You are on page 1of 36

Presentasi Kasus

SEORANG ANAK PEREMPUAN 3 TAHUN


DENGAN OD LASERASI KORNEA FULL THICKNESS

Oleh:
Ajeng Apsari Utami G99162056
Dio Affan Afghani G99172063
Fauziya Dzakirani G99172076
Maia Thalia Giani G99162065
Muhammad Salsabil Larik G99171030

Pembimbing:
Farahdina Rahmawati, dr., SpM

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2018
BAB I
PENDAHULUAN

Mata merupakan salah satu indra yang sangat penting untuk


kehidupan manusia. Terlebih lagi dengan majunya teknologi, indra
penglihatan yang baik merupakan kebutuhan yang tidak dapat diabaikan.
Mata merupakan bagian yang sangat peka. Meskipun mata telah mendapat
perlindungan dari tulang orbita, bantalan lemak retrobulber, kelopak mata
dengan bulu matanya, juga dengan telah dibuatnya macam-macam alat
untuk melindungi mata, tetapi frekuensi kecelakaan masih sangat tinggi.1
Kemajuan teknologi dan bertambah banyaknya kawasan industri
meningkatkan kecelakaan akibat pekerjaan, kecelakaan akibat kepadatan
lalu lintas, belum terhitung kecelakaan akibat perkelahian, yang
kesemuanya dapat mengenai mata. Pada anak-anak kecelakaan mata
biasanya terjadi akibat alat dari permainan yang biasa dimainkan seperti
panahan, ketapel, senapan angin, tusukan dari gagang mainan dan lain-
lain.
Trauma tajam mata sering merupakan penyebab kebutaan
unilateral pada dewasa muda. Kelompok usia ini mengalami sebagian
besar cedera mata yang parah. Dewasa muda, terutama pria, merupakan
kelompok yang kemungkinan besar mengalami cedera tembus mata.
Kecelakaan di rumah, kekerasan, ledakan api, cedera akibat olahraga, dan
kecelakaan lalu lintas merupakan keadaan-keadaan yang paling sering
menyebabkan trauma mata.2
Struktur wajah dan mata sangat sesuai untuk melindungi mata dari
cedera. Bola mata terdapat di dalam sebuah rongga yang dikelilingi oleh
hubungan tulang yang kuat. Kelopak mata bisa segera menutup untuk
menghalangi benda asing dan mata bisa mengatasi benturan yang ringan
tanpa mengalami kerusakan. Trauma tajam dapat mengakibatkan
kerusakan
pada bola mata dan kelopak, saraf mata dan rongga orbita. Trauma pada
mata memerlukan perawatan yang tepat untuk mencegah terjadinya
penyulit yang lebih berat ataupun kebutaan.3
BAB II
STATUS PASIEN

I. IDENTITAS
Nama : An. NDK
Umur : 3 tahun 6 bulan
Jenis Kelamin : Perempuan
Suku : Jawa
Kewarganegaraan: Indonesia
Agama : Islam
Pekerjaan : Belum Bekerja
Alamat : Ngargorejo, Ngemplak, Boyolali
Tanggal periksa : 17 Juni 2018
Nomor RM : 01422347
Cara pembayaran : Umum

II. ANAMNESIS
A. Keluhan utama
Pasien mengeluhkan mata kanan sakit

B. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke Instalansi Gawat Darurat RSUD Dr. Moewardi
dengan keluhan mata kanan sakit sejak ± 3 jam sebelum masuk rumah
sakit. Orang tua pasien menceritakan bahwa saat itu anaknya sedang
bermain masak-masakan, dan ibu pasien sedang di dapur, sedangkan
ayah pasien sedang di luar. Tiba-tiba pasien menangis dan mengeluh
mata kanannya sakit. Ibu pasien melihat saat itu pasien sehabis
memegang silet dan menduga mata anaknya terluka karena silet. Mata
pasien sempat mengeluarkan sedikit darah. Kemudian, pasien dibawa ke
RS Banyu Bening dan selanjutnya di rujuk ke RS Mata. Di RS Mata
dilakukan pemeriksaan dan mata pasien ditutup dengan kassa.
Selanjutnya, pasien dirujuk ke RS Dr. Moewardi untuk mendapatkan
penanganan selanjutnya. Keluhan mata nrocos (-/-), mblobok (+/+), nyeri
(+/), cekot-cekot (-/-), silau (+/-), pandangan kabur (+/-), gatal (-/-), rasa
mengganjal (+/-) serta demam dan batuk pilek disangkal.
C. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat sakit serupa : disangkal
Riwayat mata merah : disangkal
Riwayat operasi mata : disangkal
Riwayat benjolan di mata : disangkal
Riwayata infeksi/iritasi mata : disangkal
Riwayat trauma : (+) terkena silet
Riwayat pemakaian kacamata : disangkal
Riwayat alergi obat dan makanan : disangkal

D. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat sakit serupa : disangkal
Riwayat kencing manis : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayata infeksi/iritasi mata : disangkal
Riwayat pemakaian kacamata : disangkal
Riwayat alergi obat dan makanan : disangkal

E. Kesimpulan Anamnesis
OD OS
Proses Laserasi -
Lokasi Kornea -
Sebab Trauma terkena silet -
Perjalanan Akut Akut
Komplikasi Keratitis -

III. PEMERIKSAAN FISIK


A. Kesan umum dan vital sign
1. Keadaan umum: tampak sakit sedang, GCS E4V5M6, gizi kesan
normal
2. Tanda Vital
Tekanan Darah : 140/80 mmHg
Frek. Nadi : 92x/menit
Frek. Napas : 24x/menit
Suhu : 36,80C
B. Pemeriksaan subyektif
OD OS
A. Visus Sentralis
1. Visus sentralis jauh Kesan ada Kesan ada
a. pinhole Tidak dilakukan Tidak dilakukan
b. koreksi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
c. refraksi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
2. Visus sentralis dekat Tidak dilakukan Tidak dilakukan
B. Visus Perifer
1. Konfrontasi tes Tidak dilakukan Tidak dilakukan
2. Proyeksi sinar Tidak dilakukan Tidak dilakukan
3. Persepsi warna Tidak dilakukan Tidak dilakukan

C. Pemeriksaan obyektif
1. Sekitar mata OD OS
a. tanda radang Tidak ada Tidak ada
b. luka Tidak ada Tidak ada
c. parut Tidak ada Tidak ada
d. kelainan warna Tidak ada Tidak ada
e. kelainan bentuk Tidak ada Tidak ada
2. Supercilia
a. warna Hitam Hitam
b. tumbuhnya Normal Normal
c. kulit Kuning langsat Kuning langsat
d. gerakan Dalam batas normal Dalam batas normal
3. Pasangan bola mata dalam
orbita
a. heteroforia Tidak ada Tidak ada
b. strabismus Tidak ada Tidak ada
c. pseudostrabismus Tidak ada Tidak ada
d. exophtalmus Tidak ada Tidak ada
e. enophtalmus Tidak ada Tidak ada
4. Ukuran bola mata
a. mikroftalmus Tidak ada Tidak ada
b. makroftalmus Tidak ada Tidak ada
c. ptisis bulbi Tidak ada Tidak Ada
d. atrofi bulbi Tidak ada Tidak ada
e. buftalmos Tidak ada Tidak ada
f. megalokornea Tidak ada Tidak ada
g. mikrokornea Tidak ada Tidak ada
5. Gerakan bola mata
a. temporal Tidak terhambat Tidak terhambat
b. temporal superior Tidak terhambat Tidak terhambat
c. temporal inferior Tidak terhambat Tidak terhambat
d. nasal Tidak terhambat Tidak terhambat
e. nasal superior Tidak terhambat Tidak terhambat
f. nasal inferior Tidak terhambat Tidak terhambat
6. Kelopak mata
a. pasangannya
1.) edema Ada Ada
2.) hiperemi Tidak ada Tidak ada
3.) blefaroptosis Tidak ada Tidak ada
4.) blefarospasme Tidak ada Tidak ada
b. gerakannya
1.) membuka Tidak tertinggal Tidak tertinggal
2.) menutup Tidak tertinggal Tidak tertinggal
c. rima
1.) lebar 10 mm 10 mm
2.) ankiloblefaron Tidak ada Tidak ada
3.) blefarofimosis Tidak ada Tidak ada
d. kulit
1.) tanda radang Tidak ada Tidak ada
2.) warna Kuning langsat Kunig langsat
3.) epiblepharon Tidak ada Tidak ada
4.) blepharochalasis Tidak ada Tidak ada
e. tepi kelopak mata
1.) enteropion Tidak ada Tidak ada
2.) ekteropion Tidak ada Tidak ada
3.) koloboma Tidak ada Tidak ada
4.) bulu mata Dalam batas normal Dalam batas normal
7. Sekitar glandula lakrimalis
a. tanda radang Tidak ada Tidak ada
b. benjolan Tidak ada Tidak ada
c. tulang margo tarsalis Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
8. Sekitar saccus lakrimalis
a. tanda radang Tidak ada Tidak ada
b. benjolan Tidak ada Tidak ada
9. Tekanan intraokular
a. palpasi Kesan normal Kesan normal
b. non-contact tonometri Tidak dilakukan Tidak dilakukan
10. Konjungtiva
a. konjungtiva palpebra superior
1.) edema Tidak ada Tidak ada
2.) hiperemi Ada Tidak ada
3.) sekret Tidak ada Tidak ada
4.) papil dan sikatrik Tidak ada Tidak ada
b. konjungtiva palpebra inferior
1.) edema Tidak ada Tidak ada
2.) hiperemi Ada Tidak ada
3.) sekret Tidak ada Tidak ada
4.) papil dan sikatrik Tidak ada Tidak ada
c. konjungtiva fornix
1.) edema Tidak ada Tidak ada
2.) hiperemi Tidak ada Tidak ada
3.) sekret Tidak ada Tidak ada
4.) papil dan sikatrik Tidak ada Tidak ada
d. konjungtiva bulbi
1.) edema Tidak ada Tidak ada
2.) pterigium Tidak ada Tidak ada
3.) hiperemis Ada Tidak ada
4.) sekret Tidak ada Tidak ada
5.) injeksi konjungtiva Ada Tidak ada
6.) injeksi siliar Tidak ada Tidak ada
7.) laserasi Ada Tidak ada
8.) subconjunctival bleeding Tidak ada Tidak ada
e. caruncula dan plika
semilunaris
1.) edema Tidak ada Tidak ada
2.) hiperemis Tidak ada Tidak ada
3.) sikatrik Tidak ada Tidak ada
11. Sklera
a. warna Putih Putih
b. tanda radang Tidak ada Tidak ada
c. penonjolan Tidak ada Tidak ada
12. Kornea
a. ukuran 12 mm 12 mm
b. limbus Didapatkan laserasi Jernih
c. permukaan Didapatkan laserasi Rata, mengkilap
d. sensibilitas Tidak dilakukan Tidak dilakukan
e. keratoskop (placido) Tidak dilakukan Tidak dilakukan
f. fluoresin tes Tidak dilakukan Tidak dilakukan
g. arcus senilis Tidak ada Tidak ada
13. Kamera okuli anterior
a. kejernihan Hifema Jernih
b. kedalaman Dangkal Dalam batas normal
14. Iris
a. warna Cokelat Cokelat
b. bentuk Bulat Bulat
c. sinekia anterior Tidak tampak Tidak tampak
d. sinekia posterior Tidak tampak Tidak tampak
15. Pupil
a. ukuran Sulit dievaluasi 3 mm
b. bentuk Sulit dievaluasi Bulat
c. letak Sulit dievaluasi Sentral
d. reflek cahaya langsung dan Sulit dievaluasi Positif
tidak langsung
e. reflek konvergensi Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
16. Lensa
a. ada/tidak Ada Ada
b. kejernihan Jernih Jernih
c. letak Sentral Sentral
e. shadow test Tidak dilakukan Tidak dilakukan
17. Corpus vitreum
a. Kejernihan Tidak dilakukan Tidak dilakukan
b. Reflek fundus
Tidak dilakukan Tidak dilakukan

IV. KESIMPULAN PEMERIKSAAN

OD OS
Visus Sentralis Jauh kesan ada kesan ada
Pinhole tidak dilakukan tidak dilakukan
Sekitar mata dalam batas normal dalam batas normal
Supercilia dalam batas normal dalam batas normal
Pasangan bola mata dalam
dalam batas normal dalam batas normal
orbita
Ukuran bola mata dalam batas normal dalam batas normal
Gerakan bola mata dalam batas normal dalam batas normal
Kelopak mata dalam batas normal dalam batas normal
Sekitar saccus lakrimalis dalam batas normal dalam batas normal
Sekitar glandula lakrimalis dalam batas normal dalam batas normal
Tekanan Intra Okuler kesan normal dalam batas normal
Konjungtiva palpebra hiperemis dalam batas normal
Konjungtiva forniks hiperemis dalam batas normal
hiperemis, injeksi bagian dalam batas normal
Konjungtiva bulbi
nasal dan temporal
Sklera dalam batas normal dalam batas normal
Kornea didapatkan laserasi dalam batas normal
Kamera okuli anterior kesan hifema kesan normal
Iris bulat, warna hitam bulat, warna hitam
diameter 3 mm, bulat,
Pupil sulit di evaluasi
sentral
Lensa dalam batas normal dalam batas normal
Corpus vitreum tidak dilakukan tidak dilakukan

V. GAMBAR KLINIS

VI.

DIAGNOSIS BANDING
1. OD Abrasi Kornea
2. OD Laserasi Konjungtiva
VII. DIAGNOSIS
OD Laserasi Kornea Fullthickness

VIII. TERAPI
Tindakan
Pro OD Repair Laserasi Kornea Fullthickness
Medikamentosa
- Di bangsal:
1. Infus NaCl 0,9% 40 ml/jam
2. Infus Paracetamol 150 mg/8 jam
3. Injeksi Ampicillin 125 mg/8 jam IV
4. Injeksi Gentamycin 20 mg/8 jam IV
5. LFX Eye Drop tiap jam OD
- Obat pulang:
1. Amoxicillin dry syrup 125 mg/5 ml 3 x cth 1 po
2. Paracetamol syrup 120 mg/5ml 3 x cth 1 po (jika panas)
3. Gentamycin 0,3% Eye Ointment 3 x OD (diberikan di bola mata)
4. LFX Eye Drop tiap 3 jam OD

Non-medikamentosa :
1. Mata ditutup dengan menggunakan kassa untuk menjaga infeksi dan
paparan benda asing lainnya
2. Medikasi dan kontrol post operasi
3. Mencuci tangan terlebih dahulu sebelum memberikan obat tetes atau
salep mata serta meggunakan obat dengan tepat dan teratur
4. Menjaga kebersihan mata
5. Tidak mengucek mata
IX. PROGNOSIS
OD OS
Ad vitam bonam bonam
Ad sanam dubia ad bonam bonam
Ad fungsionam malam bonam
Ad kosmetikum dubia ad bonam bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Kornea
Kornea (Latin cornum = seperti tanduk) adalah selaput bening
mata, bagian selaput mata yang tembus cahaya, merupakan lapis jaringan
yang menutup bola mata sebelah depan dan terdiri atas lapis : 1
1. Epitel
a. Tebalnya 50 pm, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang
sating tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel
gepeng.
b. Pada sel basal Bering terlihat mitosis sel, dan sel muds ini ter-
dorong ke depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke
depan menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel basal
di sampingya dan sel poligonal di depannya melalui desmosom dan
makula okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit,
dan glukosa yang merupakan barrier.
c. Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat erat kepada-
nya. Bila terjadi gangguan akan mengakibatkan erosi rekuren.
d. Epitel berasal dari ektoderm permukaan.
2. Membran Bowman
a. Terletak di bawah membran basal epitel komea yang merupakan
kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari
bagian depan stroma.
b. Lapis ini tidak mempunyai daya regenerasi
3. Stroma
Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar
satu dengan lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur
sedang di bagian perifer serat kolagen ini bercabang; terbentuknya
kembali serat kolagen memakan waktu lama yang kadang-kadang
sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang
merupakan fibroblas terletak di antara serat kolagen stroma. Diduga
keratosit membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam perkem-
bangan embrio atau sesudah trauma.
4. Membran Descement
a. Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang
stroma komea dihasilkan sel endotel dan merupakan membran
basalnya.
b. Bersifat sangat elastik dan berkembang terns seumur hidup,
mempunyai tebal 40 µm.
5. Endotel
Berasal dari mesotelium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar
20-40 pm. Endotel melekat pada membran descement melalui hemi-
desmosom dan zonula okluden.
Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari
saraf siliar longus, saraf nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus
berjalan suprakoroid, masuk ke dalam stroma kornea, menembus
membran Bowman melepaskan selubung Schwannya. Seluruh lapis
epitel dipersarafi sampai pada kedua lapis terdepan tanpa ada akhir
saraf. Bulbul Krause untuk sensasi dingin ditemukan di daerah limbus.
Daya regenerasi saraf sesudah dipotong di daerah limbus terjadi dalam
waktu 3 bulan.
Trauma atau penyakit yang merusak endotel akan mengakibatkan
sistem pompa endotel terganggu sehingga dekompensasi endotel dan
terjadi edema kornea. Endotel tidak mempunyai daya regenerasi.
Kornea merupakan bagian mata yang tembus cahaya dan menutup
bola mata di sebelah depan. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh
kornea, dimana 40 dioptri dari 50 dioptri pembiasan sinar masuk kornea
dilakukan oleh kornea. 1
Gambar 1. Penampang melintang kornea

B. Trauma Tajam Mata


1. Etiologi
Penyebab tersering adalah karena kecelakaan saat bekerja, bermain
dan berolahraga. Luas cedera ditentukan oleh ukuran benda yang
mempenetrasi, kecepatan saat impaksi, dan komposisi benda tersebut,
benda tajam seperti pisau akan menyebabkan laserasi berbatas tegas
pada bola mata.
Luas cedera yang disebabkan oleh benda asing yang terbang
ditentukan oleh energi kinetiknya. Benda tajam seperti pisau akan
menimbulkan luka laserasi yang jelas pada bola mata. Berbeda dengan
kerusakan akibat benda asing yang terbang, beratnya kerusakan
ditentukan oleh energi kinetik yang dimilikinya. Contohnya pada peluru
pistol angin yang besar dan memiliki kecepatan yang tidak terlalu besar
memiliki energi kinetik yang tinggi dan menyebabkan kerusakan mata
yang cukup parah. Kontras dengan pecahan benda tajam yang memiliki
massa yang kecil dengan kecepatan tinggi akan menimbulkan laserasi
dengan batas tegas dan beratnya kerusakan lebih ringan dibandingkan
kerusakan akibat peluru pistol angin.5
2. Patofisiologi
Benda asing dengan kecepatan tinggi akan menembus seluruh
lapisan sklera atau kornea serta jaringan lain dalam bulbus okuli sampai
ke segmen posterior kemudian bersarang didalamnya bahkan dapat
mengenai os orbita. Dalam hal ini akan ditemukan suatu luka terbuka
dan biasanya terjadi prolaps (lepasnya) iris, lensa, ataupun corpus
vitreus. Perdarahan intraokular dapat terjadi apabila trauma mengenai
jaringan uvea, berupa hifema atau henophthalmia. 1
3. Manifestasi Klinis
Trauma yang disebabkan benda tajam atau benda asing masuk ke
dalam bola mata, maka akan terlihat tanda-tanda bola mata tembus,
seperti tajam penglihatan yang menurun, laserasi kornea, tekanan bola
mata rendah, bilik mata dangkal, bentuk dan letak pupil yang berubah,
terlihat ruptur pada kornea atau sklera, terdapat jaringan yang prolaps
seperti cairan mata, iris, lensa, badan kaca, atau retina, katarak
traumatik, dan konjungtiva kemosis.5

Gambar 2. Lokasi cedera mata; tampak depan


Gambar 3. Lokasi cedera mata; tampak samping

Pada perdarahan yang hebat, palpebra menjadi bengkak, berwarna


kebiru-biruan, karena jaringan ikat palpebra halus. Ekimosis yang
tampak setelah trauma menunjukkan bahwa traumanya kuat, sehingga
harus dilakukan pemeriksaan dari bagian-bagian yang lebih dalam dari
mata, juga perlu dibuat foto rontgen kepala. Perdarahan yang timbul 24
jam setelah trauma, menunjukkan adanya fraktur dari dasar tengkorak.
Sebagian besar cedera tembus menyebabkan penurunan penglihatan
yang mencolok, tetapi cedera akibat partikel kecil berkecepatan tinggi
yang dihasilkan oleh tindakan menggerinda atau memalu mungkin
hanya menimbulkan nyeri ringan dan kekaburan penglihatan. Tanda-
tanda lainnya adalah kemosis hemoragik, laserasi konjungtiva, kamera
anterior yang dangkal dengan atau tanpa dilatasi pupil yang eksentrik,
hifema, atau perdarahan korpus vitreus. Tekanan intraokuler mungkin
rendah, normal, atau yang jarang sedikit meninggi.4
4. Berbagai Kerusakan Jaringan Mata akibat Trauma Tembus
Luka akibat benda tajam dapat mengakibatkan berbagai keadaan
seperti berikut:
a. Trauma tembus pada palpebral
Mengenai sebagian atau seluruhnya, jika mengenai levator
apaneurosis dapat menyebabkan suatu ptosis yang permanen .

Gambar 4. Laserasi palpebra

b. Trauma tembus pada saluran lakrimalis


Dapat merusak sistem pengaliran air mata dari pungtum
lakrimalis sampai ke rongga hidung. Hal ini dapat menyebabkan
kekurangan air mata.6
c. Trauma tembus pada Orbita
Luka tajam yang mengenai orbita dapat merusak bola mata,
merusak saraf optik, menyebabkan kebutaan atau merobek otot luar
mata sehingga menimbulkan paralisis dari otot dan diplopia. Selain
itu juga bisa menyebabkan infeksi, menimbulkan selulitis orbita,
karena adanya benda asing atau adanya hubungan terbuka dengan
rongga-rongga di sekitar orbita.6
Gambar 5. Trauma tembus orbita

d. Trauma tembus pada Kongjungtiva


Trauma dapat mengakibatkan robekan pada konjungtiva. Bila
robekan konjungtiva ini kecil atau tidak melebihi 1 cm, maka tidak
perlu dilakukan penjahitan. Bila robekan lebih dari 1 cm perlu
dilakukan penjahitan untuk mencegah granuloma. Pada setiap
robekan conjungtiva perlu diperhatikan juga robekan sklera yang
biasa disertai robekan konjungtiva. Disamping itu, pemberian
antibiotik juga perlu diberikan untuk mencegah infeksi sekunder.6

Gambar 6. Trauma tembus subkonjungtiva

e. Trauma tembus pada Sklera


Bila ada luka tembus pada sklera dapat menyebabkan
penurunan tekanan bola mata dan kamera okuli jadi dangkal, luka
sklera yang lebar dapat disertai prolap jaringan bola mata, sehingga
bisa menyebabkan infeksi dari bagian dalam bola mata. 6
f. Trauma tembus pada Kornea
Bila luka tembus mengenai kornea dapat menyebabkan
gangguan fungsi penglihatan karena fungsi kornea sebagai media
refraksi. Bisa juga trauma tembus kornea menyebabkan iris prolaps,
korpus vitreum dan korpus ciliaris prolaps, hal ini dapat menurunkan
visus.
Bila tanpa perforasi : erosi atau benda asing tersangkut di
kornea. Tes fluoresia (+). Jaga jangan sampai terkena infeksi,
sehingga menyebabkan timbulnya ulkus atau herpes pada kornea.
Lakukan pemberian antibiotika atau kemoterapeutika yang
berspektrum luas, lokal dan sistemik. Benda asing di kornea
diangkat, setelah diberi anastesi lokal dengan pantokain. Kalau mulai
ada neovaskularisasi dari limbus, berikanlah kortison lokal atau
subkonjungtiva. Tetapi jangan diberikan kortison pada luka yang
baru atau bila ada herpes kornea.
Bila ada perforasi : bila luka kecil, lepaskan konjungtiva di
limbus yang berdekatan, kemudian ditarik supaya menutupi luka
kornea tersebut (flap konjungtiva). Bila luka di kornea luas, maka
luka itu harus dijahit. Kemudian ditutup dengan flap konjingtiva.
Jika luka di kornea itu disertai prolaps iris, iris yang keluar harus
dipotong dan sisanya di repossisi, robekan di kornea dijahit dan
ditutup dengan flap konjungtiva. Kalau luka telah berlangsung
beberapa jam, sebaiknya bilik mata depan dibilas terlebih dahulu
dengan larutan penisilin 10.000 U/cc, sebelum kornea dijahit.
Sesudah selesai seluruhnya, berikan antibiotika dengan spektrum
luas dan sistemik, juga subkonjungtiva. 6
Gambar 7. Laserasi kornea

g. Trauma tembus pada Uvea


Bila terdapat luka pada uvea maka dapat menyebabkan
pengaturan banyaknya cahaya yang masuk sehingga muncul
fotofobia atau penglihatan kabur. 6
h. Trauma tembus pada Lensa
Bila ada trauma akan mengganggu daya fokus sinar pada
retina sehingga menurunkan daya refraksi dan sefris sebagai
penglihatan menurun karena daya akomodasi tidak adekuat. 6
i. Trauma tembus pada Retina
Dapat menyebabkan perdarahan retina yang dapat menumpuk
pada rongga badan kaca, hal ini dapat muncul fotopsia dan ada
benda melayang dalam badan kaca. 6
j. Trauma tembus pada corpus siliar
Luka pada corpus siliar mempunyai prognosis yang buruk,
karena kemungkinan besar dapat menimbulkan endoftalmitis,
panoftalmitis yang berakhir dengan ptisis bulbi pada mata yang
terkena trauma. Sedangkan pada mata yang sehat dapat timbul
oftalmia simpatika. Oleh karena itu, bila lukanya besar, disertai
prolaps dari isi bola mata, sehingga mata mungkin tak dapat melihat
lagi, sebaiknya di enukleasi bulbi, supaya mata yang sehat tetap
menjadi baik. 6
5. Diagnosis
Diagnosis trauma tajam okuli dapat ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada
anamnesa, informasi yang diperoleh dapat berupa mekanisme dan onset
terjadinya trauma, bahan/benda penyebab trauma dan pekerjaan untuk
mengetahui penyebabnya. Anamnesis harus mencakup perkiraan
ketajaman penglihatan sebelum dan segera sesudah cedera. Harus
dicatat apakah gangguan penglihatan bersifat progresif lambat atau
berawitan mendadak. Harus dicurigai adanya benda asing intraokuler
apabila terdapat kegiatan memahat, mengasah atau adanya ledakan.
Cedera pada anak dengan riwayat yang tidak sesuai dengan cedera yang
di derita, harus dicurigai adanya penganiayaan pada anak. Riwayat
kejadian harus diarah secara khusus pada detail terjadinya trauma,
riwayat pembedahan okuler sebelumnya, riwayat penyakit sebelumnya
dan energi. 2
Pemeriksaan fisik dimulai dengan pengukuran dan pencatatan
ketajaman penglihatan. Apabila gangguan penglihatannya parah, maka
periksa proyeksi cahaya, diskriminasi dua titik, dan adanya defek pupil
aferan. Periksa motilitas mata dan sensasi kulit periorbita, dan lakukan
palpasi untuk mencari defek ada bagian tepi tulang orbita.7
Pemeriksaan slit lamp juga dapat dilakukan untuk melihat
kedalam cedera di segmen anterior bola mata. Tes fluoresein dapat
digunakan untuk mewarnai kornea, sehingga cedera kelihatan dengan
jelas. Pemeriksaan tonometri perlu dilakukan untuk mnegetahui tekanan
bola mata. Pemeriksaan fundus yang di dilatasikan dengan oftalmoskop
indirek penting untuk dilakukan untuk mengetahui adanya benda asing
intraokuler. Bila benda asing yang masuk cukup dalam, dapat dilakukan
tes seidel untuk mengetahui adanya cairan yang keluar dari mata. Tes
ini dilakukan dengan cara memberi anestesi pada mata yang akan di
periksa, kemudian diuji pada strip fluorescein steril. Penguji
menggunakan slit lamp dengan filter kobalt biru, sehingga akan terlihat
perubahan warna strip akibat perubahan pH bila ada pengeluaran cairan
mata.
Pemeriksaan ct-scan dan USG B-scan digunakan untuk
mengetahui posisi benda asing. MRI kontraindikasi untuk kecurigaan
trauma akibat benda logam. Electroretinography (ERG) berguna untuk
mengetahui ada tidaknya degenarasi pada retina dan sering digunakan
pada pasien yang tidak berkomunikasi dengan pemeriksa. Bila dalam
inspeksi terlihat ruptur bola mata, atau adanya kecenderungan ruptur
bola mata, maka tidak dilakukan pemeriksaan lagi. Mata dilindungi
dengan pelindung tanpa bebat, kemudian dirujuk ke spesialis mata.8
6. Penatalaksanaan Trauma Tembus
Penatalaksanaan pasien dengan trauma tajam mata adalah: 6
a. Penatalaksanaan sebelum tiba di rumah sakit:
1) Mata tidak boleh dibebat dan diberikan perlindungan tanpa
kontak.
2) Tidak boleh dilakukan manipulasi yang berlebihan dan
penekanan bola mata.
3) Benda asing tidak boleh dikeluarkan tanpa pemeriksaan
lanjutan.
4) Sebaiknya pasien di puasakan untuk mengantisipasi tindakan
operasi.
b. Penatalaksanaan di rumah sakit:
1) Pemberian antibiotik spektrum luas.
2) Pemberian obat sedasi, antiemetik, dan analgetik sesuai indikasi.
3) Pemberian toksoid tetanus sesuai indikasi.
4) Pengangkatan benda asing di kornea, konjungtiva atau
intraokuler (bila mata intak).
5) Tindakan pembedahan /penjahitan sesuai dengan kausa dan jenis
cedera.
Keadaan trauma tembus pada mata merupakan hal yang
gawat darurat dan harus segera mendapat perawatan khusus karena
dapat menimbulkan bahaya seperti infeksi, Siderosis, kalkosis dan
oftalmika simpatika.
Pada setiap tindakan harus dilakukan usaha untuk
mempertahankan bola mata bila masih terdapat kemampuan melihat
sinar atau ada proyeksi penglihatan. Bila terdapat benda asing, maka
sebaiknya dilakukan usaha untuk mengeluarkan banda asing
tersebut.
Apabila jelas tampak ruptur bola mata, maka manipulasi
lebih lanjut harus dihindari sampai pasien mendapat anestesia umum.
Sebelum pembedahan jangan diberi obat siklopegik atau antibiotik
topikal karena kemungkinan toksisitas pada jaringan intraokular
yang terpajan. Berikan antibiotik parenteral spektrum luas dan
pakaikan pelindung FOX pada mata. Analgetik, antimiemetik, dan
antitoksin tetanus diberikan sesuai kebutuhan, serta gizi atau nutrisi
yang baik. Sebelum dirujuk mata tidak boleh diberi salep, karena
salep dapat masuk ke dalam mata. Pasien tidak boleh diberikan
steroid lokal, dan bebat yang diberikan pada mata tidak menekan
bola mata.
Pada penutupan luka segmen anterior, harus digunakan
teknik-teknik bedah mikro. Laserasi kornea diperbaiki dengan
jahitan nilon 10-0 untuk menghasilkan penutupan yang kedap air.
Iris atau korpus siliaris yang mengalami inkarserasi dan terpajan
kurang dari 24 jam dapat dimasukkan ke dalam bola mata dengan
viskoelastik atau dengan memasukkan suatu spatula siklodialisis
melalui insisi tusuk di limbus dan menyapu jaringan keluar dari luka.
Apabila hal ini tidak dapat dilakukan, apabila jaringan telah terpajan
lebih dari 24 jam, atau apabila jaringan tersebut mengalami iskemia
dan kerusakan berat, maka jaringan yang prolaps harus dieksisi
setinggi bibir luka. Setiap jaringan yang dipotong harus dikirim ke
laboratorium patologik untuk diperiksa. Dilakukan pembiakan untuk
memeriksa kemungkinan infeksi bakteri atau jamur. Sisa-sisa lensa
dan darah dikeluarkan dengan aspirasi dan irigasi mekanis atau
vitrektomi. Reformasi kamera anterior selama tindakan perbaikan
dapat dicapai dengan cairan intraokuler fisiologis, udara atau
viskoelastik.
Luka sklera ditutup dengan jahitan 8-0 atau 9-0 interupted
yang tidak dapat diserap. Otot-otot rektus dapat secara sementara
dilepaskan dari insersinya agar tindakan lebih mudah dilakukan.
Luka keluar di bagian posterior sklera pada cedera tembus ganda
dapat sembuh sendiri, dan biasanya tidak dilakukan usaha
penutupan.
Bedah vitreoretinal, bila ada luka kornea yang besar, dapat
dilakukan melalui keratoprostesis Landers Foulks temporer sebelum
melakukan penanaman kornea. Enukleasi dan eviserasi primer hanya
boleh dipikirkan bila bola mata mengalami kerusakan total. Mata
sebelah rentan terhadap oftalmika simpatetik bila terjadi trauma
tembus mata terutama bila ada kerusakan di jaringan uvea.
Untungnya, komplikasi ini jarang terjadi.
7. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi setelah terjadinya trauma
tembus adalah endoftalmitis, panoftalmitis, ablasi retina, perdarahan
intraokular dan oftalmia simpatika.
Endoftalmitis dapat terjadi dalam beberapa jam hingga dalam
beberapa minggu tergantung pada jenis mikroorganisme yang terlibat.
Endoftalmitis dapat berlanjut menjadi panoftalmitis.
Oftalmia simpatika adalah inflamasi yang terjadi pada mata
yang tidak cedera dalam jangka waktu 5 hari sampai 60 tahun dan
biasanya 90% terjadi dalam 1 tahun.8 Diduga akibat respon autoimun
akibat terekposnya uvea karena cedera, keadaan ini menimbulkan
nyeri, penurunan ketajaman penglihatan mendadak, dan fotofobia
yang dapat membaik dengan enukleasi mata yang cedera.9
8. Prognosis
Prognosis berhubungan dengan sejumlah faktor seperti visus
awal, tipe dan luasnya luka, adanya atau tidak adanya ablasio retina,
atau benda asing. Secara umum, semakin posterior penetrasi dan
semakin besar laserasi atau ruptur, prognosis semakin buruk. Trauma
yang disebabkan oleh objek besar yang menyebabkan laserasi kornea
tapi menyisakan badan vitreus, sklera dan retina yang tidak luka
mempunyai prognosis penglihatan yang baik dibandingkan laserasi
kecil yang melibatkan bagian posteror. Trauma tembus akibat benda
asing yg bersifat inert pun mempunyai prognosis yang baik. Trauma
tembus akibat benda asing yang sifatnya reaktif magnetik lebih mudah
dikeluarkan dan prognosisnya lebih baik. Pada luka penetrasi, 50-75%
mata akan mencapai visus akhir 5/200 atau lebih baik. 2
9. Pencegahan
Trauma mata dapat dicegah dan diperlukan penerangan
kepada masyarakat untuk menghindari terjadinya trauma mata,
seperti:
a. Trauma tajam akibat kecelakaan lalu lintas tidak dapat dicegah,
kecuali trauma tajam perkelahian.
b. Diperlukan perlindungan pekerja untuk menghindari terjadinya
trauma tajam.
c. Awasi anak yang sedang bermain yang mungkin berbahaya bagi
matanya.
Orang yang menggunakan lensa dari kaca atau plastik yang
sedang bekerja dalam industri atau melakukan aktivitas atletik
memiliki resiko terkena pecahan fragmen lensa. Kaca mata yang
paling efektif untuk mencegah cedera terdiri dari lensa polikarbonat
dalam rangka poliamida dengan tepi penahan di posterior. Sebaiknya
digunakan bingkai pada wraparound (bukan bingkai berengsel) karena
lebih dapat menahan pukulan dari samping. Pada atletik atau aktivitas
rekreasi beresiko tinggi (misalnya perang-perangan dengan peluru
hampa atau cat), pelindung mata tanpa lensa tidak selalu melindungi
mata secara adekuat. Perlindungan mata yang sesuai terutama
diindikasikan bagi mereka yang bermain bola raket, bola tangan, dan
squash. Banyak kebutaan yang terjadi akibat olah raga ini, terutama
akibat trauma kontusio pada mata yang tidak terlindung dengan baik.3

C. Trauma Kornea
1. Laserasi Kornea
Laserasi korena terjadi ketika kornea tersayat, seringkali oleh
benda tajam, meninggalkan defek yang parsial maupun full thickness. Di
antara cedera-cedera kornea, laserasi kornea adalah cedera yang paling
parah dikarenakan komorbiditas yang berhubungan dengan cedera
intraokular lebih lanjut. Untuk anak-anak, laserasi kornea merupakan
sebab tersering ambliopia dan morbiditas okular. Diperkirakan 86% luka
peneterasi terjadi pada pria. Luka full thickness muncul dengan beberapa
tantangan oleh karena peningkatan resiko infeksi intraokular dan sering
dibutuhkannya pembedahan repair segera.
Kunci dalam pemeriksaan laserasi kornea adalah menentukan
apakah luka parsial ataukah full thickness, dan juga penentuan apakah ada
perluasan dari luka lain. Kedalaman bilik anterior dapat membantu
menentukan apakah terdapat kebocoran. Tes Seidel yang positif dapat
mengindikasikan laserasi full thickness, akan tetapi hasil negatif tidak
dapat mengeliminasi full thickness oleh karena kemampuannya untuk self-
healing. Seketika laserasi full thickness telah tegak, CT Scan mata harus
dipertimbangkan untuk mengesampingkan adanya benda asing kornea.
Laserasi full thickness pada mata akan sulit untuk dinilai ketika deformasi
anatomi signifikan terjadi.
Pasien seringkali memerlukan obat pengontrol nyeri lokal dan
sistemik dan obat antiemetik untuk mencegah muntah dan peningkatan
tekanan intraokular secara tidak sengaja. Laserasi kornea nonpenetrasi
dapat ditalaksana dengan cara tata laksana benda asing. Antibiotik topikal
yang diberikan adalah spektrum luas. Laserasi yang non penetrating dan
mempunyai beberapa tingkatan avulsi seharusnya di direapproximasi dan
lem fibrin dapat diletakkan diatasnya untuk stabilisasi defek. Jika hal ini
tidak dapat dilakukan tanpa merusak kornea, maka tutup laserasi kornea
ditutup secara beda. Pada umumnya, luka lebih kecil (1-22 mm) dapat
ditutup dengan lem fibrin. Begitu pula dengan pasien yang mempunyai
lensa kontak lens setelah lem kering. Jika penjahitan diperlukan, 10-0
jahitan dipilih dan mempunyai resiko dan membutuhkan ketelitian tinggi
dalam penilaian kembali dari kornea dengan memperhatikan kedalaman
lapisan yang dijahit untuk menghindari tumpang tindih kornea dan
kebocoran berulang. Pasien yang mempunyai astigmatisme dari deformitas
kornea pada akhirnya membutuhkan rigid gaspermeable contact lenses
untuk mengkoreksi astigmatisme atau transplantasi kornea.
Laserasi kornea yang full thickness harus ditatalaksana seperti
ruptur bola. Inspeksi seksama pada mata sebaiknya fokus pada penentuan
cedera intraokular lebih lanjut termasuk didalamnya komunikasi
ekstraokular yang mungkin menyebabkan sumber infeksi. Seluruh
intervensi yang memberikan tekanan pada mata seperti aplanasi dan B-
scans I harus diminalisir untuk menghindari pengeluaran konten
intraokular. Pasien dengan ruptur bola mata memerlukan pemberian
antibiotik sistemik dan load spectrum dengan profilaksis tetanus.
Bedah repair tergantung pada luasnya kerusakan. Berbagai studi
telah menunjukkan bahwa reparasi laserasi, pencabutan katarak dan
inplantasi okular pada bilik posterior dapat dilakukan untuk secara
simultan dengan repair primer pada pasien dengan cedera yang stail.
Adapun bagi anak - anak, teurtama usia 7 tahun, fokus
penatalaksanaan pada tatalaksana agresif untuk mencegah ambliopia.
Penatalaksanaan yang ditemukan untuk pencegahan ambliopia termasuk di
dalamnya prompt-porotic termasuk didalamnya katarak oleh karena
trauma. Akuitas personal 20/200 atau lebih atau lebih baik dengan
prediktor yang biasa saja. Visus awal 20/200 atau lebih adalah prediktor
untuk hasil yang baik dengan 95% pasien mempunyai visus akhir 20/60
atau lebih.
2. Cedera Termal dan UV
Cedera termal dapat terjadi pada kornea saat kontak langsung
dengan api atau dengan objek panas atau cairan yang sering bersifat
proyektil. Identifikasi dini cedera termal pada mata adalah kunci
keberhasilan manajemen.10 Untungnya, luka bakar dari api sering dihambat
oleh kemampuan kelopak mata untuk cepat menutup dan memberikan
insulasi serta fenomena Bell jika ada. Luka bakar ini sering terjadi ketika
ada sumber panas eksplosif atau yang proyektil di alam ketika pasien tidak
memiliki cukup waktu untuk memulai refleks berkedip. Dalam kasus ini,
mencegah cedera lebih lanjut akibat dari kekuatan mekanik dan benda
asing adalah yang paling penting.
Etiologi cedera bakar kornea adalah industri di asal dengan
penggunaan solder dan besi panas, atau dari rumah melalui memasak, alat
pengeriting rambut dan kembang api. Cedera ini sering terjadi secara
unilateral. Pada anak-anak, sumber-sumber cedera panas adalah serupa
tetapi dengan insiden yang lebih besar dari kembang api dan makanan
yang dihangatkan dan cairan dari microwave, umumnya telur. 11 Barang-
barang termal rumah tangga umum seperti curling iron cenderung tidak
proporsional mempengaruhi anak-anak juga.12 Kasus-kasus ini cenderung
self-limiting dengan resolusi gejala 48 jam setelah onset dengan
penggunaan debridemen, antibiotik topikal, cycloplegia, dan penambalan
tekanan.
Sinar UV juga bisa menjadi sumber trauma pada kornea, meskipun
kerusakan pada kornea biasanya kecil dengan resolusi cepat. Cedera ini
sering bilateral dan terjadi dari sinar matahari, lampu tanning, dan busur
las. Hasil kerusakan UV akut pada keratitis pungtata dan kemosis
konjungtiva biasanya 6–12 jam setelah pajanan. Hasil de-epitelisasi pada
pasien mengalami nyeri, robek, dan blepharospasm, tetapi biasanya self-
limiting dengan re-epitelisasi yang terjadi lebih cepat daripada cedera
termal atau kimia. Pasien dapat diobati secara simtomatik dengan lubrikan
dan patch.
3. Cedera Kimia
Cedera kimia pada mata merupakan sumber umum kebutaan yang
didapat. Jenis cedera ini lebih sering terjadi pada pria dibandingkan wanita
dengan rasio hampir 5: 1, sering kali cedera ini terjadi dalam industri.
Cedera ini cenderung terjadi pada pasien muda, usia 21-30, yang biasanya
tidak berpengalaman dengan menggunakan bahan kimia dan tidak
menggunakan alat pelindung yang tepat. Mengingat usia muda sebagian
besar pasien ini, meminimalkan kecacatan jangka panjang adalah hal yang
sangat penting. Dalam semua kasus, perawatan langsung dengan irigasi
harus mendahului penggalian riwayat dan pemeriksaan fisik. Studi
menunjukkan bahwa 42% dari cedera adalah bilateral sehingga perawatan
yang tepat dari mata lainnya juga harus dipertimbangkan jika bahkan ada
kecurigaan kecil dari keterlibatan bilateral. 13 Cedera alkali cenderung lebih
parah daripada cedera asam karena alkali bersifat hidrofilik dan lipofilik,
menyebabkannya cepat mengikat dan menembus permukaan okular, serta
menetap di daerah periokular.
1) Cedera asam
Cedera asam cenderung terjadi di tiga tempat utama: laboratorium,
industri, dan rumah. Asam yang paling umum terlibat dalam cedera
dalam urutan prevalensi adalah asam sulfat, nitrat, hidroklorik, dan
oksalat. Asam yang paling parah adalah asam fluorida karena
kemampuannya untuk menembus stroma dan dari kerusakan
tambahan ion fluoride. Baterai mobil eksplosif adalah sumber besar
cedera asam sulfat dalam populasi. Cedera eksplosif ini cenderung
menimpa mereka dengan paparan yang meningkat seperti mekanik
dan teknisi dan dapat dipersulit oleh trauma tumpul atau tembus;
kecelakaan ini umumnya dihindari dengan penggunaan tindakan
pencegahan yang tepat.
Ketika asam bersentuhan dengan permukaan kornea, penetrasi
diperlambat dalam stroma karena asam cenderung untuk mengikat
protein dari epitel kornea dan kolagen dari stroma yang menyebabkan
pengendapan protein dan denaturasi. Model eksperimental pada
kelinci telah menunjukkan bahwa pengikatan kolagen ini dapat
menyebabkan penyusutan kornea luar dan secara transien
meningkatkan tekanan intraokular. Kerusakan lebih lanjut pada limbus
dan bilik anterior menghasilkan prognosis yang lebih buruk.
Kerusakan yang cukup parah saat menembus kornea dapat
menyebabkan glaukoma sekunder dan katarak. Kerusakan sel-sel
induk limbal tidak memungkinkan kornea untuk kembali epitelisasi
dan menghasilkan konjungtivalisasi korona, vaskularisasi, peradangan
kronis, dan defek.14
2) Cedera alkali
Cedera alkali cenderung jauh lebih parah daripada cedera asam karena
sifat lipofilik mereka dan kemampuan mereka menembus mata. Proses
saponifikasi juga terjadi ketika ion hidroksil yang terdisosiasi bekerja
pada sel-sel membran yang menyebabkan destruksi seluler. Alkali
cenderung menjadi sumber cedera yang lebih umum dibandingkan
dengan asam. Di antara alkali, natrium hidroksida, kalsium hidroksida,
dan amonium hidroksida adalah yang paling umum dalam urutan
prevalensi cedera. Cedera alkali cenderung berasal dari plester, alkali,
kapur, semen, amonia, dan agen pembersih. Magnesium hidroksida,
yang merupakan bahan aktif dalam kembang api dapat menyebabkan
cedera termal dan alkali. Karena agen ini cenderung kering,
menggunakan ujung kapas untuk awalnya mengangkat produk kering
dari mata sebagai tindakan awal banyak dilakukan sebelum irigasi.15
4. Abrasi Kornea
Abrasi kornea adalah salah satu keluhan pasien yang paling sering,
yaitu 24,3% dari keluhan pasien oftalmologi yang datang ke instalasi
gawat darurat. Hal ini terjadi ketika epitel kornea rusak oleh karena
berbagai macam luka. Seperti halnya luka mata lainnya, luka ini lebih
sering terjadi pada tempat kerja atau ketika aktivitas olahraga. Etiologi
yang sering antara lain oleh karena kuku jari, alat-alat olah raga, alat make
up, dan airbag. Adapun pada anak-anak, etiologi paling sering
dikarenakan oleh kuku jari tangan anak maupun orang tua yang bermain
dengan anak tersebut. Airbag dapat mengakibatkan abrasi kornea oleh
karena trauma tumpul dengan energi yang besar pada saat proses
terjadinya. Pada kejadian di rumah sakit, abrasi kornea dapat terjadi lebih
sering pada pasien yang tidak sadar yang berada di ICU atau pasien yang
menjalani bedah non-mata. Pasien datang dengan keluhan nyeri, rasa
terobek, pandangan kabur, fotofobia, mata merah, dan sensasi benda asing.
Sering kali luka ini juga disertai dengan laserasi kornea dan adanya benda
asing seperti pada trauma mekanik. Prognosis tergantung pada besar dan
dalamnya luka serta keterlibatan lapisan Bowman
Pemeriksaan untuk luka seperti ini meliputi investigasi mengenai
mekanisme trauma. Trama dengan energi tinggi seperti airbag, proyektil
dan pukulan harus menjadi perhatian bagi seorang dokter untuk mencari
dampak okular maupun non okular. Dikarenakan nyeri yang berat serta
fotofobia oleh karena abrasi, pemeriksaan harus dimulai dengan
penggunaan tetes mata anestesi seperti tetracaine atau proparacaine.
Anestesi topikal tidak boleh diberikan pada pasien rawat jalan. Abrasi akan
terlihat oleh mata telanjang dan dapat terlihat adanya penurunan refleks
cahaya. Pemeriksa dapat menggunakan tetes fluorescein untuk melihat
demarkasi dari abrasi. Seluruh pasien wajib dilakukan pemeriksaan
oftamologi lengkap untuk menyingkirkan kerusakan lainnya terutama pada
bilik anterior dan retina. Tes Seidel dapat digunakan untuk menentukan
apakah adanya kebocoran pada bilik anterior.
Mayoritas pasien dengan abrasi kurnia memerlukan terapi
antibiotik untuk menurunkan resiko kertatitis mikrobial. Antibiotik topikal
seperti fluoroquinolon, yang merupakan spektrum luas dan anti
pseudomonas, harus dimulai sesegera mungkin. Penutupan area pada
abrasi korena pernah menjadi standar penatalaksanaan, akan tetapi
kemudian dirubah pada tahun 1990an. Sebuah meta analysis review,
menyimpulkan bahwa abrasi kecil tidak memerlukan perban mata pada
hari pertama dan perban mata tidak mengurangi tingkat nyeri atau
mempercepat penyemnbuhan. Perban mata bahkan dapat menyebabkan
pandangan mononokular yang akan menjadi masalah lebih lanjut dan
ketidaknyamanan pada pasien. Alternatif yang baik adalah penggunakan
lensa kontak. AINS topikal seperti diklofenak terbukti aman dan efektif
untuk menangani nyeri tanpa memperlambat proses penyembuhan. AINS
topikal juga dapat mencegah penggunakan analgesik dan obat narkotik per
oral. Siklopegik dapat digunkan pula untuk mengontrol nyeri pada defek
yang lebih besar. Mayoritas defek biasanya sembuh pada 24 jam,
sedangkan sisanya akan hilang pada 48 jam. Rekuren erosi kornea dapat
menyebabkan abrasi kornea yang tidak diinginkan. Diperkirakan 40% dari
rukuren erosi kornea adalah disebabkan oleh trauma. Hal ini dapat terjadi
walaupun dengan tatalaksana yang adekuat dan dapat memberikan nyeri
okular pada pasien saat bangun, rasa sobek, ketidaknyamanan dan sensasi
benda asing setelah luka yang pertama.13
5. Benda Asing Kornea
Benda asing kornea biasanya terjadi ketika proyektil kecil
berkecepatan tinggi mengenai kornea. Luka ini sering ini sering terjadi di
tempat kerja pada pekerja di bidang logam dan pasien yang menggunakan
alat listrik. Mayoritas pasien adalah pria dengan riwayat tidak
menggunakan alat pelindung mata. Hal yang menarik, sebuah studi yang
dilakukan di Australia menemukan 45% pasien dengan benda asing logam
di kornea telah menggunakan pelindung mata. Akan tetapi belum jelas
bagaimana mekanisme cedera apakah karena kegagalan alat pelindung
mata dalam melindungi ataukah karena cara penggunaannya yang kurang
tepat. Secara luas, benda asing dapat dikategorikan menjadi 2 macam yaitu
organik dan inorganik. Prevalensi dari kedua kategori tersebut seringkali
bedasarkan lokasi dari rumah sakit atau klinik dengan industri. Di sisi lain,
mayoritas benda asing adalah logam. Benda asing organik dapat
mempunyai risiko infeksi yang lebih tinggi dikarenakn mereka lebih
mungkin untuk membawa bakteri dan jamur. Adapun benda asing
inorganik seperti kaca, batuan, plastik dan beberapa logam seringkali tidak
menginisiasi inflamasi. Beberapa logam seperti besi dan tembaga dapat
menyebabkan masalah dikarenakan proses oksidasi (karat) dan
kemampuan untuk menginisasi inflamasi. Benda asing logam dapat
mempunyai kemungkinan untuk infeksi dikarenakan mereka dalam
keadaan dipanaskan ketika menjadi proyektil. Secara keseluruhan,
sebagian besar luka benda asing tidak berbahaya dan tidak dihubungkan
dengan morbiditas yang signfikan. Di sebuah studi mencakup 288 pasien
dengan benda asing korena yang superfisial, hanya 1 pasien yang berupa
laserasi kornea yang kontaminan.
Pasinen dengan benda asing kornea biasanya datang dengan nyeri,
rasa adanya benda asing, rasa sobek, mata merah dan terkadang adanya
fotopobia. Ketka pasien datang dengan keluhan pandangan kabur, hal ini
tergantung oleh benda asing yang terletak pada aksis visual. Pemeriksaan
fisik harus fokus pada eliminasi kerusakan intraokluar dan kerusakan
okular lebih lanjung. Jika pemeriksaan radiologis perlu dilakukan, MRI
tidak boleh dilakukan jika dicuragai benda asing logam. Seperti abrasi
kornea, fluorescein dapat membantu batas dari kerusakan. Tes Seidel dapat
dilakukan untuk melihat apakah ada kebocoran pada bilik anterior.
Anestesi topikal dapat diberikan pada awal pemeriksaan untuk
meningkatkan kenyamanan dan kepatuhan pasien saat diperiksa dan
dilakukan tindakan pengeluaran.
Penatalaksanaan harus fokus pada pengeluaran benda asing tanpa
merusak struktur sekitarnya. Seringkali benda asing inorganik dapat
dibiarkan menetap secara aman jika terdapat kesulitan untuk
mengeluarkan, jika tidak ada gangguan penglihatan dan rendah dari risiko
inflamasi dan infeksi. Benda asing besi seringkali perlu dikeluarkan
sesegera mungin dikarenakn kemampuannya membentuk cincin karat.
Pemilihan intervensi berdasarkan tipe benda asing dan kedalamannya.
Cotton bud dapat digunakan jika benda asingnya sangat superfisial,
walaupun hal ini dapat menyebabkan abrasi kornea pada akirnya jika tidak
dilakukan dengan hati-hati. Jarum hypordermic gauge kecil dapat
dibengkokkan pada ujungnya dan digunakan untuk mencongkel benda
asing. Jika ujung jarung dibengkkan maka harus dilakukan dengan cara
yang steril yaitu dengan memasukkan jarum pada jarum lain kemudian
dibengkokkan 90 derajat. Ketika menggunakan jarum, baik pasien maupun
dokter harus dalam posisi yang optimal untuk kestabilan dan keamanan.
Cincin karat juga dapat ditatalaksana sebagaimana benda asing dan dapat
dihilangkan dengan bor atau jarum dan harus dilakukan dengan hati-hati
untuk menghindari defek epitelial yang lebih besar dari yang semestinya.
Pasien juga harus mendapatkan terapi antrimikroba, diperkirakan
14% benda asing positif mikroba pada hasil kultur, dengan coagulase-
ngative Staphylococcus sebagai patogen terbanyak. Terapi antimikroba
harus dengan spektrum luas seperti fluoroquinolon. Keratitis fungal,
walaupun jarang pada benda asing, juga perlu dipertimbangkan ketika
infeksi terus terjadi walaupun telah dilakukan terapi antimikroba, terutama
pada benda asing organik. Tidak terdapat bukti yang mendukung
penggunaan profilaksis tetanus rutin pada cedera okular nonpenetrasi.
Seperti pada abrasi kornea, penggunaan perban mata menjadi pertanyaan
dikarenakan belum ditemukannya manfaat pada penyembuhan. Dalam
sebuah studi yang meneliti tentang cedera benda asing nonkomplikata
menyebutkan bahwa pasien dengan benda asing kornea yang tidak
menggunakan kontak lensa dan benda asing terletak diluar aksis visual,
mereka mempunyai lama waktu resolusi defek epitelial sebanyak 4 hari. 13

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan oftalmologi, pasien didiagnosa
dengan OD laserasi kornea full thickness.

B. Saran
1. Melakukan medikasi dan kontrol post operasi tepat waktu
2. Mencuci tangan terlebih dahulu sebelum memberikan obat tetes atau salep
mata serta meggunakan obat dengan tepat dan teratur
3. Menjaga kebersihan mata agar tidak terjadi infeksi
4. Mencegah anak untuk tidak mengucek mata
DAFTAR PUSTAKA

1. Asbury, Taylor. Trauma Mata. Dalam: Vaughan. Oftalmologi Umum Edisi


XVII. Jakarta: Widya Medika. 2008; 373-80.
2. Ilyas, Sidarta. Ilmu Penyakit Mata edisi ketiga. FK-UI, Jakarta: 2004; 192-8.
3. Peate, W. F, Work Related Eye Injuries And Illness. Available at:
www.aafp.org. February 17, 2012.
4. Khun F, Piramici J Dante. In : Emergensi Management Of Trauma Ocular,.
Department of OphthalmologyUniversity of Pécs. Hungary. 2002; 71-86.
5. Indiana University. Traumatic Cataract. Available at:
http://www.opt.indiana.edu/NewHorizons/Graphics/Tray2/Slide07. February
15, 2012.
6. Rodriguez, Jorge. Prevention And Treatment Of Common Eye Injuries In
Sport. Available at: www.aafp.org. February 17, 2012.
7. Webmaster. Traumatic Cataract. Available
at:http://img.medscape.com/pi/emed/ckb/ophthalmology. February 18, 2012.
8. Chew, Chris. Trauma. Dalam : James. Lecture Notes : Oftalmologi. Jakarta:
Erlangga. 2006; 176 – 85.
9. Edward SH Eye Institute. Digital Reference of Ophthalmology-Traumatic
Cataract. Available at: http://dro.hs.columbia.edu/lc2/soemmeringb. February
18, 2012.
10. Bouchard CS, Morno K, Perkins J, et al. Ocular complications of thermal
injury: a 3-year retrospec- tive. J Trauma. 2001;50(1):79–82.
11. Ratnapalan S, Das L. Causes of eye burns in children. Pediatr Emerg Care.
2011;27(2):151-6.
12. Qazi K, Gerson LW, Christopher NC, et al. Curling iron-related injuries
presenting to U.S. emergency departments. Acad Emerg Med. 2001;8(4):395–
7.
13. Rafailov L, Lazzaro DR. Corneal Trauma. InTextbook of Ocular Trauma
2017 (pp. 5-15). Springer, Cham.
14. Arora R, Mehta D, Jain V. Amniotic membrane transplantation in acute
chemical burns. Eye (Lond). 2005;19(3):273–8.
15. Eslani M, Baradaran-Rafii A, Movahedan A, Djalil- ian AR. The ocular
surface chemical burns. J Oph- thalmol. 2014;2014:196827.

You might also like