Professional Documents
Culture Documents
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Narkotika adalah segala bahan yang bilaman dimasukkan ke dalam
tubuh, maka ia bekerja pada susunan saraf pusat yang mempunyai pengaruh
terhadap badan, jiwa atau pikiran serta tingkah laku.
Selanjutnya dalam Pasal 2 ayat 1 ditegaskan bahwa Narkotika
sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 digolongkan menjadi tiga golongan:1)
Narkotika golongan I, 2) Narkotika golongan II, 2) Narkotika golongan III.
Pada bagian penjabaran atas UU No. 22 tahun 1997 tersebut bahwa
yang dimaksud dengan Narkotika golongan I adalah Narkotika yang hanya
dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak
digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan
ketergantungan. Narkotika golongan II adalah Narkotika yang berkhasiat
pengobatan, digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam
terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta
mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. Sedangkan
Narkotika golongan III adalah Narkotika yang berkhasiat pengobatan dan
banyak digunakan dalam terapi dan/atau tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.
Canabis yang lazim disebut ganja,mengacu pada varitas cannabissativa,
atau tanaman rami india yang berisi obat psikoaktif tetrahydrocannabinol
(THC). Cannabis dalam bentuk ganja (bahan resin kering dari daun ganja).
Ganja merupakan narkotika golongan 1.
Bahan aktifnya berasal dari tanaman ganja bersifat adiktif, yang hanya
larut dalam lemak. Karena tidak dapat larut dalam air, THC tinggal lama
didalam lemak jaringan (termasuk jaringan lemak otak,sehingga menyebabkan
brain damage) Stimulansia dan halusinogenik.
1
Mengenai efek yang dapat ditimbulkan oleh ganja, pada referat ini maka
akan dibahas bagaimana efek ganja terhadap tubuh manusia.
2
BAB II
Tinjauan Pustaka
(a) (b)
3
ingatan, meningkatkan denyut nadi, keseimbangan dan koordinasi tubuh yang
buruk, ketakutan dan rasa panik, depresi, kebingungan dan halusinasi.
4
B. Mekanisme Aksi
Otak merupakan pusat dari sistem saraf yang berfungsi dalam mengatur
seluruh koordinasi dan keseimbangan yang terjadi di dalam tubuh manusia.
Senyawa-senyawa psychedelic bahan alam termasuk delta-9-tetra-hidro-
kannabinol adalah senyawa yang bekerja mempengaruhi sistem saraf pusat
dengan beberapa mekanisme kerja yang berbeda sesuai dengan karakterisitik
masing-masing senyawa. Karakteristik-karateristik ini dapat berupa
karakteristik kimia (stereokimia molekul, isomer, gugus fungsi), juga
karakteristik fisika (afinitas, elektronegativitas), serta sifat fisikokimia (asam
basa, lipofilik, hiprofilik, kelarutan).
1. Farmakokinetik
Delta-9-tetra-hidro-kannabinol adalah senyawa psychedelic bahan alam
yang sangat larut di dalam lemak (lipofil) sehingga dengan pemberian pada
rute oral dapat terabsorpsi baik pada saluran cerna terutama pada lambung.
Waktu onset terjadi hampir selama satu jam sebelum mencapai sawar darah
otak dan konsentrasi aktif didalam plasma terjadi selama dua hingga empat
5
jam. Absorpsi pada rute inhalasi lebih cepat dibandingkan rute oral. Pada
jalur inhalasi dan intravena, delta-9-tetra-hidro-kannabinol langsung
memasuki peredaran darah sistemik. Sebagian dapat terdistribusi pada
jaringan adiposa dan sebagian memasuki sawar darah otak.
Reaksi melalui rute inhalasi mulai memperlihatkan efek pada 25 menit
setelah pemakaian. Efek terapeutik yang diinginkan adalah kerja pada
sistem saraf pusat yang dapat dicapai setelah delta-9-tetra-hidro-
kannabinol mencapai reseptor kannabinoid pada sistem saraf pusat.
Metabolit aktif dan inaktif, keduanya dapat ditemukan pada hati. Pada
umumnya ditemukan dalam bentuk 11-OH-delta-9-tetra-hidro-kannabinol.
Metabolit ini secara umum diekskresi melalui rute biliari-fecal dengan
hanya sekitar 10% hingga 15% yang diekskresi melalui urin.
Delta-9-tetra-hidro-kannabinol dan metabolitnya berikatan tinggi
dengan protein plasma (95%) sehingga proses eliminasi berlangsung lama
dan sejumlah metabolit tetap tertinggal di aliran darah dan jaringan adiposa
(lemak) terutama setelah penggunaan berulang dan jangka panjang.
Penelitian lebih lanjut menemukan bukti bahwa adiksi terhadap marijuana
disebabkan kemampuan delta-9-tetra-hidro-kannabinol melekat pada suatu
area tertentu didalam otak dikarenakan sifat senyawa ini yang lipofilik. Hal
ini juga menyebabkan kesulitan penanganan pada pengguna kronis yang
sudah mengalami ketergantungan.
2. Farmakodinamik
Bahan aktif marijuana adalah delta-9-tetra-hidro-kannabinol (THC) dan
diperkirakan untuk mengerahkan efeknya dengan mengikat reseptor
kannabinoid CB1 pada terminal saraf presinaptik di otak. THC bekerja
agonis dan berikatan pada reseptor kannabinoid CB1 yang berada pada
sistem saraf pusat. THC mengikat reseptor CB1 mengaktifkan G-protein
yang juga mengaktifkan atau menghambat sejumlah jalur transduksi sinyal.
G-protein secara langsung menghambat N dan tegangan tipe P atau Q
(tergantung dari kanal kalsium dan kanal natrium) dan secara tidak
6
langsung menghambat kanal kalsium tipe A melalui penghambatan
adenilat siklase. THC mengikat dan mengaktivasi G-protein yang juga
mengaktifkan kanal kalium dan jalur sinyal MAP kinase. Efek kumulatif
dari jalur ini adalah perasaan euforia.
THC juga bekerja agonis pada reseptor CB2 yang bekerja dalam
supresi sel-sel imun sehingga aktivitas THC pada reseptor ini dapat
menyebabkan penurunan kemampuan sel imun (imunosupressan).
Penggunaan THC atau paparan langsung (inhalasi, gas, asap, serbuk
kering, residu bakaran abu, dan sebagainya) dapat menurunkan
kemampuan sistem imun terutama pada individu yang memiliki kelainan
pada sistem imunnya.
7
senang karena suatu humor atau lawakan, atau euforia pada saat keadaan
yang sangat menyenangkan seperti sebuah kejutan atau hal-hal yang dapat
memberikan perasaan senang lainnya.
C. Kadar Toksik
THC adalah salah satu komponen dari marijuana yang beersifat racun terhadap
hewan uji. Efek toksik dari marijuana terutama pada sistem saraf. Penyebab
kematian hewan uji biasanya disebabkan oleh apnea atau henti jantung. Hewan
uji yang lebih tinggi tingkatannya secara filogenetik memiliki daya tahan yang
lebih baik terhadap toksisitas akut dari THC. Pada tikus, dosis LD50 THC adalah
40 mg/kg dengan rute intravena, sementara dosis LD50 pada monyet dan anjing
adalah 130 mg/kg.
Tidak ada penentuan dosis letal pada manusia secara pasti karena tidak
mungkin dilakukan percobaan terhadap manusia. Namun, berdasarkan teori
yang telah disebutkan, dosis letal pada manusia akan lebih tinggi darpada dosis
letal pada monyet. Sementara, dosis yang menyebabkan toksisitas akut dari THC
diperkirakan adalah 0,4mg/kg BB secara oral.
8
diantaranya amphetamine dan metamphetamine. Berdasarkan kategori
penggolongan obat yang dikeluarkan Badan Narkotika Amerika Serikat,
marijuana termasuk golongan Schedule III controlled drug yaitu golongan obat
dengan risiko penyalahgunaan obat tinggi dan dapat menyebabkan
ketergantungan psikologis dan fisik. Penggunaan dosis rendah hingga sedang
menyebabkan efek intoksikasi seperti relaksasi, rasa mengantuk, dan mild
euphoria sedangkan pada dosis tinggi menyebabkan reaksi panik dan halusinasi
mirip psikosis akut atau dengan kata lain dapat menimbulkan efek toksisitas akut
(jangka pendek). Besar jumlah dan jenis efek yang terjadi bervariasi tiap
individu tergantung pada respon personal dan jumlah marijuana yang
dikonsumsi.
9
1. Ketajaman sensorik,
2. Euforia yang disertai dengan relaksasi atau rasa mengantuk seperti teler
yang disebabkan oleh gangguan aktivitas neurotransmitter dopaminergik
dan norepinefrin yang berlebihan,
10
1. Gejala psikosis
11
menunjukkan gejala yang mirip dengan dysthimic disorder. Reaksi akut yang
berbahaya harus dibedakan dengan gangguan panik, gangguan depresi berat,
waham, gangguan bipolar atau skizofrenia tipe paranoid. Pemeriksaan fisik
biasanya menunjukkan peningkatan denyut nadi dan injeksio konjungtiva.
E. Diagnosis
Ada 4 metode yang dapat digunakan untuk mendeteksi marijuana. Metode ini
diklasifikasikan menjadi 2 kategori, yaitu metode untuk mendeteksi toksisistas
marijuana dan untuk mendeteksi apakah seseorang memakai marijuana atau
tidak.
Tes untuk mendeteksi toksisitas marijuana adalah tes air liur dan tes darah.
Keduanya dilakukan spade 6-24 jam setelah seseorang mengonsumsi marijuana
dalam dosis yang menyebabkan toksisitas akut.
Tes untuk mendeteksi apakah seseorang adalah pemakai marijuana adalah
dengan tes darah, tes rambut, dan tes urin. Tes darah dapat mendeteksi sampai
tujuh hari setelah pemakai mengonsumsi marijuana. Tes rambut dapat
mendeteksi sampai beberapa bulan atau bahkan satu tahun setelah pemakai
menggunakan marijuana, oleh karena itu tes ini membutuhkan biaya yang
cukup mahal. Tes urin dapat mendeteksi adanya 9-karboksi-
tetrahidrokannabinol-diglucuronide dalam bentuk terkonjugasi—yang
merupakan metabolit dari THC, sampai sepuluh hari setelah pemakai
menggunakan marijuana.
F. Mekanisme Toksisitas
12
kira-kira 2-4 jam. Marijuana mengandung zat psikoaktif delta-9-tetra-hidro-
kanabinol (THC). Zat ini terdapat pada daun dan rantingnya dengan kadar THC
tertinggi pada pucuk tanaman betina yang sedang berbunga. Kadarnya berkisar
1,0% – 10%, bahkan bisa lebih bila dibudidayakan dengan perlakuan dan faktor
lingkungan yang baik. Selain THC, ganja juga mengandung kanabinol dan asam
tetrahidrokanabidiolat. Setiap batang rokok marijuana mengandung THC
sebanyak 5-20 mg. Bila diisap, asap marijuana yang mengandung lebih dari 60
kanabinoid dan bahan kimia lain ditahan dalam paru-paru beberapa detik. Sekitar
50% akan diabsorbsi (penggunaan oral hanya diabsobsi 3-6%)
13
THC bersifat sangat larut lemak, sehingga THC akan sangat mudah
terdistribusi ke seluruh jaringan dan akan terdeposisi di jaringan lemak, oleh
sebab itu THC memiliki volume distribusi yang relatif besar (4-14 l/kg).
Karena kelarutannya yang tinggi, hal itu pun menyebabkan THC sangat lama
tertambat di jaringan lemak, dan ini akan memperlambat laju eliminasi THC.
THC sebagai salah satu zat psikoaktif yang utama dalam ganja
mengikat reseptor anandamide di otak, memiliki efek stimulan, sedatif, atau
halusinogen, tergantung pada dosis dan waktu setelah konsumsi. Pengeluaran
katekolamin (yang mengakibatkan takikardia) dan penghambatan refleks
simpatis (yang mengakibatkan hipotensi ortostatik ) dapat diamati secara
langsung. Efek THC saat dihirup dalam rokok ganja, masuk ke paru-paru dan
terbawa aliran darah hingga sampai ke otak. Di otak, jika THC sampai pada
“tempat” yang disebut reseptor kannabinoid, akan menghilangkan beberapa
reaksi seluler yang seharusnya terjadi. Beberapa daerah pada otak memiliki
reseptor kannabinoid. Meningkatnya kerapatan reseptor kannabinoid pada otak
mempengaruhi rasa senang, daya ingat, berpikir, konsentrasi, cara pandang dan
koordinasi gerak. Pada akhirnya, orang yang biasa menggunakan rokok
marijuana akan kehilangan kemampuan intelektualnya.
THC diserap merlalui paru-paru (atau perut) ke dalam aliran darah dan
dibawa ke otak, tempat zat itu membanjiri reseptor dengan bahan kimia yang
membangkitkan rasa senang di otak. Pada umumnya, mengisap marijuana
memberikan efek santai pada si pengguna. Marijuana juga meningkatkan nafsu
makan, dalam bahasa sehari-hari dikenal dengan sebutan menjadi “kelaparan”.
14
dan B2 yang terdapat di otak terutama pada kortek serebri, hipokampus,
serebelum.
(a) (b)
Gambar 5. Lokasi THC terkonsentrasi dalam otak (kiri) dan ikatan THC
dengan reseptor protein (kanan).
15
Interaksi THC dengan reseptor kanabinoid ini memicu pelepasan
neurotransmiter dopamin (DA) dan norepinefrin (NE) pada mesolimbik otak.
Sebagaimana diketahui bahwa di dalam mesolimbik terdapat mesolimbic
dopamine pathway yang mengandung Medial Fore-brain Bundle (MFB) yang
berisi serabut saraf dopaminergik. Serabut saraf ini menyebar dari Ventral
Tegmental Area (VTA) di bagian ventral otak tengah menuju Nucleus Accubens
(NA) di ventral bagian otak depan. Jalur neural dalam otak ini sering dijuluki
sebagai “jalur kenikmatan” (brain reward system/ brain plesure system). Jalur
ini mampu memberi penguatan (reinforcing) positif dan adiksi pada pengunaan
narkoba seperti opioida, kokain, nikotin, amfetamin, alkohol dan marijuana.
16
pengguna marijuana mempunyai potensi untuk menggunakan zat psikoaktif
lain. Jalur ini yang memungkinkan menjadi dasar marijuana sebagai entry point
pada penggunaan jenis narkoba lain, seperti yang pernah dilaporkan di AS
bahwa 98% pengguna kokain, mulainya dari pemakaian ganja.
Bukti visual mengenai pola otak terkait dengan perilaku yang semula
dinilai sebagai fenomena psikologi kini telah dapat dibuktikan dengan
Perkembangan teknologi kedokteran saat ini seperti penggunaan Single Photon
Emission Computed Tomography (SPECT), yaitu metode pencitraan
kedokteran nuklir untuk mengukur aliran darah dan tingkat aktifitas otak.
Seperti yang diungkapkan hasil penelitian Daniel G. Amen, MD, seorang
perintis dan spesialis pencitraan otak, psikiater dengan menggunakan SPECT,
menemukan bahwa otak pengisap ganja pemula mengalami penurunan aliran
darah yang akut sedangkan pengisap ganja kronis otaknya mengalami
penurunan perfusi secara menyeluruh dibanding dengan kelompok kontrol
yang tidak menggunakan ganja. Bahkan beliau menemukan adanya penurunan
aktifitas lobus termporalis otak.
H. Penanganan Toksisitas
17
Dukungan dapat diperoleh dari individu itu sendiri, keluarga dan para
psikoterapi.
18
BAB III
Kesimpulan
Cannabis atau marijuana mengandung sejenis bahan kimia yang disebut delta-
9-tetra-hidro-kannabinol (THC) yang dapat mempengaruhi suasana hati manusia dan
cara orang tersebut melihat serta mendengar hal-hal disekitarnya. Marijuana disebut
juga sebagai obat depresan karena dapat mempengaruhi sistem saraf dengan cara
membuat lambat sistem saraf. Marijuana dapat mempengaruhi konsentrasi dan ingatan,
meningkatkan denyut nadi, keseimbangan dan koordinasi tubuh yang buruk, ketakutan
dan rasa panik, depresi, kebingungan dan halusinasi.
Pengaruh rokok marijuana pada penggunaan timbul setelah 20-30 menit dan
kadar THC tertinggi dalam plasma dicapai dalam waktu 2 – 3 jam. Kemudian THC
meninggalkan plasma dan masuk kedalam jaringan yang mengandung lemak, terutama
otak dan testis. THC sebagai zat psikoaktif utama dalam ganja, didalam tubuh akan
bekerja pada reseptor-B1 dan B2 yang terdapat di otak terutama pada kortek serebri,
hipokampus, serebelum. Interaksi THC dengan reseptor kanabinoid ini memicu
pelepasan neurotransmiter dopamin (DA) dan norepinefrin (NE) pada mesolimbik
otak.
19
beberapa bulan atau bahkan satu tahun setelah pemakai menggunakan marijuana. Tes
urin dapat mendeteksi adanya 9-karboksi-tetrahidrokannabinol-diglucuronide dalam
bentuk terkonjugasi—yang merupakan metabolit dari THC, sampai sepuluh hari
setelah pemakai menggunakan marijuana.
20
Daftar Pustaka
Ford, Marsha D., Kathleen A. Delaney, et al. 2001. Clinical Toxicology. Philadelphia,
Pennsylvania : W.B. Saunders Company (hal 644)
http://www.csam-asam.org/adverse-effects-marijuana-healthcare-professionals
(diakses tanggal 10 Juni 2018)
http://www.health.gov.au/internet/main/publishing.nsf/Content/health-pubs-drug-
cannab2 ch52.htm (diakses tanggal 10 Juni 2018)
http://www.mayomedicallaboratories.com/images/articles/hottopics/2009/2009-9a-
drugsabuse/slide42.jpg (diakses tanggal 10 Juni 2018)
https://www.unodc.org/unodc/en/data-and-analysis/bulletin/bulletin_1973-
0101_1_page003.html (diakses tanggal 10 Juni 2018)
21