You are on page 1of 3

Al-Hadi merupakan putra sulung Al-Mahdi, seperti ayahnya ia sangat terbuka kepada semua

orang di negerinya dan mengizinkan orang awam untuk mengunjunginya di istana Baghdad untuk
berbicara dengannya. Sebagai, ia dianggap sebagai penguasa yang selalu mendapat penerangan,
dan melanjutkan gerakan progresif dari para pendahulunya.

Khalifah al-Hadi dikenal cerdas dan cerdik menjalankan kekuasaan. Ia pernah berkata,
“Tidak baik bagi kekuasaan untuk menyegerakan hukuman bagi pelaku kejahatan atau
memaafkan kesalahan-kesalahan besar, supaya ketamakan atas kekuasaan berkurang.” Menurut
al-Hadi, rakyat tak boleh terhalang dari penguasa. Penguasa harus berbaur dan mendengar
langsung keluh-kesah dan permasalahan mereka. Untuk itu, al-Hadi berkata kepada menteri
kepercayaannya, Fadhl ibn Rabi’, “Jangan menghalang-halangi orang-orang untuk menemuiku.
Jika engkau lakukan itu, keberkahan akan menjauhiku.” Al-Hadi berbadan tegap, kuat, bisa naik ke
atas hewan tunggangan dengan sekali lompat, dan memakai dua buah perisai. Al-Hadi meninggal
pada Rabiul Awal 170 H. Saudaranya, Harun al-Rasyid, ikut menyalati jenazahnya.

REPUBLIKA.CO.ID, Musa Al-Hadi (785-786 M) menjabat Khalifah Abbasiyah keempat


menggantikan ayahnya, Khalifah Al-Mahdi. Ia menjalankan pemerintahan hanya satu tahun tiga
bulan (169-170 H). Ia dilahirkan di Ray pada 147 H.

Ketika ayahnya wafat, Musa Al-Hadi sedang berada di pesisir pantai Jurjan di pinggir laut Kaspia.
Saudaranya, Harun Ar-Rasyid, bertindak mewakilinya untuk mengambil baiat dari seluruh tentara.
Mendengar berita wafatnya sang ayah, Musa Al-Hadi segera kembali ke Baghdad dan
berlangsunglah baiat secara umum.

Pusat perhatian umat Musa Al-Hadi ketika menjabat khalifah adalah membasmi kaum Zindiq.
Kelompok ini berkembang sejak pemerintahan ayahnya, Al-Mahdi. Secara umum kelompok ini
lebih mirip ajaran komunis yang ingin menyamakan kepemilikan harta. Tetapi mereka sering tidak
menampakkan ajarannya secara terang-terangan. Ini yang menyulitkan kaum Muslimin
membasminya.

Walau demikian, di akhir pemerintahan Al-Mahdi, kelompok ini semakin merebak dengan
melakukan kegiatan bawah tanah. Untuk itu, Khalifah Musa Al-Hadi tidak mau ambil resiko.
Dengan tegas ia memerintahkan pasukannya untuk membasmi kelompok ini sampai ke akar-
akarnya.

Tantangan terhadap Khalifah Musa Al-Hadi tak hanya muncul dari kaum Zindiq. Di daerah Hijaz
muncul sosok Husain bin Ali bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Ia mendapatkan sambutan dari
masyarakat karena masih keturunan Ali bin Abi Thalib. Bahkan kelompok ini sempat
memaklumatkan berdirinya Daulah Alawi di Tanah Hijaz.

Karena gubernur setempat tak mampu mengatasinya, Musa Al-Hadi segera mengirimkan pasukan
cukup besar dari Baghdad yang dipimpin oleh Muhammad bin Sulaiman. Mulanya pihak Sulaiman
menawarkan perdamaian. Namun karena tak mencapai kata mufakat, akhirnya terjadilah
pertempuran di suatu tempat antara Madinah dan Makkah yang dikenal dengan nama Fakh.

Husain bin Ali tewas dalam peperangan itu. Kepalanya dibawa ke hadapan Khalifah Musa Al-Hadi
dan dikebumikan di Baghdad. Sisa-sisa pasukan Husain dikejar. Sebagian melarikan diri keluar
Hijaz.

Tak terlalu banyak perkembangan yang terjadi di masa pemerintahan Musa Al-Hadi. Usia
pemerintahannya pun tidak terlalu lama. Ia meninggal dunia pada malam Sabtu 16 Rabiul Awwal
170 H. Konon kemangkatannya itu tidak wajar. Ibunya, Khaizuran yang masih keturunan Iran,
dianggap terlalu sering mencampuri urusan pemerintahan. Hal itu tidak disenangi oleh sang
khalifah.

Konon sering terjadi pertentangan antara keduanya, ia pun dibunuh. Imam As-Suyuthi
memaparkan banyak versi tentang tewasnya Musa Al-Hadi. Ada yang mengatakan sang khalifah
jatuh dari jurang dan tertancap pada sebatang pohon. Ada juga yang mengatakan ia meninggal
karena radang usus hingga perutnya bernanah. Riwayat lain mengatakan, ia diracun oleh ibunya
sendiri.

Sebagaimana diketahui, ibunya adalah orang yang sangat berpengaruh dan sering mengurusi hal
yang sangat penting seputar istana. Para utusan banyak yang datang ke kediaman ibunya. Melihat
hal itu, Musa Al-Hadi marah. Terjadi pertengkaran antara dirinya dan ibunya.

Seperti dikisahkan As-Suyuthi, Musa Al-Hadi mengirimkan makan beracun kepada ibunya. Begitu
menerima makanan itu, ibunya langsung memberikannya kepada seekor anjing. Seketika binatang
itu mati!

Setelah mengetahui niat busuk anaknya, sang ibu berencana untuk membunuh anaknya yang
durhaka itu. Dengan menggunakan selendang, ia membungkam wajah Musa Al-Hadi hingga
kehilangan nafas dan mati. Musa meninggalkan tujuh orang anak laki-laki.

Al-Hadi
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Abu Muhammad, Musa bin Al-Mahdi al-Hadi (dilahirkan di Rayy, pada 147 H atau 764
– meninggal pada 14 September 786) adalah Khalifah Bani Abbasiyah yang menggantikan
ayahnya Al-Mahdi dan memerintah antara tahun 785 sampai kematiannya pada 786.

Al-Hadi merupakan putra sulung Al-Mahdi, seperti ayahnya ia sangat terbuka kepada
semua orang di negerinya dan mengizinkan orang awam untuk mengunjunginya di istana
Baghdad untuk berbicara dengannya. Sebagai, ia dianggap sebagai penguasa yang selalu
mendapat penerangan, dan melanjutkan gerakan progresif dari para pendahulunya.

Pemerintahannya yang pendek ditimbulkan dengan sejumlah konflik militer lebih dulu.
Pemberontakan Husain bin Ali bin Hasan pecah saat Husain menyatakan dirinya sebagai
kholifah di Madinah. Al-Hadi memadamkan pemberontakan dan membunuh Husain dan
kebanyakan pendukungnya, namun saudara Husain melarikan diri ke Maroko di mana ia
kelak mendirikan negara Idrisi. al-Hadi juga harus memadamkan pemberontakan Kharijite
sebagaimana berhadapan dengan serbuan Bizantium. Bagaimanapun, Bizantium kembali
lagi, dan pasukan Abbasiyah betul-brtul mendapatkan beberapa daerah Bizantium.

Al-Hadi meninggal pada 786 secara alamiah. Beberapa orang telah menyatakan bahwa ia
dibunuh seseorang yang diupah ibunya sendiri, namun sejarawan Muslim terkenal Ibnu
Khaldun tak mempercayai pernyataan ini. Al-Hadi digantikan adiknya Harun al-Rashid.
Khalifah Musa al-Hadi ibn Muhammad ibn Ja’far al-
Manshur
(Muharram 169 H-Rabiul Awal 170 H)

Tibalah masanya di mana khalifah sebelumnya, yakni khalifah al-Mahdi pergi


menghadap Allah swt. Tapi sebelum itu ia telah menunjuk anaknya yang bernama Musa al-
Hadi untuk menggantikannya. Apakah khalifah Musa al-Hadi mampu membawa Dinasti
Abbasiyah ke arah yang lebih baik lagi? Berikut pembahasannya.
Al-Hadi menduduki kursi khalifah pada usia 25 tahun. Ia meniru ayahnya yang giat
memerangi kaum zindiq. Pada masanya, Husain ibn Ali ibn Hasan ibn Hasan ibn Ali ibn
Abi Thalib mengadakan pemberontakan yang dipusatkan di Madinah. Husain berhasil
dibunuh pasukan al-Hadi setelah sebelumnya dikepung selama sembilan bulan delapan
belas hari. Peperangan ini dikenal dengan Perang Fakhkh. Semua pendukung Husain mati
terbunuh. Hanya segelintir orang yang berhasil selamat, seperti Idris ibn Abdillah ibn
Hasan ibn hasan ibn Ali ibn Abi Thalib. Idris melarikan diri ke Mesir, lalu pindah ke
Maghribi (Afrika) yang kelak menjadi basis kekuatannya dalam mendirikan Dinasti al-
Idarisah.
Khalifah al-Hadi dikenal sangat memproteksi kekuasaannya. Ia melarang ibunya
sendiri, Khayzuran, menemui seorang pun dari panglima atau pejabat teras pemerintahan.
Pada masa al-Mahdi, ibunya mempunyai pengaruh kuasa sangat besar. Muncul desas-desus
bahwa al-Hadi telh meracuni Khayzuran demi menyingkirkannya dari arena kekuasaan.
Selain itu, al-Hadi juga diduga menghalang-halangi al-Rasyid (saudaranya) dari kursi
khalifah sesudahnya. Al-Hadi bermaksud memberikan kursi khalifah kepada anaknya,
Ja’far. Para penyebar isu pun gencar menyuarakan adanya ketidakcocokan antara dirinya
dan Harun al-Rasyid.
Khalifah al-Hadi dikenal cerdas dan cerdik menjalankan kekuasaan. Ia pernah
berkata, “Tidak baik bagi kekuasaan untuk menyegerakan hukuman bagi pelaku kejahatan
atau memaafkan kesalahan-kesalahan besar, supaya ketamakan atas kekuasaan berkurang.”
Menurut al-Hadi, rakyat tak boleh terhalang dari penguasa. Penguasa harus berbaur dan
mendengar langsung keluh-kesah dan permasalahan mereka. Untuk itu, al-Hadi berkata
kepada menteri kepercayaannya, Fadhl ibn Rabi’, “Jangan menghalang-halangi orang-
orang untuk menemuiku. Jika engkau lakukan itu, keberkahan akan menjauhiku.” Al-Hadi
berbadan tegap, kuat, bisa naik ke atas hewan tunggangan dengan sekali lompat, dan
memakai dua buah perisai. Al-Hadi meninggal pada Rabiul Awal 170 H. Saudaranya,
Harun al-Rasyid, ikut menyalati jenazahnya.

You might also like