You are on page 1of 23

BAB I

PENDAHULUAN

Kehamilan ektopik adalah kehamilan dengan implantasi blastosit tidak pada


dinding endometrium dari rongga uteri. Dapat terjadi implantasi pada tuba (pars-
interstisialis, isthmus, ampula, infundibulum dan bagian fimbrae), uterus (kanalis
servikalis, divertikulum, kornu dan tanduk rudimenter), ovarium, intraligamenter
dan abdominal.
Kehamilan ektopik terjadi sebagian besar pada wanita yang hamil pada
umur 20-40 tahun dengan umur rata-rata 30 tahun. Di negara-negara berkembang,
khususnya di Indonesia, angka kejadian kehamilan ektopik berkisar antara 8 – 40
kasus per 1000 kehamilan. Etiologi kehamilan ektopik terganggu telah banyak
diselidiki, tetapi sebagian besar penyebabnya tidak diketahui besar kemungkinan
oleh karena trauma di tuba ataupun uterus. Tuba, ovarium, abdominal, Servikal,
Heterotropik, dan Kehamilan ektopik bilateral.
Manifestasi klinis dari KET yaitu; nyeri, perdarahan abdominal, nyeri tekan
abdomen dan panggul, perubahan uterus, peningkatan tekanan darah, dan
bradikardi. Pemeriksaan penunjang dari KET yaitu laboratorium, kuldosintesis,
USG, dan laparotomi.
Prognosis keberhasilan kehamilan sesudahnya menurun pada
wanita yang pernah menderita kehamilan ektopik. Hanya 1 dari 2
wanita yang kemudian dapat melahirkan janin hidup, sebagian besar
tidak pernah hamil dan hingga 14,6% mengalami kehamilan ektopik
berulang.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Kehamilan ektopik adalah kehamilan dengan implantasi blastosit tidak pada
dinding endometrium dari rongga uteri. Dapat terjadi implantasi pada tuba (pars-
interstisialis, isthmus, ampula, infundibulum dan bagian fimbrae), uterus (kanalis
servikalis, divertikulum, kornu dan tanduk rudimenter), ovarium, intraligamenter
dan abdominal.1,2

Gambar 2.1 Tempat-Tempat Implantasi Abnormal Blastosit.3


Kehamilan ektopik dapat pecah dan menjadi kehamilan ektopik terganggu
yang bisa menjadi kasus kegawat daruratan karena pendarahan yang terjadi.
Kehamilan ektopik terganggu ditandai dengan kolaps/kelelahan, denyut nadi cepat
dan lemah (110x permenit atau lebih), hipotensi, hipovolemia, abdomen akut dan
nyeri pelvis, distensi abdomen, nyeri lepas serta pasien tampak pucat.4,5

2
2.2 EPIDEMIOLOGI
Kehamilan ektopik terjadi sebagian besar pada wanita yang hamil pada
umur 20-40 tahun dengan umur rata-rata 30 tahun. Ada data yang menunjukkan
bahwa lebih dari 60% kehamilan ektopik terjadi pada wanita yang berumur 20-30
tahun dengan sosio-ekonomi rendah dan tinggal didaerah dengan prevalensi
gonore dan tuberkulosa yang tinggi. Di negara-negara berkembang, khususnya di
Indonesia, angka kejadian kehamilan ektopik berkisar antara 8 – 40 kasus per
1000 kehamilan. Di negara-negara maju prevalensinya berkisar antara 3-4 kasus
per 1000 kehamilan. Angka kematian akibat kehamilan ektopik yang terganggu
menurun dari 35,5 kematian per 10.000 kasus pada 1970an manjadi 2,6 per
10.000 kasus pada 1992.6

2.3 ETIOLOGI
Etiologi kehamilan ektopik terganggu telah banyak diselidiki, tetapi
sebagian besar penyebabnya tidak diketahui besar kemungkinan oleh karena
trauma di tuba ataupun uterus. Ada jurnal yang merangkum perubahan yang
terjadi pada tuba sehingga menjadi faktor pencetus kehamilan ektopik. Dapat
dilihat pada gambar dibawah ini.

3
Gambar 2.2 Faktor Potensial yang Dapat Menyebabkan Terjadinya
Kehamilan Ektopik.4
Tabel 2.1 Faktor resiko kehamilan ektopik3
Faktor Resiko Resiko
Resiko Tinggi
Riwayat kehamilan ektopik 8,3
Bedah korektif tuba 21,0
Sterilisasi tuba 9,3
Paparan Diethylstilbestrol pada uterus 5,6
Pengguanaan IUD 4,2-45,0
Faktor Sedang
Infertilitas 2,5-21
Riwayat infeksi genital 2,5-3,7
Pasangan seksual yang lebih dari satu 2,1
Faktor ringan
Merokok 2,3-2,5
Douching vaginal 1,1-3,1
Berhubungan pertama kali <18 tahun 1,6

2.4 KLASIFIKASI
Berdasarkan lokasi terjadinya, kehamilan ektopik dapat terjadi di :
a. Tuba (>95%)
Ovum yang telah dibuahi dapat tersangkut di bagian mana saja dari tuba
uterina. Kehamilan tuba terdiri atas pars ampularis(55%), pars ismika (25%),
pars fimbriae (17%), dan pars interstisial (2%).4
b. Kehamilan ektopik lain (<5%) yang antara lain terjadi di :
- ovarium (0,5%)
- abdominal (<0,1%)
- Servikal (0,1%)
4
c. Heterotropik, merupakan kehamilan ganda di mana satu janin berada di kavum
uteri sedangkan yang lain merupakan kehamilan ektopik. Kejadian sekitar satu
per 15.000-40.000 kehamilan.4
d. Kehamilan ektopik bilateral. Kehamilan ini pernah dilaporkan walaupun sangat
jarang terjadi.4

1. Kehamilan Tuba
Tuba tidak memiliki lapisan submukosa maka ovum yang telah dibuahi
segera menembus epitel, dan zigot akhirnya berada di dekat atau di dalam otot.
Trofoblas yang cepat berproliferasi dapat menginvasi muskularis sekitar, tetapi
separuh dari kehamilan ektopik ampula tetap berada di lumen tuba dengan lapisan
otot tidak terkena pada 85 persen kasus. Mudigah atau janin pada kehamilan
ektopik sering tidak ada atau tidak berkembang. Walaupun kehamilan terjadi di
luar rahim, rahim membesar juga karena hipertropi dari otot-ototnya disebabkan
pengaruh hormon-hormon yang dihasilkan trofoblas, begitu pula endometriumnya
berubah menyadi desidua vera. Kehamilan tuba dapat berupa kehamila tubo-
uterina yaitu kehamilan yang asalnya dari interstisial tetapi kemudian tumbuh ke
dalam cavum uteri. Dapat juga berupa tubo-abdominal, yaitu kehamilan yang
asalnya dari ujung tuba dan kemudian tumbuh ke dalam cavum peritoneal.
Kemudian kehamilan tuboovarial yaitu kehamilan yang asalnya dari ovarium atau
tuba, tetapi kemudian kantongnya terdiri dari jaringan tuba maupun ovarium.5

2. Kehamilan Abdomen
Kehamilan abdominal merupakan salah satu varian dari kehamilan ektopik
yang jarang dijumpai tetapi mengancam jiwa. Hal tersebut terjadi bila kantong
kehamilan berimplantasi di luar uterus, ovarium dan tuba Fallopi. Kehamilan
abdominal dapat dibagi menjadi dua, yaitu kehamilan abdominal primer dan
kehamilan abdominal sekunder. Kehamilan abdominal primer lebih jarang terjadi
dibanding yang sekunder, diagnosisnya harus memenuhi kriteria, yaitu: tuba

5
Fallopi dan ovarium dalam keadaan normal, tidak adanya fistula dari uterus yang
ruptur, perlekatan hasil konsepsi hanya pada peritoneum. Kehamilan abdominal
sekunder terjadi bila plasenta dari kehamilan di tuba, kornu dan uterus meluas dan
melekat pada jaringan serosa sekitarnya. Secara khas kehamilan abdominal
berawal dari kehamilan ektopik lainnya, yang menyebar keluar dari tuba dan
melekat pada jaringan di sekitarnya, tetapi dapat juga terjadi akibat ruptur bekas
insisi seksio Caesaria.5
3. Kehamilan Ovarium
Kehamilan ovarial primer sangat jarang terjadi. Diagnosis kehamilan
tersebut ditegakkan atas dasar 4 kriteria dari Spiegelberg, yakni5 :
a. Tuba pada sisi kehamilan harus normal.
b. Kantong janin harus berlokasi pada ovarium.
c. Kantong janin dihubungkan dengan uterus oleh ligamentum ovary
proprium.
d. Jaringan ovarium yang nyata harus ditemukan dalam dinding kantong janin.
4. Kehamilan Serviks
Kehamilan servikal juga sangat jarang terjadi. Bila ovum berimplantasi
dalam kavum servikalis, maka akan terjadi perdarahan tanpa nyeri pada kehamilan
muda. Jika kehamilan berlangsung terus, serviks membesar dengan ostium uteri
eksternum terbuka sebagian. Kehamilan servikal jarang melampaui 12 minggu
dan biasanya diakhiri secara operatif oleh karena perdarahan. Pengeluaran hasil
konsepsi pervaginam dapat menyebabkan banyak perdarahan, sehingga untuk
menghentikan perdarahan diperlukan histerektomi totalis.5

2.5 PATOFISIOLOGI
Proses implantasi ovum yang dibuahi, yang terjadi di tuba
pada dasarnya sama dengan halnya di kavum uteri. Telur di tuba
bernidasi secara kolumner atau interkolumner. Pada yang pertama
telur berimplantasi pada ujung atau sisi jonjot endosalping.

6
Perkembangan telur selanjutnya dibatasi oleh kurangnya vaskularisasi
dan biasanya telur mati secara dini dan diresorbsi. Pada nidasi secara
interkolumner telur bernidasi antara 2 jonjot endosalping. Setelah
tempat nidasi tertutup, maka telur dipisahkan dari lumen tuba oleh
lapisan jaringan yang menyerupai desidua dan dinamakan
pseudokapsularis. Karena pembentukan desidua di tuba tidak s empurna
malahan kadang-kadang tida k ta mpak, dengan mudah villi korialis
menembus endosalping dan masuk dalam lapisan otot-otot tuba dengan
merusak jaringan dan pembuluh darah. Perkembangan janin
selanjutnya bergantung pada beberapa faktor, seperti t empat implantasi,
tebalnya dinding tuba, dan banyaknya perdarahan yang terjadi oleh invasi
trofoblas.
Dibawah pengaruh hormon estrogen dan progesteron dari korpus
luteum gravidatis dan trofoblas, uterus menjadi besar dan lembek,
dan endometrium dapat pula berubah menjadi desidua. Dapat
ditemukan pula perubahan-perubahan pada endometrium yang disebut
fenomena Arias-Stella. Sel epitel membesar dengan intinya
hipertrofik, hiperkromatik, lobuler, dan berbentuk tidak teratur.
Sitoplasma sel dapat berlubang-lubang atau berbusa, dan kadang-
kadang ditemukan mitosis. Perubahan ini hanya terjadi pada
sebagian kehamilan ektopik.
Terdapat beberapa kemungkinan yang dapat terjadi pada kehamilan
ektopik dalam tuba. Karena tuba bukan merupakan tempat yang baik
untuk pertumbuhan hasil konsepsi, tidak mungkin janin dapat tumbuh
secara utuh seperti di uterus. Sebagian besar kehamilan
tuba terganggu pada umur kehamilan antara 6 minggu sampai 10
minggu. Kemungkinan itu antara lain :
1. Hasil konsepsi mati dini dan diresorbsi
Pada implantasi secara kolumner, ovum yang dibuahi cepat mati

7
karena vaskularisasi kurang, dan dengan mudah terjadi resorbsi
total. Dalam keadaan ini penderita tidak mengeluh apa-apa, hanya
haidnya saja yang terlambat untuk beberapa hari.
2. Ruptur tuba
Ruptur tuba sering terjadi bila ovum berimplantasi pada
ismus dan biasanya pada kehamilan muda, Sebaliknya rupture
pada pars interstisialis terjadi pada kehamilan yang lebih lanjut.
Faktor utama yang menyebabkan rupture ialah penembusan villi
koriales ke dalam lapisan muskularis tuba terus ke peritoneum.
Ruptur dapat terjadi secara spontan, atau klarena trauma ringan
seperti koitus dan pemeriksaan vaginal. Dalam hal ini akan terjadi
perdarahan dalam rongga perut dengan jumlah sedikit sampai
banyak, yang dapat menimbulkan syok sampai kematian. Bila
pseudokapsularis ikut pecah maka terjadi pula perdarahan dalam
lumen tuba. Darah dapat mengalir ke dalam rongga perut
melalui ostium tuba abdominal.
Ruptur sekunder dapat terjadi bila terjadi abortus dalam tuba
dan ostium tuba tertutup. Dalam hal ini dinding tuba yang sudah
menipis karena invasi dari trofoblas, akan pecah karena tekanan
darah dalam tuba. Kadang-kadang ruptur terjadi pada daerah
ligamentum latum dan terbentuk hematoma intraligamenter. Jika
janin hidup terus, terdapat kehamilan intraligamenter. Pada ruptur
ke rongga perut, seluruh janin dapat keluar dari tuba, tetapi bila
robekan kecil, perdarahan terjadi tanpa hasil konsepsi dikeluarkan
dari tuba. Bila pasien tidak meninggal karena perdarahan, nasib
janin bergantung pada kerusakan yang diderita dan tuanya
kehamilan. Bila janin mati dan masih kecil, dapat diresorbsi
kembali, namun bila besar, kelak dapat diubah menjadi
litopedion. Bila janin yang dikeluarkan tidak mati dengan masih

8
diselubungi oleh kantong amnion dan dengan plasenta yang utuh,
kemungkinan tumbuh terus dalam rongga abdomen sehingga
terjadi kehamilan abdominal sekunder.

Gambar 2.3 Patofisiologi Kehamilan Ektopik dan t erjadinya Ruptur


Tuba

3. Abortus ke dalam lumen tuba


Abortus tuba ialah gangguan yang umumnya tidak begitu
mendadak, dan dapat memberi gambaran yang beraneka ragam.
Timbul perdarahan dari uterus yang berwarna hitam, dan rasa nyeri
di samping uterus bertambah keras. Perdarahan yang terjadi karena
pembukaan pembuluh-pembuluh darah oleh villi koriales pada
dinding tuba di tempat implantasi dapat melepaskan bakal janin dari
koriales pada dinding tersebut bersama-sama dengan robeknya
pseudokapsularis. Pelepasan ini dapat terjadi sebagian atau
seluruhnya, tergantung dari derajat perdarahan yang timbul. Bila
pelepasan menyeluruh, mudigah dengan selaputnya dikeluarkan
9
dalam lumen tuba dan kemudian didorong oleh darah kearah
ostium tuba abdominale. Frekuensi abortus dalam tuba tergantung
pada implantasi telur yang dibuahi. Abortus tuba lebih umum terjadi
pada kehamilan tuba pars ampullaris, sedangkan penembusan
dinding tuba oleh villi koriales kearah peritoneum biasanya
terjadi pada kehamilan pars isthmika. Perbedaan ini disebabkan
karena lumen pars ampullaris lebih luas, sehingga dapat mengikuti
lebih mudah pertumbuhan hasil konsepsi dibandingkan dengan
bagian isthmus dengan lumen sempit.
Pada pelepasan hasil konsepsi yang tidak sempurna pada
abortus, perdarahan akan terus berlangsung, dari sedikit-sedikit oleh
darah, sampai berubah menjadi mola kruenta. Perdarahan akan
keluar melalui fimbriae dan masuk rongga abdomen dan
terkumpul secara khas di kavum Douglas dan akan membentuk
hematokel retrouterina. Bila fimbriae tertutup, tuba fallopii dapat
membesar karena darah dan membentuk hemato retrouterina.

Gambar 2.4 abortus ke dalam tuba

10
2.6 MANIFESTASI KLINIS
Sebagian besar wanita datang untuk berobat pada awal perkembangan
kehamilan ektopik. Pada sebagian, diagnosis ditegakkan bahkan sebelum gejala
muncul. Temuan yang umum dijumpai mencakup berikut :
a. Nyeri
Nyeri panggul dan abdomen dilaporkan oleh 95% wanita dengan kehamilan
tuba. Pada gestasi tahap lanjut, sering timbul gejala salauran cerna (80%) dan
dizziness (58%). Pada ruptur, nyeri dapat timbul di mana saja di abdomen.
Nyeri perut terjadi secara tiba-tiba dan intensitasnya disertai dengan
perdarahan yang menyebabkan penderita pingsan dan masuk ke dalam syok.
Biasanya pada abortus tuba, nyeri tidak seberapa hebat dan tidak terus-
menerus. Rasa nyeri mula-mula terdapat pada satu sisi, tetapi, setalah darah
masuk ke dalam rongga perut, rasa nyeri menjalar ke bagian tengah atau ke
seluruh perut bawah. Darah dalam rongga perut dapat merangsang diafragma,
sehingga menyebabkan nyeri bahu dan bila membentuk hematokel retrouterina,
menyebabkan defekasi nyeri.6
b. Perdarahan abnormal
Amenorea dengan spotting atau perdarahan per vagina dilaporkan oleh 60
sampai 80 persen wanita dengan kehamilan tuba. Sekitar seperempat
menyangka perdarahan ini sebagai haid sejati. Meskipun perdarahan per vagina
yang berlebihan menandakan abortus inkomplet namun hal ini kadang juga
dijumpai pada gestasi tuba. Penderita sering menyebutkan tidak jelasnya ada
amenore, karena gejala dan tanda kehamilan ektopik terganggu bisa langsung
terjadi beberapa saat setelah terjadinya nidasi pada saluran tuba yang kemudian
disusul dengan ruptur tuba karena tidak bisa menampung pertumbuhan
mudigah selanjutnya. Lamanya amenorea bergantung pada kehidupan janin,
sehingga dapat bervariasi. Sebagian penderita tidak mengalami amenorea
karena kematian janin terjadi sebelum haid berikutnya. Hal ini menyebabkan

11
frekuensi amenorea yang dikemukanakan berbagai penulis berkisar dari 23
hingga 97%.6
c. Nyeri tekan abdomen dan panggul
Pada kehamilan ektopik dini yang belum ruptur, nyeri tekan jarang
dijumpai. Namun, dengan ruptur, nyeri tekan hebat sewaktu pemeriksaan
abdomen dan vagina, terutama ketika serviks digerakkan, terdapat pada lebih
dari tiga perempat wanita. Pada kehamilan ektopik terganggu ditemukan pada
pemeriksaan vaginal bahwa usaha menggerakkan serviks uteri menimbulkan
rasa nyeri, yang disebut dengan nyeri goyang (+) atau slinger pijn. Demikian
pula kavum douglasi menonjol nyeri pada perabaan oleh karena terisi oleh
darah. Pada abortus tuba biasanya teraba jelas suatu tumor di samping uterus
dalam berbagai ukuran dengan konsistensi agak lunak. Hematokel retrouterina
dapat diraba sebagai tumor di kavum douglasi. Pada ruptur tuba dengan
perdarahan banyak tekanan darah dapat menurun dan nadi meningkat,
perdarahan yang banyak lagi dapat menimbulkan syok.6
d. Perubahan uterus
Meskipun minimal pada awalnya, uterus kemudian dapat terdorong ke salah
satu sisi oleh massa ektopik. Uterus juga mungkin membesar akibat
rangsangan hormon. Derajat perubahan endometrium menjadi desidua
bervariasi. Temuan desidua uterus tanpa trofoblas menandakan kehamilan
ektopik, tetapi ketiadaan jaringan desidua tidak menyingkirkannya.6
e. Tanda-tanda vital
Meskipun umumnya normal sebelum ruptur, respons terhadap perdarahan
derajat sedang dapat berupa tidak adanya perubahan tanda vital, peningkatan
ringan tekanan darah, atau respons vasovagus disertai bradikardi dan hipotensi.
Tekanan darah akan turun dan nadi meningkat hanya jika perdarahan berlanjut
dan hipovolemianya menjadi signifikan.6

12
2.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Gejala-gejala kehamilan ektopik terganggu beraneka ragam, sehingga
pembuatan diagnosis kadang-kadang menimbulkan kesulitan, khususnya pada
kasus kehamilan ektopik yang belum mengalami atau ruptur pada dinding tuba
sulit untuk dibuat diagnosis. Berikut tes yang dapat dikerjakan untuk membantu
diagnosis KET.7,8
Dalam penegakkan diagnosis kehamilan ektopik, diperlukan pula
pemeriksaan penunjang, yaitu:
a. Laboratorium
 Hemogram
Pemeriksaan hemoglobin dan jumlah sel darah merah berguna dalam
menegakkan diagnosis kehamilan ektopik terganggu, terutama bila ada tanda-
tanda perdarahan dalam rongga perut. Bila ada penurunan hemoglobin dan
hematokrit dapat mendukung diagnosis kehamilan ektopik terganggu. Pada kasus
tidak mendadak biasanya ditemukan anemia, tetapi harus diingat bahwa
penurunan hemoglobin baru terlihat setelah 24 jam. Perhitungan leukosit secara
berturut menunjukkan adanya perdarahan bila leukosit meningkat (leukositosis)
dengan derajat bervariasi hingga 30.000/µl. Untuk membedakan kehamilan
ektopik dari infeksi pelvik dapat diperhatikan jumlah leukosit. Jumlah leukosit
yang lebih dari 20.000 biasanya menunjukkan infeksi pelvic.
 Human Chorionic Gonadotropin (β-hCG)
β-hCG penting untuk mendiagnosis ada tidaknya kehamilan. Cara yang
paling mudah ialah dengan melakukan pemeriksaan konsentrasi hormon β human
chorionic gonadotropin (β-hCG) dalam urin atau serum. Hormon ini dapat
dideteksi paling awal pada satu minggu sebelum tanggal menstruasi berikutnya.
Konsentrasi serum yang sudah dapat dideteksi ialah 5 IU/L, sedangkan pada urin
ialah 20–50 IU/L. Tes kehamilan negatif tidak menyingkirkan kemungkinan
kehamilan ektopik terganggu karena kematian hasil konsepsi dan degenerasi
trofoblas menyebabkan human chorionic gonadotropin menurun dan

13
menyebabkan tes negatif. Tes kehamilan positif juga tidak dapat mengidentifikasi
lokasi kantung gestasional. Meskipun demikian, wanita dengan kehamilan ektopik
cenderung memiliki level β-hCG yang rendah dibandingkan kehamilan
intrauterine.
b. Kuldosintesis
Kuldosentesis ialah suatu cara pemeriksaan untuk mengetahui apakah
terdapat darah dalam kavum Douglas. Cara ini sangat berguna untuk membuat
diagnosis kehamilan ektopik terganggu.
Teknik kuldosentesis yaitu :
- Penderita dibaringkan dalam posisi litotomi.
- Vulva dan vagina dibersihkan dengan antiseptik
- Spekulum dipasang dan bibir belakang porsio dijepit dengan tenakulum,
kemudian dilakukan traksi ke depan sehingga forniks posterior ditampakkan
- Jarum spinal no.18 ditusukkan ke dalam kavum douglas dan dengan sepuit
10 ml dilakukan pengisapan.
Hasil :
- Positif, apabila dikeluarkan darah tua berwarna coklat sampai
hitam yang tidak membeku, atau yang berupa bekuan kecil-kecil.
Darah ini menunjukkan adanya hematokel retrouterina.9
- Negatif, apabila darah yang diisap bersifat:
 Cairan jernih, yang mungkin berasal dari cairan peritoneum
normal atau kista ovarium yang pecah;
 Nanah, yang mungkin berasal dari penyakit radang pelvis atau
radang apendiks yang pecah;
 Darah segar berwarna merah yang dalam beberapa menit
akan membeku, darah ini berasal dari arteri atau vena yang
tertusuk.

14
Gambar 2.5 Kuldosintesis

c. Pemeriksaan USG
Dari beberapa penelitian melaporkan transvaginalsonografi lebih superior
dibandingkan dengan transabdominalsonografi. Transvaginalsonografi
seharusnya dilakukan pada semua pasien dengan kecurigaan kehamilan ektopik,
khususnya jika dengan transabdominalsonografi tidak dapat mendiagnosis. Dari
satu penelitian, melaporkan sensitivitas dan spesifitas transabdomina lsonografi
dalam mendiagnosis adanya kehamilan ektopik adalah 82 % dan 92 %. Sedangkan
penelitian lain yang mencari akurasi dari transvaginal sonografi dalam mendeteksi
kehamilan ektopik, mendapatkan hasil sensitivitas dan spesifitas adalah 90, 9 %
dan 99 %.
d. Laparoskopi
Laparoskopi hanya digunakan sebagai alat bantu diagnostik terakhir untuk
kehamilan ektopik apabila hasil penilaian prosedur diagnostik yang lain
meragukan. Melalui prosedur laparoskopik, alat kandungan bagian dalam dapat
dinilai. Secara sistematis dinilai keadaan uterus, ovarium, tuba, kavum Douglas
dan ligamentum latum. Adanya darah dalam rongga pelvis mempersulit

15
visualisasi alat kandungan tetapi hal ini menjadi indikasi untuk dilakukan
laparotomi.

2.8 DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING


Diagnosis kehamilan ektopik terganggu pada jenis mendadak tidak banyak
mengalami kesukaran, tetapi pada jenis menahun atau atipik bisa sulit sekali.
Untuk mempertajam diagnosis, maka pada tiap perempuan dalam masa reproduksi
dengan keluhan nyeri peru bagian bawah atau kelainan haid, kemungkinan
kehamilan ektopik harus difikirkan. Dari hasil anamnesis didapatkan haid
biasanya terlambat untuk beberapa waktu dan kadang-kadang terdapat gejala
subjektif kehamilan muda. Nyeri perut bagian bawah, perdarahan pervaginam
terjadi setelah nyeri perut bagian bawah. Dari hasil pemeriksaan fisik ditemukan
adanya nyeri tekan baik difus maupun lokal serta adanya nyeri goyang. Pada
palpasi di temukan adanya massa adneksa unilateral, dan perubahan uterus
dimana uterus teraba lembut dan ukurannya meningkat.7
Diagnosis banding tersering dari KET adalah abortus imminens. Sedangkan
diagnosis banding lainnya ialah penyakit radang panggul akut maupun kronis,
kista ovarium (terpuntir atau ruptur), dan apendisitis akut. Umumnya diagnosis
ditegakkan dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
(β-HCG, dan USG). Dengan ditemukan trias klasik nyeri abdomen, perdarahan
vagina abnormal, dan amenore ditambah dengan hasil β-HCG positip dan dalam
pemeriksaan USG ada massa atau penonjolan kavum douglas dari hasil spekulum
maka sudah dapat ditegakkan KET.8
Yang perlu dipikirkan sebagai diagnosis banding dari KET adalah15 :
1. Infeksi pelvis : Gejala yang menyertai infeksi pelvik biasanya timbul waktu
haid dan jarang setelah mengenai amenore. Nyeri perut bagian bawah dan
tahanan yang dapat diraba pada pemeriksaaan vaginal pada umumnya bilateral.
Pada infeksi pelvik perbedaan suhu rektal dan ketiak melebihi 0,5 0C, selain itu

16
leukositosis lebih tinggi daripada kehamilan ektopik terganggu dan tes
kehamilan menunjukkan hasil negatif.
2. Abortus iminens/ Abortus inkomplit : Dibandingkan dengan kehamilan ektopik
terganggu perdarahan lebih merah sesudah amenore, rasa nyeri yang sering
berlokasi di daerah median dan adanya perasaan subjektif penderita yang
merasakan rasa tidak enak di perut lebih menunjukkan ke arah abortus
imminens atau permulaan abortus insipiens. Pada abortus tidak dapat diraba
tahanan di samping atau di belakang uterus, dan gerakan servik uteri tidak
menimbulkan rasa nyeri.
3. Tumor/ Kista ovarium: Gejala dan tanda kehamilan muda, amenore, dan
perdarahan pervaginam biasanya tidak ada. Tumor pada kista ovarium lebih
besar dan lebih bulat dibanding kehamilan ektopik terganggu.
4. Appendisitis : Pada apendisitis tidak ditemukan tumor dan nyeri pada gerakan
cervix uteri seperti yang ditemukan pada kehamilan ektopik terganggu. Nyeri
perut bagian bawah pada apendisitis terletak pada titik McBurney.

2.9 PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan kehamilan ektopik tergantung pada beberapa hal, antara lain
lokasi kehamilan dan tampilan klinis. Sebagai contoh, penatalaksanaan kehamilan
tuba berbeda dari penatalaksanaan kehamilan abdominal. Selain itu, perlu
dibedakan pula penatalaksanaan kehamilan ektopik yang belum terganggu dari
kehamilan ektopik terganggu. Tentunya penatalaksanaan pasien dengan
kehamilan ektopik yang belum terganggu berbeda dengan penatalaksanaan pasien
dengan kehamilan ektopik terganggu yang menyebabkan syok.8
Seorang pasien yang terdiagnosis dengan kehamilan tuba dan masih
dalam kondisi baik dan tenang, memiliki 3 pilihan9 :
1. Penatalaksanaan Ekspektasi
Penatalaksanaan ekspektasi didasarkan pada fakta bahwa sekitar 75%
pasien pada kehamilan ektopik akan mengalami penurunan kadar β-hCG.

17
Penurunan kadar β-hCG diobservasi ketat dengan penatalaksanaan ekspektasi,
kehamilan ektopik dini dengan kadar stabil atau cenderung turun. Oleh sebab itu,
tidak semua pasien dengan kehamilan ektopik dapat menjalani penatalaksanaan
seperti ini. Penatalaksanaan ekspektasi dibatasi pada keadaan-keadaan berikut: 1)
kehamilan ektopik dengan kadar β-hCG yang menurun, 2) kehamilan tuba, 3)
tidak ada perdarahan intraabdominal atau ruptur, dan 4) diameter massa ektopik
tidak melebihi 3.5 cm. Sumber lain menyebutkan bahwa kadar β-hCG awal harus
kurang dari 1000 mIU/mL, dan diameter massa ektopik tidak melebihi 3.0 cm.
Dikatakan bahwa penatalaksanaan ekspektasi ini efektif pada 47-82% kehamilan
tuba.
2. Penatalaksanaan Medis
Pada penatalaksanaan medis digunakan zat-zat yang dapat merusak
integritas jaringan dan sel hasil konsepsi. Kandidat-kandidat penerima tatalaksana
medis harus memiliki syarat-syarat berikut ini: keadaan hemodinamik yang stabil,
bebas nyeri perut bawah, tidak ada aktivitas jantung janin, tidak ada cairan bebas
dalam rongga abdomen dan kavum Douglas, harus teratur menjalani terapi, harus
menggunakan kontrasepsi yang efektif selama 3-4 bulan pascaterapi, tidak
memiliki penyakit-penyakit penyerta, sedang tidak menyusui, tidak ada kehamilan
intrauterin yang koeksis, memiliki fungsi ginjal, hepar dan profil darah yang
normal, serta tidak memiliki kontraindikasi terhadap pemberian methotrexate.
Berikut ini akan dibahas beberapa metode terminasi kehamilan ektopik secara
medis.
1. Methotrexate
Methotrexate adalah obat sitotoksik yang sering digunakan untuk terapi
keganasan, termasuk penyakit trofoblastik ganas. Pada penyakit trofoblastik,
methotrexate akan merusak sel-sel trofoblas, dan bila diberikan pada pasien
dengan kehamilan ektopik, methotrexate diharapkan dapat merusak sel-sel
trofoblas sehingga menyebabkan terminasi kehamilan tersebut. Seperti halnya
dengan penatalaksanaan medis untuk kehamilan ektopik pada umumnya,

18
kandidat-kandidat untuk terapi methotrexate harus stabil secara hemodinamis
dengan fungsi ginjal, hepar dan profil darah yang normal.
3. Penatalaksanaan Bedah
Penatalaksanaan bedah dapat dikerjakan pada pasien-pasien dengan
kehamilan tuba yang belum terganggu maupun yang sudah terganggu. Tentu saja
pada kehamilan ektopik terganggu, pembedahan harus dilakukan secepat
mungkin.
1. Salpingostomi
Salpingostomi adalah suatu prosedur untuk mengangkat hasil konsepsi yang
berdiameter kurang dari 2 cm dan berlokasi di sepertiga distal tuba fallopii. Pada
prosedur ini dibuat insisi linear sepanjang 10-15 mm pada tuba tepat di atas hasil
konsepsi, di perbatasan antimesenterik. Setelah insisi hasil konsepsi segera
terekspos dan kemudian dikeluarkan dengan hati-hati. Perdarahan yang terjadi
umumnya sedikit dan dapat dikendalikan dengan elektrokauter. Insisi kemudian
dibiarkan terbuka (tidak dijahit kembali) untuk sembuh per sekundam. Prosedur
ini dapat dilakukan dengan laparotomi maupun laparoskopi. Metode per
laparoskopi saat ini menjadi gold standard untuk kehamilan tuba yang belum
terganggu. Sebuah penelitian di Israel membandingkan salpingostomi per
laparoskopi dengan injeksi methotrexate per laparoskopi. Durasi pembedahan
pada grup salpingostomi lebih lama daripada durasi pembedahan pada grup
methotrexate, namun grup salpingostomi menjalani masa rawat inap yang lebih
singkat dan insidens aktivitas trofoblastik persisten pada grup ini lebih rendah.
Meskipun demikian angka keberhasilan terminasi kehamilan tuba dan angka
kehamilan intrauterine setelah kehamilan tuba pada kedua grup tidak berbeda
secara bermakna.
2. Salpingotomi
Pada dasarnya prosedur ini sama dengan salpingostomi, kecuali bahwa pada
salpingotomi insisi dijahit kembali. Beberapa literatur menyebutkan bahwa tidak

19
ada perbedaan bermakna dalam hal prognosis, patensi dan perlekatan tuba
pascaoperatif antara salpingostomi dan salpingotomi.
3. Salpingektomi
Reseksi tuba dapat dikerjakan baik pada kehamilan tuba yang belum
maupun yang sudah terganggu, dan dapat dilakukan melalui laparotomi maupun
laparoskopi. Salpingektomi diindikasikan pada keadaan-keadaan berikut ini :
- Kehamilan ektopik mengalami ruptur (terganggu),
- Pasien tidak menginginkan fertilitas pascaoperatif,
- Terjadi kegagalan sterilisasi,
- Telah dilakukan rekonstruksi atau manipulasi tuba sebelumnya,
- Pasien meminta dilakukan sterilisasi,
- Perdarahan berlanjut pascasalpingotomi,
- Kehamilan tuba berulang,
- Kehamilan heterotopik, dan
- Massa gestasi berdiameter lebih dari 5 cm.

4. Evakuasi Fimbrae dan Fimbraektomi


Bila terjadi kehamilan di fimbrae, massa hasil konsepsi dapat dievakuasi
dari fimbrae tanpa melakukan fimbraektomi. Dengan menyemburkan cairan di
bawah tekanan dengan alat aquadisektor atau spuit, massa hasil konsepsi dapat
terdorong dan lepas dari implantasinya. Fimbraektomi dikerjakan bila massa hasil
konsepsi berdiameter cukup besar sehingga tidak dapat diekspulsi dengan cairan
bertekanan.

2.10 PROGNOSIS
Angka kematian ibu yang disebabkan oleh kehamilan ektopik terganggu
turun sejalan dengan ditegakkannya diagnosis dini dan persediaan darah yang
cukup. Kehamilan ektopik terganggu yang berlokasi di tuba pada umumnya
bersifat bilateral. Sebagian ibu menjadi steril (tidak dapat mempunyai keturunan)
setelah mengalami keadaan tersebut diatas, namun dapat juga mengalami
20
kehamilan ektopik terganggu lagi pada sisitusi yang lain. Ibu yang pernah
mengalami kehamilan ektopik terganggu, mempunyai resiko 10% untuk
terjadinya kehamilan ektopik terganggu berulang. Ibu yang sudah mengalami
kehamilan ektopik terganggu sebanyak dua kali terdapat kemungkinan 50%
mengalami kehamilan ektopik terganggu berulang.9
Ruptur dengan perdarahan intraabdominal dapat mempengaruhi fertilitas
wanita. Dalam kasus-kasus kehamilan ektopik terganggu terdapat 50-60%
kemungkinan wanita steril. Untuk perempuan dengan jumlah anak yang sudah
cukup, sebaiknya pada operasi dilakukan salpingektomi bilateralis dan
sebelumnya perlu mendapat persetujuan suami dan isteri.9

21
BAB III

KESIMPULAN

Kehamilan ektopik adalah kehamilan dengan implantasi blastosit tidak pada


dinding endometrium dari rongga uteri. Dapat terjadi implantasi pada tuba (pars-
interstisialis, isthmus, ampula, infundibulum dan bagian fimbrae), uterus (kanalis
servikalis, divertikulum, kornu dan tanduk rudimenter), ovarium, intraligamenter
dan abdominal.
Kehamilan ektopik terjadi sebagian besar pada wanita yang hamil pada
umur 20-40 tahun dengan umur rata-rata 30 tahun. Etiologi kehamilan ektopik
terganggu telah banyak diselidiki, tetapi sebagian besar penyebabnya tidak
diketahui besar kemungkinan oleh karena trauma di tuba ataupun uterus. Tuba,
ovarium, abdominal, Servikal, Heterotropik, dan Kehamilan ektopik bilateral.
Manifestasi klinis dari KET yaitu; nyeri, perdarahan abdominal, nyeri tekan
abdomen dan panggul, perubahan uterus, peningkatan tekanan darah, dan
bradikardi. Pemeriksaan penunjang dari KET yaitu laboratorium, kuldosintesis,
USG, dan laparotomi. Penatalaksanaan pada KET iyalah terminasi dibagi menjadi
2 yaitu penatalaksanaan bedah dan medis.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Moore LK, Agur M. Essential Clinical Anatomy. 2nd ed. Lippincot Williams
Wilkins. Philadelphia, 2002.
2. Bonica JJ, Graney OD. General Consideration of Abdominal Pain. In :
Bonica’s Management of Pain. Lippincot William Wilkins. Philadelphia.
200 : 1231-51.
3. Hata MT, Mayers KJ. Schwartz JJ, Rosenbaum SH. Preeoperative
evaluation and Management. Di dalam: Barash PG, Cullen BF, Stoelting
RK (editor), Clinical Anesthesia, Fifth Edition. USA: Lippincott Williams
& Wilkins, 2001 : 475-99.
4. Prof. dr. Hanifa W, dkk., Ilmu Kandungan, Edisi kedua, Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta, 2005 : 250-58.
5. Prof. Dr. Rustam. M, MPH, Sinopsis Obstetri, Jilid 1, Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta, 1998 : 226-35.
6. Paraton, Haridr, SpOG, dkk. Pedoman Diagnosis Dan Terapi Bag/SMF Ilmu
Kebidanan dan Kandungan. RSUD Dr Soetomo. Surabaya , 2008 : 58-63.
7. Prof. dr. Hanifa W, dkk., Ilmu Kebidanan, Edisi kedua, Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta, 2007 : 323-34.
8. Cunningham, Gary F, Prof, Dr. Obstetry Williams Volume II, Edisi 21.
ECG. Jakarta, 2005 : 983- 1000.
9. Prof. dr. Hanifa W, dkk., Ilmu Bedah Kebidanan, Edisi Pertama, Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta, 2000 : 198-210.

23

You might also like