Professional Documents
Culture Documents
Diagnosis
Penegakkan diagnosis pada kasus ini melalui anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis rosasea ditegakkan berdasarkan adanya
satu atau lebih gambaran klinis. Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang dapat
digunakan untuk mengkonfirmasi adanya rosasea. Pemeriksaan biopsi dilakukan
hanya untuk menyingkirkan diagnosa alternatif, namun gambaran histopatologi
yang didapat tidak bersifat diagnosik. Tidak ada uji diagnostik yang dibutuhkan
untuk menegakkan diagnosis rosesa. Penegakan diagnosis dilakukan dengan
melihat gejala primer dan sekunder dari rosasea.(1)
a. Gambaran primer
Diagnosis rosasea ditegakkan bila pada wajah bagian sentral ditemui satu
atau lebih tanda-tanda:
Kemerahan kulit (eritema transien)
Eritema nontransien
Papul dan pustul. Papul merah berbentuk kubah dengan atau tanpa
disertai pustul, dapat pula disertai dengan nodul.
Telangiektasis
b. Gambaran sekunder
Tanda dan gejala di bawah sering muncul dengan satu atau lebih gambaran
primer, tapi beberapa pasien dapat mengalaminya secara terpisah.
Rasa terbakar dan pedih
Plak
Kulit kering
Edema
Manifestasi okular
Lokasi perifer
Perubahan fimatous
II. Histopatologi
Gambaran histopatologi rosacea khas namun tidak patognomonik. Terdapat
ektasia vaskular, edema dermis, dan disorganisasi jaringan konektif dermis.
Derajad keradangan bergantung pada kondisi dan stadium lesi. Sel radang limfosit
dan histiosit dan bahkan sel raksasa pada dermis dan perivaskuler, sel plasma dan
sel mast dapat juga terlihat, apalagi bila edema berlangsung lama. Pada pustula
terdapat sebaran sel PMN sekitar folikel. Dermodex folliculorum sering dapat
ditemukan dalam folikel infundibulum dan duktus sebasea (2).
b. Dermatitis perioral
Terjadi pada wanita muda, tempat predileksi sekitar mulut dan dagu,
polimorfi tanpa telangiektasis dan keluhan gatal.(2)
Berbeda dengan rosasea, pada dermatitis perioral tidak terdapat telangiektasis
dan flushing.(2)
V. Penatalaksanaan (2)
Topikal
a. Tetrasiklin, klindamisin, eritromisin dalam salap 0,5 – 2,0%.
Eritromisin lebih baik hasilnya dibandingkan lainnya.
b. Metronidazole 0,75% gel atau krim 2% efektif untuk lesi papul dan
pustul
c. Imidazole sendiri atau dengan ketokonasol atau sulfur 2-5% dapat
dicoba
d. Isotretinon krim 0,2% juga bermanfaat
e. Antiparasit untuk membunuh D. follikulorum; misalnya lindane,
krotamiton, atau bensoil bensoat
f. Kortikosteroid kekuatan rendah (krim hidrokortison 1%) hanya
dianjurkan pada stadium berat
Sistemik
a. Tetrasiklin, eritromisin, doksisiklin, minoskilin dengan dosis sama
dengan dosis akne vulgaris beradang memberikan hasil yang baik karena
efek antimikroba dan anti-inflamasinya. Dosis kemudian diturunkan bila
lesi membaik
b. Isotretinoin (13 cis retinoat) 0,5 – 1,0/kgBB sehari dapat digunakan
kecuali bila ada rosasea pada mata. Penggunaannya harus diamati secara
ketat
c. Metronidazole 2 x 500 mg/hari efektif baik stadium awal maupun lanjut
Lainnya
a. Sunblock dengan SPF 15 atau lebih dianjurkan dipakai penderita untuk
menahan sinar UVA dan UVB
b. Massage fasial dahulu dianjurkan dilakukan, namun hasilnya tidak jelas
c. Diet rokok, alcohol, kopi, pedas, dapat dilakukan untuk mengurangi
rangsangan eritem
d. Bedah kulit; scalpel atau dermabrasi untuk rinofima dan bedah listrik
untuk telangiektasia
VI. Komplikasi
a. Rinofima
Rinofima adalah suatu kondisi medis yang ditandai dengan pembesaran
hidung yang tidak teratur, merah dan terbentuknya seperti bola lampu akibat
peradangan yang tidak ditangani dengan baik ataupun peradangan kronik pada
kulit hidung. Rinofima berhubungan dengan kelenjar sebasea yang terletak
dibawah permukaan kulit hidung (2).
Gambar 7. Rinofima
Sumber: Dermatology Information System.
Diunduh dari: http://www.dermis.net/dermisroot/pt/30760/image.htm
1. Pelle MT. Rosacea. In: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell
DJ, Wolf K, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8th ed.
New York: McGraw-Hill Companies Inc; 2012. P 918-925
2. Wasitaatmajaya SM. Rosasea. Dalam : ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi
ke-7. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2015. h.295-297.
3. Jones JB. Rosacea. Rosacea, Perioral Dermatitis, and Similar Dermatoses,
Flushing and Flushing Syndrome. In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffths C,
editors. Rook’s Text Book of Dermatology. 7th ed. Massachusets: Blackwell
Publishing Company; 2004. p. 2199-204.
4. Wolff K, Johnson RA. Rosacea. Disorders of Sebaceous and Apocrine Glands.
In: Wolff K, Johnson RA, editors. Fitzpatrick’s Color Atlas and Synopsis of
Clinical Dermatology. 6th ed. New York: McGraw-Hill Companies; 2009