Professional Documents
Culture Documents
(MINI CEX)
Oleh:
Farras Cahya Puspitha, S.Ked 1618012085
Rosi Indah Pratama, S.Ked 1618012117
Preceptor :
dr. Hanggoro Sapto, Sp.THT-KL
Puji dan syukur kami ucapkan ke hadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga saya dapat menyusun makalah
Mini CEX ini. Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas dalam
kepanitraan klinik pada bagian THT-KL RSUD dr. H. Abdoel Moeloek, Bandar
Lampung.
Penulis menyadari banyak kekurangan dalam penulisan laporan kasus ini,
baik dari segi isi, bahasa, analisis dan sebagainya. Oleh karena itu, penulis ingin
meminta maaf atas segala kekurangan tersebut, hal ini disebabkan karena masih
terbatasnya pengetahuan, wawasan dan keterampilan penulis. Selain itu, kritik dan
saran dari pembaca sangat diharapkan guna kesempurnaan makalah selanjutnya
dan sebagai bahan pembelajaran untuk kita semua. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat dan dapat memberikan wawasan berupa ilmu pengetahuan untuk kita
semua.
Penulis
i
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Pendahuluan
Otitis Media Akut (OMA) merupakan peradangan akut telinga tengah dimana
telinga tengah adalah ruang di dalam telinga yang terletak antara membran
timpani dengan telinga dalam serta berhubungan dengan nasofaring melalui tuba
Eustachius (Tortora, 2009). Pencetus terjadinya OMA adalah infeksi saluran nafas
atas. Pada anak-anak semakin sering terserang infeksi saluran nafas, makin besar
kemungkinan terkena OMA (Djaafar, 2012). Penyebab Otitis Media Akut
didominasi oleh infeksi bakteri dan sepertiga kasus disebabkan oleh virus.
Sepertiga kasus dari infeksi bakteri disebabkan oleh Streptococcus pneumonia dan
sepertiga kasus untuk Haemophilus influenza (Worrall, 2007). Streptococcus
pyogenes juga menjadi bakteri predominan keempat sebagai penyebab OMA pada
anak-anak setelah Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenza, dan
Moraxella catarrhalis (Kakuta et al, 2014).
1
Di Indonesia, belum ada data yang akurat untuk menunjukkan prevalensi,
insidensi maupun angka kejadian OMA. Penelitian oleh Titisari yang dilakukan di
Departemen THT FKUI RSCM & poli THT RSAB Harapan Kita menunjukkan
terdapat 43 pasien yang mengalami OMA antara Agustus 2004 sampai Februari
2005.
2
BAB II
LAPORAN KASUS
2.2 ANAMNESIS
Anamnesis pada pasien dilakukan secara Alloanamnesis dan Autoanamnesis
pada tanggal 28 Juli 2018.
Keluhan Utama:
Nyeri di bagian dalam telinga kanan sejak 2 hari yang lalu.
Keluhan Tambahan:
Telinga kanan terasa penuh, batuk dan pilek.
Ibu pasien mengatakan sejak 7 hari yang lalu pasien menderita batuk dan
pilek, dan disertai keluhan demam. Keluhan lain berupa penurunan
pendengaran dan keluar cairan dari telinga disangkal. Keluhan pusing dan
nyeri menelan juga disangkal. Ibu pasien mengatakan bahwa keluhan baru
pertama kali dirasakan. Menurut ibu pasien, pasien belum berobat untuk
mengurangi keluhan telinga. Pasien hanya berobat untuk mengurangi keluhan
batuk dan pileknya.
3
Riwayat penyakit dahulu :
Pasien sering menderita batuk dan pilek. Riwayat mengorek telinga dan
sering berenang disangkal.
Status Generalis
Kepala : normocephal, tidak ada kelainan
Telinga
4
Warna kulit sama dengan Warna kulit sama dengan
sekitar, nyeri tekan (-), fistel Preaurikular sekitar, nyeri tekan (-), fistel
(-), abses (-) (-), abses (-)
Normal, nyeri tekan (-), Normal, nyeri tekan (-),
Retroaurikular
tidak ada benjolan tidak ada benjolan
Tidak ada Nyeri Tekan Tragus Tidak ada
Tidak ada Tumor Tidak ada
Hidung
RHINOSKOPI
KANAN KIRI
ANTERIOR
Lapang Cavum Nasi Lapang
Ada Sekret ada
Tidak berbau Bau Tidak berbau
Normotrofi Konka Inferior Normotrofi
Sulit dinilai Konka Media Sulit dinilai
Deviasi (-) Septum Nasi Deviasi (-)
5
Tidak ditemukan Abses, Massa Tidak ditemukan
Rhinoskopi Posterior
Tidak dilakukan
Cavum Oris
CAVUM ORIS Hasil Pemeriksaan
Mukosa Tidak hiperemis
Gingiva Ulkus (-), edema (-)
Gigi Karies dentis (-)
Lidah Bentuk normal, atrofi papil (-)
Palatum Durum Permukaan licin
Palatum Mole Permukaan licin
Uvula Posisi letak tengah
Tumor Tidak ditemukan
Faring
FARING Hasil Pemeriksaan
Dinding Faring Edema (-), Granular (-)
Mukosa Hiperemis (-)
Uvula Ditengah
Arkus Faring Simetris, Hiperemis (-)
Sekret Tidak Ada
Tonsil
TONSIL Hasil Pemeriksaan
Pembesaran T1-T1
Kripta Tidak Melebar
Detritus Tidak Ada
Perlekatan Tidak Ada
Sikatrik Tidak Ada
6
2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG
-
2.8 PENATALAKSANAAN
Medikamentosa
- Amoxicilin sirup (40mg/kgBB/hari) dibagi 3 dosis
- Paracetamol sirup (10-15mg/kgBB/kali)
- Ambroxol sirup (0,5mg/kgBB/hari) dibagi 3 dosis
- HCL efedrin 0,5% (tetes hidung)
Non‒ Medikamentosa
Tidak mengorek-ngorek telinga
Menjaga telinga agar tidak kemasukan air pada saat mandi dan
hindari berenang
Hindari ISPA berulang
Asupan gizi seimbang
Obat digunakan sesuai anjuran (antibiotik harus dihabiskan)
Kontrol ulang 1 minggu lagi untuk melihat perkembangan
pengobatan
2.9 PROGNOSIS
Quo ad Vitam : Ad bonam
Quo ad Functionam : Ad bonam
Quo ad Sanationam : Ad bonam
7
8
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
9
inferior pada sebelah kanan dari fossa triangularis, antitragus yang
berada di bawah tragus, sulcus auricularis yang merupakan sebuah
struktur depresif di belakang telinga di dekat kepala, concha berada di
dekat saluran pendengaran, angulus conchalis yang merupakan sudut di
belakang concha dengan sisi kepala, crus helix yang berada di atas
tragus, cymba conchae merupakan ujung terdekat dari concha, meatus
akustikus eksternus yang merupakan pintu masuk dari saluran
pendengaran, fossa triangularis yang merupakan struktur depresif di
dekat anthelix, helix yang merupakan bagian terluar dari daun telinga,
incisura anterior yang berada di antara tragus dan antitragus, serta lobus
yang berada di bagian paling bawah dari daun telinga, dan tragus yang
berada di depan meatus akustikus eksternus (Moore, 2013).
Yang kedua adalah meatus akustikus eksternus atau dikenal juga dengan
liang telinga luar. Meatus akustikus eksternus merupakan sebuah tabung
berkelok yang menghubungkan auricula dengan membran timpani.
Pada orang dewasa panjangnya lebih kurang 1 inchi atau kurang lebih
2,5 cm. Rangka sepertiga bagian luar meatus adalah kartilago elastis,
dan dua pertiga bagian dalam adalah tulang yang dibentuk oleh
lempeng timpani. Meatus dilapisi oleh kulit, dan sepertiga luarnya
10
mempunyai rambut, kelenjar sebasea, dan glandula seruminosa. Rambut
dan lilin ini merupakan barier yang lengket, untuk mencegah masuknya
benda asing (Moore, 2013).
11
cabang aurikular anterior dari arteri temporalis superfisial. Suatu
cabang dari arteri auricular posterior mendarahi permukaan posterior
telinga. Banyak dijumpai anastomosis diantara cabang-cabang dari
arteri ini. Pendarahan kebagian lebih dalam dari liang telinga luar dan
permukaan luar membrana timpani adalah oleh cabang aurikular dalam
arteri maksilaris interna vena telinga bagian anterior, posterior dan
bagian dalam umumnya bermuara ke vena jugularis eksterna dan vena
mastoid. Akan tetapi, beberapa vena telinga mengalir kedalam vena
temporalis superficial dan vena aurikularis posterior (Adam G.L, 2012;
Moore, 2013; Soepardi, 2012).
12
berjalan ke bawah dan belakang dan melekat dengan erat pada
permukaan medial membran timpani. Manubrium ini dapat dilihat
melalui membran timpani pada pemeriksaan dengan otoskop. Processus
anterior adalah tonjolan tulang kecil yang dihubungkan dengan dinding
anterior cavum timpani oleh sebuah ligamen. Processus lateralis
menonjol ke lateral dan melekat pada plica mallearis anterior dan
posterior membran timpani.
Incus mempunyai corpus yang besar dan dua crus. Corpus incudis
berbentuk bulat dan bersendi di anterior dengan caput mallei. Crus
longum berjalan ke bawah di belakang dan sejajar dengan manubrium
mallei. Ujung bawahnya melengkung ke medial dan bersendi dengan
caput sta-pedis. Bayangannya pada membrana tympani kadang¬kadang
dapat dilihat pada pemeriksaan dengan otoskop. Crus breve menonjol
ke belakang dan dilekatkan pada dinding posterior cavum tympani oleh
sebuah ligamen.
Stapes mempunyai caput, collum, dua lengan, dan sebuah basis. Caput
stapedis kecil dan bersendi dengan crus longum incudis. Collum
berukuran sempit dan merupakan tempat insersio m. stapedius. Kedua
lengan berjalan divergen dari collum dan melekat pada basis yang
lonjong. Pinggir basis dilekatkan pada pinggir fenestra vestibuli oleh
sebuah cincin fibrosa, yang disebut ligamentum annulare.
13
Gambar 4. Anatomi Tulang-Tulang Pendengaran
14
koklearis) diantaranya. Skala vestibule dan skala timpani berisi perilimfa
sedangkan skala media berisi endolimfa. Dasar skala vestibuli disebut
sebagai membran vestibuli (Reissner Membrane) sedangkan skala media
adalah membran basalis. Pada membran ini terletak organ corti yang
mengandung organel-organel penting untuk mekanisme saraf perifer
pendengaran. Pada skala media terdapat bagian yang berbentuk lidah
yang disebut membrane tektoria, dan pada membran basal melekat sel
rambut yang terdiri dari sel rambut dalam, sel rambut luar dan kanalis
Corti, yang membentuk organ Corti (Adam G.L, 2012; Soepardi, 2012).
Otitis media akut (OMA) adalah peradangan telinga tengah dengan gejala
dan tanda-tanda yang bersifat cepat dan singkat. Gejala dan tanda klinik
lokal atau sistemik dapat terjadi secara lengkap atau sebagian, baik berupa
15
otalgia, demam, gelisah, mual, muntah, diare, serta otore, apabila telah
terjadi perforasi membran timpani. Pada pemeriksaan otoskopik juga
dijumpai efusi telinga tengah (Buchman, 2003). Terjadinya efusi telinga
tengah atau inflamasi telinga tengah ditandai dengan membengkak pada
membran timpani atau bulging, terdapat cairan di belakang membran
timpani, dan otore (Kerschner, 2007).
3.2.1 Etiologi
1. Bakteri
Bakteri piogenik merupakan penyebab OMA yang tersering.
Menurut penelitian, 65-75% kasus OMA dapat ditentukan jenis
bakteri piogeniknya melalui isolasi bakteri terhadap kultur cairan
atau efusi telinga tengah. Kasus lain tergolong sebagai non-
patogenik karena tidak ditemukan mikroorganisme penyebabnya.
Tiga jenis bakteri penyebab otitis media tersering adalah
Streptococcus pneumoniae (40%), diikuti oleh Haemophilus
influenzae (25-30%) dan Moraxella catarhalis (10-15%). Kira-
kira 5% kasus dijumpai patogen-patogen yang lain seperti
Streptococcus pyogenes (group A beta- hemolytic), Staphylococcus
aureus, dan organisme gram negatif. Staphylococcus aureus dan
organisme gram negatif banyak ditemukan pada anak dan neonatus
yang menjalani rawat inap di rumah sakit. Haemophilus
influenzae sering dijumpai pada anak balita. Jenis
mikroorganisme yang dijumpai pada orang dewasa juga sama
dengan yang dijumpai pada anak-anak (Kerschner, 2007).
2. Virus
Virus juga merupakan penyebab OMA. Virus dapat dijumpai
tersendiri atau bersamaan dengan bakteri patogenik yang lain.
Virus yang paling sering dijumpai pada anak-anak, yaitu
respiratory syncytial virus (RSV), influenza virus, atau adenovirus
(sebanyak 30-40%). Kira-kira 10-15% dijumpai parainfluenza
virus, rhinovirus atau enterovirus. Virus akan membawa dampak
16
buruk terhadap fungsi tuba Eustachius, menganggu fungsi imun
lokal, meningkatkan adhesi bakteri, menurunkan efisiensi obat
antimikroba dengan menganggu mekanisme farmakokinetiknya
(Kerschner, 2007). Dengan menggunakan teknik polymerase
chain reaction (PCR) dan virus specific enzyme-linked
immunoabsorbent assay (ELISA), virus-virus dapat diisolasi dari
cairan telinga tengah pada anak yang menderita OMA pada 75%
kasus (Buchman, 2003).
17
menyebabkan anak-anak mengalami OMA yang lebih signifikan
dibanding dengan anak-anak lain. Dengan adanya riwayat kontak
yang sering dengan anak-anak lain seperti di pusat penitipan anak-
anak, insidens OMA juga meningkat. Anak dengan adanya
abnormalitas kraniofasialis kongenital mudah terkena OMA karena
fungsi tuba Eustachius turut terganggu, anak mudah menderita
penyakit telinga tengah. Otitis media merupakan komplikasi yang
sering terjadi akibat infeksi saluran napas atas, baik bakteri atau virus
(Kerschner, 2007).
18
Tuba Eustachius biasanya dalam keadaan steril serta tertutup dan
baru terbuka apabila udara diperlukan masuk ke telinga tengah
atau pada saat mengunyah, menelan dan menguap. Pembukaan
tuba dibantu oleh kontraksi muskulus tensor veli palatini apabila
terjadi perbedaan tekanan telinga tengah dan tekanan udara luar
antara 20 sampai dengan 40 mmHg. Tuba Eustachius
mempunyai tiga fungsi penting, yaitu ventilasi, proteksi, dan
drainase sekret. Ventilasi berguna untuk menjaga agar tekanan
udara dalam telinga tengah selalu sama dengan tekanan udara luar.
Proteksi, yaitu melindung telinga tengah dari tekanan suara, dan
menghalangi masuknya sekret atau cairan dari nasofaring ke
telinga tengah. Drainase bertujuan untuk mengalirkan hasil
sekret cairan telinga tengah ke nasofaring (Djaafar, 2012;
Kerschner, 2007).
2. Patogenesis OMA
Patogenesis OMA pada sebagian besar anak-anak dimulai oleh
infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) atau alergi, sehingga
terjadi kongesti dan edema pada mukosa saluran napas atas,
termasuk nasofaring dan tuba Eustachius. Tuba Eustachius
menjadi sempit, sehingga terjadi sumbatan tekanan negatif pada
telinga tengah. Bila keadaan demikian berlangsung lama akan
menyebabkan refluks dan aspirasi virus atau bakteri dari
nasofaring ke dalam telinga tengah melalui tuba Eustachius.
Mukosa telinga tengah bergantung pada tuba Eustachius untuk
mengatur proses ventilasi yang berkelanjutan dari nasofaring. Jika
terjadi gangguan akibat obstruksi tuba, akan mengaktivasi proses
inflamasi kompleks dan terjadi efusi cairan ke dalam telinga
tengah. Ini merupakan faktor pencetus terjadinya OMA dan otitis
media dengan efusi. Bila tuba Eustachius tersumbat, drainase
telinga tengah terganggu, mengalami infeksi serta terjadi
akumulasi sekret di telinga tengah, kemudian terjadi proliferasi
19
mikroba patogen pada sekret. Akibat dari infeksi virus saluran
pernapasan atas, sitokin dan mediator-mediator inflamasi yang
dilepaskan akan menyebabkan disfungsi tuba Eustachius. Virus
respiratori juga dapat meningkatkan kolonisasi dan adhesi bakteri,
sehingga menganggu pertahanan imum pasien terhadap infeksi
bakteri. Jika sekret dan pus bertambah banyak dari proses
inflamasi lokal, perndengaran dapat terganggu karena
membran timpani dan tulang- tulang pendengaran tidak dapat
bergerak bebas terhadap getaran. Akumulasi cairan yang terlalu
banyak akhirnya dapat merobek membran timpani akibat
tekanannya yang meninggi (Kerschner, 2007).
20
menganggu drainase melalui tuba Eustachius. Insidens terjadinya
otitis media pada anak yang berumur lebih tua berkurang, karena
tuba telah berkembang sempurna dan diameter tuba Eustschius
meningkat, sehingga jarang terjadi obstruksi dan disfungsi tuba.
Selain itu, sistem pertahanan tubuh anak masih rendah
sehingga mudah terkena ISPA lalu terinfeksi di telinga tengah.
Adenoid merupakan salah satu organ di tenggorokan bagian atas
yang berperan dalam kekebalan tubuh. Pada anak, adenoid relatif
lebih besar dibanding orang dewasa. Posisi adenoid yang
berdekatan dengan muara tuba Eustachius sehingga adenoid
yang besar dapat mengganggu terbukanya tuba Eustachius.
Selain itu, adenoid dapat terinfeksi akibat ISPA kemudian
menyebar ke telinga tengah melalui tuba Eustachius (Kerschner,
2007).
Gambar 6. Perbedaan Antara Tuba Eustachius pada Anak-anak dan Orang Dewasa
21
Gambar 7. Membran Timpani Normal
22
merupakan tanda infeksi bakteri yang menyebabkan pasien
mengeluhkan otalgia, telinga rasa penuh dan demam.
Pendengaran mungkin masih normal atau terjadi ganggua n
ringan, tergantung dari cepatnya proses hiperemis. Hal ini terjadi
karena terdapat tekanan udara yang meningkat di kavum timpani.
Gejala-gejala berkisar antara dua belas jam sampai dengan satu
hari (Djaafar, 2012).
3. Stadium Supurasi
Stadium supurasi ditandai oleh terbentuknya sekret eksudat
purulen atau bernanah di telinga tengah dan juga di sel-sel
mastoid. Selain itu edema pada mukosa telinga tengah menjadi
makin hebat dan sel epitel superfisial terhancur. Terbentuknya
eksudat yang purulen di kavum timpani menyebabkan membran
timpani menonjol atau bulging ke arah liang telinga luar. Pada
keadaan ini, pasien akan tampak sangat sakit, nadi dan suhu
meningkat serta rasa nyeri di telinga bertambah hebat. Pasien
selalu gelisah dan tidak dapat tidur nyenyak. Dapat disertai
dengan gangguan pendengaran konduktif. Pada bayi demam
tinggi dapat disertai muntah dan kejang. Stadium supurasi yang
berlanjut dan tidak ditangani dengan baik akan
menimbulkan iskemia membran timpani, akibat timbulnya
nekrosis mukosa dan submukosa membran timpani. Terjadi
penumpukan nanah yang terus berlangsung di kavum timpani
23
dan akibat tromboflebitis vena-vena kecil, sehingga tekanan
kapiler membran timpani meningkat, lalu menimbulkan nekrosis.
Daerah nekrosis terasa lebih lembek dan berwarna kekuningan
atau yellow spot. Keadaan stadium supurasi dapat ditangani
dengan melakukan miringotomi. Bedah kecil ini kita lakukan
dengan menjalankan insisi pada membran timpani sehingga nanah
akan keluar dari telinga tengah menuju liang telinga luar. Luka
insisi pada membran timpani akan menutup kembali, sedangkan
apabila terjadi ruptur, lubang tempat perforasi lebih sulit menutup
kembali. Membran timpani mungkin tidak menutup kembali
jikanya tidak utuh lagi (Djaafar, 2012).
4. Stadium Perforasi
Stadium perforasi ditandai oleh ruptur membran timpani
sehingga sekret berupa nanah yang jumlahnya banyak akan
mengalir dari telinga tengah ke liang telinga luar. Kadang-kadang
pengeluaran sekret bersifat pulsasi (berdenyut). Stadium ini sering
disebabkan oleh terlambatnya pemberian antibiotik dan
tingginya virulensi kuman. Setelah nanah keluar, anak berubah
menjadi lebih tenang, suhu tubuh menurun dan dapat tertidur
nyenyak. Jika mebran timpani tetap perforasi dan pengeluaran
sekret atau nanah tetap berlangsung melebihi tiga minggu, maka
keadaan ini disebut otitis media supuratif subakut. Jika kedua
24
keadaan tersebut tetap berlangsung selama lebih satu setengah
sampai dengan dua bulan, maka keadaan itu disebut otitis
media supuratif kronik (Djaafar, 2012).
5. Stadium Resolusi
Keadaan ini merupakan stadium akhir OMA yang diawali
dengan berkurangnya dan berhentinya otore. Stadium resolusi
ditandai oleh membran timpani berangsur normal hingga perforasi
membran timpani menutup kembali dan sekret purulen akan
berkurang dan akhirnya kering. Pendengaran kembali normal.
Stadium ini berlangsung walaupun tanpa pengobatan, jika
membran timpani masih utuh, daya tahan tubuh baik, dan
virulensi kuman rendah. Apabila stadium resolusi gagal terjadi,
maka akan berlanjut menjadi otitis media supuratif kronik.
Kegagalan stadium ini berupa perforasi membran timpani
menetap, dengan sekret yang keluar secara terus-menerus atau
hilang timbul. Otitis media supuratif akut dapat menimbulkan
gejala sisa berupa otitis media serosa. Otitis media serosa
terjadi jika sekret menetap di kavum timpani tanpa mengalami
perforasi membran timpani (Djaafar, 2012).
3.2.6 Diagnosis
1. Kriteria Diagnosis OMA
Menurut Kerschner (2007), kriteria diagnosis OMA harus
25
memenuhi tiga hal berikut, yaitu:
a. Penyakitnya muncul secara mendadak dan bersifat akut.
b. Ditemukan adanya tanda efusi. Efusi merupakan
pengumpulan cairan di telinga tengah. Efusi dibuktikan
dengan adanya salah satu di antara tanda berikut, seperti
menggembungnya membran timpani atau bulging, terbatas
atau tidak ada gerakan pada membran timpani, terdapat
bayangan cairan di belakang membran timpani, dan terdapat
cairan yang keluar dari telinga.
c. Terdapat tanda atau gejala peradangan telinga tengah,
yang dibuktikan dengan adanya salah satu di antara tanda
berikut, seperti kemerahan atau eritema pada membran
timpani, nyeri telinga atau otalgia yang mengganggu tidur
dan aktivitas normal.
26
cairan di belakang membran timpani, membengkak pada
membran timpani, dan otore yang purulen. Selain itu, juga
terdapat tanda dan gejala inflamasi pada telinga tengah, seperti
demam, otalgia, gangguan pendengaran, tinitus, vertigo dan
kemerahan pada membran timpani. Tahap berat meliputi semua
kriteria tersebut, dengan tambahan ditandai dengan demam
melebihi 39,0°C, dan disertai dengan otalgia yang bersifat sedang
sampai berat.
3.2.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan OMA tergantung pada stadium penyakitnya.
Pengobatan pada stadium awal ditujukan untuk mengobati infeksi
saluran napas, dengan pemberian antibiotik, dekongestan lokal atau
sistemik, dan antipiretik. Tujuan pengobatan pada otitis media adalah
untuk menghindari komplikasi intrakrania dan ekstrakrania yang
mungkin terjadi, mengobati gejala, memperbaiki fungsi tuba
Eustachius, menghindari perforasi membran timpani, dan
memperbaiki sistem imum lokal dan sistemik (Titisari, 2005) .
27
dalam darah sehingga tidak terjadi mastoiditis terselubung, gangguan
pendengaran sebagai gejala sisa dan kekambuhan. Antibiotik
diberikan minimal selama 7 hari. Bila pasien alergi tehadap penisilin,
diberikan eritromisin. Pada anak, diberikan ampisilin 50-100
mg/kgBB/hari yang terbagi dalam empat dosis, amoksisilin atau
eritromisin masing-masing 40 mg/kgBB/hari yang terbagi dalam 3
dosis (Djaafar, 2012).
28
Pediatrics (2004) dalam Kerschner (2007), mengkategorikan OMA
yang dapat diobservasi dan yang harus segera diterapi dengan
antibiotik sebagai berikut.
Table 1. Kriteria Terapi Antibiotik dan Observasi pada Anak dengan OMA
Diagnosis meragukan
Usia Diagnosis pasti (certain)
(uncertain)
Kurang dari 6 bulan Antibiotik Antibiotik
6 bulan sampai 2 Antibiotik Antibiotik jika gejala berat,
tahun observasi jika gejala ringan
2 tahun ke atas Antibiotik jika gejala Observasi
berat,
Pilihan observasi selama 48-72 jam hanya dapat dilakukan pada anak
usia enam bulan sampai dengan dua tahun, dengan gejala ringan
saat pemeriksaan, atau diagnosis meragukan pada anak di atas dua
tahun. Follow-up dilaksanakan dan pemberian analgesia seperti
asetaminofen dan ibuprofen tetap diberikan pada masa observasi
(Kerschner, 2007).
Pembedahan
Terdapat beberapa tindakan pembedahan yang dapat menangani
29
OMA rekuren, seperti miringotomi dengan insersi tuba
timpanosintesis, dan adenoidektomi (Buchman, 2003).
1. Miringotomi
Miringotomi ialah tindakan insisi pada pars tensa membran
timpani, supa ya terjadi drainase sekret dari telinga tengah ke
liang telinga luar. Syaratnya adalah harus dilakukan secara dapat
dilihat langsung, anak harus tenang sehingga membran timpani
dapat dilihat dengan baik. Lokasi miringotomi ialah di kuadran
posterior-inferior. Bila terapi yang diberikan sudah adekuat,
miringotomi tidak perlu dilakukan, kecuali jika terdapat pus di
telinga tengah (Djaafar, 2012). Indikasi miringostomi pada anak
dengan OMA adalah nyeri berat, demam, komplikasi OMA
seperti paresis nervus fasialis, mastoiditis, labirinitis, dan infeksi
sistem saraf pusat. Miringotomi merupakan terapi third-line pada
pasien yang mengalami kegagalan terhadap dua kali terapi
antibiotik pada satu episode OMA. Salah satu tindakan
miringotomi atau timpanosintesis dijalankan terhadap anak OMA
yang respon kurang memuaskan terhadap terapi second-line,
untuk menidentifikasi mikroorganisme melalui kultur (Kerschner,
2007).
2. Timpanosintesis
Menurut Bluestone (1996) dalam Titisari (2005),
timpanosintesis merupakan pungsi pada membran timpani,
dengan analgesia lokal supaya mendapatkan sekret untuk tujuan
pemeriksaan. Indikasi timpanosintesis adalah terapi antibiotik
tidak memuaskan, terdapat komplikasi supuratif, pada bayi baru
lahir atau pasien yang sistem imun tubuh rendah. Menurut
Buchman (2003), pipa timpanostomi dapat menurun morbiditas
OMA seperti otalgia, efusi telinga tengah, gangguan pendengaran
30
secara signifikan dibanding dengan plasebo dalam tiga penelitian
prospertif, randomized trial yang telah dijalankan.
3.2.8 Komplikasi
Sebelum adanya antibiotik, OMA dapat menimbulkan komplikasi,
mulai dari abses subperiosteal sampai abses otak dan meningitis.
Sekarang semua jenis komplikasi tersebut biasanya didapat pada
otitis media supuratif kronik. Mengikut Shambough (2003) dalam
Djaafar (2012), komplikasi OMA terbagi kepada komplikasi
intratemporal (perforasi membran timpani, mastoiditis akut,
paresis nervus fasialis, labirinitis, petrositis), ekstratemporal
(abses subperiosteal), dan intracranial (abses otak,
tromboflebitis).
3.2.9 Pencegahan
Terdapat beberapa hal yang dapat mencegah terjadinya OMA.
Mencegah ISPA pada bayi dan anak-anak, menangani ISPA dengan
pengobatan adekuat, menganjurkan pemberian ASI minimal enam
bulan, menghindarkan pajanan terhadap lingkungan merokok, dan
lain-lain (Kerschner, 2007).
31
BAB IV
PEMBAHASAN
Diagnosis otitis media akut stadium hiperemis auris dextra pada kasus ini
oleh pasien dan pemeriksaan fisik untuk membuktikan gejala dan mencari tanda
yang menunjang keluhan dari pasien. Pada pasien ini keluhan utama yang
dirasakan adalah nyeri di bagian dalam telinga kanan sejak 2 hari yang lalu. Nyeri
dirasakan hilang timbul. Sebelumnya telinga kanan terasa penuh sejak 3 hari yang
lalu disertai nyeri yang memberat pada satu hari terakhir. Ibu pasien mengatakan
sejak 7 hari yang lalu pasien menderita batuk dan pilek, dan disertai keluhan
demam. Keluhan lain berupa penurunan pendengaran dan keluar cairan dari
telinga, pusing dan nyeri menelan juga disangkal. Keluhan baru pertama kali
Pasien memiliki riwayat sering menderita batuk dan pilek. Riwayat mengorek
telinga dan sering berenang disangkal. Ibu pasien mengatakan tidak ada keluarga
yang pernah sakit seperti ini. Riwayat alergi dan asma pada keluarga disangkal.
Pada pemeriksaan fisik telinga kanan ditemukan pada pemeriksaan inspeksi luar
pinna dan meatus akustikus eksternus dalam batas normal. Pada palpasi telinga
luar tidak didapatkan nyeri tekan tragus dan nyeri tarik telinga, serta daun telinga
telinga lapang, hiperemis (-), serumen (+), sekret (-), tidak ditemukan furunkel
atau karbunkel. Pada telinga kanan tampak membran timpani utuh, hiperemi
32
s (+),
reflek cahaya (+) berpendar, retraksi (-), bulging (-), perforasi (-). Sedangkan pada
telinga kiri tampak gambaran normal baik pada inspeksi luar maupun dari
pemeriksaan otoskopi. KGB regional tidak membesar dan nyeri tekan KGB tidak
ditemukan.
Pada otitis media, gejala yang sering ditemukan bergantung pada stadium
penyakit serta umur pasien. Pada anak yang sudah dapat berbicara keluhan utama
rasa nyeri di dalam telinga, di samping suhu tubuh yang tinggi. Biasanya
terdapat riwayat batuk pilek sebelumnya. Pada anak yang lebih besar atau
berupa rasa penuh di telinga atau rasa kurang mendengar (Djaafar, 2012).
Pada otitis media stadium hiperemis belum ditemukan keluhan keluar cairan
berwarna kuning secara sendirinya dari liang telinga dan tampak pembuluh darah
33
mengeluhkan nyeri di bagian dalam telinga kanan sejak 2 hari yang lalu.
Sebelumnya telinga kanan terasa penuh sejak 3 hari yang lalu disertai nyeri
memberat pada satu hari terakhir. Keluhan keluar cairan dari telinga disangkal.
Pasien mengaku sejak 7 hari yang lalu menderita batuk dan pilek disertai demam.
Keluhan yang dialami pasien sesuai dengan keluhan pada kasus OMA stadium
hiperemis. Faktor predisposisi terjadinya otitis media pada pasien dalam kasus ini
yaitu infeksi saluran napas atas, baik disebabkan oleh bakteri atau virus.
dipermudah oleh karena tuba Eustachiusnya pendek, lebar, dan letaknya agak
oleh membran timpani mengalami hiperemis, edema mukosa dan adanya sekret
eksudat serosa yang sulit terlihat (Djaafar, 2012). Hiperemis disebabkan oleh
menjadi kongesti. Hal ini sesuai dengan pemeriksaan fisik pada pasien ini dimana
didapatkan Pada telinga kanan tampak membran timpani utuh (intak), hiperemis
(+), reflek cahaya (+) berpendar, retraksi (-), bulging (-), perforasi (-). Sedangkan
34
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik maka diagnosis otitis media akut stadium
TERAPI
Medikamentosa
- Amoxicilin sirup (40mg/kgBB/hari) dibagi 3 dosis
- Paracetamol sirup (10-15mg/kgBB/kali)
- Ambroxol sirup (0,5mg/kgBB/hari) dibagi 3 dosis
- HCL efedrin 0,5% (tetes hidung)
Non‒ Medikamentosa
Tidak mengorek-ngorek telinga
Menjaga telinga agar tidak kemasukan air pada saat mandi dan
hindari berenang
Hindari ISPA berulang
Asupan gizi seimbang
Obat digunakan sesuai anjuran (antibiotik harus dihabiskan)
Kontrol ulang 1 minggu lagi untuk melihat perkembangan
pengobatan
sistem imum lokal dan sistemik. Pada stadium hiperemis dapat diberikan
35
golongan penisilin atau eritromisin. Jika terjadi resistensi, dapat diberikan
gejala sisa dan kekambuhan. Antibiotik diberikan minimal selama 7 hari. Bila
Pada kasus ini pasien diberikan antibiotik sistemik, paracetamol, efedrin HCl
0,5% . Antibiotik yang digunakan adalah amoxicilin, hal ini sesuai dengan pustaka
dengan asam klavulanat atau sefalosporin dan diberikan sistemik bukan topikal.
Pemberian HCl efedrin 0,5% tetes hidung sebagai dekongestan dirasa tepat untuk
sudah tepat.
36
BAB V
KESIMPULAN
37
DAFTAR PUSTAKA
Aboet, A., 2006. Terapi pada Otitis Media Supuratif Akut. Majalah Kedokteran
Nusantara.
Adam GL, Boies LR, Higler PA; Wijaya C: alih bahasa; Effendi H, Santoso K:
editor.2012. Penyakit telinga luar dalam Buku Ajar Ilmu Panyakit THT. Edisi 6.
Jakarta: EGC.
Buchman, C.A., 2003. Infection of The Ear. In: Lee, K.J., ed. Essential Otolaryngology
Head and Neck Surgery. 8 th ed. USA: McGraw-Hill Companies, Inc.
Djaafar, Z.A., Helmi, Restuti, R. D., 2012. Kelainan Telinga Tengah. Dalam: Soepardi,
E. A., Iskandar, N., Bashiruddin, J., Restuti, R. D., ed. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher Edisi Keenam. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.
Kakuta R, Yano H, Hidaka H, Miyazaki H, Irimada M, Oda K, et al. 2014. Severe Acute
Otitis Media by Mucoid Streptococcus pyogenes in a Previously Healthy Adult.
Tohoku J. Exp. Med. 232: p. 301-4.
Kaneshiro, N. K., 2010. Ear Infection – Acute. Adam, Inc. Diunduh dari:
http://health.yahoo.net/adamcontent/ear-infection-acute#definition.
Kerschner, J.E., 2007. Otitis Media. In: Kliegman, R.M., ed. Nelson Textbook of
Pediatrics. 18 th ed. USA: Saunders Elsevier.
Soepardi EA, Iskandar N, Bashirudin J, restuti RD. 2012. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher, Edisi ke-7. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.
38
Titisari, H., 2005. Prevalensi dan Sensitivitas Haemophilus Influenzae pada Otitis
Media Akut di PSCM dan RSAB Harapan Kita. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia
Tortora, G.J. dan Derrickson, B.H. 2009. Principles of Anatomy and Physiology.
Twelfth Edition. Asia: Wiley
World Health Organization (WHO)., 2006. Primary Ear and Hearing Care Training
Resource: Advanced Level. WHO Press.
Worrall, G., 2007. Acute Otitis Media. Canada: Canadian Family Physician.
39