abah Natsir.
3) Ketika di Malaysia, mengetahui bahwa kawan-kawan ABIM belum
siap menjadi golongan anshor, abah Natsir meminta ke Rabithah
Alam Islami agar gaji bulanannya sebagai Wakil Presiden
diserahkan ke saudara-saudara yang dikejar-kejar Beni Murdhani.
Melalui rekening Komaruddin Noor, gaji abah tersebut dikirim oleh
Rabithah Alam Islami kemudian diserahkan kepada kami. Saya
15
pernah menerima dana dari Komaruddin Noor untuk mengontrak
rumah bagi kami berempat tinggal (Mang Edang Jauhari, Mukmin
Efendi, Abu Ridlo, dan saya sendiri). Setelah isteri dan anak-anak
saya menyusul ke Malaysia dan sudah menyewa rumah sendiri,
masalah keuangan dari abah Natsir melalui Komaruddin Noor
ditagani oleh Mang Endang. Saya masih menerima beberapa kali
sampai saya dan saudara Mukmin Efendi mendapat pekerjaan
tetap di mana kami tidak lagi menerima jatah.
c. Memberi Surat Sakti
Salah satu fungsi abah Natsir sebagai pelayan umat adalah suka
memberi Surat Sakti. Surat Sakti itu biasanya digunakan untuk
memeroleh pekerjaan, diterima kuliah di Lembaga Pendidikan tertentu,
dan mendapatkan beasiswa. Dua kasus yang saya ingat betul adalah:
1) Rekomendasi Belajar
Sebagian besar mahasiswa yang belajar di Arab Saudi pada
tahun 70-an sampai 90-an adalah mereka yang memeroleh
rekomendasi atau Surat Sakti dari abah Natsir ke Lembaga
Pendidikan terkait. Terkesan bagi saya adalah seorang ustadz asal
Sumatera Barat.
Seperti biasa, kalau ada mobil yang berhenti di depan gerobak
saya untuk beli pisang goreng atau air kelapa muda, langsung saya
mendekati mobilnya, membukakan pintu. Saya menerapkan teori
ekonomi, tamu adalah raja. Pada suatu hari, seorang pelanggan,
begitu turun dari mobil, langsung memeluk erat saya, seakan-akan
tidak mau melepaskan pelukannya. Sambil curiga, saya bertanya,
siapa beliau. Sebab, dalam pikiran saya, jangan-jangan beliau
salah seorang intel yang dikirim Beni Murdhani untuk melacak para
muhajirin dari Indonesia.
“Tempat abang kan seharusnya di Senayan, bukan di sini,” jelas
dia. Saya semakin curiga. Saya memaksa dia untuk mengenalkan
identitas pribadi. Akhirnya, sambil melepaskan pelukan, beliau
berkata bahwa beliau berasal dari DDII Sumatera Barat dan
dengan rekomendasi abah Natsir, beliau dapat melanjutkan kuliah

16
di Madinah. Setelah selesai kuliah, beliau bekerja di Konsulat Arab
Saudi di Kuala Lumpur.

2) Rekomendasi Beasiswa
Surat Sakti abah Natsir juga biasa untuk memeroleh bantuan
pembiayaan atau beasiswa, baik yang belajar di dalam maupun di
luar negeri. Sebagian besar mahasiswa Indonesia yang belajar di
UIA, ketika presiden universitas adalah Anwar Ibrahim, mereka
memeroleh beasiswa. Tetapi ada pula yang melanjutkan kuliah di
tempat lain di Malaysia yang memeroleh bantuan Anwar Ibrahim
melalui surat saksi abah Natsir. Salah seorang di antara mereka
adalah saudara Yusril Ihza Mahendra.
Setelah bertemu Anwar Ibrahim, saudara Yusril mendatangi
rumah kontrakkan saya, minta tolong diantar ke salah satu BUMN
di Malaysia untuk mendapatkan beasiswa. Hanya dengan
menumpang bus, saya mengantar saudara Yusril ke kantor BUMN
tersebut. Dari sinilah, salah satu sumber dana saudara Yusril bisa
menyelesaikan program doktornya di USM (Universiti Sains
Malaysia) di Penang, Pulau Penang, Malaysia.

D. KADERISASI VIA PENUGASAN


Secara formal, kaderisasi kepemimpinan yang dilakukan abah Natsir
terhadap generasi muda melalui pelatihan da’i, baik di Jakarta maupun di
daerah-daerah. Visi besar kaderisasi yang dicanangkan abah adalah masjid,
kampus, dan pesantren. Hal ini sesuai dengan pesan Abu Bakar As Siddik
bahwa, ketika kamu berada di suatu masyarakat yang sangat bertentagan
dengan al-Qur’an dan as-Sunnah, kembalilah ke masjid. Konsep masjid yang
merupakan visi abah Natsir adalah masjid yang merupakan pusat perjuangan,
pusat kegiatan, dan pusat kebudayaan umat Islam.
Visi kampus adalah merujuk ke universitas Al Qarawiyyin di Maroko, Afrika
dan universitas Al Azhar di Kairo yang merupakan dua universitas modern
pertama di dunia. Dari kedua universitas itulah khilafah Islam mencapai puncak
kejayaan di bidang keilmuan dan sains. Sedangkan visi pesantren, wawasan
abah Natsir luar biasa di mana ternyata pada tahun 80-an, satu penelitian yang
17
dilakukan oleh LP3ES, menyimpulkan, satu-satunya Lembaga Pendidikan di
Indonesia yang tidak menghasilkan pengangguran adalah pesantren. Apa lagi,
merujuk sejarah perjuangan melawan penjajah di Indonesia yang dimotori oleh
ulama dari pondok pesantren. Visi besar itu dilakukan dalam misi yang secara
operasional berbentuk antara lain:

1. Perintah Dimulai dari Diri Sendiri


Sesuai dengan hadis, ibda’ binafsik, abah mengsosialisasi ide-ide
besar beliau dengan contoh yang konkrit. Beliau mengsponsori perintah
surah al ashr yang menekankan pentingnya disiplin dan penghargaan atas
waktu. Beliau selalu tiba di kantor lebih dahulu kecuali ada tamu di rumah
atau kegiatan kantor yang dilaksanakan di luar kantor pada pagi hari.
Begitu irinya saya atas kedisplinan abah terhadap waktu, saya berjanji
dalam hati untuk mengalahkan beliau dalam masalah disiplin masuk kantor.
Ketika sudah berkantor di LIPPM, suatu hari saya tiba di pekarangan LIPPM
sebelum pukul 07.00, bertepatan dengan tibanya OB yang memegang
kunci kantor. Kami berdua yang pertama memasuki kantor. “Hore, saya
menang,” teriak saya dalam hati karena berhasil mengalahkan abah, masuk
kantor lebih dahulu.
Seperti biasa, ketika sedang mengisi daftar hadir, terdengar seperti ada
suara di ruangan abah. Saya bertanya ke OB, siapa yang ada di ruangan
abah. Ya abah, jawab OB. “Loh, kan anda yang membawa kunci dan kita
berdua yang pertama masuk kantor,” kata saya. “Abah membawa kunci
sendiri,” jawaban OB membuat saya terheran-heran. Bukan merasa sedih
karena tetap kalah bertanding dengan abah, tetapi suatu pelajaran utama
yang saya hayati dan amalkan sejak itu sampai sekarang. Ketika berkantor
di Kuala Lumpur dan Singapura selama bertahun-tahun, rasanya tidak ada
yang tiba di kantor mendahului saya. Sebab, saya membawa kunci sendiri.
Demikian pula selama 4 tahun menjadi Wakil Ketua KPKPN (Komisi
Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara) dan lebih 8 tahun menjabat
Penasihat KPK, saya selalu tiba di kantor sebelum pukul tujuh. Sampai
sekarang, saya selalu membawa kunci kantor dan kunci rumah di dalam
poket celana.

18
2. Perintah yang Jelas Dimengerti
Salah satu ciri pemimpin sebagai komandan yang baik adalah,
perintah yang diberikan ke bawahan, sederhana, konkrit, jelas, dan mudah
dimengerti. Ketika pertama kali menerima tugas dari abah Natsir, saya
mendapat petunjuk jelas: Penelitian tentang kristenisasi di Kalimantan
Tengah. Begitu pula ketika hendak berangkat ke Kongres HMI ke-15 di
Medan (1983), perintahnya juga tegas: Asas tunggal Pancasila tidak boleh
masuk dalam AD/ART HMI. Hal yang sama ketika abah memerintahkan
saya menangani masalah syiah di Jakarta, petunjuknya jelas.
Contoh yang paling sederhana yang mudah dimengerti oleh siapa pun,
adalah memberi tanda sendiri dengan spidol di surat kabar sehingga
petugas tau dengan pasti, mana berita yang harus digunting untuk kliping
koran dan yang tidak perlu digunting.

3. Mengawasi Pelaksanaan Tugas.


Dalam ilmu manajemen, dikenal pilar pengawasan. Artinya, setelah
suatu perencanaan program atau kegiatan dilaksanakan, maka harus
diawasi secara terus menerus. Setelah sepekan di Palangkaraya
melakukan tugas yang diberikan abah Natsir, hampir setiap hari beliau
menanyakan laporan penelitian. Bahkan saking seringnya, saya sampai
berusaha untuk tidak berjumpa beliau sebelum laporan selesai. Tetapi, mau
tidak mau, saya berjumpa dengan beliau ketika shalat dzuhur berjamaah di
masjid al-Furqon. Akhinrya, malam hari di rumah, sampai menjelang subuh
saya harus menyelesaikan laporan itu (sekitar 50 halaman) dengan
menggunakan mesin ketik butut.

III. MENCINTAI ISLAM DAN INDONESIA


A. Islam di atas Segala-galanya
Dalam Islam, seluruh aspek kehidupan dunia dan akhirat, saling terkait.
Misalnya, makan adalah masalah dunia, tetapi doa makan seorang
muslim/muslimah adalah permohonan yang berkaitan dengan dunia dan
akhirat dalam satu tarikan nafas. Oleh karena itu, beberapa amalan dan sikap
hidup abah Natsir yang saya masih ingat berkaitan dengan komprehensipnes
Islam, antara lain:
19
1. Melempari Orang yang Berdansa
Sebagai anggota PII, apalagi berasal dari Sumatera Barat,
Mohammad Natsir muda tidak bisa melihat kemungkaran terjadi di depan
mata beliau. Tentu, beliau menghayati perintah Rasulullah saw yang
mengatakan: “jika kamu menyaksikan suatu kemungkaran, cegahlah
dengan tanganmu. Jika tidak mampu, lakukan dengan lidahmu. Dan jika
tidak mampu juga, lakukan dengan hatimu, dan itulah selemah-lemahnya
iman.” Sebagai kader muda PII, Natsir muda mendatangi hotel yang
sedang berlangsung kegiatan dansa-dansi. Beliau langsung melempari
kaca hotel dan bar di dalamnya dengan menggunakan botol kosong.
Kisah ini beliau ceritakan ke para delegasi mahasiswa Yogya yang
meminta abah Natsir memberi komando perang terhadap umat Islam
untuk melawan rezim Soeharto. Jujur saja, saya yang mendampingi abah
Natsir ketika menerima delegasi mahasiswa Yogya tersebut, tidak bisa
menahan keinginan untuk tertawa.

2. Berguru dengan Hasan Bandung


Peribahasa Melayu mengatakan, “takkan jauh buah jatuh dari
pohonnya.” Begitulah Natsir muda menguasai Islam secara substantive
dan komprehensif dari salah seorang guru yang sangat terkenal, Hasan
Bandung. Di Indonesia, kalau mau mengetahui hukum Islam, khususnya
berkaitan dengan ibadah ubudiah yang mengikuti sunah Rasulullah saw,
salah satu buku yang dibaca adalah Soal Jawab, karya Hasan Bandung.
Begitulah Natsir muda yang belajar Islam di ustadz Hasan Bandung
sehingga pemahaman aqidah beliau sangat jernih, bebas dari segala
bentuk bid’ah, takhyul, dan khurafat. Pelajaran yang beliau terima secara
nonformal yang dalam sistem perkaderan modern disebut sebagai sistem
mentor.
3. Berpolemik dengan Soekarno
Salah satu hasil konkrit dari proses belajar bersama ustadz Hasan
Bandung, Natsir muda sering melakukan polemik dengan Soekarno di
surat kabar mengenai bentuk negara dan sistem pemerintahan. Soekarno
memperkenalkan prinsip-prinsip negara berdasarkan konsep nasionalis

20
sekuler sedangkan Natsir muda mengenalkan prinsip-prinsip nasional
religius. Polemik itu kemudian terkenal dengan rubrik Negara (dan) Islam.
4. Memperjuangkan Islam sebagai Dasar Negara
Ilmu yang diperoleh dari ustadz Hasan Bandung dan pengalaman
berpolemik dengan Soekarno, abah Natsir sebagai Ketua Fraksi Masyumi
dengan gagah berani memperjuangkan Islam sebagai dasar negara di
sidang konstituante. Sekalipun beberapa kali voting, Islam sebagai dasar
negara belum didukung 2/3 anggota konstituante, namun sikap Ketua
Fraksi partai Katholik, J Kasimo, sangat membanggakan, setidaknya bagi
saya pribadi sebagai seseorang yang pernah bersama-sama dengan
abah Natsir sekalipun hanya sekitar tiga tahun. Dalam perdebatan sengit
di sidang konstituante tersebut, bertanya J Kasimo, apa yang dimaksud
dengan Islam sebagai dasar negara. Abah Natsir pun menjelaskan satu
per satu, apa itu politik, ekonomi, dan hukum dalam ajaran Islam yang jika
diterapkan sebagai dasar negara, rakyat Indonesia, tanpa memandang
suku, warna kulit, bahkan agama, akan memeroleh kesejahteraan,
kenyamanan, dan keadilan. Selesai mendengar penjelasan abah Natsir,
J Kasimo kemudian menyatakan, kalau itu yang dimaksudkan saudara
Natsir, saya terima Islam sebagai dasar negara Indonesia.
Berdasarkan pendapat J Kasimo itu, maka disiapkan Konsensus
Bandung yang intinya sama dengan Piagam Jakarta. Sebelum rampung
tugas Panitia Perumus Konsensus Bandung, Ruslan Abdul Ghani yang
waktu itu menjabat Menteri Luar Negeri terbang ke Tokyo menemui
Soekarno, memprovokasi Bung Karno. Akibatnya, tanpa usul periksa,
Soekarno langsung menerbitkan Dekrit 5 Juli 1959 yang membubarkan
konstituante dan kembali ke UUD 45. Hasilnya, Indonesia seperti yang
kita saksikan sekarang, penuh dengan ketidakpastian, baik di bidang
Pendidikan, politik, ekonomi, apalagi di bidang aqidah Islam.

5. Mendirikan DDII

Setelah bebas dari tahanan, usaha rehabilitasi Masyumi tidak


berhasil, dibentuklah Parmusi sebagai bentuk lain dari Masyumi. Tetapi,
melalui operasi intelijen yang dinahkodai Ali Murtopo, pak Roem yang
terpilih dalam Muktamar pertama, dibajak oleh penguasa orde baru. Maka
pada tanggal 26 Februari, bertempat di Masjid Al Munawarah, Tanah
Abang, Jakarta Pusat dibentuklah DDII. Program utama yang disepakati
waktu itu adalah:

a. Mengadakan pelatihan-pelatihan atau membantu mengadakan


pelatihan bagi muballighin dan calon-calon muballighin.
b. Mengadakan research (penelitian) atau membantu mengadakan
penelitian, yang hasilnya dapat segera dimanfaatkan bagi
perlengkapan usaha para muballighin pada umumnya.
c. Menyebarkan aneka macam penerbitan, antara lain buku-buku,
brosur, dan atau siaran lain yang terutama ditujukan untuk
21
melengkapi para muballighin dengan ilmu pengetahuan, baik ilmu
agama maupun ilmu pengetahuan umum lainnya, guna meningkatkan
mutu dan hasil dakwah. Usaha ini diharapkan dapat mengisi
kekosongan-kekosongan di bidang lektur, yang khusus diperlukan
masyarakat.

6. Melawan Kristenisasi
Sekalipun berkawan baik dengan J Kasimo (katolik) dan dr. Leimena
(protestan), tetapi aqidah yang diperoleh abah Natsir dari ustadz Hasan
Bandung, tidak pudar sedetik pun. Oleh karena itu, terhadap upaya
kristenisasi yang dilakukan secara besar-besar, terencana, sistematik,
dan jangka panjang, dilawan habis-habisan oleh abah Natsir. Salah satu
buktinya, di Kalimantan Tengah saja, dua kali dilakukan penelitian tentang
kristenisasi. Sebab, Kalimantan Tengah akan dijadikan pusat kritenisasi
di Asia Tenggara, apalagi jika mereka berhasil menjadikan Palangkaraya
sebagai ibukota Indonesia. Pada tahun 1981, saya pertama kali
ditugaskan abah melakukan penelitian di sana dan kemudian pada tahun
2000-an dilakukan sekali lagi oleh ustadz yang lain.

7. Membangun Masjid-Masjid Kampus


Merealisasikan visi besarnya – masjid, kampus, dan pesantren -,
abah Natsir mensponsori pembangunan masjid kampus, dimulai dari UI
dan ITB. Masjid kampus yang phenomenal adalah masjid Salman ITB
yang didisain oleh beberapa kader abah di ITB yaitu, pak Ir. AM Lutfhi, Ir.
Nukman, Prof. Sadali, dan Dr. Imanuddin. Melalui masjid Salman inilah
Bang Imad mengkader anggota HMI untuk menjadi mujahid dakwah
dengan program LMD (Lembaga Mujahid Dakwah).
Di dunia kampus, banyak kader abah Natsir yang berkiprah di dunia
perguruan tinggi. Ada Professor Dr. Halide di Unhas, Prof. Dr. Fuad Ansori
di UNAIR, Prof. Dr. Amien Rais dan Ir. Syahirul Alim di UGM, Prof. Sadali,
Ir. Nu’man, Ir. AM Luthfi, dan Dr. Imanuddin di ITB, Prof. Dr. Yusuf Amir
Faisal di IKIP Bandung, Prof. Usman Ralibi dan Prof. Daud Ali di UI, dan
ratusan sarjana yang bertebaran di seluruh perguruan tinggi (negeri
maupun swasta) di seluruh Indonesia. Salah satu Lembaga Pendidikan
Tinggi yang termotivasi pembentukannya oleh misi besar abah Natsir
adalah Fakultas Kedokteran Yarsi. Sedangkan secara khusus, STID
(Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah) Mohammad Natsir adalah Lembaga
Pendidikan tinggi yang diasuh langsung DDII dengan target utama,
tercipta: mujahid, mujadid, dan mujtahid.

22
8. Membina Pesantren
Di sektor pesantren, didirikan pasantren Darul Falah, salah satu
pesantren modern yang fokus di bidang pertanian. Pesantren ini
dinahkodai Ir. Saleh Widodo. Sayang, setelah beliau tiada, pesantren ini
kurang mendapat perhatian. Salah satu pesantren di Indonesia Timur
yang dimotivasi abah Natsir adalah pesantren yang dilola oleh DPP
IMMIM (Ikatan Masjid Mushala Indonesia Muttahidah), dinahkodai oleh
KH Fadli Luran.
9. Mencetak Para Da’i
Setiap tahun, ratusan da’i digembleng, dilatih, dan dibina untuk
menjadi da’i di seluruh pelosok Indonesia. Pelatihan itu ada yang
dilakukan di Jakarta dan ada pula yang dilakukan masing-masing DDII di
daerah. Salah satu pelatihan da’i yang dilakukan di Masjid Al Munawarah,
Tanah Abang, Jakarta Pusat di mana saya, ustadz Syuhada Bahri, dan
ustadz Ahmad Zainal Abidin Urra sebagai fasilitator. Dalam pelatihan ini,
abah Natsir mewariskan jiwa kepemimpinan, kepejuangan, dan
kenegarawan ke seluruh peserta yang berasal dari beberapa daerah.
Pada waktu itu, menjawab salah satu pertanyaan peserta, abah
mengisahkan bagaimana masyarakat Aceh mendeklarasikan keluar dari
Indonesia ketika abah menjadi Perdana Menteri.
Ketika dalam Forum Nasi Bungkus, saya tanyakan mengapa, tidak
diprioritaskan saja penerbitan UU khusus daerah Aceh tersebut.?
Kenegarawan beliau muncul sekali lagi di mata saya. “kita itu harus selalu
melakukan pendekatan sistemik. Kalau keinginan Aceh dipenuhi, maka
bulan berikut akan muncul tuntutan dari Yogya, lalu Solo, Banten, Gowa,
Ternate, dan daerah-daerah lain yang merasa punya sejarah khusus,”
jelas abah Natsir. Oleh karena itu, menurut beliau, harus disusun suatu
UU yang bersifat menyeluruh yang menaungi seluruh tumpah darah
Indonesia.

B. Islam untuk Indonesia


1. Menggagas Mosi Integral
Dalam al-Qur’an, disebutkan perpecahan adalah suatu kenaifan.
Agar bisa bersatu, harus berpegang ke al-Qur’an. Itulah ciri orang taqwa
23
sebagaimana disinggung dalam ayat 100 – 102 surah Ali Imran.
Disebabkan mayoritas bangsa Indonesia adalah umat Islam, maka secara
matematik, bersatu umat Islam, jayalah Indonesia. Sebaliknya, jika
bercerai umat Islam, bubar Indonesia. Apalagi sejarah mencatat,
kemerdekaan Indonesia direbut dengan ribuan nyawa syuhada, mulai dari
Teuku Umar di Aceh sampai dengan Pattimura di Maluku.
Oleh karena itu, sebagai partai umat Islam terbesar di Indonesia
waktu itu, Masyumi, abah Natsir sebagai Ketua Fraksi Masyumi
memperjuangkan terbentuknya NKRI melalui mosi integralnya.
Alhamdulillah, perjuangan beliau tidak sia-sia di mana semua negara
serikat mau kembali bergabung ke dalam NKRI.
2. Perdana Menteri Pertama NKRI
Sebagai tanda terima kasih negara ke abah Natsir atas jasa-jasa
beliau menyatukan Indonesia menjadi NKRI, beliau ditunjuk Presiden
Soekarno sebagai Perdana Menteri Pertama. Prestasi terbesar abah
Natsir terhadap Indonesia adalah meletakkan prinsip-prinsip
kenegarawan para pejabat publik dalam mengelola negara dan
pemerintahan. Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan sistemik,
bukan pendekatan golongan atau figur. Hal itu dibuktikan dengan
penetapan Menteri Agama berdasarkan kriteria dan kualifikasi, bukan
berdasarkan golongan atau partai. Demikian pula penyelesaian kasus
Aceh berdasarkan pertimbangan negara bangsa, bukan negara wilayah
tertentu.
Pendekatan kenegarawan ini diikuti kadernya, Burhanuddin Harahap
ketika menjadi Perdana Menteri. Selesai melaksanakan Pemilu pertama
dengan sukses, pak Burhanuddin Harahap mengundurkan diri sebagai
PM. Padahal pemilu terlaksana dengan sukses dan Masyumi
memenangkan Pemilu. Ketika hal itu ditanyakan, dengan santai beliau
menjawab, “kan saya diberi amanah untuk melaksanakan Pemilu dengan
sebaik-baiknya. Pemilu sudah selesai dilaksanakan dengan sukses,
tugas saya selesai sebagai PM.” Luar biasa jiwa kenegarawan kader-
kader Masyumi yang ditularkan abah Natsir.

3. Meletakkan Jabatan PM
Sebagai pimpinan Partai Islam yang memperjuangkan tegaknya
Syariah Islam di diri individu, keluarga, masyarakat, dan negara, abah
Natsir sangat menjaga nilai-nilai amanah. Amanah berarti, bicara tidak
dusta, berjanji ditepati, dan jika diberi kepercayaan, tidak khianat.
Berdasarkan ajaran Rasulullah saw tersebut, abah Natsir menepati

24
kesepakatan di antara pemerintah dan parlemen bahwa, sikap Indonesia
terhadap eksistensi PBB, harus diputuskan bersama di antara pemerintah
dan parlemen. Ternyata, dalam naskah pidato Bung Karno pada
peringatan Isra’ Mi’raj di istana negara, ada pernyataan Indonesia keluar
dari PBB. Otomatis, statemen itu dicoret abah Natsir.
Seperti kelaziman Bung Karno, setiap pidato, beliau akan
menyampaikan sesuatu istilah, slogan atau pernyataan yang bombastis
dan menarik perhatian pers dan masyarakat. Ketika sampai di bagian
pidatonya yang ada statemen Indonesia keluar dari PBB, ternyata kalimat
itu tidak ada. Namun, disebabkan sudah direncanakan (tanpa konsultasi
dengan PM), Soekarno langsung mendeklarasikan Indonesia keluar dari
PBB. Terkejut PM, demikian pula anggota parlemen yang hadir dalam
acara tersebut.
Setelah acara tersebut, hubungan di antara Bung Karno dan abah
Natsir menjadi kurang harmonis. Sebab, Soekarno tau, PM yang
mencoret pernyataan Indonesia keluar dari PBB di teks pidatonya. Pada
waktu yang sama, masalah Aceh menjadi isu sentral sehingga terjadilah
kolaborasi di antara PKI dan PNI dan partai sekuler lainnya dalam
menjegal program kerja pemerintah. Rapat-rapat di antara pemerintah
dan parlemen tidak berjalan karena tidak memenuhi korum akibat
sabotase partai-partai sekuler tersebut. Jika dibiarkan hal tersebut
berlarut-larut maka rakyat, khususnya di provinsi Aceh akan mengalami
penderitaan yang berkepanjangan. Sekali lagi muncul jiwa kenegerawan
abah Natsir di mana demi kelancaran roda pemerintahan, beliau
mengembalikan mandat sebagai PM. “Seperti orang ngantuk, diberi
bantal,” demikian pernyataan abah Natsir kepada kami generasi muda
pada suatu pertemuan tentang reaksi Soekarno atas pengunduran diri
PM.
4. Mediasi DI/TII
Sekalipun sudah tidak menjabat Perdana Menteri, kecintaannya
terhadap Indonesia mendorong abah Natsir melakukan lobi-lobi dengan
pelbagai pihak agar Kartosuwiryo mau turun dari hutan. Ketika menginap
di hotel Hofman, Bandung, abah Natsir mengirim surat ke Kartosuwiryo,
meminta agar beliau kembali ke pangkuan NKRI. Surat beliau ini
25
memakan waktu berhari-hari baru sampai ke tangan Kartosuwiryo karena
harus melalui berlapis-lapis pos penjagaan. Satu hal yang membuat surat
tersebut lambat sampai di tangan Kartosuwiryo karena para penjaga pos
meragukan apakah benar surat itu dari abah Natsir. Sebab, waktu itu,
dalam keadaan terdesak, abah menggunakan amplop yang beralamat
hotel Hofman. Ketika surat abah Natsir sampai ke tangan Kartosuwiryo,
deklarasi DI sudah dilakukan sehari sebelumnya.
PKI berhasil menyusupkan anggotanya ke dalam TNI dan
masyarakat Jawa Barat yang melakukan pagar betis, mengepung
Kartosuwiryo, maka beliau berhasil ditangkap kemudian dijatuhi hukuman
mati. Tetapi, dalam pertemuan persiapan Ikatan Cendekiawan Keluarga
Besar Bulan Bintang di kantor LIPPM, pak Burhamuddin Harahap
(mantan PM) mengatakan, gerakan DI/TII di Jawa Barat adalah kegiatan
kerjasama di antara pasukan Kartosuwiryo dengan Wakil Presiden Bung
Hatta dalam mengteror pemerintah Belanda yang ingin menguasai
kembali Indonesia. Bahkan menurut pak Bur, sebagian pembiayaan
gerakan DI/TII berasal dari pemerintah.

5. Membantu Indonesia dari Balik Jeruji Besi


Salah satu strategi PKI mau menguasai Indonesia, Soekarno
diporvokasi untuk mendeklarasikan Dwikora (Dua Komando Rakyat)
dalam peristiwa Ganyang Malaysia. Rakyat dan pemerintah dialihkan
perhatian ke perang melawan Malaysia, PKI dengan antek-anteknya yang
ada di pemerintahan dan militer melakukan persiapan kudeta.
Menurut kisah seorang warga Sumatera Barat yang telah menjadi
warganegara Malaysia ke saya ketika saya bertamu di rumahnya di Kuala
Lumpur (1985), banyak tentara dan sukarelawan Indonesia yang
meninggal di lumpur-lumpur sepanjang pesisir pantai Malaysia yang
berhadapan dengan Riau dan Sumatera Utara.
Menyadari posisi Indonesia yang terjepit, pemerintah melakukan lobi-
lobi dengan Kerajaan Malaysia agar dilakukan perdamaian. Malaysia
yang merasa di atas angina dalam peperangan itu, enggan melayani
permintaan utusan Indonesia waktu itu antara lain oleh Beni Murdhani dan
salah seorang putera dari Maluku.
26
Ketika berada di Indonesia, penutur kisah ini (pak Kasman)
mendatangi abah Natsir di tahanan, meminta agar abah membuat surat
ke Tengku Abdurrahman (PM Malaysia waktu itu) agar mau melakukan
perdamaian dengan Indonesia. Pada waktu itu, tidak ada kertas kos di sel
yang ditempati abah Natsir. Waktu yang mendesak dan khawatir dating
petugas, pak Kasman mengeluarkan kotak korek api dari dalam
kantongnya. Di atas kotak korek api itulah abah Natsir menulis pesan ke
PM Malaysia. Menurut pak Kasman, melalui pimpinan partai PAS
(Masyuminya Malaysia), beliau dipertemukan dengan PM Malaysia dan
menyerahkan pesan abah Natsir tersebut. Dari proses inilah, lahir
perdamaian di antara dua negara serumpun yang terlibat perang karena
provokasi PKI.

6. Menyurati Menteri Keuangan Jepang untuk Membantu Indonesia


Secara manusiawi, abah Natsir dan tokoh-tokoh Masyumi lainnya
yang ditahan pemerintah Orde Lama, dendam terhadap penguasa negeri
ini. Tetapi kecintaannya terhadap NKRI, belum lama bebas dari tahanan,
abah Natsir mengirim surat pribadi ke Fukuda, Menteri Keuangan Jepang
agar membantu Indonesia. Melalui surat inilah, Jepang merupakan salah
satu negera kreditor terbesar terhadap Indonesia pada masa awal
pemerintahan orde baru.
Begitulah kenegarawan abah Natsir yang sedemikian cintanya
terhadap bangsa dan negaranya sampai melupakan penderitaan selama
di dalam tahanan pemerintah. Tidak heran kalau Fukudah sampai
mengatakan, berita meninggalnya pak Natsir lebih gempar dari
meletusnya gunung Fujiyama.

7. Mengoreksi Soeharto via Petisi 50


Abah Natsir banyak jasanya terhadap pemerintahan Indonesia,
khususnya Soeharto, baik melalui Jepang, Malaysia, apalagi negara-
negara Timur Tengah. Tetapi ketika Soeharto menyimpang dari
konstitusi, muncul sikap kejuangan abah Natsir. Beliau ikut bersama 49
angota masyarakat lainnya dalam Petisi yang kemudian terkenal dengan
nama Petisi 50, yakni petisi yang disampaikan oleh 50 warga Indonesia.
27
Petisi ini mengecam Soeharto yang mau mengasas-tunggalkan Pancasila
dan memaksa rakyat Indonesia untuk harus mengikuti ajaran kebatinan
atau kejawen yang dikenal dengan istilah hanacaraka (orang Jawa
membacanya: honocoroko).
Secara pribadi saya mengeritik pak AM Fatwa (almarhum) yang
melibatkan abah Natsir dalam kegiatan Petisi 50 tersebut sehingga
membatasi ruang gerak beliau. “Tetapi, beliau sendiri yang meminta untuk
menandatangani Petisi tersebut,” alasan pak Fatwa ketika saya meminta
klarifikasi terhadap masalah tersebut. Ternyata cintanya terhadap bangsa
dan negaranya tidak dipengaruhi oleh umur yang sudah lanjut. Beliau
memang seorang pemimpin, pejuang, dan negarawan yang tulus.

8. Mau Meninggal di Indonesia


Banyak kawan-kawan saya yang kasian terhadap nasib abah Natsir.
Mantan Perdana Menteri pertama NKRI, mantan Ketua Fraksi Masyumi
di Parlemen, Wakil Ketua Rabithah Alam Islami, dan Ketua DDII
diperlakukan secara tidak manusiawi. Beliau tidak boleh hadir dalam
acara apa saja di masyarakat di mana hadir Soeharto. Beliau tidak
diijinkan keluar negeri untuk menerima penganugerakan gelar Doktor HC
dari Universitas Kebangsaan Malaysia di Kuala Lumpur.
Berdasarkan hal-hal tersebut, pada suatu hari, kawan-kawan
mengajak abah Natsir hijrah saja keluar negeri, apakah di Arab Saudi atau
di tetangga terdekat, Malaysia. “Biarkan saja saya meninggal dunia di
Indonesia,” begitu respons beliau.

C. Islam untuk Persaudaraan Sedunia

1. Menyurati PM Malaysia untuk Membebaskan Anwar Ibrahim


Anwar Ibrahim, mantan Deputi Perdana Menteri Malaysia dan juga
mantan Menteri Keuangan negeri itu. Sebelumnya, beliau adalah
Presiden ABIM (Angkatan Belia Islam Malaysia). Sebelum aktif di
pemerintahan dan organisasi kepemudaan, Anwar Ibrahim adalah aktivis
kampus. Beliau sering memimpin unjuk rasa mahasiswa memprotes

28
kebijakan PM Mahatihir. Akhirnya, Anwar Ibrahim ditangkap dan
dipenjarakan oleh kepolisian Malaysia.
Anwar Ibrahim pernah mengikuti Seminar Perkaderan HMI di Solo
(1965) dan memberi pidato ilmiah dalam pembukaan Kongres HMI ke 13
di Makassar (1979). Setelah persentuhannya dengan HMI melalui
organisasi PEMIAT (Persatuan Mahasiwa Islam Asia Tenggara), Anwar
Ibrahim akrab dengan abah Natsir dengan tokoh-tokoh DDII. Beliau
dianggap sebagai salah seorang kader abah Natsir di Malaysia. Oleh
karena itu, ketika mengetahui Anwar Ibrahim cukup lama ditahan oleh
Kepolisian Malaysia yang tentu mengganggu perkuliahannya, abah Natsir
mengirim surat ke PM Mahathir. Abah meminta agar Anwar Ibrahim
dibebaskan dari tahanan. Pengaruh abah Natsir sebagai seorang
pimpinan dunia Islam, Mahathir terpaksa membebaskan Anwar Ibrahim.
Setelah bebas, Anwar Ibrahim dilantik sebagai Wakil Menteri
Pertanian. Pemilu berikutnya, beliau ditunjuk sebagai Menteri Pendidikan.
Pemilu berikutnya pula, beliau dilantik sebagai Deputi (Wakil) Perdana
Menteri dan pada waktu yang sama, menjabat Menteri Keuangan. Wajar
saja, ketika menjadi Presiden UIA (Universitas Islam Antarabangsa)
Malaysia, Anwar Ibrahim memberi beasiswa kepada mahasiswa-
mahasiswa asal Indonesia.

2. Partai PAS: Pak Natsir adalah Pemimpin Kami


Di Malaysia ada partai yang dianggap sebagai kembarannya
Masyumi, yakni PAS (Partai Islam Se-Malaysia). Dianggap kembar
karena tujuan perjuangannya sama, menjadikan Islam sebagai dasar
negara. Kedua, pimpinan kedua partai ini sahabat lama, khususnya di
antara abah Natsir dan Yusuf Rawa. Beberapa kali saya menghadiri
kegiatan PAS, antara lain dalam Muktamar Pemuda PAS dan Muktamar
PAS. Setiap mengetahui saya berasal dari DDII, spontan mereka
mengatakan, pak Natsir adalah pimpinan kami.

3. Idris Nomajid: Dr. Futaqi Sangat Menghormati Pak Natsir


Pada tahun 1980, saya berkesempatan mengunjungi Tokyo setelah
menghadiri peresmian masjid yang dibangun oleh Muammar Ghadafi di

29
kota Busan, Korea Selatan. Ketika di Tokyo, saya diantar oleh bang Idris
Nomajid mengunjungi markas Islamic Congress Japan yang dipimpin oleh
Dr. Futaqi. Bang Idris Nomajid adalah salah seorang kader dari abah
Natsir yang bertugas membantu umat Islam yang berasal dari penduduk
asli yang berstatus muallaf. Di markas ini, pelbagai kegiatan Islamic
Congress Japan. Ketika bertemu Dr. Futaqi, komentar beliau, Mohammad
Natsir adalah pimpinan Islam yang kami kagumi.

4. Doktor Hunoris Causa dari UKM, Malaysia


Salah satu indikator, abah Natsir bukan hanya milik bangsa
Indonesia, tetapi juga milik bangsa lain, adalah penganugerahan gelar
Doktor Honoris Causa bagi beliau oleh Universitas Kebangsaan Malaysia
(UKM). Sayangnya, beliau tidak bisa menghadiri upacara
penganugerahan itu karena dicekal oleh rezim Soeharto untuk tidak boleh
keluar negeri untuk urusan apa pun.

IV. KHATIMAH

A. Simpulan
1. Pemimpin yang baik adalah figur yang memerankan perannya secara
komprehensif sebagaimana kehidupan Rasulullah saw. Pemimpin seperti
itu berfungsi sebagai komandan, manajer, dan pelayan.
2. Sebagai komandan, visi besar abah Muhammad Natsir memiliki konsep
kekhilafahan Indonesia yang diperjuangkan di sidang konstituante. Melalui
pidato beliau, “Islam sebagai Dasar Negara Indonesia,” lahir “Konsensus
Bandung” yang intinya kurang lebih sama dengan Piagam Jakarta. Sebab,
dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959 disebutkan, kembali ke Pancasila
dengan dijiwai Piagam Jakarta. Berarti, dengan visi besar itu pulalah, abah
Natsir memperjuangan gagasan NKRI melalui mosi integralnya di siding
konstituante sehingga beliau dilantik sebagai Perdana Menteri yang
pertama. Visi besarnya tersebut dicapai melalui misinya dilakukan melalui
pendekatan sistem pemerintahan dan kenegaraan yang transparan,
akuntabel, dan keberkahan berupa: kualifikasi pejabat publik, khususnya
jabatan Menteri dan kepala daerah yang berintegritas dan professional.
Beliau pula yang menggagas perlunya undang-undang pemerintahan
daerah yang mengatur otonomisasi di bidang pembangunan daerah.
30
Ketika menjadi Pimpinan DDII, misi besar beliau adalah: Fungsionalisasi
Masjid, Kampus, dan Pesantren.
3. Sebagai manajer, abah Natsir menunjukkan kepiawaian beliau dalam
mengelola negara, partai, dan DDII. Di sektor kenegaraan, abah Natsir
berhasil mencegah Aceh keluar dari Indonesia sekalipun dengan risiko,
beliau mengundurkan diri dari jabatan Perdana Menteri. Sekalipun sudah
bukan sebagai Perdana Menteri, abah Natsir masih melakukan lobi intensif
untuk mengajak Kartosuwiryo kembali ke pangkuan NKRI. Hanya
disebabkan taktik busuk PKI, pasukan betis PKI yang menyusup ke dalam
apparat dan masyarakat mengakibatkan Kartosuwiryo dijatuhi hukuman
tembak mati.
4. Sebagai pelayan, abah Natsir menunjukkan keteladan luar biasa di mana
dalam sehari dapat melayani warga DDII Jakarta di Masjid Al Munawarah,
Tanah Abang, Jakarta Pusat; warga DDII secara nasional di Kramat Raya
45; dan memberi inspirasi bagi para peneliti muda di LIPPM di Cikini Raya.
Sebagai pelayan, abah Natsir melayani dengan baik semua anak buah
dan tamu, khususnya dari daerah-daerah dengan biasa menyangonin
mereka dengan oleh-oleh, tiket pesawat terbang. Sebagai pelayan
teladan, sampai meninggal dunia, abah Natsir tidak punya rumah pribadi
dan juga tidak memiliki kenderaan pribadi.

B. Saran
1. Mereka yang sekarang menjadi komandan, apakah di istana sampai
dengan kepala desa, parpol, ormas, Lembaga Pendidikan, dan Yayasan,
asahlah otak, hati, dan anggota tubuh sehingga memiliki visi dan misi
besar dalam membawa Indonesia ke jenjang khilafah islamiah. Visi besar
itu harus diprogramkan melalui misi: masjid, kampus, dan pesantren, baik
dalam kedudukan anda sebagai komanda, manajer, maupun pelayan.
2. Program kerja utama sebagai komandan adalah: Pendidikan yang
berorientasi pengabdian kepada Allah swt, masyarakat, dan lingkungan
hidup sehingga target Pendidikan nasional haruslah terciptanya insan ulul
albab.
3. Mereka yang sekarang menjadi manajer, mulai dari istana sampai kepala
desa, parpol, ormas, Lembaga Pendidikan, dan Yayasan, jadikanlah
31
seluruh rakyat, karyawan, anggota, dan jamaah sebagai mitra kerja.
Percayalah, kemitraan itu akan melahirkan suatu taman kehidupan
duniawi yang berwajah surgawi yang disebut sebagai Masyarakat Madani.
Masyarakat yang dibangun di atas pilar-pilar ideologi Islam: Pendidikan,
Politik, dan Ekonomi di mana ketiganya bersumbukan aqidah Islam.
4. Mereka yang sekarang menjadi pelayan masyarakat, mulai dari istana
sampai kepala desa, orpol, ormas, Lembaga Pendidikan, dan yayasan,
janganlah tidur malam kecuali ada kepastian bahwa: tidak ada rakyat,
anggota, jamaah atau warga yang tidur dalam keadaan lapar atau tidur di
bawah jembatan atau di trotoar dan emper-emper toko. Pastikan bahwa,
tidak ada ibu-ibu hamil yang meninggal dunia karena tidak ada uang untuk
berobat. Apalagi ada anak usia SD yang putus sekolah hanya karena
kepapaan orang tuanya. Pastikan pula, tidak ada ulama, pendidik, dan
aktivis yang dikriminalisasi karena mengemukakan pendapat dalam
rangka amar ma’ruf, nahi mungkar.
5. Khusus untuk keluarga besar DDII, baik mereka yang sekarang masih
eksis di organisasi, mereka yang mengeluarkan diri maupun yang
dikeluarkan, kini waktunya untuk kembali pulang ke rumah sendiri: DDII.
Kalau pun, penghuni DDII sekarang berwajah kurang romantik atas sering
cemberut, tepislah semua itu dengan kembali mengenang wajah, suara,
dan goretan pena abah Muhammad Natsir sebagai pemimpin, pejuang,
dan negarawan yang tulus dan sederhana. In syaa Allah !!!
Wallahu’alam !!!

32

You might also like