You are on page 1of 16

Nama : Putu Isma Saraswati Dewi

NPM : 16710215
No. : 13

FIXED DRUG ERUPTION (FDE)


A. Definisi
Adalah reaksi alergi pada kulit atau daerah mukokutan yang terjadi akibat pemberian atau
pemakaian jenis obat-obatan tertentu yang biasanya dikarakteristik dengan timbulnya lesi
berulang pada tempat yang sama dan tiap pemakaian obat akan menambah jumlah dari lokasi
lesi.1,2
B. Epidemiologi
Beberapa penelitian tentang morfologi dan agen pencetus pada pasien-pasien dengan
erupsi obat dirumah sakit atau bagian kulit dan kelamin pada tahun 1986-1990 dilaporkan pada
135 kasus didapatkan perubahan morfologik akibat erupsi obat yang paling sering adalah
eksantematous (39%), urtikaria/angioedema (27%), FDE (16%), eritema multiform (5,4%)
dan reaksi kulit lainnya (18%). Sejak tahun 1956 proporsi dari reaksi erupsi obat berupa
urtikaria menurun dan terjadi peningkatan angka kejadian FDE.3
C. Patogenesis
Obat-obatan yang paling sering menyebabkan FDE adalah kontrasepsi
oral, barbiturat, fenolftalein, fenasetin, salisilat, naproksen,
nistatin, minosiklin, sulfonamide,tetrasiklin, metronidazol, doriden, sulindac, tolmetin,
maolate, bleomysin, busulfan,zidovudine, klorpromasin, hidantoin, cyclofosfamid, klofasimin,
antimalaria, prokarbasin, doksorubisin.2,3,4,5
Reaksi kulit terhadap obat dapat terjadi melalui mekanisme imunologik atau
nonimunologik. Yang dimaksud dengan erupsi obat adalah alergi terhadap obat yang
terjadimelalui mekanisme imunologik. Hal ini terjadi pada pemberian obat kepada pasien
yangsudah mempunyai hipersesitivitas terhadap obat tersebut.disebabkan oleh berat
molekulnya yang rendah, biasanya obat itu berperan pada mulanya sebagai antigen yangtidak
lengkap atau hapten. Obat atau metaboliknya yang berupa hapten, harus berkombinasi
terlebih dahulu dengan protein, misalnya jaringan, serum atau protein darimembran sel untuk
membentuk kompleks antigen yaitu kompleks hapten protein.Kekecualiannya ialah obat-obat
dengan berat molekul yang tinggi yang dapat berfungsi langsung sebagai antigen yang lengkap.
D. Faktor resiko
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya FDE:3
1. Paparan obat
Pemberian obat dapat mengakibatkan terjadinya reaksi komplit antigen antibodi dengan
terbentuknya hapten. Yang penting juga adalah pola morfologik yang spesifik yang dapat
meningkat atau menurun pada pemberian obat yang menyebabkan terjadinya reaksi kulit
tersebut. Sebagai contoh FDE lebih sering ditemukan pada pemberian barbiturat daripada
penisilin, walaupun penisilin memiliki kemungkinan menimbulkan reaksi kulit karena
obat yang lebih tinggi.
2. Waktu kejadian
Kebanyakan reaksi obat pada kulit terjadi dalam 1-2 minggu dari terapi pertama. Beberapa
tipe reaksi terutama sindrom hipersensitivitas dapat memberikan onsetyang tertunda
bahkan sampai lebih dari 2 bulan setelah pemberian obat. Untuk beberapa reaksi yang
lebih serius, resiko yang berhubungan dengan pemberian obat lebih dari 2 bulan tampak
lebih rendah.
3. Uji eliminasi pemakaian obat
Kebanyakan reaksi kulit karena obat akan berkurang dengan penghentian pemakaian obat
tersebut. Sebuah reaksi kulit tidak mungkin berhubungan dengan obat jika reaksi terus
berlanjut setelah dilakukan penghentian pemakaian obat tersebut.
4. Pemaparan obat ulangan
Pemberian obat ulangan memberikan informasi pasti apakah obat tersebut menyebabkan
terjadinya reaksi kulit walaupun pemberian yang sering tidak dimungkinkan karena tidak
menjamin keselamatan dari pasien kecuali terjadi perubahan pola status imunologik
pasien.
E. Anamnesis
Adanya hubungan antara timbulnya erupsi dengan penggunaan obat dan diketahui mengenai:
1. Obat-obatan yang didapat
2. Kelainan timbul secara akut atau dapat juga beberapa hari sesudah masuknya obat.
3. Rasa gatal yang dapat pula disertai demam yang biasanya subfebril
F. Pemeriksaan fisik
FDE dikarakteristik dengan 1 atau beberapa lesi eritematous. Lesi ini seringkali timbul
pada wajah dan daerah genital dan menyebabkan terjadinya luka seperti luka bakar walaupun
inflamasi akut sembuh secara perlahan-lahan tapi hiperpegmentasi lokal akan menetap dengan
pemaparan obat yang berulang, lesi akan muncul kembali pada tempat yang sama.3
Lesi baru berbentuk bulat atau oval dan berbentuk plak dengan gambaran eritematous dan
bula pada kulit akan berubah berwarna ungu atau coklat. Lesi biasanya berkembang dalam
waktu 30 menit-8 jam setelah pemberian obat, kadang-kadang lesi pada awalnya soliter tapi
pada pemberian obat yang berulang lesi baru dapat muncul lagi dan lesi lama yang sudah ada
dapat bertambah besar. 3
Lesi lebih sering muncul pada anggota gerak daripada badan. Tangan, kaki, genitalia (glans
penis) dan daerah perianal adalah tempat favorit munculnya lesi. Lesi juga dapat muncul di
sekeliling mulut dan mata. Daerah genital dapat terjadi berhubungan dengan lesi pada kulit
atau terjadi sendiri. Apabila terjadi penyembuhan timbul pengelupasan yang diikuti dengan
perubahan warna yang menetap pada daerah lesi dimana warna berubah menjadi kecoklatan.
Hal ini dapat menghilang seiring waktu tapi sering menetap diantara pemaparan obat.
Pigmentasi terjadi lebih lama pada orang dengan kulit coklat. Pigmentasi dari FDE menghilang
apabila penderita tidak diberikan obat penyebab. FDE non pigmentasi dilaporkan pada
pemberian pseudoefedrin dan piroksikan bisa terdapat gejala-gejala lokal atau umum yang
menemani perjalanan penyakit fixed drug eruption yang berupa gejala ringan atau tidak ada.2,4

Beberapa gambaran karakteristik ke arah dugaan adanya FDE:4


1. Reaksi hanya terjadi setelah pajanan ulang dengan obat. Pada penggunaan pertamakali,
waktu reaksi berkisar antara 8-9 hari.
2. Manifestasi erupsi obat tidak bergantung pada kegunaan farmakologik dan kimiawiobat
tersebut.
3. Jumlah obat yang sangat sedikit dapat memacu reaksi yang berat meskipun obat tersebut
telah dipakai dalam jangka waktu lama.
4. Obat yang sama dapat menyebabkan reaksi yang berbeda pada orang yang sama padawaktu
yang berlainan, sebaliknya berbagai obat dapat menyebabkan reaksi atau manifestasi klinik
yang sama.
G. Pemeriksaan Penunjang
Saat ini belum diketahui cara yang cukup sensitif dan dapat dipercaya untuk mendeteksi obat
penyebab FDE.1,4
Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk membantu memastikan diagnosis FDE:
1. Dengan pemeriksaan histopatologi
Pada pemeriksaan histopatologi didapatkan adanya degenerasi hidrotik pada lapisan sel
basal yang akan menuju pada inkontinens pagmentari,
dimana dikarakteristik dengan adanya melanin dalam jumlah yang banyak diantara
makrofag yang terdapat pada lapisan atas kulit. Sebagai tambahan terdapat penyebaran dari
diskeratotik keratonicytes dengan sitoplasma yang eosinifilik dan inti pignotik sering
terlihat pada epidermis. Pada pemeriksaan dengan menggunakan mikroskop
elektron diskeratotik keratonicytesterisi dengan tonofilamen tipis yang homogen dan
menunjukkan sedikit dari sisa-sisa organel sel dan inti. Pola keseluruhan dapat meniru yang
terlihat pada eritemamultiforme. Diskeratosis dan keratinosit nekrotik individual dalam
epidermis mungkin fitur yang menonjol (lihat gambar di bawah).

Dermatitis Interface, perubahan vakuolar, keratinosit nekrotik,


dan pigmen inkontinen di dermis

2. Pada Patch Test, obat yang dicurigai dapat ditempatkan sebagai tes patch disitus yang
terlibat sebelumnya; respon inflamasi terjadi pada hanya 30% kasus.
3. Uji provokasi oral
Merupakan Gold Standard untuk memastika penyebab. Uji ini bertujuan untuk
mencetuskan tanda dan gejala klinis yang lebih ringan dengan pemberian obat dosis kecil
biasanya dosis 1/10 dari obat penyebab sudah cukup untuk memprovokasi reaksi dan
provokasi biasanya sudah muncul dalam beberapa jam. Karena resiko yang mungkin
ditimbulkannya maka uji ini harus dilakukan di bawah pengawasan petugas medis yang
terlatih.
H. Diagnosis Banding
Diagnosis banding FDE adalah:
1. Pemfigoid bulosa
2. Multiple erosis: sindroma steven Johnson, NET
3. Herpes simpleks
I. Terapi
Pengobatan FDE belum memuaskan, antara lain karena kesukaran dalammemastikan
penyebabnya, apakah oleh obatnya sendiri atau metabolitnya.
Pengobatan dibagi dalam:1,3,4,6
1. Pengobatan kausal
Dilaksanakan dengan menghindari obat tersangka (apabila obat tersangka telah dapat
dipastikan). Dianjurkan pula untuk menghindari obat yang mempunyai struktur kimia
mirip dengan obat tersangka (satu golongan).
2. Pengobatan sistemik
a. Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid sangat penting pada alergi obat sistemik. Dosis standaruntuk
fixed drug eruption pada orang dewasa ialah 3 x 10 mg prednisone sehari. Untuk lesi
mukosa luas, umum, dan sangat menyakitkan, oral prednisone 1 mg/kg berat badan
diturunkan selama pemberian dari 2 minggu.
b. Antihistamin
Antihistamin yang bersifat sedatif dapat juga diberikan, jika terdapat rasa gatal. Kecuali
pada urtikaria, efeknya kurang bila dibandingkan dengan kortikosteroid.
c. Pengobatan topikal
Pengobatan topikal bergantung pada keadaan kelainan kulit, apakah kering
atau basah. Pada FDE, jika kelainan membasah dapat diberi kompres dan jika kering
dapat diberi krim kortikosteroid, misalnya krim hidrokortison 1% atau 2 ½ %.
Identifikasi dari obat penyebab FDE dilakukan apabila hanya 1 obat yang digunakan
biasanya kita mencurigai beberapa obat sebagai petunjuk yang kita gunakan adalah
mengetahui kronologis pemberian obat-obatan tersebut. Hanya obat-obatan yang baru
digunakan (8-21 hari) yang dimasukkan dalam daftar yang dicurigai. Identifikasi yang jelas
dari obat penyebab dan catatan tertulis tentang obat-obat penyebab yang
diberikan pada pasien oleh dokter merupakan langkah pencegahan yang sangat penting.
Pemberian obat spesifik (kortikosteroid, obat-obatan imunosupresif/terapi anti sitokin,
immunoglobulin) seharusnya tidak diberikan sesuai standar pemberian obat sebelum
terdapat bukti efisiensi penggunaannya terhadap pasien, kadang-kadang penggunaan obat-
obatan tersebut dapat berbahaya bagi pasien.7
J. KIE
1. Prinsipnya adalah eliminasi obat terduga
2. Pasien dan keluarga diberitahu untuk membuat catatan kecil di dompetnya tentang alergi
obat yang dideritanya.
3. Memberitahukan bahwa kemungkinan pasien bisa sembuh dengan adanya hiperpigmentasi
pada lokasi lesi. Dan bila alergi berulang terjadi kelainan yang sama, pada lokasi yang
sama.
DAFTAR PUSTAKA
1. Djuanda, A, dkk. 2013. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, edisi keenam. Bagian Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
2. DermNet Editorial Board. 2004. Fixed Drug Eruption. Available from URL:
www.dermnetnz.org/reaction/fixed-drug-eruption.html. Last updated : September 30, 2004.
3. Freedberg Irwin, Eisen Arthur, Wolff Klaus et al. 1999. Dermatology in General Medicine,
5th edition Vol. 1. McGrow Hill Companies, Inc. United States ofAmerica, 1633-414.
4. Seobaryo R, Suherman S. 1995. Erupsi Obat Alergik. Dalam: Sularsito Sri,dkk. Erupsi Obat
Alergik. Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. FKUI. 3-7,63-45.
5. Thiers B. 2000. Disorders of Hyperpigmentation. In: Dermatologics Clinics. W.B Saunders
Company.95-7
6. Wolff K, Johnson RA, Suuemons D. 2007. Fitzpatrick’s Color Atlas and Synopsis of Clinical
Dermatology. 5th ed. New York: McGraw Hill
7. Revuz Jean. 2004. Serious Drug Reactions. In : Abstracts IX International Congress
ofDermatology. May 19-22, 2004. Beijing China: 5
MILIARIA
A. Definisi
Miliaria adalah kelainan kulit akibat retensi keringat, ditandai dengan adanya vesikel
milier. Istilah lain untuk keadaan ini bermacam-macam, seperti liken tropikus,
keringat buntet, biang keringat dan juga prickle heat.1 Miliaria juga didefinisikan
sebagai kelainan pada kelenjar keringat ekrin yang muncul pada keadaan
meningkatnya panas dan kelembaban. Dapat berkaitan dengan demam yang menetap
ataupun penggunaan suatu obat.2 Miliaria menyerang segala usia, namun seringkali terjadi
pada neonatus dan merupakan salah satu dari penyakit kulit transien pada neonatus,
dan pernah dilaporkan kasus kongenital namun sangat jarang.3
B. Epidemiologi
Miliaria kristalina terjadi pada 4,5% neonatus dengan usia rata-rata 1 minggu, miliaria
rubra pada 4% neonatus dengan usia rata-rata 11-14 hari. Sebuah penelitian di Iran
tahun 2006 menunjukkan terjadinya miliaria pada 1,3% bayi baru lahir. Secara global terjadi
pada daerah iklim tropis dan pada orang-orang yang pindah dari suatu daerah ke daerah yang
lebih panas dan lembab. 30% terjadi pada orang dewasa di iklim tropis.4
C. Patofisiologi
Stimulus primer dari terjadinya miliaria adalah segala kondisi dengan suhu dan
kelembaban tinggi yang mengakibatkan produksi keringat yang berlebihan. Sumbatan
pada kelenjar keringat juga menjadi sebab, antara lain sumbatan akibat pakaian ataupun
perban. Pada neonatus, penyebabnya diduga adalah kelenjar ekrin yang imatur sehingga
mudah pecah.4 Beberapa sebab eksternal lain seperti pengobatan dengan betanecol,
isotretinoin sistemik dan defisiensi mangan juga dapat meningkatkan resiko terjadinya
miliaria.5
Keadaan panas dan kelembaban tinggi dapat menyebabkan produksi keringat berlebih dan
terjadinya sumbatan pada duktus dapat menyebabkan gangguan pengeluaran keringat,
dalam miliaria kelenjar keringat yang mengalami kelainan adalah kelenjar ekrin.3,5
Berikut akan ditampilkan penampang kulit secara histology untuk memperjelas visualisasi
kelenjar ekrin:
Gambar 1. Histologi Penampang Kulit
Bendungan akan menyebabkan kebocoran untuk mencari jalan keluar lain, baik melalui
epidermis atau dermis dengan anhidrosis relatif. Saat titik obstruksi berada di stratum
korneum atau hanya sedikit di bawah stratum korneum, walaupun dengan peradangan
yang biasanya minimal, akan menyebabkan lesi yang asimtomatik, ini yang disebut
sebagai miliaria kristalina. Pada miliaria rubra, letak sumbatan berada di lapisan sub korneum
yang membentuk vesikel spongiosis dan ditemukannya infiltrasi sel inflamasi kronik pada
bagian papila dermis dan bagian bawah dari epidermis.1,3,5,6 Sedangkan pada miliaria profunda,
jalan keluar keringat terhambat pada bagian yang lebih dalam, yaitu di papilla dermis atau
bagian antara epidermis dan dermis, selain itu terjadi infiltrasi limfosit di periduktus dan
terjadi spongiosis di duktus epidermal.1,3,7
Bakteri residen kulit seperti Staphylococcus epidermidis dan Staphylococcus aureus
juga memegang peranan pada terbentuknya miliaria.4 Pasien dengan miliaria memiliki
jumlah bakteri 3 kali lipat per unit area kulit, dan pemberian antimikroba secara
eksperimental dapat menekan terjadinya miliaria. Penelitian menunjukkan terdapatnya
substansi polisakarida ekstraselular dari staphylococcus, dan secara eksperimental
didapatkan hanya Staphylococcus epidermidis yang dapat membentuk substansi tersebut dan
menginduksi miliaria.4
Pada suatu penelitian yang dipublikasikan tahun 2000 di Australia, insidensi
miliaria rubra meningkat pada pemakai sepatu boots karet tinggi yaitu pada area antara lutut
dan pergelangan kaki, namun dugaan pada dasarnya sama, yaitu sirkulasi yang
kurang menyebabkan suhu dan kelembaban lebih tinggi dan keadaan seperti demikian
serta mudahnya air tanah tertahan dalam sepatu sangat memungkinkan sebagai media
berkembangnya Staphylococcus.9

C. Faktor Resiko
1. Ras
Miliaria terjadi pada individu-individu dari semua ras, walaupun beberapa studi
menunjukkan bahwa orang-orang Asia, yang menghasilkan lebih sedikit keringat dari kulit
putih, kurang beresiko memiliki Miliaria rubra.1
2. Jenis Kelamin
Tidak ada kecenderungan terhadap jenis kelamin tertentu. Resiko terhadap laki – laki
dibanding perempuan adalah sama.1
3. Usia
Miliaria crystallina dan miliaria rubra dapat terjadi pada orang-orang dari segala usia,
tetapi yang paling umum terjadi adalah pada bayi. Dalam sebuah survei Jepang lebih dari
5.000 bayi, crystallina Miliaria muncul pada 4,5% dari neonatus, dengan usia rata-rata 1
minggu. Miliaria rubra muncul pada 4% dari neonatus, dengan rata-rata usia 11-14 hari.
Tiga kasus dari miliaria crystallina telah dilaporkan. Miliaria profunda lebih sering terjadi
pada orang dewasa dibandingkan pada bayi dan anak-anak.1
D. Anamnesis
1. Miliaria crystalline1
a) Bentuk ini biasanya menyerang bayi baru lahir (neonatus) yang berusia kurang dari 2
minggu dan orang dewasa yang menderita demam atau mereka yang baru saja pindah
ke iklim tropis.
b) Lesi muncul dalam beberapa hari sampai beberapa minggu dari terpaparnya cuaca
panas dan menghilang dalam beberapa jam sampai beberapa hari.
c) Lesi umumnya asimtomatik.
2. Miliaria rubra1
a) Bentuk ini biasanya menyerang neonatus usia 1-3 minggu dan orang dewasa yang
tinggal di tempat yang panas, dan lingkungan yang lembab.
b) Lesi dapat terjadi dalam beberapa hari setelah pajanan terhadap kondisi panas, tetapi
lebih cenderung muncul setelah berbulan-bulan setelah terpapar panas dan lembab.
c) Lesi sembuh dalam beberapa hari setelah pasien dipindahkan dari kondisi panas dan
lingkungan lembab.
d) Lesi menyebabkan gatal atau pruritus intensif dan menyengat yang diperburuk oleh
demam, panas, atau pengerahan tenaga (exertion).
e) Pada pasien dapat muncul kelelahan dan intoleransi panas, dan mereka mungkin akan
melihat penurunan atau tidak ada keringat di tempat yang terkena.
3. Miliaria profunda1
a) Bentuk ini terjadi pada individu yang biasanya tinggal di iklim tropis dan memiliki
episode berulang dari Miliaria rubra.
b) Lesi berkembang dalam beberapa menit atau jam setelah stimulasi berkeringat. Lesi ini
sembuh dengan cepat, biasanya dalam waktu kurang dari satu jam setelah stimulus
yang menyebabkan berkeringat dihilangkan atau dihindari.
c) Lesi tidak menunjukkan gejala.
d) Pasien dapat melaporkan peningkatan produksi keringat di kulit yang tidak
terserang, pembengkakan kelenjar getah bening, hyperpyrexia dan gejala kelelahan
akibat panas, yang mencakup pusing, mual, dyspnea, dan palpitas
E. Pemeriksaan Fisik
Pada miliaria kristalina, lesi vesikel superfisial jernih dengan diameter 1-2 mm, seringkali
konfluen tanpa ada eritema di sekitarnya. Pada bayi, terutama berada pada kepala, leher dan
bagian atas trunkus.1,9 Sedangkan pada dewasa umumnya berada pada trunkus, dan berikutnya
penyembuhan miliaria kristalina akan dimulai dengan deskuamasi.1,10,11 Gambaran miliaria
kristalina dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 2. Miliaria kristalina
Untuk miliaria rubra, lesi kecil, biasanya uniform, papul dengan eritema, dan papul
vesikular dengan latar belakang eritema. Bayi umumnya memiliki lesi di leher, skrotum dan
aksila.4,10. Tipe miliaria rubra pada neonatus lebih sering berada pada bagian genital, diduga
terutama akibat keadaan lembab akibat popok plastik.11 Obesitas bayi juga merupakan faktor
resiko terjadinya miliaria rubra.12 Sedangkan dewasa terjadi pada bagian yang tertutup dan
tergesek pakaian dan juga kulit kepala.4,10
Miliaria rubra yang berpenampilan seperti pustul yang dominan dinamakan miliaria
pustulosa, dan ada beberapa ahli yang menggolongkannya menjadi tipe keempat dari miliaria.6
Klinis dari miliaria rubra dan profunda dapat dilihat pada gambar-gambar berikut:

Gambar 3. Miliaria rubra


Miliaria profunda memiliki lesi padat, papul warna seperti daging dengan ukuran
1-3 mm, paling sering terjadi di trunkus, namun juga dapat muncul di ekstremitas. Sering
muncul setelah dicetuskan oleh kondisi yang merangsang produksi keringat, dan pada kulit
yang terkena keringat dapat berkurang atau bahkan tidak ada. Miliaria profunda ini
umumnya terjadi pada orang yang seringkali mengalami miliaria rubra.4,10 Tipe ini sering
menampilkan klinis pasien yang tidak tahan panas bahkan pingsan bila terpapar udara
panas.13
Gambar 4. Miliaria profunda
F. Pemeriksaan Penunjang
Tidak ada pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosis miliaria, diagnosis dapat
ditegakkan dari anamnesis dan visual.4 Namun pemeriksaan histopatologi dapat membantu,
pada miliaria kristalina dapat ditemukan vesikel intrakorneal atau subkorneal, vesikel di
stratum spinosum dan infiltrasi sel radang dapat ditemukan pada miliaria rubra disertai
spongiosis pada muara kelenjar keringat. Pada miliaria profunda dapat ditemukan saluran
kelenjar keringat yang pecah dengan atau tanpa infiltrasi sel radang.1Pada dasarnya perbedaan
ketiga tipe miliaria bergantung dari perbedaan letak obstruksi dan kelainan pada kelenja
ekrinnya yang dapat dilihat dalam ilustrasi berikut:

Gambar 5. Perbedaan letak kelainan pada tipe-tipe miliaria


G. Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari miliaria antara lain:
1. Eritema toksik neonatorum
Gambaran pada eritema toksik neonatorum adalah eritema disertai vesikel dan juga pustul
dengan diameter 1-4 mm serta kadang terdapat warna kekuningan . Sering terjadi pada
wajah, juga ditemukan pada badan. Sering terjadi pada bayi usia 1-10 hari dari kelahiran.3
2. Varisela
Munculnya lesi varisela akan didahului dengan gejala prodromal seperti demam, nyeri
kepala, dan malaise lalu muncul erupsi kulit berupa eritematosa yang dalam beberapa jam
berubah menjadi vesikel menyebar, lalu pustul dan menjadi krusta. Penyebaran utama pada
badan, lalu wajah dan ekstremitas. Penyebab dari varisela adalah virus varisela zoster, dapat
dipastikan dengan pemeriksaan kerokan vesikel yang disebut dengan tes Tzanck3
3. Herpes zoster
Sebelum muncul lesi kulit umumnya disertai gejala prodromal. Khas adalah pernah
mengalami varisela sebelumnya, karena penyakit ini merupakan lanjutan virus varisela
zoster yang setelah infeksi primer akan berdiam di ganglion posterior yang lalu mengalami
reaktivasi. Lesi kulit berupa eritema yang diatasnya muncul vesikel-vesikel berisi cairan
jernih berkelompok dengan dasar kulit eritema dan edema. Predisposisi pada daerah torakal,
dan pada usia dewasa. Penegakan diagnosis dengan cara yang sama dengan varisela.3
4. Herpes simpleks
Gejala klinis mirip dengan herpes zoster namun penyebarannya berasal dari kontak erat dan
hubungan seksual. Predileksi terdapat pada bagian wajah terutama mulut untuk virus herpes
simpleks 1, atau bagian genital untuk herpes simpleks 2.3
H. Terapi
Prinsip: mengurangi pruritus, menekan inflamasi, dan membuka retensi keringat.
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan adalah:14
1. Melakukan modifikasi gaya hidup, yaitu:
a. Memakai pakaian yang tipis dan dapat menyerap keringat.
b. Menghindari panas dan kelembaban yang berlebihan
c. Menjaga kebersihan kulit - Mengusahakan ventilasi yang baik
2. Memberikan farmakoterapi, seperti:
a. Topikal
1) Bedak kocok: likuor faberi atau bedak kocok yang mengandung kalamin dan
antipruritus lain (mentol dan kamfora) diberikan 2 kali sehari selama 1 minggu.
2) Lanolin topikal atau bedak salisil 2% dibubuhi mentol ¼-2 % sekaligus diberikan
2 kali sehari selama 1 minggu. Terapi berfungsi sebagai antipruritus untuk
menghilangkan dan mencegah timbulnya miliaria profunda.
b. Sistemik (bila gatal dan bila diperlukan)
1) Antihistamin sedatif: hidroksisin 2 x 25 mg per hari selama 7 hari, atau
2) Antihistamin non sedatif: loratadin 1x 10 mg per hari selama 7 hari.

I. KIE
- Pasien harus menghindari paparan kondisi panas tinggi dan kelembaban.
- Ketika pasien berada dalam iklim tropis, mereka harus memakai pakaian yang tipis,
menghindari aktivitas, gunakan tabir surya, dan tinggal di ruangan ber-AC sebanyak
mungkin.
- Pada pasien dengan riwayat Miliaria, penggunaan topikal anhydrous lanolin sebelum
latihan dapat membantu mencegah pembentukan lesi baru.
- Karena aktifitas meningkat menyebabkan berkeringat, yang akan sangat memperburuk
Miliaria, pasien harus disarankan untuk membatasi kegiatan mereka, terutama pada cuaca
panas, sampai Miliaria sembuh atau hilang.
- Pasien dengan Miliaria profunda adalah risiko yang sangat tinggi mengalami kelelahan
akibat panas saat beraktifitas pada cuaca panas, karena kemampuan mereka untuk
menghantarkan panas dengan cara penguapan keringat terganggu.

DAFTAR PUSTAKA
1. Natahusada E C. 2008. Miliaria. Dalam: Djuanda Adhi, Hamzah Mochtar, Aisah Siti,
penyunting. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-5. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia .h.276-277.
2. Miliaria-rash after neutropenic fever and induction chemotherapy for acute myelogenous
leukemia. Diakses dari: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed.
3. Diana Inne A. 2009. Kelainan kulit transien pada neonatus. Dalam: Kelainan kulit dan kelamin
pada bayi hingga geriatri. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2009.h.34-6.
4. Miliaria. Diakses dari: http://emedicine.medscape.com/article/1070840- overview#a0199
5. Tekin Nelgun, Guner Mehmed, Erel Arzu, Duver Isil. Widespread non inflammatory vesicles
in woman patents: miliaria crystalline. Med J 2001; 12:146-150
6. Siregar R S. Miliaria. 1996. Dalam: Atlas berwarna saripati penyakit kulit. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC. h. 275-277.
7. Stephen Mark, Kirby Mary, Blackwell Kelly. 2003. Common newborn dermatologic
conditions. Dalam: Clinics in family practice. Texas:. h. 535-555.
8. Fealey Robert, Sato Kenzo. 2008. Disorders of the eccrine sweat glands and sweating. Dalam:
Wolf Klaus, Goldsmith Lowell, Katz Steven, Gilchrest Barbara, Leffel David. Fitzpatrick:
Dermatology in general medicine. Edisi ke-2. NewYork: Mc Graw Hill; h. 720-730.
9. Donoghue A M, Sinclair M J. 2000. Miliaria rubra of the lower limbs in underground miners.
Med J. 2000;50: 430-433.
10. Ham Peter, Mc Laughlin Maura. Common rashes. Am Fam Physician. 2008 Jan 1;77(1):47-52
11. Alberton D J, Koob Arthur. 1998. The newborn. Dalam: Burton J L, Champion R H,
penyunting. Textbook of dermatology. Edisi ke-4. Oxford: Blackwell Scientific Publication;
1998. h. 504-516
12. Disorders of the skin appendages. Diakses dari: http://www.derm-hokudai.jp/shimizu-
dermatology/pdf/19-01.pdf
13. Adams Robert. 1993. Physical and biologic causes of occupational skin disease. Dalam:
Adams Robert, penyunting. Occupational skin disease. Grune and Staton. h.27-29.
14. James, W.D. Berger, T.G. Elston, D.M. 2000. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical
Dermatology. 10th Ed. Canada: Saunders Elsevier.

You might also like