You are on page 1of 19

Faktor Risiko Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)

Nonpneumoniapada Balitadi Wilayah Kerja Puskesmas


Magersari, Kecamatan Magelang Selatan, Kota Magelang, Jawa
Tengah Tahun 2013
Ema Fiki Munaya

Departemen Kesehatan Lingkungan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia,


Depok 16424, Indonesia

E-mail: ema.fiki@ui.ac.id / emafiki@gmail.com

Abstrak
Data menunjukkan bahwa angka kejadian penyakit ISPA nasional selalu menunjukkan
peningkatan setiap tahun.Tahun 2013 dengan Provinsi Jawa Tengah menempati posisi ketujuh
dengan jumlah penderita ISPA terbanyak. Angka kejadian ISPA nonpneumonia selama 2011-2013
di Kota Magelang maupun di Puskesmas Kelurahan Magersari selalu menunjukkan peningkatan
dengan sebagian besar penderita adalah balita. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa
besar faktor risiko kualitas lingkungan fisik rumah (jenis lantai, atap, dinding, luas ventilasi,
kepadatan hunian) dan pencemaran udara dalam rumah (keberadaan perokok dalam rumah,
pengguaan anti nyamuk bakar, bahan bakar memasak dalam rumah)terhadap kejadian ISPA
nonpneumonia pada balita di wilayah kerja Puskesmas Magersari, Kota Magelang, Jawa Tengah
tahun 2013. Desain penelitian ini adalah case-control dengan masing-masing sampel berjumlah 50
balita. Case adalah balita yang menderita ISPA nonpneumonia dengan diagnosis dokter
puskesmas, sedangkan control balita yang didiagnosis tidak menderita ISPA. Ada hubungan yang
bermakna antara jenis lantai nilai p 0,000 &OR 15,881 ( 95% CI : 4,949-50,958), jenis atap nilai p
0,000 & OR 13,500 (95% CI 5,087-35,830), jenis dinding nilai p 0,000 &OR 17,484 ( 95% CI
6,314-48,415), kepadatan hunian, nilai p 0,000 &OR 12,250 (95% CI 4,652-32,258), keberadaan
perokok dalam rumah nilai p 0,003 &OR 4,205 ((95% CI 1,692-10,448) dan penggunaan bahan
bakar memasak nilai p 0,000 & OR 11,294 ( 95% CI 2,435-52,379).

Risk Factors for The Incidence of Nonpneumonia Acute Respiratory


Infections ( ARI ) on Underfive Children in Puskesmas (Health Center)
Magersari Work Area, Southern District of Magelang Capital , Central Java
2013
Abstract
Nation health data show that the incidence of acute respiratory infection (ARI) always increased
every years. 2013, with Central Java Province occupies was the seventh position with the highest
number of patients with acute respiratory infection (ARI). The incidence of ARI nonpneumonia
during 2011-2013 in the city of Magelang as well as in the Village Health Center Magersari
always increase which most of the patientare are under five children . This study aims to determine
how big the risk factors of physical quality of the home environment (type of floor, roof, walls,
extensive ventilation, residential density) and indoor air pollution (presence of smokers in the
home, using anti-mosquito, cooking fuel in the house) to nonpneumonia ARI incidence of under
five children in the working area of Magersari health center, Magelang, Central Java in 2013. The
Research design was a case-control study by each sample for 50 under five children. Case are
under five with nonpneumonia ARI diagnosis by Megersari Helath Center doctors, whereas
control are underfive children which not diagnosed with ARIs . There is a significant correlation
between the type of floor p value 0.000 and OR 15.881 (95 % CI : 4.949 to 50.958), the type of
roof p-value of 0.000 and OR 13,500 (95 % CI 5.087 to 35.830), the type of wall p-value of 0.000

Universitas Indonesia
Faktor risiko…, Ema Fiki Munaya, FKM UI, 2014
2  
 

and OR 17.484 (95 % CI 6.314 to 48.415), residential density, p-value 0.000 and OR 12,250 ( 95
% CI 4.652 to 32.258), the presence of smokers in the house p-value of 0.003 and OR 4.205 (95 %
CI 1.692 to 10.448 ) and cooking fuel p value 0,000OR 11,294 (95 % CI 2.435 to 52.379).

Keywords ; risk factors, types of floors, roofs, walls, extensive ventilation, residential density, the
presence of smokers in the home, anti-mosquito, cooking fuel in the house, ARI nonpneumonia.

Pendahuluan
ISPA ( Infeksi Saluran Pernafasan Akut) merupakan penyakit yang hampir
ada di semua negara di dunia dan banyak diderita oleh balita. WHO tahun 2009
menyebutkan bahwa ISPA merupakan penyebab utama kematian pada balita di
seluruh dunia. Angka kematian akibat ISPA pada balita mencapai dua juta per
tahun dan ISPA merupakan penyakit yang menduduki peringkat pertama pada
penyebab Disability Adjusted Life Years (DALYs) di negara berkembang yaitu
sekitar 94,6 juta jiwa atau 6,3%% dari total populasi.
Tahun 2007 terlapor ada 7,2 juta kasus ISPA di Indonesia. Tahun 2010,
kasus ISPA di Indonesia meningkat menjadi 17,9 juta kasus lalu pada tahun 2011
kasus ISPA di Indonesia meningkat menjadi 18,7 juta kasus. Prevalensi ISPA
tertinggi adalah pada balita (>35%), sedangkan terendah pada kelompok umur 15
- 24 tahun (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depkes RI, 2007).
Data dari semua kasus ISPA yang terjadi di masyarakat, 7-13% kasus berat dan
memerlukan perawatan rumah sakit. Episode batuk-pilek pada Balita di Indonesia
diperkirakan 2-3 kali per tahun (Rudan et al , 2008) dan ISPA merupakan salah
satu penyebab utama kunjungan pasien terutama balita di Puskesmas (40%-60%)
dan rumah sakit (15%-30%)(Kementerian Kesehatan RI, 2012).
Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa terdapat faktor-faktor
risiko tertentu yang mempengaruhi terjadinya ISPA pada balita. Penelitian yang
dilaksanakan oleh Anders Koch dkk pada tahun 2003 tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi kejadian ISPA pada balita di Denmark membuktikan bahwa
kejadian ISPA pada balita dipengeruhi oleh pemberian ASI oleh ibu, keberadaan
perokok dalam rumah dan kepadatan ruang tidur balita. Penelitian lain yang
dilaksanakan di Indonesia oleh Soedjajadi tentang kesehatan perumahan dan
pemukiman pada tahun 2005 menyebutkan bahwa kesehatan rumah yang meliputi
keadaan fisik rumah, sarana sanitasi dan perilaku penghuni rumah berkaitan erat

Universitas Indonesia
 
 
Faktor risiko…, Ema Fiki Munaya, FKM UI, 2014
3  
 

dengan kesehatan penghuni rumah, terutama balita. Agustina Lubis dkk pada
tahun 1996 juga melakukan penelitian tentang Faktor-Faktor yang mempengaruhi
Kejadian ISPA pada Balita pada Tahun 2006 yang membuktikan bahwa ada
hubungan yang bermakna antara kualitas lingkungan fisik rumah berupa jenis
atap, jenis tembok, lantai, kepadatan hunian dan bahan bakar memasak dengan
kejadian ISPA pada balita.
Jawa Tengah merupakan provinsi yang menempati peringkat ketujuh
dalam kasus ISPA terbanyak di Indonesia (Balitbangkes Kemenkes RI, 2013).
Penderita ISPA di Jawa Tengah sebagian besar merupakan balita. Diketahui
bahwa ISPA di Jawa Tengah mempunyai kontribusi 28% sebagai penyebab
kematian pada bayi < 1 tahun dan 23% pada anak balita (1 - < 5 th) dimana 80% -
90% dari seluruh kasus kematian ISPA disebabkan oleh pneumonia pada Tahun
2012.
Selama tiga tahun terakhir, kasus ISPA non pneumonia di Kota Magelang
selalu mengalami peningkatan yaitu 7.129 kasus pada tahun 2011 meningkat
menjadi 8.480 kasus pada tahun 2012 dan meningkat kembali menjadi 8.626
kasus selama tahun 2013. Kasus ISPA non pneumonia di Puskesmas Magersari
juga mengalami peningkatan 2011-2013. Tahun 2011 ISPA non pneumonia di
Puskesmas Magersari adalah 58 kasus , lalu meningkat menjadi 230 kasus pada
tahun 2012 dan 362 kasus selama tahun 2013. Selama bulan Mei sampai
September 2013 kejadian ISPA nonpneumonia di Puskesmas Magersari juga
cenderung meningkat. Mei 2013, Kasus ISPA di Puskesmas Magersari adalah 15
kasus, meningkat menjadi 75 kasus pada bulan Juli dan 91 kasus pada bulan
September 2013 Dinkes Kota Magelang, 2013). Peningkatan kasus ISPA non
Pneumonia di Puskesmas Magersari serta belum adanya penelitian ISPA di
wilayah kerja Puskesmas Magersari membuat peneliti tertarik untuk meneliti
risiko kualitas lingkungan fisik rumah (jenis lantai, atap, dinding, luas ventilasi,
kepadatan hunian) dan pencemaran udara dalam rumah (keberadaan perokok
dalam rumah, penggunaan anti nyamuk bakar, bahan bakar memasak dalam
rumah) dengan kejadian ISPA non pneumonia pada balita di wilayah Kerja
Puskesmas Magersari, Kota Magelang, Jawa Tengah Tahun 2013.

Tinjauan Teoritis

Universitas Indonesia
 
 
Faktor risiko…, Ema Fiki Munaya, FKM UI, 2014
4  
 

Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah penyakit saluran pernafasan


akut yang meliputi saluran pernafasan bagian atas seperti rhinitis, fharingitis,
dan otitis serta saluran pernafasan bagian bawah seperti laryngitis, bronchitis,
bronchiolitis dan pneumonia, yang dapat berlangsung selama 14 hari (Depkes RI,
2008). ISPA adalah suatu penyakit yang terbanyak diderita oleh anak-anak, baik
di negara berkembang maupun negara maju yang sudah mampu dan banyak dari
mereka perlu masuk rumah sakit karena penyakitnya cukup gawat.Penyakit-
penyakit pernafasan pada masa bayi dan anak-anak dapat pula memberi kecacatan
sampai pada masa dewasa (Suprajitno, 2004). ISPA dapat digolongkan menjadi
dua macam yaitu ISPA nonpneumonia yang meliputi flu biasa disertai batuk pilek
dan pernafasan yang cepat dan ISPA penumonia yang biasa berupa napas cepat,
sesak napas dan ada tarikan dinding dada.

Faktor rumah sehat yang dapat mempengaruhi kejadian ISPA antara lain
adalah jenis lantai, jenis dinding, kepadatan hunian, dan jenis bahan bakar yang
digunakan dalam rumah. Dari semua faktor tersebut, kepadatan hunian rumah
adalah yang dianggap paling berpengaruh terhadap kejadian ISPA (Wati, 2008)..
Anak yang tinggal di rumah yang padat (<9m2/orang) akan mendapatkan risiko
ISPA sebesar 1,75 kali dibandingkan dengan anak yang tinggal dirumah yang
tidak padat (Achmadi, 1993 dalam Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan, 2004 dalam Nasution, 2011 dalam Naufal 2011). Selain itu
pencemaran udara dalam ruang juga mempengaruhi terjadinya ISPA pada balita.

Metode penelitian

Penelitian ini menggunakan desain studi kasus-kontrol. Desain ini


merupakan desain yang paling cocok diterapkan dalam penelitian ini karena
penelitian ini bertujuan untuk melihat besarnya risiko faktor fisik lingkungan
rumah dan pencemaran udara dalam rumah tertentu pada kejadian ISPA
nonpneumonia balita. Desain ini juga memiliki beberapa kelebihan seperti tidak
membutuhkan waktu yang relatif lama, biaya relatif lebih murah, dan outcome
sudah dipastikan terjadi pada diri subjek penelitian (Notoatmodjo, 2010). Waktu
Mei-September dipilih karena pada bulan-bulan tersebut kasus ISPA
nonpneumonia mengalami peningkatan.

Universitas Indonesia
 
 
Faktor risiko…, Ema Fiki Munaya, FKM UI, 2014
5  
 

Populasi dari penelitian ini adalah semua balita di wilayah kerja


Puskesmas Magersari yang datang berobat ke Puskesmas Magersari baik
didiagnosis ISPA nonpneumonia maupun bukan ISPA oleh petugas medis di
Puskesmas Magersari, Kota Magelang, Jawa Tengah selama tahun 2013 (rentang
Mei—September2013). Populasi kasus dalam penelitian ini berjumlah 191 orang,
sedangkan populasi kontrol dalam penelitian ini berjumlah 320 orang.
Sampel dari penelitian ini dibagi menjadi kelompok kasus dan kontrol.
Kelompok kasus adalah balita yang didiagnosis ISPA oleh tenaga medis di
Puskesmas Magersari, dengan kriterian inklusi antara lain adalah balita yang
datang berobat ke Puskesmas Magersari dalam rentang Mei - September 2013,
berusia maksimal 4 tahun 11 bulan dan bersedia menjadi subjek penelitian.
Adapun kriteria eksklusinya adalah balita yang datang berobat ke Puskesmas
Magersari di luar bulanMei - September 2013, berusia lebih dari 4 tahun 11 bulan
atau tidak bersedia menjadi sumbjek penelitian
Kelompok kontrol adalah balita yang berobat ke puskesmas dan tidak
menderita ISPA baik ISPA pneumonia maupun ISPA nonpneumonia, dan tinggal
bertetangga dengan kelompok kasus. Kriteria inklusi yang digunakan antara lain
balita berusia maksimal 4 tahun 11 bulan yang tidak menderita ISPA baik ISPA
pneumonia maupun ISPA nonpneumonia dalam rentang Mei-September 2013
serta bersedia menjadi subjek penelitian
Penentuan besar sampel minimal untuk penelitian ini menggunakan rumus
Lemeshow dengan perbandingan 1:1 pada kelompok kasus dan kontrol

Dengan,

Keterangan :
n = Jumlah sampel minimal kasus dan kontrol
Z1-α/2 = Nilai Z pada derajat kepercayaan 1-α atau batas kemaknaan α.
(Untuk tingkat kepercayaan 95%, nilai Z = 1,96)
Z1-β = Nilai Z pada kekuatan uji 1-β.

Universitas Indonesia
 
 
Faktor risiko…, Ema Fiki Munaya, FKM UI, 2014
6  
 

(Untuk kekuatan uji 80%, nilai Z = 0,842)


P1 = Proporsi exposure pada kelompok kasus
P2 = Proporsi exposure pada kelompok control

Tabel 4.1 Perhitungan Besar Sampel Penelitian


Peneliti Variabel Independen P1 P2 OR N Desain
Studi
R, Marlina, - Lantai 0,667 0,333 2,02 30 Cross
2012 sectional
Fidiani, 2011 - Jenis lantai 0,72 0.28 5,02 20 Cross
- Ventilasi 0,71 0,29 4,58 22 sectional
Rahayu, - ventilasi 0,506 0,143 9,726 26 Cross
2011 sectional
Catiyas - jenis dinding 0,35 0,65 2,321 40 Cross
(2012) sectional

Hasil Perhitungan:

{1,96 2(0,35)(1 − 0,35) + 0,842 0,65 1 − 0,65 + 0,35(1 − 0,35) }!


(0,65 − 0,35)!

n = {1,96 (0,6745) + 0,842 (0,673)}2


(0,3)2
2
n ={1,322 + 0,567}
(0,09)
n = 3,56
0,09
n = 39,66
n = 40
Besar sampel dipilih berdasarkan beberapa penelitian terdahulu. Terbaru
adalah penelitian Catiyas (2012) dengan nilai P1 0,65 dan P2 0,35. Besar sampel
minimal yaitu 40 dipilih berdasarkan kemampuan dan sumber daya yang dimiliki
peneliti. Namun, untuk menghindari hilangnya sampel maka ditambahkan 10%
dari besar sampel minimal sehingga didapatkan 44 sampel dan dibulatkan menjadi

Universitas Indonesia
 
 
Faktor risiko…, Ema Fiki Munaya, FKM UI, 2014
7  
 

50 sampel untuk masing-masing sampel kasus dan kontrol dengan perbandingan


1:1 sehingga total responden yang akan diwawancarai sebanyak 100 responden.
Sampel akan dipilih dengan cara Simple Random Sampling atau cara acak
sederhana. Pemilihan sampel baik kasus atau kontrol akan dipilih secara random
dengan menggunakan microsoft exel.Nomor data populai kasus maupun data
kontrol terlebih dahulu dimasukkan kedalam microsoft exel. Data populai kasus
maupun data kontrol ini didapatkan dari catatan pasien balita yang berobat ke
Puskesmas Magersari pada periode yang telah ditentukan. Menggunakan rumus
tertentu, nomor data tersebut akan dipilih acak secara otomatis hingga
menghasilkan nomor data yang akan menjadi sampel, baik kasus ataupun kontrol.
Data primer dalam penelitian ini adalah data semua faktor risiko yang
diteliti yaitu kualitas lingkungan fisik rumah (Jenis lantai, atap, dinding, luas
ventilasi, dan kepadatan hunian) dan pencemaran udara dalam rumah (keberadaan
perokok dalam rumah, pengguaan anti nyamuk bakar, bahan bakar memasak
dalam rumah). Data jenis lantai, atap, dan dinding didapatkan dengan observasi
dan dinilai dengan kuesioner. Data luas ventilasi didapatkan dengan mengukur
luas seluruh ventilasi kamar balita dan ruang keluarga, lalu dibandingkan dengan
luas lantai rumah. Data mengenai kepadatan hunian, dihitung dengan mengukur
luas rumah lalu dibagi dengan jumlah penghuni rumah. Data pencemaran udara
dalam rumah (keberadaan perokok dalam rumah, pengguaan anti nyamuk bakar,
bahan bakar memasak dalam rumah) didapatkan dengan wawancara dan
observasi.
Data sekunder dalam penelitian ini adalah data kasus dan kontrol yang
didapatkan dari puskesmas magersari. Data kasus dan kontrol didapatkan dari data
pasien yang berobat ke Puskesmas Magersari selama bulan Mei sampai
September 2013. Data kasus dan kontrol dipilih secara symple random sampling
dari data populasi yang ada, sesuai kriteria inklusi masing-masing. Pengambilan
data dilaksanakan oleh peneliti sendiri, dengan dibantu oleh kader kesehatan
masing-masing RW dalam pencarian alamat sampel.

Hasil Penelitian

Universitas Indonesia
 
 
Faktor risiko…, Ema Fiki Munaya, FKM UI, 2014
8  
 

GAMBAR 1 PETA KELURAHAM MAGERSARI


(Sumber : Profil Wilayah Kelurahan Magersari 2013)

Peta diatas menunjukkan wilayah kerja Puskesmas Magersari. Luas wilayah


Kelurahan Magersari adalah 157,2 Ha atau 1,572 km2. Jumlah penduduk di
Kelurahan Magersari per bulan Maret 2014 adalah sebanyak 8.689 jiwa.
Kepadatan penduduk yang diperoleh dengan membagi jumlah penduduk dengan
luas wilayah dalam km2 didapatkan angka sebesar 5534 jiwa/km2 atau dalam
kategori padat (Putra, 2012).

Secara, geografis wilayah Kelurahan Magersari kebanyakan berupa


pemukiman (orange) serta hutan, kebun dan ladang yang digambarkan dengan
warna biru muda. Pemukiman penduduk Kelurahan Magersari dibagi menjadi 13
RW. RW 1 adalah Perumahan Tidar Baru yang terletak di tepi Jalan Suprapto.
RW 2 adalah dusun Magersari Selatan .RW 3 dan 4 adalah Dusun Magersari
Utara, RW 5 dan RW 13 adalah Dusun Sidosari, RW 6 adalah Dusun Rejosari,
dan RW 7 adalah Dusun Tejosari. RW 9 terletak di seberang RW 2, 3 dan 4 yaitu
Dusun Magersari Timur. RW 10 adalah Dusun Tegalsari. Sebelah selatan Gunung

Universitas Indonesia
 
 
Faktor risiko…, Ema Fiki Munaya, FKM UI, 2014
9  
 

Tidar, yang dalam peta dilambangkan dengan warna abu-abu berarsir juga
merupakan wilayah Kelurahan Magersari, yaitu RW 8, 11 dan 12 yang tergabung
dalam Dusun Tidar Baru. Profil Kelurahan Magersari menyebutkan, ada diantara
RW diatas yang merupakan pemukiman kumuh.

Hasil analisis antara faktor-faktor yang diteliti dapat dilihat pada tabel
dibawah ini.

ISPA
Total
Variabel Tidak Ya OR 95% CI Nilai-p
N % N % N %
Jenis Lantai
- MS 46 68,7 21 31,3 67 67 - - -
- TMS 4 12,1 29 87,9 33 33 15,881 (4,949-50,958) 0,000
Jenis Atap
- MS 42 75 14 25 56 56 - - -
- TMS 8 18,2 36 81,8 44 44 13,500 (5,087-35,830) 0,000
Jenis Dinding
- MS 43 76,8 13 23,2 56 56 - - -
- TMS 7 15,9 37 84,1 44 44 17,484 (6,314-48,415) 0,000
Luas ventilasi
- MS 48 51,1 46 48,9 94 94 - - -
- TMS 2 33,3 4 66,7 6 6 2,087 (0,365-11,948) 0,687
Kepasatan Hunian
- MS 42 73,7 15 26,3 57 57 - - -
- TMS 8 18,6 35 81,4 43 43 12,250 (4,652-32,258) 0,000
Penggunaan Antinyamuk
Bakar
- MS 44 52,4 40 47,6 84 84 - - -
- TMS 6 37,5 10 62,5 16 16 1,833 (0,611-5,502) 0,414
Keberadaan Perokok
dalam Rumah
- Tidak Ada 24 72,7 9 27,3 33 33 - - -
- Ada 26 38,8 41 61,2 67 67 4,205 (1,692-10,448) 0,003
Bahan Bakar memasak
- MS 48 53,5 34 41,5 82 82 - - -
- TMS 2 11,1 16 88,9 18 18 11,294 (2,435-52,379) 0,00
• MS : memenuhi syarat
• TMS : Tidak memenuhi syarat

Universitas Indonesia
 
 
Faktor risiko…, Ema Fiki Munaya, FKM UI, 2014
10  
 

Pembahasan

Dalam penelitian ini tedapat beberapa keterbatasan yang bisa diperbaiki


dalam penelitian selanjutnya. Penelitiaan ini berbasis Puskesmas, sehingga data
sekunder berupa kasus ISPA nonpneumonia maupun kontrol didapatkan dari
Puskesmas Magersari. Data yang diberikan oleh Puskesmas Magersari kurang
lengkap, yaitu tidak menyebutkan alamat tinggal jelas keluarga balita sehingga
pencarian kasus maupun kontrol menjadi susah. Seringkali nama yang tercantum
dalam daftar tidak ditemukan ketika dicari. Magersari adalah pemukiman padat
penduduk yang sebagian rumahnya adalah kontrakan, sehingga ada sebagian
balita yang telah pindah rumah. Kondisi Magersari yang merupakan pemukiman
dengan banyak gang sempit dan sangat padat membuat peneliti sering kesulitan
dalam menemukan rumah balita sampel.

Desain studi ini adalah case control, sehingga sangat rawan dengan bias
informasi karena kasus sudah terjadi satu tahun hingga 7 bulan sebelum
pengambilan data dilaksanakan. Bias informasi yang terjadi dalam penelitian ini
adalah bias informasi terkait faktor risiko lingkungan fisik rumah. Ada beberapa
keluarga balita yang tidak mengizinkan observasi kamar tidur atau pengukuran
ukuran rumah sehinggan hanya menggunakan pengetahuan dari ibu atau pengasuh
balita tersebut.

Penelitian ini hanya melihat fisik rumah dan pencemaran udara dalam
ruang sebagai faktor risiko terjadinya ISPA nonpneumonia pada balita, sehingga
tidak bisa memunculkan hubungan sebab akibat. Hanya delapan variabel risiko
yang diteliti dalam penelitian ini, sehingga masih sangat sempit dalam
menggambarkan faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan kejadian ISPA
nonpneumonia pada balita.

Penelitian ini menunjukkan hubungan yang signifikan antara jenis lantai


tempat tinggal balita dengan kejadian ISPA nonpneumonia pada balita yang
menjadi sampel dalam penelitian ini. Hal ini sesuai dengan penelitian yang
dilaksanakan oleh Festiani Cahyaningrum Putri pada tahun 2010, Ahmad
Yuliansyah Tahun 2002 dan Bambang Irianto pada Tahun 2006, Sementara itu,

Universitas Indonesia
 
 
Faktor risiko…, Ema Fiki Munaya, FKM UI, 2014
11  
 

penelitian ini tidak sesuai dengan Penelitian yang dilaksanakan oleh Epi Ria
Kristina Sinaga pada Tahun 2012. Perbedaan ini bisa disebabkan oleh jumlah
sampel maupun jumlah balita yang menderita ISPA, baik dari kelompok dengan
lantai yang tidak memenuhi syarat maupun dari kelompok balita yang tinggal di
rumah dengan lantai yang memenuhi syarat.

Jenis lantai sangat berpengaruh terhadap kejadian infeksi saluran


pernapasan. Nurjazuli 2009 menyebutkan bahwa lantai yang tidak memenuhi
syarat mengasilkan banyak debu, yang akhirnya akan dihirup balita dan
menyebabkan infeksi saluran pernapasan. WHO tahun 2009 juga menyebutkan
bahwa pada lantai yang lembab dan kotor, banyak mikroorganisme yang
berkembang biak hingga akhirnya terhirup dan menyebabkan asma, bronkitis atau
iritasi pernapasan lainnya. Penelitian ini sejalan dengan hasil tersebut dengan OR
sebesar 15, 881 yang artinya adalah bahwa balita yang tinggal di rumah dengan
lantai yang tidak memenuhi syarat kesehatan, 16 kali lebih berisiko untuk
menderita ISPA nonpneumonia dibandingkan dengan balita yang tinggal di rumah
dengan lantai yang memenuhi syarat.

Jenis atap tempat tinggal balita dengan kejadian ISPA nonpneumonia


pada balita dalam penelitian ini juga menunjukkan hubungan yang bermakna
secara statistik . Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilaksanakan oleh Festiani
Cahyaningrum Putri pada tahun 2010. Sementara itu, penelitian ini tidak sesuai
dengan Penelitian yang dilaksanakan oleh Epi Ria Kristina Sinaga pada Tahun
2012 dan Agustina Lubis dkk tahun 1996. Perbedaan ini bisa disebabkan oleh
jumlah sampel maupun jumlah balita yang menderita ISPA, baik dari kelompok
dengan lantai yang tidak memenuhi syarat maupun dari kelompok balita yang
tinggal di rumah dengan lantai yang memenuhi syarat.

Atap menrupakan salah satu konstruksi rumah yang penting. Hal ini
disebabkan oleh atap yang berfungsi untuk melindungi penghuni rumah dari panas
cahaya matahari maupun hujan. WHO Tahun 2009 menyebutkan bahwa atap yang
buruk memungkinkan hujan maupun debu masuk kedalam rumah yang akan
mengganggu kesehatan rumah mapupun penghuni rumah. Hal ini sejalan dengan
hasil penelitian ini yang menyebutkan bahwa balita yang tinggal di rumah dengan

Universitas Indonesia
 
 
Faktor risiko…, Ema Fiki Munaya, FKM UI, 2014
12  
 

atap yang tidak memenuhi syarat 13 kali lebih berisiko untuk menderita ISPA
nonpneumonia dibandingkan dengan balita yang tinggal di rumah dengan atap
yang memenuhi syarat kesehatan. Jumlah balita yang tinggal di rumah dengan
atap yang memenuhi syarat dan yang tidak memenuhi syarat besarnya hampir
sama, yaitu 56% berbanding 44%.

Jenis dinding rumah juga menunjukkan hubungan yang signifikan


dengan kejadian ISPA nonpneumonia pada balita di wilayah kerja Puskesmas
Magersari, sama halnya dengan jenis lantai dan atap rumah. Hal ini sejalan
dengan penelitian yang dilaksanakan oleh Agustina Lubis dkk (1996), Festiani
Cahyaningrum Putri (2010), Akhmad Yuliansyah (2002) dan Kristina (2011).
Akan tetapi, tidak sejalan dengan penelitian yang dilaksanakan oleh Epi Ria
Kristina Sinaga (2012) dan Bambang Irianto (2006). Bahkan, dalam penelitian
yang dilaksanakan oleh Agustina Lubis dan Akhmad Yulianto, setelah uji
multivariat didapatkan bahwa jenis dinding merupakan faktor yang paling
memepengaruhi terjadinya ISPA pada balita.

Dinding rumah kedap air yang berfungsi untuk mendukung


ataumenyangga atap, menahan angin dan air hujan, melindungi darianas dan debu
dari luar, serta menjaga kerahasiaan penghuninya (Keman, 2005). WHO juga
menyebutkan bahwa jamur dan bakteri akan tumbuh pada dinding yang lembab
dan kotor. Hal ini yang akan menimbulkan alergi atau infeksi jika terhirup oleh
manusia. Perbandingan resiko kejadian ISPA nonpneumonia antara balita yang
tinggal di rumah dengan dinding yang memenuhi syarat dan balita yang tinggal di
rumah yang tidak memenuhi syarat sangat tinggi, yaitu yang tidak memenuhi
syarat juga cukup tinggi, yaitu 17 kali.

Luas ventilasi dalam penelitian ini adalah luas ventilasi kamar tidur balita
karena diestimasikan balita paling banyak menghabiskan waktunya untuk tidur
dan beraktifitas adalah di dalam kamar tidur. Luas ventilasi kamar tidur balita
menunjukkan hubungan yang tidak signifikan dengan kejadian ISPA
nonpneumonia pada balita di wilayah kerja Puskesmas Magersari. Hal ini tidak
sejalan dengan penelitian yang dilaksanakan oleh Kristina (2011) dan Hetti
(2011). Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilaksanakan oleh Epi Ria

Universitas Indonesia
 
 
Faktor risiko…, Ema Fiki Munaya, FKM UI, 2014
13  
 

Kristina Sinaga (2012). Perbedaan ini kemungkinan disebabkan oleh perbedaan


jumlah sampel.

Rumah yang sehat minimal memiliki luas ventilasi 10% dari luas lantai
rumah. Begitu juga kamar, minimal memiliki ventilasi dengan luas minimal 10%
dari luas lantai. 10% disini adalah termasuk dengan ventilasi yang tidak permanen
seperti pintu dan jendela (Kepmenkes Nomor 829 Tahun 1999). Peran ventilasi
adalah untuk pertukaran udara, yaitu menjaga keseimbangan oksigen untuk
bernapas para penghui rumah.

Secara distribusi, hanya sedikit balita yang tidur di kamar dengan


ventilasi yang tidak memenuhi syarat. Hal ini disebabkan karena rumah balita
rata-rata berukuran kecil, sehinggan perbandingan lantai dan luas ventilasinya
menjadi besar. Selain itu, banyak pula rumah dan kamar balita yang kondisinya
sangat terbuka karena atap dan dinding yang tidak memadai , sehingga
memperluas luas lubang angin yang ada.

Kepadatan rumah balita dan kejadian ISPA nonpneumonia menunjukkan


hubungan yang signifikan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilaksanakan
oleh Epi Ria Kristina Sinaga (2012), Agustina Lubis dkk (1996), Festiani
Cahyaningrum Putri (2010), Akhmad Yuliansyah (2002) dan Kristina (2011).
Semua referensi menunjukkan bahwa kepadatan hunian secara statistik
berhubungan secara bermakna dengan kejadian ISPA nonpneumonia pada balita.

Kepadatan hunian yang berlebihan menyebabkan ruangan terasa pengap


dan sesak. Hal ini karena banyaknya orang yang berada dalam satu ruangan
bernapas dan mengeluarkan karbon dioksida, sehingga perbandingan antara
oksigen dan karbondioksidanya buruk. Hal itu menyebabkan udara terasa pengap
dan sesak. Selain itu, balita sangat rentan terhadap infeksi. Kepadatan hunian yang
tidak sehat menyebabkan mudahnya mikroorganisme menular dari satu orang ke
orang lainnya. Secara statistik, balita yang tinggal di rumah dengan kepadatan
yang tidak memenuhi syarat kesehatan kali lebih berisiko untuk menderita ISPA
nonpneumonia dibandingkan balita yang tinggal di rumah dengan kepadatan yang
memenuhi syarat.

Universitas Indonesia
 
 
Faktor risiko…, Ema Fiki Munaya, FKM UI, 2014
14  
 

Penggunaan antinyamuk bakar dalam rumah balita dan kejadian ISPA


nonpneumonia menunjukkan hubungan yang tidak signifikan. Hal ini sejalan
dengan penelitian yang dilaksanakan oleh Epi Ria Kristina Sinaga (2012) dan
Bambang Irianto (2006). Akan tetapi, tidak sejalan dengan penelitian yang
dilaksanakan oleh Wattimena (2004).

Antinyamuk bakar merupakan insektisida pembasmi nyamuk yang


digunakan dengan cara dibakar. Pembakaran inilah yang menghasilkan asap yang
dapat mengiritasi saluran pernapasan. Asap dari antinyamuk bakar mengandung
partikel debu dan mengandung senyawa kimia beracun seperi CO dan CO2. Secara
frekuensi, hanya sedikit dari responden yang menggunakan antinyamuk bakar
dalam kesehariannya. Mereka lebih banyak menggunakan antinyamuk yang
berbentuk lotion atau elektrik. Walaupun begitu, statistik menunjukkan bahwa
balita yang tinggal dirumah pengguna antinyamuk bakar 2 kali lebih berisiko
untuk terserang ISPA daripada balita tidak tinggal di rumah pengguna antinyamuk
bakar.

Keberadaan perokok dalam rumah balita dan kejadian ISPA


nonpneumonia menunjukkan hubungan yang signifikan secara statistik. Hal ini
sejalan dengan penelitian yang dilaksanakan oleh Ribka Rerung Layuk (2012),
Xafier Bonnefoy (2007), bambang Irianto (2006). Akan tetapi, tidak sejalan
dengan penelitian yang dilaksanakan oleh Epi Ria Kristina Sinaga (2012) dan
Kristina (2011)

Asap rokok merupakan pencemar udara yang mengandung sekitar 4000


jenis bahan kimia berbahaya. Balita yang tinggal di rumah perokok sangat
berisiko untuk terserang berbagai gangguan pernapasan yang disebabkan oleh
asap rokok. Terlebih lagi, perokok pasif mempunyai risiko yang lebih besar untuk
menderita gangguan akibat rokok daripada perokok aktif. Rokok juga menduduki
peringkat pertama pada daftar zat yang paling berbahaya pada anak (Sinaga,
2012). Hal itu sejalan dengan hasil penelitian ini yang menyebutkan bahwa anak
yang tinggal dengan perokok 4 kali lebih berisiko untuk menderita ISPA
nonpneumonia dibandingkan balita yang tidak tinggal serumah dengan perokok.

Universitas Indonesia
 
 
Faktor risiko…, Ema Fiki Munaya, FKM UI, 2014
15  
 

Penggunaan bahan bakar kejadian ISPA nonpneumonia menunjukkan


hubungan yang signifikan secara statistik. Hal ini sejalan dengan penelitian yang
dilaksanakan oleh Ribka Rerung Layuk (2012), Akhmad Yuliansyah (2002) dan
Festiani Cahyaningrum Putri (2010). Akan tetapi, tidak sejalan dengan penelitian
yang dilaksanakan oleh Epi Ria Kristina Sinaga (2012).

Kayu bakar atau arang merupakan pencemar udara yang mengandung


partikel, CO2 dan CO. Balita yang tinggal di rumah pengguna kayu bakar atau
rang berisiko untuk mengalami iritasi saluran pernapasan yang disebabkan oleh
gas-gas tersebut. Hal itu sejalan dengan hasil penelitian ini yang menyebutkan
bahwa anak yang tinggal dirumah pengguna kayu bakar dan arang 11 kali lebih
berisiko untuk menderita ISPA nonpneumonia dibandingkan balita yang tidak
tinggal dirumah pengguna kayu bakar atau arang.

Kesimpulan

Kejadian ISPA non pneumonia secara statistik berhubungan secara


signifikan dengan jenis lantai nilai p 0,000 dan OR 15,881 ( 95% CI : 4,949-
50,958), jenis atap nilai p 0,000 dan OR 13,500 (95% CI 5,087-35,830), jenis
dinding nilai p 0,000 dan OR 17,484 ( 95% CI 6,314-48,415), kepadatan hunian, p
value 0,000 dan OR 12,250 (95% CI 4,652-32,258), keberadaan perokok dalam
rumah nilai p 0,003 dan OR 4,205 ((95% CI 1,692-10,448) dan penggunaan bahan
bakar memasak nilai p 0,000 dan OR 11,294 ( 95% CI 2,435-52,379).

Saran

Telah dilaksanakannya penelitian ini membuat peneliti menyarankan


kepada pihak-pihak terkait untuk lebih memperhatikan ISPA nonpneumonia pada
balita ini. Masyarakat disarankan agar selalu menjaga agar sinar matahari selalu
masuk rumah di pagi hari dengan cara membuka jendela, untuk mengurangi
kelembaban pada lantai, atap dan dinding rumah supaya mikroorganisme tidak
berkembang biak di dalam rumah. Masyarakat disarankan pula untuk mengganti

Universitas Indonesia
 
 
Faktor risiko…, Ema Fiki Munaya, FKM UI, 2014
16  
 

sebagian atap dengan bahan yang tembus cahaya matahari agar cahaya bisa masuk
ke dalam rumah sehingga mengurangi kelembaban dan pertumbuhan bakteri
dalam rumah.Bagi masyarakat yang masih menggunakan antinyamuk bakar, agar
menggantinya dengan klabu agar balita terhindar dari gigitan nyamuk. Para
penghuni rumah yang merokok juga disarankan untuk tidak merokok di dalam
rumah, terutama ketika balita ada di dalam rumah. Bagi masyarakat yang masih
menggunakan kayu bakar atau arang untuk memasak, disarankan membuat lubang
asap diatas tungku yang dapat mengalirkan asap keluar rumah bagi masyarakat
yang masih menggunakan kayu bakar atau arang untuk memasak. Ibu balita agar
rajin membawa balita ke Posyandu, supaya balita mendapat imunisasi yang
lengkap dan mendapat makanan penunjang gizi untuk balita. Lebih baik pula agar
ibu balita selalu memberika asi eksklusif bagi balita paling tidak selama 6 bulan
pertama, agar menghindarkan balita dari ISPA.

Kepada Dinas Kesehatan Kota Magelang bersama Puskesmas Kelurahan


Magersari agar menyisipkan materi tentang rumah sehat dalam program
Pelayanan Kesehatan Lingkungan dan Sanitasi Dasar yang dilaksanakan oleh
Puskesmas Magersari dan melakukan penyluhan terkait pencegahan dan faktor
yang mempengaruhi terjadinya ISPA pada balita kepada ibu balita atau keluarga
balita, hal ini karena pengetahuan ibu atau pengasuh balita terhapap ISPA masih
rendah.

Kepada Dinas Pekerjaan Umum Kota Magelang bersama Kelurahan


Magersari Kota Magelang agar Mengusahakan pemugaran rumah tidak layak huni
bagi masyarakat dengan sosial ekonomi yang rendah dengan biaya yang
ditanggung pemerintah sehingga tidak ada lagi masyarakat yang tinggal di tepi
sungai atau di kontrakan yang tidak layak huni.

Daftar Referensi

Achmadi, U.F., (2005). Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. Cetakan 1.Jakarta


: Kompas Media Nusantara.
Anonim.(2008). Ada Apa dengan ISPA. http://klinikita.co.id/blog/2012/10/30/ada-
apa-dengan-ispa-infeksi-saluran-pernapasan-akut/. 20 Oktober 2012 pukul
22.45 WIB.

Universitas Indonesia
 
 
Faktor risiko…, Ema Fiki Munaya, FKM UI, 2014
17  
 

Arminsih, Ririn. (2012). Slide Mata Ajar Surveilans Kesehatan Lingkungan :


Desain Studi Penelitian.
Aditama.T.Y. ( 2002). Kesehatan dan Keselamatan Kerja. Jakarta : Universitas
Indonesia Press.
Arisman. (2004). Gizi dalam Daur Kehidupan. Jakarta: EGC.
Badan penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depkes RI. (2007). Laporan
Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Kementerian Kesehatan.
Bonnefroy, Xavier. (2007). Innadequate Housing and Health : an Overview.
International Journal of Environment and Pollution Volume 30 Nos 3/4.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2009). Profil Kesehana Indonesia
2008.http://www.depkes.go.id/downloads/publikasi/Profil%20Kesehatan%
20Indonesia%202008.pdf. Diunduh pada 8 Oktober 2012 pukul 22.30
WIB.
Departemen Kesehatan RI. (2007). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007.
www.litbang.depkes.go.id/bl_riskesdas2007. 10 Oktober 2012 pukul 22.45
WIB.
Dinas Kesehatan Kota Magelang. (2013). Rekap ISPA Tahun 2013.
Ferdiaz, S. (1992). Polusi Air dan Udara. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Gulo, R. R. (2008). Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Infeksi Saluran
Pernafasan Atas (ISPA) Pada Balita Di Kelurahan Ilir Gunung Sitoli
Kabupaten Nias Tahun 2008. Medan: Repository USU.
InfeksiSaluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Balita (Penelitian di Puskesmas
Kecamatan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan Tahun 2009-
2010).http://www.digilib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/hasilcari.jsp?method=
similar&query=71801&start=30&lokasi=lokal. Diunduh pada pada 20
Oktober 2012 pukul 22.45 WIB.

Jackson, S., & et all. (2013). Risk Factor for Severe Acute Lower Respiratory
Infection for Children. CMI, 110-121.
Jamison, Heachem, & Makgoba. (2006). Diases and Mortality in Subsaharan-
Africa 2bd Edition. Washington DC: World Bank.
Kaman, S. (2005). Kesehatan Perumahan dan Lingkungan Pemukiman. Jurnal
Kesehatan Lingkungan Volume 2 No.1, 29-42.

Kasjono, Heru Subaris. (2011). Penyehatan Pemukiman. Yogyakarta : Gasyam


media.
Kementrian Kesehatan RI. (2010). Buletin Pneumonia Volume
3.http://www.depkes.go.id/downloads/publikasi/buletin/BULETIN%20PN
EUMONIA.pdf. 10 Oktober 2012 pukul 22.45 WIB.

Universitas Indonesia
 
 
Faktor risiko…, Ema Fiki Munaya, FKM UI, 2014
18  
 

Kementerian Kesehatan RI. (2012). Pedoman Pengendalian ISPA. Jakarta:


Kementerian Kesehatan RI.
Koch, A., & et all. (2003). Risk Factor for Acute respiratory Tract Infection in
Young Greenlandic Children. American Jornal of Epidemiology, 374-384.
Layuk, Ribka dkk. (2011). Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian ISPA
pada Balita di Lembang Batu Sura’.
Lindawaty.(2010). Partikulat (PM10) Udara Rumah Tinggal Yang Mempengaruhi
Kejadian
Lubis, A., Soesanto, S. S., Kusmindar, Nanggolan, R., Djarismawati, & Sukar.
(1996). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi kejadian Penyakit Batuk
dengan Nafas Cepat pada Balita. Buletin Penelitian Kesehatan 24, 2-3.
McCracken, J. P., & Smith, R. K. (1997). Prevemtion of Acute Respiratory
Infection (ARI) and Indoor Polution). Barkeley: University of California.
Mihrshahi, Oddy, Peat, & Kabir.(2008). Association Between Infant Feeding
Patterns And Diarrhoeal And Respiratory Illness: A Cohort Study In
Chittagong, Bangladesh.
2008.http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19025613.Diunduh pada pada
20 Oktober 2012 pukul 22.35 WIB.
Naufal, Achmad. (2011). Hubungan antara Konsentrasi Mangan dalam Udara
Ambient dengan Kejadian Iritasi Saluran Nafas Pada Anak-Anak di
Kecamatan Reo, Kabupaten Manggarai Tahun 2011.
Notoatmodjo, Sukidjo. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT
Rineka Cipta.
Nurjazuli. (2009). Faktor Risiko Dominan Kejadian Pneumonia pada Balita di
Puskesmas Kebumen. Semarang : Skripsi Universitas Diponegoro.
Oktora, B. (2008). Hubungan antara Kualitas Fisik Udara dalam Ruang (Suhu
dan Kelembaban Relatif) dengan Kejadian Sick Building Syndrome (SBS)
pada Pegawai Pusat Kantor Perushaan Jasa Konstruksi "X" di Jakarta
Timur Tahun 2008. Jakarta: Skripsi Universitas Indonesia.
Putri, Festiani Cahyaningrum. (2010). Hubungan Kondisi Faktor Lingkungan dan
Angka Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Balita di
Wilayah Kerja Puskesmas Cangkringan Kabupaten Sleman Daerah
Istimewa Yogyakarta Pasca Erupsi Gunung Merapi Tahun 2010.
Yogyakarta : Skripsi Universitas Negeri Yogyakarta.

Rosalina, S. (2010). Strategi Penanggulangan Infeksi Saluran Pernapasan Akut


Pada Anak Balita Melalui Analisis Faktor Determinan di Tiga Kecamatan
Kabupaten Ogan Ilir Sumatera Selatan Tahun 2006.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/19913/4/Chapter%20II.pdf
: Repiratory USU.

Universitas Indonesia
 
 
Faktor risiko…, Ema Fiki Munaya, FKM UI, 2014
19  
 

Sinaga, Epi Ria Kristina. (2012). Kualitas Lingkungan Fisik Rumah dengan
kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada Balita di Wilayah
Kerja Puskesmas Kelurahan Warakas Kecamatan Tanjung Priok Jakarta
Utara Tahun 2011.Skripsi : Universitas Indonesia.
Susanto, Cornelius Eko. (2012). “Perubahan Iklim Picu Sakit Pernapasan”. Media
Indonesiaedisi 22 sept 2012.
http://www.mediaindonesia.com/read/2012/09/22/350237/265/114/
Perubahan-Iklim-Picu-Sakit-Pernapasan. Diunduh pada pada 8 Oktober
2012 pukul 22.35 WIB..
Suharto, I. (2011). Limbah Kimia dalam Pencemaran Udara dan Air. Yogyakarta:
ANDI Yogyakarta.
Sukamawa, A. A., Sulistyorini, L., & Keman, S. (2006). Determinan Sanitasi
Rumah dan Sosial Ekonomi Keluarga terhadap Kejadian ISPA pada anak
Balita serta Manajemen Penanggulanannya di Puskesmas. Jurnal
kesehatan Lingkungan No.1 Volume 3, 49-58.
Supariyasa. (2002). Penentuan Status Gizi. Jakarta: EGC.

The World Bank. (2006). Environmental Health And Child


Survival.http://siteresources.worldbank.org/INTENVHEA/Resources
/9780821372364.pdf. Diunduh pada pada 20 Oktober 2012 pukul 22.35
WIB.
Wati, Erna Kusuma. (2008). Hubungan Episode Infeksi Saluran Pernapasan Akut
(Ispa) dengan Pertumbuhan Bayi Umur 3 sampai 6 Bulan di Kecamatan
Suruh Kabupaten Semarang. Erna Kusuma Wati.
http://eprints.undip.ac.id/17420/1/Erna_Kusuma_Wati.pdf.Diunduh pada
pada 20 Oktober 2012 pukul 22.45 WIB.
WHO.(2009). Acute Respiratory
Infection.http://www.who.int/vaccine_research/diseases/
ari/en/index1.html. Diunduh pada 8 Oktober 2012 pukul 22.30 WIB.

Wijayanti, Khrisma. (2008). “Penyakit-Penyakit yang Meningkat Kasusnya


Akibat Pemanasan Global”.Jurnal Medicines Vol. 21
No.3.http:/isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/213088085.pdf .Diunduh pada
pada 8 Oktober 2012 pukul 22.33 WIB.
Yuliansyah, Akhmad. (2002). Hubungan antara Kondisi Kesehatan Lingkungan
Rumah dengan Kejadian Infeksi Pernapasan Akut (ISPA) di Desa Pagar
Dewa Kota Bengkulu Tahun 2002.

Universitas Indonesia
 
 
Faktor risiko…, Ema Fiki Munaya, FKM UI, 2014

You might also like