You are on page 1of 22

PENDAHULUAN

Kulit merupakan sawar fisiologik yang penting karena ia mampu menahan penembusan bahan gas,
cair maupun padat yang berasal dari lingkungan luar tubuh maupun dari komponen organisme.
Kulit relatif permeabel terhadap senyawa-senyawa kimia. Dalam keadaan tertentu kulit dapat
ditembus oleh senyawa obat atau bahan bernahaya yang dapat menimbulkan efek terapetik atau
efek toksik, baik yang bersifat setempat maupun sistemik.
Penilaian aktivitas farmakologik sediaan topikal menunjukkan pentingnya bahan pembawa dalam
proses pelepasan dan penyerapan zat aktif. Pemilihan bahan pembawa dapat meningkatkan aksi zat
aktif, baik lama aksi maupun intensitasnya.
Istilah ‘perkutan’ menunjukkan bahwa penembusan terjadi pada lapisan epidermis dan penyerapan
dapat terjadi pada lapisan epidermis yang berbeda.
Sediaan kosmetika digunakan pada hampir seluruh permukaan kulit dan aneksanya. Kemampuan
menembus sediaan kosmetik harus dibatasi sampai difusi kedalam lapisan tanduk (stratum
corneum), folikel rambut, dan kelenjar keringat. Pada sediaan tabir surya, zat aktif tertahan cukup
lama pada permukaan lapisan tanduk demikian pula beberapa zat aktif lainnya. Penyerapan sistemik
suatu sediaan kosmetik juga dapat memberikan efek yang tidak dikehendaki dan dapat mendorong
timbulnya toksisitas perkutan.
Pada pengobatan setempat sering diperlukan penembusan zat aktif ke dalam struktur kulit yang
lebih dalam, hal ini penting jika konsentrasi dalam jaringan yang terletak dibawah daerah
pemakaian harus cukup tinggi untuk mendapatkan efek yang dikehendaki. Sebaliknya penyerapan
oleh pembuluh darah harus sesedikit mungkin agar timbulnya efek sistemik dapat dihindari.
Zat aktif harus masuk ke peredaran darah dan selanjutnya dibawa ke jaringan yang kadang-kadang
terletak jauh dari tempat pemakaian dan pada konsentrasi tertentu dapat menimbulkan efek
farmakologik.
Pemahaman tentang anatomi dan fisiologi kulit serta faktor-faktor fisiko-kimia dan pato-fisiologik
yang mempengaruhi permeabilitas kulit sangat diperlukan oleh para ahli dermatologi, farmakologi-
toksikologi atau ahli kosmetologi, terutama oleh formulator yang akan memformula dan merancang
bentuk sediaan yang sesuai dengan tujuan pemakaian yang dikehendaki.
I. TINJAUAN ANATOMI FISIOLOGI
Kulit merupakan jaringan perlindungan yang lentur dan elastis, menutupi seluruh permukaan
tubuh dan merupakan 5% berat tubuh. Kulit sangat berperan pada pengaturan suhu tubuh dan
mendeteksi adanya rangsangan dari luar serta untuk mengeluarkan kotoran.
Kulit dibentuk dari tiga lapisan berbeda yang berurutan dari luar ke dalam :
1. Lapisan epidermis

2. Lapisan dermis  tersusun dari pembuluh darah dan pembuluh getah bening, ujung-ujung
syaraf

3. Lapisan hipodermis  lapisan jaringan bawah kulit

Kulit mempunyai apeksa, kelenjar keringat dan kelenjar sabun (glandula sebaceous) yang
berasal dari lapisan hipodermis atau dermis dan bermuara pada permukaan dan membentuk
daerah yang tidak berkesinambungan pada epidermis (Gambar 1).
1.1.Epidermis

Epidermis merupakan lapisan epitel, tebal rata-rata 200µm, dengan sel-sel yang
berdiferensiasi bertahap dari bagian yang lebih dalam menuju ke permukaan dengan proses
keratinisasi. Epidermis dibedakan atas 2 bagian lapisan malfigi yang hidup, menempel
pada dermis, dan lapisan tanduk yang tersusun atas sekumpulan sel-sel mati yang
mengalami kretinisasi. (Gambar 2).

1.1.1. Sel Malfigi


Lapisan dasar atau stratum germinativum tersusun atas deretan sel unik berbentuk
kubus dengan sisi 6µm yang saling berhimpitan satu dengan lainnya dan terletak di
atas membran basal, terpisah dari dermis oleh epidermis. Lapisan sel-sel ini
merupakan pusat kegiatan metabolik yang mengendalikan pembelahan sel dan
pembentukan sel-sel sub-junction lainnya.
Selama perubahan, sel-sel malfigi membuat dua elemen spesifik yaitu senyawa
protein alami : tonofibril, granul keratohialin, senyawa lipida : lembaran Odland.
Tonofibril merupakan benang protein yang miskin belerang, tergabung membentuk
serabut dengan diameter sekitar 100Å. Sebagian serabut melekat pada dinding sel
pada bagian desosom, yang lainnya bebas dalam sitoplasma. Berbeda dengan tono-
fibril, granul keratohialin merupakan protein amorf yang kaya akan belerang. Granul
lipida ternyata lebih kecil dibandingkan dengan sel-sel yang menyusun keratohialin,
dan hal ini telah dibuktikan. Sel-sel tersebut lebih sering disebut lembaran Odland
atau ‘membran granul bersalut’. Lembaran tersebut dipenuhi oleh lipida yang
tersusun atas lapisan rangkap 2 (dua) yang merupakan helaian dengan tebal 20Å
dikelompokkan dan diberi nama berdasarkan struktur mikroskopik membran seluler
atau myelin. Secara skematik sel tanduk dan berbagai perubahannya dapat dilihat
dari gambar 3.

Kontak antara sel epidermis berkelok-kelok. Besar ruang antar sel beragam,
diselubungi oleh semen yang terdiri atas glukosaminoglikan, tetapi dapat
melewatkan senyawa-senyawa nutritif mulai dari dermis melintasi epidermis yang
tidak berpembuluh darah. Ikatan antar sel terutama ditentukan oleh desmosoma yang
tampak sebagai membran rangkap dan tebal serta saling berhadapan.
Pada akhir diferensiasi sel mukus malfigi yang berlendir, lemabran Odland bergeser
menuju perifer dan mengosongkan isinya melalui eksositosis dalam ruang seluler
yang berisi lembaran lipida, yang sejajar dengan membran. Pada tahap ini terbentuk
sawar difusi terhadap air dan senyawa-senyawa yang larut dalam air.
1.1.2. Lapisan Tanduk (Stratum corneum)

Pada tahap akhir perubahan, sel-sel akan mati dan berubah menjadi sel tanduk.
Enzim lisosom terlepas, terurai menjadi bagian-bagian sel kecuali tonofibril dan
keratohialin. Sebagian dari lipida, zat hasil hidrolisa dan metabolit yang larut dalam
air tetap berada dalam sel. Protein globuler dari granul keratohialin dibebaskan,
menyusun diri di sekitar serabut keratin α, menghasilkan gabungan tonofibril dan
membentuk beberapa ikatan belerang dan kemudian saling bergabung dengan
sejumlah ikatan belerang dan kemudian saling bergabung dengan sejumlah ikatan
sejenis. Selanjutnya secara keseluruhan membentuk anyaman protein yang tidak
larut, sangat liat dan kompak. Dalam waktu yang sama terjadi penebalan membran
oleh timbunan kompleks glusido-lipido-protein pada permukaan bagian dalam.
Dari analisis kimia terbukti bahwa membran yang merupakan 5% dari sel tanduk
(stratum corneum) merupakan elemen pelindung yang paling efisien. Membran
tersebut tahan terhadap bahan reduktor keratolitik, sebagian besar protease, senyawa-
senyawa alkali dan senyawa-senyawa asam. Ketahanan ini tidak hanya disebabkan
oleh adanya jembatan disulfida, tetapi juga oleh ikatan kovalen antar molekul yang
belum banyak diketahui. Serat keratin α yang menyusun 50% lapisan tanduk, dan
bersifat inert. Serat keratin tersebut dilindungi oleh senyawa amorf berdaya tahan
tinggi dan sangat kaya akan ikatan disulfida, senyawa tersebut hanya dapat dirusak
oleh bahan reduktor, basa dan asam pekat.
Senyawa yang larut dalam air (urea, asam organik, asam amino) yang terdapat pada
bagian dalam sel tanduk mempunyai sifat higroskopis sedemikian rupa, sehingga sel
tersebut mampu menahan air yang berasal dari keringat atau lingkungan luar.
Pembahasan terjadi perlahan secara osmose melalui lipida intraseluler. Air mutlak
diperlukan untuk menjaga sifat mekanik lapisan tanduk. Pada keadaan normal,
mengandung air 10-20%.
Lipida yang terdapat di lapisan tanduk (stratum corneum) merupakan 7-9% dari
berat jaringan keseluruhan dan terutama terdiri atas asam lemak bebas atau esternya,
fosfolipida, skualen dan kolesterol. Berbagai kandungan tersebut dapat teremulsikan
dengan air.
Sel-sel tanduk berbentuk poliedrik dan lempeng (gambar 3), ukuran rata-rata adalah
25µ-0,5µ, bertumpuk satu di atas lainnya dan saling menutup. Jumlah lapisan sel
pada lapisan tanduk (stratum corneum) tidak sama, rata-rata 20-30 sel. Pada
sebagian besar bagian tubuh manusia. Sel-sel yang lebih dalam keadaannya lebih
dalam keadaannya lebih kompak dan terikat dengan kuat satu dengan lainnya
(stratum corneum conjunctum); pada permukaan ia terlepas dan luruh (stratum
corneum disjunction).
1.2. Dermis dan hipodermis
Dermis merupakan jaringan penyangga berserat dengan ketebalan rata-rata 3-5 nm,
peranan utamanya adalah sebagai pemberi nutrisi pada epidermis. Berdasarkan tinjuan
kualitatif dan susunan ruang tersebut kolagen dan elastin, dermis terdiri atas dua lapisan
anatomik yaitu lapisan papiler jaringan kendor yang terletak tepat dibawah epidermis, dan
lapisan retikuler pada bagian dalam yang merupakan jaringan penyangga yang padat.
Anyaman pembuluh darah dan pembuluh getah bening terletak pada daerah papiler dengan
kedalaman 100-200µm. Hipodermis dan jaringan penyangga kendor, mengandung
sejumlah kelenjar lemak dan juga mengandung glomerulus kelenjar keringat.
1.3. Aneksa Kulit
Aneksa kulit terdiri atas sistem pilosebasea dan kelenjar sudipori. Setiap bulu membentuk
saluran epidermis yang masuk ke dalam, tertanam oleh akar pada sebuah papila dari
jaringan penyangga dermik yang mempunyai banyak pembuluh darah. Selubung epitel
bagian dalam mengelilingi rambut mulai dari akarnya sampai di tempat yang berhubungan
dengan kelenjar sebasea.
Kelenjar sebasea pada umumnya menempel pada folikel rambut, kecuali pada beberapa
daerah yang berbulu jarang dan terletak pada jarak sekitar 500µm dari permukaan kulit.
Pengecualian tersebut adalah kelenjar eksokrin, holokrin dan getah sebum. Bagian yang
mengeluarkan getah dibentuk dari suatu memoran basal yang ditutup oleh lapisan.
Germinatif yang berkembang ke arah pusat kelenjar disertai perubahan lipida dan
peniadaan intinya. Serpihan dari isi sel yang mati selanjutnya dikeluarkan lewat sebuah
kanal pembuangan yang sangat pendek.

II. SEDIAAN DI TEMPAT PENYERAPAN


2.1. Penyerapan
2.1.1 Lokalisasi Sawar
Kulit mengandung sejumlah bentukan bertumpuk dan spesifik yang dapat
mencegah masuknya bahan-bahan kimia. Hal itu disebabkan oleh adanya lapisan
tipis lipida pada permukaan, lapisan tanduk dan lapisan epidermis malfigi. Namun
ada satu celah yang berhubungan langsung dengan kulit bagian dalam yang
dibentuk oleh kelenjar sebasea yang membatasi bagian luar dan cairan
ekstraseluler, juga merupakan sawar tapi kurang efektif, terdiri atas sebum dan
deretan sel-sel germinatif.
Peranan lapisan lipida yang tipis dan tidak beraturan pada permukaan kulit (0,4-
4µm) terhadap penyerapan dapat diabaikan. Peniadaan lapisan tersebut oleh eter,
alkohol atau sabun-sabun tertentu tidak mengubah secara nyata permeabilitas
kulit, gejala yang sama juga terlihat setelah pengolesan pada permukaan kulit
yang mempunyai sebum setebal 30µm. lapisan lipida dapat ditembus senyawa-
senyawa lipofilik dengan cara difusi dan adanya kolesterol menyebabkan senyawa
yang larut air dapat teremulsi.
Peniadaan bertahap lapisan seluler pada lapisan tanduk (stratum corneum) dengan
bantuan suatu plester akan membersihkan lapisan malfigi dan secara nyata
menyebabkan peningkatan dan permeabilitas kulit terhadap air, etanol dan
kortikosteroid. Peningkatan permeabilitas tersebut tidak terjadi pada semua
senyawa, misalnya perhidroskualen tidak dapat menembus kulit yang lapisan
tanduknya dihilangkan.
Jadi lapisan malfigi menghalangi penembusan senyawa terntentu, tetapi tidak
spesifik. Lapisan ini bersifat seperti membran biologis lainnya dan menunjukkan
selektivitas tertentu terhadap senyawa yang murni lipofil, misalnya
perhidroskualen atau hidrofil : Natrium deodesil sulfat yang tidak atau sangat
sedikit diserap.
Sawar kulit disusun terutama oleh lapisan tanduk, namun demikian cuplikan
lapisan tanduk terpisah mempunyai permeabilitas yang sangat rendah dengan
kepekaan yang sama seperti kulit yang utuh. Lapisan tanduk secara keseluruhan
berperan melindungi kulit. Deretan sel-sel pada lapisan tanduk saling berikatan
dengan kohesi yang sangat kuat dan merupakan pelindung kulit yang paling
efisien. Sesudah penghilangan lapisan tanduk, impermeabilitas kulit dipengaruhi
oleh regenerasi sel dalam 2 atau 3 hari meskipun ketebalan lapisan tanduk yang
beru terbentuk masih sangat tipis, namun lapisan tersebut mempunyai kapasitas
perlindungan yang mendekati sempurna.
Epidermis merupakan pelindung rangkap, yang pelindung rangkap, yang pertama
adalah pelindung sawar spesifik yang terletak pada lapisan tanduk yang salah satu
elemennya berasal dari kulit dan bersifat impermeabel, pelindung kedua terletak
pada sub-junction dan kurang efektif, dibentuk oleh epidermis hidup yang
permeabilitasnya dapat disamakan dengan membran tanduk yang impermiabel
dan membentuk suatu pelindung terbatas.
2.1.2. Jalur Penembusan
Kulit, karena impermeabilitasnya, dapat dilewati oleh sejumlah senyawa kimia
dalam jumlah sedikit. Penembusan molekul dari luar ke bagian dalam kulit secara
nyata dapat terjadi baik secara difusi melalui lapisan tanduk maupun secara difusi
melalui kelenjar sudipori atau organ pilosebacea.
Aneksa kulit sesungguhnya mempunyai struktur yang kurang, efektif
dibandingkan lapisan tanduk. Dalam hal ini folikel rambut tidak punya epitel
tanduk luar kecuali pada bagian atas, mulai dari muara kelenjar sebasea hingga
bagian dasar folikel. Bulu rambut pada pertumbuhannya dikelilingi oleh sarung
epitel dalam yang dibentuk sel hidup yang terletak pada bagian dasar folikel. Bulu
rambut pada pertumbuhannya dikelilingi oleh sarung epitel dalam yang dibentuk
dari sel hidup yang terletak pada bagian tengah. Kelenjar sudipori merupakan
saluran pengeluaran sederhana, dibentuk oleh sel hidup mulai dari bagian dalam
dermis sampai stratum corneum dan berakhir sebagai suatu kanal yang
menyelinap di antara deretan sel-sel tanduk.
Kelenjar sudipori tampaknya tidak terlibat secara nyata dalam proses
penembusan. Kulit telapak tangan atau telapak kaki, yang bergerombol dalam
jumlah sangat banyak, 500-800 setiap cm2, tidak lebih permeabel dibandingkan
dengan bagian tubuh lainnya yang jumlahnya sedikit, 200-250 setiap cm2.
Penembusan senyawa kimia lewat pilosebasea lebih tergantung pada
permukaannya dibandingkan dengan penembusan lewat epidermis. Pada manusia
kulit diselubungi oleh 40-70 folikel rambut setiap cm2 yang merupakan bagian
dari permukaan epidermis dan berperan pada proses penyerapan. Pada hewan
terjadi keadaan yang sebaliknya, rambut-rambut tersebut lebih berperan dalam
penyerapan dan pada unggas jumlahnya dapat mencapai 4000 helai/cm2. Jadi
penyerapan oleh folikel rambut menjadi bermakna karena kulit hewan lebih
permeabel dibandingkan kulit manusia.
Penelitian Blank dan Scheuplein membuktikan bahwa lintasan transepidermis dan
jalur transfolikuler merupakan fungsi dari sifat dasar molekul yang dioleskan pada
kulit. Senyawa yang dapat berdifusi punya BM kecil dan bersifat lipofil, dengan
cepat dapat tersebar dalam lapisan tanduk dan dalam lipida yang terdapat dalam
kelenjar sebasea. Penyerapan terjadi pada kedua tahap tersebut dengan intensitas
yang tergantung pada permukaan relatif kedua struktur tersebut. Senyawa yang
dapat berdifusi sedikit akan melintasi sebum lebih cepat dibandingkan melalui
lapisan tanduk. Pada tahap awal, lintasan transfolikuler lebih menentukan,
selanjutnya pada tahap kedua, karena perbedaan difusi terjadi dalam lapisan
tanduk, makan dengan demikian lintasan transepidermis yang menentukan.
2.1.3. Penahanan dalam Struktur Permukaan Kulit dan Penyerapan Perkutan
Penumpukan senyawa yang digunakan setempat pada struktur kulit, terutama pada
lapisan tanduk telah lama diketahui. Malkinson dan Ferguson membuktikan
bahwa senyawa radioaktif tersebut diperpanjang beberapa hari.
Percobaan ini menyimpulkan bahwa dalam struktur kulit terdapat suatu daerah
depo, dari tempat itulah zat aktif dilepaskan perlahan. Akan tetapi bila selama
percobaan sediaan dibiarkan di tempat pengolesan tanpa pembersihan sisa
sediaan, maka akan terjadi hambatan penyerapan, hal ini disebabkan oleh
penyerapan yang terjadi perlahan.
Penelitian pendahuluan adanya penumpukan obat di dalam kulit sesudah
pemakaian setempat telah disampaikan oleh Vickers yang melakukan penelitian
tentang penembusan perkutan senyawa fluosinolon asetonida. Peneliti ini
membuktikan bahwa aksi penyempitan pembuluh darah oleh pembalut dapat
diamati selama tiga minggu tanpa pengolesan ulang obat tersebut dan sesudah
kelebihan sediaan pada sediaan pada permukaan kulit ditiadakan. Vickers
membuktikan pula adanya “efek depo” pada struktur kulit dan selanjutnya
sejumlah penelitian lanjutnan menunjukkan bahwa penimbunan kortikosteroid
terjadi pada lapisan tanduk.
Sesungguhnya, bila lapisan tanduk ditiadakan dengan menghilangkan secara
bertahap lapisan seluler dengan perantaraan plester, sebelum atau sesudah
pemakaian flusionolon asetonida maka efek depo tidak lagi teramati dan tidak
sedikitpun terjadi efek penyempitan pembuluh darah setelah pembersihan daerah
uji.
Lebih jauh, Washitake membuktikan bahwa pada pembuangan lapisan tanduk
marmut secara ‘stipping’ akan mengakibatkan peningkatan penyerapan perkutan
asam salisilat dan karbinosamina, serta meniadakan seluruh timbunan kedua zat
aktif tersebut. Sebaliknya bila kulit tidak disukai, obat tersebut akan berada di
dalam lapisan tanduk 13 hari setelah pengolesan sediaan.
Adanya daerah penyimpanan di stratum corneum dibuktikan pula oleh percobaan
Vickers yang berkaitan dengan penyuntikan intradermis dari triamnisolon
asetonida. Pada keadaan tersebut, tidak mungkin digunakan suatu bahan
penyempit pembuluh darah sesudah penutupan daerah injeksi, hormon tidak
ditahan dalam lapisan kulit lebih dalam. Penahanan kortikoid oleh lapisan tanduk
dapat ditampakkan oleh autoradiografi.
Sejumlah bahan obat ternyata juga mudah tertahan dalam sel-sel tanduk, terutama
hidrokortison, heksaklorofen, griseofulvin, asam fusidat dan natrium fusidat serta
betametason. Hal ini merupakan hal menarik yang tidak dapat diabaikan dalam
pengobatan dermatologik, karena efek obat dapat diperpanjang sesudah hanya
satu kali pengolesan obat. Lama penahanan zat aktif dalam lapisan tanduk sangat
beragam. Dari semua molekul yang diteliti, steroida berfluor ternyata paling lama
bertahan pada permukaan kulit. Penahanan flusionolon asetonida diperpanjang
sampai 41hari, kadang waktunya lebih lama dari waktu rerata pemanjangan sel
epidermis. Perpanjangan waktu keberadaan zat aktif di dalam sel-sel tanduk telah
diuraikan oleh Munro yang membuktikan bahwa adanya kortikoid tersebut
menyebabkan hambatan aktifitas mitosis sel epidermis basal.
Hasil ini diperkuat oleh penelitian Vickers yang telah membuktikan bahwa suatu
pengurangan waktu penahanan steroid berfluor dari 28 jadi 18 hari dengan cara
meningkatkan aktifitas mitosis sel epidermis dengan suatu perlakuan pendahuluan
apda daerah pengolesan menggunakan natrim lauril sufat.
Efek depo tersebut juga ditemukan pada sediaan kosmetika yang mengharapkan
aksi pada kulit diperpanjang. Bila diperlukan penahanan sediaan pada lapisan
tanduk, juga setelah pencucian, maka sifat bertahan ini oleh para kosmetolog
disebut ‘substansivitas’. Hal tersebut secara lebih rinci diteliti terhadap sediaan
tabir surya, sediaan pelembab dan sediaan minyak-mandi.
Surfaktan anionik dan kationik juga tertahan di lapisan tanduk atau rambut,
adanya muatan ion merupakan pendorong terjadinya pembentukan ikatan ionik
dengan protein dari keratin. Intensitas penahanan berbanding lurus dengan ukuran
dan muatan kation atau anion. Akibat pengikatan ini sangat banyak : surfaktan
dengan konsentrasi tinggi merusak struktur tanduk, menyebabkan peningkatan
kehilangan air dan suatu aksi iritasi yang bermakna. Pada konsentrasi surfaktan
yang rendah terjadi keadaan sebaliknya, ikatan dengan lipid pada sediaan
kosmetika tertentu memudahkan penyerapan sediaan ini pada lapisan tanduk dan
dengan demikian meningkatkan aksi sejumlah kulit.
Sejumlah bahan toksik, pestisida fosfat-organik dan klor-organik ditahan di
lapisan tanduk dalam waktu cukup lama, bahkan sampai 112 hari untuk Dactal
(dimetil 2,3,5,6-tetraklorotereftalat), 60 hari dan 9 hari berurutan untuk paration
dan malation, seperti halnya yang telah ditunjukkan oleh Kazen. Tertahannya
Dactal yang sedemikian lama memang harus diwaspadai, ia tertahan empat kali
lebih lama dari waktu rerata peremajaan lapisan tanduk yaitu 28 hari dan hal ini
dapat dijelaskan seperti pada kasus flusinolon asetonida, yaitu dengan aksi
hambatan misosis sel. Karakter larut-lemak bahan fosfat-organik dan klor-organik
dapat menjelaskan pertahanan tersebut. Paration yang bersifat lipofil, tertimbun
terutama di bagian lipida yang terdapat dalam saluran folikel rambut dan dalam
kelenjar sebasea, di tempat tesebut paration terikat, dan menyebar perlahan ke
dalam lapisan malfigi dan dermik, dan selanjutnya memasuki peredaran darah.
Penahanan senyawa pada struktur tanduk mengurangi resiko keracunan karena ia
mencegah terjadinya penyerapan sistemik.
Lapisan tanduk tidak selalu merupakan penyebab tunggal dalam fenomena
penahanan senyawa di kulit; dalam hal tertentu dermis berperan sebagai depo,
seperti yang telah dibuktikan bahwa peymen tertimbun dalam lemak hipodermis
dan testosteron dan bensil alkohol tertahan dalam dermis. Penimbunan senyawa
dalam jaringan kulit yang lebih dalam teramati pula pada Oestradiol, tiroksin dan
trijodotironin, demikian pula untuk aesin. Penahanan senyawa baik pada lapisan
tanduk maupun pada sel-sel yang hidup tidak mengikuti mekanisme yang sama,
tidak pula berakibat sama. Dalam hal penahanan setempat pada struktur tanduk,
pengikatan senyawa sebagian besar tergantung pada koefisien partisi lipida yang
bersangkutan dengan senyawa lain di lapisan tanduk.
Dalam hal penanganan senyawa lebih jauh dalam jaringan subkutan, disini tidak
terjadi penyerapan atau paling tidak, laju penyerapan oleh cairan edar tubuh tidak
cukup untuk menyebabkan pengosongan senyawa yang setara dengan jumlahnya
dalam dermis yang kaya akan pembuluh darah. Fenomena tersebut menyebabkan
terjadinya aksi terapetik setempat tanpa diikuti difusi sistemik yang berarti. Akan
tetapi keadaan itu bertentangan dengan teori umum yang telah disepakati, yang
menyatakan bahwa pengaliran darah ke kulit hampir selalu cukup. Ternyata
penahanan senyawa dalam jaringan di bawah kulit hanya terjadi pada bahan-
bahan yang diserap secara berkesinambungan, terutama untuk bahan-bahan yang
mempunyai efek depo.
Cara ketiga penumpukan zat aktif dapat pula terjadi karena senyawa terikat secara
metabolit sesudah penyerapan sistemik; dalam hal griseofulvin dan asam amino
yang mengandung belerang, dan tergabung dalam struktur kulit yang hidup dan
terkeratinisasi.
2.2. Penerapan teori difusi pada penyerapan perkutan
Penilaian kuantitatif yang pertama oleh Treherne, membuktikan bahwa sebagian besar
molekul kimia diserap melalui kulit secara difusi pasif. Laju penyerapan melintasi kulit
tidak segera tunak, tetapi selalu teramati waktu laten T1.

Waktu laten mencerminkan penundaan penembusan senyawa ke bagian dalam struktur


tanduk dan pencapaian gradien difusi. Waktu tersebut beragam antara satu dengan
lainnya : beberapa menit untuk etanol dan beberapa hari untuk kortikosteroid. Waktu
laten ditentukan dengan ekstrapolasi bagian linier kurva pada waktu dan dinyatakan oleh
persamaan 1 :

e2
T1 =
6D

T1 = Waktu laten; e = tetapan membran; D = Tetapan difusi molekul dalam struktur kulit
Bila kesetimbangan dicapai, jumlah senyawa yang meningkatkan membran permukaan
dermik adalah sama dengan senyawa yang menembus lapisan epidermis, dalam hal ini
difusi mengikuti hukum Fick :
dQ
= Kp .S .( C1 −C 2) (persamaan 2)
dt

dQ/dt = Jumlah senyawa yg diserap per satuan waktu; Kp = tetapan permeabilitas; S=


Luas permukaan membran ; C1-C2 = perbedaan konsentrasi pada dua sisi membran
Persamaan 2 dapat pula ditulis menurut Higuchi :

dQ Km .D.S (C1 −C 2)
= (persamaan 3)
dt e

Km = Koefisien partisi senyawa terhadap kulit dan pembawa


Dengan demikian tetapan permeabilitas menjadi :

Km .D
Kp = (persamaan 4)
e

Kp mencerminkan kemampuan menembus suatu senyawa melintasi suatu membran


tertentu; semakin tinggi nilai tetapan tersebut maka kemampuannya semakin nyata.
Tetapan permeabilitas suatu senyawa yang berdifusi kedalam semua lapisan kulit
merupakan jumlah beberapa tetapan Kc, Ke, Kd yang secara berurutan merupakan
tetapan permeabilitas milekul dalam lapisan : tanduk, epidermis malfigi dan dermis.
Perbedaan tetapan ini secara percobaan dapat diterangkan dengan studi permeabilitias
terhadap stratum corneum, epidermis dan dermis, menggunakan metoda yang sesuai.

Tahanan disetiap jaringan yang berhadapan pada difusi akan meningkat dan dapat
dikaitkan dengan tetapan permeabilitas kulit keseluruhan melalui persamaan 5 :
1
= Rp = ∑Ri
Kp

Rp = tahanan difusi kulit keseluruhan


ΣRi = Jumlah tahanan difusi pada berbagai jaringan
Rp = Rc + Re + Rd
Penunjuk c, e dan d secara berurutan merupakan tahanan difusi lapisan tanduk, epidermis
dan dermis
Jadi tetapan permeabilitas keseluruahan adalah sama dengan
1 1 1 1
= + +
Kp Kc Ke Kd

Dan dapat dinyatakan pada persamaan 4 :


1 ec ee ed
= + +
Kp Km c .DC Km e .De Km d DD

Pada sebagian besar sediaan, tahanan difusi yang melintasi lapisan tanduk sangat tinggi
dan merupakan faktor penentu pada penyerapan perkutan. Sebaliknya tahanan epidermis
malfigi dan dermis dapat diabaikan. Dengan demikian terlihat bahwa difusi air 1000 kali
lebih cepat melintasi lapisan tanduk daripada lapisan epidermis dan lapisan dermis yang
hidup.
Pada molekul yang sangat lipofil, misalnya oktanol, dekanol atau perhidroskualen,
tahanan difusi terhadap lapisan yang hidup juga bermakna dan berlawanan dengan
penyerapan, hal yang sama juga terjadi seandainya lapisan tanduk ditiadakan. Walau ada
beberapa pengecualian, pada umumnya tetapan permeabilitas kulit keseluruhan Ip dapat
disamakan dengan tetapan permeabilitas stratum corneum Kc.

1 ec ee ed
= + +
Kp Km c .DC Km e .De Km d DD

Telah dibuktikan bahwa penerapan hukum Fick pada studi permeabilitas kulit hanya
dapat dilaksanakan pada beberapa keadaan sebagai berikut :

• Debit aliran darah ds/dt tetap

• Integritas aliran kulit memenuhi syarat

• Konsentrasi senyawa (C1) yang dioleskan pada kulit kecil dan tetap selama
percobaan

• Sel reseptor pada dermis telah diremajakan sehingga tidak jenuh


2.3. Faktor fisiologik yang mempengaruhi penyerapan perkutan
2.3.1. Keadaan dan Umur Kulit
Kulit utuh merupakan suatu sawar difusi yang efektif dan efektifitasnya berkurang
bila terjadi perubahan dan kerusakan sel-sel tanduk. Pada keadaan patologis yang
ditandai oleh perubahan sifat lapisan tanduk : dermatosis dengan eksim, psoriaris,
dermatosis sebrohoik, maka permeabilitas kulit akan meningkat. Scott telah
membuktikan bahwa kadar hidrokortison yang melintasi kulit akan berkurang bila
lapisan tanduk berjamur dan lain meningkat pada kulit dengan eritematosis. Hal
yang sama juga telah dibuktikan jika kulit terbakar atau luka.
Bila stratum corneum rusak sebagai akibat pengikisan oleh plester, kecepatan
difusi air, hidrokortison dan sejumlah senyawa lain secara nyata akan meningkat.
Perlakuan pada permukaan kulit dengan pelarut organik lebih jauh juga
mendorong perubahan tahanan kulit terhadap difusi surfaktan, aseton, alkohol dan
heksana akan meningkatkan difusi air ke lipidanya akan terangkat, delipidasi
stratum corneum menyebabkan pembentukan ‘shunts’ buatan dalam membran,
sehingga mengurangi tahanannya terhadap difusi.
Difusi kulit juga tergantung pada umur, subjek, kulit anak-anak lebih permeabel
dibandingkan kulit orang dewasa.
2.3.2. Aliran darah
Perubahan debit darah ke kulit secara nyata mengubah kecepatan penembusan
molekul. Pada sebagian besar obat-obatan, lapisan tanduk merupakan faktor
penentu pada proses penyerapan dan debit darah selalu cukup untuk menyebabkan
senyawa menyetarakan diri dalam perjalanannya. Namun, bila kulit luka atau bila
zat aktif digunakan secara ionoforesis, jumlah yang menembus jauh lebih banyak
dan peranan debit darah menjadi faktor yang menentukan. Demikian pula bila
kapasitas penyerapan oleh darah sedikit atau hiperemi yang disebabkan
pemakaian senyawa ester nikotinat maka akan terjadi peningkatan penembusan.
Akhirnya, penyempitan pembuluh darah sebagai akibat pemakaian setempat dari
kortikosteroid akan mengurangi kapasitas alir darah, mendorong pembentukan
suatu timbunan (efek depo) pada lapisan kulit dan mengacau penyerapan senyawa
yang bersangkutan. Dengan demikian, penyerapan perkutan testosteron berkurang
dengan nyata bila ia digunakan setelah pengolesan 6-metil prednisolon.
2.3.3. Tempat Pengolesan
Jumlah yang diserap untuk suatu molekul yang sama, akan berbeda tergantung
pada anatomi tempat pengolesan : kulit dada, punggung, tangan atau lengan.
Perbedaan ketebalan terutama disebabkan ketebalan lapisan tanduk berbeda pada
setiap bagian tubuh, tebalnya beragam antara 9µm untuk kulit kantung zakar
sampai 600µm untuk kulit telapak tangan dan telapak kaki. Martazulli
membuktikan bahwa secara in vitro laju penyerapan alkaloil sulfat berbanding
terbalik dengan tebal kulit oleh karena itu permeabilitas kulit terhadap suatu
senyawa akan meningkat secara berurutan setelah pengolesan pada kulit telapak
tangan dan telapak kaki, diatas kulit lengan, kulit perut dan akhirnya kulit rambut
atau kulit kantung zakar. Pengamatan yang sama juga dilakukan oleh Mailbach
yang berkaitan dengan penyerapan perkutan beberapa senyawa organofosfat
(malation dan paration). Beragamnya ketebalan membran, sesuai dengan hukum
Fick, pada satu sisi menyebabkan peningkatan waktu laten yang diperlukan untuk
mencapai keseimbangan konsentrasi pada lapisan tanduk, di sisi lain
menyebabkan pengurangan aliran darah.
2.3.4. Kelembapan dan suhu
Pada keadaan normal, kandungan air dalam lapisan tanduk rendah 5-15%, tetapi
dapat ditingkatkan sampai 50% dengan pengolesan pada permukaan kulit suatu
bahan pembawa yang dapat menyumbat : vaselin, minyak atau pembalut
impermiabel. Peranan kelembaban terhadap penyerapan perkutan tidak diragukan
lagi, stratum corneum yang lembab mempunyai afinitas yang sama terhadap
senyawa-senyawa yang larut dalam air atau dalam lipida. Sifat ini disebabkan oleh
struktur histologi sel tanduk dan terutama oleh helai-helai keratin yang dapat
mengembang dalam air dan pada metoda lipida amorf yang meresap di sekitarnya.
Kelembaban dapat mengembangkan lapisan tanduk dengan pengurangan bobot
jenisnya atau tahanan difusi. Air mula-mula meresap di antara jaringan-jaringan,
kemudian menembus ke dalam benang keratin, membentuk suatu anyaman
rangkap yang stabil pada daerah polar yang kaya air dan daerah non polar yang
kaya lipida.
Harris berpendapat bahwa penutupan daerah pemakaian dengan menggunakan
pembalut impermeable memnyebabkan peningkatan luas permukaan kulit
sebesarr 17%, juga peningkatan suhu setempat dan kelembapan relatif. Faktor-
faktor tersebut dapat meningkatkan retensi kulit dan penyerapan perkutan
terhadap sejumlah obat.
Secara in vivo, suhu kulit yang diukur pada keadaan normal relatif tetap dan tidak
berpengaruh pada peristiwa penyerapan. Sebaliknya, secara in vitro pengaruh
suhu dengan mudah dapat diatur, Blank dan Schuplein membuktikan bahwa
alkohol alifatik, pada suhu 0OC dan 50OC, laju penyerapannya meningkat sebagai
fungsi dari suhu. Peneliti tersebut juga menunjukkan bahwa impermeabilitas kulit
hanya sedikit dipengaruhii oleh pemanasan selama beberapa jam pada 60OC.
Namun, sesudah pemanasan pada suhu di atas 65OC, atau sesudah inkubasi
dengan larutan berair pada pH dibawah 3 atau diatas 9, stratum corneum
mengalami perubahan struktur irreversibel.
III. OPTIMASI KETERSEDIAAN HAYATI SEDIAAN PER REKTUM
Kemampuan penembusan dan penyerapan perkutan obat terutama tergantung sifat-sifat fisiko-
kimianya. Peran bahan pembawa pada peristiwa ini sangat kompleks; pada keadaan bila
senyawa tidak mengganggu fungsi fisiologik kulit, maka dapat dipastikan kulit tidak dapat
melewatkan senyawa-senyawa yang tidak diserap. Dengan pemilihan bahan pembawa, ada
kemungkinan ketersediaan hayati zat aktif dapat diperbaiki.
Pelarutan zat aktif

Difusi zat aktif dari pembawa ke


permukaan kulit
Lintasan Transepidermis Lintasan Transfoolikuler

Koefisien partisi pembawa Koefisien partisi pembawa-


lapisan tanduk sebum
Difusi melintasi matriks protido-lipida Difusi melintasi lipid dalam kelenjar
lapisan tanduk sebasea
Koefisien partisi terhadap epidermis
malfigi
Difusi ke dalam lapisan
epidermis hidup
Difusi ke dalam struktur dermis

Difusi melintasi dinding pembuluh darah dan


penyebaran sistemik
3.1. FAKTOR FISIKO-KIMIA
3.1.1. Tetapan Difusi
Tetapan difusi suatu membran berkaitan dengan tahanan yang menunjukkan keadaan
perpindahan. Dikaitkan dengan gerakan Brown, tetapan difusi merupakan fungsi
bobot molekul senyawa dan interaksi kimia dengan konstituen membran; ia juga
tergantung pada kekentalan media dan suhu.
Bila molekul zat aktif dapat dianggap bulat dan molekul di sekitarnya berukuran
sama, maka dengan menggunakan hukum Stoke-Enstein dapat ditentukan nilai
tetapan difusi
k '.T
D=
6π.r.η

k’ = tetapan Boltzman
T = suhu mutlak
r = jari-jari molekul yang berdifusi
η = kekentalan lingkungan
Senyawa dengan BM rendah, akan berdifusi lebih cepat daripada senyawa dengan
BM tinggi, paling tidak karena membentuk ikatan dengan konstituen membran. Pada
keadaan tersebut, jumlah yang diserap berbanding terbalik dengan BM. Marzulli
membuktikan bahwa alkoilfosfat, trimetilfosfat dengan BM 140 diserap 3x lebih
banyak dibandingkan dengan BM 224. Hubungan yang terbalik dibuktikan pula oleh
Scheuplein pada alkohol alifatik, tetapan difusi pentanol ternyata lebih tinggi dari
etanol. Dalam hal tersebut peningkatan koefisien partisi terhadap lipida yang
meningkat seiring dengan peningkatan BM dapat meningkatkan penyerapan zat,
aktif, dan sebaliknya dengan penurunan tetapan difusi.
Pada seri homogen steroida, tetapan difusi berkurang bila polaritas molekul
meningkat (misal pada oesterond an oestradol) ; Gugusan polar mendorong
pembentukan ikatan berenergi cukup besar (ikatan kovalen, elktrostatik, ionik, van
der Waals) antara molekul dan komponen membran.
Pada keadaan tertentu, misalnya molekul asam stearat, pembentukan ikatan bersifat
irreversibel dan secara total proses penyerapan dihambat, senyawa bergerak ke
permukaan kulit hingga terjadi deskuamasi (pengelupasan) kulit. Dalam hal lain,
ikatan bersifat reversibel, dan molekul secara perlahan dibebaskan, menuju ke
lapisan yang lapisan dalam, misalnya pada deodesil sulfat, steroida anti peradangan
dan organofosfat tertentu.
Pada seri homogen steroida, tetapan difusi berkurang bila polaritas molekul
meningkat (misal pada oesteron dan oestradiol); Gugusan polar mendorong
pembentukan ikatan berenergi cukup besar (ikatan kovalen, elektrostatik, ionik,
hidrogen, van der Waals) antara molekul dan komponen membran.
Pada keadaan tertentu, misalnya molekul asam stearat, pembentukan ikatan
irreversibel dan secara total proses penyerapan dihambat, senyawa bergerak
kepermukaan kulit hingga terjadi deskuamasi (pengelupasan) kulit. Dalam hal lain,
ikatan bersifat reversibel, dan molekul secara perlahan dibebaskan, menuju ke
lapisan yang lebih dalam, misalnya pada deodesil sulfat, steroida anti peradangan
dan organofosfat tertentu.
3.1.2. Konsentrasi Zat Aktif
Menurut Scheuleepin dan Blank, hukum Fick hampir selalu dapat diterapkan untuk
menjelaskan keadaan penyerapan gas perkutan, ion atau molekul non elektrolit.
Beberapa pengecualian hukum ini dapat dijumpai bila senyawa yang diserap dapat
mengubah struktur kulit, misalnya menyebabkan pengendapan protein kulit.
Jumlah yang diserap setiap satuan luas permukaan dan satuan waktu adalah
sebanding dengan konsentrasi senyawa dalam media pembawa. Hal ini dibuktikan
pada larutan encer butanol dalam air yang melintasi epidermis kulit manusia terpisah
dan pada sejumlah obat seperti misalnya steroida : flukloronida, betametason,
kortison, hidrokortison dan androstenedion atau bahkan kafeina, asam salisilat dan
asam benzoat.
Bila zat aktif dengan konsentrasi tinggi dioleskan pada permukaan kulit, hukum Fick
tidak dapat lagi diterapkan karena adanya perubahan struktur membran sebagai
akibat konsentrasi molekul yang tinggi, mungkin terjadi perubahan koefisien partisi
antara pembawa dan sawar kulit.
Untuk larutan encer butanol dalam air, jumlah diserap meningkat linier sebagai
fungsi dari konsentrasi, sampai pada jumlah tertentu di mana konsentrasi yang
diserap lebih bermakna dibandingkan yang dinyatakan hukum difusi. Scheuplein dan
Blank berpendapat bahwa penyerapan butanol ke dalam lapisan tanduk akan
menyebabkan pembengkakan sel tanduk, mengurangi tahanan difusi dan selanjutnya
mempengaruhi proses penyerapan. Untuk membuktikan hipotesa tersebut, penulis
menunjukkan gambar 7b bahwa tetapan permeabilitas asam butirat dapat meningkat
atau berkurang secara reversibel bila ia digunakan dengan atau tanpa oktanol.

3.1.3. Koefisien Partisi


Pengaruh koefisien partisi antara lapisan tanduk dan pembawa suatu senyawa yang
diserap, telah dibuktikan oleh Treherne yang meneliti hubungan antara peyerapan
perkutan berbagai senyawa organik dalam larutan berair terhadap koefisien partisi
eretair, dan terbukti bahwa keterserapan bahan aktif yang lebih tinggi dibandingkan
koefisien partisi. Bahkan Marzulli, dalam penelitiannya tentang perjalanan asam
fosfat dan berbagai fosfat organik yang mempunyai koefisien partisi dalam benzena-
air mendekati satu, artinya mempunyaiafinitas yang sama untuk kedua pelarut,
ternyata segera diserap; sebaliknya senyawa yang kelarutannya dalam air dalam
benzena cukup besar ternyata penembusannya sangat lambat. Peristiwa yang sama
terlihat pula pada larutan dalam air atau campuran air dan pelarut hidrofil, misalnya
larutan senyawa asam nikotinat dan ester-esternya, asam salisilat dan ester-esternya,
asam borat dan garam-garamnya, asam lemak dan kortikosteroid.
Koefisien partisi pada umumnya ditentukan dari percobaan dengan menggunakan
campuran dua fase, yaitu air dan pelarut organik yang tidak campur air, misalnya
minyak tanaman, kloroform, oktanol benzena, eter, isopropil miristat, yang
mencerminkan membran biologik lipofil. Penggunaan pelarut terakhir ini menurut
Katz memberikan hasil yang lebih mendekati kenyataan.
Keseimbangan pembagian senyawa di antara kedua fase yang ada, yaitu koefisien
partisi dinyatakan dengan persamaan 10 :
Cs
Cp =
Ce

Cs dan Ce adalah konsentrasi molekul dalam pelarut organik dan dalam air.
Hanya ada satu pengukuran obyektif tentang penyerapan senyawa yang diserap pada
lapisan tanduk dan pembawa yaitu penetapan koefisien partisi antara bagian stratum
corneum dan pembawa. Prosedur ini pertama kali diungkapkan oleh Scheuplein pada
penelitian tentang penyerapan alkohol alifatik. Peneliti tersebut membuktikan bahwa
tetapan permeabilitas berbagai larutan alkohol dalam media berair dan koefisien
partisi antara lapisan tanduk dan lapisan air berbading lurus; hal yang sama terjadi
pada larutan steroid dalam air.
Koefisien partisi antara stratum corneum pembawa ditentukan dengan keseimbangan
pembagian molekul, keadaan ini hanya tercapai setelah kontak yang lama antara
lapisan tanduk dengan pembawa. Lapisan tanduk yang terendam air, jauh lebih
lembab dibandingkan normal; sebaliknya pada pelarut glikol yang sukar dibasahi
maka perubahan struktur kadang-kadang hanya menyebabkan sedikit perubahan
permeabilitas. Hal ini dapat dijelaskan dari penafsiran yang teliti suatu percobaan
dengan menggunakan pembawa yang dapat menimbulkan kerusakan membran
akibat melarutnya beberapa komponen penyusun membran.
Koefisien partisi yang tinggi mencerminkan afinitas senyawa yang diteliti terhadap
pembawanya; koefisien partisi yang mendekati satu menunjukkan bahwa molekul
bergerak dalam jumlah yang sama menuju lapisan tanduk dan pembawa. Dengan
demikian senyawa yang mempunyai afinitas sangat tinggi terhadap pembawanya
tidak dapat berdifusi dalam lapisan tanduk.
Kelarutan senyawa dalam pembawanya berpengaruh terhadap koefisien partisi
seperti yang telah dibuktikan oleh Pulsen pada flusiolon asetonida dalam campuran
pelarut air-propilen glikol. Koefisien partisi yang paling sesuai dengan lapisan
tanduk dibuktikan pada percobaan dengan isopropil miristat dan ternyata propilen
diperlukan untuk melarutkan hormon dalam pembawa.
Nilai koefisien partisi tidak hanya berkaitan dengan kelarutan relatif senyawa yang
menembus lapisan tanduk, tetapi juga mencerminkan pengikatan yang reversibel
antara senyawa-membran. Asam linoleat yang diserap dengan kuat oleh keratin dan
afinitasnya pada lapisan tanduk lebih besar namun penyerapan perkutan senyawa
tersebut sangat sedikit. Kemunkinan difusi melintasi kulit tidak sepenuhnya
ditentukan oleh koefisien partisi yang besar. Bila sifat lipofil sangat besar maka
senyawa tertumpuk dalam lapisan senyawa berair. Gejala tersebut telah dibuktikan
oleh Wepierre pada senyawa perhidroskualen dan oleh Marty untuk paration dan
malation. Peneliti tersebut menyatakan bahwa koefisien partisi epidermis hidup dan
lapisan tanduk berperan sebagai faktor yang memperngaruhi penyerapan meskipun
molekul tidak larut sedikit pun dalam air.
3.2. PEMILIHAN PEMBAWA
Sejak penelitian yang dilakukan oleh Fleischer pada tahun 1877, sejumlah peneliti lain
memulai penelitian tentang permeabilitas kulit, pengaruh pembawa dan hasilnya telah
dipublikasikan dalam berbagai buku ternama. Di antara peneliti tersebut adalah adalah
Scheuplein dan Blank, Valette dan Wepierre, Wahlberg, Katz, Poulsen dan Idson,
Wepierre, Wepierre dan Marty. Berbagai penelitian telah dilakukan baik pada kulit
hewan maupun pada kulit manusia, baik secara in vitro maupun in vivo, dengan teknik
dan zat aktif yang beragam. Dimaksudkan mencari semua hubungan yang berkaitan
dengan pembawa dan penyerapan.
Pada umumnya penelitian ditujukan untuk merancang suatu bentuk sediaan yang sesuai
untuk diberikan lewat kulit. Tujuan pertama menyangkut hal-hal yang berhubungan
dengan bahan pembawa yang dapat mengubah struktur sawar kulit dan meningkatkan
penyerapan senyawa yang terkait, tujuan kedua berkaitan dengan pemilihan bahan
pembawa sedemikian sehingga bahan aktif dapat berdifusi dengan mudah ke dalam
strktur kulit.
Dalam hal ini bila pembawa dapat meningkatkan penyerapan perkutan, maka efek
tersebut tidak ditentukan oleh kemampuannya menembus, karena selain air, sebagian
pembawa inert yang digunakan tidak diserap. Hal tersebut telah dibuktikan pada
perhidroskualen, vaselin, spermaseti, dan trigliserida. Bahan pembawa dapat
mempengaruhi keadaan dengan mudah permeabilitas kulit dalam batas fisiologik dan
bersifat reversibel, terutama dengan mengubah permeabilitas kulit dalam batas fisiologik
dan bersifat reversibel, terutama dengan meningkatkan kelembaban kulit atau
meningkatkan afinitas molekul pada struktur kulit, atau yang disebut juga dengan
koefisien partisi Km.
Agar koefisien partisi lebih berfihak pada lapisan tanduk, sebaiknya zat aktif lebih tidak
larut dalam pembawa dibandingkan dalam lapisan tanduk, jadi pembawa mempunyai
afinitas kecil terhadap senyawa yang didukungnya.
3.2.1. Kelarutan dan termodinamika
Blank meneliti pengaruh kelarutan alkohol alifatik dalam pembawanya terhadap
ketersediaanhayati perkutan. Etanol yang larut dalam air, mempunyai tetapan
permeabilitas yang lebih tinggi bila ia dicampur dengan pembawa berminyak, dan
mempunyai afinitas yang lebih rendah dibandingkan bila berada dalam pembawa
berair. Sebaliknya tetapan permeabilitas pentanol yang larut dalam lemak, akan lebih
berarti bila alkohol tersebut digunakan dalam larutan berair dalam larutan
berminyak.
Di sisi lain, afinitas suatu molekul terhadap pembawanya akan lebih kecil bila
kensentrasinya menjadi lebih tinggi. Demikian, Poulsen telah membuktikan bahwa
jumlah steroid yang dilepaskan akan maksimal bila jumlah propilen glikol yang
digunakan untuk melarutkan steroid berjumlah minimal. Penelitian tersebut
dilakukan dengan menentukan pelepasan ke dalam campuran propilen glikol-air dan
dipekatkan dengan Carbopol-934 atau isopropanolamin. Sebaliknya, pelepasan yang
lebih sedikit diperoleh pada propilen glikol konsentrasi tinggi.
Aktivitas termodinaika suatu zat aktif dalam pembawa dinyatakan dengan persamaan
av = γv.Cv
av = Aktivitas termodinamika senyawa dalam pembawa
γv = Koefisien aktivitas senyawa dalam pembawa
Cv = Konsentrasi senyawa dalam pembawa
Pada sebagian besar zat aktif, intensitas penyerapannya dibatasi oleh permeabilitas
kulit; jadi diharapkan senyawa yang dioleskan pada kulit mempunyai aktivitas
termodinamika yang besar agar jumlah yang diserap dapat maksimal.
Higuchi menetapkan bahwa difusi molekul terjadi karena adanya perbadaan
potensial termodinamika yang terdapat antara pembawa dengan struktur lipida
tanduk dan aliran yang terjadi selalu berasal dari daerah dengan potensial
termodinamika tinggi menuju daerah dengan potensial yang lebih rendah. Koefisien
partisi zat aktif antara pembawa dengan lapisan tanduk juga dapat dinyatakan
sebagai fungsi koefisien aktivitas termodinamika.
γv
Km =
γs

γs = Koefisien aktivitas termodinamika senyawa dalam lapisan tanduk


Difusi melintasi sawar kulit suatu molekul terlarut dapat dinyatakan dalam
persamaan :

dQ aV .D.S
=
dt γ s .e

Nilai γs tergantung pada membran biologik dan dapat berubah, sebaliknya av


merupakan fungsi komposisi pembawa; koefisien partisi dan ketersediaan hayati
dapat berubah dengan perubahan pembawa. Bahan aktif dengan konsentrasi tertentu
mempunyai aktifitas termodinamika yang dapat berubah tergantung pada komposisi
pembawa. Bila molekul obat berbentuk kompleks yang larut dalam pembawa, seperti
misalnya kompleks asam salisilat dan propilen glikol juga mengurangi penembusan
senyawa metil nikotinat; efek ini menurut Barret mungkin terjadi karena sedikitnya
aktifitas zat aktif yang berdifusi ke dalam pembawa sebagai akibat dari aktivitas
termodinamika yang berkurang atau karena ketidakmampuan propilen glikol
membasahi lapisan tanduk, atau karena terjadinya dehidratasi atau pengeringan
lapisan tanduk oleh pembawa.
3.2.2. Surfaktan dan emulsi
Pada tahun 1945, MacKee menandai adanya pengaruh surfaktan pada penyerapan
perkutan. Campuran yang mengandung alkil benzena sulfonat ternyata dapat
meningkatkan penembusan senyawa yang terlarut secara bermakna. Penembusan ke
dalam tanduk beberapa senyawa antibakteri dapat ditingkatkan dengan penambahan
surfaktan anionik; sedangkan pencucian kulit dengan Natrium lauril sulfat dapat
meningkatkan penyerapan triklorokarbanilida secara bermakna, hal yang sama
terjadi pada pemakaian sabun yang mengandung heksaklorofen yang dapat
meningkatkan retensi epidermik pada bakterisida namun retensinya berkurang bila
digunakan dengan sabun padat tanpa deterjen. Dalam hal ini, terjadi perubahan cara
penembusan heksaklorofen; dan otoradiografi dari biopsi kulit dapat menunjukkan
bahwa lintasan epidermik menjadi berarti bila diberikan bersama deterjen, sehingga
tanpa bahan tersebut, penembusan senyawa melalui kulit dikendalikan oleh folikuler
dan kelenjar sebasea.
Dengan demikian, aksi surfaktan pada peningkatan penembusan sering
menyebabkan iritasi yang diikuti dengan kerusakan sawar kulit.
Akhirnya, studi penembusan air yang mengandung alkilsulfonat atau sabun dengan
rantai karbon yang terdiri atas 8-18 atom karbon, dapat menjelaskan hubungan antara
intensitas penyerapan air dan aksi iritan senyawa tersebut. Selain itu, ditegaskan pula
bahwa permeabilitas epidermis juga meningkat bila kontak dengan surfaktan anionik
dan kationik berlangsung lebih lama.
Perlu diketahui adanya interaksi antara surfaktan anionik yang terdapat dalam
sediaan dengan garam nikel, namun interaksi ini tidak terjadi pada surfaktan non
ionik atau kationik. Penyerapan logam akan meningkat oleh adanya bahan ionik dan
dapat merusak protein epidermik.
Lapisan tanduk merupakan sawar yang efektif dalam mencegah penembusan
sebagian besar surfaktan. Surfaktan kationik dan non ionik praktis tidak diserap.
Surfaktan anionik seperti Nattrium lauril sulfat dapat melintasi sawar lapisan tanduk
tanpa diikuti penembusan ke lapisan kulit yang lebih dalam.
Pengaruh basis emulsi, terutama yang berkaitan dengan sistem emulsi minyak/air
(m/a) atau air/minyak (a/m) terhadap penyerapan perkutan zat aktif belum banyak
diketahui, walaupun sejumlah hasil penelitian yang saling bertentangan telah
dipublikasikan. Barret membuktikan bahwa metil nikotinat diserap oleh kulit dengan
cara yang sama; baik pada emulsi m/a atau a/m. Munro menyatakan bahwa
penyerapan flusinolon yang paling bermakna bila digunakan salep dengan dasar
vaselin, makin berkurang bila digunakan emulsi, krim dan akhirnya sediaan yang
mengandung propilen glikol. Sebaliknya pada betametason valerat, tidak teramati
adanya perbedaan bermakna, bila steroida tersebut dibuat dengan basis m/a atau a/m,
salep berdasar vaselin maupun dalam basis yang mengandung propilen glikol.
Sampai kini, sangat sedikit penelitian sistematis yang telah dilaksanakan untuk
menganalisis faktor yang dapat mengubah ketersediaanhayati zat aktif dalam basis
emulsi. Di antaranya yang dapat dicatat adalah penelitian dari fluosinolon hingga
terbukti adanya pengaruh pembawa terhadap ketersediaanhayati steroida. Pada
berbagai presentasi zat aktif yang terlarut dalam pembawa, hasil terbaik ternyata
diperoleh bila flusionolon terlarut sempurna dalam pembawa. Pengamatan yang
sama tentang hubungan kelarutan zat aktif terhadap flukloron asetonida dan
betametason dari berbagai dasar salep kulit telah dipublikasikan.
Keterserapan juga berkaitan dengan koefisien partisi zat aktif dalam emulsi dan
lapisan tanduk. Namun masalahnya menjadi lebih rumit karena fase luar emulsi juga
kontak dengan kulit sehingga terdapat pula perpindahan ke stratum corneum,
selanjutnya suatu fase dalam emulsi akan menjerat zat aktif dan akhirnya
menghambat difusi ke kulit.
3.2.3. Bahan pengikat penembusan zat aktif
Sejumlah bahan dapat meningkatkan penyerapan senyawa yang terlarut di dalamnya,
terutama pelarut aprotik misalnya dimetil-sulfoksida (DMSO), dimetulasetamida
(DMA) dan dimetilformida (DMF). Ketiga senyawa tersebut, terutama DMSO,
secara in vitro dapat mempercepat penembusan air, eserin, flusiolon asetonida.
Secara in vitro, hasil yang serupa diperoleh pada griseofulvin, hidrokortison dan
sejumlah senyawa lain. Pemakaian DMSO bahkan memudahkan penimbunan
steroida di dalam stratum corneum. DMA kurang beracun dan kurang iritan
sedangkan DMSO memberikan efek seperti heksaklorofen.
Sebaliknya pada bahan pembawa yang klasik, bahan peningkat penembusan dapat
melintasi kulit. Meskipun bahan-bahan tersebut diserap, namun tidak mempercepat
perpindahan senyawa yang terlarut. Setiap bahan dalam larutan berpindah dengan
kecepatan tertentu dalam kulit. Pelarut-pelarut higroskopik yang dipakai murni tanpa
pengenceran atau larutan yang sedikit diencerkan, secara pasti akan mengubah
struktur lapisan tanduk : di satu sisi menyebabkan pembengkakan sel dasar, dan di
sisi lain terjadi penggantian air yang terdapat dalam sel dasar.
3.2.4. Ionoforesis
Penyerapan perkutan senyawa kimia yang dapat terdisosiasi dapat ditingkatkan
secara ionoforesis, artinya, dengan pengaliran listrik terus menerus melintasi kulit
yang diolesi. Aliran yang dipakai cukup lemah, antara 0,5-1 mA/cm2 agar tidak
terjadi kerusakan kulit. Elektroda aktif yang diletakkan pada daerah pengolesan
adalah anoda untuk molekul bermuatan positif dan katoda untuk molekul bermuatan
negatif.
Jadi dengan ionoforesis penyerapan ion-ion dapat ditingkatkan (Kalsium, fosfat,
natrium, fluor), juga obat-obatan seperti pilokarpin dan tiroksin. Senyawa-senyawa
tersebut dalam waktu 30 menit, konsentrasinya dalam jaringan yang terletak pada
daerah pemakaian dan dalam darah adalah 14 kali lebih tinggi dibandingkan bila
tanpa aliran listrik.
Ionoforesis terutama meningkatkan penyerapan sistemik obat yang dipakai, dengan
aliran listrik antara dua elektroda, zat aktif langsung menembus ke dalam dermis dan
memasuki sistem peredaran darah.
IV. PENILAIAN KETERSEDIAAN HAYATI OBAT YANG DIBERIKAN MELALUI KULIT

Jumlah senyawa yang diserap lewat jalur perkutan sangat sedikit dan pada umumnya sulit
dilacak, bahkan kadang tidak mungkin, hal itu karena sensitivitas metoda penentuan kadar
fisikokimianya sering tidak memadai. Pemakaian molekul bertanda menyelesaikan masalah
yang murni analitik yaitu dengan sensitivitas tinggi dan spesifisitas mutlak terhadap berbagai
teknik yang digunakan. Jika senyawa yang ditelit merupakan senyawa yang normal terdapat di
dalam tubuh misalnya vitamin dan hormon tidak mungkin ditentukan secara langsung dan
tentunya memerlukan penggunaan runutan radioaktif. Dalam hal-hal tertentu senyawa yang
tidak berubah dapat ditentukan kadarnya secara radioimunologik yang harus selalu
dilaksanakan dengan sangat hati-hati untuk mencegah terjadinya reaksi samping, dan hanya
dapat diterapkan untuk molekul-molekul tertentu yang peka terhadap pembentukan antibodi
spesifik. Kromatografi gas dan imunoenzimologi juga dapat diterapkan untuk memecahkan
masalah analisis.
4.1. STUDI DIFUSI IN VITRO
Bertolah dari penilaian biofarmasetik obat-obatan yang diberikan melalui kulit, maka
sesudah dilakukan uji kekentalan bentuk sediaan, ketercampuran, pengawetan maka
selanjutnya dilakukan uji pelepasan zat aktif in vitro, agar dapat ditentukan pembawa yang
paling sesuai untuk dapat melepaskan zat aktif di tempat pengolesan. Telah diajukan
sejumlah metoda, di antaranya yang patut dicatat :
- difusi sederhana dalam air atau difusi dalam gel
- dialisis melalui membran kolodion atau selofan
4.2. STUDI PENYERAPAN
Penyerapan perkutan dapat diteliti dari dua aspek utama yaitu penyerapan sistemik dan
lokalisasi senyawa dalam struktur kulit, dengan cara in vitro dan in vivo dapat dipastikan
lintasan penembusan dan tetapan permeabilitas, serta membandingkan efektifitas berbagai
bahan pembawa.
Sejumlah metoda penelitian telah dipublikasikan dalam berbagai pustaka. Untuk
memperjelas hal tersebut, maka prinsip metoda penyerapan perkutan dirangkum dalam tabel
II. III dan IV yang mencantumkan pemakaian, kemampuan serta keterbatasan setiap metode.
V. KESIMPULAN
Sawar kulit terutama dibentuk oleh lapisan tanduk, yang merupakan struktur kulit yang mati,
serta mampu menghambat penembusan senyawa kimia. Walaupun demikian kulit bersifat
permeabel dan dapat melewatkan senyawa-senyawa yang penyerapan terjadi secara difusi
pasif. Molekul yang diserap baik adalah molekul yang larut dalam lemak dan sedikit larut
dalam air.
Pada molekul yang dapat diserap derajat penembusan dapat diubah dengan menggunakan
bahan pembawa yang sesuai, dengan komposisi yang dapat mendorong pelepasan zat aktif
sedemikian agar dapat mencapai jaringan tempat ia menunjukkan aksi terapetiknya.
SEDIAAN REKTAL DAN TOPIKAL

KELOMPOK 12
LAXMI JUNITA 2443005095
ESTER FRANCES X. 2443005124

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA
SURABAYA
2009

You might also like