You are on page 1of 3

BAB V

DISKUSI

Air Susu Ibu atau ASI adalah sumber nutrisi utama bagi bayi sebelum
mereka dapat makan dan mencerna makanan lain. ASI dihasilkan ibu dengan
rangsangan hormon prolactin dan oxytocin sesaat setelah melahirkan. Kolostrum
yang merupakan ASI yang pertama kali keluar sangat dibutuhkan bagi bayi
karena mengandung immunoglobulin A (IgA) yang tinggi dan dapat melapisi
saluran pencernaan bayi. Mekanisme ini akan melindugi bayi dari patogen
penyebab infeksi hingga imunitas bayi dapat bekerja dengan baik. Menyusui juga
dapat menurunkan resiko Sudden Infant Death Syndrome, infeksi telinga tengah,
infeksi saluran napas atas, asma, beberapa tipe alergi, obesitas dan diabetes
tipe 2 (Rennick,2013).

Selain bermanfaat bagi bayi, menyusui juga baik bagi kesehatan ibu.
Menyusui dapat membantu mengembalikan uterus pada ukuran pre-partum,
mengurangi resiko perdarahan post-partum dan mempercepat penurunan berat
badan ibu. Menyusui juga dapat menurunkan resiko kanker payudara di masa
mendatang dan melindungi ibu dan bayi dari diabetes (Binns,2016)

Sesuai definisi WHO, menyusui eksklusif adalah tidak memberikan bayi


makanan atau minuman lain, termasuk air putih, selain ASI (kecuali obat-obatan
dan vitamin atau mineral tetes) hingga bayi berusia 6 bulan. Durasi menyusui
eksklusif selama 6 bulan ini didukung oleh American Academy of Pediatrics
(AAP) yang menemukan bahwa pada bayi yang mendapat ASI eksklusif selama
4-6 bulan mempunyai resiko empat kali lipat menderita pneumonia dibandingkan
dengan bayi yang mendapat ASI eksklusif selama 6 bulan atau lebih. Diatas 6
bulan bayi sebaiknya mulai diberi makanan lain yang tinggi zat besi dan
mikronutrien karena kebutuhan nutrisinya tidak dapat dicukupi hanya dari ASI
(Kemenkes,2014).

Berdasarkan data depkes 2015, capaian ASI eksklusif di Indonesia


diharapkan mencapai 80%. Sementara menurut pusdatin 2016 cakupan ASI
eksklusif pada bayi berusia 0-5 bulan di Indonesia baru mencapai 54%, dengan

17
provinsi Gorontalo menempati posisi terbawah dengan capaian 32.3% dan
provinsi NTT di posisi teratas dengan cakupan 79.9%. Jawa timur sendiri masih
berada dibawah rata-rata nasional dengan cakupan 48.1% (Kemenkes,2016).
Dari faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan ibu untuk menyusui bayinya
secara eksklusif, tingkat pengetahuan ibu mengenai ASI eksklusif merupakan
salah satu yang berperan penting. Sebuah studi cross-sectional yang dilakukan
di Ghana menemukan bahwa semakin baik tingkat pengetahuan ibu maka
semakin tinggi angka keberhasilan ASI eksklusifnya (Ayawine,2015). Sejalan
dengan temuan tersebut, rendahnya angka keberhasilan ASI eksklusif di Kware,
Nigeria, berkorelasi dengan tingkat pengetahuan ibu yang kurang. Di Indonesia
sendiri tingkat pengetahuan ibu cukup berperan dalam keberhasilan menyusui
eksklusif, namun masih ditemukan kesenjangan antara pengetahuan dan praktik.
Pada studi tahun 2014-2015 yang dilakukan di Sumatra dan Kalimantan,
sebanyak 40% ibu mengaku memahami apa itu ASI eksklusif dan manfaatnya,
namun hanya 20% dari mereka yang menyusui secara eksklusif (Beatty,2017).
Dari data-data tersebut dapat disimpukan bahwa pengetahuan ibu berperan
dalam praktik menyusui eksklusif yang sukses meskipun bukan sebagai faktor
tunggal keberhasilan.

Dari hasil nilai kuisioner yang dibagikan pada responden, seluruh


responden (100%) sudah memiliki tingkat pengetahuan yang baik mengenai apa
itu ASI eksklusif dan manfaatnya. Dengan sebaran tingkat pengetahuan seperti
demikian, diharapkan angka cakupan ASI eksklusif seharusnya juga mengikuti,
namun kenyataannya tidak demikian. Dengan angka capaian ASI 48.1%, Jawa
Timur masih jauh tertinggal dari target nasional sebesar 80%.

Pada sesi penyuluhan dilakukan tanya jawab untuk mengetahui kesulitan-


kesulitan yang dihadapi ibu dalam pemberian ASI eksklusif. Dua orang
menyatakan bahwa meskipun ia mengetahui manfaat ASI eksklusif namun ketika
bayinya terus menangis ibu menjadi kuatir anak kurang kenyang dan
memberikan susu botol. Responden lain menyatakan bahwa nenek sang bayi
mempunyai kepercayaan bahwa pemberian makanan tertentu akan bermanfaat
bagi bayi.
Hal ini membuktikan bahwa tingkat pengetahuan saja tidak cukup untuk
memotivasi ibu menjalankan ASI eksklusif. Temuan yang sama dilaporkan oleh

18
studi tahun 2017 di Kalimantan dan Sumatra, dimana peneliti menemukan
adanya kesenjangan dalam 40% subjek yang memiliki pengetahuan baik namun
hanya 20% yang betul-betul melaksanakan ASI eksklusif (Beatty,2017). Tenaga
kesehatan seperti bidan dan dokter diharapkan dapat memberi dukungan pada
ibu untuk tidak memberi asupan apapun termasuk makan pre-laktasi pada bayi
hingga berusia 6 bulan. Dukungan juga harus disampaikan pada keluarga,
terutama tokoh pengambil keputusan dalam keluarga, agar manfaat dan capaian
ASI eksklusif terpenuhi.

19

You might also like