You are on page 1of 34

REFERAT

ILMU PENYAKIT BEDAH


SPONDYLOLISTHESIS

Disusun untuk melaksanakan tugas Kepaniteraan Klinik Madya


KSM Ilmu Bedah di RSD dr. Soebandi Jember

Oleh:
Adhang Isdyarsa
132011101060

Pembimbing:
dr. I Nyoman Semita, Sp.OT (K)

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2018
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL....................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..................................................................... 2
2.1 ANATOMI .................................................................................... 3
2.2 DEFINISI ...................................................................................... 15
2.3 EPIDEMIOLOGI ........................................................................ 16
2.4 ETIOPATOFISIOLOGI............................................................... 18
2.5 GEJALA KLINIS......................................................................... 21
2.6 DIAGNOSIS.................................................................................. 22
2.7 PENATALAKSANAAN .............................................................. 26
2.8 KOMPLIKASI ............................................................................. 30
2.9 PROGNOSIS ................................................................................ 30
DAFTAR PUSTAKA

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Spondilolistesis adalah subluksasi ke depan dari satu korpus vertebrata
terhadap korpus vertebrata lain dibawahnya. Hal ini terjadi karen adanya defek
antara sendi pacet superior dan inferior (pars interartikularis). Spondilolis adalah
adanya defek pada pars interartikularis tanpa subluksasi korpus vertebrata. (Hu,
et. al, 2008).
Spondilolis dan spondilolistesis terjadi pada 5% dari populasi. Kebanyakan
penderita tidak menunjukkan gejala atau gejalanya hanya minimal, dan sebagian
besar kasus dengan tindakan konservatif memberikan hasil yang baik.
Spondilolistesis dapat terjadi pada semua level vertebrata, tapi yang paling sering
terjadi pada vertebrata lumbal bagian bawah. (Moller, 2002)
Spondilolistesis berasal dari bahasa Yunani, yakni spondylo (vertebrata) dan
olisthesis (slip), jadi secara harfiah berarti vertebrata yang bergeser. Deskripsi
kelainan ini pertama kali ditulis pada tahun 1782 oleh Herbiniaux seorang ahli
obstetri dari Belgia, yang mencatat suatu keadaan dislokasi lumbal kedepan
terhadap sakrum yang menghambat proses persalinan. Kilian (1854)
menggunakan istilah spondilolistesis untuk keadaan diatas (pergeseran vertebrata
lumbal terhadap sakrum diatas). Klasifikasi spondilolistesis pertama dibuat oleh
Newman (1963) dan disempurnakan tahun 1976 menjadi Wiltse – Newman –
MacNab classification, yang terdiri dari: Dysplastic, Isthmic, Degenerative,
Traumatic dan Patological. (Japardi, 2002)
Gejalanya berupa nyeri pinggang yang semakin hebat bila berdiri,
berjalan,atau berlari, dan berkurang bila beristirahat. Biasanya otot biceps
femur,semitrendinosus, semimembranosis dan grasilis tegang sehingga ekstensi
tungkai terbatas. Foto rontgen memberikan gambaran yang
jelas menunjukkan kelainanvertebra. Kelainan ini mngkin tidak bergejala
sehingga perlu pemeriksaan klinis danradiologis berkala. Adanya pergeseran yang progresif.
Adanya pergeseran yang progresif merupakan indikasi untuk melakukan stabilisasi.
Nyeri pinggang yangringan biasanya dapat diatasi dengan pemakaian alat penguat
lumbosacral. (Joong, 2004)

2
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi
Susunan tulang belakang merupakan suatu sistem axis dari tubuh
manusia yang terdiri dari kolumna vertebra, spinal cord, otot-otot dan
jaringan lunak. Susunan kolumna vertebra ini tersegmentasi dan simetris
bilateral. Fungsi dari tulang belakang adalah untuk penyangga tubuh saat
posisi berdiri dan duduk, melindungi spinal cord dan sebagai fungsi
pergerakan (Hu, et al. 2008).
Kolumna vertebra membentuk sumbu tubuh tersusun atas 33 tulang
vertebra. Regio cervical terdiri dari tujuh tulang vertebra cervikal, regio
thorakal tersusun atas dua belas tulang vertebra. regio lumbal terdiri dari 5
tulang vertebra, region sacral terdiri dari 5 tulang yang menyatu dan regio
coccygeal terdiri dari empat tulang yang menyatu (Thompson, 2010).
Gambar 1. Anatomi Susunan Tulang Belakang
Kurvatura pada tulang belakang juga bervariasi pada tiap region.
Pada daerah cervikal kurvatura tulang vertebra adalah lordosis, pada
daerah thorakal adalah kyphosis, pada daerah lumbal adalah lordosis dan
di daerah sacral adalah kyphosis (gambar 1) (Howard, 2008).
Tulang belakang secara umum memiliki bagian-bagian antara lain
body, arkus (pedikel dan lamina), prosesus (spinosus dan transverses) dan
foramina (vertebra dan neural) (Jacobsen, 2007). Pada korpus vertebra
memiliki artikulasi pada permukaan superior dan inferiornya. Korpus
vertebra juga berhubungan langsung dengan diskus intervertebral. Korpus
vertebra semakin ke distal akan semakin besar. Arkus vertebra terdiri atas
pedikel dan lamina. Arkus vertebra terbentuk dari dua pusat osifikasi yang
menyatu. Kegagalan penyatuan ini akan menimbulkan poenyakit yang
disebut spina bifida. Arkus vertebra yang menyatu di bagian tengahnya
akan terbentuk kanal vertebra yang terisi oleh spinal cord. Pada prosesus
spinosus akan melekat ligament interspinosus yang menghubungkan
prosesus spinosus bagian distal dan proximal. Pada prosesus transversus
akan berfungsi sebagai perlekatan ligament dan artikulasi dengan tulang
rusuk (Thompson, 2010).
Pusat osifikasi primer adalah pada korpus vertebra dan arkus
neural. Pusat osifikasi sekunder adalah prosesus spinosus, prosesus
transversus dan annular ephypisis. Vertebra thorakal bagian atas memiliki
superior dan inferior facet sedangkan vertebra thorakal inferior hanya
memiliki facet tunggal. Facet berada dalam posisi semicoronal dan
memungkinkan pergerakan rotasi tetapi sangat minim fleksi dan ekstensi.
Semua tulang vertebra thorakal berartikulasi dengan tulang rusuk. Tulang
rusuk berartikulasi dengan tulang vertebral melalui costal facet di bagian
superior dan inferior dari korpus vertebra bagian posterior (Hu, et al.
2008, Thompson, 2010).

4
Gambar 2. Anatomi Vertebra Thorakal

Gambar 3. Anatomi Vertebra Thorakal


Lumbar vertebra terdiri dari lima tulang vertebra. Vertebral Lumbar
relative lebih besar dibandingkan tulang vertebra lainnya. Hal ini
memungkinkan fungsinya sebagai penyangga beban tubuh. Facet pada
vertebra lumbar berada dalam pisisi sagital sehingga memungkinkan
pergerakan fleksi dan ekstensi lebih besar daripada vertebra thorakal (Hue,
et.al. 2010). Daerah antar facet merupakan lokasi tersering terjadinya
fraktur atau spondylolysis. Pedikel pada vertebra lumbar ukurannya lebih
besar, pendek dan kuat. Pusat osifikasi primer terletak pada korpus
vertebra dan arkus neural, sedangkan pusat osifikasi sekunder terdapat
pada prosesus mammilary, prosesus transversus, prosesus spinosus dan
ring epiphysis (Thompson, 2010).
Tulang vertebra yang berdekatan dihubungkan oleh kompleksitas
susunak persendian, ligament, otot dan struktur penghubung lainnya.
Terdapat diskus intervertebral terletak diantara dua korpus vertebra

5
(kecuali antara C1 dan C2 dan segmen sacral yang menyatu). Selain iotu
teradapat sepasang sendi facet yang menghubungkan elemen posterior dan
orientasinya menentukan pegerakan masing-masing regio. Anterior
longitudinal Ligamen (ALL) melekat pada bagian anterior dan korpus
vertebra dan bagian anterior dari diskus intervertebral merupakan ligament
yang kuat dan tebal berfungsi menahan pergerakan hiperekstensi. Posterior
Longitudinal Ligament (PLL) merupakan ligament yang lemah sehingga
sering terjadi herniasi diskus di daerah tersebut. Ligament ini berfungsi
mencegah gerakan hiperfleksi (Thompson, 2010).

Gambar 5. Anatomi Ligamen Vertebra


Sendi facet merupakan sendi berpasangan yang terletak diantara
prosesus atikular inferior dan superior pada tulang vertebra yang
berdekatan. Sendi facet tersusun dari kapsul dan meniscus. Kedua bagian
ini dapat mengalami proses degenerative. Perubahan orientasi dari
semicoronal di daerah cervikal menjadi sagital di daerah lumbar
memungkinkan pergerakan yang berbeda di masing-masing regio.
Prosesus artikular inferior terletak lebih anterior dan inferior pada region
cervikal sedangkan terletak lebih anterior dan lateral pada region lumbar.
Perubahan degeneratif dapat menyebabkan terjadinya nerve root
impingement (Thompson, 2010).

6
Diskus intervertebral merupakan struktur yang terletak diantara
dua korpus vertebra. Fungsi dari diskus intervertebral adalah untuk
memberikan stabilitas pada kolumna vertebra, memungkinkan pergerakan
flexi dan menyerap serta distribusi tekanan beban. Diskus intervertebra
membentuk 25% dari tinggi tulang belakang. Diskus intervertebral terdiri
dari annulus fibrosus dan nucleus pulposus. Annulus fibrosus meurpakan
struktur terluar yang terdiri dari annulus bagian luar dan annulus bagian
dalam. Annulus bagian luiar tersusun atas serat padat kolagen tipe 1
sedangkan annulus bagian dalam merupakan fibrocartilage kolagen tipe 2
yang terususun lebih longgar. Serat kolagen terususun oblik dan kuat
menahan beban regangan . Annulus bagian luar memiliki inervasi saraf
sehingga apabila terjadi robekan akan menimbulkan nyeri. Nucleus
pulposus terletak di tengah annulus fibrosus. Nucleus pulposus merupakan
masa kenyal yang terususu atas air, proteoglikan dan kolagen tipe 2.
Struktur ini mampu menahan beban kompresi dimana beban kompresi
terbesar adalah dalam posisi duduk sambil condong ke depan. Komposisi
air dan proteoglykan akan menurun seiring bertambahnya usia. Nucleus
pulposus mampu mendorong keluar annulus dan menekan serat saraf
(Thompson, 2010).
Adapun otot-otot yang turut membantu menyangga tulang
belakang secara garis besar dibagi menjadi dua yaitu otot ekstrinsik dan
otot instrinsik. Otot ekstrinsik terdiri dari trapezius, Latissiumus dorsi,
Levator scapulae, Rhomboid minor, Rhomboid mayor, Serratus posterior
superior, Serratus posterior. Otot-otot intrinsic dibagi menjadi tiga grup
besar antara lain Grup Spinotransverse, Grup Sacrospinalis, Grup
Transversospinalis (Thompson, 2010).

7
Gambar 6. Anatomi Sendi Facet dan Diskus Intervertebra
Spinal cord berjalan dari batang otak sampai conus medularis
(berakhir sampai L1). Terminal filum dan cauda equine (serat saraf lumbar
dan sacral) berlanjut di dalam spinal canal. Spinal cord melebar di daerah
leher dan lumbar dimana di daerah itu serat sarafnya membentuk plexus
yang mempersarafi extremitas atas dan bawah.Spinal cord dibungkus oleh
duramater, arachnoid mater dan pia mater. Beberapaserat saraf berasal dari
dorsal yang membawa modalitas sensoris dan dari ventral yang membawa
modalitas motorik (Thompson, 2010).
Spinal cord berakhir pada area memipih yang disebut conus
medullaris, yang terletak pada level vertebra L1-2. Pada titik ini serat saraf
berjalan kebawah membentuk kumpulan yang disebut cauda equina
“horse’s tail”. Spinal cord melekat dibagian inferior oleh filum terminalis
yang menempel pada coccyx (Hu, et al. 2008). Gambaran spinal cord
meliputi :

8
 31 pasang saraf spinalis ( 8 pasang servikal, 12 pasang thorakal, 5
pasang lumbar, 5 pasang sakral dan 1 pasang coccygeal)
 Setiap saraf spinalis dibentuk oleh serat dorsal dan ventral
 Saraf motoris berada dalam gray matter spinal cord (kornu anterior)
 Neuron sensoris berada dalam spinal dorsal root ganglia
 Ramus ventralis dari saraf spinal juga menyudut membentuk pleksus
(campuran jaringan axon saraf)
Spinal cord merupakan kumpulan banyak jalur saraf (traktus) yang
menuju ke otak (traktus ascenden) dan keluar dari otak (traktus
descenden). Adapun yang termasuk dalam traktus descenden adalah
traktus kortikospinal anterior dan lateral kortikospinal. Sedangkan yang
termasuk ke dalam traktus ascenden adalah traktus spinothalamikus
anterior, sphinotalamikus lateral dan traktus dorsal kolum. Traktus anterior
kortikospinal merupakan modalitas motorik minor sering mengalami
cedera pada trauma anterior cord (anterior cord syndrome). Traktus lateral
kortikospinal merupakan modalitas motorik mayor yang sering mengalami
kerusakan pada Brown-Sequard syndrome. Traktus spinothalamikus
anterior membawa modalitas raba halus dan sering mengalami trauma
pada anterior cord syndrome. Traktus spinothalamikus lateral membawa
modalitas nyeri dan suhu mengalami trauma pada Brown-sequard
syndrome. Traktus dorsal kolum membawa modalitas propiosepsi dan
getar dan sering mengalami trauma pada posterior cord syndrome
(Thompson, 2010).

9
Gambar 7.Spinal Cord
Saraf spinal dibentuk oleh serat ventral dan dorsal. Terdapat 31
pasang saraf spinal yang simetris kanan dan kiri. Badan sel untuk
modalitas sensori tiap saraf terdapat di ganglion dorsal. Badan sel untuk
modalitas motorik terdapat pada ventral horn pada spinal cord. Serat saraf
keluar dari spinal kolum melalui intervertebral foramen (dibawah pedikel).
Pada C1 sampai C7 serat saraf keluar di atas tulang vertebranya sedangkan
pada C8 dan L5 serat saraf keluar di bawah tulang vertebranya. Serat saraf
dapat tertekan apabila terjadi herniasi diskus, osteofit dan hipertrofi
jaringan lunak yaitu ligamentum flavum dan kapsul facet. Pada daerah
lumbar, saraf transfersal biasanya lebih sering terkena sedangkan saraf
yang keluar dari spinal kolum tidak terpengaruh, kecuali terjadi penekanan
di bagian yang sangat lateral. Saraf di daerah lumbar dan sacral
membentuk kauda ekuina pada kanalis spinalis (Thompson, 2010).

Spinal cord memberikan 31 pasang nervus spinalis, dimana


kemudian membentuk dua cabang utama (ramus) :

10
 Ramus primer dorsal : ramus kecil yang berasal dari dorsal membawa
informasi sensoris dan motoris menuju dan dari kulit dan otot skeletal
intrinsik punggung (erector spinae dan otot transversospinalis)
 Ramus primer ventral : ramus yang lebih besar yang berasal dari ventral
dan lateral dan menginervasi semua sisa kulit dan otot skeletal dari leher,
ekstremitas, dan tubuh. Ketika serat saraf (sensoris dan motoris) berada
diperifer dari pembungkus spinal cord, fiber (serat) kemudian berada pada
system nervus perifer (PNS)
 Sistem nervus somatik: serat sensoris dan motoris untuk kulit, otot skeletal
dan sendi. Gambar 2-15
 Sistem nervus autonomis (ANS) : serat sensoris dan motoris (termasuk
visera dan vascular), otot jantung, dan kelenjar.
Sistem Nervus Enterik : pleksus dan ganglia dari traktus gastrointestinal
yang meregulasi sekresi usus, absorpsi, dan motilitas
Regio pada kulit diinervasi oleh axon saraf sensoris somatik yang
berhubungan dengan dorsal root ganglion pada level spinal cord tunggal.
Seperti yang melingkupi anterolateral kepala, kulit diinervasi oleh satu
dari tiga divisi nervus trigeminal (nervus kranialis). Neuron yang
memberikan serat saraf terhadap serat sensoris adalah neuron
pseudounipolar yang berada pada dorsal root ganglion tunggal yang
berhubungan dengan level spinal cord yang spesifik (satu pasang nervus
spinal pada setiap spinal cord). C1 adalah level spinal cord servikal
pertama, memiliki serat sensoris tetapi menyediakan sedikit kontribusi ke
kulit, sehingga di dermatome puncak kepala dimulai oleh dermatome C2.

11
Gambar 8. Saraf spinal
Dermatome mengelilingi tubuh secara segmental berdasarkan level
spinal cord yang menerima input sensoris dari segmen kulit. Sensasi yang
dibawa oleh sentuhan ringan lebih besar dibandingkan tekanan dan nyeri.
Pengetahuan tentang dermatome sangat penting untuk melokalisasi
segmen spinal cord dan menilai integritas level spinal cord (normal atau
lesi). Serat saraf sensoris yang menginervasi segmen kulit dan membentuk
dermatome menunjukkan adanya overlaping serat saraf. Konsekuansinya,
segmen kulit yang diinervasi secara primer oleh serat dari level spinal cord
tunggal, tetapi kemudian mengalami overlap dengan serat sensoris dari

12
level diatas dan dibawahya. Contohnya, dermatome T5 akan memiliki
beberapa overlap dengan serat sensoris yang berhubungan dengan level T4
dan T6. Kemudian dermatome akan memberikan pendekatan yang baik
pada level spinal cord, tetapi variasi adalah normal dan tetap ada overlap.

Gambar 9. Peta Dermatome


Spinal cord mendapat vaskularisasi dari cabang arteri besar yang
mensuplai bagian tubuh tengah. Arteri mayor tersebut antara lain vertebral
arteri yang berasal dari arteri subclavia di leher. Dari arteri subclavia juga
akan mengeluarkan cabang yaitu arteri cervikal anterior. Aorta thorakalis
juga turut memberikan vaskularisasi di spinal cord di daerah thorakal

13
melalui arteri intercostals posterior. Aorta abdominal mengeluarkan
cabang berupa arteri lumbar untuk vaskularisasi daerah lumbar. Sedangkan
dari arteri internal iliaka akan memberikan cabang arteri sakral lateral.

Gambar 10. Arteri subclavia vaskularisasi utama region cervical

Gambar 11. Aorta thorakalis vaskularisasi utamai kolumna vertebra region


thorakal
Sebuah arteri spinal bagian anterior dan dua buah arteri spinal bagian
posterior yang berasal arteri vertebra di bagian intrakranial berjalan longitudinal

14
sepanjang spinal cord dan akhirnya disatukan di tiap-tiap segmen dengan arteri
segmental. Arteri segmental terbesar bernama arteri mayor segmental
(Adamkiweicz). Arteri ini berada di thorakal bagian bawah dan lumbar bagian atas.
Arteri ini memberikan vaskularisasi untuk dua per tiga spinal cord bagian bawah.
Serat bagian dorsal dan ventral dari spinal cord disuplai oleh arteri radikular
segmental atau arteri medullar.
Arteri dan vena bagian anterior dan posterior berjalan sepanjang spinal
cord dan mengalir menuju vena radikular segmental atau vena medular. Vena
radikular menerima aliran darah dari vena vertebra interna yang berjalan di dalam
kanalis vertebra. Darah dari vena radikular mengalir menuju vena segmental dan
selanjutnya dialirkan menuju vena kava superior, sistem vena-vena azygos dan
vena kava inferior (Thompson, 2010).

15
Gambar 12. Anterior dan posterior spinal arteri

2.2 Definisi
Kata spondylolisthesis berasal dari bahsa Yunani yang terdiri atas kata
“spondylo” yang berarti tulang belakang (vertebra) dan “listhesis” yang berarti
bergeser. Maka spondilolistesis adalah suatu pergeseran korpus vertebrae
(biasanya kedepan) terhadap korpus vertebra yang terletak dibawahnya.
Umumnya terjadi pada pertemuan lumbosacral (lumbosacral joints) dimana L5
bergeser (slip) diatas S1, akan tetapi hal tersebut dapat terjadi pula pada tingkat
vertebra yang lebih tinggi (Hu, et. al, 2008).

16
Umumnya diklasifikasikan ke dalam lima bentuk : kongenital atau
displastik, isthmus, degeneratif, traumatik dan patologis. Banyak kasus dapat
diterapi secara konservatif. Meskipun demikian, pada individu dengan
radikulopati, klaudikasio neurogenik, abnormalitas postural dan cara berjalan
yang tidak berhasil dengan penanganan non-operatif, dan terdapatnya pergeseran
yanf progresif, pembedahan dianjurkan. Tujuan pembedahan adalah untuk
menstabilkan segmen spinal dan dekompresi elemen saraf jika dibutuhkan.

2.3 Epidemiologi
Spondilolistesis mengenai 5-6 % populasi pria, dan 2-3 % wanita. Karena
gejala yang diakibatkan olehnya bervariasi, kelainan tersebut sering ditandai
dengan nyeri pada bagian belakang (low back pain), nyeri pada paha dan tungkai.
Sering penderita mengalami perasaan tidak nyaman dalam bentuk spasme otot,
kelemahan dan ketegangan otot betis. Meskipun demikian, banyak penelitian
menyebutkan bahwa terdapat predisposisi kongenital dalam terjadinya
spondilolistesis dengan prevalensi sekitar 69 % pada anggota keluarga yang
terkena. Lebih lanjut, kelainan ini juga berhubungan dengan meningkatnya
insidensi spina bifida sacralis (Hu, et. al, 2008).
Kira-kira 82 % kasus isthmic spondilolistesis terjadi di L5-S1. 11,3 %
terjadi di L4-L5. Kelainan kongenital seperti spina bifida occulta berkaitan dengan
munculnya isthmic spondilolistesis (Niggeman, 2012).
Degenarative spondilolistesis terjadi lebih sering seiring bertambahnya
usia. Vertebra L4-L5 terkena 6-10 kali lebih sering dibanding lokasi lainnya.
Sakralisasi L5 sering terlihat pada degenerative spondilolistesis L4-L5. Tipe ini
biasanya muncul 5 kali lebih sering pada wanita dibanding pria, dan sering pada
usia lebih dari 40 tahun (Jacobsen, 2007).
Spondilolistesis kongenital (tipe displastik) terjadi 2 kali lebih sering pada
wanita dengan permulaan gejala muncul pada usia remaja. Tipe ini biasanya
terjadi sekitar 14-21 % dari semua kasus spondilolistesis.
2.4 Etiologi dan Klasifikasi
Etiologi spondylolistesis adalah multifaktorial. Predisposisi kongenital
tampak pada spondilolistesis tipe 1 dan 2, dan postur, gravitasi, tekanan rotasional
dan stres/ tekanan konsentrasi tinggi pada sumbu tubuh berperan penting dalam
terjadinya pergeseran tersebut. Terdapat 5 tipe utama spondilolistesis :

17
a. Tipe I disebut dengan spondilolistesis displastik (kongenital) dan terjadi
akibat kelainan kongenital. Biasanya pada permukaan sacral superior
dan permukaan L5 inferior atau keduanya dengan pergeseran vertebra
L5.
b. Tipe II, istmhik atau spondilolitik, dimana lesi terletak pada bagian
isthmus atau pars interartikularis, mempunyai angka kepentingan klinis
yang bermakna pada individu di bawah 50 tahun. Jika defeknya pada
pars interartikularis tanpa adanya pergeseran tulang, keadaan ini disebut
dengan spondilolisis. Jika satu vertebra mengalami pergeseran kedepan
dari vertebra yang lain, kelainan ini disebut dengan spondilolistesis.
Tipe II dibagi dalam tiga subkategori :
 Tipe IIA yang kadang-kadang disebut dengan lytic atau stress
spondilolistesis dan umumnya diakibatkan oleh mikro-fraktur
rekuren yang disebabkan oleh hiperekstensi. Juga disebut
dengan stress fraktur pars interarticularis dan paling sering
terjadi pada laki-laki.
 Tipe IIB umumnya juga terjadi akibat mikro-fraktur pada pars
interartikularis. Meskipun demikian, berlawanan dengan tipe
IIA, pars interartikularis masih tetap intak, akan tetapi
meregang dimana fraktur mengisinya dengan tulang baru. 4
 Tipe IIC sangat jarang terjadi dan disebabkan oleh fraktur akut
pada bagian pars interartikularis. Pencitraan radioisotop
diperlukan dalam menegakkan diagnosis kelainan ini.

18
c. Tipe III, merupakan spondilolistesis degenerative, dan terjadi sebagai
akibat degenerasi permukaan sendi vertebra. Perubahan pada
permukaan sendi tersebut akan mengakibatkan pergeseran vertebra ke
depan atau ke belakang. Tipe spondilolistesis ini sering dijumpai pada
orang tua. Pada tipe III, spondilolistesis degenerative pergeseran
vertebra tidak melebihi 30 %.
d. Tipe IV, spondilolistesis traumatic, berhubungan dengan fraktur akut
pada elemen posterior (pedikel, lamina atau permukaan/ facet)
dibandingkan dengan fraktur pada bagian pars interartikularis.
e. Tipe V, spondilolistesis patologik, terjadi karena kelemahan struktur
tulang sekunder akibat proses penyakit seperti tumor atau penyakit
tulang lainnya (Puschak, et. al, 2003).

2.5 Patofisiologi
Sekitar 5-6 % pria dan 2-3 % wanita mengalami spondilolistesis.
Pertama sekali tampak pada individu yang terlibat aktif dengan aktifitas
fisik yang berat seperti angkat besi, senam dan sepak bola. Pria lebih
sering menunjukkan gejala dibandingkan dengan wanita, terutama
diakibatkan oleh tingginya aktivitas fisik pada pria. Meskipun beberapa
anak-anak dibawah usia 5 tahun dapat mengalami spondilolistesis, sangat
jarang anak-anak tersebut didiagnosis dengan spondilolistesis.
Spondilolistesis sering terjadi pada anak usia 7-10 tahun.
Peningkatan aktivitas fisik pada masa remaja dan dewasa sehari-
hari mengakibatkan spondilolistesis sering dijumpai pada remaja dan
dewasa. Spondilolistesis dikelompokkan ke dalam lima tipe utama dimana
masing-masing mempunyai patologi yang berbeda. Tipe tersebut antara
lain tipe displastik, isthmic, degenerative, traumatic dan patologik.
Spondilolistesis displastik merupakan kelainan kongenital yang terjadi
karena malformasi lumbosacral joints dengan permukaan sendi yang kecil
dan inkompeten. Spondilolistesis displastik sangat jarang terjadi, akan
tetapi cenderung berkembang secara progresif, dan sering berhubungan
dengan deficit neurologis berat. Sangat sulit diterapi karena bagian elemen

19
posterior dan prosessus transversus cenderung berkembang kurang baik,
meninggalkan area permukaan kecil untuk fusi pada bagian posterolateral.
Spondilolistesis displastik terjadi akibat defek arkus neural,
seringnya pada sacrum bagian atas atau L5. Pada tipe ini, 95 % kasus
berhubungan dengan spina bifida occulta. Terjaid kompresi serabut saraf
pada foramen S1, meskipun peregserannya minimal. Spondilolistesis
isthmic merupakan bentuk spondilolistesis yang paling sering.
Spondilolistesis isthmic (juga sering disebut spondilolistesis spondilolitik)
merupakan kondisi yang paling sering dijjumpai dengan angka prevalensi
5-7 %. Fredericson et al menunjukkan bahwa defek spondilolistesis
biasanya didapatkan pada usia 6-16 tahun, dan pergeseran tersebut sering
lebih cepat. Ketika pergeseran terjadi, jarang berkembang progresif,
meskipun suatu penelitian tidak mendapatkan hubungan antara
progresifitas pergeseran dengan terjadinya gangguan diskus
intervertebralis pada usia pertengahan. Telah dianggap bahwa kebanyakan
spondilolistesis isthmic tidak bergejala, akan tetapi insidensi timbulnya
gejala tidak diketahui. Secara kasar 90 % pergeseran isthmus merupakan
pergeseran tingkat rendah (low grade : kurang dari 50 % yang mengalami
pergeseran) dan sekitar 10 % bersifat high grade (lebih dari 50 % yang
mengalami pergeseran).
Sistem grading untuk spondilolistesis yang umum dipakai adalah
system grading Meyerding untuk menilai beratnya pergeseran. Kategori
tersebut didasarkan pengukuran jarak dari pinggir posterior korpus
vertebra superior hingga pinggir posterior korpus vertebra inferior yang
terletak berdekatan dengannya pada foto rontgen lateral. Jarak tersebut
kemudian dilaporkan sebagai panjang korpus vertebra superior total :
 Grade 1 adalah 0-25 %
 Grade 2 adalah 25-50 %
 Grade 3 adalah 50-75 %
 Grade 4 adalah 75-100 %
 Spondiloptosis  lebih dari 100 %

20
Faktor biomekanik sangat penting perannya dalam perkembangan
spondilolisis menjadi spondilolistesis. Tekanan / kekuatan gravitasional
dan postural akan menyebabkan tekanan yang besar pada pars
interartikularis. Lordosis lumbal dan tekanan rotasional dipercaya berperan
penting dalam perkembangan defek litik pada pars interartikularis dan
kelemahan pars interartikularis pada pasien muda. Terdapat hubungan
antara tingginya aktivitas selama masa kanak-kanak dengan timbulnya
defek pada pars interartikularis.
Pada Tipe degenerative, instabilitas intersegmental terjadi akibat
penyakit diskus degenerative atau facet arthropaty. Proses tersebut dikenal
dengan spondilosis. Pergeseran tersebut terjadi akibat spondilosis progresif
pada 3 kompleks persendian tersebut. Umumnya terjadi pada L4-5, dan
wanita usia tua yang umumnya terkena. Cabang saraf L5 biasanya terkena

21
akibat stenosis resesus lateralis sebagai akibat hipertrofi ligament atau
permukaan sendi.
Pada Tipe traumatic, banyak bagian arkus neural yang terkena /
mengalami fraktur, sehingga menyebabkan subluksasi vertebra yang tidak
stabil. Spondilolistesis patologis terjadi akibat penyakit yang mengenai
tulang, atau berasal dari metastasis atau penyakit metabolic tulang, yang
menyebabkan mineralisasi abnormal, remodeling abnormal serta penipisan
bagian posterior sehingga menyebabkan pergeseran (slippage). Kelainan
ini dilaporkan terjadi pada penyakit Pagets, tuberculosis tulang, Giant cell
Tumor dan metastasis tumor (Perrin, et. al, 2008).

2.6 Gambaran Klinis


Gambaran klinis spondilolistesis sangat bervariasi dan bergantung
pada tipe pergeseran dan usia pasien. Selama masa awal kehidupan,
gambaran klinisnya berupa low back pain yang biasanya menyebar ke
paha bagian dalam dan bokong, terutama selama aktivitas tinggi. Gejala
jarang berhubungan dengan derajat pergeseran (slippage), meskipun
sangat berkaitan dengan instabilitas segmental yang terjadi. Tanda
neurologis berhubungan dengan derajat pergeseran dan mengenai system
sensoris, motoric dan perubahan reflex akibat dari pergeseran serabut
saraf. Progresifitas listesis pada individu dewasa muda biasanya terjadi
bilateral dan berhubungan dengan gambaran klinis/fisik berupa :
 Terbatasnya pergerakan tulang belakang
 Tidak dapat memfleksikan panggul dengan lutut yang berekstensi
penuh
 Hiperlordosis lumbal dan thorakolumbal
 Hiperkifosis lumbosacral junction
 Kesulitan berjalan
 Pemendekan badan jika terjadi pergeseran komplit (spondiloptosis)

Pasien dengan spondilolistesis degenerative biasanya pada orang tua dan


muncul dengan nyeri tulang belakang (back pain), radikulopati, klaudikasio
neurogenic atau gabungan beberapa gejala tersebut. Pergeseran tersebut paling

22
sering terjadi pada L4-5 dan jarang terjadi L3-4. Gejala radikuler sering terjadi
akibat stenosis resesus lateralis dan hipertrofi ligamen atau herniasi diskus.
Cabang akar saraf L5 sering terkena dan menyebabkan kelemahan otot ekstensor
halluces longus. Penyebab gejala klaudikasio neurogenic selama pergerakan
adalah bersifat multifactorial. Nyeri berkurang ketika pasien memfleksikan tulang
belakang dengan duduk. Fleksi memperbesar ukuran kanal dengan menegangkan
ligamentum flavum, mengurangi overriding lamina dan pembesaran foramen. Hal
tersebut mengurangi tekanan pada cabang akar saraf, sehingga mengurangi nyeri
yang timbul (Meade, 2006).

2.7 Diagnosis
Diagnosis ditegakan dengan gambaran klinis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan radiologis.
1. Gambaran Klinis
Nyeri punggung (back pain) pada regio yang terkena merupakan gejala
khas. Umunya nyeri yang timbul berhubungan dengan aktivitas.
Aktivitas membuat nyeri makin bertambah buruk dan istirahat akan
dapat menguranginya. Spasme otot dan kekakuan dalam pergerakan
tulang belakang merupakan ciri yang spesifik. Gejala neurologis seperti
nyeri pada bokong dan otot hamstring tidak sering terjadi kecuali jika
terdapatnya bukti subluksasi vertebra. Keadaan umum pasien biasanya
baik dan masalah tulang belakang umumnya tidak berhubungan dengan
penyakir atau kondisi lainnya.

2. Pemeriksaan Fisik
Postur pasien biasanya normal, bilamana subluksasio yang terjadi
bersifat ringan. Dengan subluksasio berat, terdapat gangguan bentuk
postur. Pergerakan tulang belakang berkurang karena nyeri dan
terdapatnya spasme otot. Penyangga badan kadang-kadang memberikan
rasa nyeri pada pasien, dan nyeri umumnya terletak pada bagian dimana
terdapatnya pergeseran/keretakan, kadang nyeri tampak pada beberapa
segmen distal dari level/tingkat dimana lesi mulai timbul. Ketika pasien
dalam posisi telungkup (prone) di atas meja pemeriksaan, perasaan
tidak nyaman atau nyeri dapat diidentifikasi ketika palpasi dilakukan

23
secara langsung diatas defek pada tulang belakang. Nyeri dan kekakuan
otot adalah hal yang sering dijumpai. Pada banyak pasien, lokalisasi
nyeri disekitar defek dapat sangat mudah diketahui bila pasien
diletakkan pada posisi lateral dan meletakkan kaki mereka keatas
seperti posisi fetus. Defek dapat diketahui pada posisi tersebut.
Pemeriksaan neurologis terhadap pasien dengan spondilolistesis
biasanya negative. Fungsi berkemih dan defekasi biasanya normal,
terkecuali pada pasien dengan sindrom cauda equine yang berhubungan
dengan lesi derajat tinggi.

3. Pemeriksaan Radiologis
Foto polos vertebra merupakan modalitas pemeriksaan awal dalam
diagnosis spondilosis atau spondilolistesis. X ray pada pasien dengan
spondilolistesis harus dilakukan pada posisi tegak/berdiri. Film posisi AP,
Lateral dan oblique adalah modalitas standard dan posisi lateral persendian
lumbosacral akan melengkapkan pemeriksaan radiologis. Posisi lateral
pada lumbosacral joints, membuat pasien berada dalam posisi fetal,
membantu dalam mengidentifikasi defek pada pars interartikularis, karena
defek lebih terbuka pad aposisi tersebut dibandingkan bila pasien berada
dalam posisi berdiri. Pada beberapa kasus tertentu studi pencitraan seperti
bone scan atau CT scan dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis. Pasien
dengan defek pada pars interartikularis sangat mudah terlihat dengan CT
scan. Bone scan (SPECT scan) bermanfaat dalam diagnosis awal reaksi
stress/tekanan pada defek pars interartikularis yang tidak terlihat baik
dengan foto polos. Scan positif menunjukkan bahwa proses penyembuhan
tulang telah dimulai, akan tetapi tidak mengindikasikan bahwa
penyembuhan yang definitive akan terjadi. CT scan dapat menggambarkan
abnormalitas pada tulang dengan baik, akan tetapi MRI sekarang lebih
sering digunakan karena selain dapat mengidentifikasi tulang juga dapat
mengidentifikasi jaringan lunak (diskus, kanal dan anatomi serabut saraf )
lebih baik dibandingkan dengan foto polos. Xylography umumnya
dilakukan pada pasien dengan spondilolistesis derajat tinggi.

24
Spondilolistesis dibagi berdasarkan derajatnya berdasarkan
persentase pergeseran vertebra dibandingkan dengan vertebra di dekatnya,
yaitu:
1. Derajat I: pergeseran kurang dari 25%
2. Derajat II diantara 26-50%
3. Derajat III diantara 51-75%
4. Derajat IV diantara 76-100% (Penning, et. al, 1980).

25
2.8 Penatalaksanaan
Terapi pada spondilolistesis dapat dilakukan dengan dua cara yaitu
operative dan non operative. Pemilihan terapi pada pasien tergantung dari usia
pasien, tipe subluksasi dan gejala yang dialami oleh pasien. Tujuan dari terapi
adalah menghilangkan nyeri yang dirasakan pasien dan memperkuat serta
stabilisasi vertebra. Prinsip terapi pada spondilolistesis adalah apabila
spondilolistesis yang ringan tanpa gejala, tidak diperlukan terapi tertentu. Apabila
muncul gejala yang masih ringan, terapinya biasanya diberikan latihan agar tidak
terjadi kekakuan vertebra dan penggunaan brace untuk stabilisasi vertebra.
Namun, jika gejala yang timbul berat dan lebih penting lagi apabila sampai
mengganggu aktivitas pasien, maka operasi menjadi pilihan terbaik (Puschak,
2003).

1. Konservatif (Non operatif)


Terapi konservatif terdiri dari istirahat (rest), penyangga eksternal ke
bagian vertebra yang terkena defek, terapi medikamentosa dan
fisioterapi. Penyangga eksternal biasanya menggunakan brace.
 Modifikasi gaya hidup
Sangatlah penting untuk mengedukasi pasien dengan
spondilolistesis mengenai kondisi mereka dan bagaimana untuk

26
meminimalisasi gejala yang dialami serta mencegah terjadinya
progresi dari subluksasi tersebut. Langkah-langkahnya adalah
sebagai berikut :
 Mengurangi atau tidak melakukan aktifitas yang
menyebabkan nyeri
 Bed rest selama episode nyeri akut
 Menjaga berat badan agar tidak overweight
 Membatasi gerakan lumbar
 Penyangga eksternal (bracing)
Brace merupakan hal yang penting dalam terapi konservatif.
Tujuan penggunaan brace adalah untuk stabilisasi vertebra,
mencegah terjadinya progresifitas dari subluksasi yang telah
terjadi. Dalam beberapa kasus brace juga terbukti mengurangi
nyeri dan spasme otot.
 Terapi medikamentosa
Medikasi diberikan untuk mengurangi rasa nyeri, proses
inflamasi dan spasme otot. Analgesik digunakan untuk
mengurangi nyeri, muscle relaxants digunakan untuk
mengurangi spasme otot serta NSAID atau steroid untuk
mengurangi proses inflamasi.
 Fisioterapi
Fisioterapi menggunakan variasi modalitas seperti ultrasound,
stimulasi elektrik, pemijatan dan termal terapi untuk membantu
mengurangi spasme otot. Latihan stabilitas vertebra juga bisa
dilakukan untuk membantu meningkatkan fleksibilitas. Perlu
diingat bahwa latihan ini apabila dilakukan pada fase akut dapat
semakin merusak bagian yang sedang mengalami inflamasi.
 Ultrasound
Ultrasound adalah sebuah cara yang sangat efektif untuk
menstimulasi penyembuhan jaringan. Gelombang suara
dapat meningkatkan sirkulasi ke area yang mengalami
kerusakan, dan membantu merilekskan otot sekitarnya.
Cara ini sangat mendatangkan keuntungan bagi pasien
dengan spondilolistesis yang telah menyebabkan iritasi
pada jaringan disekitarnya.

27
 Terapi termal hangat
Terapi termal hangat berguna untuk meningkatkan
sirkulasi dan merilekskan jaringan otot sekitar.
 Kompres es
Kompres es biasanya digunakan pada 72 jam inisal dari
terjadinya injuri untuk mengurangi inflamasi dan
menghilangkan nyeri.
 TENS
Transcutaneous electrical nerve stimulation membantu
menghilangkan nyeri. Biasanya digunakan terutama
untuk nyeri yang teradiasi.
Angka keberhasilan terapi non-operatif sangat besar, terutama pada
pasien muda. Pada pasien yang lebih tua dengan pergeseran ringan (low
grade slip) yang diakibatkan oleh degenerasi diskus, traksi dapat
digunakan dengan beberapa tingkat keberhasilan. Salah satu tantangan
adalah dalam terapi pasien dengan nyeri punggung hebat dan
menunjukkan gambaran radiografi abnormal. Pasien tersebut mungkin
memiliki penyakit degenerative pada diskus atau bahkan pergeseran
ringan (low grade slip, <25%), dan biasanya nyeri yang terjadi tidak
sesuai dengan pemeriksaan fisik dan gambaran radiografi. Nyeri
punggung merupakan masalah kesehatan utama dan penyebab
disabilitas yang paling sering. Adalah sangat penting untuk
mempertimbangkan factor tingkah laku dan psikososial yang berperan
dalam timbulnya disabilitas pada pasien tersebut.

2. Terapi Pembedahan
Terapi pembedahan hanya direkomendasikan bagi pasien yang sangat
simtomatis yang tidak berespon dengan perawatan non-bedah dan
dimana gejalanya menyebabkan suatu disabilitas. Tujuan terapi adalah
untuk dekompesi elemen neural dan immobilisasi segmen yang tidak
stabil. Umumnya dilakukan dengan eliminasi pergerakan sepanjang
permukaan sendi (facet joints) dan diskus intervertebralis melalui
arthrodesis (fusi). Indikasi intervensi bedah (fusi) pada pasien dewasa
adalah :

28
 Tanda neurologis - radikulopaty (yang tidak berespon dengan
terapi konservatif).
 Klaudikasio neurogenik.
 Pergeseran berat ( High grade slip >50 %)
 Pergeseran tipe I dan tipe II, dengan bukti adanya instabilitas,
progresifitas listesis, dan kurang berespon dengan terapi
konservatif.
 Spondilolistesis traumatic.
 Spondilolistesis iatrogenic.
 Listesis tipe III (degenerative) dengan instabilitas berat dan nyeri
hebat.
 Deformitas postural dan abnormalitas gaya berjalan (gait).

2.9 Komplikasi
Progresifitas dari pergeseran dengan peningkatan tekanan ataupun
penarikan pada saraf spinal, bisa menyebabkan komplikasi. Pada pasien yang
membutuhkan penanganan dengan pembedahanuntuk menstabilkan
spondilolistesis, dapat terjadi komplikasi seperti nerve root injury (<1%),
kebocoran LCS (2-10 %), kegagalan melakukan fusi (5-25 %), infeksi dan
perdarahan dari prosedur pembedahan (1-5 %). Pada pasien yang perokok,
kemungkinan untuk terjadinya kegagalan pada saat fusi ialah (>50%). Pasien yang
berusia lebih muda memiliki resiko yang lebih tinggi untuk menderita
spondilolistesis isthmic atau kongenital yang lebih progresif. Radiografi serial
dengan posisi lateral harus dilakukan setiap 6 bulan untuk mengetahui
perkembangan pasien ini (Wolfson, 2008).

3.9 Prognosis
Pasien dengan fraktur akut dan pergeseran tulang yang minimal
kemungkinan akan kembali normal apabila fraktur tersebut membaik. Pasien
dengan perubahan vertebra yang progresif dan degenerative kemungkinan akan
mengalami gejala yang sifatnya intermiten. Resiko untuk terjadinya
spondilolistesis degenerative meningkat seiring dengan bertambahnya usia, dan
pergeseran vertebra yang progresif terjadi pada 30% pasien. Bila pergeseran

29
vertebra semakin progresif, foramen neural akan semakin dekat dan menyebabkan
penekanan pada saraf, hal ini akan membutuhkan dekompresi (Hu, et. al, 2008).

30
DAFTAR
PUSTAKA

1. Hu, et al.
2008.

Spondylolisthesis and Spondylolysis. J Bone Joint Surg Am. 2008;90: 656-


671.
2. Thompson, John T. Netter’s Concise Orthopaedic Anatomy. Philadelpia
Saunder Elsevier, 2010.
3. An, Howard S. Synopsis of Spine Surgery. Thierne, 2008.
4. Woolfson, Tony. 2008. Spondylolisthesis: Synopsis of Causation.
Medical Text, Edinburgh. pp: 1-13
5. Jacobsen, et al. 2007. Degenerative Lumbar Spondylolisthesis: An
Epidemiological Perspective. SPINE Volume 32, Number 1, pp 120–125
6. Perrin, Adam E dan Brian J Shiple. 2008. Lumbosacral Spondylolisthesis.
emedicine.medscape.com
7. Puschak, Thomas J dan Rick C. Sasso. 2003. Spondylolysis-
Spondylolisthesis. American Academy of Orthopaedic Surgeons. pp: 553-
563

31
8. Meade, et al. 2006. Orthotic Treatment of Degenerative Disk Disease with
Degenerative Spondylolisthesis: A Case Study. JPO Journal of Prosthetics
and Orthotics Volume 18 Number 1 : 8-14
9. Penning dan Blickman. 1980. Instability in Lumbar Spondylolisthesis: A
Radiologic Study of Several Concepts. AJR: 134, February : 293-301
10. Niggemann, et al. 2012. Spondylolysis And Isthmic Spondylolisthesis:
Impact Of Vertebral Hypoplasia On The Use Of The Meyerding
Classification. The British Journal of Radiology, 85 (2012), 358–362
11. Moller, et al. 2000. Symptoms, Signs, and Functional Disability in Adult
Spondylolisthesis. SPINE Volume 25, Number 6, pp 683-689

32

You might also like