You are on page 1of 26

BAB I

PENDAHULUAN

Difteri adalah suatu penyakit bakteri akut terutama menyerang tonsil, faring,

laring, hidung, selaput lendir, kulit serta kadang-kadang konjungtiva atau genitalia.

Penyakit ini ditandai dengan pembentukan pseudomembran pada kulit dan atau

mukosa. yang disebabkan oleh Corynebacterium Diphteriae.1

Secara keseluruhan insidens difteri mulai menurun di Amerika, yaitu dengan

angka kematian sekitar 10%. Faring merupakan daerah tersering untuk infeksi ini.

Penyakit ini lebih banyak terjadi pada individu yang tidak diimunisasi atau imunisasi

yang tidak adekuat. Keluhan awal yang paling sering adalah nyeri tenggorokan. Di

samping itu, pasien mengeluh nausea, muntah dan disfagia.2

Pemeriksaan yang khas pada penyakit ini menunjukkan adanya membrane

yang khas di atas daerah tonsila yang meluas ke struktur yang berdekatan.

Membran tampak kotor dan berwarna hijau tua bahkan dapat menyumbat

peradangan tonsila. Perdarahan terjadi pada pengangkatan membran yang

membedakannya dengan penyebab faringitis membranosa lain.2

Diagnosa harus dapat ditegakkan sesegera mungkin sehingga penanganan

dapat diberikan lebih awal. Pada kasus-kasus yang berat ditandai dengan

pembengkakan dan oedema di leher dengan pembentukan membran pada trakea

secara ektensif dan dapat terjadi obstruksi jalan napas.1

BAB II

1
TINJAUAN PUSTAKA

2.1Anatomi Tonsil

Cincin waldeyer merupakan jaringan limfoid yang mengelilingi faring.

Bagian terpentingnya adalah tonsil palatina dan tonsil faringeal (adenoid). Unsur

yang lain adalah tonsil lingual, gugus limfoid lateral faring dan kelenjar-kelenjar

limfoid yang tersebar dalam fosa Rosenmuller, di bawah mukosa dinding

posterior faring dan dekat orifisium tuba eustachius.3

Gambar1. Cincin Waldeyer

a. Tonsil Palatina

2
Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam

fosa tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot

palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval dengan

panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke

dalam jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fosa tonsilaris, daerah yang

kosong diatasnya dikenal sebagai fosa supratonsilar.3

Tonsil terletak di lateral orofaring. Dibatasi oleh:

 Lateral : M. konstriktor faring superior

 Anterior : M. palatoglosus

 Posterior : M. palatofaringeus

 Superior : Palatum mole

 Inferior : Tonsil lingual

Gambar 2. Anatomi Tonsil5

3
Secara mikroskopik tonsil terdiri atas 3 komponen yaitu jaringan ikat, folikel

germinativum (merupakan sel limfoid) dan jaringan interfolikel (terdiri dari jaringan

limfoid).4

 Fosa Tonsil

Fosa tonsil atau sinus tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas

anterior adalah otot palatoglosus, batas lateral atau dinding luarnya adalah otot

konstriktor faring superior. Pilar anterior mempunyai bentuk seperti kipas pada

rongga mulut, mulai dari palatum mole dan berakhir di sisi lateral lidah. Pilar

posterior adalah otot vertikal yang ke atas mencapai palatum mole, tuba eustachius

dan dasar tengkorak dan ke arah bawah meluas hingga dinding lateral

esofagus, sehingga pada tonsilektomi harus hati-hati agar pilar posterior tidak

terluka. Pilar anterior dan pilar posterior bersatu di bagian atas pada palatum mole, ke

arah bawah terpisah dan masuk ke jaringan di pangkal lidah dan dinding lateral

faring.

 Kapsul Tonsil

Bagian permukaan lateral tonsil ditutupi oleh suatu membrane jaringan ikat,

yang disebut kapsul. Walaupun para pakar anatomi menyangkal adanya

kapsul ini, tetapi para klinisi menyatakan bahwa kapsul adalah jaringan ikat

putih yang menutupi 4/5 bagian tonsil.

4
 Plika Triangularis

Diantara pangkal lidah dan bagian anterior kutub bawah tonsil terdapat plika

triangularis yang merupakan suatu struktur normal yang telah ada sejak masa

embrio. Serabut ini dapat menjadi penyebab kesukaran saat pengangkatan

tonsil dengan jerat. Komplikasi yang sering terjadi adalah terdapatnya sisa tonsil atau

terpotongnya pangkal lidah.

 Pendarahan

Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang A. karotis eksterna,

yaitu 1) A. maksilaris eksterna (A. fasialis) dengan cabangnya A. tonsilaris dan A.

palatina asenden;

2) A. maksilaris interna dengan cabangnya A. palatina desenden;

3) A. lingualis dengan cabangnya A. lingualis dorsal;

4) A. faringeal asenden. Kutub bawah tonsil bagian anterior diperdarahi oleh

A. lingualis dorsal dan bagian posterior oleh A. palatina asenden, diantara kedua

daerah tersebut diperdarahi oleh A. tonsilaris. Kutub atas tonsil diperdarahi oleh

A. faringeal asenden dan A. palatina desenden. Vena-vena dari tonsil

membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari faring. Aliran balik

melalui pleksus vena di sekitar kapsul tonsil, vena lidah dan pleksus faringeal.

5
Gambar 3 Vaskularisasi Tonsil

 Aliran getah bening

Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah bening

servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah M.

Sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya menuju

duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai pembuluh getah bening eferan sedangkan

pembuluh getah bening aferen tidak ada.

 Persarafan

Tonsil bagian atas mendapat sensasi dari serabut saraf ke V melalui ganglion

sfenopalatina dan bagian bawah dari saraf glosofaringeus.

6
Gambar 4. Persarafan Tonsil

 Imunologi Tonsil

Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit, 0,1-

0,2% dari keseluruhan limfosit tubuh pada orang dewasa. Proporsi limfosit B dan T

pada tonsil adalah 50%:50%, sedangkan di darah 55-75%:15-30%. Pada tonsil

terdapat sistim imun kompleks yang terdiri atas sel M (sel membran), makrofag, sel

dendrit dan APCs (antigen presenting cells) yang berperan dalam proses transportasi

antigen ke sel limfosit sehingga terjadi sintesis imunoglobulin spesifik. Juga terdapat

sel limfosit B, limfosit T, sel plasma dan sel pembawa IgG. Tonsil merupakan organ

limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit yang

sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai 2 fungsi utama yaitu

7
1. Menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif;

2. Sebagai organ utama produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T

dengan antigen spesifik.4

b.Tonsil Faringeal (Adenoid)

Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari

jaringan limfoid yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen

tersebut tersusun teratur seperti suatu segmen terpisah dari sebuah ceruk dengan celah

atau kantong diantaranya. Lobus ini tersusun mengelilingi daerah yang lebih rendah

di bagian tengah, dikenal sebagai bursa faringeus.

Adenoid tidak mempunyai kriptus. Adenoid terletak di dinding

belakang nasofaring. Jaringan adenoid di nasofaring terutama ditemukan pada

dinding atas dan posterior, walaupun dapat meluas ke fosa Rosenmuller dan orifisium

tuba eustachius. Ukuran adenoid bervariasi pada masing-masing anak. Pada

umumnya adenoid akan mencapai ukuran maksimal antara usia 3-7 tahun kemudian

akan mengalami regresi.4

Gambar 5. Adenoid

8
Thane & Cody membagi pembesaran tonsil dalam ukuran T1-T4:

 T1 : batas medial tonsil melewati pilar anterior sampai ¼ jarak

pilar anterior-uvula

 T2 : batas medial tonsil melewati ¼ pilar anterior-uvula sampai ½ jarak pilar

anterior-uvula

 T3 : batas medial tonsil melewati ½ pilar anterior-uvula sampai ¾ jarak pilar

anterior-uvula

 T4 : batas medial tonsil melewati ¾ pilar anterior-uvula sampai uvula atau

lebih.

Gambar 6. Ukuran Tonsil

2.2 Fisiologi Tonsil

Pada tonsil terdapat sistim imun kompleks yang terdiri atas sel M (sel

membran), makrofag, sel dendrit, dan APCs yang berperan dalam transportasi antigen

9
ke sel limfosit sehingga terjadi sintesis imunoglobin spesifik. Juga terdapat

sel limfosit B, limfosit T, sel plasma dan sel pembawa IgG.4

Tonsil merupakan organ limfotik sekunder yang diperlukan untuk

diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai 2

fungsi utama yaitu 1) menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif;

2) sebagai organ utama produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan

antigen

spesifik.4

2.3 Tonsilitis Difteri

2.3.1 Definisi

Difteri tonsil faring adalah radang akut pada tonsil sampai mukosa faring

yang disebabkan kuman corynebacterium diphtheriae. Yang sering ditemukan pada

anak berusia kurang dari 10 tahun dan frekuensi tertinggi pada usia 2-5 tahun

walaupun pada orang dewasa masih mungkin menderita penyakit ini.

Mudah menular dan yang diserang terutama traktus respiratorius bagian

atas dengan tanda khas terbentuknya pseudomembran dan dilepaskannya eksotoksin

yang dapat menimbulkan eksotoksin yang dapat menimbulkan gejala umum dan

lokal.6

2.3.2 Epidemiologi

10
Difteri tersebar di seluruh dunia, tetapi insiden penyakit ini menurun secara

mencolok setelah penggunaan toksoid difteri secara meluar. Umumnya masih tetap

terjadi pada individu-individu yang berusia kurang dari 15 tahun (yang tidak

mendapatkan imunisasi primer). Bagaimanapun, pada setiap epidemic insidens

menurut usia tergantung pada kekebalan individu. Serangan difteri yang sering

terjadi, mendukung konsep bahwa penyakit ini terjadi di kalangan

penduduk miskin ynag tinggal di tempat berdesakan dan memperoleh fasilitas

pelayanan kesehatan terbatas. Kematian umumnya terjadi pada individu yang belum

mendapatkan imunisasi.7

2.3.3 Etiologi

Penyebab difteri adalah Corynebacterium diphteriae merupakan basil gram

positif tidak teratur, tidak bergerak, tidak membentuk spora dan berbentuk batang

pleomorfis. Organisme tersebut paling mudah ditemukan pada media yang

mengandung penghambat tertentu yang memperlambat pertumbuhan

mikroorganisme lain (Tellurite). Koloni-koloni Corynebacterium diphteriae

berwarna putih kelabu pada medium Loeffler.8

Penyebab tonsilitis difteri ialah kuman Corynebacterium diphteriae,

kuman yang termasuk Gram positif dan hidup di saluran nafas bagian atas yaitu

hidung, faring dan laring. Tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman ini akan

menjadi sakit. Keadaan ini tergantung pada titer anti toksin dalam darah

11
seseorang. Titer anti toksin sebesar 0,03 satuan per cc darah dapat dianggap cukup

memberikan dasar imunitas. Hal inilah yang dipakai pada tes Schick.8

Gambar 7. Corynebacterium diphteriae

2.3.4 Patofisiologi

Kuman masuk melalui mukosa/ kulit, melekat serta berbiak pada

permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi toksin yang

merembes ke sekeliling serta selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui

pembuluh limfe dan darah. Toksin ini merupakan suatu protein dengan berat molekul

62.000 dalton, tidak tahan panas/cahaya, mempunyai 2 fragmen yaitu fragmen A

(aminoterminal) dan fragmen B (carboxyterminal) yang disatukan dengan ikatan

disulfida. Fragmen B diperlukan untuk melekatkan molekul toksin yang teraktifasi

pada reseptor sel pejamu yang sensitif. Perlekatan ini mutlak agar fragmen A dapat

melakukan penetrasi ke dalam sel. Kedua fragmen ini penting dalam menimbulkan

efek toksik pada sel.8

12
Reseptor-reseptor toksin diphtheria pada membran sel terkumpul dalam suatu

coated pit dan toksin mengadakan penetrasi dengan cara endositosis. Proses ini

memungkinkan toksin mencapai bagian dalam sel. Selanjutnya endosom yang

mengalami asidifikasi secara alamiah ini dan mengandung toksin memudahkan toksin

untuk melalui membran endosom ke cytosol. Efek toksik pada jaringan tubuh

manusia adalah hambatan pembentukan protein dalam sel.8

Toksin diphtheria mula mula menempel pada membran sel dengan

bantuan fragmen B dan selanjutnya fragmen A akan masuk dan mengakibatkan

inaktivasi enzim translokase melalui. Hal ini menyebabkan proses translokasi tidak

berjalan sehingga tidak terbentuk rangkaian polipeptida yang diperlukan, dengan

akibat sel akan mati. Nekrosis tampak jelas di daerah kolonisasi kuman. Sebagai

respons terjadi inflamasi lokal yang bersama-sama dengan jaringan nekrotik

membentuk bercak eksudat yang mula-mula mudah dilepas. Produksi toksin semakin

banyak, daerah infeksi semakin lebar dan terbentuklah eksudat fibrin. Terbentuklah

suatu membran yang melekat erat berwarna kelabu kehitaman, tergantung dari

jumlah darah yang terkandung. selain fibrin, membrane juga terdiri dari sel- sel

radang, eritrosit dan sel-sel epitel. Bila dipaksa melepas membran akan terjadi

perdarahan. Selanjutnya membrane akan terlepas sendiri dalam periode

penyembuhan. Kadang-kadang terjadi infeksi sekunder dengan bakteri (misalnya

Streptococcus pyogenes).

Membran dan jaringan edematous dapat menyumbat jalan nafas. Gangguan

pernafasan/suffokasi bisa terjadi dengan perluasan penyakit ke dalam laring atau

13
cabang- cabang tracheobronchial. Toksin yang diedarkan dalam tubuh bisa

mengakibatkan kerusakan pada setiap organ, terutama jantung, saraf dan ginjal.8

Antitoksin diphtheria hanya berpengaruh pada toksin yang bebas atau yang

terabsorbsi pada sel, tetapi tidak bila telah terjadi penetrasi ke dalam sel. Setelah

toksin terfiksasi dalam sel, terdapat periode laten yang bervariasi sebelum timbulnya

manifestasi klinik. Miokardiopati toksik biasanya terjadi dalam 10-14 hari,

manifestasi saraf pada umumnya terjadi setelah 3-7 minggu. Kelainan

patologi yang menonjol adalah nekrosis toksis dan degenerasi hialin pada

bermacam-macam organ dan jaringan.

Pada jantung tampak edema, kongesti, infiltrasi sel mononuklear pada serat

otot dan sistem konduksi. Bila penderita tetap hidup terjadi regenerasi otot dan

fibrosis interstisial. Pada saraf tampak neuritis toksik dengan degenerasi lemak pada

selaput mielin. Nekrosis hati bisa disertai gejala hipoglikemia, kadang-kadang

tampak perdarahan adrenal dan nekrosis tubuler akut pada ginjal.8

2.3.5 Manifestasi Klinis

Pada mulanya tenggorok hanya hiperemis saja tetapi kebanyakan sudah terjadi

membran putih/keabu-abuan. Dalam 24 jam membran dapat menjalar dan menutupi

tonsil, palatum molle, uvula. Mula-mula membran tipis, putih danberselaput yang

segera menjadi tebal., abu-abu/hitam tergantung jumlah kapiler

14
yang berdilatasi dan masuknya darah ke dalam eksudat. Membran

mempunyai

batas-batas jelas dan melekat dengan jaringan dibawahnya. Sehingga sukar untuk

diangkat, sehingga bila diangkat secara paksa menimbulkan perdarahan. Jaringan

yang tidak ada membran biasanya tidak membengkak. Pada difteri sedang

biasanya proses yang terjadi akan menurun pada hari-hari 5-6, walaupun

antitoksin tidak diberikan.8

Gambaran klinik dibagi dalam 3 golongan yaitu:6

1. Gejala umum, seperti juga gejala infeksi lainnya yaitu kenaikan suhu tubuh

biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi

lambat, serta keluhan nyeri menelan

2. Gejala lokal, yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih

kotor yang makin lama makin meluas dan bersatu membentuk semu.

Membran ini dapat meluas ke palatum molle, uvula, nasofaring,

laring, trakea dan bronkus dan dapat menyumbat saluran nafas. Membran

semu ini melekat erat pada dasarnya, sehingga bila diangkat akan

mudah berdarah. Pada perkembangan penyakit ini bila infeksinya berjalan

terus, kelenjar limfa leher akan membengkak sedemikian besarnya sehingga

leher menyerupai sapi (bull neck) atau disebut juga Burgermeester’s hals.

15
Gambar 8. Pseudomembran yang mudah berdarah

Gambar 9. Bull Neck Difteri

3. Gejala akibat eksotoksin, yang dikeluarkan oleh kuman difteri ini

akan menimbulkan kerusakan jaringan tubuh yaitu pada jantung

dapat terjadi miokarditis sampai decompensatio cordis, mengenai saraf

16
kranial menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot-otot pernafasan dan

pada ginjal menimbulkan albuminuria.

2.3.6 Diagnosis

Diagnosis tonsilitis difteri ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan

pemeriksaan preparat langsung kuman yang diambil dari permukaan bawah

membran semu dan didapatkan kuman Corynebacterum diphteriae.8

Cara yang lebih akurat adalah dengan identifikasi secara fluorescent antibody

technique, namun untuk ini diperlukan seorang ahli. Diagnosis pasti dengan isolasi C,

diphtheriae dengan pembiakan pada media Loeffler dilanjutkan dengan tes

toksinogenesitas secara vivo (marmut) dan vitro (tes Elek). Cara Polymerase Chain

Reaction (PCR) dapat membantu menegakkan diagnosis difteri dengan cepat, namun

pemeriksaan ini mahal dan masih memerlukan penjajagan lebih lanjut untuk

penggunaan secara luas.8

2.3.7 Penatalaksanaan

a. Isolasi dan Karantina

Penderita diisolasi sampai biakan negatif 3 kali berturut-turut setelah masa

akut terlampaui. Kontak penderita diisolasi sampai tindakan-tindakanberikut

terlaksana:8

17
 Biakan hidung dan tenggorok

 Seyogyanya dilakukan tes Schick (tes kerentanan terhadap diphtheria)

 Diikuti gejala klinis setiap hari sampai masa tunas terlewati. Anak yang telah

mendapat imunisasi dasar diberikan booster dengan toksoid diphtheria.

 Bila kultur (-)/Schick test (-) : bebas isolasi

 Bila kultur (+)/Schick test (-) : pengobatan carrier

 Bila kultur (+)/Schick test (+)/gejala (-) : anti toksin diphtheria + penisilin

 Bila kultur (-)/Shick test (+) : toksoid (imunisasi aktif)

b. Pengobatan

Tujuan mengobati penderita diphtheria adalah menginaktivasi toksin yang

belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi

minimal, mengeliminasi C. diphtheriae untuk mencegah penularan serta mengobati

infeksi penyerta dan penyulit diphtheria.8

 Umum

Istirahat mutlak selama kurang lebih 2 minggu, pemberian cairan serta diit

yang adekwat. Khusus pada diphtheria laring dijaga agar nafas tetap bebas serta

dijaga kelembaban udara dengan menggunakan nebulizer. Bila tampak

18
kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernafasan yang progresif hal-hal

tersebut merupakan indikasi tindakan trakeostomi.

 Khusus

Anti Diphteria Serum (ADS)

Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis diphtheria.

Sebelumnya harus dilakukan tes kulit atau tes konjungtiva dahulu. Oleh

karena pada pemberian ADS terdapat kemungkinan terjadinya reaksi anafilaktik,

maka harus tersedia larutan Adrenalin 1 : 1000 dalam semprit. Tes kulit dilakukan

dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan garam fisiologis 1 : 1000 secara

intrakutan.

Tes positif bila dalam 20 menit terjadi indurasi > 10 mm. Tes konjungtiva

dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan serum 1 : 10 dalam garam faali.

Pada mata yang lain diteteskan garam faali. Tes positif bila dalam 20 menit tampak

gejala konjungtivitis dan lakrimasi. Bila tes kulit/konjungtiva positif, ADS

diberikan dengan cara desensitisasi (Besredka). Bila tes hipersensitivitas tersebut di

atas negatif, ADS harus diberikan sekaligus secara tetesan intravena. Dosis serum anti

diphtheria ditentukan secara empiris berdasarkan berat penyakit, tidak

tergantung pada berat badan penderita, dan berkisar antara 20.000-120.000 KI.

Pemberian ADS secara intravena dilakukan secara tetesan dalam larutan 200

ml dalam waktu kira-kira 4-8 jam. Pengamatan terhadap kemungkinan efek

samping obat/reaksi sakal dilakukan selama pemberian antitoksin dan selama 2 jam

19
berikutnya. Demikian pula perlu dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat

(serum sickness).

Antimikrobal

Bukan sebagai pengganti antitoksin, melainkan untuk menghentikan produksi

toksin. Penisilin prokain 50.000-100.000 KI/BB/hari selama 7-10 hari, bila

alergi bisa diberikan eritromisin 40mg/kg/hari.

Koritikosteroid

Kortikosteroid diberikan kepada penderita dengan gejala obstruksi saluran nafas

bagian atas dan bila terdapat penyulit miokardiopati toksik.

Dosis :

Prednison 1,0-1,5 mg/kgBB/hari, p.o. tiap 6-8 jam pada kasus berat selama 14 hari.

c. Pengobatan Karier

Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai Reaksi

Schick negatif tetapi mengandung basil diphtheria dalam nasofaringnya.

Pengobatan yang dapat diberikan adalah penisilin oral 100mg/kgBB/hari

oral/suntikan, atau eritromisin40 mg/kgBB/hari atau suntikan selama satu minggu.

Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi/adenoidektomi.9,10,11

d. Tonsilektomi

20
Tonsilektomi didefinisikan sebagai operasi pengangkatan seluruh tonsil

palatina. Tonsiloadenoidektomi adalah pengangkatan tonsil palatina dan jaringan

limfoid di nasofaring yang dikenal sebagai adenoid atau tonsil faringeal.8

Indikasi Tonsilektomi

Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidak berbeda, namun

terdapat perbedaan prioritas relatif dalam menentukan indikasi tonsilektomi pada saat

ini. Dulu tonsilektomi di indikasikan untuk terapi tonsilitis kronik dan berulang. Saat

ini indikasi utama adalah obstruksi saluran napas dan hipertrofi tonsil.

Berdasarkan the American Academy of Otolaryngology Head and Neck Surgery (

AAO HNS) tahun 1995 indikasi tonsilektomi terbagi menjadi :

1. Indikasi absolut

 Pembesaran tonsil yang menyebabkan sumbatan jalan napas

atas,disfagia berat,gangguan tidur, atau terdapat komplikasi

kardiopulmonal

 Abses peritonsiler yang tidak respon terhadap pengobatan medik dan drainase,

kecuali jika dilakukan fase akut.

 Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam

 Tonsil yang akan dilakukan biopsi untuk pemeriksaan patologi

2. Indikasi relatif

 Terjadi 3 kali atau lebih infeksi tonsil pertahun, meskipun tidak

diberikan pengobatan medik yang adekuat.

21
 Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak ada respon terhadap

pengobatan medik.

 Tonsilitis kronik atau berulang pada pembawa streptokokus yang tidak

membaik dengan pemberian antibiotik kuman resisten terhadap β- laktamase.

3. Kontraindikasi

 Gangguan perdarahan

 Risiko anestesi yang besar atau penyakit berat

 Anemia

 Infeksi akut yang berat

 Asma

 Tonus otot yang lemah

 Sinusitis

 Albuminuria

 Hipertensi

 Rinitis alergika

2.3.9 Prognosis

Prognosis tergantung kepada

 Virulensi kuman

 Lokasi dan perluasan membrane

 Kecepatan terapi

 Status kekebalan

22
 Umur penderita,karena makin muda umur anak prognosis makin buruk.

 Keadaan umum penderita, misalnya prognosisnya kurang baik pada penderita

gizi kurang

 Ada atau tidaknya komplikasi

Secara umum, pasien dengan tonsillitis difteri tanpa komplikasi yang

berespon baik terhadap pengobatan memiliki prognosis yang baik. Penyembuhan bisa

mengambil masa yang lama dan kadar kematian adalah 5 – 10% bagi semua kasus

difteri respiratorik.12,13

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Tonsilitis difteri adalah radang akut pada tonsil sampai mukosa faring yang

disebabkan kuman corynebacterium diphtheriae. Yang sering ditemukan pada anak

berusia kurang dari 10 tahun dan frekuensi tertinggi pada usia 2-5 tahun walaupun

23
pada orang dewasa masih mungkin menderita penyakit ini. Meskipun difteri

sudah jarang di berbagai tempat di dunia tetapi kadang-kadang masih ada yang

terkena penyakit ini. Penyebab dari penyakit difteri ini adalah C diphtheriae yang

merupakan kuman gram (+), ireguler, tidak bergerak, tidak berspora. Dasar dari

terapi ini adalah menetralisir toksin bebas dan eradikasi C. diphtheria dengan

antibiotik. Antibiotok penisilin dan eritromisin sangat efektif untuk kebanyakan strain

C.diphtheria. Prognosis umumnya tergantung dari umur, virulensi kuman, lokasi dan

penyebaran membran, status imunisasi, kecepatan pengobatan, ketepatan

diagnosis, dan perawatan umum.

DAFTAR PUSTAKA

1. Kadun I Nyoman. Manual Pemberantasan Penyakit Menular, CV. Infomedika,

Jakarta. 2006.

2. Adams, GL. Penyakit-penyakit Nasfaring dan Orofaring.Dalam: BOIES Buku

Ajar Penyakit THT (Fundamentals of Otolaryngology), edisi enam. EGC:

Jakarta. 1997.

24
3. Ballenger JJ. Anatomi bedah tonsil. Dalam: Ballenger JJ, ed.

Penyakit telinga,hidung,tenggorok,kepala dan leher Edisi 13. Jakarta,Binarupa

aksara 1994: p321

4. Drake A. Tonsillectomy. available from: http://www.emedicine.com/ent

5. Kornblut A,Kornblut AD. Tonsillectomy and adenoidectomy. In:

Paparella,Gluckman S,Mayerhoff, eds. Otolaryngology head and neck

surgery. Philadelphia, WB Saunders 3rd edition, 1991: 2149-56

6. Soepardi Arsyad Efiaty dr sp. THT (K), dkk. Tonsilitis Difteri. Buku Ajar

Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher. Edisi keenam.

Balai Penerbit FKUI. 2007: 222

7. American academy of otolaryngology head and neck dissection. Lesspain and

quicker recovery with coblation assisted tonsillectomy. avaible from:

http://www.medicalnewstoday.com

8. Khalid, Naman dkk. Tonsilitis Difteri. Bagian THT RSUD Kerawang. 2011.

9. Doerr S. Diphtheria. Available at: http://www.emedicinehealth.com

/diphtheria/page9_em.htm

10. Biofarma. Serum Anti Difteri. Available at: http://www.biofarma.co.id/index.

php/detil/items/serum-anti-diptheri.html

11. RxMed The Comprehensive Resource for Physician, Drugs and

Ilness Information. Diphtheria Antitoxin (Equine). Available at:

http://www.rxmed.com

25
12. American Academy of Pediatrics. Red book: 2006 Report of the Committee

on Infectious Diseases. 27th ed. American Academy of Pediatrics; 2006

26

You might also like