You are on page 1of 40

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sepsis merupakan suatu Systemic Inflammation Respon Syndrome (SIRS) yang

terjadi karena adanya suatu infeksi. Sedangkan urosepsis didefinisikan sebagai

sepsis (sindrom septikemia) yang disebabkan oleh adanya infeksi pada saluran

kemih. Urosepsis merupakan bagian dari sepsis yang tingkat keparahannya

tergantung pada respon host. Sepsis berkaitan dengan suatu respon imun yang

berlebihan yang dimiliki oleh tubuh terhadap suatu infeksi (Sugimoto et al., 2013;

Tongdagdu et al., 2016).

Angka kematian kasus sepsis berat dan syok septik yang telah dilaporkan

yaitu 28-41% (Martin et al, 2000) dimana secara signifikan sumber infeksi berasal

dari saluran kemih dengan kasus sepsis berat 9% dan syok septik 31% (Levy et al,

2012). Sama halnya dengan sindrom sepsis lainnya, urosepsis berkembang dari

infeksi saluran kemih (ISK) yang memiliki mortalitas dan morbiditas yang tinggi.

Faktor risiko utama yang mendasari terjadinya urosepsis adalah obstruksi saluran

kemih seperti pada kasus batu, striktur uretra, atau kelainan kongenital. Intervensi

pada saluran kemih serta tindakan biopsi prostat juga dapat menyebabkan urosepsis.

Penelitian pada rumah sakit di Amerika setiap tahun lebih dari 700.000 pasien

sepsis dengan angka kematian mencapai 35-45% (Saraswati, 2012). Mortalitas

urosepsis mencapai 20-49% bila disertai dengan syok. (Harrison et al, 2006).

Menurut Surviving Sepsis, kematian sepsis pada ICU sebesar 31,1%, dan kematian

1
2

sepsis yang terjadi di rumah sakit sebesar 39,8% (Martin et al, 2003). Pasien yang

lebih rentan mengalami urosepsis yaitu pasien usia lanjut, penderita diabetes, pasien

immunosupresif (penerima transplantasi ginjal), pasien kemoterapi kanker, dan

AIDS (Angus, et al 2001).

Mikroorganisme penyebab infeksi primer di traktus urinarius yaitu golongan

kuman koliform gram negatif seperti Eschericia coli (50%), Proteus spp (15%),

Klebsiella (15%), Enterobacter (15%), Pseudomonas aeruginosa (5%), dan Bakteri

gram positif, tetapi frekuensinya lebih kecil yaitu sekitar 15%. Gejala klinik pada

pasien urosepsis antara lain: demam, menggigil, takipnea, takikardi, terdapat

bakteri di dalam urin dan darah (bakterimia) (Harrison et al, 2006).

Pada umumnya terapi yang digunakan untuk pengobatan urosepsis yaitu golongan

aminoglikosida (gentamicin, tobramycin atau amikacin), golongan ampicilin (yang

dikombinasikan dengan clavulanat acid atau sulbactam), sefalosporin generasi

ketiga, dan golongan flourokuinolon. Tujuan pemberian antibiotika secara empirik

adalah eradikasi atau penghambatan dari pertumbuhan bakteri yang diduga sebagai

penyebab infeksi, sebelum diperoleh hasil dari pemeriksaan mikrobiologi (Soreng

et al, 2011).

Prokalsitonin adalah suatu prohormon kalsitonin yang terdapat dalam tubuh

manusia. Pada sepsis, peningkatan kadar prokalsitonin dalam darah memiliki nilai

yang bermakna yang dapat digunakan sebagai biomarker sepsis (Soreng et al,

2011). Dibandingkan dengan biomarker sepsis lainnya, misalnya CRP,

prokalsitonin lebih sensitif dan kadarnya yang paling cepat naik setelah terjadi

paparan infeksi. Pada penelitian yang telah dilakukan pada bayi prematur, umur dan

2
3

jenis kelamin tidak memiliki kaitan yang signifikan pada kenaikan kadar

prokalsitonin pada sepsis. Dalam penelitian lain, tingkat invasi mikroorganisme

pada sepsis 17 memberikan korelasi yang seirama dengan kenaikan kadar

prokalsitonin darah (Jose et al, 2008).

Pemberian terapi antibiotik yang sesuai akan menurunkan kadar prokalsitonin pada

sepsis, tetapi pemberian antibiotik yang tidak sesuai akan menaikkan kadarnya

(Christ-Crain et al, 2008). Seseorang dikatakan sepsis jika dalam kultur darahnya

ditemukan biakan mikroorganisme pathogen (Koneman et al, 2008). Akan tetapi,

sebagian besar kultur darah, yaitu 30 sampai 50% yang dilakukan pada pasien

sepsis, memberikan hasil negative (Bernard et al, 2001). Dibandingkan dengan

prokalsitonin, kultur darah memerlukan waktu yang lebih lama untuk

pemeriksaannya.

Pada penelitian yang ada sebelumnya telah dilakukan pemeriksaan

prokalsitonin pada pasien sepsis sesuai berat ringan stadium klinisnya (sepsis,

sepsis berat, syok sepsis), umur, jenis kelamin, maupun pengaruh pemberian

antibiotik terhadap prokalsitonin. Pada penelitian ini akan dihubungkan antara

kadar prokalsitonin dengan hasil kultur pada pasien urosepsis di Rumah Sakit

Umum Pusat H. Adam Malik Medan.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini

adalah bagaimana hubungan kadar prokalsitonin dengan hasil kultur pada pasien

urosepsis di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan.

3
4

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan kadar prokalsitonin dengan hasil kultur pada pasien

urosepsis di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan.

1.3.2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui kadar prokalsitonin pada pasien urosepsis di Rumah Sakit

Umum Pusat H. Adam Malik Medan

2. Untuk mengetahui hasil kultur pada pasien urosepsis di Rumah Sakit Umum

Pusat H. Adam Malik Medan.

3. Untuk mengetahui pola kuman berdasarkan kadar prokasitonin pada pasien

urosepsis di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk :

1. Bagi klinisi, untuk memberikan data sehingga para klinisi dapat memberikan

penanganan komprehensif pada penderita Urosepsis di RSUP H. Adam Malik

Medan.

2. Bagi peneliti, untuk memberikan data bagi para peneliti selanjutnya untuk

pengembangan penelitian tentang hubungan kadar prokalsitonin dengan hasil kultur

pada pasien urosepsis.

4
5

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sepsis dan Urosepsis

2.1.1 Definisi

Menurut Kamus Kedokteran Dorland, sepsis adalah adanya mikroorganisme

pathogen atau toksinnya di dalam darah atau jaringan lain. Dalam buku tersebut,

sepsis juga bisa disebut sebagai septikemia. Septikemia merupakan penyakit

sistemik yang disertai dengan adanya mikroorganisme dan toksinnya bertahan di

dalam darah. Septikemia ini dapat disebut juga blood poisoning. Bakteremia adalah

semua kondisi dimana didapatkannya bakteri di dalam darah (Saraswati, 2012)

Gambar 1. Sepsis berkembang sebagai gabungan inflamasi sistemik dan infeksi

(Soreng et al., 2011)

Sepsis merupakan suatu Systemic Inflammation Respon Syndrome (SIRS)

yang terjadi karena adanya suatu infeksi. Sedangkan urosepsis didefinisikan

sebagai sepsis (sindrom septikemia) yang disebabkan oleh adanya infeksi pada

saluran kemih dan respon sistermik terhadap infeksi (Wagenlehner et al., 2013).

5
6

Urosepsis merupakan bagian dari sepsis yang tingkat keparahannya tergantung

pada respon host (Saraswati, 2012 dan Tongdagdu, 2016). Faktor resiko tersering

terjadinya urosepsis adalah obstruksi saluran kemih yang disebabkan oleh batu,

striktur uretra, kelainan kongenital, intervesi pada saluran kemih dan biopsi prostat

(Tandogdu, 2016).

Kriteria sepsis dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 1. Kriteria sepsis (Saraswati, 2012)

6
7

2.1.2 Patofisiologi sepsis

Sepsis merupakan hasil interaksi diantara mikroorganisme dan produk mereka

dengan host factor yang melepaskan suatu respon terhadapnya (sitokin dan

mediator lainnya). Respon host ini menginisiasi mekanisme perlindungan terhadap

tubuh, akan tetapi dalam hal sepsis ini, respon tubuh yang diberikan sangat

berlebihan, dengan efek yang negatif, yang dapat menimbulkan disfungsi organ dan

tidak jarang pula menimbulkan suatu kematian. Amplitudo mekanisme

perlindungan ini tergantung pada jumlah mikroorganisme yang menginvasi, tetapi

sepertinya yang memiliki peran penting dalam hal ini adalah variasi genetik

interindividual seseorang terhadap respon inflamasi (Saraswati, 2012). Biasanya

respon inflamasi tersebut muncul dengan adanya trauma, operasi, kulit yang

terbakar, iskemi, inflamasi aseptik ataupun penyebab yang lain yang distimulasi

oleh adanya bakteremia maupun penyebab infeksi yang lain. Jika ada replikasi

mikroorganisme pathogen yang kemudian tersebar ke dalam darah dari sumber

infeksi lokal maka disebut septicemia (Soreng et al., 2011).

Stimulus untuk mengaktifkan respon host terhadap invasi mikroorganisme

adalah adanya mikroorganisme itu sendiri maupun adanya produk yang mereka

hasilkan: endotoksin (bakteri gram negatif), peptidoglikan, asam liphoteicoic

(bakteri gram positif) atau toksin bakteri yang spesifik. Produk microbial ini

mempromosikan macam-macam efek dan reaksi yang berbeda pada system tubuh.

Dua perubahan penting yang dihasilkan adalah pelepasan sitokin dari sistem

inflamatori dan abnormalitas koagulasi (aktivasi koagulasi, inhibisi fibrinolisis,

aktivasi platelet) (Saraswati, 2012).

7
8

Gambar 2. Patofisiologi sepsis (Saraswati, 2012).

Perubahan-perubahan tersebut dihasilkan dari adanya kaskade inflamatori dan

kaskade koagulasi (Saraswati, 2012). Kaskade infamasi diinisiasi oleh pelepasan

sitokin, sedangkan kaskade koagulasi diinisiasi oleh adanya faktor Hageman

(Saraswati, 2012). Sepsis muncul sebagai gejala klinis yang kompleks.

Patogenesisnya disebabkan oleh adanya sitokin sebagai zat pro- dan anti- inflamasi

sebagai respon tubuh terhadap suatu serangan mikroorganisme pathogen (Soreng,

2011).

8
9

Gambar 3. kaskade inflamatori (Martin et al., 2003)

Kaskade inflamatori mengilustrasikan keseimbangan antara kelompok

proinflammatory (SIRS) dan anti inflammatory (CARS). TNF=tumor necrosis

factor; IL=interferon; PAI=plasminogen activator inhibitor. Sitokin proinflamasi

diwakili oleh tumor necrosis factor (TNF), interleukin (IL-1, IL6 dan IL-8). Sitokin

ini meningkatkan adhesi sel endotel leukosit, menginduksi pelepasan kedua

protease dan metabolit asam arakidonat dan mengaktifkan kaskade koagulasi.

Sitokin anti-inflamasi yaitu IL-10, reseptor TNF dan IL-1 reseptor antagonis (IL-1

ra). Mereka menyediakan mekanisme umpan balik negatif untuk reaksi inflamasi

9
10

dan koagulasi, mengenali kompensasi sindrom anti-inflamasi (CARS) dengan

menghambat TNF, IL-6, limfosit-T dan fungsi makrofag, ketika mengaugmentasi

aksi kedua reaktan fase akut dan imunoglobulin.

Jika terjadi ketidakseimbangan antara SIRS dan CARS, homeostasis akan

terganggu. Jika SIRS lebih dominan, mungkin akan terjadi sepsis/sepsis berat/syok

septik. Jika CARS lebih mendominasi, maka sistem kekebalan tubuh akan tertekan,

yang akan mengakibatkan pasien rentan terhadap infeksi yang mengancam jiwa.

Pada akhirnya, mungkin akan terjadi hipoperfungsi organ utama, hasil akhirnya

adalah multiple organ dysfunction syndrome (MODS).

Dalam sepsis, mekanisme yang menjadi kunci terjadinya pathogenesis

sepsis adalah inflamasi dan kelainan dari sistem koagulasi. Di sini yang dimaksud

abnormalitas sistem koagulasi adalah adanya peningkatan koagulasi dan penurunan

fibrinolisis (Saraswari, 2012).

Gambar. 4 Hemostasis tubuh pada Sepsis (Saraswati, 2012).

Tissue factor (TF), terpapar pada permukaan sel endotel setelah distimulasi oleh

endotoksin atau mediator proinflamasi tertentu (termasuk TNF, IL-1, IL-6,

10
11

trombosit mengaktifkan faktor-PAF dll) mengaktifkan jalur koagulasi ekstrinsik,

sehingga terjadi pelepasan trombin dan konversi fibrinogen menjadi fibrin.

Adapun mekanisme antikoagulan yang memastikan pembatasan koagulasi, yaitu:

a. Mekanisme antikoagulasi

 Tissue factor pathway inhibitor (TFPI)

 Antitrombin: membatasi aktivasi trombin dan faktor X

 Activated C-Protein: blok regenerasi trombin

b. Mekanisme fibrinolitik

 Tissue plasminogen activator (t-PA): mengaktifkan plaminogen menjadi

plasmin, yang mengenali lisis bekuan fibrin yang stabil menjadi fragmen

 Activated C-Protein: menghambat plasminogen activator inhibitor (PAI-1)

dan satu lagi inhibitor fibrinolisis, thrombin fibrinolisis inhibitor activatable (Tafi)

Pada sepsis, mekanisme antikoagulan dan profibrinolitik ini diatur untuk turun pada

keadaan resultan prokoagulan. Faktor-faktor yang terdapat dalam kaskade

inflamatori maupun kaskade koagulasi akan saling berinteraksi. Interaksi ini akan

menimbulkan lingkaran setan peradangan dan koagulasi, yang menyebabkan

hipoperfusi organ, kegagalan organ dan akhirnya kematian.

Aktivasi komplemen, sistem kontak, PAF, matabolit asam arakidonat,

reactive oxygen species (ROS), dan nitrite oxide (NO) juga berperan dalam

mekanisme sepsis. Aktivasi komplemen dan adanya sistem kontak distimulasi oleh

produk bakteri, seperti endotoksin. Faktor-faktor ini berperan dalam terjadinya syok

septik (Saraswati, 2012).

11
12

Pada sepsis bakterial, manifestasi septikemia diakibatkan oleh adanya

toksin bakteri, respon inang, maupun keduanya. Infeksi bakteri gram negative

memberikan manifestasi septikemia melalui produk endotoksin yang

dihasilkannya. Patofisiologi yang dihasilkan dari infeksi bakteri gram negatif ini

adalah terjadinya vasodilatasi dan kenaikan permeabilitas membran, adanya

aktivasi jalur komplemen, perdarahan intravaskular dan fibrinolisis yang diinisiasi

faktor Hageman, maupun terjadinya demam yang diinisiasi oleh TNF. Pada

akhirnya akan terjadi syok septik dimana akan dilepaskan molekul lain seperti

ACTH, epinephrin, dan endorphin yang akan memperparah vasodilatasi dan

hipotensi.

2.1.3 Etiologi Urosepsis

Mikroorganisme penyebab urosepsis dapat berupa bakteri, virus, jamur,

maupun parasit (Soreng, 2011). Pada 80% dari seluruh kasus, infeksi bakteri adalah

penyebab terbanyak terjadinya urosepsis dengan 50% diantaranya adalah bakteri

gram positif (Weber, 2008). Pada penggunaan kateter, infeksi Staphylococcus

aureus dan staphylococci koagulase negatif mulai meningkat. S. aureus resisten

metisilin menjadi penyebab utama infeksi yang berhubungan dengan rumah sakit.

Kasus yang berhubungan dengan infeksi Clostridium difficile juga mulai

meningkat. Pada literatur lain, infeksi nosokomial maupun infeksi yang terdapat

pada komunitas paling banyak disebabkan oleh gram negatif. Eschericia coli adalah

yang terbanyak. Terbanyak kedua dan ketiga berturut-turut adalah Klebsiella dan

Pseudomonas (Saraswati, 2012).

12
13

Pada bakteri gram positif, komponen dinding sel bakteri yang merupakan

induktor sitokin adalah lipotheichoic acid (LTA) dan peptidoglikan (PG). LTA

merupakan polimer gliserol dan fosfat, berikatan dengan membran sel monosit pada

gugus asil di reseptor LTA (reseptor scavenger tipe 1). Mekanisme transduksi

sinyal intrasel LTA masih belum jelas. Peptidoglikan terdiri dari polimer ß1-4,

glukosamin-N- asam asetilmuramat, dengan ikatan silang peptida. Berbagai

penelitian menunjukkan bahwa PG dapat menginduksi produksi sitokin pada

monosit dengan ikatan pada CD14. Mekanisme transduksi sinyal intrasel PG juga

belum diketahui (Appelmelk, 2000; Hack, 2000; Murzalina, 2007; Saraswati,

2012).

Pada infeksi Staphylococcus aureus dan Streptococcus pyogenes dapat

terjadi sindrom renjatan toksik (toxic shock syndrome/TSS). Mekanisme yang

berperan adalah diproduksinya eksotoksin yang bersifat superantigen. Pada

keadaan normal antigen akan diproses oleh antigen presenting cells (APC) dan

membentuk kompleks histokompatibilitas mayor (MHC) tipe II dan

dipresentasikan pada reseptor sel T (T cell resceptor /TCR). Superantigen akan

secara langsung membentuk kompleks dengan MHC dan TCR sehingga terjadi

proliferasi sel T dan produksi sitokin yang berlebih (Appelmelk, 2000; Hack, 2000;

Murzalina, 2007; Saraswati, 2012).

Pada bakteri gram negatif, dinding sel terdiri dari 3 lapisan yaitu membran

luar, periplasma dan membran dalam. Lipopolisakarida terdapat pada membran luar

dinding sel, yang terdiri dari 3 bagian: antigen O, core dan lipid A. Antigen O

adalah polimer yang tersusun dari 4-5 monosakarida, salah satu ujung dari rantainya

13
14

terpapar pada permukaaan bakteri, ujung lainnya berikatan dengan core. Core

berikatan dengan
 lipid A. Lipid A merupakan fosfolipid dengan basis glukosamin.

Lipid A berikatan dengan membran luar dinding sel pada gugus asil yang bersifat

hidrofobik. Lipid A merupakan bagian LPS yang bersifat toksik, dimana gugus

fosfat pada posisi C1 dan C4 menentukan toksisitasnya. Struktur core pada LPS

berbeda pada setiap spesies bakteri. Core LPS pada E.coli berbeda dengan

Pseudomonas aeruginosa ataupun dengan Klebsiella pneumoniae (Appelmelk,

2000; Hack, 2000; Murzalina, 2007; Saraswati, 2012).

Injeksi LPS pada hewan percobaan dan manusia menimbulkan tanda dan

gejala demam, hipotensi dan pelepasan mediator inflamasi. Monosit atau makrofag,

netrofil dan sel endotel berperan dalam respon terhadap infeksi dan mempunyai

reseptor terhadap endotoksin. Suatu protein di dalam plasma dikenal dengan

lipopolysacharide binding protein (LBP), dengan berat molekul 55 kDa dan

disintesis oleh hepatosit berperan penting dalam metabolisme LPS. LBP terdapat

dalam 2 bentuk, bentuk terlarut dan dalam ikatan dengan reseptor LPS yaitu CD14

(Appelmelk, 2000; Hack, 2000; Murzalina, 2007; Saraswati, 2012).

Faktor resiko terjadinya urosepsis dapat berasal dari lingkungan sekitar

yang dapat dipengaruhi oleh virulensi bakteri, transmisi bakteri terhadap host,

kemampuan sistem imun host melawan bakteri. Trauma saluran kemih dengan

infeksi bakteri dihubungkan dengan tingginya resiko terjadi UTI dan sepsis. Laju

terjadinya urosepsis dapat disebabkan oleh beberapa intervensi urologi seperti

prostatektomi radikal, reseksi prostat transuretral (0-4%), biopsy prostat

transurethral (0,5-0,8%), shock wave lithitripsy (1%), ureteroskopi untuk

14
15

tatalaksana batu: 9% mengakibatkan SIRS dan 3% mengakibatkan sepsis berat,

tindakan bedah perkutaneus pada batu ginjal mengakibatkan SIRS 23-27%, 1,4-7%

sepsis, dan penanganan striktur uretra melalui tindakan endoskopi ureterotomi (8%)

(Liu et al., 2013 dan Bartoletti et al., 2015).

2.1.4 Epidemiologi Urosepsis

Sepsis berkaitan dengan suatu respon imun yang berlebihan yang dimiliki

oleh tubuh terhadap suatu infeksi (Saraswato, 2012). Pada tahun 2001, Angus et al.

pernah menghitung bahwa 750.000 penduduk di Amerika menderita sepsis dan

membunuh sedikitnya 215.000 orang tiap tahunnya (Angus et al., 2001). Harrison

et al. (2006) memperkirakan bahwa sepsis menyebabkan 30 sampai 50 kematian

tiap 100.000 populasi. Kondisi ini menempatkan sepsis di rangking 10 besar

penyakit yang menyebabkan kematian terbanyak di seluruh dunia (Saraswati,

2012). Diperkirakan sekitar 30% pasien yang menderita sepsis berat dan syok sepsis

disebabkan oleh infeksi saluran kemih. Surveilens urologi secara multinasional

melaporkan prevalensi secara mikrobiologi membuktikan penyebab sepsis berat

dan syok sepsis adalah urosepsis sebesar 1,5%. (Tandogdu, 2016).

Insidensi sepsis di rumah sakit pada negara maju adalah 288 kasus per

100.000 jiwa/tahun, dan insidensi kasus sepsis berat yang ditangani di rumah sakit

adalah 148 kasus per 100.000 jiwa/tahun (Fleischmann et al., 2016). Pada penelitian

yang dilakukan oleh Tongdagdu et al. (2016), laju mortalitas pada seluruh kasus

sepsis di dunia adalah 5,4 juta kematian pertahun.

15
16

2.1.5 Diagnosis Urosepsis

Diagnosa urosepsis berdasarkan gejala, pemeriksaan fisik, pemeriksaan

radiologi dan laboratorium (bakteriuria dan leukosituria). Diagnosis pasti adalah

apabila dapat dibuktikan bahwa bakteri dari kultur darah sama dengan yang

ditemukan pada kultur urin. Bakteri berasal dari traktus urinarius dicurigai apabila

disertai oleh gejala sistitis atau pielonefritis. Secara umum, dikatakan urosepsis

apabila terdapat komplikasi dari beberapa situasi, antara lain (1) tindakan

instrumentasi pada traktus genitourinaria, (2) abses renal, (3) pielonefritis akut, (4)

Infeksi akibat obstruksi saluran kemih atau pasien dengan gangguan kekebalan

imunitas, dan (5) bakteriuria akibat pemasangan kateter pada obstruksi dan pasien

dengan gangguan kekebalan imunitas (Renaldo, 2015).

Pemeriksaan laboratorium termasuk urinalisis, kultur darah dan kultur urin

harus dilakukan. Pemeriksaan biomarker prokalsitonin merupakan pemeriksaan

diagnostik yang sangat bermanfaat. Prokalsitonin memiliki sensitifitas 90,6% dan

spesifisitas 99,6% untuk mendeteksi sepsis berat dengan nilai cut off 8,16ng/ml.

Pemeriksaan lainnya berupa kadar laktat dapat digunakan sebagai penanda

mortalitas sepsis. Surviving Sepsis Campaign Guidelines (SSCG)

merekomendasikan untuk segera dilakukan tatalaksana untuk menormalkan kadar

laktat pada saat awal tanda tersebut sudah dijumpai (Zheng et al., 2015, Dellinger

et al., 2013).

Pemeriksaan pencitraan juga dapat mengkonfirmasi sumber infeksi saluran

kemih. Pemeriksaan ultrasonografi dapat dengan cepat memprediksi sumber infeksi

16
17

saluran kemih (Dellinger et al., 2012). Pencitraan lebih lanjut menggunakan

Computed Tomography (CT) dapat mendeteksi komplikasi pada urosepsis,

khususnya pada kasus batu dan abses renal (Tandogdu, 2016).

2.1.6 Penatalaksanaan

Syok septik adalah penyebab kematian yang paling sering terjadi untuk

pasien rawat inap dengan infeksi nosokomial (20-40%). Perawatan urosepsis

membutuhkan kombinasi perawatan terhadap penyebab (hambatan/obstruksi dalam

saluran urinaria), layanan life-support yang memadai dan terapi antibiotik yang

tepat, direkomendasikan agar berkolaborasi dengan perawatan intensif dan spesialis

penyakit menular untuk perawatan pasien (Renaldo, 2015).

Tabel 2. Tatalaksana Awal Sepsis (Renaldo, 2015 dan Tandogdu, 2016)

Terapi urosepsis dapat dibagi menjadi terapi kausa yaitu penggunaan

antibiotika dan eradikasi sumber infeksi, terapi supporti yaitu stabilisasi

hemodinamika, pernafasan dan jalan nafas dan terapi tambahan yaitu penggunaan

steroid dan insulin. Drainase obstruksi saluran kemih dan eradikasi benda asing,

seperti kateter dan batu diharapkan membantu perbaikan kondisi umum penderita.

Terapi awal antimikroba menggunakan spektrum luas dan dirubah sesuai dengan

17
18

hasil kultur. Pemberian antibiotika sebaik diberikan dalam 1 jam setelah gejala

klinis sepsis timbul (Renaldo, 2015).

Pemilihan antibiotik untuk urosepsis dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Pasien tanpa komplikasi atau curiga terjadinya resisten obat multipel, pilihan

pengobatan tersebut adalah sefalosporin generasi ketiga, piperacillin dan kombinasi

dengan beta lactamase inhibitor, atau karbapenem. Jika terjadi resistensi obat dan

atau dijumpai penyebab urosepsis tersebut adalah bakteri multipatogen, maka

pilihan pengobatan terbaik adalah aminoglikosida, karbapenem dan fluorokuinolon

(Tandogdu, 2016).

18
19

Tabel 3. Prinsip penatalaksanaan Urosepsis (Tandogdu, 2016)

19
20


Tabel4 . Algoritma Tatalaksana Urosepsis (Renaldo, 2015)

Tabel 5. Pilihan Pengobatan Urosepsis Sesuai Hasil Kultur (Tandogdu, 2016)

2.2 Prokalsitonin

Prokalsitonin (PCT) adalah sebuah alat diagnostik untuk mengidentifikasi

infeksi bakteri berat dan dapat diandalkan untuk mengindikasikan suatu komplikasi

20
21

sekunder akibat inflamasi sistemik pada tubuh. Jumlah prokalsitonin meningkat

dalam kasus sepsis ringan, sepsis berat, syok sepsis, maupun dalam suatu reaksi

inflamasi sistemik berat yang lain. Prokalsitonin lebih dapat diandalkan untuk

mengikuti perjalanan penyakit pasien dalam kondisi sepsis, sepsis berat, syok sepsis

maupun suatu reaksi inflamasi sistemik berat yang lain jika dibandingkan dengan

parameter lain, misalnya C-Reactive Protein (CRP), yang juga akan naik dalam

kondisi tersebut (Saraswati, 2012).

PCT dapat digunakan untuk membedakan suatu infeksi yang diakibatkan

oleh bakteri dengan infeksi yang tidak diakibatkan oleh bakteri. PCT terutama

diinduksi dengan jumlah yang banyak saat terjadi infeksi bakterial, akan tetapi

konsentrasi PCT di dalam tubuh rendah pada inflamasi tipe lain, seperti infeksi

virus, penyakit autoimun, penolakan tubuh terhadap transplantasi organ (Saraswati,

2012).

PCT sebagai sebuah parameter diukur dengan menggunakan alat ukur

komersial (BRAHMS, Henningsdorf, Germany). Pengukuran ini menggunakan

antibiotik yang terikat pada prokalsitonin, yaitu molekul rantai asam amino

katalsin. PCT dapat diinduksi oleh adanya stimulus endotoksin bakteri, sitokin

proinflamatori, dan kejadian pencetus kenaikan PCT seperti trauma dan syok

kardiogenik (Saraswati, 2012).

2.2.1 Biokimia dan sintesis PCT

Procalcitonin pertama kali diidentifikasi dari sel medullary tiroid

carcinoma. Prokalsitonin adalah suatu prekusor hormon kalsitonin. Diproduksi oleh

21
22

gen CALC-1 yang berlokasi pada kromosom 11, mRNA ditranslasikan menjadi

preprokalsitonin yang akan dimodifikasi menjadi deretan asam amino (Meissner,

2002).

Gen Calc-I menghasilkan dua transkripsi yang berbeda oleh tissue- spesific

alternative splicing. Yang pertama, didapat dari exon 1-4 dari 6 exon yang

merupakan kode untuk prePCT, adalah sebuah rantai peptide yang terdiri dari 141

asam amino dimana memiliki sebuah rantai peptide yang terdiri dari 25 asam amino

signal hidrophobik. Pada sel C kelenjar tiroid, proses proteolitik menghasilkan

sebuah fragmen N-terminal (57 AA), calcitonin (32 AA) dan katacalcin (21 AA).

Kehadiran sinyal peptide membuat PCT disekresikan secara intak setelah

glikosilasi oleh sel lain. Transkrip yang kedua di potong secara terpilih yang

mengandung exon 1,2,3,5,6 dan merupakan kode untuk Calcitonin Gene-Related

Peptide (CGRP), dimana CGRP diekspresikan secara luas pada saraf diotak,

pembuluh darah dan saluran cerna. CGRP ini mempunyai peranan dalam

immunomodulasi, neurotransmitter dan mengontrol vaskuler (Jin et al., 2010).

Peningkatan nilai PCT pada tiroidektomi yang sepsis, menjelaskan bahwa

tiroid C cell bukanlah satu-satunya tempat asal PCT. PCT, mensekresikan semua

produk-produk biosintetik pathway dan telah dideteksi dalam homogenates small

cell carcinoma pada paru manusia. PCT mRNA diekspresikan pada sel

mononuklear darah perifer manusia dan bermacam- macam sitokin proinflamatory

dan lipopolisakarida mempunyai efek stimulasi. Sekitar 1/3 dari limfosit dan

monosit manusia yang tidak di stimulasi mengandung protein PCT yang dapat

didemonstrasikan secara imunologi, keadaan ini di picu oleh lipopolisakarida

22
23

bakteri, tetapi monosit dari pasien dengan septik shock memperlihatkan nilai basal

yang meningkat dan peningkatan kadar PCT yang di stimulasi oleh lipopolisakarida

(Simon et al., 2004; Meissner, 2002).

Produksi plasma PCT dapat diinduksi dari manusia sehat dengan injeksi

lipopolisakarida (LPS) dalam jumlah yang rendah. Peninggian konsentrasi PCT,

pertama kali terdeteksi 2 jam sesudah injeksi endotoksin dan dalam waktu 6 hingga

8 jam kadar PCT akan meningkat dan mencapai plateu dalam waktu ± 12 jam.

Setelah 2-3 hari, kadar PCT akan kembali normal. Induksi yang spesifik dan cepat

oleh stimulus yang adekuat akan menimbulkan produksi yang tinggi dari PCT pada

pasien dengan infeksi bakteri berat atau sepsis. Keadaan ini memperlihatkan

patofisiologi PCT pada respon imun akut. Pada orang sehat PCT diubah dan tidak

ada sisa yang bebas ke aliran darah, karna itu kadar PCT tidak terdeteksi (< 0,1

ng/ml). Tetapi selama infeksi berat yang bermanifestasi sistemik, kadar PCT dapat

meningkat hingga melebihi 100 ng/ml. Berbeda dengan waktu paruh calcitonin

yang hanya 10 menit, PCT memiliki waktu paruh yang panjang yaitu 25-30 jam

(Murzalina, 2008).

Gambar.5 Prokalsitonin (Carol et al., 2002)

23
24

PCT akan meningkat dalam suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri

(Meissner, 2002). Proteolisis spesifik gagal sehingga terjadi konsentrasi yang tinggi

dari protein prekursor, begitu juga fragmen PCT yang berakumulasi dalam plasma

(Murzalina, 2007). Asal mula sintesis PCT yang dirangsang oleh inflamasi belum

diketahui dengan jelas saat ini. Sel-sel neuroendokrin di paru atau usus saat ini

dianggap sumber utama PCT, karena pasien-pasien dengan tiroidektomi total tetap

mampu menghasilkan PCT pada keadaan sepsis (Murzalina, 2008).

Di sini makrofag akan mensintesis sitokin proinflamasi sebagai suatu respon

adanya infeksi. Selain itu respon jaringan tubuh terhadap infeksi juga akan

menstimulasi sintesis tumor nekrosis factor (TNF) dan IL-6 yang nantinya akan

diperlukan oleh jaringan tubuh untuk mensintesis PCT (Gilbert, 2010). TNF

memiliki peran penting dalam terjadinya demam pada sepsis (Saraswati, 2012).

Penelitian yang ada menunjukkan bahwa prokalsitonin jarang meningkat

pada infeksi yang disebabkan oleh virus murni. Hal ini diperkirakan diakibatkan

oleh adanya stimulasi makrofag untuk mensintesis interferon alfa yang nantinya

akan mencegah sintesis TNF (Lee et al., 2008). Pada sepsis, PCT berfungsi

menghambat prostaglandin dan sintesis tromboksan pada limfosit invitro dan

mengurangi hubungan stimulasi LPS terhadap produksi TNF pada kultur whole

blood (Karlsson et al., 2010).

Kadar PCT sangat stabil baik secara in vivo atau ex vivo walaupun pada

suhu ruangan. Juga terhadap pembekuan dan pencairan tidak mempengaruhi

konsentrasi PCT secara signifikan. Konsentrasi PCT pada sampel arteri dan vena

juga tidak berbeda. Tidak ada perbedaan konsentrasi PCT dalam sampel serum dan

24
25

plasma dengan anti koagulan yang berbeda, perbedaan yang signifikan hanya pada

plasma lithium-heparin. Bagaimanapun, perbedaan ini sangat kecil dengan rata-rata

perbedaan < 8%. Selain itu, kehilangan konsentrasi PCT sehubungan dengan

0
penyimpanan pada suhu 25 C juga rendah. Walau setelah 24 jam penyimpanan

pada temperatur ruangan, hanya 12,4% (mean) dari konsentrasi sebenarnya yang

0
hilang dan sebanyak 6,3% (mean) yang hilang pada suhu 4 C. Penyimpanan pada

suhu ruangan lebih disarankan. Persentase kerusakan konsentrasi PCT pada suhu

0 0
25 C dan 4 C adalah sama untuk kadar yang tinggi (PCT > 8 ng/ml) dan kadar

yang rendah (PCT < 8 ng/ml) (Meissner, 2002).

Konsentrasi PCT berhubungan dengan ringan atau beratnya infeksi, tetapi

tidak dipengaruhi oleh tipe kuman. Namun demikian, kadar PCT tertinggi dijumpai

pada pasien infeksi jamur, khususnya infeksi aspergillus. Pada infeksi jamur lokal

seperti kandidiasis mukosa mulut, kadar PCT berada dalam batas normal. Rata-rata

kadar PCT tidak dapat dibedakan secara signifikan pada pasien yang diinfeksi oleh

bakteri atau jamur yang berbeda. Kadar PCT menurun pada pasien yang berhasil

(membaik) diterapi dengan antibiotik atau anti jamur yang efektif (Hammer, 2002).

Anna Fernandez L dkk, tahun 2003, melakukan penelitian tentang PCT pada

pediatrik di Emergency Departments untuk diagnosis awal pada infant yang febril

dengan infeksi bakteri. Mereka mendapatkan bahwa PCT merupakan marker yang

paling baik untuk deteksi infeksi pada emergency department dan juga digunakan

untuk deteksi awal pada infeksi jika demam kurang dari 12 jam (Lopez, 2008).

25
26

2.2.2 Cut-off prokalsitonin

Cut-off prokalsitonin adalah suatu indikator dalam menentukan apakah

seseorang dalam resiko rendah maupun tinggi mengalami sepsis. Cut-off

prokalsitonin juga dapat digunakan sebagai indikator dalam pemberian antibiotik.

Pada keadaan normal kadar PCT dalam darah <1 ng/ml, berdasarkan penelitian

yang lain, kadar normal prokalsitonin pada individu sehat yang tidak terinfeksi

adalah 0.033+0.003 ng/ml (Becker, 2004). Jika terjadi inflamasi oleh bakteri kadar

PCT selalu >2 ng/ml sedangkan pada infeksi virus kadar PCT <0,5 ng/ml (Bohuon,

2002).

Kadar prokalsitonin dalam darah tidak akan menunjukkan peningkatan yang

berarti, jika yang terjadi hanya inflamasi sistemik. Nilai cut-off berdasarkan hal ini

dapat digunakan untuk membedakan antara sepsis, sepsis berat, syok sepsis,

maupun bukan sepsis. Kriteria ini dapat dilihat pada kriteria ACCP/SCCM

(Meissner, 2002).

Gambar 6. Kriteria ACCP/SCCM (Meissner, 2002)

26
27

Pada studi ProHOSP kadar PCT yang dapat digunakan sebagai indikator dalam

menentukan pemberian antibiotik dalam kasus infeksi (Soreng et al., 2011).

Gambar 7. Studi ProHOSP (Soreng et al., 2011)

Pembagian kategori yang digunakan adalah infeksi sangat bukan bakteri

(PCT <0,1 ng/ml), infeksi bukan bakteri (PCT 0,1-0,25 ng/ml), infeksi bakteri (PCT

>0,25-0,5 ng/ml), dan infeksi yang benar-benar disebabkan oleh bakteri (PCT >0,5

ng/ml). Pada infeksi yang bukan disebabkan oleh bakteri, antibiotik tidak

disarankan diberikan. Kadar prokalsitonin akan diulang dalam waktu 6-24 jam

setelah pemeriksaan pertama sebagai follow up. Pada infeksi bakterial disarankan

pemberian antibiotik, dengan mengikuti kadar PCT setelah pemberian antibiotik

(Soreng et al., 2011). Pemberian terapi antibiotik yang sesuai akan menurunkan

27
28

kadar prokalsitonin pada sepsis, tetapi pemberian antibiotik yang tidak sesuai akan

menaikkan kadarnya (Christ-Crain et al., 2008).

PCT akan meningkat pada trauma seiring dengan derajat keparahan luka.

Kadar PCT akan naik sebanyak 5 ng/ml selama 2 minggu pasca operasi sebagai

tanda adanya inflamasi yang akan mencapai puncaknya dalam 24 sampai 48 jam

pertama. Pada pasien dengan febrile neutropeni, nilai PCT pada bakteremia gram

negatif lebih tinggi dibandingkan dengan bakteremia gram positif (Carrol et al.,

2002).

Pada penelitian pada bayi prematur, umur dan jenis kelamin tidak memiliki

kaitan yang signifikan pada kenaikan kadar prokalsitonin pada sepsis (Saraswati,

2012). Dalam penelitian lain, tingkat invasi mikroorganisme pada sepsis

memberikan korelasi yang seirama dengan kenaikan kadar prokalsitonin darah

(Jose et al., 2008).

2.3 Kultur Darah

Mikroorganisme penyebab sepsis dapat berupa bakteri, virus, jamur,

maupun parasit (Meissner, 2002). Baku emas untuk menegakkan diagnosis sepsis

adalah kultur darah (Jose et al, 2008). Bakteri yang paling banyak didapatkan dalam

isolasi darah pasien sepsis adalah basilus enteric gram negatif, coccus pyogenik

seperti, staphylococcus, streptococcus, dan gonococcus, dan beberepa jenis bakteri

anaerob seperti clostridia dan Bacteriodes. Community acquired bacterial

septicemia biasanya disebabkan oleh bakteri gram negatif, begitu pula dengan

28
29

hospital acquired bakteremia (nosokomial) yang biasanya disebabkan oleh bakteri

gram negatif bentuk batang. Bukan hanya gram negatif saja, bakteri gram positif

juga dapat menyebabkan septicemia (Meissner, 2002). Meskipun demikian, 30

sampai 50% pasien sepsis dijumpai hasil yang negatif pada kultur darahnya

(Saraswati, 2012).

Banyak mikroorganisme dapat tumbuh dalam suatu biakan di laboratorium, akan

tetapi tidak semuanya dapat tumbuh. Bakteri adalah mikroba yang paling mudah

tumbuh. Kebanyakan bakteri dapat dibiakkan pada media artifisial dalam waktu 24

sampai 72 jam pada suhu 35-370C. Jamur dan virus memerlukan waktu yang lebih

lama, biasanya beberapa hari sampai beberapa minggu untuk tumbuh. Virus juga

membutuhkan media jaringan karena mereka tidak bisa tumbuh sendirian dalam

media artifisial. Kebanyakan parasit tidak bisa dibiakkan dalam laboratorium.

Untuk mengidentifikasinya, dilakukan pemeriksaan morfologi dan seringkali

menggunakan tes serologi (Meissner, 2002).

Spesimen diambil dari sumber infeksi. Jika mikroba pathogen tersebut labil,

temperature dan waktu transport spesimen ke laboratorium sangat berperan besar

dalam terjadinya hasil false-negatif. Hanya material yang steril saja yang dapat

digunakan sebagai bahan kultur. Kontaminan yang seringkali membuat suatu

spesimen tidak steril adalah kontaminan dari alat untuk mengambil spesimen

maupun kontaminasi dari flora normal kulit seperti Staphylococcus epidirmidis dan

diphtheroid. Hal ini akan menimbulkan hasil false-positif. Sedikitnya 3% dari

kultur darah terkontaminasi (Meissner, 2002).

29
30

Sistem deteksi kultur darah secara otomatis maupun semiotomatis telah

diterapkan di berbagai laboratorium. Sistem ini mendeteksi produksi CO2 bakteri

atau turbiditas maupun untuk mengobservasi pertumbuhan koloni bakteri pada

permukaan media agar. System deteksi yang paling otomatis adalah system

BACTEC (Becton Dickinson Instrument Systems, Sparks, MD) (Saeed, 2010).

Gambar 8. Hasil pola kuman berdasarkan hasil kultur

(Sugimoto et al., 2013)

2.4 Hubungan Prokalsitonin dengan Hasil Kultur

Prokalsitonin merupakan penanda yang sangat bermanfaat untuk

menentukan diagnosis banding penyebab infeksi dan menentukan tingkat

keparahannya secara cepat. Kultur darah merupakan metode paling spesifik untuk

mendeteksi dan mengkonfirmasi septicemia, namun hasil dari pemeriksaan ini

dapat dikonfirmasi setelah 24 jam. Dari hasil uji diagnostik, sensitifitas kultur darah

hanya 42,6% dan 70,2% pada prokalsitonin, dan akurasi diagnostik prokalsitonin

dihitung berdasarkan sensitivitas dan spesifisitasnya adalah 75,4%. Pada penelitian

30
31

yang dilakukan oleh Sugimoto et al. (2013) menyatakan bahwa spesifisitas

prokalsitonin adalah 78%, yang menunjukkan efisiensi diagnostik tersebut sangat

tinggi.

Gambar 9. Hubungan prokalsitonin dan hasil kultur darah yang positif (Sugimoto
et al, 2013)

Gambar 10. Hubungan prokalsitonin dengan hasil kultur darah yang positif
(Andriandy, 2012)

Geest et al. (2017) menyatakan bahwa sensitifitas prokalsitonin dalam mendeteksi

bacteremia adalah 98% dan spesifisitas 20%, prediksi nilai negatif 96% dan

prediksi nilai positif 29%. Penelitian oleh Nieuwkoop et al. (2010) menyatakan

bahwa kultur darah yang positif berhubungan dengan nilai prokalsitonin yang tinggi

(p=0,007, r=0,278). Prokalsitonin secara akurat dapat memprediksi bakteremia dan

jumlah bakteri pada pasien yang menderita infeksi saluran kemih, dan prokalsitonin

dapat digunakan sebagai penanda untuk mengurangi kebutuhan penggunaan kultur

31
32

darah (Nieuwkoop et al., 2010). Penelitian oleh Nieuwkoop et al. (2010)

menyatakan bahwa waktu yang dibutuhkan untuk memberikan hasil kultur positif

(time to positive blood culture / TTP) adalah 11,6 jam (rentang 1,3 sampai 31,4

jam) dan hasil akan positif jika dijumpai minimal 25-26 jumlah E. Coli didalam

darah. Dari hasil analisis menggunakan kurva ROC, prokalsitonin dapat secara

akurat mendiagnosis bacteremia sebesar 0,81 (95% CI: 0,77-0,85).

Hubungan prokalsitonin dan TTP pada kultur darah menginformasikan

secara tidak langsung bahwa terdapat kontaminan bakteri didalam aliran darah,

seperti pada infeksi staphylococci dijumpai koagulase negatif, pada bakteri gram

negatif dijumpai adanya lipopolisakarida dan endotoxemia yang akan berhubungan

dengan nilai prokalsitonin. TTP pada kultur darah bergantung pada jumlah produksi

karbondioksida oleh mikroorganisme tersebut yang dapat digunakan sebagai

indikator jumlah bakteri sistemik (Nieuwkoop et al., 2010).

Penelitian yang dilakukan Andriandy (2012) menyatakan bahwa

mikoorganisme terbanyak dijumpai pada hasil kultur darah adalah gram negatif

yang menyebabkan terjadinya urosepsis (41,67%), diikuti dengan gram positif

16,67% dan jamur 8,3%. Bakteri gram negatif yang ditemukan adalah Klebsiella

pneumoniae (16,67%), Burkholderia cepacia (8,3%), Pseudomonas fluorescens

(8,3%), dan Psuedomonas aeruginosa (8,3%) dan Staphylococcus hominis (8,3%).

Bakteri gram positif terbanyak adalah Staphylococcus coagulae negative (13,25%),

Staphylococcus spp (6,95%), non-hemolytic Streptococcus (5,49%),

Staphylococcus aureus (2,58%), dan Streptococcus viridans (1,62%) (Andriandy,

2012). Namun, berdasarkan penelitian lain, Escherichia coli juga dikenal sebagai

32
33

bakteri uropatogen terbanyak, terutama pada anak laki-laki yang tidak disirkumsisi.

Escherichia coli juga menyebabkan terjadinya kolik renal dan batu ginjal pada

68,7% kasus, proteus (18,7%), dan Enterococcus (6,3%) dan Citrobacter (6,3%)

(Angulo, 2010).

2.5 Hubungan Prokalsitonin dengan Urosepsis

Prokalsitonin dapat digunakan pada pasien yang mengalami infeksi traktus

urinarius (Saeedinajad et al., 2017). Penelitian yang dilakukan oleh Saeedinajad et

al. (2017) dan Sugimoto et al. (2013) menyatakan terdapat hubungan yang

signifikan antara pasien yang mengalami infeksi pielonefritis dengan kadar

prokalsitonin, dan didapatkan peningkatan kadar prokalsitonin (>10ng/ml).

Penelitian yang dilakukan oleh Mori et al. (2012) juga menyatakan terdapat

hubungan yang signifikan antara urosepsis dengan prokalsitonin (p<0,001). Aslam

(2015) menyatakan pada penelitiannya bahwa cut off point lebih dari 5

menunjukkan indikasi kuat penanda sepsis dengan sensitifitas 92,5% dan

spesifisitas 100%, AUC=96,1%, dan p<0,001 (Aslam, 2015 dan Manhal et al.,

2014). Dari hasil tersebut, prokalsitonin menunjukkan hasil yang baik sebagai

penanda diagnostik urosepsis dan dan dapat digunakan sebagai guideline sepsis dan

praktek klinis di ICU (Tang et al., 2007; Uzzan et al., 2006; Kibe, 2011).

Prokalsitonin akan meningkat dengan cepat dalam waktu dua sampai enam jam dan

mencapai puncak dalam enam sampai 24 jam selama infeksi bakteri (Vijayan et al.,

2017). Prokalsitonin merupakan prediktor kuat penanda infeksi berat pada saluran

kemih. Semakin tinggi kadar prokalsitonin, tentu semakin tinggi kemungkinan

33
34

bacteremia dan terjadinya urosepsis pada pasien tersebut. Nilai prokalsitonin

>0,25ng/ml menjadi prediktor penanda diagnosis infeksi saluran kemih (Geest et

al., 2017 dan Levine et al., 2018).

34
35

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian analitik retrospektif dengan desain cross

sectional.

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Departemen Ilmu Bedah Divisi Urologi RSUP H. Adam

Malik Medan. Waktu penelitian dilaksanakan setelah proposal penelitian ini

disetujui oleh komite etik.

3.3. Populasi dan Sampel Penelitian

3.3.1. Populasi Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah pasien rawat inap dengan diagnosis urosepsis

di RSUP H. Adam Malik Medan.

3.3.2. Sampel Penelitian

Sampel dalam penelitian ini adalah pasien rawat inap dengan diagnosis urosepsis

di RSUP H. Adam Malik Medan yang telah memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi.

Dimana besar sampel dihitung dengan rumus di bawah ini (Madiyono et al, 2011):

2
(𝑧𝛼 + 𝑧𝛽 )
𝑛= [ ] +3
0,5ln(1 + 𝑟⁄1 − 𝑟)

35
36

Keterangan:

n : Besar sampel

zα : Derivat baku α, dihitung dari kesalahan tipe I. Pada penelitian ini,

ditetapkan kesalahan tipe I adalah 5% sehingga nilai zαtwo-tailed adalah 1,96.

zβ : Derivat baku β, dihitung dari kesalahan tipe II. Pada penelitian ini,

ditetapkan kesalahan tipe II adalah 20% sehingga nilai zβ adalah 0,84.

r : Koefisien korelasi yang diharapkan nilai r adalah 0,5.

Sehingga berdasarkan rumus di atas, besarnya sampel yang diperlukan dalam

penelitian ini adalah:

2
(𝑧𝛼 + 𝑧𝛽 )
𝑛= [ ] +3
0,5ln(1 + 𝑟⁄1 − 𝑟)

2
(1,96 + 0,84)
𝑛= [ ] +3
0,5ln(1 + 0,5⁄1 − 0,5)

2,8 2
𝑛= [ ] +3
0,5ln(3)

𝑛 = 40,84

Makadidapatkanjumlahsampel minimal 41 orang.

36
37

3.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi

Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah pasien yang telah didiagnosis sepsis

dengan disertai infeksi pada traktus urinarius dimana hasil kultur urin positif.

Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah data rekam medis pasien yang tidak

lengkap.

3.5. Kerangka Konsep

Pasien Uroepsis

Prokalsitonin Hasil kultur darah

Analisis hubungan

Gambar 3. 1. Kerangka Konsep

3.6. Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan data dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu pertama melakukan

pengumpulan data sekunder dari rekam medis dengan diagnosis urosepsis di RSUP

H. Adam Malik Medan. Kedua, dilakukan editing untuk memeriksa ketepatan dan

kelengkapan data. Ketiga, melakukan coding, yakni data yang telah terkumpul

37
38

kemudian diberi kode oleh peneliti secara manual sebelum diolah dengan komputer.

Keempat, melakukan entry, yakni data kemudian dimasukkan ke dalam program

komputer. Setelah itu dilakukan cleaning data dengan cara memeriksa semua data

yang telah dimasukkan untuk menghindari terjadinya kesalahan dalam

memasukkan data. Terakhir, melakukan saving, yakni data kemudian disimpan dan

siap dianalisa. Semua data yang telah dikumpulkan, dicatat dan dikelompokkan

kemudian diolah menggunakan program Statistic Package for Social Science

(SPSS) dan dianalisis secara univariat sesuai dengan tujuan penelitian.

3.7. Definisi Operasional

1. Urosepsis adalah sepsis (sindrom septikemia) yang disebabkan oleh adanya

infeksi pada saluran kemih berupa :

- Alat ukur : rekam medis

- Cara Ukur : Observasi rekam medis

- Hasil ukur : Pasien dengan diagnosis urosepsis atau tidak

- Skala ukur : Nominal

2. Prokalsitonin adalah sel-sel C kelenjar tiroid sebagai prohormon

kalsitonin yang ditemukan dalam aliran darah yang dapat digunakan sebagai

biomarker sepsis.

- Alat ukur : rekam medis

- Cara Ukur : Observasi rekam medis

- Hasil ukur :

 < 0,5 ng / mL : Infeksi bakteri lokal

38
39

 ≥ 0,5 ng / mL : Sepsis

 ≥ 2 ng / mL : Severe sepsis

 ≥ 10 ng / mL : Septic Shock

- Skala ukur : Rasio

3. Kultur darah adalah satu prosedur untuk mengisolasi mikroorganisme dari

darah atau situs lokal infeksi yang disebabkan oleh bakteri.

- Alat ukur : rekam medis

- Cara Ukur : Observasi rekam medis

- Hasil ukur :

 Ditemukan pertumbuhan bakteri

 Tidak ditemukan pertumbuhan bakteri

- Skala ukur : Nominal

4. Disuria adalah perasaan nyeri saat berkemih.

- Alat ukur : rekam medis

- Cara Ukur : Observasi rekam medis

- Hasil ukur : ada atau tidak keluhan disuria pada penderita

- Skala ukur : Nominal

5. Frekuensi adalah sering berkemih (lebih dari 5-6 kali per hari dengan

volume lebih dari 300 mL dalam sekali berkemih).

- Alat ukur : rekam medis

- Cara Ukur : Observasi rekam medis

- Hasil ukur : ada atau tidak keluhan frekuensi pada penderita

- Skala ukur : Nominal

39
40

6. Urgensi adalah rasa sangat ingin berkemih sehingga terasa nyeri.

- Alat ukur : rekam medis

- Cara Ukur : Observasi rekam medis

- Hasil ukur : ada atau tidak keluhan urgensi pada penderita

- Skala ukur : Nominal

3.8. Cara Kerja

Pasien dengan diagnosis urosepsis

Pengumpulan data

Kriteria inklusi

Kriteria eksklusi

Prokalsitonin

Hasil kultur darah

Analisis data

Gambar 3.2 Cara Kerja

40

You might also like