Professional Documents
Culture Documents
“HIPERTENSI”
Disusun Oleh:
1102013172
Pembimbing:
0
BAB I
PENDAHULUAN
Hipertensi khususnya pada usia lanjut sangat sering dijumpai. Dari hasil riset
dasar kesehatan nasional (RISKESDAS) 2007 didapatkan prevalensi hipertensi di
Indonesia sebesar 31,2% yang meningkat semakin banyak, sehingga di atas 55 tahun
melebihi 50%. Data dari negara maju tak jauh berbeda, di Amerika Serikat prevalensi
hipertensi pada usia diatas 35 tahun adalah 72%. Dalam penelitian Framingham, pada
yang mempunyai tekanan darah normal di usia 50 tahun, hampir seluruhnya (90%),
kemudian menjadi hipertensi.komplikasi hipertensi yang utama adalah penyakit
kardiovaskular, yang dapat berupa penyakit jantung koroner, gagal jantung, stroke,
penyakit ginjal kronik, kerusakan retina mata, maupun penyakit vaskular perifer.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Hipertensi primer adalah tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih, pada usia 18 tahun
keatas dengan penyebab yang tidak diketahui. Pengukuran dilakukan dua kali atau lebih
dengan posisi duduk, kemudian diambil reratanya pada dua kali atau lebih kunjungan.1
2.2 Epidemiologi
2
sensitive dibandingkan dengan orang kulit putih, dan mereka 3 sampai 5 kali lebih rentan
terkena stroke dan penyakit ginjal dibandingkan dengan orang kulit putih. Untuk tatalaksana
hipertensi, calcium channel blocker dan diuretic lebih baik hasilnya dari pada penggunaan
angiotensin-converting enzyme inhibitors, angiotensin receptor blockers, dan b-blockers.2
2.4 Klasifikasi
3
Berdasar pada ESH/ESC 2013, klasifikasi tekanan darah adalah:
TD Diastolik
Kategori TD Sistolik (mmHg)
(mmHg)
Hipertensi Isolated
≥ 140 Dan < 90
Systolic
1. Hipertensi primer
Sebanyak 95% orang dewasa yan menderita hipertensi termasuk hipertensi primer atau
yang dikenal juga dengan hipertensi esensial.Penyebab dari hipertensi primer tidak
diketahui walaupun genetic dan factor lingkungan sekarang sedang dipelajari menjadi
factor penyebabnya. Factor lingkungan meliputi konsumsi garam, obesitas dan gaya
hidup. Factor genetic berhubunga dengan peingkatan aktifitas system renin-angotensin
dan sisten nervus simpatis. Penyebab lainnya adalah bertmbahnya umur menyebabkan
pembuluh darah menjadi lebih kaku.2
2. Hipertensi sekuder
Kasusnya sebanyak 5% dari kasus hipertensi, biasanya disebabkan oleh gagal ginjal
kronis, renal arteri stenosis, terlalu banyak sekresi aldosterone, pheochromocytoma,
dansleep apnea.2
4
2.5. Patogenesis Hipertensi
Secara umum diagnosis hipertensi harus dikonfirmasi setelah pengukuran pertama
pada kunjungan setelahnya dalam satu sampai dengan minggu keempat. Diagnosis hipertensi
ditegakkan jika tekanan sistolik ≥140 mmHg atau tekana diastolic ≥90 mmHg.2
1. Faktor risiko, seperti: diet dan asupan garam, stress, ras, obesitas, merokok,
genetis
2. Sistem saraf simpatis
3. Keseimbangan antara modulator vasodilatasi dan vasokonstriksi: endotel
pembuluh darah berperan utama, tetapi remodeling dari endotel, otot polos dan
interstinum juga memberikan kontribusi akhir.
4. Pengaruh sistem otokrin setempat yang berperan pada sistem renin, angiotensin
dan aldosterone.
Hipertrofi
Preload ↑ Kontraktilitas ↑ Vasokonstriksi jantung
Autoregulasi
Tekanan maksimal yang ditimbulkan pada arteri sewaku darah disemprotkan ke dalam
pembuluh tersebut selama sistol disebut tekanan sistolik dan normalnya rata-rata
120mmHg.Tekanan minimal di dalam arteri ketika darah mengalir keluar menuju ke
5
pembuluh yang lebih kecil di hilir sewaktu diastol disebut tekanan diastolik, normalnya rata-
rata 80 mmHg.3
Ada dua faktor utama yang mengatur tekanan darah, yaitu darah yang mengalir dan
tahanan vaskular perifer.Darah yang mengalir ditentukan oleh volume darah yang
dipompakan oleh ventrikel kiri setiap kontraksi dan kecepatan denyut jantung.Tahanan
vaskular perifer berkaitan dengan besarnya lumen pembuluh darah perifer dan kekentalan
darah. Makin sempit pembuluh darah, makin tinggi tahanan terhadap aliran darah; makin
besar dilatasinya makin kurang tahanan terhadap aliran darah. Makin menyempit pembuluh
darah, makin meningkatkan tekanan darah. Dilatasi dan konstriksi pembuluh-pembuluh darah
dikendalikan oleh sistem saraf simpatis dan sistem renin-angiotensin.3
Sistem saraf simpatis dan parasimpatis diaktivasi oleh baroreseptor yang ada di sinus
karotis dan arkus aorta.Baroreseptor ini sangat peka terhadap perubahan dari tekanan
darah.Oleh karena itu, baroreseptor merupakan sistem terpenting dalam regulasi tekanan
darah.Refleks baroreseptor ini berperan dalam aktivasi sistem saraf simpatis dan parasimpatis.
Pada saat terjadi penurunan tekanan darah, refleks baroreseptor akan menyebabkan aktivasi
sistem saraf simpatis untuk meningkatkan output jantung dan resistensi vaskular dengan cara
vasokontriksi. Sebaliknya, jika tekanan darah meningkat, baroreseptor akan merangsang
sistem saraf parasimpatis yang mengakibatkan penurunan output jantung (meliputi isi
sekuncup dan denyut jantung) dan vasodilatasi pembuluh darah.3
a. Meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH) dan rasa haus. ADH diproduksi di
hipotalamus (kelenjar pituitari) dan bekerja pada ginjal untuk mengatur osmolalitas dan
volume urin. Dengan meningkatnya ADH, sangat sedikit urin yang diekskresikan ke luar
6
tubuh (antidiuresis) sehingga urin menjadi pekat dan tinggi osmolalitasnya. Untuk
mengencerkan, volume cairan ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara menarik cairan
dari bagian instraseluler. Akibatnya volume darah meningkat sehingga meningkatkan
tekanan darah.
b. Menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron merupakan hormon
steroid yang berperan penting pada ginjal. Untuk mengatur volume cairan ekstraseluler,
aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl (garam) dengan cara mereabsorpsinya dari
tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan cara
meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang pada gilirannya akan meningkatkan
volume dan tekanan darah.
7
Gambar 2. Mekanisme Renin-Angiotensin-Aldosteron
Anamnesis meliputi:1
1. Lama menderita hipertensi dan derajat tekanan darah
2. Indikasi adanya hipertensi sekunder
a. Keluarga dengan riwayat penyakit ginjal
b. Adanya penyakit ginjal, infeksi saluran kemih, hematuria, pemakaian obat-
obat analgesic dan obat bahan lain
c. Episode berkeringat, sakit kepala, kecemasan palpitasi (feokromositoma)
d. Episode lemah otot dan tetani (aldosteronisme)
3. Faktor-faktor risiko:
a. Riwayat hipertensi atau kardiovaskular pada pasien atau keluarga pasien
b. Riwayat hyperlipidemia pada pasien atau keluarganya
c. Riwayat diabetes mellitus pada pasien atau keluarganya
d. Kebiasaan merokok
e. Pola makan
f. Kegemukan, intensitas olahraga
g. Kepribadian
4. Gejala kerusakan organ:
a. Otak dan mata; sakit kepala, vertigo, gangguan penglihatan, TIA, deficit
sensoris atau motoris
b. Jantung: palpitasi, nyeri dada, sesak, bengkak kaki
c. Ginjal: haus, polyuria, nokturia, hematuria
8
d. Arteri perifer: ekstrimitas dingin, klaudikasio intermiten
5. Pengobatan antihipertensi sebelumnya
6. Faktor-faktor pribadi, keluarga, dan lingkungan.
Pemeriksaan fisik selain memeriksa tekanan darah, juga untuk evaluasi adanya
penyakit penyerta, kerusakan organ target serta kemungkinan adanya hipertensi sekunder.
Pengukuran tekanan darah:1
Pengukuran rutin di kamar periksa
Pengukuran 24 jam (Ambulatory Blood Pressure Monitoring – ABPM)
Pengukuran sendiri oleh pasien
Pengukuran di kamar periksa dilakukan pada posisi duduk di kursi setelah pasien
istirahat 5 menit, kaki di lantai dan lengan pada posisi setinggi jantung.Ukuran dan peletakan
manset (panjang 12-13 cm), lebar 35 cm untuk standar orang dewasa) dan stetoskop harus
benar (gunakan suara korotkoff fase I dan V untuk menentukan sistolik dan diastolic).
Pengukuran dilakukan dua kali, dengan sela antara 1-5 menit, pengukuran tambahan
dilakukan jika hasil kedua pengukuran pada lengan kontralateral dilakukan pada kunjungan
pertama dan jika didapatkan kenaikan tekanan darah. Pengukurang denyut jantung dengan
menghitung nadi (30 detik) dilakukan saat duduk segera sesudah pengukuran tekanan darah.
Untuk orang usia lanjut, diabetes dan kondisi lain dimana diperkirakan ada hipotensi
ortostatik, perlu dilakukan juga pengukuran tekanan darah pada posisi berdiri.
9
10. Seseorang dikatakan menderita hipertensi bila pada pemeriksaan ABPM dengan mean
>135/85 mmHg sepanjang hari atau >125/75 mmHg saat tidur.
10
target tekanan darah normal adalah 120/80 mmHg. Pengobatan selalu dimulai dengan cara
modifikasi gaya hidup, kemudian dilanjutkan dengan farmakoterapi secara individualistik
sesuai dengan komorbid atau compelling indications yang ada pada penderita. Untuk low and
moderate risk target tekanan darah < 140/90 mmHg. Untuk high and very high risk (diabetes
and renal disease) target tekanan darah <130/80 mmHg, dan tidak lupa mengobati kerusakan
organ target.1
Hipertensi tanpa penyulit bisa diberikan monoterapi. JNC 7 menganjurkan thiazide
sebagai pilihan pertama. Monoterapi bisa mencapai tekanan darah normal sekitar 40%.
Dengan kombinasi dua obat atau lebih dapat mencapai target tekanan darah normal lebih dari
80%.1
Terapi farmakologis
Jenis-jenis obat antihipertensi untuk terapi farmakologis antara lain :
Diuretika, terutama jenis Thiazide (Thiaz) atau Aldosterone Antagonist (Aldo Ant)
Beta blocker (BB)
Calcium Channel Blocker atau Calcium Antagonist (CCB)
Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI)
Angiotensin II Receptor Blocker atau AT, receptor antagonist/blocker (ARB)
Direct renin inhibitor (DRI)
Apabila dengan modifikasi gaya hidup tidak berhasil, terdapat sejumlah obat yang
dapat membantu menurunkan tekanan darah.Kriteria untuk memulai antihipertensi ialah:
1. Pasien hipertensi derajat 1 dengan minimal salah satu dari penyerta berikut:
a. Jejas pada organ target
11
b. Riwayat penyakit kardiovaskular
c. Penyakit ginjal
d. Diabetes mellitus
2. Semua pasien hipertensi derajat 2
1. Rekomendasi 1
Pada populasi umum yang berumur ≥ 60 tahun, terapi farmakologi dimulai ketika
tekanan darah sistolik ≥ 150 mmHg dan diastolik ≥ 90 mmHg. Target terapi adalah
menurunkan tekanan darah sistolik menjadi < 150 mmHg dan diastolik menjadi < 90
mmHg. (Rekomendasi kuat, tingkat rekomendasi A).
Pada populasi umum yang berumur ≥ 60 tahun, bila terapi farmakologi
menghasilkan penurunan tekanan darah sitolik yang lebih rendah dari target (misalnya
< 140 mmHg) dan pasien dapat mentoleransi dengan baik, tanpa efek samping
terhadap kesehatan dan kualitas hidup, maka terapi tersebut tidak perlu disesuaikan
lagi (Opini ahli, tingkat rekomendasi E).
2. Rekomendasi 2
Pada populasi umum berumur < 60 tahun, terapi farmakologi dimulai ketika
tekanan darah diastoliknya ≥ 90 mmHg. Target penurunan tekanan darahnya adalah <
90 mmHg. (Untuk umur 30 – 59 tahun, rekomendasi kuat, tingkat rekomendasi A)
(Untuk umur 18 – 29 tahun, opini ahli, tingkat rekomendasi E).
3. Rekomendasi 3
Pada populasi umum berumur < 60 tahun, terapi farmakologi dimulai ketika
tekanan darah sistoliknya ≥ 140 mmHg. Target terapi adalah menurunkan tekanan
darah sistolik menjadi < 140 mmHg (Opini ahli, rekomendasi E).
4. Rekomendasi 4
Pada populasi berumur ≥ 18 tahun yang menderita penyakit ginjal kronik, terapi
farmakologi dimulai ketika tekanan darah sistoliknya ≥ 140 mmHg atau tekanan darah
diastoliknya ≥ 90 mmHg. Target terapi adalah menurunkan tekanan darah sistolik
menjadi < 140 mmHg dan diastolik < 90 mmHg. (Opini ahli, tingkat rekomendasi E)
12
5. Rekomendasi 5
Pada populasi berumur ≥ 18 tahun yang menderita diabetes, terapi farmakologi
dimulai ketika tekanan darah sistoliknya ≥ 140 mmHg atau diatoliknya ≥ 90 mmHg.
Target terapi adalah menurunkan tekanan darah sistolik menjadi < 140 mmHg dan
diastolik < 90 mmHg. (Opini ahli, tingkat rekomendasi E)
6. Rekomendasi 6
Pada populasi umum yang bukan ras berkulit hitam, termasuk yang menderita
diabetes, terapi antihipertensi awal hendaknya termasuk diuretika tipe tiazida,
penghambat saluran kalsium, penghambat enzim ACE, atau penghambat reseptor
angiotensin. (Rekomendasi sedang, tingkat rekomendasi B).
7. Rekomendasi 7
Pada populasi umum ras berkulit hitam, termasuk yang menderita diabetes, terapi
antihipertensi awal hendaknya termasuk diuretika tipe tiazida atau penghambat
saluran kalsium. (Untuk populasi kulit hitam secara umum: rekomendasi sedang,
tingkat rekomendasi B) (Untuk ras kulit hitam dengan diabetes: rekomendasi lemah,
tingkat rekomendasi C)
8. Rekomendasi 8
Pada populasi berumur ≥ 18 tahun dengan penyakit ginjal kronik, terapi
antihipertensi awal atau tambahan hendaknya temasuk penghambat enzim ACE atau
penghambat reseptor angiotensin untuk memperbaiki fungsi ginjal. Hal ini berlaku
bagi semua pasien penderita penyakit ginjal kronik tanpa melihat ras atau status
diabetes. (Rekomendasi sedang, tingkat rekomendasi B).
9. Rekomendasi 9
Tujuan utama tatalaksana hipertensi adalah untuk mencapai dan menjaga target
tekanan darah. Bila target tekanan darah tidak tercapai dalam waktu sebulan terapi,
naikkan dosis obat awal atau tambahkan obat kedua dari kelompok obat hipertensi
pada rekomendasi 6 (diuretika tipe tiazida, penghambat saluran kalsium, penghambat
enzim ACE, dan penghambat reseptor angiotensin). Penilaian terhadap tekanan darah
hendaknya tetap dilakukan, sesuaikan regimen terapi sampai target tekanan darah
tercapai. Bila target tekanan darah tidak tercapai dengan terapi oleh 2 jenis obat,
13
tambahkan obat ketiga dari kelompok obat yang tersedia. Jangan menggunakan obat
golongan penghambat ACE dan penghambat reseptor angiotensin bersama-sama pada
satu pasien.
Bila target tekanan darah tidak tercapai dengan obat-obat antihipertensi yang
tersedia pada rekomendasi 6 oleh karena kontra indikasi atau kebutuhan untuk
menggunakan lebih dari 3 macam obat, maka obat antihipertensi dari kelompok yang
lain dapat digunakan. Pertimbangkan untuk merujuk pasien ke spesialis hipertensi.
(Opini Ahli, tingkat rekomendasi E).4
14
Gambar 4. Strategi Dosis Obat Anti Hipertensi4
Gambar 5. Kombinasi yang sinergik untuk mencapai target hipertensi menurut ESH-
ESC 20135
15
Tabel 3. Rekomendasi Dosis Obat Antihipertensi Menurut JNC 84
Dari beberapa penelitian yang ada, pemberian obat anti hipertensi yang bersifat
spesifik, akan memberikan keuntungan pada kondisi tertentu.
16
Penyakit ginjal kronis ACEI, ARB
Sekali terapi antihipertensi dimulai, pasien harus rutin kontrol dan mendapat
pengaturan dosis setiap bulan sampai target tekanan darah tercapai. Pantau tekanan darah,
LFG dan elektrolit.Frekuensi kontrol untuk hipertensi derajat 2 disarankan lebih sering.
Setelah tekanan mencapai target dan stabil, frekuensi kunjungan dapat diturunkan hingga
menjadi 3-6 bulan sekali. Namun jika belum tercapai, diperlukan evaluasi terhadap
pengobatan dan gaya hidup, serta pertimbangan terapi kombinasi.
Setelah tekanan darah tercapai, pengobatan harus tetap dilanjutkan dengan tetap
memperhatikan efek samping dan komplikasi hipertensi.Pasien perlu diedukasi bahwa terapi
antihipertensi ini bersifat jangka panjang dan terus dievaluasi secaraberkala.
Pemantauan
Penderita hipertensi yang telah mendapat pengobatan harus datang kembali untuk evaluasi
lanjutan untuk pengaturan dosis obat sampai target tekanan darah tercapai. Setelah target
tekanan darah tercapai dan stabil, kunjungan selanjutnya dengan interval 3-6 bulan, tetapi
frekuensi kunjungan ini juga ditentukan oleh ada tidaknya komorbiditas seperti gagal jantung,
penyakit yang berhubungan seperti diabetes, dan kebutuhan akan pemeriksaan laboratorium.1
17
a. Asupan alkohol berlebih
b. Kenaikan berat badan berlebih
5. Kelebihan volume cairan tubuh
a. Asupan garam berlenih
b. Terapi diuretika tidak cukup
c. Penurunan fungsi ginjal berjalan progresif
6. Adanya terapi lain
a. Masih menggunakan bahan/obat lain yang meningkatkan tekanan darah
b. Adanya obat lain yang mempengaruhi atau berinteraksi dengan kerja obat antihipertensi
7. Adanya penyebab hipertensi lain/sekunder.1
Jika dalam 6 bulan target pengobatan (termasuk target tekanan darah) tidak tercapai,
harus dipertimbangkan untuk melakukan rujukan ke dokter spesialis atau subspesialis. Bila
selain hipertensi ada kondisi lain seperti diabetes melitus atau penyakit ginjal, baik American
Diabetes Association (ADA) maupun International Society of Nephrology (ISN) dan NKF
menganjurkan rujukan kepada seorang dokter yang ahli jika laju filtrasi glomerulus mencapai
< 60 ml/men/1,73m2, atau jika ada kesulitan dalam mengatasi hipertensi atau hiperkalemia,
serta rujukan kepada konsultan nefrologi jika laju filtrasi glomerulus mencapai < 30
ml/men/1,73m2, atau lebih awal jika pasien beresiko mengalami penurunan fungsi ginjal yang
cepat atai diagnosis dan prognosis pasien diragukan.
Pengobatan antihipertensi umumnya untuk selama hidup. Penghentian pengobatan
cepat atau lambat akan diikuti dengan naiknya tekanan darah sampai seperti sebelum dimulai
pengobatan antihipertensi. Walaupun demikian, ada kemungkinan untuk menurunkan dosis
dan jumlah obat antihipertensi secara bertahap bagi pasien yang diagnosis hipertensinya
sudah pasti serta tetap patuh terhadap pengobatan nonfarmakologis. Tindakan ini harus
disertai dengan pengawasan tekanan darah yang ketat.1
18
aterosklerosis pada 30% penderita hipertensi dan kerusakan organ pada 50% penderita
hipertensi dalam waktu 8-10 tahun.1
Kematian akibat penyakit jantung iskemik atau stroke meningkat secara bertahap
seiring dengan peningkatan tekanan darah. Setiap peningkatan 20 mmHg sistolik atau 10
mmHg diastolik pada tekanan darah > 115/75 mmHg, angka mortalitas meningkat 2 kali lipat
untuk penyakit jantung iskemik dan stroke. Menurut JNC 7, penggunaan terapi hipertensi
secara uji klinis dapat rata-rata menurunkan 35-40% kejadian stroke, 20-25% kejadian infark
miokard, dan >50% kejadian gagal jantung.1
2.9 Komplikasi
Hipertensi merupakan faktor resiko untuk terjadinya segala bentuk manifestasi klinik
dari aterosklerosis. Hipertensi dapat meningkatkan risiko untuk terjadinya kejadian
kardiovaskular dan kerusakan organ target, baik langsung maupun tidak langsung. Mortalitas
meningkat dua kali pada setiap kenaikan tekanan darah sebesar 20/10 mmHg. Pada keadaan
dengan tekanan darah high-normal(130-139/85-89 mmHg), didapatkan peningkatan kejadian
kardiovaskular 2.5 pada wanita dan 1.6 kali pada pria bila dibanding dengan tekanan darah
normal. Sedang risiko untuk penyakit ginjal, meningkatnya tekanan darah sistolik lebih erat
kaitannya dengan insidens penyakit ginjal tahap akhir bila dibanding dengan tekanan darah
diastolik, terutama pada usia lebih dari 50 tahun. Tekanan darah yang meningkat dapat
menyebabkan kerusakan pada pembuluh darah dan parenkim ginjal.1
1. Pada jantung; hipertrofi ventrikel kiri, angina atau infark miokard, dan gagal jantung
kongestif
2. Penyakit ginjal kronis dan penyakit ginjal tahap akhir
3. Retinopati
4. Pada otak, Strokeatau transient ischemic attack
5. Penyakit arteri perifer
19
kepatuhan dengan terapi medis tetapi juga mengurangi faktor risiko kardiovaskular.Berbagai
strategi untuk mengurangi risiko penyakit kardiovaskular adalah sebagai berikut:1
a. Pencegahan dan pengobatan obesitas: peningkatan indeks massa tubuh (BMI) dan lingkar
pinggang dikaitkan dengan peningkatan risiko kardiovaskular, seperti hipertensi, diabetes
mellitus, glukosa puasa terganggu, dan hipertrofi ventrikel kiri.
b. Aktifitas fisik aerobik yang cukup
c. Diet rendah garam, lemak total, dan kolesterol
d. Menghindari konsumsi alkohol
e. Menghindari konsumsi rokok
f. Menghidari penggunaan obat-obatan terlarang, seperti kokain.
20
DAFTAR PUSTAKA
1. Mohani, C.I. (2012). Hipertensi Esensial. Dalam Sudoyo, et al (ed). Buku Ajar
Penyakit Dalam. Edisi VI. Jilid II. Jakarta, Interna Publising. pp. 2284-2293.
2. Weber, et al. (2013). Clinical Practise Guidelines for Management of Hypertension in
The Community. The Journal of Clinical Hypertension 16 (1): 1-13. Diakses pada 27
Juni 2017.
3. Lauralee Sherwood (2011). Pembuluh Darah dan Tekanan Darah. Dalam Yesdelita,
Nella (ed). Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi VI. Jakarta, EGC : 369-413.
4. Muhadi. 2016. JNC 8:Evidence Guideline Penanganan Pasien Hipertensi Dewasa.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Vol. 43 no.1. pp. 1-6. Diakses
pada 27 Juni 2017.
5. Liswanti R, dan Yulanda G. 2017. Penatalaksanaan Hipertensi Primer. Lampung:
Universitas Kedokteran Lampung. Vol. 6 no. 1. pp 25-33. Diakses pada 29 Juni 2017.
6. Balitbang Kemenkes RI. Riset Kesehatan Dasar; RISKESDAS. Jakarta: Balitban
Kemenkes RI; 2013.
21