Professional Documents
Culture Documents
Disusun oleh
Muhammad Rofiq
Muhsin
Menginjak usia 7 tahun KH Noer Ali mengaji kepada Guru Maksum Bekasi dan
Guru Mughni, banyak sekali ilmu didapat dari kedua gurunya tersebut mendasari
jiwanya dengan ruh-ruh keislaman , beranjak remaja KH Noer Ali belajar kepada
ulama besar di Betawi bernama Guru Marzuki disamping mempelajari ilmu-ilmu
agama Guru Marzuki juga mengajari ilmu-ilmu beladiri. Hingga Beliau terkenal sakti
dan tidak mempan ditembus peluru , bahkan Penjajah belandapun kesulitan
menangkap KH Noer Ali , sering menghilang dan tidak dapat dilihat oleh mata awam
hingga masyarakatpun memberi gelar Kh Noer Ali sebagai” belut Putih” yang sangan
licin.
Dengan semangat belajar yang tinggi KH Noer Ali dengan Berat Hati
Mengutarakan keinginannanya kepada ayahnya bahwa dirinya akan Menuntut Ilmu ke
Mekkah, KH Noer Ali menyadari betul siapa ayahnnya hanya seorang Petani dan
tidak mungkin memilki banyak uang untuk belajar ke Mekkah. Karena didorong rasa
semangat belajar anaknya yag tinggi, ayahnya pun tak ingin mematahkan
semangatnya, maka Ayahnya pun berusaha keras untuk mendapatkan uang agar
anaknya dapat belajar di Mekkah walaupun harus meminjam dan dibayar dengan di
cicil selama bertahun-tahun. Dengan harapan kelak anaknya dapat menjadi orang
yang berguna di masyarakat.
Suatu Ketika beliau ditangkap Belanda hanya pasrah saja dan tidak melakukan
perlawanan, KH Noer Ali digring masuk kedalam Truk Tentara Belanda. Di tengah
jalan beliau memohon kepada Allah SWT minta perlindungan, Bukan main kagetnya
tentara Belanda yang mengawal KH Noer Ali, di dalam Truk, KH Noer Ali
menghilang begitu saja dalam pandangan mata tentara Belanda. Membuat Nyali
Tentara Belanda semakin Ciut. “Pimpinannnya saja sakti gimana dengan tentara KH
Noer Alinya?,” kata tentara Belanda. Jatulah mental para tentara Belanda dalam
menghadapi Laskar-laskar di pimpin KH Noer Ali.
Suatu ketika KH Noer Ali dan para laskarnya bergerilya ke dalam hutan, para
laskar terlihat sangat kelaparan karena berperang Gerilya dengan Pasukan Belanda,
Saat itu KH Noer Ali shalat, selesai shalat minta kepada Allah agar di berikan
makanan. Maka dengan mengulum dan merlemparkan secarik kertas ke tanah tiba-
tiba terbentang dihadapannya nasi dan lauk pauknya. Peranan pentingnya muncul
ketika terjadi Agresi Militer Juli 1947. K.H. Noer Ali menghadap Jenderal Oerip
Soemohardjo di Yogyakarta. Ia diperintahkan untuk bergerilya di Jawa Barat dengan
tidak menggunakan nama TNI. KH Noer Ali pun kembali ke Jawa Barat jalan kaki
dan mendirikan serta menjadi Komandan Markas Pusat Hisbullah-Sabilillah (MPHS)
Jakarta Raya di Karawang. Saat itu, Belanda menganggap tentara Republik sudah
tidak ada. Noer Ali meminta rakyat Rawagede, Karawang untuk memasang ribuan
bendera kecil-kecil dari kertas minyak ditempel di pepohonan.
Di situlah K.H. Noer Ali digelari “Singa Karawang-Bekasi”. Ada juga yang
menyebutnya sebagai “Belut Putih” karena sulit ditangkap musuh. Sebagai kiai yang
memiliki karomah, Noer Ali menggunakan tarekat untuk memperkuat mental anak
buahnya. Ada wirid-wirid yang harus diamalkan, namun kadang-kadang anak
buahnya ini tidak taat. Selanjutnya menjadi Komandan Batalyon III Hisbullah Bekasi.
Bung Tomo saat itu dalam pidato-pidatonya dalam Radio Pemberontak menyebutnya
sebagai Kyai Haji Noer Ali sehingga selanjutnya ia dikenal sebagai Kyai Noer Ali.
Selain itu, ia pun masuk ke luar hutan untuk melakukan kontak-kontak dengan
pasukan yang masih bertahan. Ketika pengakuan kedaulatan ditandatangani Belanda,
MPHS pun dibubarkan. Jasa-jasanya selama masa perang kemerdekaan dihargai
orang termasuk oleh A.H. Nasution, yang menjadi Komandan Divisi Siliwangi waktu
itu. Kemudian dimulailah perjuangan K.H. Noer Ali dalam mengisi kemerdekaan
melalui pendidikan maupun melalui jalur politik. Ia pernah menjadi Ketua Komite
Nasional Indonesia Daerah (KNID) Cabang Babelan. Tanggal 19 September 1945
ketika diselenggarakan Rapat Raksasa di Lapang Ikada Jakarta, Noer Ali
mengerahkan massa untuk hadir. Dalam mempertahankan kemerdekaan, dia menjadi
Ketua Laskar Rakyat Bekasi.
Awal keterlibatannya dalam kancah politik, KH Noer Ali terpilih sebagai ketua
Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) Cabang Kabupaten Bekasi. Pada
Pemilu 1955, dirinya terpilih sebagai anggota DPRD Provinsi Jawa Barat. Melalui
suara terbanyak yang diperoleh dalam Pemilu tersebut ia menjadi anggota
Konstituante di Bandung dan pada tahun 1959 lembaga ini dibubarkan oleh Presiden
Soekarno. Berikutnya, partainya dibubarkan oleh Presiden Sukarno, KH Noer Ali tak
kelihatan lagi berkecimpung dalam pengurus formal kepartaian tertentu hingga akhir
hanyatnya.
Kiai Noer Ali adalah seorang ulama yang juga mendapat gelar pahlawan Nasional
pada 10 November 2006 lalu. Ketokohan Kiai Noer Ali telah diakui oleh dunia
internasional dan nasional. Bahkan dia dijuluki sebagai Singa Karawang dan Bekasi
atau 'macan' Bekasi karena perjuangannya merebut kemerdekaan dari tangan
penjajah.
Kiai Noer Ali memiliki teknik tersendiri dalam memenangkan bangsanya. Bukan
senjata yang membuatnya dinobatkan sebagai pahlawan, namun ilmu yang
disebarkannya serta semangat patriotisme yang dia selipkan dalam setiap pergelaran
majlis ilmu yang dipimpinnya. Setelah pulang menuntut ilmu dari Makkah pada 1940,
Kiai Noer Ali kemudian berusaha mendirikan pesantren di kampung halamannya
yang bertujuan untuk memajukan umat dari keterbelakangan yang mereka alami.
Dalam percakapan Sekertaris Biro Hukum Pondok Pesantren Attaqwa dengan
orang dari Repubilka , Kiai Noer Ali selalu berpesan kepada Murid-muridnya;
"Jangan sekali-sekali santri Kiai Noer hanya pintar tapi tidak benar. Jadi lebih baik
benar dulu baru pintar. Kalau pintar tapi gak benar, bila pada suatuhari jadi pejabat,
maka dia menjadi pejabat yang korupsi," ucap Sekretaris Biro Hukum Pondok
Pesantren Attaqwa.
Muhtadi menceritakan, Kiai Noer Ali juga dikenal dengan sosok Kiai yang
moderat. Sikap ini dia perlihatkan dengan mempersilakankan para santrinya melakoni
profesi hidup apapun dengan syarat dilakukan dengan tujuannya semata untuk
mengharap ridha Allah SWT. Kiai juga selalu berpesan agar setiap pekerjaan yang
dijalankan santri-santrinya kelak harus tetap berpacu pada garis agama agar Allah
SWT selalu menaungi kehidupan kita dengan keberkahan.
Gelar pahlawan nasional yang diraih Kiai Noer Ali tentu didasari oleh pengakuan
atas perjuangan yang dilakoni Kiai Noer Ali dalam membela negara kelahirannya,
Indonesia. Saat masa penjajahan, Kiai Noer Ali mendapat julukan dari orang Belanda,
yaitu si belut putih. Julukan tersebut ditujukan kepadanya karena sangat sulit
ditangkap oleh tentara Belanda.
Salah satu kejadian yang disampaikan Muhtadi adalah ketika pada suatu waktu
Kiai Noer Ali memasuki masjid. Melihat kiai di dalam masjid para opsir Belanda
yang bersenjata segera mengepung masjid dan menunggu di luar masjid, tempat
sandal Kiai Noer Ali berada. Namun setelah menungga lama, ternyata para opsir
Belanda itu terkecoh karena saat mereka memeriksa ke dalam masjid, Kiai Noer Ali
sudah pergi meninggalkan masjid tersebut.
Secara pribadi KH Noer Ali merupakan seorang ahli ibadah yang sangat kuat. Ia
terlihat ibarat aktivis ‘sosialis’ yang mendedahkan waktu untuk kerja dan voluntir di
siang hari dan laksana rahib di malam hari. Kekuatan ibadah yang dijalankan diakui
oleh pengikutnya. Produk ibadah teknis yang ia lakukan merupakan hasil
bentukannya sendiri dari produk yang telah ada sebelumnya hanya ia sesuaikan
dengan lokal di kalangan pengikutnya. Namun, yang paling utama dirinya sangat
mengutamakan sholat berjamaah di Masid dengan santri-santrinya.
Sedangkan di lokal Bekasi dan Jakarta, KH Noer Ali terlihat sering menggelar
forum muzdakarah yang dihadiri para juniornya dalam membahas sesuatu. Meski
terlihat para junior mereka merupakan pentolan unsur NU dan Muhammadiyah, atau
berbeda secara garis pemikiran namun ia sering melakukan kesimpulan yang dapat
diterima forum. Dengan kata lain, upaya persatuan tersebut lebih pada bentuk niat
untuk bersatu dalam perbedaan yang ada dalam tujuan tertentu, yaitu pembangunan
umat yang masih perlu bimbingan para ulama.
Sedangkan sebutan ulama yang konsisten dan memiliki karakter yang kuat ini
terlihat dalam sikapnya dalam mengimbangi kekuatan Orde Baru yang sangat
berkuasa. Sebagai ulama yang ihklas, sederhana dan apa adanya ia berhasil dengan
baik tanpa ada konflik yang berarti. Keteguhan yang dimaksud adalah, sikapnya yang
tidak menjilat pada kekuasaan hanya untuk mengamankan apa yang dilakukan dalam
berjuang di masyarakat. Sikap ini beda dengan yang terjadi pada saat itu, nyaris para
ulama banyak mendekat dengan kekuasaan lantaran agar dapat posisi atau sekedar tak
dicap sebagai eks Darul Islam dan Tentara Islam Indonesia atau pemberontak
sebagaimana sebutan itu lazim diberikan bagi mereka yang menjauh dengan
kekuasaan Orba.
Sebagai bapak bagi putera puterinya KH Noer Ali tergolong sukses mendididik
mereka bagi dalam ekonomi dan pendidikan. Sebagai seorang ‘Bapak’ bagi para
pengikutnya Ia merupakan sumber bertanya dalam bermasalah kehidupan warganya,
mulai unsur agama, pendidikan, pertanian, lingkungan, politik dan lainnya. Sebut saja
soal pertanian, ia sempat mengajarkan masyarakat tentang cara bercocok tanam padi
unggul yang dapat dipanen secara dua kali dalam satu tahun sekitar tahun 1950.
Pada waktu itu belum ramai bentuk sosialisasi tentang pengamalan berikut tata
cara menanam yang baik. Program ini sukses lantaran ia secara langsung turun ke
sawah bersama petani. Terkait dengan penanaman padi, dirinya juga mengerjakan
penanamanan pohon jeruk secara besar di lingkungan tanah wakap Attaqwa di Ujung
Harapan, hasilnya digunakan untuk pembiyaan pembangunan Masjid Attaqwa.
Sebutan terakhir ini memang jarang tersebar luas, ketimbang figur ulama dan pejuang
dalam kiprah KH Noer Ali. Padahal unsur sosial termasuk di dalamnya membangun
kampung seperti membuka akses jalan ke Ujungharapan-Teluk Pucung,
Ujungharapan-Babelan dan Ujungharapan-Kaliabanag serta jalan kecil seperti gang
indah meneruak di lingkungan Desa Bahagia Babelan Bekasi. Ide ini berjalan sukses,
agar desanya dapat dijangkau dari daerah lain secara dekat.
Dan Ketika masa perjuangan dengan Penjajah berakhir KH Noer Ali kembali
berjuang dibidang Dakwah dan pendidikan di Pondok Pesantren At Taqwa yang
berada di Bekasi. Walaupun beliau Seorang Ulama besar beliau masih saja haus akan
ilmu, dan beliau mengaji kepada Habib Ali Al habsyi Kwitang jakarta untuk
bertabaruk. Tanggal 3 Mei 1992, KH Noer Ali wafat dalam usia 78 tahun. Masyarakat
dan para ulama merasa sangat kehilangan sosok ulama dan pejuang yang telah banyak
berjasa bagi negara. Pada tahun 2006, pemerintah Indonesia memberikan gelar
pahlawan Nasional Kepada Kh Noer Ali dan Namanya pun di abadikan menjadi nama
jalan KH Noer Ali di Kalimalang, Bekasi.
Daftar Pustaka
http//www. islamilenia.com
https://www.pahlawanindonesia.com/biografi-pahlawan-nasional-kh-noer-alie/
http://oi-kotabekasi.blogspot.co.id/2010/11/khnoer-ali-pahlawan-kota-bekasi.html
www. Republika.com