Professional Documents
Culture Documents
NPM : 16710215
No. : 13
2. Pada Patch Test, obat yang dicurigai dapat ditempatkan sebagai tes patch disitus yang
terlibat sebelumnya; respon inflamasi terjadi pada hanya 30% kasus.
3. Uji provokasi oral
Merupakan Gold Standard untuk memastika penyebab. Uji ini bertujuan untuk
mencetuskan tanda dan gejala klinis yang lebih ringan dengan pemberian obat dosis kecil
biasanya dosis 1/10 dari obat penyebab sudah cukup untuk memprovokasi reaksi dan
provokasi biasanya sudah muncul dalam beberapa jam. Karena resiko yang mungkin
ditimbulkannya maka uji ini harus dilakukan di bawah pengawasan petugas medis yang
terlatih.
H. Diagnosis Banding
Diagnosis banding FDE adalah:
1. Pemfigoid bulosa
2. Multiple erosis: sindroma steven Johnson, NET
3. Herpes simpleks
I. Terapi
Pengobatan FDE belum memuaskan, antara lain karena kesukaran dalammemastikan
penyebabnya, apakah oleh obatnya sendiri atau metabolitnya.
Pengobatan dibagi dalam:1,3,4,6
1. Pengobatan kausal
Dilaksanakan dengan menghindari obat tersangka (apabila obat tersangka telah dapat
dipastikan). Dianjurkan pula untuk menghindari obat yang mempunyai struktur kimia
mirip dengan obat tersangka (satu golongan).
2. Pengobatan sistemik
a. Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid sangat penting pada alergi obat sistemik. Dosis standaruntuk
fixed drug eruption pada orang dewasa ialah 3 x 10 mg prednisone sehari. Untuk lesi
mukosa luas, umum, dan sangat menyakitkan, oral prednisone 1 mg/kg berat badan
diturunkan selama pemberian dari 2 minggu.
b. Antihistamin
Antihistamin yang bersifat sedatif dapat juga diberikan, jika terdapat rasa gatal. Kecuali
pada urtikaria, efeknya kurang bila dibandingkan dengan kortikosteroid.
c. Pengobatan topikal
Pengobatan topikal bergantung pada keadaan kelainan kulit, apakah kering
atau basah. Pada FDE, jika kelainan membasah dapat diberi kompres dan jika kering
dapat diberi krim kortikosteroid, misalnya krim hidrokortison 1% atau 2 ½ %.
Identifikasi dari obat penyebab FDE dilakukan apabila hanya 1 obat yang digunakan
biasanya kita mencurigai beberapa obat sebagai petunjuk yang kita gunakan adalah
mengetahui kronologis pemberian obat-obatan tersebut. Hanya obat-obatan yang baru
digunakan (8-21 hari) yang dimasukkan dalam daftar yang dicurigai. Identifikasi yang jelas
dari obat penyebab dan catatan tertulis tentang obat-obat penyebab yang
diberikan pada pasien oleh dokter merupakan langkah pencegahan yang sangat penting.
Pemberian obat spesifik (kortikosteroid, obat-obatan imunosupresif/terapi anti sitokin,
immunoglobulin) seharusnya tidak diberikan sesuai standar pemberian obat sebelum
terdapat bukti efisiensi penggunaannya terhadap pasien, kadang-kadang penggunaan obat-
obatan tersebut dapat berbahaya bagi pasien.7
J. KIE
1. Prinsipnya adalah eliminasi obat terduga
2. Pasien dan keluarga diberitahu untuk membuat catatan kecil di dompetnya tentang alergi
obat yang dideritanya.
3. Memberitahukan bahwa kemungkinan pasien bisa sembuh dengan adanya hiperpigmentasi
pada lokasi lesi. Dan bila alergi berulang terjadi kelainan yang sama, pada lokasi yang
sama.
DAFTAR PUSTAKA
1. Djuanda, A, dkk. 2013. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, edisi keenam. Bagian Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
2. DermNet Editorial Board. 2004. Fixed Drug Eruption. Available from URL:
www.dermnetnz.org/reaction/fixed-drug-eruption.html. Last updated : September 30, 2004.
3. Freedberg Irwin, Eisen Arthur, Wolff Klaus et al. 1999. Dermatology in General Medicine,
5th edition Vol. 1. McGrow Hill Companies, Inc. United States ofAmerica, 1633-414.
4. Seobaryo R, Suherman S. 1995. Erupsi Obat Alergik. Dalam: Sularsito Sri,dkk. Erupsi Obat
Alergik. Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. FKUI. 3-7,63-45.
5. Thiers B. 2000. Disorders of Hyperpigmentation. In: Dermatologics Clinics. W.B Saunders
Company.95-7
6. Wolff K, Johnson RA, Suuemons D. 2007. Fitzpatrick’s Color Atlas and Synopsis of Clinical
Dermatology. 5th ed. New York: McGraw Hill
7. Revuz Jean. 2004. Serious Drug Reactions. In : Abstracts IX International Congress
ofDermatology. May 19-22, 2004. Beijing China: 5
MILIARIA
A. Definisi
Miliaria adalah kelainan kulit akibat retensi keringat, ditandai dengan adanya vesikel
milier. Istilah lain untuk keadaan ini bermacam-macam, seperti liken tropikus,
keringat buntet, biang keringat dan juga prickle heat.1 Miliaria juga didefinisikan
sebagai kelainan pada kelenjar keringat ekrin yang muncul pada keadaan
meningkatnya panas dan kelembaban. Dapat berkaitan dengan demam yang menetap
ataupun penggunaan suatu obat.2 Miliaria menyerang segala usia, namun seringkali terjadi
pada neonatus dan merupakan salah satu dari penyakit kulit transien pada neonatus,
dan pernah dilaporkan kasus kongenital namun sangat jarang.3
B. Epidemiologi
Miliaria kristalina terjadi pada 4,5% neonatus dengan usia rata-rata 1 minggu, miliaria
rubra pada 4% neonatus dengan usia rata-rata 11-14 hari. Sebuah penelitian di Iran
tahun 2006 menunjukkan terjadinya miliaria pada 1,3% bayi baru lahir. Secara global terjadi
pada daerah iklim tropis dan pada orang-orang yang pindah dari suatu daerah ke daerah yang
lebih panas dan lembab. 30% terjadi pada orang dewasa di iklim tropis.4
C. Patofisiologi
Stimulus primer dari terjadinya miliaria adalah segala kondisi dengan suhu dan
kelembaban tinggi yang mengakibatkan produksi keringat yang berlebihan. Sumbatan
pada kelenjar keringat juga menjadi sebab, antara lain sumbatan akibat pakaian ataupun
perban. Pada neonatus, penyebabnya diduga adalah kelenjar ekrin yang imatur sehingga
mudah pecah.4 Beberapa sebab eksternal lain seperti pengobatan dengan betanecol,
isotretinoin sistemik dan defisiensi mangan juga dapat meningkatkan resiko terjadinya
miliaria.5
Keadaan panas dan kelembaban tinggi dapat menyebabkan produksi keringat berlebih dan
terjadinya sumbatan pada duktus dapat menyebabkan gangguan pengeluaran keringat,
dalam miliaria kelenjar keringat yang mengalami kelainan adalah kelenjar ekrin.3,5
Berikut akan ditampilkan penampang kulit secara histology untuk memperjelas visualisasi
kelenjar ekrin:
Gambar 1. Histologi Penampang Kulit
Bendungan akan menyebabkan kebocoran untuk mencari jalan keluar lain, baik melalui
epidermis atau dermis dengan anhidrosis relatif. Saat titik obstruksi berada di stratum
korneum atau hanya sedikit di bawah stratum korneum, walaupun dengan peradangan
yang biasanya minimal, akan menyebabkan lesi yang asimtomatik, ini yang disebut
sebagai miliaria kristalina. Pada miliaria rubra, letak sumbatan berada di lapisan sub korneum
yang membentuk vesikel spongiosis dan ditemukannya infiltrasi sel inflamasi kronik pada
bagian papila dermis dan bagian bawah dari epidermis.1,3,5,6 Sedangkan pada miliaria profunda,
jalan keluar keringat terhambat pada bagian yang lebih dalam, yaitu di papilla dermis atau
bagian antara epidermis dan dermis, selain itu terjadi infiltrasi limfosit di periduktus dan
terjadi spongiosis di duktus epidermal.1,3,7
Bakteri residen kulit seperti Staphylococcus epidermidis dan Staphylococcus aureus
juga memegang peranan pada terbentuknya miliaria.4 Pasien dengan miliaria memiliki
jumlah bakteri 3 kali lipat per unit area kulit, dan pemberian antimikroba secara
eksperimental dapat menekan terjadinya miliaria. Penelitian menunjukkan terdapatnya
substansi polisakarida ekstraselular dari staphylococcus, dan secara eksperimental
didapatkan hanya Staphylococcus epidermidis yang dapat membentuk substansi tersebut dan
menginduksi miliaria.4
Pada suatu penelitian yang dipublikasikan tahun 2000 di Australia, insidensi
miliaria rubra meningkat pada pemakai sepatu boots karet tinggi yaitu pada area antara lutut
dan pergelangan kaki, namun dugaan pada dasarnya sama, yaitu sirkulasi yang
kurang menyebabkan suhu dan kelembaban lebih tinggi dan keadaan seperti demikian
serta mudahnya air tanah tertahan dalam sepatu sangat memungkinkan sebagai media
berkembangnya Staphylococcus.9
C. Faktor Resiko
1. Ras
Miliaria terjadi pada individu-individu dari semua ras, walaupun beberapa studi
menunjukkan bahwa orang-orang Asia, yang menghasilkan lebih sedikit keringat dari kulit
putih, kurang beresiko memiliki Miliaria rubra.1
2. Jenis Kelamin
Tidak ada kecenderungan terhadap jenis kelamin tertentu. Resiko terhadap laki – laki
dibanding perempuan adalah sama.1
3. Usia
Miliaria crystallina dan miliaria rubra dapat terjadi pada orang-orang dari segala usia,
tetapi yang paling umum terjadi adalah pada bayi. Dalam sebuah survei Jepang lebih dari
5.000 bayi, crystallina Miliaria muncul pada 4,5% dari neonatus, dengan usia rata-rata 1
minggu. Miliaria rubra muncul pada 4% dari neonatus, dengan rata-rata usia 11-14 hari.
Tiga kasus dari miliaria crystallina telah dilaporkan. Miliaria profunda lebih sering terjadi
pada orang dewasa dibandingkan pada bayi dan anak-anak.1
D. Anamnesis
1. Miliaria crystalline1
a) Bentuk ini biasanya menyerang bayi baru lahir (neonatus) yang berusia kurang dari 2
minggu dan orang dewasa yang menderita demam atau mereka yang baru saja pindah
ke iklim tropis.
b) Lesi muncul dalam beberapa hari sampai beberapa minggu dari terpaparnya cuaca
panas dan menghilang dalam beberapa jam sampai beberapa hari.
c) Lesi umumnya asimtomatik.
2. Miliaria rubra1
a) Bentuk ini biasanya menyerang neonatus usia 1-3 minggu dan orang dewasa yang
tinggal di tempat yang panas, dan lingkungan yang lembab.
b) Lesi dapat terjadi dalam beberapa hari setelah pajanan terhadap kondisi panas, tetapi
lebih cenderung muncul setelah berbulan-bulan setelah terpapar panas dan lembab.
c) Lesi sembuh dalam beberapa hari setelah pasien dipindahkan dari kondisi panas dan
lingkungan lembab.
d) Lesi menyebabkan gatal atau pruritus intensif dan menyengat yang diperburuk oleh
demam, panas, atau pengerahan tenaga (exertion).
e) Pada pasien dapat muncul kelelahan dan intoleransi panas, dan mereka mungkin akan
melihat penurunan atau tidak ada keringat di tempat yang terkena.
3. Miliaria profunda1
a) Bentuk ini terjadi pada individu yang biasanya tinggal di iklim tropis dan memiliki
episode berulang dari Miliaria rubra.
b) Lesi berkembang dalam beberapa menit atau jam setelah stimulasi berkeringat. Lesi ini
sembuh dengan cepat, biasanya dalam waktu kurang dari satu jam setelah stimulus
yang menyebabkan berkeringat dihilangkan atau dihindari.
c) Lesi tidak menunjukkan gejala.
d) Pasien dapat melaporkan peningkatan produksi keringat di kulit yang tidak
terserang, pembengkakan kelenjar getah bening, hyperpyrexia dan gejala kelelahan
akibat panas, yang mencakup pusing, mual, dyspnea, dan palpitas
E. Pemeriksaan Fisik
Pada miliaria kristalina, lesi vesikel superfisial jernih dengan diameter 1-2 mm, seringkali
konfluen tanpa ada eritema di sekitarnya. Pada bayi, terutama berada pada kepala, leher dan
bagian atas trunkus.1,9 Sedangkan pada dewasa umumnya berada pada trunkus, dan berikutnya
penyembuhan miliaria kristalina akan dimulai dengan deskuamasi.1,10,11 Gambaran miliaria
kristalina dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 2. Miliaria kristalina
Untuk miliaria rubra, lesi kecil, biasanya uniform, papul dengan eritema, dan papul
vesikular dengan latar belakang eritema. Bayi umumnya memiliki lesi di leher, skrotum dan
aksila.4,10. Tipe miliaria rubra pada neonatus lebih sering berada pada bagian genital, diduga
terutama akibat keadaan lembab akibat popok plastik.11 Obesitas bayi juga merupakan faktor
resiko terjadinya miliaria rubra.12 Sedangkan dewasa terjadi pada bagian yang tertutup dan
tergesek pakaian dan juga kulit kepala.4,10
Miliaria rubra yang berpenampilan seperti pustul yang dominan dinamakan miliaria
pustulosa, dan ada beberapa ahli yang menggolongkannya menjadi tipe keempat dari miliaria.6
Klinis dari miliaria rubra dan profunda dapat dilihat pada gambar-gambar berikut:
I. KIE
- Pasien harus menghindari paparan kondisi panas tinggi dan kelembaban.
- Ketika pasien berada dalam iklim tropis, mereka harus memakai pakaian yang tipis,
menghindari aktivitas, gunakan tabir surya, dan tinggal di ruangan ber-AC sebanyak
mungkin.
- Pada pasien dengan riwayat Miliaria, penggunaan topikal anhydrous lanolin sebelum
latihan dapat membantu mencegah pembentukan lesi baru.
- Karena aktifitas meningkat menyebabkan berkeringat, yang akan sangat memperburuk
Miliaria, pasien harus disarankan untuk membatasi kegiatan mereka, terutama pada cuaca
panas, sampai Miliaria sembuh atau hilang.
- Pasien dengan Miliaria profunda adalah risiko yang sangat tinggi mengalami kelelahan
akibat panas saat beraktifitas pada cuaca panas, karena kemampuan mereka untuk
menghantarkan panas dengan cara penguapan keringat terganggu.
DAFTAR PUSTAKA
1. Natahusada E C. 2008. Miliaria. Dalam: Djuanda Adhi, Hamzah Mochtar, Aisah Siti,
penyunting. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-5. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia .h.276-277.
2. Miliaria-rash after neutropenic fever and induction chemotherapy for acute myelogenous
leukemia. Diakses dari: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed.
3. Diana Inne A. 2009. Kelainan kulit transien pada neonatus. Dalam: Kelainan kulit dan kelamin
pada bayi hingga geriatri. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2009.h.34-6.
4. Miliaria. Diakses dari: http://emedicine.medscape.com/article/1070840- overview#a0199
5. Tekin Nelgun, Guner Mehmed, Erel Arzu, Duver Isil. Widespread non inflammatory vesicles
in woman patents: miliaria crystalline. Med J 2001; 12:146-150
6. Siregar R S. Miliaria. 1996. Dalam: Atlas berwarna saripati penyakit kulit. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC. h. 275-277.
7. Stephen Mark, Kirby Mary, Blackwell Kelly. 2003. Common newborn dermatologic
conditions. Dalam: Clinics in family practice. Texas:. h. 535-555.
8. Fealey Robert, Sato Kenzo. 2008. Disorders of the eccrine sweat glands and sweating. Dalam:
Wolf Klaus, Goldsmith Lowell, Katz Steven, Gilchrest Barbara, Leffel David. Fitzpatrick:
Dermatology in general medicine. Edisi ke-2. NewYork: Mc Graw Hill; h. 720-730.
9. Donoghue A M, Sinclair M J. 2000. Miliaria rubra of the lower limbs in underground miners.
Med J. 2000;50: 430-433.
10. Ham Peter, Mc Laughlin Maura. Common rashes. Am Fam Physician. 2008 Jan 1;77(1):47-52
11. Alberton D J, Koob Arthur. 1998. The newborn. Dalam: Burton J L, Champion R H,
penyunting. Textbook of dermatology. Edisi ke-4. Oxford: Blackwell Scientific Publication;
1998. h. 504-516
12. Disorders of the skin appendages. Diakses dari: http://www.derm-hokudai.jp/shimizu-
dermatology/pdf/19-01.pdf
13. Adams Robert. 1993. Physical and biologic causes of occupational skin disease. Dalam:
Adams Robert, penyunting. Occupational skin disease. Grune and Staton. h.27-29.
14. James, W.D. Berger, T.G. Elston, D.M. 2000. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical
Dermatology. 10th Ed. Canada: Saunders Elsevier.