You are on page 1of 41

Mini Clinical Examination

(MINI CEX)

Oleh:
Farras Cahya Puspitha, S.Ked 1618012085
Rosi Indah Pratama, S.Ked 1618012117

Preceptor :
dr. Hanggoro Sapto, Sp.THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN THT-KL


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. H. ABDUL MOELOEK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan ke hadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga saya dapat menyusun makalah
Mini CEX ini. Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas dalam
kepanitraan klinik pada bagian THT-KL RSUD dr. H. Abdoel Moeloek, Bandar
Lampung.
Penulis menyadari banyak kekurangan dalam penulisan laporan kasus ini,
baik dari segi isi, bahasa, analisis dan sebagainya. Oleh karena itu, penulis ingin
meminta maaf atas segala kekurangan tersebut, hal ini disebabkan karena masih
terbatasnya pengetahuan, wawasan dan keterampilan penulis. Selain itu, kritik dan
saran dari pembaca sangat diharapkan guna kesempurnaan makalah selanjutnya
dan sebagai bahan pembelajaran untuk kita semua. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat dan dapat memberikan wawasan berupa ilmu pengetahuan untuk kita
semua.

Bandar Lampung, Agustus 2018

Penulis

i
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Pendahuluan
Otitis Media Akut (OMA) merupakan peradangan akut telinga tengah dimana
telinga tengah adalah ruang di dalam telinga yang terletak antara membran
timpani dengan telinga dalam serta berhubungan dengan nasofaring melalui tuba
Eustachius (Tortora, 2009). Pencetus terjadinya OMA adalah infeksi saluran nafas
atas. Pada anak-anak semakin sering terserang infeksi saluran nafas, makin besar
kemungkinan terkena OMA (Djaafar, 2012). Penyebab Otitis Media Akut
didominasi oleh infeksi bakteri dan sepertiga kasus disebabkan oleh virus.
Sepertiga kasus dari infeksi bakteri disebabkan oleh Streptococcus pneumonia dan
sepertiga kasus untuk Haemophilus influenza (Worrall, 2007). Streptococcus
pyogenes juga menjadi bakteri predominan keempat sebagai penyebab OMA pada
anak-anak setelah Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenza, dan
Moraxella catarrhalis (Kakuta et al, 2014).

OMA termasuk penyakit yang umum terjadi di negara-negara dengan ekonomi


rendah, khususnya Indonesia. Oleh karena itu, OMA perlu mendapat perhatian
khusus agar penyakit ini dapat dicegah dan tidak terus berkembang (Aboet, 2006).
Meropol et al. (2008) menyatakan bahwa terdapat 45-62% pemberian antibiotik
pada anak- anak di Amerika Serikat disebabkan terkena OMA. Studi lain
melaporkan bahwa 70% dari anak-anak mengalami >1 kali serangan OMA
sebelum berusia 2 tahun. Gejala yang serius seperti demam, otalgia dan otorrhea
dapat mengganggu aktivitas sehari-hari anak dan memiliki dampak negatif yang
besar pada kualitas hidup mereka (Wang et al., 2011). Anak umur 6-11 bulan lebih
rentan menderita OMA. Insiden anak laki-laki lebih besar daripada anak
perempuan. Sebagian kecil anak menderita penyakit ini pada umur yang sudah
lebih besar, pada umur empat dan awal lima tahun. Beberapa bersifat individual
dapat berlanjut menderita episode akut pada masa dewasa. Kadang-kadang, orang
dewasa dengan infeksi saluran pernafasan akut tapi tanpa riwayat sakit pada
telinga dapat menderita OMA (Donaldson, 2011).

1
Di Indonesia, belum ada data yang akurat untuk menunjukkan prevalensi,
insidensi maupun angka kejadian OMA. Penelitian oleh Titisari yang dilakukan di
Departemen THT FKUI RSCM & poli THT RSAB Harapan Kita menunjukkan
terdapat 43 pasien yang mengalami OMA antara Agustus 2004 sampai Februari
2005.

2
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : An. AA
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 11 tahun
Pendidikan : SD
Suku bangsa : Jawa
Alamat : Jl. Pulau Legundi, Gg. Kemiri No. 04, Bandar Lampung

2.2 ANAMNESIS
Anamnesis pada pasien dilakukan secara Alloanamnesis dan Autoanamnesis
pada tanggal 28 Juli 2018.

Keluhan Utama:
Nyeri di bagian dalam telinga kanan sejak 2 hari yang lalu.

Keluhan Tambahan:
Telinga kanan terasa penuh, batuk dan pilek.

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke Poliklinik THT-KL RSUD Abdoel Muluk dengan keluhan
nyeri di bagian dalam telinga kanan sejak 2 hari yang lalu. Nyeri dirasakan
hilang timbul. Sebelumnya telinga kanan terasa penuh sejak 3 hari yang lalu
disertai nyeri yang mulai memberat pada satu hari terakhir.

Ibu pasien mengatakan sejak 7 hari yang lalu pasien menderita batuk dan
pilek, dan disertai keluhan demam. Keluhan lain berupa penurunan
pendengaran dan keluar cairan dari telinga disangkal. Keluhan pusing dan
nyeri menelan juga disangkal. Ibu pasien mengatakan bahwa keluhan baru
pertama kali dirasakan. Menurut ibu pasien, pasien belum berobat untuk
mengurangi keluhan telinga. Pasien hanya berobat untuk mengurangi keluhan
batuk dan pileknya.

3
Riwayat penyakit dahulu :
Pasien sering menderita batuk dan pilek. Riwayat mengorek telinga dan
sering berenang disangkal.

Riwayat penyakit keluarga :


Riwayat alergi dan asma pada keluarga disangkal.

2.3 PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan Umum
Kesadaran : Compos mentis
Nadi : 92 x/menit
Suhu : 36.7˚C
Pernapasan : 20 x/menit
Berat badan : 37 kg

Status Generalis
Kepala : normocephal, tidak ada kelainan

Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera anikterik

Leher : pembesaran KGB leher (-), nyeri tekan (-)

Thoraks : Jantung dan paru dalam batas normal

Abdomen : Tidak dilakukan pemeriksaan

Ekstremitas : Tidak tampak edema tungkai, perfusi jaringan baik

Status Lokalis THT

Telinga

KANAN TELINGA LUAR KIRI


Normotia Bentuk Telinga Luar Normotia
Normal, nyeri tarik (-), Normal, nyeri tarik (-),
warna kulit sama dengan Daun Telinga warna kulit sama dengan
sekitarnya sekitarnya

4
Warna kulit sama dengan Warna kulit sama dengan
sekitar, nyeri tekan (-), fistel Preaurikular sekitar, nyeri tekan (-), fistel
(-), abses (-) (-), abses (-)
Normal, nyeri tekan (-), Normal, nyeri tekan (-),
Retroaurikular
tidak ada benjolan tidak ada benjolan
Tidak ada Nyeri Tekan Tragus Tidak ada
Tidak ada Tumor Tidak ada

KANAN LIANG TELINGA KIRI


Lapang Lapang/Sempit Lapang
Hiperemis (-) Warna Hiperemis (-)
Tidak ada Sekret Tidak ada
Tampak serumen berwarna Tampak serumen berwarna
kecoklatan dengan Serumen kecoklatan dengan
konsistensi lunak konsistensi lunak
Tidak ditemukan Kelainan Lain Tidak ditemukan

KANAN MEMBRAN TIMPANI KIRI


Intak Bentuk Intak
Hiperemis Warna Putih Mutiara
(+) berpendar Reflek Cahaya (+) arah jam 7
Tidak ada Perforasi Tidak ada
Retraksi (-), Buldging (-) Kelainan Lain Retraksi (-), Buldging (-)

Hidung

KANAN HIDUNG LUAR KIRI


Warna sama dengan Warna sama dengan
Kulit
sekitarnya sekitarnya
Terletak di linea mediana Terletak di linea mediana
Dorsum Nasi
nasi nasi
Nyeri tekan (-), Krepitasi (-) Nyeri Tekan, Krepitasi Nyeri tekan (-), Krepitasi (-)
Selulitis (-), edema (-) Ala Nasi Selulitis (-), edema (-)
Tidak ditemukan Nyeri Tekan Frontal Tidak ditemukan
Tidak ditemukan Nyeri Tekan Maksila Tidak ditemukan
Normal, tidak sempit, Normal, tidak sempit,
Nares Anterior
simetris simetris
Tidak ditemukan Tumor, Fistel Tidak ditemukan

RHINOSKOPI
KANAN KIRI
ANTERIOR
Lapang Cavum Nasi Lapang
Ada Sekret ada
Tidak berbau Bau Tidak berbau
Normotrofi Konka Inferior Normotrofi
Sulit dinilai Konka Media Sulit dinilai
Deviasi (-) Septum Nasi Deviasi (-)

5
Tidak ditemukan Abses, Massa Tidak ditemukan

Rhinoskopi Posterior
Tidak dilakukan

Cavum Oris
CAVUM ORIS Hasil Pemeriksaan
Mukosa Tidak hiperemis
Gingiva Ulkus (-), edema (-)
Gigi Karies dentis (-)
Lidah Bentuk normal, atrofi papil (-)
Palatum Durum Permukaan licin
Palatum Mole Permukaan licin
Uvula Posisi letak tengah
Tumor Tidak ditemukan

Faring
FARING Hasil Pemeriksaan
Dinding Faring Edema (-), Granular (-)
Mukosa Hiperemis (-)
Uvula Ditengah
Arkus Faring Simetris, Hiperemis (-)
Sekret Tidak Ada

Tonsil
TONSIL Hasil Pemeriksaan
Pembesaran T1-T1
Kripta Tidak Melebar
Detritus Tidak Ada
Perlekatan Tidak Ada
Sikatrik Tidak Ada

Pemeriksaan Nervus Kranialis


Tidak dilakukan pemeriksaan

PEMERIKSAAN KELENJAR GETAH BENING LEHER


Inspeksi : tidak terlihat pembesaran kelenjar getah bening
Palpasi : tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening, nyeri tekan (-)

6
2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG
-

2.5 PEMERIKSAAN ANJURAN


Tidak ada

2.6 DIAGNOSIS BANDING


Otitis Media Akut Stadium Hiperemis Auris Dextra
Otitis Media Akut Stadium Supurasi Auris Dextra

2.7 DIAGNOSIS KERJA


Otitis Media Akut Stadium Hiperemis Auris Dextra

2.8 PENATALAKSANAAN
Medikamentosa
- Amoxicilin sirup (40mg/kgBB/hari) dibagi 3 dosis
- Paracetamol sirup (10-15mg/kgBB/kali)
- Ambroxol sirup (0,5mg/kgBB/hari) dibagi 3 dosis
- HCL efedrin 0,5% (tetes hidung)

Non‒ Medikamentosa
 Tidak mengorek-ngorek telinga
 Menjaga telinga agar tidak kemasukan air pada saat mandi dan
hindari berenang
 Hindari ISPA berulang
 Asupan gizi seimbang
 Obat digunakan sesuai anjuran (antibiotik harus dihabiskan)
 Kontrol ulang 1 minggu lagi untuk melihat perkembangan
pengobatan

2.9 PROGNOSIS
Quo ad Vitam : Ad bonam
Quo ad Functionam : Ad bonam
Quo ad Sanationam : Ad bonam

7
8
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi Telinga


Telinga terdiri dari bagian luar, tengah, dan dalam. Telinga luar terdiri dari
daun telinga dan liang telinga sampai membran timpani; telinga tengah terdiri
dari tulang-tulang pendengaran (maleus, inkus, dan stapes), dan tuba
eustachius; sedangkan telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) dan
kanalis semisirkularis. Membran timpani memisahkan telinga luar dari telinga
tengah. Tuba auditiva menggabungkan telinga tengah dan nasofaring (Adam
G.L, 2012; Moore, 2013; Soepardi, 2012).

Gambar 1. Anatomi telinga


3.1.1 Telinga luar
Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga sampai membran
timpani. Daun telinga terdiri dari tulang rawan elastin dan kulit. Liang
telinga berbentuk huruf S, dengan rangka tulang rawan pada sepertiga
bagian luar, sedangkan dua pertiga bagian dalam rangkanya terdiri dari
tulang. Panjangnya kira-kira ±2,5 - 3cm (Soepardi, 2012).

Auricula atau lebih dikenal dengan daun telinga membentuk suatu


bentuk unik yang terdiri dari antihelix yang membentuk huruf Y,
dengan bagian crux superior di sebelah kiri dari fossa triangularis, crux

9
inferior pada sebelah kanan dari fossa triangularis, antitragus yang
berada di bawah tragus, sulcus auricularis yang merupakan sebuah
struktur depresif di belakang telinga di dekat kepala, concha berada di
dekat saluran pendengaran, angulus conchalis yang merupakan sudut di
belakang concha dengan sisi kepala, crus helix yang berada di atas
tragus, cymba conchae merupakan ujung terdekat dari concha, meatus
akustikus eksternus yang merupakan pintu masuk dari saluran
pendengaran, fossa triangularis yang merupakan struktur depresif di
dekat anthelix, helix yang merupakan bagian terluar dari daun telinga,
incisura anterior yang berada di antara tragus dan antitragus, serta lobus
yang berada di bagian paling bawah dari daun telinga, dan tragus yang
berada di depan meatus akustikus eksternus (Moore, 2013).

Gambar 2. Anatomi Auricula

Yang kedua adalah meatus akustikus eksternus atau dikenal juga dengan
liang telinga luar. Meatus akustikus eksternus merupakan sebuah tabung
berkelok yang menghubungkan auricula dengan membran timpani.
Pada orang dewasa panjangnya lebih kurang 1 inchi atau kurang lebih
2,5 cm. Rangka sepertiga bagian luar meatus adalah kartilago elastis,
dan dua pertiga bagian dalam adalah tulang yang dibentuk oleh
lempeng timpani. Meatus dilapisi oleh kulit, dan sepertiga luarnya

10
mempunyai rambut, kelenjar sebasea, dan glandula seruminosa. Rambut
dan lilin ini merupakan barier yang lengket, untuk mencegah masuknya
benda asing (Moore, 2013).

Selanjutnya yaitu membran timpani adalah membrana fibrosa tipis yang


berwarna kelabu mutiara. Membran ini terletak miring, menghadap ke
bawah, depan, dan lateral. Permukaannya konkaf ke lateral. Pada dasar
cekungannya terdapat lekukan kecil, yaitu umbo, yang terbentuk oleh
ujung manubrium mallei. Bila membran terkena cahaya otoskop, bagian
cekung ini menghasilkan "refleks cahaya", yang memancar ke anterior
dan inferior dari umbo. Membran timpani berbentuk bulat dengan
diameter lebih-kurang 1 cm. Pinggirnya tebal dan melekat di dalam alur
pada tulang. Alur itu, yaitu sulcus timpanicus, di bagian atasnya
berbentuk incisura. Dari sisi-sisi incisura ini berjalan dua plica, yaitu
plica mallearis anterior dan posterior, yang menuju ke processus
lateralis mallei. Daerah segitiga kecil pada membran timpani yang
dibatasi oleh plika-plika tersebut lemas dan disebut pars flaccida.
Bagian lainnya tegang disebut pars tensa. Manubrium mallei dilekatkan
di bawah pada permukaan dalam membran timpani oleh membran
mucosa (Moore, 2013).

(1) pars flaksid; (2) prosesus brevis


maleus; (3) tangan dari maleus; (4)
umbo; (5) resesus supratuba; (6)
orifisium tuba; (7) sel udara
hipotimpani; (8) tendon stapedius; (c)
chorda tympani; (I) inkus; (P)
promontorium; (o) oval window; (R)
round window; (T) tensor timpani; (A)
anulus

Gambar 3. Membran timpani normal pada telinga kanan


Perdarahan
Arteri-arteri dari daun telinga dan liang telinga luar berasal dari cabang
temporal superfisial dan aurikular posterior dari arteri karotis eksternal.
Permukaan anterior telinga dan bagian luar liang telinga didarahi oleh

11
cabang aurikular anterior dari arteri temporalis superfisial. Suatu
cabang dari arteri auricular posterior mendarahi permukaan posterior
telinga. Banyak dijumpai anastomosis diantara cabang-cabang dari
arteri ini. Pendarahan kebagian lebih dalam dari liang telinga luar dan
permukaan luar membrana timpani adalah oleh cabang aurikular dalam
arteri maksilaris interna vena telinga bagian anterior, posterior dan
bagian dalam umumnya bermuara ke vena jugularis eksterna dan vena
mastoid. Akan tetapi, beberapa vena telinga mengalir kedalam vena
temporalis superficial dan vena aurikularis posterior (Adam G.L, 2012;
Moore, 2013; Soepardi, 2012).

3.1.2 Telinga Tengah


Telinga tengah adalah ruang berisi udara di dalam pars petrosa ossis
temporalis yang dilapisi oleh membrana mukosa. Ruang ini berisi
tulang-tulang pendengaran yang berfungsi meneruskan getaran
membran timpani (gendang telinga) ke perilympha telinga dalam.
Kavum timpani berbentuk kubus dengan batas:
- Batas luar : membran timpani
- Batas depan : tuba Eustachius
- Batas bawah : vena jugularis
- Batas belakang : aditus ad antrum, kanalis fasialis pars vertikalis
- Batas atas : tegmen timpani (meningen/otak)
- Batas dalam : kanalis semisirkularis horizontal, kanalis fasialis,
tingkap lonjong, tingkap bundar dan promontorium (Soepardi,
2012).

Di bagian dalam rongga ini terdapat 3 jenis tulang pendengaran yaitu


tulang maleus, inkus dan stapes. Ketiga tulang ini merupakan tulang
kompak tanpa rongga sumsum tulang. Malleus adalah tulang
pendengaran terbesar, dan terdiri atas caput, collum, processus longum
atau manubrium, sebuah processus anterior dan processus lateralis.
Caput mallei berbentuk bulat dan bersendi di posterior dengan incus.
Collum mallei adalah bagian sempit di bawah caput. Manubrium mallei

12
berjalan ke bawah dan belakang dan melekat dengan erat pada
permukaan medial membran timpani. Manubrium ini dapat dilihat
melalui membran timpani pada pemeriksaan dengan otoskop. Processus
anterior adalah tonjolan tulang kecil yang dihubungkan dengan dinding
anterior cavum timpani oleh sebuah ligamen. Processus lateralis
menonjol ke lateral dan melekat pada plica mallearis anterior dan
posterior membran timpani.

Incus mempunyai corpus yang besar dan dua crus. Corpus incudis
berbentuk bulat dan bersendi di anterior dengan caput mallei. Crus
longum berjalan ke bawah di belakang dan sejajar dengan manubrium
mallei. Ujung bawahnya melengkung ke medial dan bersendi dengan
caput sta-pedis. Bayangannya pada membrana tympani kadang¬kadang
dapat dilihat pada pemeriksaan dengan otoskop. Crus breve menonjol
ke belakang dan dilekatkan pada dinding posterior cavum tympani oleh
sebuah ligamen.

Stapes mempunyai caput, collum, dua lengan, dan sebuah basis. Caput
stapedis kecil dan bersendi dengan crus longum incudis. Collum
berukuran sempit dan merupakan tempat insersio m. stapedius. Kedua
lengan berjalan divergen dari collum dan melekat pada basis yang
lonjong. Pinggir basis dilekatkan pada pinggir fenestra vestibuli oleh
sebuah cincin fibrosa, yang disebut ligamentum annulare.

13
Gambar 4. Anatomi Tulang-Tulang Pendengaran

Ada 2 otot kecil yang berhubungan dengan ketiga tulang pendengaran.


Muskulus tensor timpani terletak dalam saluran di atas tuba auditiva,
dan muskulus stapedius. Otot-otot ini berfungsi protektif dengan cara
meredam getaran-getaran berfrekuensi tinggi. Selanjutnya yaitu tuba
eustachius yang terbentang dari dinding anterior kavum timpani ke
bawah, depan, dan medial sampai ke nasofaring. Sepertiga bagian
posteriornya adalah tulang dan dua pertiga bagian anteriornya adalah
cartilago. Tuba berhubungan dengan nasofaring dengan berjalan
melalui pinggir atas m. constrictor pharynges superior. Tuba berfungsi
menyeimbangkan tekanan udara di dalam cavum timpani dengan
nasofaring terutama terbukti saat terbang dan mendaki gunung (Adam
G.L, 2012; Moore, 2013; Soepardi, 2012).

3.1.3 Telinga Dalam


Telinga dalam terdiri dari koklea yang berupa dua setengah lingkaran
dan vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Ujung
atau puncak koklea disebut helikotrema, yang berfungsi menghubungkan
perilimfa skala timpani denganskala vestibuli. Kanalis semisirkularis
saling berhubungan secara tidak lengkap dan membentuk lingkaran yang
tidak lengkap. Pada irisan melintang koklea tampak skala vestibuli
sebelah atas, skala timpani sebelah bawah dan skala media (ductus

14
koklearis) diantaranya. Skala vestibule dan skala timpani berisi perilimfa
sedangkan skala media berisi endolimfa. Dasar skala vestibuli disebut
sebagai membran vestibuli (Reissner Membrane) sedangkan skala media
adalah membran basalis. Pada membran ini terletak organ corti yang
mengandung organel-organel penting untuk mekanisme saraf perifer
pendengaran. Pada skala media terdapat bagian yang berbentuk lidah
yang disebut membrane tektoria, dan pada membran basal melekat sel
rambut yang terdiri dari sel rambut dalam, sel rambut luar dan kanalis
Corti, yang membentuk organ Corti (Adam G.L, 2012; Soepardi, 2012).

Gambar 5. Organ Corti

3.2 Otitis Media Akut


Otitis Media adalah peradangan pada sebagian atau seluruh mukosa telinga
tengah, tuba Eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid. Otitis media
berdasarkan gejalanya dibagi atas otitis media supuratif dan otitis media
non supuratif, di mana masing-masing memiliki bentuk yang akut dan
kronis. Selain itu, juga terdapat jenis otitis media spesifik, seperti otitis
media tuberkulosa, otitis media sifilitika. Otitis media yang lain adalah
otitis media adhesiva (Djaafar, 2012).

Otitis media akut (OMA) adalah peradangan telinga tengah dengan gejala
dan tanda-tanda yang bersifat cepat dan singkat. Gejala dan tanda klinik
lokal atau sistemik dapat terjadi secara lengkap atau sebagian, baik berupa

15
otalgia, demam, gelisah, mual, muntah, diare, serta otore, apabila telah
terjadi perforasi membran timpani. Pada pemeriksaan otoskopik juga
dijumpai efusi telinga tengah (Buchman, 2003). Terjadinya efusi telinga
tengah atau inflamasi telinga tengah ditandai dengan membengkak pada
membran timpani atau bulging, terdapat cairan di belakang membran
timpani, dan otore (Kerschner, 2007).

3.2.1 Etiologi
1. Bakteri
Bakteri piogenik merupakan penyebab OMA yang tersering.
Menurut penelitian, 65-75% kasus OMA dapat ditentukan jenis
bakteri piogeniknya melalui isolasi bakteri terhadap kultur cairan
atau efusi telinga tengah. Kasus lain tergolong sebagai non-
patogenik karena tidak ditemukan mikroorganisme penyebabnya.
Tiga jenis bakteri penyebab otitis media tersering adalah
Streptococcus pneumoniae (40%), diikuti oleh Haemophilus
influenzae (25-30%) dan Moraxella catarhalis (10-15%). Kira-
kira 5% kasus dijumpai patogen-patogen yang lain seperti
Streptococcus pyogenes (group A beta- hemolytic), Staphylococcus
aureus, dan organisme gram negatif. Staphylococcus aureus dan
organisme gram negatif banyak ditemukan pada anak dan neonatus
yang menjalani rawat inap di rumah sakit. Haemophilus
influenzae sering dijumpai pada anak balita. Jenis
mikroorganisme yang dijumpai pada orang dewasa juga sama
dengan yang dijumpai pada anak-anak (Kerschner, 2007).

2. Virus
Virus juga merupakan penyebab OMA. Virus dapat dijumpai
tersendiri atau bersamaan dengan bakteri patogenik yang lain.
Virus yang paling sering dijumpai pada anak-anak, yaitu
respiratory syncytial virus (RSV), influenza virus, atau adenovirus
(sebanyak 30-40%). Kira-kira 10-15% dijumpai parainfluenza
virus, rhinovirus atau enterovirus. Virus akan membawa dampak

16
buruk terhadap fungsi tuba Eustachius, menganggu fungsi imun
lokal, meningkatkan adhesi bakteri, menurunkan efisiensi obat
antimikroba dengan menganggu mekanisme farmakokinetiknya
(Kerschner, 2007). Dengan menggunakan teknik polymerase
chain reaction (PCR) dan virus specific enzyme-linked
immunoabsorbent assay (ELISA), virus-virus dapat diisolasi dari
cairan telinga tengah pada anak yang menderita OMA pada 75%
kasus (Buchman, 2003).

3.2.2 Faktor Risiko


Faktor risiko terjadinya otitis media adalah umur, jenis kelamin, ras,
faktor genetik, status sosio-ekonomi serta lingkungan, asupan air
susu ibu (ASI) atau susu formula, lingkungan merokok, kontak
dengan anak lain, abnormalitas kraniofasialis kongenital, status
imunologi, infeksi bakteri atau virus di saluran pernapasan atas,
disfungsi tuba Eustachius, inmatur tuba Eustachius dan lain-lain
(Kerschner, 2007).

Faktor umur juga berperan dalam terjadinya OMA. Peningkatan


insidens OMA pada bayi dan anak-anak kemungkinan disebabkan
oleh struktur dan fungsi tidak matang atau imatur tuba Eustachius.
Selain itu, sistem pertahanan tubuh atau status imunologi anak juga
masih rendah. Insidens terjadinya otitis media pada anak laki-laki
lebih tinggi dibanding dengan anak perempuan. Anak-anak pada ras
Native American, Inuit, dan Indigenous Australian menunjukkan
prevalensi yang lebih tinggi dibanding dengan ras lain. Faktor genetik
juga berpengaruh. Status sosioekonomi yang berpengaruh, seperti
kemiskinan, kepadatan penduduk, fasilitas higiene yang terbatas,
status nutrisi rendah, dan pelayanan pengobatan terbatas, sehingga
mendorong terjadinya OMA pada anak- anak. ASI dapat membantu
dalam pertahanan tubuh. Oleh karena itu, anak-anak yang kurangnya
asupan ASI banyak menderita OMA. Lingkungan merokok

17
menyebabkan anak-anak mengalami OMA yang lebih signifikan
dibanding dengan anak-anak lain. Dengan adanya riwayat kontak
yang sering dengan anak-anak lain seperti di pusat penitipan anak-
anak, insidens OMA juga meningkat. Anak dengan adanya
abnormalitas kraniofasialis kongenital mudah terkena OMA karena
fungsi tuba Eustachius turut terganggu, anak mudah menderita
penyakit telinga tengah. Otitis media merupakan komplikasi yang
sering terjadi akibat infeksi saluran napas atas, baik bakteri atau virus
(Kerschner, 2007).

3.2.3 Gejala Klinis


Gejala klinis OMA bergantung pada stadium penyakit serta umur
pasien. Pada anak yang sudah dapat berbicara keluhan utama adalah
rasa nyeri di dalam telinga, di samping suhu tubuh yang tinggi.
Biasanya terdapat riwayat batuk pilek sebelumnya. Pada anak yang
lebih besar atau pada orang dewasa, selain rasa nyeri, terdapat
gangguan pendengaran berupa rasa penuh di telinga atau rasa
kurang mendengar. Pada bayi dan anak kecil, gejala khas OMA
adalah suhu tubuh tinggi dapat mencapai 39,5°C (pada stadium
supurasi), anak gelisah dan sukar tidur, tiba-tiba anak menjerit waktu
tidur, diare, kejang-kejang dan kadang-kadang anak memegang telinga
yang sakit. Bila terjadi ruptur membran timpani, maka sekret mengalir
ke liang telinga, suhu tubuh turun dan anak tidur tenang (Djaafar,
2012).

3.2.4 P atogenesis dan Patofisiologi


1. Tuba Eustachius
Fungsi abnormal tuba Eustachius merupakan faktor yang penting
pada otitis media. Tuba Eustachius adalah saluran yang
menghubungkan rongga telinga tengah dengan nasofaring, yang
terdiri atas tulang rawan pada dua pertiga ke arah nasofaring dan
sepertiganya terdiri atas tulang (Djaafar, 2012).

18
Tuba Eustachius biasanya dalam keadaan steril serta tertutup dan
baru terbuka apabila udara diperlukan masuk ke telinga tengah
atau pada saat mengunyah, menelan dan menguap. Pembukaan
tuba dibantu oleh kontraksi muskulus tensor veli palatini apabila
terjadi perbedaan tekanan telinga tengah dan tekanan udara luar
antara 20 sampai dengan 40 mmHg. Tuba Eustachius
mempunyai tiga fungsi penting, yaitu ventilasi, proteksi, dan
drainase sekret. Ventilasi berguna untuk menjaga agar tekanan
udara dalam telinga tengah selalu sama dengan tekanan udara luar.
Proteksi, yaitu melindung telinga tengah dari tekanan suara, dan
menghalangi masuknya sekret atau cairan dari nasofaring ke
telinga tengah. Drainase bertujuan untuk mengalirkan hasil
sekret cairan telinga tengah ke nasofaring (Djaafar, 2012;
Kerschner, 2007).

2. Patogenesis OMA
Patogenesis OMA pada sebagian besar anak-anak dimulai oleh
infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) atau alergi, sehingga
terjadi kongesti dan edema pada mukosa saluran napas atas,
termasuk nasofaring dan tuba Eustachius. Tuba Eustachius
menjadi sempit, sehingga terjadi sumbatan tekanan negatif pada
telinga tengah. Bila keadaan demikian berlangsung lama akan
menyebabkan refluks dan aspirasi virus atau bakteri dari
nasofaring ke dalam telinga tengah melalui tuba Eustachius.
Mukosa telinga tengah bergantung pada tuba Eustachius untuk
mengatur proses ventilasi yang berkelanjutan dari nasofaring. Jika
terjadi gangguan akibat obstruksi tuba, akan mengaktivasi proses
inflamasi kompleks dan terjadi efusi cairan ke dalam telinga
tengah. Ini merupakan faktor pencetus terjadinya OMA dan otitis
media dengan efusi. Bila tuba Eustachius tersumbat, drainase
telinga tengah terganggu, mengalami infeksi serta terjadi
akumulasi sekret di telinga tengah, kemudian terjadi proliferasi

19
mikroba patogen pada sekret. Akibat dari infeksi virus saluran
pernapasan atas, sitokin dan mediator-mediator inflamasi yang
dilepaskan akan menyebabkan disfungsi tuba Eustachius. Virus
respiratori juga dapat meningkatkan kolonisasi dan adhesi bakteri,
sehingga menganggu pertahanan imum pasien terhadap infeksi
bakteri. Jika sekret dan pus bertambah banyak dari proses
inflamasi lokal, perndengaran dapat terganggu karena
membran timpani dan tulang- tulang pendengaran tidak dapat
bergerak bebas terhadap getaran. Akumulasi cairan yang terlalu
banyak akhirnya dapat merobek membran timpani akibat
tekanannya yang meninggi (Kerschner, 2007).

Obstruksi tuba Eustachius dapat terjadi secara intraluminal dan


ekstraluminal. Faktor intraluminal adalah seperti akibat ISPA,
dimana proses inflamasi terjadi, lalu timbul edema pada mukosa
tuba serta akumulasi sekret di telinga tengah. Selain itu, sebagian
besar pasien dengan otitis media dihubungkan dengan riwayat
fungsi abnormal dari tuba Eustachius, sehingga mekanisme
pembukaan tuba terganggu. Faktor ekstraluminal seperti tumor,
dan hipertrofi adenoid (Kerschner, 2007).

3. Penyebab-penyebab Anak Mudah Terserang OMA


Dipercayai bahwa anak lebih mudah terserang OMA dibanding
dengan orang dewasa. Ini karena pada anak dan bayi, tuba lebih
pendek, lebih lebar dan kedudukannya lebih horizontal dari tuba
orang dewasa, sehingga infeksi saluran pernapasan atas lebih
mudah menyebar ke telinga tengah. Panjang tuba orang dewasa
37,5 mm dan pada anak di bawah umur 9 bulan adalah 17,5
mm (Djaafar, 2012).

Hal ini meningkatkan peluang terjadinya refluks dari nasofaring

20
menganggu drainase melalui tuba Eustachius. Insidens terjadinya
otitis media pada anak yang berumur lebih tua berkurang, karena
tuba telah berkembang sempurna dan diameter tuba Eustschius
meningkat, sehingga jarang terjadi obstruksi dan disfungsi tuba.
Selain itu, sistem pertahanan tubuh anak masih rendah
sehingga mudah terkena ISPA lalu terinfeksi di telinga tengah.
Adenoid merupakan salah satu organ di tenggorokan bagian atas
yang berperan dalam kekebalan tubuh. Pada anak, adenoid relatif
lebih besar dibanding orang dewasa. Posisi adenoid yang
berdekatan dengan muara tuba Eustachius sehingga adenoid
yang besar dapat mengganggu terbukanya tuba Eustachius.
Selain itu, adenoid dapat terinfeksi akibat ISPA kemudian
menyebar ke telinga tengah melalui tuba Eustachius (Kerschner,
2007).

Gambar 6. Perbedaan Antara Tuba Eustachius pada Anak-anak dan Orang Dewasa

3.2.5 Stadium OMA


OMA dalam perjalanan penyakitnya dibagi menjadi lima stadium,
bergantung pada perubahan pada mukosa telinga tengah, yaitu
stadium oklusi tuba Eustachius, stadium hiperemis atau stadium pre-
supurasi, stadium supurasi, stadium perforasi dan stadium resolusi
(Djaafar, 2012).

21
Gambar 7. Membran Timpani Normal

1. Stadium Oklusi Tuba Eustachius


Pada stadium ini, terdapat sumbatan tuba Eustachius yang
ditandai oleh retraksi membran timpani akibat terjadinya tekanan
intratimpani negatif di dalam telinga tengah, dengan adanya
absorpsi udara. Retraksi membran timpani terjadi dan posisi
malleus menjadi lebih horizontal, refleks cahaya juga berkurang.
Edema yang terjadi pada tuba Eustachius juga menyebabkannya
tersumbat. Selain retraksi, membran timpani kadang- kadang tetap
normal dan tidak ada kelainan, atau hanya berwarna keruh pucat.
Efusi mungkin telah terjadi tetapi tidak dapat dideteksi. Stadium
ini sulit dibedakan dengan tanda dari otitis media serosa yang
disebabkan oleh virus dan alergi. Tidak terjadi demam pada
stadium ini (Djaafar, 2012).

2. Stadium Hiperemis atau Stadium Pre-supurasi


Pada stadium ini, terjadi pelebaran pembuluh darah di
membran timpani, yang ditandai oleh membran timpani
mengalami hiperemis, edema mukosa dan adanya sekret eksudat
serosa yang sulit terlihat. Hiperemis disebabkan oleh oklusi tuba
yang berpanjangan sehingga terjadinya invasi oleh
mikroorganisme piogenik. Proses inflamasi berlaku di telinga
tengah dan membran timpani menjadi kongesti. Stadium ini

22
merupakan tanda infeksi bakteri yang menyebabkan pasien
mengeluhkan otalgia, telinga rasa penuh dan demam.
Pendengaran mungkin masih normal atau terjadi ganggua n
ringan, tergantung dari cepatnya proses hiperemis. Hal ini terjadi
karena terdapat tekanan udara yang meningkat di kavum timpani.
Gejala-gejala berkisar antara dua belas jam sampai dengan satu
hari (Djaafar, 2012).

Gambar 8. Membran Timpani Hiperemis

3. Stadium Supurasi
Stadium supurasi ditandai oleh terbentuknya sekret eksudat
purulen atau bernanah di telinga tengah dan juga di sel-sel
mastoid. Selain itu edema pada mukosa telinga tengah menjadi
makin hebat dan sel epitel superfisial terhancur. Terbentuknya
eksudat yang purulen di kavum timpani menyebabkan membran
timpani menonjol atau bulging ke arah liang telinga luar. Pada
keadaan ini, pasien akan tampak sangat sakit, nadi dan suhu
meningkat serta rasa nyeri di telinga bertambah hebat. Pasien
selalu gelisah dan tidak dapat tidur nyenyak. Dapat disertai
dengan gangguan pendengaran konduktif. Pada bayi demam
tinggi dapat disertai muntah dan kejang. Stadium supurasi yang
berlanjut dan tidak ditangani dengan baik akan
menimbulkan iskemia membran timpani, akibat timbulnya
nekrosis mukosa dan submukosa membran timpani. Terjadi
penumpukan nanah yang terus berlangsung di kavum timpani

23
dan akibat tromboflebitis vena-vena kecil, sehingga tekanan
kapiler membran timpani meningkat, lalu menimbulkan nekrosis.
Daerah nekrosis terasa lebih lembek dan berwarna kekuningan
atau yellow spot. Keadaan stadium supurasi dapat ditangani
dengan melakukan miringotomi. Bedah kecil ini kita lakukan
dengan menjalankan insisi pada membran timpani sehingga nanah
akan keluar dari telinga tengah menuju liang telinga luar. Luka
insisi pada membran timpani akan menutup kembali, sedangkan
apabila terjadi ruptur, lubang tempat perforasi lebih sulit menutup
kembali. Membran timpani mungkin tidak menutup kembali
jikanya tidak utuh lagi (Djaafar, 2012).

Gambar 9. Membran Timpani Bulging dengan Pus Purulen

4. Stadium Perforasi
Stadium perforasi ditandai oleh ruptur membran timpani
sehingga sekret berupa nanah yang jumlahnya banyak akan
mengalir dari telinga tengah ke liang telinga luar. Kadang-kadang
pengeluaran sekret bersifat pulsasi (berdenyut). Stadium ini sering
disebabkan oleh terlambatnya pemberian antibiotik dan
tingginya virulensi kuman. Setelah nanah keluar, anak berubah
menjadi lebih tenang, suhu tubuh menurun dan dapat tertidur
nyenyak. Jika mebran timpani tetap perforasi dan pengeluaran
sekret atau nanah tetap berlangsung melebihi tiga minggu, maka
keadaan ini disebut otitis media supuratif subakut. Jika kedua

24
keadaan tersebut tetap berlangsung selama lebih satu setengah
sampai dengan dua bulan, maka keadaan itu disebut otitis
media supuratif kronik (Djaafar, 2012).

Gambar 10. Membran Timpani Peforasi

5. Stadium Resolusi
Keadaan ini merupakan stadium akhir OMA yang diawali
dengan berkurangnya dan berhentinya otore. Stadium resolusi
ditandai oleh membran timpani berangsur normal hingga perforasi
membran timpani menutup kembali dan sekret purulen akan
berkurang dan akhirnya kering. Pendengaran kembali normal.
Stadium ini berlangsung walaupun tanpa pengobatan, jika
membran timpani masih utuh, daya tahan tubuh baik, dan
virulensi kuman rendah. Apabila stadium resolusi gagal terjadi,
maka akan berlanjut menjadi otitis media supuratif kronik.
Kegagalan stadium ini berupa perforasi membran timpani
menetap, dengan sekret yang keluar secara terus-menerus atau
hilang timbul. Otitis media supuratif akut dapat menimbulkan
gejala sisa berupa otitis media serosa. Otitis media serosa
terjadi jika sekret menetap di kavum timpani tanpa mengalami
perforasi membran timpani (Djaafar, 2012).

3.2.6 Diagnosis
1. Kriteria Diagnosis OMA
Menurut Kerschner (2007), kriteria diagnosis OMA harus

25
memenuhi tiga hal berikut, yaitu:
a. Penyakitnya muncul secara mendadak dan bersifat akut.
b. Ditemukan adanya tanda efusi. Efusi merupakan
pengumpulan cairan di telinga tengah. Efusi dibuktikan
dengan adanya salah satu di antara tanda berikut, seperti
menggembungnya membran timpani atau bulging, terbatas
atau tidak ada gerakan pada membran timpani, terdapat
bayangan cairan di belakang membran timpani, dan terdapat
cairan yang keluar dari telinga.
c. Terdapat tanda atau gejala peradangan telinga tengah,
yang dibuktikan dengan adanya salah satu di antara tanda
berikut, seperti kemerahan atau eritema pada membran
timpani, nyeri telinga atau otalgia yang mengganggu tidur
dan aktivitas normal.

Efusi telinga tengah diperiksa dengan otoskop. Dengan otoskop


dapat dilihat adanya gendang telinga yang menggembung,
perubahan warna gendang telinga menjadi kemerahan atau agak
kuning dan suram, serta cairan di liang telinga. Jika konfirmasi
diperlukan, umumnya dilakukan dengan otoskopi pneumatik
(pemeriksaan telinga dengan otoskop untuk melihat gendang
telinga yang dilengkapi dengan pompa udara kecil untuk menilai
respon gendang telinga terhadap perubahan tekanan udara).
Gerakan gendang telinga yang berkurang atau tidak ada sama
sekali dapat dilihat dengan pemeriksaan ini. Pemeriksaan ini
meningkatkan sensitivitas diagnosis OMA. Namun umumnya
diagnosis OMA dapat ditegakkan dengan otoskop biasa.

Menurut Rubin et al. (2008), keparahan OMA dibagi kepada dua


kategori, yaitu ringan-sedang, dan berat. Kriteria diagnosis
ringan-sedang adalah terdapat cairan di telinga tengah,
mobilitas membran timpani yang menurun, terdapat bayangan

26
cairan di belakang membran timpani, membengkak pada
membran timpani, dan otore yang purulen. Selain itu, juga
terdapat tanda dan gejala inflamasi pada telinga tengah, seperti
demam, otalgia, gangguan pendengaran, tinitus, vertigo dan
kemerahan pada membran timpani. Tahap berat meliputi semua
kriteria tersebut, dengan tambahan ditandai dengan demam
melebihi 39,0°C, dan disertai dengan otalgia yang bersifat sedang
sampai berat.

3.2.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan OMA tergantung pada stadium penyakitnya.
Pengobatan pada stadium awal ditujukan untuk mengobati infeksi
saluran napas, dengan pemberian antibiotik, dekongestan lokal atau
sistemik, dan antipiretik. Tujuan pengobatan pada otitis media adalah
untuk menghindari komplikasi intrakrania dan ekstrakrania yang
mungkin terjadi, mengobati gejala, memperbaiki fungsi tuba
Eustachius, menghindari perforasi membran timpani, dan
memperbaiki sistem imum lokal dan sistemik (Titisari, 2005) .

Pada stadium oklusi tuba, pengobatan bertujuan untuk membuka


kembali tuba Eustachius sehingga tekanan negatif di telinga tengah
hilang. Diberikan obat tetes hidung HCl efedrin 0,5 % dalam larutan
fisiologik untuk anak kurang dari 12 tahun atau HCl efedrin 1 %
dalam larutan fisiologis untuk anak yang berumur atas 12 tahun pada
orang dewasa. Sumber infeksi harus diobati dengan pemberian
antibiotik (Djaafar, 2012).

Pada stadium hiperemis dapat diberikan antibiotik, obat tetes hidung


dan analgesik. Dianjurkan pemberian antibiotik golongan
penisilin atau eritromisin. Jika terjadi resistensi, dapat diberikan
kombinasi dengan asam klavulanat atau sefalosporin. Untuk terapi
awal diberikan penisilin intramuskular agar konsentrasinya adekuat di

27
dalam darah sehingga tidak terjadi mastoiditis terselubung, gangguan
pendengaran sebagai gejala sisa dan kekambuhan. Antibiotik
diberikan minimal selama 7 hari. Bila pasien alergi tehadap penisilin,
diberikan eritromisin. Pada anak, diberikan ampisilin 50-100
mg/kgBB/hari yang terbagi dalam empat dosis, amoksisilin atau
eritromisin masing-masing 40 mg/kgBB/hari yang terbagi dalam 3
dosis (Djaafar, 2012).

Pada stadium supurasi, selain diberikan antibiotik, pasien harus


dirujuk untuk melakukan miringotomi bila membran timpani masih
utuh sehingga gejala cepat hilang dan tidak terjadi ruptur. Pada
stadium perforasi, sering terlihat sekret banyak keluar, kadang
secara berdenyut atau pulsasi. Diberikan obat cuci telinga (ear toilet)
H2O2 3% selama 3 sampai dengan 5 hari serta antibiotik yang
adekuat sampai 3 minggu. Biasanya sekret akan hilang dan
perforasi akan menutup kembali dalam 7 sampai dengan 10 hari
(Djaafar, 2012).

Pada stadium resolusi, membran timpani berangsur normal kembali,


sekret tidak ada lagi, dan perforasi menutup. Bila tidak terjadi resolusi
biasanya sekret mengalir di liang telinga luar melalui perforasi di
membran timpani. Antibiotik dapat dilanjutkan sampai 3 minggu. Bila
keadaan ini berterusan, mungkin telah terjadi mastoiditis (Djaafar,
2012).

Sekitar 80% kasus OMA sembuh dalam 3 hari tanpa pemberian


antibiotik. Observasi dapat dilakukan. Antibiotik dianjurkan jika
gejala tidak membaik dalam dua sampai tiga hari, atau ada perburukan
gejala. Ternyata pemberian antibiotik yang segera dan dosis sesuai
dapat terhindar dari tejadinya komplikasi supuratif seterusnya.
Masalah yang muncul adalah risiko terbentuknya bakteri yang resisten
terhadap antibiotik meningkat. Menurut American Academy of

28
Pediatrics (2004) dalam Kerschner (2007), mengkategorikan OMA
yang dapat diobservasi dan yang harus segera diterapi dengan
antibiotik sebagai berikut.

Table 1. Kriteria Terapi Antibiotik dan Observasi pada Anak dengan OMA

Diagnosis meragukan
Usia Diagnosis pasti (certain)
(uncertain)
Kurang dari 6 bulan Antibiotik Antibiotik
6 bulan sampai 2 Antibiotik Antibiotik jika gejala berat,
tahun observasi jika gejala ringan
2 tahun ke atas Antibiotik jika gejala Observasi
berat,

Pilihan observasi selama 48-72 jam hanya dapat dilakukan pada anak
usia enam bulan sampai dengan dua tahun, dengan gejala ringan
saat pemeriksaan, atau diagnosis meragukan pada anak di atas dua
tahun. Follow-up dilaksanakan dan pemberian analgesia seperti
asetaminofen dan ibuprofen tetap diberikan pada masa observasi
(Kerschner, 2007).

Menurut American Academic of Pediatric (2004), amoksisilin


merupakan first-line terapi dengan pemberian 80mg/kgBB/hari sebagai
terapi antibiotik awal selama lima hari. Amoksisilin efektif terhadap
Streptococcus penumoniae. Jika pasien alergi ringan terhadap
amoksisilin, dapat diberikan sefalosporin seperti cefdinir. Second-
line terapi seperti amoksisilin-klavulanat efektif terhadap
Haemophilus influenzae dan Moraxella catarrhalis, termasuk
Streptococcus penumoniae (Kerschner, 2007). Pneumococcal 7- valent
conjugate vaccine dapat dianjurkan untuk menurunkan prevalensi
otitis media (American Academic of Pediatric, 2004).

Pembedahan
Terdapat beberapa tindakan pembedahan yang dapat menangani

29
OMA rekuren, seperti miringotomi dengan insersi tuba
timpanosintesis, dan adenoidektomi (Buchman, 2003).

1. Miringotomi
Miringotomi ialah tindakan insisi pada pars tensa membran
timpani, supa ya terjadi drainase sekret dari telinga tengah ke
liang telinga luar. Syaratnya adalah harus dilakukan secara dapat
dilihat langsung, anak harus tenang sehingga membran timpani
dapat dilihat dengan baik. Lokasi miringotomi ialah di kuadran
posterior-inferior. Bila terapi yang diberikan sudah adekuat,
miringotomi tidak perlu dilakukan, kecuali jika terdapat pus di
telinga tengah (Djaafar, 2012). Indikasi miringostomi pada anak
dengan OMA adalah nyeri berat, demam, komplikasi OMA
seperti paresis nervus fasialis, mastoiditis, labirinitis, dan infeksi
sistem saraf pusat. Miringotomi merupakan terapi third-line pada
pasien yang mengalami kegagalan terhadap dua kali terapi
antibiotik pada satu episode OMA. Salah satu tindakan
miringotomi atau timpanosintesis dijalankan terhadap anak OMA
yang respon kurang memuaskan terhadap terapi second-line,
untuk menidentifikasi mikroorganisme melalui kultur (Kerschner,
2007).

2. Timpanosintesis
Menurut Bluestone (1996) dalam Titisari (2005),
timpanosintesis merupakan pungsi pada membran timpani,
dengan analgesia lokal supaya mendapatkan sekret untuk tujuan
pemeriksaan. Indikasi timpanosintesis adalah terapi antibiotik
tidak memuaskan, terdapat komplikasi supuratif, pada bayi baru
lahir atau pasien yang sistem imun tubuh rendah. Menurut
Buchman (2003), pipa timpanostomi dapat menurun morbiditas
OMA seperti otalgia, efusi telinga tengah, gangguan pendengaran

30
secara signifikan dibanding dengan plasebo dalam tiga penelitian
prospertif, randomized trial yang telah dijalankan.

3.2.8 Komplikasi
Sebelum adanya antibiotik, OMA dapat menimbulkan komplikasi,
mulai dari abses subperiosteal sampai abses otak dan meningitis.
Sekarang semua jenis komplikasi tersebut biasanya didapat pada
otitis media supuratif kronik. Mengikut Shambough (2003) dalam
Djaafar (2012), komplikasi OMA terbagi kepada komplikasi
intratemporal (perforasi membran timpani, mastoiditis akut,
paresis nervus fasialis, labirinitis, petrositis), ekstratemporal
(abses subperiosteal), dan intracranial (abses otak,
tromboflebitis).

3.2.9 Pencegahan
Terdapat beberapa hal yang dapat mencegah terjadinya OMA.
Mencegah ISPA pada bayi dan anak-anak, menangani ISPA dengan
pengobatan adekuat, menganjurkan pemberian ASI minimal enam
bulan, menghindarkan pajanan terhadap lingkungan merokok, dan
lain-lain (Kerschner, 2007).

31
BAB IV
PEMBAHASAN

Diagnosis otitis media akut stadium hiperemis auris dextra pada kasus ini

ditegakkan berdasarkan anamnesis berupa keluhan gejala klinis yang dirasakan

oleh pasien dan pemeriksaan fisik untuk membuktikan gejala dan mencari tanda

yang menunjang keluhan dari pasien. Pada pasien ini keluhan utama yang

dirasakan adalah nyeri di bagian dalam telinga kanan sejak 2 hari yang lalu. Nyeri

dirasakan hilang timbul. Sebelumnya telinga kanan terasa penuh sejak 3 hari yang

lalu disertai nyeri yang memberat pada satu hari terakhir. Ibu pasien mengatakan

sejak 7 hari yang lalu pasien menderita batuk dan pilek, dan disertai keluhan

demam. Keluhan lain berupa penurunan pendengaran dan keluar cairan dari

telinga, pusing dan nyeri menelan juga disangkal. Keluhan baru pertama kali

dirasakan. Pasien belum berobat untuk mengurangi keluhan telinga.

Pasien memiliki riwayat sering menderita batuk dan pilek. Riwayat mengorek

telinga dan sering berenang disangkal. Ibu pasien mengatakan tidak ada keluarga

yang pernah sakit seperti ini. Riwayat alergi dan asma pada keluarga disangkal.

Pada pemeriksaan fisik telinga kanan ditemukan pada pemeriksaan inspeksi luar

pinna dan meatus akustikus eksternus dalam batas normal. Pada palpasi telinga

luar tidak didapatkan nyeri tekan tragus dan nyeri tarik telinga, serta daun telinga

tidak hiperemis. Kemudian dengan menggunakan otoskopi tampak kesan liang

telinga lapang, hiperemis (-), serumen (+), sekret (-), tidak ditemukan furunkel

atau karbunkel. Pada telinga kanan tampak membran timpani utuh, hiperemi

32
s (+),

reflek cahaya (+) berpendar, retraksi (-), bulging (-), perforasi (-). Sedangkan pada

telinga kiri tampak gambaran normal baik pada inspeksi luar maupun dari

pemeriksaan otoskopi. KGB regional tidak membesar dan nyeri tekan KGB tidak

ditemukan.

Pada otitis media, gejala yang sering ditemukan bergantung pada stadium

penyakit serta umur pasien. Pada anak yang sudah dapat berbicara keluhan utama

rasa nyeri di dalam telinga, di samping suhu tubuh yang tinggi. Biasanya

terdapat riwayat batuk pilek sebelumnya. Pada anak yang lebih besar atau

pada orang dewasa, selain rasa nyeri, terdapat gangguan pendengaran

berupa rasa penuh di telinga atau rasa kurang mendengar (Djaafar, 2012).

Pada otitis media stadium hiperemis belum ditemukan keluhan keluar cairan

berwarna kuning secara sendirinya dari liang telinga dan tampak pembuluh darah

melebar di membran timpani atau seluruh membran timpani tampak hiperemis

serta edema (Djaafar, 2012). Pada anamnesis pasien didapatkan pasien

33
mengeluhkan nyeri di bagian dalam telinga kanan sejak 2 hari yang lalu.

Sebelumnya telinga kanan terasa penuh sejak 3 hari yang lalu disertai nyeri

memberat pada satu hari terakhir. Keluhan keluar cairan dari telinga disangkal.

Pasien mengaku sejak 7 hari yang lalu menderita batuk dan pilek disertai demam.

Keluhan yang dialami pasien sesuai dengan keluhan pada kasus OMA stadium

hiperemis. Faktor predisposisi terjadinya otitis media pada pasien dalam kasus ini

yaitu infeksi saluran napas atas, baik disebabkan oleh bakteri atau virus.

Berdasarkan kepustakaan, makin sering anak tersering infeksi saluran nafas,

makin besar kemungkinan terjadinya OMA. Pada bayi terjadinya OMA

dipermudah oleh karena tuba Eustachiusnya pendek, lebar, dan letaknya agak

horizontal (Djaafar, 2012).

Pada pemeriksaan fisik otitis media stadium hiperemis terjadi pelebaran

pembuluh darah di membran timpani, yang dengan pemeriksaan fisik ditandai

oleh membran timpani mengalami hiperemis, edema mukosa dan adanya sekret

eksudat serosa yang sulit terlihat (Djaafar, 2012). Hiperemis disebabkan oleh

oklusi tuba yang berpanjangan sehingga terjadinya invasi oleh mikroorganisme

piogenik. Proses inflamasi berlaku di telinga tengah dan membran timpani

menjadi kongesti. Hal ini sesuai dengan pemeriksaan fisik pada pasien ini dimana

didapatkan Pada telinga kanan tampak membran timpani utuh (intak), hiperemis

(+), reflek cahaya (+) berpendar, retraksi (-), bulging (-), perforasi (-). Sedangkan

pada telinga kiri tampak normal.

34
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik maka diagnosis otitis media akut stadium

hiperemis auris dextra telah sesuai untuk kasus ini.

Pada pentalaksanaan pasien ini, dilakukan terapi sebagai berikut :

TERAPI

Medikamentosa
- Amoxicilin sirup (40mg/kgBB/hari) dibagi 3 dosis
- Paracetamol sirup (10-15mg/kgBB/kali)
- Ambroxol sirup (0,5mg/kgBB/hari) dibagi 3 dosis
- HCL efedrin 0,5% (tetes hidung)

Non‒ Medikamentosa
 Tidak mengorek-ngorek telinga
 Menjaga telinga agar tidak kemasukan air pada saat mandi dan
hindari berenang
 Hindari ISPA berulang
 Asupan gizi seimbang
 Obat digunakan sesuai anjuran (antibiotik harus dihabiskan)
 Kontrol ulang 1 minggu lagi untuk melihat perkembangan
pengobatan

Penatalaksanaan OMA tergantung pada stadium penyakitnya. Pengobatan pada

stadium awal ditujukan untuk mengobati infeksi saluran napas, dengan

pemberian antibiotik, dekongestan lokal atau sistemik, dan antipiretik. Tujuan

pengobatan pada otitis media adalah untuk menghindari komplikasi intrakranial

dan ekstrakranial yang mungkin terjadi, mengobati gejala, memperbaiki fungsi

tuba Eustachius, menghindari perforasi membran timpani, dan memperbaiki

sistem imum lokal dan sistemik. Pada stadium hiperemis dapat diberikan

antibiotik, obat tetes hidung dan analgesik. Dianjurkan pemberian antibiotik

35
golongan penisilin atau eritromisin. Jika terjadi resistensi, dapat diberikan

kombinasi dengan asam klavulanat atau sefalosporin. Untuk terapi awal

diberikan penisilin intramuskular agar konsentrasinya adekuat di dalam darah

sehingga tidak terjadi mastoiditis terselubung, gangguan pendengaran sebagai

gejala sisa dan kekambuhan. Antibiotik diberikan minimal selama 7 hari. Bila

pasien alergi tehadap penisilin, diberikan eritromisin. Pada anak, diberikan

ampisilin 50-100 mg/kgBB/hari yang terbagi dalam empat dosis, amoksisilin

atau eritromisin masing-masing 40 mg/kgBB/hari yang terbagi dalam 3 dosis.

Pada kasus ini pasien diberikan antibiotik sistemik, paracetamol, efedrin HCl

0,5% . Antibiotik yang digunakan adalah amoxicilin, hal ini sesuai dengan pustaka

bahwa pemberian antibiotik untuk OMA stadium hiperemis yaitu golongan

penisilin atau eritromisin, jika terjadi resistensi, dapat diberikan kombinasi

dengan asam klavulanat atau sefalosporin dan diberikan sistemik bukan topikal.

Menurut American Academic of Pediatric (2004), amoksisilin merupakan fisrst-

line terapi dengan pemberian untuk anak 40mg/kgBB/hari sebagai terapi

antibiotik awal selama lima hari. Amoksisilin efektif terhadap Streptococcus

penumoniae. Pemberian paracetamol sebagai analgesik dirasa sudah tepat.

Pemberian HCl efedrin 0,5% tetes hidung sebagai dekongestan dirasa tepat untuk

menghilangkan sumbatan pada tuba eustachius. Sehingga terapi yang diberikan

sudah tepat.

36
BAB V
KESIMPULAN

Pasien didiagnosa menderita otitis media akut stadium hiperemis auris


dextra berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik. Tanda dan gejala pada otitis
media akut stadium hiperemis adalah nyeri pada bagian telinga dalam disertai rasa
penuh pada telinga, serta adanya riwayat demam, batuk dan pilek. Pada
pemeriksaan fisik membran timpani auris dextra tampak hiperemis, tidak ada
sekret dan perforasi.
Pada pasien ini dilakukan tatalaksana berupa edukasi, terapi kausatif dan
simtomatik dengan pemberian antibiotik oral, analgetik, obat tetes hidung yaitu
dekongestan, dan mukolitik yang sesuai dengan pedoman terapi pada OMA.

37
DAFTAR PUSTAKA

Aboet, A., 2006. Terapi pada Otitis Media Supuratif Akut. Majalah Kedokteran
Nusantara.

Adam GL, Boies LR, Higler PA; Wijaya C: alih bahasa; Effendi H, Santoso K:
editor.2012. Penyakit telinga luar dalam Buku Ajar Ilmu Panyakit THT. Edisi 6.
Jakarta: EGC.

Buchman, C.A., 2003. Infection of The Ear. In: Lee, K.J., ed. Essential Otolaryngology
Head and Neck Surgery. 8 th ed. USA: McGraw-Hill Companies, Inc.

Djaafar, Z.A., Helmi, Restuti, R. D., 2012. Kelainan Telinga Tengah. Dalam: Soepardi,
E. A., Iskandar, N., Bashiruddin, J., Restuti, R. D., ed. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher Edisi Keenam. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.

Donaldson JD. 2011. Acute Otitis Media. Tersedia dari:


http://www.emedicine.medscape.com yang diakses pada 1 Agustus 2018.

Kakuta R, Yano H, Hidaka H, Miyazaki H, Irimada M, Oda K, et al. 2014. Severe Acute
Otitis Media by Mucoid Streptococcus pyogenes in a Previously Healthy Adult.
Tohoku J. Exp. Med. 232: p. 301-4.

Kaneshiro, N. K., 2010. Ear Infection – Acute. Adam, Inc. Diunduh dari:
http://health.yahoo.net/adamcontent/ear-infection-acute#definition.

Kerschner, J.E., 2007. Otitis Media. In: Kliegman, R.M., ed. Nelson Textbook of
Pediatrics. 18 th ed. USA: Saunders Elsevier.

Meropol, et al., 2008. Age Inconsistency in The American Academy of Pediatrics


Guidelines for Acute Otitis Media. Pediatrics.

Moore,keith L. 2013. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta; EGC.

Soepardi EA, Iskandar N, Bashirudin J, restuti RD. 2012. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher, Edisi ke-7. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.

38
Titisari, H., 2005. Prevalensi dan Sensitivitas Haemophilus Influenzae pada Otitis
Media Akut di PSCM dan RSAB Harapan Kita. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia

Tortora, G.J. dan Derrickson, B.H. 2009. Principles of Anatomy and Physiology.
Twelfth Edition. Asia: Wiley

World Health Organization (WHO)., 2006. Primary Ear and Hearing Care Training
Resource: Advanced Level. WHO Press.

Worrall, G., 2007. Acute Otitis Media. Canada: Canadian Family Physician.

39

You might also like