You are on page 1of 21

BAB 1

Pendahuluan

A. Latar Belakang
Narkotika adalah segala bahan yang bilaman dimasukkan ke dalam
tubuh, maka ia bekerja pada susunan saraf pusat yang mempunyai pengaruh
terhadap badan, jiwa atau pikiran serta tingkah laku.
Selanjutnya dalam Pasal 2 ayat 1 ditegaskan bahwa Narkotika
sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 digolongkan menjadi tiga golongan:1)
Narkotika golongan I, 2) Narkotika golongan II, 2) Narkotika golongan III.
Pada bagian penjabaran atas UU No. 22 tahun 1997 tersebut bahwa
yang dimaksud dengan Narkotika golongan I adalah Narkotika yang hanya
dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak
digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan
ketergantungan. Narkotika golongan II adalah Narkotika yang berkhasiat
pengobatan, digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam
terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta
mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. Sedangkan
Narkotika golongan III adalah Narkotika yang berkhasiat pengobatan dan
banyak digunakan dalam terapi dan/atau tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.
Canabis yang lazim disebut ganja,mengacu pada varitas cannabissativa,
atau tanaman rami india yang berisi obat psikoaktif tetrahydrocannabinol
(THC). Cannabis dalam bentuk ganja (bahan resin kering dari daun ganja).
Ganja merupakan narkotika golongan 1.
Bahan aktifnya berasal dari tanaman ganja bersifat adiktif, yang hanya
larut dalam lemak. Karena tidak dapat larut dalam air, THC tinggal lama
didalam lemak jaringan (termasuk jaringan lemak otak,sehingga menyebabkan
brain damage) Stimulansia dan halusinogenik.

1
Mengenai efek yang dapat ditimbulkan oleh ganja, pada referat ini maka
akan dibahas bagaimana efek ganja terhadap tubuh manusia.

1.1 Tujuan dan Manfaat


1) Tujuan
Untuk mengetahui lebih banyak tentang efek ganja terhadap tubuh.
2) Manfaat
 Manfaat dari pembuatan referat ini adalah untuk membantu memahami
efek ganja terhadap tubuh

2
BAB II
Tinjauan Pustaka

A. Definisi dan Pengertian Umum


Canabis yang lazim disebut ganja,mengacu pada varitas cannabissativa, atau
tanaman rami india yang berisi obat psikoaktif tetrahydrocannabinol (THC).
Cannabis adalah mariyuana, ‘grass’, ‘pot’, ‘weed’, teh dan maryjane.nama lain
yang menggambarkan tipe cannabis dengan berbagai kekuatan adalah ‘hemp’,
‘chasra’, ‘bhang’. ‘dagga’, dan ‘sinsemilla’.

(a) (b)

Gambar 1. Serbuk marijuana (a) dan tanaman Cannabis sativa (b)

Marijuana mengandung sejenis bahan kimia yang disebut delta-9-tetra-


hidro-kannabinol (THC) yang dapat mempengaruhi suasana hati manusia dan
cara orang tersebut melihat serta mendengar hal-hal disekitarnya. Marijuana
disebut juga sebagai obat depresan karena dapat mempengaruhi sistem saraf
dengan cara membuat lambat sistem saraf. Marijuana dianggap narkoba yang
aman dibandingkan dengan putaw atau shabu, hingga sebagian besar pecandu
narkoba mulai mengonsumsi narkoba dengan mencoba marijuana. Jika
menggunakan marijuana, maka pikiran akan menjadi lambat, dan membuat
seseorang terlihat bodoh. Marijuana dapat mempengaruhi konsentrasi dan

3
ingatan, meningkatkan denyut nadi, keseimbangan dan koordinasi tubuh yang
buruk, ketakutan dan rasa panik, depresi, kebingungan dan halusinasi.

Gambar 2. Struktur delta-9-tetra-hidro-kannabinol (THC)

Tetra Hidro Cannabinol atau THC (delta-9-tetra-hidro-kannabinol)


adalah senyawa aktif yang terdapat dalam tanamanmarijuanaa. Ketika THC
digunakan, baik dikonsumsi atau diinhalasi, ia mengikat reseptor spesifik yang
ada di dalam otak manusia yang disebut reseptor kannabinoid. Dalam dosis
rendah, senyawa tersebut dapat mengurangi rasa sakit, mengurangi agresi,
merangsang nafsu makan dan dapat membantu mengurangi rasa mual. Dosis
yang lebih tinggi dapat menyebabkan "giting” atau “tinggi" (high), yaitu suatu
perasaan dan persepsi yang berubah antara ruang dan waktu yang menciptakan
rasa kebahagiaan.

THC diproduksi dalam bentuk kimia di beberapa negara dimana


penggunaan ganja masih legal. Obat dengan resep dokter bernama Marinol®
adalah salah satu produk kimia yang mengandung THC. Marinol digunakan
untuk mengobati gangguan makan, membantu meringankan efek samping dari
kemoterapi, dan untuk membantu melawan efek merusak dari full-blown AIDS.
Senyawa ini juga telah diteliti bermanfaat dalam mengurangi tics yang dialami
orang-orang yang mengalami Sindrom Tourette.

4
B. Mekanisme Aksi

Otak merupakan pusat dari sistem saraf yang berfungsi dalam mengatur
seluruh koordinasi dan keseimbangan yang terjadi di dalam tubuh manusia.
Senyawa-senyawa psychedelic bahan alam termasuk delta-9-tetra-hidro-
kannabinol adalah senyawa yang bekerja mempengaruhi sistem saraf pusat
dengan beberapa mekanisme kerja yang berbeda sesuai dengan karakterisitik
masing-masing senyawa. Karakteristik-karateristik ini dapat berupa
karakteristik kimia (stereokimia molekul, isomer, gugus fungsi), juga
karakteristik fisika (afinitas, elektronegativitas), serta sifat fisikokimia (asam
basa, lipofilik, hiprofilik, kelarutan).

Delta-9-tetra-hidro-kannabinol pada umumnya memberikan efek euforia


yaitu rasa bahagia atau senang tanpa sebab-sebab yang jelas. Sebagian pengguna
mengatakan marijuana dapat membuat perasaan tenang seperti melayang.
Marijuana juga diketahui dapat menghilangkan nyeri dan meningkatkan nafsu
makan. THC pada marijuana terdapat dalam bentuk rasemik antara delta-9-tetra-
hidro-kannabinol dan delta-8-tetra-hidro-kannabinol. Delta9-tetra-hidro-
kannabinol adalah bentuk isomer yang lebih umum ditemukan pada senyawa
bahan alam. Beberapa senyawa turunan THC sudah dibuat dalam bentuk sintetik
dari berbagai jenis isomernya tetapi hanya beberapa yang dapat memberikan efek
sebagai obat.

1. Farmakokinetik
Delta-9-tetra-hidro-kannabinol adalah senyawa psychedelic bahan alam
yang sangat larut di dalam lemak (lipofil) sehingga dengan pemberian pada
rute oral dapat terabsorpsi baik pada saluran cerna terutama pada lambung.
Waktu onset terjadi hampir selama satu jam sebelum mencapai sawar darah
otak dan konsentrasi aktif didalam plasma terjadi selama dua hingga empat

5
jam. Absorpsi pada rute inhalasi lebih cepat dibandingkan rute oral. Pada
jalur inhalasi dan intravena, delta-9-tetra-hidro-kannabinol langsung
memasuki peredaran darah sistemik. Sebagian dapat terdistribusi pada
jaringan adiposa dan sebagian memasuki sawar darah otak.
Reaksi melalui rute inhalasi mulai memperlihatkan efek pada 25 menit
setelah pemakaian. Efek terapeutik yang diinginkan adalah kerja pada
sistem saraf pusat yang dapat dicapai setelah delta-9-tetra-hidro-
kannabinol mencapai reseptor kannabinoid pada sistem saraf pusat.
Metabolit aktif dan inaktif, keduanya dapat ditemukan pada hati. Pada
umumnya ditemukan dalam bentuk 11-OH-delta-9-tetra-hidro-kannabinol.
Metabolit ini secara umum diekskresi melalui rute biliari-fecal dengan
hanya sekitar 10% hingga 15% yang diekskresi melalui urin.
Delta-9-tetra-hidro-kannabinol dan metabolitnya berikatan tinggi
dengan protein plasma (95%) sehingga proses eliminasi berlangsung lama
dan sejumlah metabolit tetap tertinggal di aliran darah dan jaringan adiposa
(lemak) terutama setelah penggunaan berulang dan jangka panjang.
Penelitian lebih lanjut menemukan bukti bahwa adiksi terhadap marijuana
disebabkan kemampuan delta-9-tetra-hidro-kannabinol melekat pada suatu
area tertentu didalam otak dikarenakan sifat senyawa ini yang lipofilik. Hal
ini juga menyebabkan kesulitan penanganan pada pengguna kronis yang
sudah mengalami ketergantungan.
2. Farmakodinamik
Bahan aktif marijuana adalah delta-9-tetra-hidro-kannabinol (THC) dan
diperkirakan untuk mengerahkan efeknya dengan mengikat reseptor
kannabinoid CB1 pada terminal saraf presinaptik di otak. THC bekerja
agonis dan berikatan pada reseptor kannabinoid CB1 yang berada pada
sistem saraf pusat. THC mengikat reseptor CB1 mengaktifkan G-protein
yang juga mengaktifkan atau menghambat sejumlah jalur transduksi sinyal.
G-protein secara langsung menghambat N dan tegangan tipe P atau Q
(tergantung dari kanal kalsium dan kanal natrium) dan secara tidak

6
langsung menghambat kanal kalsium tipe A melalui penghambatan
adenilat siklase. THC mengikat dan mengaktivasi G-protein yang juga
mengaktifkan kanal kalium dan jalur sinyal MAP kinase. Efek kumulatif
dari jalur ini adalah perasaan euforia.

Gambar 3. Skema mekanisme aksi THC

THC juga bekerja agonis pada reseptor CB2 yang bekerja dalam
supresi sel-sel imun sehingga aktivitas THC pada reseptor ini dapat
menyebabkan penurunan kemampuan sel imun (imunosupressan).
Penggunaan THC atau paparan langsung (inhalasi, gas, asap, serbuk
kering, residu bakaran abu, dan sebagainya) dapat menurunkan
kemampuan sistem imun terutama pada individu yang memiliki kelainan
pada sistem imunnya.

Didalam tubuh manusia terdapat senyawa alami yang memiliki efek


mirip dengan THC yaitu endokannabinoid yang alaminya dilepaskan oleh
tubuh dalam rangsang respon emosi alamiah seperti keadaan senang atau
tenang dikarenakan sebab tertentu yang jelas. Sepeti tertawa dan rasa

7
senang karena suatu humor atau lawakan, atau euforia pada saat keadaan
yang sangat menyenangkan seperti sebuah kejutan atau hal-hal yang dapat
memberikan perasaan senang lainnya.

Penggunaan marijuana dalam waktu jangka panjang dapat mengurangi


kemampuan reseptor-reseptor kannabinoid untuk mengenali senyawa
endokannabinoid tubuh karena kerja agonis THC pada sistem saraf pusat
sehingga menurunkan respon yang dihasilkan oleh senyawa
endokannabinoid. Hal ini dapat menyebabkan penurunan respon emosi
atau presepsi emosi yang salah pada penggunan kronik.

C. Kadar Toksik
THC adalah salah satu komponen dari marijuana yang beersifat racun terhadap
hewan uji. Efek toksik dari marijuana terutama pada sistem saraf. Penyebab
kematian hewan uji biasanya disebabkan oleh apnea atau henti jantung. Hewan
uji yang lebih tinggi tingkatannya secara filogenetik memiliki daya tahan yang
lebih baik terhadap toksisitas akut dari THC. Pada tikus, dosis LD50 THC adalah
40 mg/kg dengan rute intravena, sementara dosis LD50 pada monyet dan anjing
adalah 130 mg/kg.
Tidak ada penentuan dosis letal pada manusia secara pasti karena tidak
mungkin dilakukan percobaan terhadap manusia. Namun, berdasarkan teori
yang telah disebutkan, dosis letal pada manusia akan lebih tinggi darpada dosis
letal pada monyet. Sementara, dosis yang menyebabkan toksisitas akut dari THC
diperkirakan adalah 0,4mg/kg BB secara oral.

D. Gejala Toksisitas dan Manifestasi Klinis

THC (tetrahydrocannabinol) sebagai substiteun aktif dalam marijuana


menstimulasi aktivitas saraf simpatik. Efek yang ditimbulkan dari pemakaian
marijuana terhadap tubuh sulit untuk dikelompokkan, namun secara umum
dimasukkan sebagai obat golongan psikoaktif. Golongan obat tersebut termasuk

8
diantaranya amphetamine dan metamphetamine. Berdasarkan kategori
penggolongan obat yang dikeluarkan Badan Narkotika Amerika Serikat,
marijuana termasuk golongan Schedule III controlled drug yaitu golongan obat
dengan risiko penyalahgunaan obat tinggi dan dapat menyebabkan
ketergantungan psikologis dan fisik. Penggunaan dosis rendah hingga sedang
menyebabkan efek intoksikasi seperti relaksasi, rasa mengantuk, dan mild
euphoria sedangkan pada dosis tinggi menyebabkan reaksi panik dan halusinasi
mirip psikosis akut atau dengan kata lain dapat menimbulkan efek toksisitas akut
(jangka pendek). Besar jumlah dan jenis efek yang terjadi bervariasi tiap
individu tergantung pada respon personal dan jumlah marijuana yang
dikonsumsi.

Efek dari penggunaan marijuana secara umum berpengaruh pada fungsi


otak seperti gangguan emosi mulai dari euforia, paranoia, kecemasan (anxiety),
dan depresi, namun efek paling utama adalah relaksasi dan sedasi. Penggunaan
ini juga dapat berefek pada perilaku pemakainya seperti disintegrasi sementara
dan berkurangnya memori jangka pendek. Pada pemakaian individual lebih
terlihat sifat khas pemakai dengan ciri mudah tertawa, halusinasi dan delusi jika
pemakaian berlanjut. Selain itu juga berpengaruh pada faktor saraf otonom
simpatik yang menyertai efek psikis tersebut yaitu berupa mulut kering, stimulasi
nafsu makan, ketidakseimbangan koordinasi otot, penurunan jumlah testosteron,
retensi urin, serta peningkatan laju jantung dan injeksi konjungtival yang dengan
pemakaian berlanjut dapat menyebabkan penurunan tekanan intraokular.

Efek toksisitas akut dari marijuana dapat disebabkan oleh penggunaan


berlebihan (overdose), pemakaian dosis tinggi, atau kontaminasi dengan bahan
kualitas rendah atau kombinasi dengan golongan bahan lain seperti golongan
halusinogen (LSD) atau dengan PCP.

Manifestasi klinik gejala toksisitas akut toksik dari pemakaian marijuana


antara lain :

9
1. Ketajaman sensorik,

2. Euforia yang disertai dengan relaksasi atau rasa mengantuk seperti teler
yang disebabkan oleh gangguan aktivitas neurotransmitter dopaminergik
dan norepinefrin yang berlebihan,

3. Peningkatan denyut jantung yang disebabkan laju aliran darah dalam


pembuluh meningkat yang ditandai dengan hipertensi,

4. Takikardia yang disebabkan gangguan impuls listrik,

5. Memori jangka pendek menuru karena aktivitas neurologik pada


hipokampus yang menurun pada sub-daerah yang bertanggung jawab pada
daya ingat jangka pendek,

6. Fokus, perhatian, dan kemampuan pengambilan keputusan berkurang,

7. Gangguan psikomotorik, seperti gangguan koordinasi kerja otot, dan


gangguan keseimbangan pergerakan otot, reaksi refleks yang lambat,
koordinasi tangan-mata yang tereganggu, dan disinterpretasi jarak,

8. Nafsu makan bertambah,

9. Pneumomediastinum ditandai dengan overdistensi dan pecahnya bagian


viseral pulmonari dan parietal pleura. Gejala ini muncul sebagai tanda
sekunder dari pemakai marijuana melalui inhalasi,

10. Ansietas dan panik pada pemula.

Efek kronik dari pemakaian marijuana cenderung menimbulkan efek


ketergantungan psikologis daripada efek ketergantungan fisik. Efek
ketergantungan ini bersifat adiksi lambat, hal ini dikarenakan waktu paruh dari
marijuana tergolong panjang yaitu sekitar tujuh hari sehingga tertahan dalam
tubuh lebih lama dalam konsentrasi yang besar karena tersimpan dalam lemak.
Gejala toksisitas kronik dari marijuana adalah sebagai berikut :

10
1. Gejala psikosis

Ditandai dengan ketidakmampuan membedakan mana yang nyata dan


tidak dimana tanda gejala ini hampir mirip dengan gejala skizoprenia.
Namun tingkatan psikosis enam kali lebih besar dibandingkan insidensi
skizoprenia.

2. Gejala Withdrawal (putus obat)

Gejala ini timbul seperti iritabilita terhadap lingkungan (midriasis pada


mata), nafsu makan menurun, ansietas, rasa mengantuk berkurang, dan
berat badan menurun.

3. Motilitas dan kualitas sperma menurun

Senyawa THC merupakan analog dengan senyawa ligan endogen pada


otak yaitu anadamida yang dapat mengganggu aktivitas komunikasi pada
otak. Contohnya adalah aktivitas pituitari yang melepaskan hormon
gonadotropin untuk menstimulasi kelenjar gonad dihambat kerjanya
dengan adanya THC pada reseptor kanabinoid CB1 yang tersebar banyak
di otak, sehingga aktivitas regenerasi sel sperma terganggu.

4. Gangguan kognitif dan episodal memori

5. Dorongan seksual menurun

6. Kanker mulut, paru-paru, dan tenggorokan.

Hal tersebut diakibatkan oleh risiko dari pemakaian marijuana melalui


inhalasi yang ditengarai memiliki zat karsinogenik. Sehingga pemakaian
kronik dapat menyebabkan kanker pada organ saluran respirasi.

Penyalahgunaan ganja juga dapat menyerupai kelainan mental primer,


seperti gangguan cemas umum. Pemakaian ganja yang sudah lama dapat

11
menunjukkan gejala yang mirip dengan dysthimic disorder. Reaksi akut yang
berbahaya harus dibedakan dengan gangguan panik, gangguan depresi berat,
waham, gangguan bipolar atau skizofrenia tipe paranoid. Pemeriksaan fisik
biasanya menunjukkan peningkatan denyut nadi dan injeksio konjungtiva.

E. Diagnosis
Ada 4 metode yang dapat digunakan untuk mendeteksi marijuana. Metode ini
diklasifikasikan menjadi 2 kategori, yaitu metode untuk mendeteksi toksisistas
marijuana dan untuk mendeteksi apakah seseorang memakai marijuana atau
tidak.
Tes untuk mendeteksi toksisitas marijuana adalah tes air liur dan tes darah.
Keduanya dilakukan spade 6-24 jam setelah seseorang mengonsumsi marijuana
dalam dosis yang menyebabkan toksisitas akut.
Tes untuk mendeteksi apakah seseorang adalah pemakai marijuana adalah
dengan tes darah, tes rambut, dan tes urin. Tes darah dapat mendeteksi sampai
tujuh hari setelah pemakai mengonsumsi marijuana. Tes rambut dapat
mendeteksi sampai beberapa bulan atau bahkan satu tahun setelah pemakai
menggunakan marijuana, oleh karena itu tes ini membutuhkan biaya yang
cukup mahal. Tes urin dapat mendeteksi adanya 9-karboksi-
tetrahidrokannabinol-diglucuronide dalam bentuk terkonjugasi—yang
merupakan metabolit dari THC, sampai sepuluh hari setelah pemakai
menggunakan marijuana.

F. Mekanisme Toksisitas

Ganja mengandung zat psikoaktif yang disebut dengan THC


(Tetrahydrocannabinol) yang merupakan faktor utama penyebab halusinasi.
THC ini akan cepat meninggalkan plasma dan masuk ke jaringan yang
mengandung lemak, terutama otak. THC dimetabolisasi di hati dan dikeluarkan
terutama melalui tinja dan air seni. Dampak yang ditimbulkan oleh ganja adalah
kegembiraan, cerewet dalam bicara, dan rileks. Pengaruh ganja akan bertahan

12
kira-kira 2-4 jam. Marijuana mengandung zat psikoaktif delta-9-tetra-hidro-
kanabinol (THC). Zat ini terdapat pada daun dan rantingnya dengan kadar THC
tertinggi pada pucuk tanaman betina yang sedang berbunga. Kadarnya berkisar
1,0% – 10%, bahkan bisa lebih bila dibudidayakan dengan perlakuan dan faktor
lingkungan yang baik. Selain THC, ganja juga mengandung kanabinol dan asam
tetrahidrokanabidiolat. Setiap batang rokok marijuana mengandung THC
sebanyak 5-20 mg. Bila diisap, asap marijuana yang mengandung lebih dari 60
kanabinoid dan bahan kimia lain ditahan dalam paru-paru beberapa detik. Sekitar
50% akan diabsorbsi (penggunaan oral hanya diabsobsi 3-6%)

Pengaruh rokok marijuana pada penggunaan timbul setelah 20-30 menit


dan kadar THC tertinggi dalam plasma dicapai dalam waktu 2 – 3 jam. Kemudian
THC meninggalkan plasma dan masuk kedalam jaringan yang mengandung
lemak, terutama otak dan testis. THC dimetabolisme didalam hati dan ekskresi
terutama melalui tinja dan urin. Waktu paruhnya adalah 2-7 hari. Sehingga dalam
urin dapat dideteksi sampai seminggu setelah penggunaan terakhir.

Gambar 4. Metabolisme THC

13
THC bersifat sangat larut lemak, sehingga THC akan sangat mudah
terdistribusi ke seluruh jaringan dan akan terdeposisi di jaringan lemak, oleh
sebab itu THC memiliki volume distribusi yang relatif besar (4-14 l/kg).
Karena kelarutannya yang tinggi, hal itu pun menyebabkan THC sangat lama
tertambat di jaringan lemak, dan ini akan memperlambat laju eliminasi THC.

THC sebagai salah satu zat psikoaktif yang utama dalam ganja
mengikat reseptor anandamide di otak, memiliki efek stimulan, sedatif, atau
halusinogen, tergantung pada dosis dan waktu setelah konsumsi. Pengeluaran
katekolamin (yang mengakibatkan takikardia) dan penghambatan refleks
simpatis (yang mengakibatkan hipotensi ortostatik ) dapat diamati secara
langsung. Efek THC saat dihirup dalam rokok ganja, masuk ke paru-paru dan
terbawa aliran darah hingga sampai ke otak. Di otak, jika THC sampai pada
“tempat” yang disebut reseptor kannabinoid, akan menghilangkan beberapa
reaksi seluler yang seharusnya terjadi. Beberapa daerah pada otak memiliki
reseptor kannabinoid. Meningkatnya kerapatan reseptor kannabinoid pada otak
mempengaruhi rasa senang, daya ingat, berpikir, konsentrasi, cara pandang dan
koordinasi gerak. Pada akhirnya, orang yang biasa menggunakan rokok
marijuana akan kehilangan kemampuan intelektualnya.

THC diserap merlalui paru-paru (atau perut) ke dalam aliran darah dan
dibawa ke otak, tempat zat itu membanjiri reseptor dengan bahan kimia yang
membangkitkan rasa senang di otak. Pada umumnya, mengisap marijuana
memberikan efek santai pada si pengguna. Marijuana juga meningkatkan nafsu
makan, dalam bahasa sehari-hari dikenal dengan sebutan menjadi “kelaparan”.

G. Efek Ganja Terhadap Otak

Marijuana sebagai bahan alami yang mengandung zat psikoaktif


ternyata menjadikan otak sebagai target utama kerjanya. THC sebagai zat
psikoaktif utama dalam ganja, didalam tubuh akan bekerja pada reseptor-B1

14
dan B2 yang terdapat di otak terutama pada kortek serebri, hipokampus,
serebelum.

Apabila seseorang merokok marijuana, bahan aktifnya yaitu


kannabinoid atau THC, cepat didistribusikan ke otak. Ventral Tegmental Area
(VTA), nucleus accumbens, hipokampus dan serebelum (warnaterang) adalah
area dimana THC terkonsentrasi. THC terikat dalam reseptor protein yang
terkonsentrasi tersebut. Kerja THC dalam hippocampus adalah mengganggu
sistem memori sedangkan dalam serebelum dapat menyebabkan inkoordinasi
saraf dan hilangnya keseimbangan.

Beberapa penelitian terus dilakukan dan ternyata nucleus accumbens


sering terkena. Ada tiga neuron yang terlibat dalam proses tersebut yaitu
terminal dopamin, terminal GABA dan post synaptik yang mengandung sel
reseptor dopamin. THC akan berikatan dengan reseptornya pada terminal
didekatnya dan mengirimkan signal ke terminal dopamin, sehingga terminal
tersebut mengeluarkan dopamin. Begitu dopamin terbebaskan terjadi
peningkatan produksi sel AMP didalam sel post sinaptik yang akan
mengganggu aktifitas normal dari neuron.

(a) (b)

Gambar 5. Lokasi THC terkonsentrasi dalam otak (kiri) dan ikatan THC
dengan reseptor protein (kanan).

15
Interaksi THC dengan reseptor kanabinoid ini memicu pelepasan
neurotransmiter dopamin (DA) dan norepinefrin (NE) pada mesolimbik otak.
Sebagaimana diketahui bahwa di dalam mesolimbik terdapat mesolimbic
dopamine pathway yang mengandung Medial Fore-brain Bundle (MFB) yang
berisi serabut saraf dopaminergik. Serabut saraf ini menyebar dari Ventral
Tegmental Area (VTA) di bagian ventral otak tengah menuju Nucleus Accubens
(NA) di ventral bagian otak depan. Jalur neural dalam otak ini sering dijuluki
sebagai “jalur kenikmatan” (brain reward system/ brain plesure system). Jalur
ini mampu memberi penguatan (reinforcing) positif dan adiksi pada pengunaan
narkoba seperti opioida, kokain, nikotin, amfetamin, alkohol dan marijuana.

Pelepaskan dopamin akan mengakibatkan seseorang merasakan


kenikmatan atau kepuasan sehingga dopamin sering disebut “neurotransmiter
kenikmatan”. Itu sebabnya pengguna marijuana atau narkoba akan merasakan
pengalaman yang nikmat. Jika dikonsumsi berulang maka efek tersebut akan
“menguasai dan mengendalikan” brain reward system dan mendorong
terjadinya “keharusan” (compulsory) untuk menggunakan obat lagi hingga
timbullah adiksi.

Kondisi adiksi ini bukan sekedar mencari kenikmatan, atau bukan


sekedar mencegah putus obat (withdrawal syndrome) tetapi yang terjadi adalah
drug is hijacting the brain circuitry atau sirkuit yang mengendalikan perilaku
pecandu sepenuhnya telah diambil alih dan diarahkan secara terus menerus
untuk mencari dan menggunakan lagi. Padahal untuk memperoleh kenikmatan
dan kepuasan alami, mesolimbik otak telah dibantu oleh senyawa yang secara
alami sudah terdapat didalam otak yaitu anandamida (sama seperti marijuana),
endorphin (sama seperti morfin/heroin), asetilkolin (sama seperti nikotin) dan
dopamin (sama seperti kokain dan amfetamin).

Disamping itu TCH juga mempengaruhi reseptor mu-1 pada sistem


opioida dan mengubah reseptor GABA (gama-amino-butiric acid) hingga

16
pengguna marijuana mempunyai potensi untuk menggunakan zat psikoaktif
lain. Jalur ini yang memungkinkan menjadi dasar marijuana sebagai entry point
pada penggunaan jenis narkoba lain, seperti yang pernah dilaporkan di AS
bahwa 98% pengguna kokain, mulainya dari pemakaian ganja.

Bukti visual mengenai pola otak terkait dengan perilaku yang semula
dinilai sebagai fenomena psikologi kini telah dapat dibuktikan dengan
Perkembangan teknologi kedokteran saat ini seperti penggunaan Single Photon
Emission Computed Tomography (SPECT), yaitu metode pencitraan
kedokteran nuklir untuk mengukur aliran darah dan tingkat aktifitas otak.
Seperti yang diungkapkan hasil penelitian Daniel G. Amen, MD, seorang
perintis dan spesialis pencitraan otak, psikiater dengan menggunakan SPECT,
menemukan bahwa otak pengisap ganja pemula mengalami penurunan aliran
darah yang akut sedangkan pengisap ganja kronis otaknya mengalami
penurunan perfusi secara menyeluruh dibanding dengan kelompok kontrol
yang tidak menggunakan ganja. Bahkan beliau menemukan adanya penurunan
aktifitas lobus termporalis otak.

Penurunan perfusi akan menyebabkan kekurangan suplai oksigen,


yang dapat menimbulkan kematian sel otak (infark otak) sehingga terjadi
perubahan morfologi otak. Gambaran morfologi yang di temukan yaitu bahwa
otak normal otak tampak mulus, simetris dan penuh. Sedangkan pada
pengguna ganja seakan habis digerogoti, terutama lobus temporalis.

H. Penanganan Toksisitas

Penatalaksanaan pada mereka yang menggunakan marijuana pada


prinsipnya sama dengan penatalaksanaan dari penyalahgunaan zat lain, melalui
penghentian dan dukungan. Penghentian dapat dicapai melalui hospitalisasi
atau dengan mengontrol pasien melalui tes skrining urin, dengan catatan
marijuana bisa dideteksi dalam 3 hari sampai 4 minggu setelah digunakan.

17
Dukungan dapat diperoleh dari individu itu sendiri, keluarga dan para
psikoterapi.

Farmakoterapi dapat diberikan bila rasa cemas (anxiety) tidak dapat


diatasi, dengan memberikan antianxietas seperti klordiazepoksid 10-50
mg/oral, yang dapat diulangi setelah 1 jam atau lorazepam 1-2 mg oral atau
alprazolam 0.5 – 1 mg oral. Oleh karena menetapnya metabolit THC di dalam
tubuh, pasien diberitahu bahwa mereka mungkin mengalami perasaan
intoksikasi ringan dalam 2-4 hari. Bila reaksi memberat maka kepada pasien
dan keluarganya dikemukakan kemungkinan adanya komorbiditas gangguan
jiwa lain. Pada psikotik akibat penggunaan ganja, dapat diberikan antipsikotik
untuk jangka pendek dalam rangka mengatasi perilaku yang tidak diinginkan,
dapat diberikan haloperidol 5 mg/hari dalam dosis terbagi atau klorpromazin
25-150 mg/oral.

18
BAB III
Kesimpulan

Cannabis atau marijuana mengandung sejenis bahan kimia yang disebut delta-
9-tetra-hidro-kannabinol (THC) yang dapat mempengaruhi suasana hati manusia dan
cara orang tersebut melihat serta mendengar hal-hal disekitarnya. Marijuana disebut
juga sebagai obat depresan karena dapat mempengaruhi sistem saraf dengan cara
membuat lambat sistem saraf. Marijuana dapat mempengaruhi konsentrasi dan ingatan,
meningkatkan denyut nadi, keseimbangan dan koordinasi tubuh yang buruk, ketakutan
dan rasa panik, depresi, kebingungan dan halusinasi.

THC (tetrahydrocannabinol) sebagai substiteun aktif dalam marijuana


menstimulasi aktivitas saraf simpatik. Efek yang ditimbulkan dari pemakaian
marijuana terhadap tubuh sulit untuk dikelompokkan, namun secara umum
dimasukkan sebagai obat golongan psikoaktif. Efek toksisitas akut dari marijuana
dapat disebabkan oleh penggunaan berlebihan (overdose), pemakaian dosis tinggi, atau
kontaminasi dengan bahan kualitas rendah atau kombinasi dengan golongan bahan lain
seperti golongan halusinogen (LSD) atau dengan PCP.

Pengaruh rokok marijuana pada penggunaan timbul setelah 20-30 menit dan
kadar THC tertinggi dalam plasma dicapai dalam waktu 2 – 3 jam. Kemudian THC
meninggalkan plasma dan masuk kedalam jaringan yang mengandung lemak, terutama
otak dan testis. THC sebagai zat psikoaktif utama dalam ganja, didalam tubuh akan
bekerja pada reseptor-B1 dan B2 yang terdapat di otak terutama pada kortek serebri,
hipokampus, serebelum. Interaksi THC dengan reseptor kanabinoid ini memicu
pelepasan neurotransmiter dopamin (DA) dan norepinefrin (NE) pada mesolimbik
otak.

Tes untuk mendeteksi apakah seseorang adalah pemakai marijuana adalah


dengan tes darah, tes rambut, dan tes urin. Tes darah dapat mendeteksi sampai tujuh
hari setelah pemakai mengonsumsi marijuana. Tes rambut dapat mendeteksi sampai

19
beberapa bulan atau bahkan satu tahun setelah pemakai menggunakan marijuana. Tes
urin dapat mendeteksi adanya 9-karboksi-tetrahidrokannabinol-diglucuronide dalam
bentuk terkonjugasi—yang merupakan metabolit dari THC, sampai sepuluh hari
setelah pemakai menggunakan marijuana.

Penatalaksanaan pada mereka yang menggunakan marijuana pada prinsipnya


sama dengan penatalaksanaan dari penyalahgunaan zat lain, melalui penghentian dan
dukungan.

20
Daftar Pustaka

American Psychiatryc Association. 1994. Diagnostic and Statistical Manual of


Mental Disorders Fourth Edition (DSM-IV). (hal 215-216)

Barile, Frank A. 2010. Clinical Toxicology Principles and Mechanism. Informa


Helathcare. New York : CRC Press. (hal 194-198)

Ford, Marsha D., Kathleen A. Delaney, et al. 2001. Clinical Toxicology. Philadelphia,
Pennsylvania : W.B. Saunders Company (hal 644)

http://www.csam-asam.org/adverse-effects-marijuana-healthcare-professionals
(diakses tanggal 10 Juni 2018)

http://www.drugabuse.gov/publications/drugfacts/marijuana (diakses tanggal 10 Juni


2018)

http://www.geocities.ws/kuliah_farm/farmasi_forensik/narcoba.doc (diakses tanggal


10 Juni 2018)

http://www.health.gov.au/internet/main/publishing.nsf/Content/health-pubs-drug-
cannab2 ch52.htm (diakses tanggal 10 Juni 2018)

http://www.mayomedicallaboratories.com/images/articles/hottopics/2009/2009-9a-
drugsabuse/slide42.jpg (diakses tanggal 10 Juni 2018)

https://www.unodc.org/unodc/en/data-and-analysis/bulletin/bulletin_1973-
0101_1_page003.html (diakses tanggal 10 Juni 2018)

21

You might also like