You are on page 1of 19

FRAKTUR FEMUR

A. Anatomi femur
Femur dalam bahasa latin berarti paha, adalah tulang terpanjang, terkuat dan terberat dari
semua tulang pada rangka tubuh. Bentuk dari tulang femur menyerupai bentuk silinder yang
memanjang. Femur terbagi atas tiga bagian yaitu bagian proximal, medial, dan distal (Sloane,
2003).
- Proximal femur
Adalah bagian tulang femur yang berdekatan dengan Pelvis. Terdiri atas : kepala (caput),
leher (collum), trochanter mayor, dan minor.
1) Kepala (Caput)
Bentuk kepala femur membulat dan berartikulasi dengan accetabulum. Permukaan lembut
dari bagian caput femur mengalami depresi, fovea kapitis untuk tempat perlekatan ligamen
yang menyangga caput agar tetap di tempatnya dan membawa pembuluh darah ke kepala
femur tersebut.Femur tidak berada pada garis vertikal tubuh. Caput femur masuk dengan
pas ke accetabulum untuk membentuk sudut sekitar 1250 dari bagian Collum femur.
2) Leher (Collum) Collum femur menyerupai bentuk piramida memanjang, serta merupakan
penghubung antara Caput femur dengan trochanter.
3) Trochanter Mayor dan Minor.
Trochanter mayor Adalah prominance besar yang berlokasi di bagian superior dan lateral
tulang femur. Trochanter minor merupakan prominance kecil yang berlokasi di bagian
medial dan posterior dari leher dan corpus tulang femur Trochanter mayor dan minor
berfungsi sebagai tempat perlekatan otot untuk menggerakan persendian panggul.
- Medial Femur adalah bagian tulang femur yang membentuk corpus dari femur menyerupai
bentuk silinder yang memanjang. Bagian batang permukaannya halus dan memiliki satu
tanda saja, linea aspera yaitu lekuk kasar untuk perlekatan beberapa otot.
- Distal Femur. Bagian anterior dari distal femur merupakan lokasi tempat melekatnya
tulang patella, terletak 1,25 cm di atas knee joint. Bagian posterior dari distal femur terdapat
dua buah condilus, yaitu condilus lateral dan condilus medial. Kedua condilus ini dipisahkan
oleh forsa intercondilus.Salah satu fungsi penting kepala tulang paha adalah tempat
produksi sel darah merah pada sumsum tulangnya (Sloane, 2003).
Keterangan :
a. Caput femur
b. Fovea capitis femoris
c. Collum femur
d. Fossa trochanterica
e. Trochanter mayor
f. Trochanter minor
g. Linea intertrochanterica
h. Collum femur
i. Corpus femur
j. Tuberculum adductorium
k. Epicondylus medial
l. Facies patellaris
m. Epicondylus latera
B. Pengertian fraktur
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya
disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, Arif, et al, 2000). Sedangkan menurut
Carpenito (1999), menyebutkan bahwa Fraktur adalah rusaknya kontinuitas
tulang yang disebabkan tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang
dapat diserap oleh tulang.
Fraktur atau sering disebut patah tulang adalah terputusnya kontinuitas
Jaringan tulang dan atau tulang rawan yang penyebabnya dapat dikarenakan
penyakit pengeroposan tulang diantaranya penyakit yang sering disebut
osteoporosis, biasanya dialami pada usia dewasa, dan dapat juga disebabkan
karena kecelakaan yang tidak terduga (Mansjoer, 2000)
Fraktur antebrachii merupakan suatu perpatahan pada lengan bawah
yaitu pada tulang radius dan ulna dimana kedua tulang tersebut mengalami
perpatahan. Dibagi atas tiga bagian perpatahan yaitu bagian proksimal, medial ,
serta distal dari kedua corpus tulang tersebut. (Putri, 2008)
Menurut Sjamsuhidajat & Jong (2005) fraktur femur adalah fraktur pada
tulang femur yang disebabkan oleh benturan atau trauma langsung maupun tidak
langsung. Fraktur femur juga didefinisikan sebagai hilangnya kontinuitas tulang
paha, kondisi fraktur femur secara klinis bisa berupa fraktur femur terbuka yang
disertai adanya kerusakan jaringan lunak (otot, kulit, jaringan saraf dan pembuluh
darah) dan fraktur femur tertutup yang dapat disebabkan oleh trauma langsung
pada paha.

C. Etiologi
1. Fraktur Fisiologis
Suatu kerusakan jaringan tulang yang diakibatkan dari kecelakaan, tenaga
fisik, olahraga, dan trauma dapat disebabkan oleh:
a. Trauma langsung
Yaitu pukulan langsung terhadap tulang sehingga tulang patah secara
spontan. yang paling lazim adalah karena kecelakaan sepeda motor.
Fraktur ini disebabkan karena kekuatan yang berlebihan dan tiba-tiba,
dapat berupa pemukulan, pemuntiran, penekukan maupun penarikan
antara tendon dan ligament sehingga bisa berakibat tulang terpisah.
Trauma langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya
kekerasan. Fraktur demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis
patah melintang atau miring. Benturan pada lengan bawah, ex: fraktur
tulang ulna dan radius.
b. Trauma tidak langsung
Yaitu pukulan langsung berada jauh dari lokasi benturan, misalnya jatuh.
Trauma tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh
dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian
yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan. Jatuh
tertumpu pada tangan, ex: fraktur klavikula.
Trauma akibat tarikan otoPatah tulang akibat tarikan otot sangat jarang
terjadi. Kekuatan dapat berupa pemuntiran, penekukan, penekanan,
kombinasi dari ketiganya, dan penarikan (Oswari E, 1993).

2. Fraktur Patologis
Dalam hal ini kerusakan tulang terjadi akibat proses penyakit dimana dengan
trauma minor dapat mengakibatkan fraktur ataupun akibat kelemahan tulang
akibat kelainan tulang. Dapat terjadi pada berbagai keadaan berikut:
a. Tumor tulang
Terbagi menjadi jinak dan ganas
b. Infeksi seperti Osteomielitis
c. Scurvy (penyakit gusi berdarah)
d. Osteomalasia
e. Rakhitis
f. Osteoporosis

D. Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekeuatan dan gaya
pegas untuk menahan tekanan (Apley, A. Graham, 1993). Tapi apabila tekanan
eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka
terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya
kontinuitas tulang (Carpnito, Lynda Juall, 1995). Setelah terjadi fraktur,
periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan
lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan
tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang
segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami
nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai dengan
vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian
inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya (Black,
J.M, et al, 1993).

E. Klasifikasi Fraktur
Penampikan fraktur dapat sangat bervariasi dan dibagi menjadi beberapa
kelompok, yaitu:
a. Berdasarkan sifat fraktur.
1). Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang
dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa
komplikasi. Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan
keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
 Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cidera jaringan lunak
sekitarnya.
 Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan
subkutan.
 Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian
dalam dan pembengkakan.
 Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata
dan ancaman sindroma kompartement.
2). Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan kulit.

b. Berdasarkan komplit atau ketidakklomplitan fraktur.


1). Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang
atau melalui kedua korteks tulang.
2). Fraktrur Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang
tulang seperti:
a) Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks
dengan kompresi tulang spongiosa di bawahnya.
b) Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi
korteks lainnya yang terjadi pada tulang panjang.

c. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme


trauma.
1). Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan
merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
2). Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut
terhadap sumbu tulang dan meruakan akibat trauma angulasijuga.
3). Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang
disebabkan trauma rotasi.
4). Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi
yang mendorong tulang ke arah permukaan lain.
5). Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau
traksi otot pada insersinya pada tulang.
d. Berdasarkan jumlah garis patah.
1) Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan
saling berhubungan.
2) Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi
tidak berhubungan.
3) Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
pada tulang yang sama.
e. Berdasarkan pergeseran fragmen tulang.
1). Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap ttetapi
kedua fragmen tidak bergeser dan periosteum nasih utuh.
2). Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang
juga disebut lokasi fragmen, terbagi atas:
a) Dislokasi ad longitudinam cum contractionum (pergeseran
searah sumbu dan overlapping).
b) Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).
c) Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling
menjauh).
f. Fraktur Kelelahan: fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.
g. Fraktur Patologis: fraktur yang diakibatkan karena proses patologis
tulang.

Menurut Mansjoer (2000), ada empat jenis fraktur antebrachii yang khas
beserta penyebabnya yaitu :
1. Fraktur Colles
Deformitas pada fraktur ini berbentuk seperti sendok makan (dinner fork
deformity). Pasien terjatuh dalam keadaan tangan terbuka dan pronasi, tubuh
beserta lengan berputar ke dalam (endorotasi). Tangan terbuka yang
terfiksasi di tanah berputar keluar (eksorotasi/supinasi).
2. Fraktur Smith
Fraktur Smith merupakan fraktur dislokasi ke arah anterior (volar), karena
itu sering disebut reverse colles fracture. Fraktur ini biasa terjadi pada orang
muda. Pasien jatuh dengan tangan menahan badan sedang posisi tangan
dalam keadaan volar fleksi pada pergelangan tangan dan pronasi. Garis
patahan biasanya transversal, kadang-kadang intra artikular.
3. Fraktur Galeazzi
Fraktur Galeazzi merupakan fraktur radius distal disertai dislokasi sendi
radius ulna distal. Saat pasien jatuh dengan tangan terbuka yang menahan
badan, terjadi pula rotasi lengan bawah dalam posisi pronasi waktu menahan
berat badan yang memberi gaya supinasi.

4. Fraktur Montegia
Fraktur Montegia merupakan fraktur sepertiga proksimal ulna disertai
dislokasi sendi radius ulna proksimal. Terjadi karena trauma langsung.

F. Tanda dan Gejala


Menurut Smeltzer (2002), manifestasi Klinis Fraktur adalah nyeri,
hilangnya fungsi deformitas, pemendekan ekstremitas, krepitasi, pembekakan
lokal dan perubahan warna.
1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
diimobilisasi spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai
alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen
tulang.
2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tidak dapat digunakan dan
cenderung bergerak secara tidak alamiah (gerakan luar biasa) bukannya
tetap menjadi seperti normalnya. Pergeseran fragmen pada faktur lengan
atau tungkai menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba)
ekstremitas yang bisa diketahui dengan membandingkan dengan
ekstremitas normal. Ekstremitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena
fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang tempat melekatnya
otot.
3. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya
karena kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur.
Fragmen sering saling melingkupi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5
cm.
4. Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya fragmen satu
dengan lainnya (uji krepitus dapat kerusakan jaringan lunak yang lebih
berat).
5. Pembekakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat
trauma dan pendarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa baru terjadi
setelah beberapa jam atau hari setelah cedera.

G. Komplikasi fraktur
1) Komplikasi Awal
a) Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya
nadi, CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar,
dan dingin pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan
emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan
reduksi, dan pembedahan.
b) Kompartement Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi
karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam
jaringan parut. Ini disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang
menekan otot, saraf, dan pembuluh darah. Selain itu karena tekanan
dari luar seperti gips dan pembebatan yang terlalu kuat.
c) Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering
terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel
lemak yang dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran darah
dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai
dengan gangguan pernafasan, tachikardi, hypertensi, tachipnea, dan
demam.

d) Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada
trauma orthopaedic, infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk
ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa
juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin
dan plat.
e) Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak
atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali
dengan adanya Volkman’s Ischemia.
f) Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya
permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya
oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur.

2) Komplikasi Dalam Waktu Lama


a) Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai
dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini
disebabkan karena penurunan supai darah ke tulang.
b) Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan
memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9
bulan. Nonunion ditandai dengan adanya pergerakan yang berlebih
pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseudoarthrosis.
Ini juga disebabkan karena aliran darah yang kurang.
c) Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan
meningkatnya tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas).
Malunion dilakukan dengan pembedahan dan reimobilisasi yang baik.

H. Penyembuhan Tulang
Tulang bisa beregenerasi sama seperti jaringan tubuh yang lain. Fraktur
merangsang tubuh untuk menyembuhkan tulang yang patah dengan jalan
membentuk tulang baru diantara ujung patahan tulang. Tulang baru dibentuk
oleh aktivitas sel-sel tulang. Ada lima stadium penyembuhan tulang, yaitu:

1) Pembentukan Hematoma
Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma disekitar daerah fraktur.
Sel-sel darah membentuk fibrin guna melindungi tulang yang rusak dan
sebagai tempat tumbuhnya kapiler baru dan fibroblast. Stadium ini
berlangsung 24-48 jam dan perdarahan berhenti sama sekali.
2) Proliferasi Seluler
Pada stadium ini terjadi proliferasi dan differensiasi sel menjadi fibro
kartilago yang berasal dari periosteum, endosteum,dan bone marrow
yang telah mengalami trauma. Sel-sel yang mengalami proliferasi ini terus
masuk ke dalam lapisan yang lebih dalam dan disanalah osteoblast
beregenerasi dan terjadi proses osteogenesis. Dalam beberapa hari
terbentuklah tulang baru yang menggabungkan kedua fragmen tulang
yang patah. Fase ini berlangsung selama 8 jam setelah fraktur sampai
selesai, tergantung frakturnya.
3) Pembentukan Kallus
Sel–sel yang berkembang memiliki potensi yang kondrogenik dan
osteogenik, bila diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai
membentuk tulang dan juga kartilago. Populasi sel ini dipengaruhi oleh
kegiatan osteoblast dan osteoklast mulai berfungsi dengan mengabsorbsi
sel-sel tulang yang mati. Massa sel yang tebal dengan tulang yang imatur
dan kartilago, membentuk kallus atau bebat pada permukaan endoteal
dan periosteal. Sementara tulang yang imatur (anyaman tulang) menjadi
lebih padat sehingga gerakan pada tempat fraktur berkurang pada 4
minggu setelah fraktur menyatu.
4) Konsolidasi
Bila aktivitas osteoclast dan osteoblast berlanjut, anyaman tulang berubah
menjadi lamellar. Sistem ini sekarang cukup kaku dan memungkinkan
osteoclast menerobos melalui reruntuhan pada garis fraktur, dan tepat
dibelakangnya osteoclast mengisi celah-celah yang tersisa diantara
fragmen dengan tulang yang baru. Ini adalah proses yang lambat dan
mungkin perlu beberapa bulan sebelum tulang kuat untuk membawa
beban yang normal.
5) Remodelling
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama
beberapa bulan atau tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh
proses resorbsi dan pembentukan tulang yang terus-menerus. Lamellae
yang lebih tebal diletakkan pada tempat yang tekanannya lebih tinggi,
dinding yang tidak dikehendaki dibuang, rongga sumsum dibentuk, dan
akhirnya dibentuk struktur yang mirip dengan normalnya.
I. Penatalaksanaan Fraktur
Penatalaksanaan medis menurut Chaeruddin Rosjad (1998), sebelum
menggambil keputusan untuk melakukan penatalaksanaan definitife. Prinsip
penatalaksanaan fraktur ada 4 R yaitu :
a. Recognition: diagnose dan penilaian fraktur
Prinsip pertama adalah mengetahui dan menilai keadaan fraktur dengan
anamnesa, pemeriksaan klinis dan radiologi. Pada awal pengobatan perlu
diperhatikan: lokasi fraktur, bentuk fraktur, menentukan tehnik yang sesuai
untuk pengobatan, komplikasi yang mungkin terjadi selama pengobatan.
b. Reduction
Tujuannya untuk mengembalikan panjang dan kesegarisan tulang. Dapat
dicapai yang manipulasi tertutup/reduksi terbuka progresi. Reduksi
tertutup terdiri dari penggunaan traksimoval untuk menarik fraktur
kemudian memanipulasi untuk mengembalikan kesegarisan
normal/dengan traksi mekanis.
Reduksi terbuka diindikasikan
jika reduksi tertutup gagal /
tidak memuaskan. Reduksi
terbuka merupakan alat frusasi
internal yang digunakan itu
mempertahankan dalam
posisinya sampai
penyembuhan tulang solid
seperti pen, kawat, skrup dan
plat.
Reduction interna fixation (ORIF) yaitu dengan pembedahan terbuka dan
mengimobilisasi fraktur yang berfungsi pembedahan untuk memasukkan
skrup/pen kedalam fraktur yang berfungsi untuk menfiksasi bagian-bagian
tulang yang fraktur secara bersamaan.
c. Retention
Imobilisasi fraktur tujuannnya mencegah
fragmen dan mencegah pergerakan
yang dapat mengancam union. Untuk
mempertahankan reduksi (ektremitas
yang mengalami fraktur) adalah dengan
traksi.
Traksi merupakan salah satu pengobatan dengan cara menarik/tarikan pada
bagian tulang-tulang sebagai kekuatan dengan control dan tahanan beban
keduanya untuk menyokong tulang dengan tujuan mencegah reposisi deformitas,
mengurangi fraktur dan dislokasi, mempertahankan ligament tubuh/mengurangi
spasme otot, mengurangi nyeri, mempertahankan anatomi tubuh dan
mengimobilisasi area spesifik tubuh. Ada 2 pemasangan traksi adalah: skin traksi
dan skeletal traksi.
d. Rehabilitation : mengembalikan aktifitas fungsional seoptimal mungkin.
Berikut adalah penatalaksanaan fraktur antebrachii menurut Mansjoer (2000) :
1. Fraktur Colles:
Pada fraktur Colles tanpa dislokasi hanya diperlukan imobilisasi dengan
pemasangan gips sirkular di bawah siku selama 4 minggu. Bila disertai
dislokasi diperlukan tindakan reposisi tertutup. Dilakukan dorsofleksi fragmen
distal, traksi kemudian posisi tangan volar fleksi, deviasi ulna (untuk
mengoreksi deviasi radial) dan diputar ke arah pronasio (untuk mengoreksi
supinasi). Imobilisasi dilakukan selama 4 - 6 minggu.
2. Fraktur Smith:
Dilakukan reposisi dengan posisi tangan diletakkan dalam posisi dorsofleksi
ringan, deviasi ulnar, dan supinasi maksimal (kebalikan posisi Colles). Lalu
diimobilisasi dengan gips di atas siku selama 4 - 6 minggu.
3. Fraktur Galeazzi
Dilakukan reposisi dan imobilisasi dengan gips di atas siku, posisi netral untuk
dislokasi radius ulna distal, deviasi ulnar, dan fleksi.
4. Fraktur Montegia
Dilakukan reposisi tertutup. Asisten memegang lengan atas, penolong
melakukan tarikan lengan bawah ke distal, kemudian diputar ke arah supinasi
penuh. Setelah itu, dengan jari kepala radius dicoba ditekan ke tempat
semula. Imobilisasi gips sirkuler dilakukan di atas siku dengan posisi siku
fleksi 90° dan posisi lengan bawah supinasi penuh. Bila gagal, dilakukan
reposisi terbuka dengan pemasangan fiksasi interna (plate-screw).

J. Pemeriksaan Diagnostik
a) Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan
yang penting adalah “pencitraan”
menggunakan sinar rontgen (x-ray).
Untuk mendapatkan gambaran 3
dimensi keadaan dan kedudukan
tulang yang sulit, maka diperlukan 2
proyeksi yaitu AP atau PA dan
lateral. Dalam keadaan tertentu
diperlukan proyeksi tambahan
(khusus) ada indikasi untuk
memperlihatkan pathologi yang dicari karena adanya superposisi. Perlu
disadari bahwa permintaan x-ray harus atas dasar indikasi kegunaan
pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan.
Hal yang harus dibaca pada x-ray:
(1) Bayangan jaringan lunak.
(2) Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau
biomekanik atau juga rotasi.
(3) Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
(4) Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.

Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik khususnya seperti:
(1) Tomografi
Menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain tertutup
yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang
kompleks dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga
mengalaminya.
(2) Myelografi
Menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah di
ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma.
(3) Arthrografi
Menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda paksa.
(4) Computed Tomografi-Scanning
Menggambarkan potongan secara transversal dari tulang dimana
didapatkan suatu struktur tulang yang rusak.
b) Pemeriksaan Laboratorium
(1) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap
penyembuhan tulang.
(2) Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan
kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
(3) Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5),
Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada
tahap penyembuhan tulang.
c) Pemeriksaan lain-lain
(1) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas:
didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi.
(2) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan
pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.
(3) Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang
diakibatkan fraktur.
(4) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena
trauma yang berlebihan.
(5) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi
pada tulang.
(6) MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.

K. Asuhan Keperawatan
PENGKAJIAN
Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama,.
a) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri
tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk
memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:
(1) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi
yang menjadi faktor presipitasi nyeri.
(2) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan
atau digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
(3) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda,
apakah rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
(4) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang
dirasakan klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan
seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
(5) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah
bertambah buruk pada malam hari atau siang hari.
b) Riwayat Penyakit Sekarang
berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan
kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan
mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan
yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).
c) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi
petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit
tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s yang menyebabkan
fraktur patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit
diabetes dengan luka di kaki sangat beresiko terjadinya osteomyelitis akut
maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang.
d) Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan
salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes,
osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker
tulang yang cenderung diturunkan secara genetic.
e) Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan
peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya
dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam
masyarakat.
1) Diagnosa Keperawatan
Pre Operasi
a. Nyeri berhubungan dengan fraktur tulang, spasme otot, edema,
kerusakan jaringan lunak
b. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan
nyeri/ketidaknyamanan, imobilisasi
c. Resiko kerusakan integritas kulit/jaringan berhubungan dengan
imobilisasi, penurunan sirkulasi, fraktur terbuka
d. Ansietas berhubungan dengan prosedur tindakan pembedahan dan
hasil akhir pembedahan
e. Resiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan
primer, kerusakan kulit, trauma jaringan
Post Operasi
1. Nyeri berhubungan dengan diskontinuitas tulang
2. Risiko cedera berhubungan dengan gangguan integritas tulang.
3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka
neuromuskuler nyeri, terapi neftriktif (imobilisasi).
4. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan fraktur terbuka,
pemasangan traksi (pen, kawat, skrup).
5. Risiko infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan
primer (kerusakan kulit trauma, jaringan lunak, prosedur ibvasif/traksi
tulang).
6. Perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan perdarahan.
7. Gangguan pertukaran gas b/d perubahan aliran darah, emboli,
perubahan membran alveolar/kapiler (interstisial, edema paru,
kongesti).
8. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan
pengobatan b/d kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap
informasi, keterbatasan kognitif, kurang akurat/lengkapnya informasi
yang ada.

2) Rencana Keperawatan
a. Risiko cedera b/d gangguan integritas tulang

INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL


1. Pertahankan tirah baring dan Meningkatkan stabilitas, meminimalkan
imobilisasi sesuai indikasi. gangguan akibat perubahan posisi.

2. Bila terpasang gips/bebat, sokong Mencegah gerakan yang tak perlu akibat
fraktur dengan bantal atau gulungan perubahan posisi.
selimut untuk mempertahankan
posisi yang netral.
3. Evaluasi pembebat terhadap Penilaian kembali pembebat perlu
resolusi edema. dilakukan seiring dengan berkurangnya
edema
4. Bila terpasang traksi, pertahankan Traksi memungkinkan tarikan pada aksis
posisi traksi (Buck, Dunlop, panjang fraktur tulang dan mengatasi
Pearson, Russel) tegangan otot untuk mempercepat
reunifikasi fragmen tulang
5. Yakinkan semua klem, katrol dan tali Menghindari iterupsi penyambungan
berfungsi baik. fraktur.
6. Pertahankan integritas fiksasi Keketatan kurang atau berlebihan dari
eksternal. traksi eksternal (Hoffman) mengubah
tegangan traksi dan mengakibatkan
kesalahan posisi.
7. Kolaborasi pelaksanaan kontrol foto. Menilai proses penyembuhan tulang.

b. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera
jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas.

INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL


1. Pertahankan imobilasasi bagian Mengurangi nyeri dan mencegah
yang sakit dengan tirah baring, gips, malformasi.
bebat dan atau traksi
2. Tinggikan posisi ekstremitas yang Meningkatkan aliran balik vena,
terkena. mengurangi edema/nyeri.
3. Lakukan dan awasi latihan gerak Mempertahankan kekuatan otot dan
pasif/aktif. meningkatkan sirkulasi vaskuler.
4. Lakukan tindakan untuk Meningkatkan sirkulasi umum,
meningkatkan kenyamanan menurunakan area tekanan lokal dan
(masase, perubahan posisi) kelelahan otot.
5. Ajarkan penggunaan teknik Mengalihkan perhatian terhadap nyeri,
manajemen nyeri (latihan napas meningkatkan kontrol terhadap nyeri
dalam, imajinasi visual, aktivitas yang mungkin berlangsung lama.
dipersional)
6. Lakukan kompres dingin selama Menurunkan edema dan mengurangi
fase akut (24-48 jam pertama) rasa nyeri.
sesuai keperluan.
7. Kolaborasi pemberian analgetik Menurunkan nyeri melalui mekanisme
sesuai indikasi. penghambatan rangsang nyeri baik
secara sentral maupun perifer.

8. Evaluasi keluhan nyeri (skala, Menilai erkembangan masalah klien.


petunjuk verbal dan non verval,
perubahan tanda-tanda vital)

c. Risiko disfungsi neurovaskuler perifer b/d penurunan aliran darah (cedera


vaskuler, edema, pembentukan trombus)

INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL


1. Dorong klien untuk secara rutin Meningkatkan sirkulasi darah dan
melakukan latihan menggerakkan mencegah kekakuan sendi.
jari/sendi distal cedera.

2. Hindarkan restriksi sirkulasi akibat Mencegah stasis vena dan sebagai


tekanan bebat/spalk yang terlalu petunjuk perlunya penyesuaian
ketat. keketatan bebat/spalk.

3. Pertahankan letak tinggi ekstremitas Meningkatkan drainase vena dan


yang cedera kecuali ada menurunkan edema kecuali pada
kontraindikasi adanya sindroma adanya keadaan hambatan aliran arteri
kompartemen. yang menyebabkan penurunan perfusi.

4. Berikan obat antikoagulan (warfarin) Mungkin diberikan sebagai upaya


bila diperlukan. profilaktik untuk menurunkan trombus
vena.

5. Pantau kualitas nadi perifer, aliran Mengevaluasi perkembangan masalah


kapiler, warna kulit dan kehangatan klien dan perlunya intervensi sesuai
kulit distal cedera, bandingkan keadaan klien.
dengan sisi yang normal.
d. Gangguan pertukaran gas b/d perubahan aliran darah, emboli, perubahan
membran alveolar/kapiler (interstisial, edema paru, kongesti)

INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL


1. Instruksikan/bantu latihan napas Meningkatkan ventilasi alveolar dan
dalam dan latihan batuk efektif. perfusi.

2. Lakukan dan ajarkan perubahan Reposisi meningkatkan drainase sekret


posisi yang aman sesuai keadaan dan menurunkan kongesti paru.
klien.
3. Kolaborasi pemberian obat Mencegah terjadinya pembekuan darah
antikoagulan (warvarin, heparin) pada keadaan tromboemboli.
dan kortikosteroid sesuai indikasi. Kortikosteroid telah menunjukkan
keberhasilan untuk mencegah/mengatasi
emboli lemak.

4. Analisa pemeriksaan gas darah, Hb, Penurunan PaO2 dan peningkatan


kalsium, LED, lemak dan trombosit PCO2 menunjukkan gangguan
pertukaran gas; anemia, hipokalsemia,
peningkatan LED dan kadar lipase,
lemak darah dan penurunan trombosit
sering berhubungan dengan emboli
lemak.
5. Evaluasi frekuensi pernapasan dan Adanya takipnea, dispnea dan
upaya bernapas, perhatikan adanya perubahan mental merupakan tanda dini
stridor, penggunaan otot aksesori insufisiensi pernapasan, mungkin
pernapasan, retraksi sela iga dan menunjukkan terjadinya emboli paru
sianosis sentral. tahap awal.

e. Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri,


terapi restriktif (imobilisasi)

INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL


1. Pertahankan pelaksanaan aktivitas Memfokuskan perhatian,
rekreasi terapeutik (radio, koran, meningkatakan rasa kontrol diri/harga
kunjungan teman/keluarga) sesuai diri, membantu menurunkan isolasi
keadaan klien. sosial.

2. Bantu latihan rentang gerak pasif Meningkatkan sirkulasi darah


aktif pada ekstremitas yang sakit muskuloskeletal, mempertahankan
maupun yang sehat sesuai keadaan tonus otot, mempertahakan gerak sendi,
klien. mencegah kontraktur/atrofi dan
mencegah reabsorbsi kalsium karena
imobilisasi.

3. Berikan papan penyangga kaki, Mempertahankan posis fungsional


gulungan trokanter/tangan sesuai ekstremitas.
indikasi.
4. Bantu dan dorong perawatan diri Meningkatkan kemandirian klien dalam
(kebersihan/eliminasi) sesuai perawatan diri sesuai kondisi
keadaan klien. keterbatasan klien.

5. Ubah posisi secara periodik sesuai Menurunkan insiden komplikasi kulit dan
keadaan klien. pernapasan (dekubitus, atelektasis,
penumonia)

6. Dorong/pertahankan asupan cairan Mempertahankan hidrasi adekuat, men-


2000-3000 ml/hari. cegah komplikasi urinarius dan
konstipasi.
7. Berikan diet TKTP. Kalori dan protein yang cukup
diperlukan untuk proses penyembuhan
dan mem-pertahankan fungsi fisiologis
tubuh.
8. Kolaborasi pelaksanaan fisioterapi Kerjasama dengan fisioterapis perlu
sesuai indikasi. untuk menyusun program aktivitas fisik
secara individual.

9. Evaluasi kemampuan mobilisasi Menilai perkembangan masalah klien.


klien dan program imobilisasi.

f. Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen,


kawat, sekrup)

INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL


1. Pertahankan tempat tidur yang Menurunkan risiko kerusakan/abrasi kulit
nyaman dan aman (kering, bersih, yang lebih luas.
alat tenun kencang, bantalan bawah
siku, tumit).
2. Masase kulit terutama daerah Meningkatkan sirkulasi perifer dan
penonjolan tulang dan area distal meningkatkan kelemasan kulit dan otot
bebat/gips. terhadap tekanan yang relatif konstan
pada imobilisasi.

3. Lindungi kulit dan gips pada daerah Mencegah gangguan integritas kulit dan
perianal jaringan akibat kontaminasi fekal.

4. Observasi keadaan kulit, Menilai perkembangan masalah klien.


penekanan gips/bebat terhadap
kulit, insersi pen/traksi.

g. Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit,


taruma jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang)

INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL


1. Lakukan perawatan pen steril dan Mencegah infeksi sekunderdan
perawatan luka sesuai protokol mempercepat penyembuhan luka.

2. Ajarkan klien untuk Meminimalkan kontaminasi.


mempertahankan sterilitas insersi
pen.
3. Kolaborasi pemberian antibiotika Antibiotika spektrum luas atau spesifik
dan toksoid tetanus sesuai indikasi. dapat digunakan secara profilaksis,
mencegah atau mengatasi infeksi.
Toksoid tetanus untuk mencegah infeksi
tetanus.
4. Analisa hasil pemeriksaan Leukositosis biasanya terjadi pada
laboratorium (Hitung darah lengkap, proses infeksi, anemia dan peningkatan
LED, Kultur dan sensitivitas LED dapat terjadi pada osteomielitis.
luka/serum/tulang) Kultur untuk mengidentifikasi organisme
penyebab infeksi.

Observasi tanda-tanda vital dan tanda- Mengevaluasi perkembangan masalah


tanda peradangan lokal pada luka. klien.

h. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan


pengobatan b/d kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap
informasi, keterbatasan kognitif, kurang akurat/lengkapnya informasi yang
ada.

INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL


Kaji kesiapan klien mengikuti program Efektivitas proses pemeblajaran
pembelajaran. dipengaruhi oleh kesiapan fisik dan
mental klien untuk mengikuti program
pembelajaran.
iskusikan metode mobilitas dan Meningkatkan partisipasi dan
ambulasi sesuai program terapi fisik. kemandirian klien dalam perencanaan
dan pelaksanaan program terapi fisik.

Ajarkan tanda/gejala klinis yang Meningkatkan kewaspadaan klien untuk


memerluka evaluasi medik (nyeri berat, mengenali tanda/gejala dini yang
demam, perubahan sensasi kulit distal memerulukan intervensi lebih lanjut
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito (2000), Diagnosa Keperawatan-Aplikasi pada Praktik Klinis, Ed. 6,


EGC, Jakarta.
Doenges, M.E., Marry, F..M and Alice, C.G., 2000. Rencana Asuhan
Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan Dan Pendokumentasian
Perawatan Pasien. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Long, B.C., 1996. Perawatan Medikal Bedah : Suatu Pendekatan Proses
Keperawatan. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Price, Sylvia A,. 2005. Konsep Klinis Proses-proses penyakit. Edisi 6, Volume 2.
Jakarta: EGC.
Smeltze. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal – Bedah. EGC: Jakarta.

You might also like