You are on page 1of 6

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tumor odontogenik adalah tumor yang berasal dari jaringan pembentuk

gigi (Sherlin, 2013). Ameloblastoma merupakan tumor odontogenik yang paling

sering ditemukan secara klinis (K umamoto, 2004), terjadi kira -kira 1% dari

seluruh kista dan tumor pada rahang (Rosai dan Ackermans, 2004). Pada sebagian

besar kasus, ameloblastoma biasanya asim ptomatik, tum buh lambat, dan dapat

menginfiltrasi tulang rahang (Greenberg, 2008).

Ameloblastoma ini berasal dari epitelial odontogenik yang mempunyai

karakteristik sebagai tumor jinak tetapi bersifat invasif lokal, non metastatik,

tumbuh lambat serta mempunyai tingkat rekurensi yang tinggi (Sherlin, 2013),

pernah dilaporkan mempunyai kemampuan bermetastasis (Philip, dkk., 2005;

Gillijamse, 2007).

Gambaran radiografis pada ameloblastoma tipe solid/multikistik

merupakan suatu gambaran radiolusen multilokular, seperti gambaran bubble

soap appearance atau sarang lebah. Lesi yang terlihat unilokuler biasanya

memiliki batas yang tidak beraturan, dan akar gigi yang terlibat memperlihatkan

adanya resorpsi (White dan Pharaoh, 2004).

Secara histopatologis ameloblastoma multikistik dibagi menjadi tipe

folikular, tipe pleksif orm, tipe akantomatosa, tipe sel granular, tipe desmoplastik

dan tipe sel basal. Tipe folikular dan pleksiform merupakan tip e yang paling

sering ditemukan, sedangkan gambaran histopatologis a meloblastoma unikistik

1
2

dibagi menjadi tipe lum inal, intraluminal dan mural (Neville, dkk., 2002). Hasil

penelitian Y ulvie dan Latief (2011) menyebutkan bahwa secara histopatologi tipe

terbanyak ameloblastoma adalah tipe pleksiform (31, 43%) kemudian tipe

folikular (30%). Berdsarkan data dari tahun 2008 sampai tahun 2012 yang ada di

instalasi Patologi A natom i RSUP Dr. Sardjito, ameloblastoma yang paling banyak

ditemukan adalah tipe folikular, tipe pleksiform dan tipe akantomatosa.

Pertumbuhan tumor ameloblastoma pada rahang dipengaruhi oleh

berbagai macam faktor. Pada tahap seluler, patogenesis dari ameloblastoma

terbagi dalam beberapa bagian yaitu, apoptosis, klonalitas, proliferasi siklus sel,

gen supresor tumor, ameloblastin dan protein matriks enamel lain, mekanisme

osteoklastik dan matrikmetaloproteinase (M M Ps) serta molekul-molekul signaling

lainnya (Gomes, 2010). Populasi sel dan tissue homeostasis dikendalikan oleh

keseimbangan antara proliferasi sel dan apoptosis (Amaral, 2012), sedangkan sel

tumor berkembang karena adanya gangguan keseimbangan antara apoptosis dan

proliferasi sel (Luo, 2006).

Ameloblastoma memiliki berbagai macam aktivitas proliferasi tergantung

pada tipe histopatologisnya, Apoptosis dan proliferasi sel bertanggung jawab pada

perkembangan ameloblastoma. Protein Bcell Lymphoma-2 (Bcl-2), Bcl-X, Bax,

dan Bak telah banyak digunakan untuk menganalisa aktivitas apoptosis pada

berbagai macam tumor dan penyakit (Sandra, 2001).

Apoptosis adalah suatu proses kematian sel yang terprogram, diatur secara

genetik, bersifat aktif, ditandai dengan urutan kondensasi kromatin, fragmentasi

sel dan fagositosis sel tersebut oleh sel-sel darah putih (Kumamoto, 2004). Proses
3

kematian sel ini dipengaruhi oleh adanya protein – protein seperti Bcell

Lymphom a-2 (Bcl-2), receptor interacting protein 1 (RIP1) dan beclin1 (Kumar,

2010). Apoptosis merupakan proses penting dalam pengaturan homeostasis

normal, proses ini menghasilkan keseimbangan dalam jumlah sel jaringan tertentu

melalui eliminasi sel yang rusak dan proliferasi fisiologis dan dengan demikian

memelihara agar fungsi jaringan normal. Peran apoptosis adalah pada mekanisme

homeostasis, penuaan, pemelihara jaringan, pada mekanisme pertahanan (reaksi

imun), proses tumbuh kembang, dan bila sel dihancurkan oleh penyakit

(Herlambang, 2011).

Deregulasi apoptosis mengakibatkan keadaan patologis, termasuk

proliferasi sel yang tidak terkontrol seperti dijumpai pada neoplasma. B erbagai

bukti yang menyatakan kontrol apoptosis dikaitkan dengan protein gen yang

mengatur berlangsungnya siklus sel, diantaranya gen p53, Rb, M yc , E1A dan

keluarga Bcl-2 (Kresno, 2002). Gangguan regulasi dan proliferasi sel baik akibat

aktivitas onkogen dom inan maupun inaktivasi tumor suppressor genes ada

hubungannya dengan kontrol apoptosis. Beberapa jenis virus onkologi

melaksanakan proses transformasi sel dengan cara mengganggu fungsi apoptosis

dalam sel, misalnya SV40, herpes dan adenovirus, polioma maupun virus Epstein

Barr (EBV) (Kumamoto, 2004).

Apoptosis memainkan peranan penting dalam perkembangan sel normal.

Sekitar 10 juta sel mengalami apoptosis setiap harinya pada manusia dewasa yang

sehat. Apoptosis muncul melalui 2 jalur yaitu intrinsik (mitokondrial), dan jalur

ektrinsik atau kematian reseptor. Jalur ini diinduksi oleh berbagai stimulus dan

melibatkan berbagai protein, kedua jalur ini berkumpul untuk mengaktivasi


4

caspase yang merupakan mediator sebenarnya dari kematian sel. (Kumar, 2010)

Jalur intrinsik (mitokondrial) yang merupakan jalur utama dari apoptosis

pada semua sel dan berperan di dalam proses fisiologis dan patologis. M ekan isme

ini terjadi oleh karena adanya peningkatan permeabilitas mitokondria dan

pelepasan molekul pro-apoptosis ke dalam sitoplasma tanpa memerlukan reseptor

kematian. (Kumar, 2010).

Jalur ektrinsik diinisiasi oleh ikatan reseptor kematian membran plasma

dari berbagai macam sel. TNF (Tumour Necrosis Factor) yang mengandung

sitoplasma yang melibatkan interaksi protein – protein yang disebut death domain

karena fungsinya untuk mengantarkan sinyal apoptosis. Selain TNF, F as

merupakan reseptor penting dalam proses ini (Kumar, 2010).

Penelitian tentang evaluasi sel-sel apoptosis pada ameloblastoma dianggap

perlu dilakukan untuk menjelaskan sel kontra dan sel pro apoptosis yang dominan,

mengingat ameloblastoma mempunyai beberapa tipe dan gambaran histopatologis

yang berbeda, sehingga dapat diketahui karakter klinis dari beberapa tipe

ameloblastoma berdasarkan gambaran histopatologisnya. Penelitian ini dapat

memberi gambaran kepada dokter bedah berdasarkan gambaran klinis, faktor

biomolekular yang melandasi pertumb uhan ameloblastoma dan menjadi

pertimbangan untuk rencana operasi.


5

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan

sebagai berikut: Bagaimana ekspresi Protein F as dan Protein Bcl-2 pada

ameloblastoma tipe folikular, tipe pleksiform dan tipe akantomatosa?

C. Keaslian Penelitian

Penelitian terkait sifat biologis ameloblastoma, khususnya pada bidang

biomolekuler yang berkaitan dengan Evaluasi protein Fas dan protein Bcl-2 pada

apoptosis sel tumor ameloblastoma tipe folikular, tipe pleksiform dan tipe

akantomatosa belum pernah dilakukan di indonesia. Penelitian sebelumnya yang

sedikit berhubungan dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh

Yustisia dkk. pada tahun 2010. Penelitian tersebut memperlihatkan perbedaan

ekspresi gen P-53 pada berbagai tipe histologi ameloblastoma.

D. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk:

1. M engetahui ekspresi protein pro apoptosis (F as) pada ameloblastoma tipe

folikular, pleksiform dan akantomatosa.

2. M engetahui ekspresi protein anti apoptosis (Bcl-2) pada ameloblastoma tipe

folikular, pleksiform dan akantomatosa.

3. M engetahui perbandingan ekspresi protein pro apoptosis (F as) dan ekspresi

protein anti apoptosis (B cl-2) pada ameloblastoma tipe folikular, p leksiform

dan akantomatosa.
6

E. Manfaat Penelitian

M anfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah:

1. M emberikan informasi ilmiah mengenai ekspresi protein pro apoptosis (Fas)

dan protein anti apoptosis (Bcl-2) pada ameloblastoma tipe folikular, tipe

pleksiform dan tipe akantomatosa.

2. M emberikan informasi tentang rasio perbandingan ekspresi protein Fas

dengan protein Bcl-2 pada ameloblastoma tipe folikular, tipe pleksiform dan

tipe akantomatosa.

3. M engetahui peran apoptosis pada ameloblastoma yang secara tidak langsung

menggambarkan implikasi klinis pertumbuhan ameloblastoma.

4. M embantu klinisi Bedah M ulut dalam dalam melakukan tindakan bedah pada

ameloblastoma berdasarkan gambaran biomolekuler yang melandasi

gambaran klinis, sehingga menghasilkan penatalaksanaan ameloblastoma

yang optimal, yang dapat mencegah kekambuhan dan mendapatkan hasil

yang sempurna.

You might also like