You are on page 1of 25

1.

Anatomi Tonsil
Tonsil merupakan jaringan limfoid di lapisan subepitel dari faring.
Kumpulan tonsil-tonsil membentuk lingkaran, disebut sebagai cincin
Waldeyer, yang terdiri dari :
a. Tonsil Faringeal (Adenoid)
b. Tonsil Tubal
c. Tonsil Palatina
d. Tonsil Lingual
e. Nodulus-nodulus pada dinding posterior faring

Gambar 1. Cincin Waldeyer

1
a. Tonsil Faringeal (Adenoid)
Adenoid dilapisi oleh epitel torak bersilia, terletak pada dinding
posterosuperior nasofaring. Pada adenoid, terdapat lekukan-lekukan
vertikal dari jaringan limfoid yang dipisahkan oleh celah yang dalam.
Adenoid tidak memiliki kripta dan kapsul seperti tonsil palatina. Adenoid
akan membesar secara fisiologis sejak usia 6 tahun dan kemudian
mengalami regresi hingga menghilang pada usia 20 tahun.
Adenoid diperdarahi oleh cabang dari arteri karotis eksterna, yaitu
arteri fasialis cabang palatina ascendens, arteri faringeal ascendens, dan
arteri maksilaris cabang faringeal. Drainase limfatik adenoid adalah ke
dalam nodus jugularis superior secara langsung atau melalui nodus
retrofaringeal dan parafaringeal.

b. Tonsil Palatina
Tonsil palatina merupakan jaringan limfoid yang berbentuk ovoid,
terletak di dinding lateral orofaring (fossa tonsilaris) antara arkus faring
anterior (lipatan otot palatoglossal) dan arkus faring posterior (lipatan otot
palatofaringeal). Tonsil palatina berbatasan ke superior dengan palatum
molle, ke inferior dengan dasar lidah, serta ke anterior dengan arkus
palatoglossal.
Tonsil memiliki dua kutub (atas dan bawah) dan dua permukaan
(medial dan lateral). Permukaan epitel tonsil merupakan kelanjutan dari
epitel orofaring.
1) Kutub atas  terdapat lipatan semilunaris yang berada di antara arkus
anterior dan posterior, menyisakan suatu ruang yang disebut fossa
supratonsilaris.
2) Kutub bawah  melekat pada lidah, terdapat lipatan membran mukosa
berbentuk segitiga dari arkus anterior ke bagian anteroinferior dari
tonsil dan menyisakan suatu ruang yang disebut ruang tonsilaris
anterior.
3) Permukaan medial  terdapat kripta, yaitu invaginasi permukaan
epitel berlapis gepeng tanpa lapisan tanduk yang berbentuk seperti

2
tabung, dapat berisi detritus yang terdiri dari sel-sel epitel, bakteri, dan
sisa-sisa makanan, dan dapat dikeluarkan oleh tekanan dari arkus
faring anterior.
4) Permukaan lateral  dilapisi oleh kapsul fibrosa yang terpisah dari
dasar tonsil oleh jaringan ikat longgar sehingga mempermudah diseksi
saat tonsilektomi.
Bantalan tonsil dibentuk oleh otot konstriktor superior, nervus
glossofaringeal, dan otot styloglossus. Lateral dari otot konstriktor
superior, terdapat arteri fasialis, kelenjar liur submandibula, otot
digastrik sisi posterior, otot pterigoid medial, dan angulus mandibula.

Gambar 2. Tonsil Palatina dan sekitarnya

Tonsil diperdarahi oleh arteri fasialis cabang tonsilaris (dari arteri


karotis eksterna) sebagai arteri utama, diikuti arteri faringeal ascendens, arteri
palatina, arteri lingual cabang dorsal, dan arteri maksilaris cabang palatina
descendens. Drainase vena dari tonsil adalah ke vena paratonsilaris yang
terletak pada permukaan lateral tonsil dan ke vena fasialis komunis serta
pleksus vena faringeal. Drainase limfatik tonsil adalah ke dalam nodus

3
jugulodigastrik dari kelompok servikalis profunda superior yang terletak di
bawah angulus mandibula.

Gambar 3. Vaskularisasi pada Tonsil Palatina


Nervus sensorik yang mempersarafi tonsil adalah nervus palatina minor,
cabang dari nervus trigeminalis divisi maksilaris (CN V2), dan nervus
glossofaringeal (CN IX).

Perbedaan Adenoid dengan Tonsil Palatina

4
c. Tonsil Lingual

Tonsil lingual terletak pada dasar lidah dan meluas dari foramen
cecum sampai ke epiglottis. Tonsil ini diliputi oleh stratified squamous
epithelium dan terpisah dari otot lidah hanya melalui lapisan jarigan
fibrosa. Tonsil ini terdiri dari sejumlah elevasi berbentuk bulat atau seperti
kawah pada bagian tengah jaringan limfoid dimana terdapat bukaan
saluran kelenjar mukosa.

Gambar 4. Tonsil Lingual

Gambar 5. Tonsil Lingual

d. Tonsil Tubal
Tonsil tuba berada di dinding lateral nasofaring, tepatnya di sekitar
ostium tuba lateral kiri kanan.

5
2. Fungsi Tonsil
a. Pertahanan tubuh: Limfosit T di regio parafolikular menyediakan imunitas
selular terhadap berbagai virus, bakteri, dan jamur. Ketika patogen-
patogen masuk ke dalam jaringan limfoid, mereka akan dihadapkan
dengan antibodi-antibodi IgM dan IgG yang diproduksi oleh sel plasma.
b. Lini pertama traktus aerodigestif: Jaringan limfoid di subepitel orofaring
berperan sebagai lini pertama yang menghalang ‘penyusup’ berbahaya
masuk ke saluran pernafasan dan pencernaan. Kripta pada tonsil
memperluas area permukaan untuk berkontak dengan benda-benda asing.
c. Produksi antibodi: Limfosit B pada folikel limfoid memproduksi antibodi
IgA.

3. CINTA
A. Infeksi
1. Tonsilitis
Tonsilitis merupakan inflamasi pada tonsil (terutama tonsil palatina) yang
umumnya disebabkan oleh infeksi streptokokus. Tonsilitis dapat bersifat akut
dan kronis. Umumnya tonsilitis akut terjadi pada anak-anak dan remaja,
sedangkan tonsilitis kronis pada anak-anak yang lebih tua dan dewasa muda.
Tonsilitis akut biasanya berlangsung 7-14 hari, sedangkan tonsilitis kronis
dapat ditegakkan bila nyeri tenggorokan menetap minimal 3 bulan dan
berkaitan dengan inflamasi tonsil, halitosis, dan nyeri adenopati servikalis.

a. Klasifikasi Tonsilitis berdasarkan Etiologi


1) Infeksi Virus
a) Virus-virus pada umumnya, seperti adenovirus, rhinovirus, reovirus,
respiratory syncytial virus (RSV), influenza, dan parainfluenza.
b) Coxsackie virus, menyebabkan herpangina pada anak-anak di bawah
16 tahun dengan adanya vesikel ulseratif pada tonsil.
c) Epstein-Barr virus (EBV), menyebabkan infectious mononucleosis
yang dapat menimbulkan manifestasi awal berupa tonsilitis, di mana
dapat terjadi pembesaran tonsil yang berat hingga menutupi jalan
nafas.

6
2) Infeksi Bakteri
a) Group A β-Hemolytic Streptococcus (GABHS), suatu bakteri Gram
positif yang merupakan prekursor dari dua komplikasi berat, yaitu
demam rematik akut dan glomerulonefritis pasca streptokokal.
GABHS dapat ditemukan pada kulit, nasofaring, dan orofaring.
GABHS umumnya menyebar melalui mikrodroplet, bisa juga melalui
kontak langsung atau konsumsi susu dan makanan yang
terkontaminasi.
b) Non-GABHS, memiliki gejala klinis yang sama dengan GABHS,
namun lebih jarang terjadi.
c) Bakteri lain (e.g stafilokokus, pneumokokus, dan H. influenza) dapat
menginfeksi secara primer pada tonsil atau sekunder dari infeksi virus
dan menyerupai infeksi GABHS.

b. Klasifikasi Tonsilitis berdasarkan Pemeriksaan Fisik


1) Tonsilitis folikularis
Tonsil membengkak dan hiperemis, permukaannya diliputi eksudat
diliputi bercak putih yang mengisi kipti tonsil yang disebut detritus.
Detritus ini terdapat leukosit, epitel yang terlepas akibat peradangan dan
sisa-sisa makanan yang tersangkut.

Gambar 6. Tonsillitis Folikularis

7
2) Tonsilitis Lakunaris
Bila bercak yang berdekatan bersatu dan mengisi lacuna (lekuk-lekuk)
permukaan tonsil.

Gambar 7. Tonsillitis Lakunaris

3) Tonsilitis Membranosa
Penyakit yang termasuk dalam golongan tonsilitis membranosa
ialah tonsilitis difteri; tonsilitis septik (septic sore throat); Angina Plaut
Vincent; penyakit kelainan darah seperti leukemia akut, anemia pernisiosa,
neutropenia maligna serta infeksi mono-nukleosis; infeksi jamur
moniliasis, aktinomikosis, dan blastomikosis; infeksi vorus morbili,
pertusis, dan skarlatina.
a) Tonsilitis difteri
Frekuensi penyakit ini sudah menurun berkat keberhasilan
imunisasi pada bayi dan anak. Penyebab tonsilitis difteri ialah
kuman Corynebacterium diphteriae, kuman yang termasuk gram positif
dan hidup di saluran napas bagian atas yaitu hidung, faring, dan laring.
Tidak semua orang yang terinfeksi kuman ini akan menjadi sakit. Keadaan
ini tergantung pada titer antitoksin dalam darah seseorang. Tonsilitis
difteri sering ditemukan pada anak berusia kurang dari 10 tahun dan
frekuensi tertinggi pada usia 2-5 tahun walaupun orang dewasa masih
mungkin menderita penyakit ini.

8
Gambar 8. Tonsilitis Difteri

1. Manifestasi Klinis
Gambaran klinik dibagi dalam 3 golongan yaitu gejala umum, gejala lokal,
dan gejala akibat eksotoksin.
- Gejala umum seperti juga gejala infeksi lainnya yaitu kenaikan suhu
tubuh biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah,
nadi lambat, serta keluhan nyeri menelan.
- Gejala lokal yang tampak berupa tonsil membengkak tertutupi bercak
putih kotor yang makin lama makin meluas dan bersatu membentuk
membran semu. Membran ini dapat meluas ke palatum mole, uvula,
nasofaring, laring, trakea, dan bronkus, dan dapat menyumbat saluran
napas. Membran semu ini melekat erat pada dasarnya sehingga bila
diangkat akan mudah berdarah. Bila infeksinya berjalan
terus, kelenjar limfa leher akan membengkak sedemikian besarnya
sehingga leher menyerupai leher sapi (bull neck).
- Gejala akibat eksotoksin yang dikeluarkan oleh kuman difteri ini
akan menimbulkan kerusakan jaringan tubuh yaitu pada jantung dapat
terjadi miokarditis sampai dekompensatio cordis, mengenai saraf cranial
menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot-otot pernapasan, dan
pada ginjal menimbulkan albuminuria.
2. Pemeriksaan Fisik
Jika, membran tersebut sulit diangkat sehingga mudah berdarah
maka bisa disebut pseudomembran.

9
3. Diagnosis
Diagnosis tonsilitis difteri ditegakkan berdasarkan gambaran klinis
dan pemeriksaan preparat langsung Elek test dengan media selektif CTBA
(Cystine Tellurite Blood Agar) yang diambil dari permukaan bawah
membran semu dan didapatkan kuman Corynebacterium diphteriae.
4. Terapi
Anti Difteri Serum (ADS) diberikan segera tanpa menunggu hasil
kultur dengan dosis 20.000-100.000 unit tergantung dari umur dan
beratnya penyakit. Antibiotik penisilin atau eritromisin diberikan 25-50
mg per kg berat badan dibagi dalam 3 dosis selama 14 hari. Kortikosteroid
1,2 mg per kg berat badan per hari, dan antipiretik untuk simtomatis.
Karena penyakit ini menular, pasien harus diisolasi. Perawatan harus
istirahat di tempat tidur selama 2-3 minggu.
5. Komplikasi
Laringitis difteri dapat berlangsung cepat, membran semu menjalar
ke laring dan menyebabkan gejala sumbatan. Makin muda usia pasien
makin cepat timbul komplikasi ini. Miokarditis dapat mengakibatkan
payah jantung atau dekompensasio cordis. Kelumpuhan otot palatum
mole, otot mata untuk akomodasi, otot faring serta otot laring sehingga
menimbulkan kesulitan menelan, suara parau, dan kelumpuhan otot-otot
pernapasan. Albuminuria akibat komplikasi ke ginjal.

b) Angina Plaut Vincent (Stomatitis Ulcer Membranosa)


Penyebab penyakit ini adalah bakteri spirochaeta atau triponema
yang didapatkan pada penderita dengan higiene mulut yang kurang atau
defisiensi vitamin C.
1. Manifestasi Klinis
Demam sampai 390C, nyeri kepala, badan lemah, dan kadang-kadang
terdapat gangguan pencernaan. Rasa nyeri di mulut, hipersalivasi, gigi,
dan gusi mudah berdarah.

10
2. Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Mukosa mulut dan faring hiperemis, tampak membran putih
keabuan di atas tonsil, uvula, dinding faring, gusi, serta prosesus
alveolaris, mulut berbau dan kelenjar sub mandibula membesar.
Pemeriksaan fisik yang ditemukan hampir sama seperti pseudomembran
yang ditemukan di tonsilitis difteri, oleh karena itu untuk membedakannya
maka harus dilakukan pemeriksaan preparat langsung Elek test dengan
media selektif CTBA (Cystine Tellurite Blood Agar) yang diambil dari
permukaan bawah membran semu.
3. Terapi
Antibiotika spektrum lebar selama 1 minggu. Memperbaiki higiene mulut.
Vitamin C dan vitamin B kompleks.

c. Klasifikasi Tonsilitis berdasarkan Onset


1) Tonsilitis Akut
Tonsilitis akut biasanya berlangsung 7-14 hari,
a) Gejala awalnya adalah demam tinggi dan nyeri menelan (odinofagia)
hebat, yang sering disertai dengan gangguan pada telinga. Gejala
lainnya adalah pembengkakan kelenjar getah bening tonsil dan muffled
voice akibat pembengkakan orofaring.
b) Pemeriksaan Fisik ditemukannya hiperemis dan udem pada tonsil
c) Pemeriksaan Penunjang : Swab hapus tonsil, Pemeriksaan hematologi
rutin (Hb,Ht, Leukosit, Trombosit, Eritrosit), dan Hitung Jenis
Leukosit (Shift to the left)
2) Kronis
Tonsilitis kronis biasanya berlangsung ≥ 3 bulan.
a) Gejala : Tonsilitis kronis dapat menyebabkan episode nyeri yang
berulang atau dapat asimptomatik. Gejala yang paling sering timbul
adalah lemas, nafsu makan menurun, rasa tidak enak dalam mulut, dan
halitosis.
b) Pemeriksaan Fisik ditemukannya pelebaran kripta dan detritus

11
c) Pemeriksaan Penunjang : Swab hapus tonsil, Pemeriksaan LED dan
Hitung Jenis Leukosit (Shift to the right)

2. Abses Peritonsilar
a) Manifestasi klinis dan Pemeriksaan Fisik
Gejala utama adalah sakit tenggorokan yang berkepanjangan, yang
kadang kala bisa membaik tetapi kemudian hilang. Pada pasien dapat
ditemukan hot potato voice/ muffled voice, demam, trismus, malaise. dan
disfagia. Banyak pasien datang dengan otalgia ipsilateral saat menelan.
Trismus (keterbatasan dalam kemampuan untuk membuka rongga mulut)
dari berbagai tingkat keparahan dapat hadir dalam beberapa kasus, yang
mencerminkan dinding faring lateral dan peradangan m.pterygoid. Karena
limfadenopati dan peradangan otot leher, pasien sering mengalami nyeri
leher dan bahkan keterbatasan dalam mobilitas leher. Pemeriksaan fisik
akan ditemukan tonsilitis akut dengan asimetri faring unilateral hingga
dehidrasi dan sepsis. Sebagian besar pasien mengalami nyeri hebat
unilateral. Pemeriksaan rongga mulut menunjukkan eritema yang ditandai,
asimetri palatum molle, eksudasi tonsil, dan deviasi kontralateral dari
uvula. Diagnosisnya bersifat klinis. Beberapa penulis menganjurkan
penggunaan USG intraoral untuk membantu diagnosis, tetapi kebanyakan
bergantung pada pemeriksaan fisik saja.

12
b) Diagnosis
Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan antara lain
pemeriksaan darah lengkap, kultur darah atau pus, dan elektrolit, untuk
mencari adanya tanda infeksi maupun dehidrasi. Foto polos leher lateral
dapat membantu dalam menyingkirkan kemungkinan abses retrofaring,
foto dari anteroposterior mungkin dapat memberikan gambaran jaringan
lunak yang berubah namun tidak bisa menentukan lokasi abses. USG dan
CT Scan merupakan pemeriksaan yang cukup sensitif dan spesifik dalam
menegakkan diagnosis abses peritonsil. USG dapat digunakan untuk
membedakan antara selulitis atau infiltrat peritonsil dengan abses
peritonsil.
c) Terapi
1. Rawat inap.
2. Cairan intravena untuk mengatasi dehidrasi.
3. Antibiotik. Antibiotik yang sesuai dalam jumlah besar i.v. dosis untuk
organisme aerobik dan anaerobik.
4. Analgesik dan antipiretik seperti parasetamol diberikan untuk
menghilangkan rasa sakit dan menurunkan suhu. Kadang-kadang,
analgesik yang lebih kuat seperti petidin mungkin diperlukan.
5. Kebersihan mulut harus dijaga dengan obat kumur.
Langkah-langkah konservatif di atas dapat menyembuhkan peritonsilitis.
Jika abses telah telah terbentuk, insisi dan drainase akan diperlukan.
1. Aspirasi atau Insisi drainase abses.
2. Interval tonsillectomi. Tonsils diangkat setelah 4-6 minggu setelah
serangan peritonsilar abses pertama.

13
d) Komplikasi
Komplikasi paling sering adalah ke daerah parafaring
menyebabkan abses parafaring. Dari parafaring infeksi dapat menyebar
hampir ke seluruh bagian di daerah leher dalam. Penyebaran ke
mediastinum dapat menyebabkan terjadinya mediastinitis, penjalaran
infeksi ke daerah intrakranial dapat menyebabkan terjadinya abses otak
dan meningitis. Pecahnya abses dapat menyebabkan terjadinya
perdarahan, dan pnemonia aspirasi.

3. Abses Parafaring
Parafaring disebut juga dengan faringomaksilaris atau
peripharyngeal space. Parafaring berbentuk pyramid terbalik, yang dapat
terletak pada salah satu dari sisi faring (kiri maupun kanan). Dasar dari
parafaring terletak pada basis kranii sedangkan puncak dari parafaring terletak
pada kornu dari os hyoid. Batas medial dari parafaring terletak pada lapisan
viscera dari lapisan dalam yang merupakan bagian dari fascia servikalis
dalam, yang terletak pada lateral dari dinding faring, sedangkan batas
lateralnya adalah lapisan superfisial dari fascia servikalis dalam. Bagian
anterior dibatasi oleh pterygomandibular raphe dan bagian posterior dibatasi
oleh fascia prevertebralis. Rongga ini berhubungan dengan rongga
retrofaringeal.
Etiologi dari abses parafaring dapat melalui infeksi langsung, yaitu
akibat tusukan jarum pada saat melakukan tonsilektomi dengan analgesia.
Peradangan terjadi karena ujung jarum suntuk yang telah terkontaminasi
kuman menembus lapisan otot tipis (m. konstriktor faring superior) yang
memisahkan ruang parafaring dari fosa tonsilaris. Kedua akibat proses
supurasi kelenjar limfe leher bagian dalam, gigi, tonsil, faring, hidung, sinus
paranasal, mastoid dan vertebra servikal. Ketiga akibat penjalaran infeksi dari
ruang peritonsil, retrofaring atau submandibula. Bakteri penyebab infeksi pada
abses parafaring cukup beragam. Ditemukan adanya bakteri anaerob seperti
Prevotella, Porphyromonas dan Fusobacterium. Sedangkan bakteri aerob

14
yang dapat ditemukan pada kasus abses parafaring meliputi Streptococcus
pyogenes, Staphylococcus aureus dan Haemophilus influenza.
Gejala dan tanda utama ialah trismus, indurasi atau pembengkakan
di sekitar angulus mandibular, demam tinggi, torticoli, dan pembengkakan
dinding lateral faring sehingga menonjol ke arah medial. Pada pemeriksaan
fisik dapat ditemukan asimetri pada orofaring, dimana tonsil terdorong kearah
medial namun terlihat normal. Dapat juga ditemukan massa yang nyeri pada
leher serta adanya pembesaran kelenjar getah bening. Pasien juga dapat
mengeluh kesulitan membuka mulut pada pemeriksaan, yang diakibatkan oleh
trismus, dimana gejala ini khas pada abses parafaring. Adanya serak pada
tenggorokan, asimetri dari orofaring serta massa dari leher disertai rasa nyeri
dapat menegakkan diagnosa abses parafaring, khususnya jika ditemukan
adanya riwayat infeksi seperti faringitis atau tonsillitis. Diagnosis ditegakan
berdasarkan riwayat penyakit, gejala dan tanda klinik. Bila meragukan dapat
dilakukan pemeriksaan penunjang berupa Rontgen jaringan lunak AP atau CT
scan.
Komplikasi dari abses parafaring dapat terjadi karena efek massa,
penyebaran dari infeksi ke ruang di sekitarnya. Penyebaran ke daerah faring
melalui ekspansi abses dapat menyebabkan sumbatan pada jalan nafas yang
dapat membahayakan nyawa. Dapat juga terjadi mediastinitis sebagai akibat
dari perluasan infeksi melalui selubung karotis. Komplikasi lain yang dapat
terjadi adalah thrombophlebitis dari vena jugularis interna.

15
4. Tumor Tonsil
Penyebab terbanyak dari keganasan pada tonsil adalah karsinoma sel
skuamosa. Penyebab karsinoma sel skuamosa pada tonsil adalah Human
Papiloma Virus (HPV). HPV tidak hanya menyerang serviks maupun kulit,
tetapi juga merupakan penyebab terbanyak dari karsinoma pada kepala dan
leher yang menyerang tonsil. HPV yang menyebabkan karsinoma sel
skuamosa tonsil adalah HPV tipe 16.
Gejala : Pasien dapat datang dengan berbagai keluhan seperti disfagia
maupun odinofagia. Pada pemeriksaan fisik, dapat ditemukan pembesaran
tonsil unilateral dengan atau tanpa ulkus pada puncak tonsil palatina. Tumor
tumbuh di dalam tonsil, terkadang tonsil hanya terlihat sedikit membesar pada
stadium awal dan mengaburkan diagnosis. Karena tonsil sangat kaya akan
drainase limfatik, metastase pada nodus limfa leher sering ditemukan. Pasien
dapat datang mengeluh adanya massa pada leher dan penurunan berat badan
secara drastis dalam beberapa bulan terakhir. Terkadang, pasien dapat
mengeluh trismus jika telah terdapat keterlibatan dari ruang parafaring.
Diagnosis : Pada pasien dibuat dengan adanya pemeriksaan jaringan
secara histopatologi. Pengambilan jaringan dapat dilakukan dengan insisi
biopsy maupun dengan tonsilektomi. Jaringan kemudian diperiksakan untuk
melihat adanya DNA dari HPV maupun adanya proliferasi dari sel epitel pada
tonsil. Pada KSS tonsil palatina, dapt ditemukan karakteristik sel dengan
pembelahan sel epitel hingga ke sel basal dengan inti sel tenggelam di dasar
dari sel.

16
17
Tatalaksana

Terapi dari KSS tonsil palatina dilakukan berdasarkan grading dari


tumor tonsil yang dialami oleh pasien. Pada stadium I dan II, pada pasien
dapat dilakukan terapi tonsilektomi, sedangkan pada stadium III dan IV
digunakan radioterapi dan kemoterapi. Terapi bedah yang dapat dilakukan
pada pasien adalah bedah robotic transoral (TORS) dan laser transoral.

18
4. OSAS (Obstructive sleep apnea syndrome)
a. Definisi
Obstructive sleep apnea syndrome (OSA) adalah kumpulan gejala
sumbatan jalan napas pada saat tidur selama fase non-REM atau REM
yang ditandai dengan adanya apnea (penghentian aliran udara selama 10
detik sehingga menyebabkan 2-4% penurunan saturasi oksigen) dan
hipopnea (penurunan aliran udara paling sedikitnya 30-50% sehingga
menyebabkan penurunan saturasi oksigen).
Sumbatan ini menyebabkan pasien menjadi terbangun saat tidur
atau terjadi peralihan ke tahap tidur yang lebih awal. Kejadian apnea
terjadi selama 10-60 detik dan OSA yang ekstrim dapat terjadi berulang
setiap 30 detik

19
b. Derajat
Klasifikasi derajat OSA berdasarkan nilai Apnea Hypopnea Index (AHI)
yang ditetapkan oleh The American Academy of Sleep Medicine, dapat
dibagi menjadi 3 golongan, yaitu :
1. Ringan (nilai AHI 5-15).
2. Sedang (nilai AHI 15-30).
3. Berat (nilai AHI >30).

Situation Chance of dozing

Sitting and reading

Watching TV

Sitting inactive in a public place (e.g a theater or a meeting)

As a passenger in a car for an hour without a break

Lying down to rest in the afternoon when circumstances permit

Sitting and talking to someone

Sitting quietly after a lunch without alcohol

In a car, while stopped for a few minutes in traffic

Enter against each of the situations a number as follows


0 = No chance of dozing off
1 = Slight chance of dozing off
2 = Moderate chance of dozing off
3 = High chance of dozing off

Results
1-6 = Congratulations, you are getting enough sleep
7-8 = Your score is average
9+ = Seek the advice of a sleep specialist without delay

c. Gejala
Tanda dan gejala yang umum dihubungkan dengan kejadian OSAS, yaitu :
1. Gejala malam hari saat tidur
a. Mengeluarkan air liur saat tidur (Drooling / ngiler)

20
b. Mulut kering
c. Tidur tak nyenyak / terbangun saat tidur
d. Terlihat henti napas saat tidur oleh rekan tidurnya
e. Tersedak atau napas tersengal saat tidur
2. Gejala saat pagi atau siang hari
a. Mengantuk
b. Pusing saat bangun tidur pagi hari
c. Refluks gastroesofageal
d. Tidak bisa konsentrasi
e. Depresi
f. Penurunan libido
g. Impotensi
h. Bangun tidur terasa tak segar

5. Komplikasi Tonsilitis
a. Abses peritonsilaris
Abses peritonsilaris merupakan suatu proses inflamasi unilateral
yang melibatkan tidak hanya parenkim tonsil, tetapi juga jaringan
peritonsilaris, seperti jaringan ikat antara parenkim dengan otot faringeal.
Gejala klinis yang muncul berupa tonjolan hiperemis unilateral, edema
pada palatum molle, muffled voice, dan trismus. Bila menyebar ke dasar
lidah dan dinding lateral faring, dapat terjadi komplikasi respirasi. Terapi
yang dapat dilakukan adalah pengangkatan atau insisi pada tonsil yang
terkena dengan pemberian antibiotik yang mencakup organisme aerob dan
anaerob.
b. Abses parafaringeal
Infeksi dari tonsil atau abses peritonsilaris dapat menyebar melalui
otot konstriktor superior ke suatu ruang potensial antara otot tersebut
dengan fascia servikalis profunda membentuk abses parafaringeal. Abses
ini menimbulkan pelepasan bagian medial tonsil dari dinding faring. Pada
pasien biasanya muncul gejala trismus dan penurunan batas gerak leher
akibat inflamasi dari otot pterygoid dan paraspinal. Bila tidak ditangani,

21
abses dapat menyebar ke bawah menuju selubung karotis dan
mediastinum.
c. Abses retrofaringeal
Abses retrofaringeal dapat berasal dari penyebaran abses
peritonsilaris atau dari infeksi nodus limfatikus ke ruang retrofaringeal.
Umumnya terjadi pada anak-anak dengan gejala demam, disfagia, muffled
voice, nafas yang berisik, kaku leher, dan limfadenopati servikalis.
d. Tonsilitis lingual
Pada kasus yang jarang, tonsil lingual dapat mengalami inflamasi
dan membengkak hebat, bersamaan dengan edema di dasar lidah dan
introitus laringeal. Gambaran endoskopik menunjukkan hiperplasia pada
tonsil lingual yang bentuknya silindris dengan adanya titik-titik pada
permukaannya. Pasien dapat mengalami periode singkat dari distress
pernafasan sehingga memerlukan intubasi. Pasien dengan tonsilitis lingual
harus dirawat inap untuk diobservasi dan mendapat antibiotik dosis tinggi.

e. Gingivostomatitis Streptokokal
Pada kasus yang jarang, tonsilitis dapat diikuti atau disertai oleh
gingivostomatitis streptokokal, yang ditandai dengan inflamasi difus dan
hiperemis pada mukosa gingiva serta pembentukan abses gingiva. Lesi-
lesi tersebut juga dapat ditemukan pada mukosa oral dan bibir.

22
f. Otitis media akut
Infeksi dapat menyebar ke telinga tengah melalui tuba auditorius
(eustochi) dan dapat mengakibatkan otitis media yang dapat mengarah
pada ruptur spontan gendang telinga.

6. Penatalaksanaan Tonsilitis
a. Terapi umum
1) Tirah baring
2) Asupan cairan yang cukup
3) Makan bergizi 4 sehat 5 sempurna
4) Edukasi : Hindari makanan seperti gorengan dan makanan ringan.
b. Terapi khusus
Terapi standar untuk tonsilitis akut dengan kecurigaan streptokokus sebagai
organisme penyebab adalah penicillin V selama 10-14 hari. Regimen ini
perlu dilanjutkan minimal 7 hari untuk mencegah komplikasi. Alternatif
lain bila pasien alergi penisilin adalah golongan makrolid atau sefalosporin
oral.
c. Operatif
Pada beberapa kasus, tonsilektomi merupakan pilihan terapi yang
dianjurkan. Indikasi tonsilektomi adalah sebagai berikut :
1. Indikasi Absolut
a) Pembengkakan tonsil menyebabkan disfagia berat, gangguan tidur
(OSAS), dan komplikasi kardiopulmoner.
b) Abses peritonsilaris yang tidak berespon atau rekuren.
c) Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam.
d) Keperluan biopsi untuk pemeriksaan patologi.
e) Curiga keganasan
2. Indikasi Relatif
a) Terdapat 7 episode atau lebih infeksi tonsil dalam setahun, 5
episode atau lebih dalam 2 tahun, dan 3 episode atau lebih dalam 3
tahun.
b) Halitosis atau bau mulut yang persisten.

23
c) Tonsilitis kronis atau rekuren pada karier streptokokus yang tidak
berespons terhadap terapi medikamentosa.
d) Hipertrofi tonsil unilateral yang dicurigai sebagai keganasan.
Adapun komplikasi-komplikasi yang dapat timbul akibat tonsilektomi,
yaitu :
1. Intraoperatif
a) Laringospasme dan aspirasi setelah diekstubasi  dapat
dikurangi risikonya dengan suction sekret dan darah di orofaring
secara berkala.
b) Luka bakar pada saluran nafas akibat penggunakan
elektrokauter  dapat dicegah dengan mengurangi konsentrasi
oksigen dan meminimalkan kebocoran pada sekitar ETT.
c) Cedera pada gigi dan dislokasi sendi temporomandibular.
2. Postoperatif
a) Perdarahan (5%)  dapat muncul secara primer (dalam 24 jam
pasca operasi) atau sekunder (5-10 hari pasca operasi) akibat
pelepasan dini dari eschar.
b) Cedera pada arteri karotis interna akibat kauter yang terlalu
dalam, penjahitan, atau diseksi.
c) Mual, muntah, dan nyeri pada orofaring yang dapat
menyebabkan dehidrasi.

7. Prognosis
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : bonam
Quo ad sanationam : bonam
Penjelasan :
1) Pengaruh penyakit terhadap proses kehidupan (Quo ad vitam) : Bonam
(baik), karena apabila dilakukan tindakan preventif supaya tidak berulang
fase akutnya maka proses kehidupan tidak akan terganggu.
2) Pengaruh penyakit terhadap fungsi organ atau fungsi manusia dalam
melakukan tugas (Quo ad functionam) : Bonam (baik), karena apabila

24
dilakukan tindakan preventif supaya tidak berulang fase akutnya maka
fungsi organ atau fungsi manusia dalam melakukan tugas tidak akan
terganggu.
3) Mengenai penyakit yang dapat sembuh total sehingga dapat beraktivitas
seperti biasa (Quo ad sanationam) : Bonam (baik), karena apabila
dilakukan tindakan preventif supaya tidak berulang fase akutnya maka
penyakit tonsilitis ini dapat sembuh total, sehingga dapat beraktivitas
seperti biasa.

25

You might also like