You are on page 1of 38

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Gagal Jantung
1. Definisi gagal jantung
Gagal jantung merupakan suatu sindrom klinis yang kompleks akibat penurunan
kemampuan structural dan fungsional dari pengisian ventrikel atau ejeksi darah sehingga
jantung tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan oksigen yang dibutuhkan oleh jaringan.
Gagal jantunf juga dapat didefinisikan sebagai sindroma klinis yang menyebabkan
keluhan sesak nafas, edem, dan letih serta ditemukan peningkatan vena jugular pressure,
iktus kordis yang bergeser kearah lateral dan terdengar bunyi gallop di jantung serta ronki
basah halus di basal paru (Yoga et al, 2017).
2. Etiologi
Gagal jantung dapat disebabkan oleh banyak hal. Secara epidemiologi cukup
penting untung mengetahui penyebab dari gagal jantung, seperti penyakit arteri koroner,
hipertensi dan penyakit jantung katup merupakan penyebab terbanyak. Pada beberapa
keadaan sangat sulit untuk menentukan penyebab dari gagal jantung. Terutama pada
keadaan yang terjadi bersamaan pada penderita (Harbanu, 2007).

Penyakit jantung koroner merupakan penyebab gagal jantung pada 46% laki-laki
dan 27% pada wanita. Faktor Gagal Jantung pada risiko koroner seperti diabetes dan
merokok juga merupakan faktor yang dapat berpengaruh pada perkembangan dari gagal
jantung. Selain itu berat badan serta tingginya rasio kolesterol total dengan kolesterol
HDL juga dikatakan sebagai faktor risiko independen perkembangan gagal jantung
(Harbanu, 2007).

Hipertensi telah dibuktikan meningkatkan risiko terjadinya gagal jantung pada


beberapa penelitian. Hipertensi dapat menyebabkan gagal jantung melalui beberapa
mekanisme, termasuk hipertrofi ventrikel kiri. Hipertropi ventrikel kiri dikaitkan dengan
disfungsi sistolik dan diastolik ventrikel kiri yang dapat meningkatkan risiko terjadinya
infark miokard, serta memudahkan untuk terjadinya aritmia baik itu aritmia atrial maupun
4

aritmia ventrikel. Ekokardiografi yang menunjukkan hipertrofi ventrikel kiri


berhubungan kuat dengan perkembangan gagal jantung (Harbanu, 2007).

Kardiomiopati didefinisikan sebagai penyakit pada otot jantung yang bukan


disebabkan oleh penyakit koroner, hipertensi, maupun penyakit jantung kongenital, katup
ataupun penyakit pada perikardial. Kardiomiopati dibedakan menjadi empat kategori
fungsional yaitu dilatasi (kongestif), hipertrofik, restriktif dan obliterasi. Kardiomiopati
dilatasi merupakan penyakit otot jantung dimana terjadi dilatasi abnormal pada ventrikel
kiri dengan atau tanpa dilatasi ventrikel kanan. Penyebabnya antara lain miokarditis
virus, penyakit pada jaringan ikat seperti SLE, sindrom Churg-Strauss dan poliarteritis
nodosa. Kardiomiopati hipertrofik dapat merupakan penyakit keturunan (autosomal
dominan) meski secara sporadik masih memungkinkan. Ditandai dengan adanya kelainan
pada serabut miokard dengan gambaran khas hipertrofi septum asimetris yang
berhubungan dengan obstruksi outflow aorta (kardiomiopati hipertrofik obstruktif).
Kardiomiopati restriktif ditandai dengan kekakuan serta compliance ventrikel yang
buruk, tidak membesar dan dihubungkan dengan kelainan fungsi diastolik (relaksasi)
yang menghambat pengisian ventrikel (Harbanu, 2007).

Penyakit katup sering disebabkan oleh penyakit jantung rematik, walaupun saat
ini sudah mulai berkurang kejadiannya di negara maju. Penyebab utama terjadinya gagal
jantung adalah regurgitasi mitral dan stenosis aorta. Regusitasi mitral (dan regurgitasi
aorta) menyebabkan kelebihan beban volume (peningkatan preload) sedangkan stenosis
aorta menimbulkan beban tekanan (peningkatan afterload). Aritmia juga sering
ditemukan pada pasien dengan gagal jantung dan dihubungkan dengan kelainan struktural
termasuk hipertofi ventrikel kiri pada penderita hipertensi. Atrial fibrilasi dan gagal
jantung seringkali timbul bersamaan (Harbanu, 2007).

Alkohol dapat berefek secara langsung pada jantung, menimbulkan gagal jantung
akut maupun gagal jantung akibat aritmia (tersering atrial fibrilasi). Konsumsi alkohol
yang berlebihan dapat menyebabkan kardiomiopati dilatasi (penyakit otot jantung
alkoholik). Alkohol menyebabkan gagal jantung 2 – 3% dari kasus. Alkohol juga dapat
menyebabkan gangguan nutrisi dan defisiensi tiamin. Obat – obatan juga dapat
menyebabkan gagal jantung. Obat kemoterapi seperti doxorubicin dan obat antivirus
5

seperti zidofudin juga dapat menyebabkan gagal jantung akibat efek toksik langsung
terhadap otot jantung (Harbanu, 2007).

3. Patofisiologi
Perjalanan penyakit gagal jantung dimulai setelah terjadinya index event atau
suatu kejadian tertentu yang merusak otot jantung dan hilangnya miosit atau hal yang
menghalangi miokard untuk menghasilkan energi yang berakibat jantung gagal
memompa darah secara normal. Kejadian yang disebut index event tersebut dapat terjadi
secara tiba-tiba misalnya pada infark miokard akut, atau berlangsung dalam periode
menahun akibat kelebihan cairan dan tekananmenahun atau kondisi yang diturunkan
seperti kardiomiopati genetic. Gagal jantung dapat terjadi tanpa menimbulkan gejala atau
gejala sangat minimal dan baru akan menimbulkan gejala setelah dalam kurun waktu
tertentu akibat mekanisme kompensasi tubuh (Yoga et al, 2017).

Index event

Kerusakan sekunder Neurohormon Endotelium

Remodeling ventrikel kiri Peningkatan SNS Vsokonstriksi

Kontraktilitas terganggu Peningkatan RAS NOS/ROS

Hipertropi Peningkatan endotelin Perubahan structural

Apoptosis Peningkatan ANP/BNP sitokin

Fibrosis Peningkatan sitokin

Elektrofisiologis terganggu

Reactive oxygen species

Gagal jantung
6

Respon Neurohormonal

Pada gagal jantung akut tubuh mengalami perubahan neurohormonal yang akan
berusaha untuk melakukan kompensasi dengan mengaktivasi berbagai system antara lain
system adrenergic sehingga kontraktilitas jantung meningkat. Sisetem angiotensin yang
menyebabkan vasokonstriksi dan meningkatnya tekanan darah sehingga berusaha
menjamin perfusi oksigen ke organ vital. Namun akibat dari aktivasi system
neurohomonal ini akan mengakibatkan retensi air dan garam serta vasokonstriksi
sehingga dapat mengakibatkan proses remodeling yang berdampak buruk pada system
kardiovaskular. Berbagai system neurohormonal yang terlibat diantaranya (Yoga et al,
2017):

a. Aktivasi system saraf simpatik


Berkurangnya curah jantung akan mengaktifkan system saraf simpatis dan
mengurangi system saraf parasimpatis akibat stimulasi yang diberikan oleh
baroreseptor pada sinus carotid, arkus aorta dan baroreseptor kardiopulmonal.
Akibatnya jumlah norepineprin yang dilepaskan kesirkulasi akan meningkat.
Disamping itu reseptor beta1 adrenergik akan teraktivasi sehingga akan
meningkatkan denyut jantung dan kontraktilitas dari miokardium dimana pada
awalnya respon ini mampu mempertahankan jumlah curah jantung. Selain reseptor
7

tersebut, reseptor alfa1 adrenergik juga teraktivasi sehingga meningkatkan efek


inotropik dan vasokonstriksi di arteri perifer sehingga meningkatkan afterload.
Namun semua hal tersebut dapat menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen
jantung sehingga dapat menimbulkan iskhemik.

Aktivasi simpatis dalam periode akut dapat membawa efek positif, namun jika
berlangsung dalam waktu yang lama dapat berdampak negative terhadap system
kardiovaskular dan berbagai organ misalnya pada jantung terjadi respon yang
berlebih dari receptor beta adrenergic, hipertropi meiosit, fibrosis, nekrosis, dan
apoptosis. Tonus simpatis menurun, aritmia gangguan funsi sistolik dan diastolic.
Pada ginjal terjadi reabsorbsi natrium, meningkatnya resistensi pembuluh darah
ginjal, menurunnya respon natriuretik dan menignkatnya rennin. Sedangkan pada
pembuluh darah terjadi vasokonstriksi neurogenik dan hipertropi pembuluh darah.
8

b. Peptida natriuretik
Terdapat dua macam peptide netriuretik yang berperan besar dalam respon tubuh
atas proses perjalanan penyakit gagal jantung yakni atrial natriuretik peptide (ANP)
dan brain natriuretik peptide (BNP). Kedua peptide tersebut bekerja pada jantung dan
vaskularisasi perifer dengan meningkatkan eksresi natrium serta air dan juga
mengurangi produksi rennin dan aldosteron sehingga mampu mengimbangi
hiperaktivitas system rennin angiotensin dan aldosteron pada keadaan normal. Walau
kedua peptide ini berperan sebagai pelindung terhadap gagal jantung namun kondisi
lebih lanjut efek kedua peptide ini menjadi berkurang. Pada kondisi gagal jantung
kedua peptide ini dapat meningkat yang dapat dimonitor untuk mengetahui perjalanan
penyakit, mendiagnosis, dan prognosis pada pasien gagal jantung refrakter.
c. Sel endotel, system endotelin dan produksi nitrit oxide (NO)
Sel – sel pada pembuluh darah berperan penting dalam mempertahankan fungsi
organ dan system organ. Salah satunya dengan memproduksi nitrit oxide yang
merupakan vasodilator kuat. Pada proses penuaan dapat menimbulkan disfungsi
endotel yang akan berakibat kurang nya produksi NO. hal ini juga tedapat pada gagal
jantung yang disertai disfungsi endotel yang mungkin disebabkan oleh stress
oksidatif. Disamping itu sel endotel juga memproduksi endotelin-1 dan zat lainnya
yang dimana endotelin ini merupakan vasokonstriktor kuat yang mana pada pasien
gagal jantung kadar dari endotelin ini dapat meningkat oleh karena respon
kompensasi tubuh.
d. Vasopersin
Diproduksi oleh otak kecil yang dikenal juga sebagai hormone antidiuretik.
Hormone ini berperan dalam vasokonstriksi, reabsorbsi air, osmolalitas cairan tubuh,
volume darah, tekanan darah, kontraksi sel, proliferasi sel dan sekresi
adenokotrikotropin. Pada pasien gagal jantung hormone ini dapat sedikit meningkat
e. Proses remodeling kardiomiosit
Sebagai salah satu akibat perubahan neurohormonal dalam proses perjalanan
penyakit jantung terjadi remodeling pada ventrikel jantung. Remodeling tersebut
terjadi akibat usaha jantung untuk mengkompensasi meningkatnya preload,
9

kontraktilitas dan afterload. Hal ini juga dapat disebabkan oleh interaksi
hemodinamik, epigenetic, genetic, dan berbagai kondisi komorbid dari penderita.
Remodeling merupakan kondisi yang tidak diinginkan karena berkaitan dengan
prognosis fungsional jantung dan manifestasi klinis yang buruk. Hal ini disebabkan
oleh hilangnya kemampuan kardiomiosit untuk berkontraksi dengan normal yang
secara seluler dapat diketahui dengan berkurangnya rantai alfa miosit dan
miofilamen, berubahnya struktur sitoskeleton karfiomiosit, perubahan pada
metabolism energy, dan desensitasi dari reseptor beta adrenergic.
Terdapat dua bentuk remodeling patologis yaitu konsentrik dan eksentrik dimana
remodeling eksentrik merupakan penambahan panjang miosit secara sarkomer yang
disebabkan oleh beban volume yang berlebih, sedangkan yang konsentrik merupakan
penambahan jumlah sarkomer secara parallel, menignkatnya jumlah miosit secara
crossectional dan menebalnya dinding ventrikel kiri yang disebabkan oleh pasien
yang gagal jantung dengan beban tekanan yang berlebih. Kedua tipe ini dapat
mengakibatkan perubahan kontraktilitas, bentuk dan fungsi jantung. Penyebab dari
remodeling ini adalh stretch atau strain pada miosit, neurohormonal, sitokin, growth
faktor dan stress oksidatif.
f. Proses inflamasi
Proses inflamasi merupakan salah satu faktor yang dapat memperberat
progresifitas sindrom gagal jantung. Berbagai sitokin mediator inflamasi yang
mungkin memegang peranan penting ialah tumor nekrosis faktor alfa, interleukin
(IL1) dan IL 6. Salah satu proses yang terjadi adalah produksi sitokin yang berlebih
akibat distimulasi oleh katekolamin.
g. Stress oksidatif
Pada keadaan normal reaktif oksigen species (ROS) dapat dinetralkan dengan
antioksidan. Namun pada keadaan patologis contohnya sindrom gagal jantung ROS
yang dihasilkan terlalu banyak akibat xandin oksidase dan NADPH Oksidase
sehingga menimbulkan keadaan stress oksidatif. Akibatnya ROS yang terlalu tinggi
pada mitokondria dapat mempengaruhi kontraktilitas dari jantung. Hal ini dapat
memicu terjadinya hipertropi, fibrosis dan apoptosis kardiomiosit. Produksi ROS juga
10

dapat memicu berkurangnya bioavailibilitas dari NO yang berperan untuk


vasodilatasi sehingga neurohormonal vasokonstriksi yang lebih dominan.
h. Kematian sel
Pada gagal jantung dapat ditemui peningkatan kematian sel akibat meningkatnya
neurohormonal, aktivitas adrenergic, sitokin inflamasi, stress oksidatif dan zat yang
bersifat toxic. Dalam perjalanan gagal jantung ditemukan apoptosis terutama pada
gagal jantung dengan beban tekanan yang berlebih. Tipe kematian sel seperti nekrosis
dapat ditemukan pada kondisi IMA. Autophagy merupakan suatu proses yang dimana
sel mendegradasi dirinya sendiri yang merupakan tipe kematian sel yang dapat
ditemukan pada gagal jantung.
i. Siklus Ca2+ pada gagal jantung
Pada kontraksi normal sel miokard berkontrak si akibat interaksi aktin dan myosin
yang dipicu oleh Ca2+. Pada gagal jantung terjadi disregulasi Ca2+ intra sel yang
mengakibatkan turunnya kemampuan kontraksi otot jantung. Pada pasien dengan
gagal jantung terjadi kebocoran pada ryanodine receptor (RyR2) yang terletak
dipermukaan sarkoplasmikretikumum sehingga menurunkan cadangan Ca2+ di
sarkoplasmik retukulum yang seharusnya dikeluarkan pada saat kontraksi. Tidak
hanya itu pompa SERCA2a yang terletak dipermukaan Ca2+ juga tidak berfungsi
dengan baik sehingga mengurangi jumlah Ca2+ yang dipompa keluar dari
sarkoplasmik reticulum ke sitoplasma. Hala ini menyebabkan terhambatnya relaksasi
ventrikel dan disfungsi diastolic.
11

4. Klasifikasi gagal jantung

Ada berbagai klasifikasi untuk gagal jantung, diantaranya berdasarkan


abnormalitas struktur jantung yang di susun oleh American Heart Association/American
College of Cardiology (AHA/ACC) atau berdasarkan gejala berkaitan dengan kapasitas
fingsional yang diterbitkan oleh New York Heart Association (NYHA).

Tabel. 1 Klasifikasi gagal jantung

a. Berdasarkan Curah Jantung


1) Gagal jantung dengan penurunan faksi ejeksi
Gagal jantung tipe ini merupakan suatu gagal jantung dengan fraksi ejeksi
ventrikel kiri ≤40% yang biasanya ditegakkan dengan menggunakan
ekokardiografi ataupun MRI. Untuk mendiagnosisnya yaitu pada semua pasien
yang dicurigai mengalami gagal jantung berdasarkan presntasi klinis maka
12

sebaiknya dikonfirmasikan lagi dengan menggunakan pemeriksaan yang mampu


untuk menilai adanya kelainan fungsi maupun struktur jantung.
2) Gagal Jantung dengan fraksi ejeksi normal
Gagal jantung dengan fraksi ejeksi normal atau disebut juga gagal jantung
diastolic (GJD) merupakan suatu sindrom klinis dari gagal jantung dengan fraksi
ejeksi ≥50%. Secara mudah apabila seseorang dengan tanda dan gejala gagal
jantung yang jelas dan dari pemeriksaan echo tidak didapatkan penyakit katup
jantung dengan fraksi ejeksi ≥50% maka penderita dapat dikatakan menderita
penyakit GJD. Timbulnya gagal jantung sistolik (GJS) dapat diawali oleh GJD
dimana seperti yang kita ketahui bersama bahwa hipertropi ventrikel kiri
merupakan suatu mekanisme yang berperan dalam kompensasi terhadap beban
yang berlebih dari volume atau tekanan dari ventrikel kiri. Beban tekanan yang
berlebih pada ventrikel kiri akan menyebabkan hipertrofi yang bersifat konsentris
yang ditandai dengan penambahan massa dan ketebalan dinding tanpa adanya
tambahan volume ventrikel kiri. Sedangkan beban volume yang berlebih pada
ventrikel kiri akan menyebabkan hipertrofi yang bersifak eksentris yang ditandai
dengan penambahan volume ventrikel kiri tanpa adanya penebalan atau bahkan
terjadi penurunan ketebalan.
Dengan berjalannya progresifitas tanpa memandang etiologi dasar dari
hipertropi konsentris ventrikel kiri maka beban penekanan dinding ventrikel kiri
juga makin bertambah sehingga menyebabkan dilatasi ventrikel kiri. Selanjutnya
pada ventrikel kiri yang berdilatasi akan menjadi lebih membulat dan terjadi
reposisi dari muskulus papilaris sehingga menyebabkan regurgitasi mitral
fungsional dan ventrikel kiri semakin berdilatasi. Sesuai dengan hukum Laplace
dimana penambahan volume dan makin membulatnya ventrikel kiri akan
mengakibatkan penekanan yang berlebih pada dinding ventrikel kiri. Hal ini akan
mengurangi kontraktilitas miokardium dan gagal jantung sistolik. Sebagai
tambahan aktivasi saraf simpatis dan rennin angiotensin aldosteron yang terus
berjalan pada awalnya untuk menjaga curah jantung akan memainkan peranan
yang penting pada progresifitas dilatasi ventrikel kiri dan terjadinya gagal jantung
(Fakuta et al, 2008).
13

Perbedaan GJD dan GJS

b. Berdasarkan letak
1) Gagal jantung kanan
Gagal jantung kanan murni agak jarang dan biasanya diakibatkan oleh
kasus hipertensi pulmonal dantrikuspid, serta penyakit jantung bawaan. Kasus
gagal jantung kanan umumnya disebabkan oleh akibat tidak langsung dari gagal
jantung kiri. Pada proses gagal jantung kanan ventrikel kanan tidak mampu
menerima volume darah dalam jumlah banyak yang tidak disertai tekanan yang
cukup. Berbeda dengan gagal jantung kiri tidak ditemukan kongesti paru pada
gagal jantung kanan. Gejjala dan tanda kebanyakan dari pasien yaitu kongesti
vena porta dengan hepato / dan atau splenomegali, edem perifer, efusi pleura dan
asites (Lilly, 2011).
2) Gagal jantung kiri
Gagal jantung kiri merupakan ketidakmampuan ventrikel kiri untuk
memompa darah seperti keadaan normal. Hal ini kemudian menyebabkan adanya
bendungan pada vaskularisasi paru dan resistensi perifer yang menurun. Proses ini
menyebabkan kongesti paru dan oedem paru yang bermanifestasi sebagai sesak
14

dan batuk. Batuk sendiri diakibatkan oleh terdesaknya cairan ke alveoli. Gejala
orthopneu juga dapat dirasakan oleh pasien akibat meningkatnya aliran darah
balik vena dari ekstremitas bawah. Tanda – tanda lain yang dapat ditemukan
adalah pembesaran jantung, nadi yang cepat dan kecil, bunyi jantung ke-3 dan
pada auskultasi ditemukan rhonki basa halus di basal paru (Lilly, 2011).
3) Gagal jantung kiri dan kanan
Gagal jantung dapat mempengaruhi sisi jantung kanan, kiri ataupun
keduanya. Penyebab tersering adalah gagal jantung kiri adalah iskhemik,
hipertensi dan penyakit katub jantung (Lilly, 2011).
5. Kriteria gagal jantung
Dalam mendiagnosis gagal jantung minimal terdapat 1 kriteria major dan 2
kriteria minor dengan menggunakan kriteria Framingham (Siti et al, 2015).
15

6. Mnifestasi klinis gagal jantung


Tabel. 2 Tanda dan gejala gagal jantung

7. Algoritma diagnosis gagal jantung


Algoritma diagnosis gagal jantung atau disfungsi ventrikel kiri. Penilaian klinis
yang teliti diperlukan untuk mengetahui penyebab gagal jantung, karena meskipun terapi
gagal jantung umumnya sama bagi sebagain besar pasien, namun keadaan tertentu
memerlukan terapi spesifik dan mungkin penyebab dapat dikoreksi
16

Gambar 1 Algoritma diagnostik gagal jantung. Disadur dari ESC Guidelines for the
diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure 2012

8. Teknik Diagnostik
Uji diagnostik biasanya paling sensitif pada pasien gagal jantung dengan fraksi
ejeksi rendah. Uji diagnostik sering kurang sensitf pada pasien gagal jantung dengan
fraksi ejeksi normal. Ekokardiografi merupakan metode yang paling berguna dalam
evaluasi disfungsi sistolik dan diastolic. Beberapa modalitas yang dapat digunakan untuk
mendiagnosis gagal jantung yaitu (PERKI, 2015)
17

a. Elektrokardiogram (EKG)
Pemeriksaan elektrokardiogram harus dikerjakan pada semua pasien diduga gagal
jantung. Abnormalitas EKG sering dijumpai pada gagal jantung. Abnormalitas EKG
memiliki nilai prediktif yang kecil dalam mendiagnosis gagal jantung, jika EKG
normal, diagnosis gagal jantung khususnya dengan disfungsi sistolik sangat kecil (<
10%).
b. Foto Toraks
Merupakan komponen penting dalam diagnosis gagal jantung. Rontgen toraks
dapat mendeteksi kardiomegali, kongesti paru, efusi pleura dan dapat mendeteksi
penyakit atau infeksi paru yang menyebabkan atau memperberat sesak nafas.
Kardiomegali dapat tidak ditemukan pada gagal jantung akut dan kronik.

Tabel 3Abnormalitas EKG yang umum ditemukan pada gagal jantung


Abnormalitas Penyebab Implikasi klinis
18

Tabel 4 Abnormalitas fototoraks yang umum ditemukan pada gagal jantung


19

Abnormalitas Penyebab Implikasi klinis


c. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium rutin pada pasien diduga gagal jantung adalah
darah perifer lengkap (hemo-globin, leukosit, trombosit), elektrolit, kreatinin, laju
filtrasi glomerulus (GFR), glukosa, tes fungsi hati dan urinalisis. Pemeriksaan
tambahan lain dipertimbangkan sesuai tampilan klinis.
Gangguan hematologis atau elektrolit yang bermakna jarang dijumpai pada
pasien dengan gejala ringan sampai sedang yang belum diterapi, meskipun anemia
ringan, hiponatremia, hiperkalemia dan penurunan fungsi ginjal sering dijumpai
terutama pada pasien dengan terapi menggunakan diuretik dan/atau ACEI
(Angiotensin Converting Enzime Inhibitor), ARB (Angiotensin Receptor Blocker),
atau antagonis aldosterone.
d. Peptida Natriuretik
Terdapat bukti - bukti yang mendukung penggunaan kadar plasma peptide
natriuretik untuk diagnosis, membuat keputusan merawat atau memulangkan pasien,
dan mengidentifikasi pasien pasien yang berisiko mengalami dekompensasi.
Konsentrasi peptida natriuretik yang normal sebelum pasien diobati mempunyai nilai
prediktif negatif yang tinggi dan membuat kemungkinan gagal jantung sebagai
penyebab gejala-gejala yang dikeluhkan pasien menjadi sangat kecil.
Kadar peptida natriuretik yang tetap tinggi walaupun terapi optimal
mengindikasikan prognosis buruk. Kadar peptide natriuretik meningkat sebagai
respon peningkatan tekanan dinding ventrikel. Peptida natriuretik mempunyai waktu
paruh yang panjang, penurunan tiba-tiba tekanan dinding ventrikel tidak langsung
menurunkan kadar peptida natriuretik.
e. Troponin I atau T
Pemeriksaan troponin dilakukan pada penderita gagal jantung jika gambaran
klinisnya disertai dugaan sindroma koroner akut. Peningkatan ringan kadar troponin
kardiak sering pada gagal jantung berat atau selama episode dekompensasi gagal
jantung pada penderita tanpa iskemia miokard.
20

f. Ekokardiografi
Istilah ekokardiograf digunakan untuk semua teknik pencitraan ultrasound
jantung termasuk pulsed and continuous wave Doppler, colour Doppler dan tissue
Doppler imaging (TDI). Konfirmasi diagnosis gagal jantung dan/atau disfungsi
jantung dengan pemeriksaan ekokardiografi adalah keharusan dan dilakukan
secepatnya pada pasien dengan dugaan gagal jantung. Pengukuran fungsi ventrikel
untuk membedakan antara pasien disfungsi sistolik dengan pasien dengan fungsi
sistolik normal adalah fraksi ejeksi ventrikel kiri (normal > 45 - 50%).
Ekokardiografi mempunyai peran penting dalam mendiagnosis gagal jantung
dengan fraksi ejeksi normal. Diagnosis harus memenuhi tiga kriteria:
1) Terdapat tanda dan/atau gejala gagal jantung.
2) Fungsi sistolik ventrikel kiri normal atau hanya sedikit terganggu (fraksi ejeksi >
45 - 50%).
3) Terdapat bukti disfungsi diastolik (relaksasi ventrikel kiri abnormal / kekakuan
diastolik).
g. Ekokardiografi transesofagus
Direkomendasikan pada pasien dengan ekokardiografi transtorakal tidak
adekuat (obesitas, pasien dengan ventlator), pasien dengan kelainan katup, pasien
endokardits, penyakit jantung bawaan atau untuk mengeksklusi trombus di left atrial
appendagepada pasien fibrilasi atrial
h. Ekokardiografi beban
Ekokardiografi beban (dobutamin atau latihan) digunakan untuk mendeteksi
disfungsi ventrikel yang disebabkan oleh iskemia dan menilai viabilitas miokard pada
keadaan hipokinesis atau akinesis berat.
9. Tatalaksana
Menurut pedoman PERKI (2015) tatalaksana gagal jantung yaitu
a. Tatalaksana Non-Farmakologi
1) Manajemen Perawatan Mandiri
Manajemen perawatan mandiri mempunyai peran dalam keberhasilan
pengobatan gagal jantung dan dapat memberi dampak bermakna perbaikan gejala
gagal jantung, kapasitas fungsional, kualitas hidup, morbiditas dan prognosis.
21

Manajemen perawatan mandiri dapat didefnisikan sebagai tindakan-tindakan yang


bertujuan untuk menjaga stabilitas fisik, menghindari perilaku yang dapat
memperburuk kondisi dan mendeteksi gejala awal perburukan gagal jantung.
2) Ketaatan pasien berobat
Ketaatan pasien berobat menurunkan morbiditas, mortalitas dan kualitas
hidup pasien. Berdasarkan literatur, hanya 20 - 60% pasien yang taat pada terapi
farmakologi maupun non-farmakologi
3) Pemantauan berat badan mandiri
Pasien harus memantau berat badan rutin setap hari, jika terdapat kenaikan
berat badan > 2 kg dalam 3 hari, pasien harus menaikan dosis diuretik atas
pertmbangan dokter
4) Asupan cairan
Restriksi cairan 1,5 - 2 Liter/hari dipertimbangkan terutama pada pasien
dengan gejala berat yang disertai hiponatremia. Restriksi cairan rutin pada semua
pasien dengan gejala ringan sampai sedang tidak memberikan keuntungan klinis.
5) Pengurangan berat badan
Pengurangan berat badan pasien obesitas (IMT > 30 kg/m2) dengan gagal
jantung dipertimbangkan untuk mencegah perburukan gagal jantung, mengurangi
gejala dan meningkatkan kualitas hidup
6) Kehilangan berat badan tanpa rencana
Malnutrisi klinis atau subklinis umum dijumpai pada gagal jantung berat.
Kaheksia jantung (cardiac cachexia) merupakan prediktor penurunan angka
kelangsungan hidup. Jika selama 6 bulan terakhir berat badan > 6 % dari berat
badan stabil sebelumnya tanpa disertai retensi cairan, pasien didefinisikan sebagai
kaheksia. Status nutrisi pasien harus dihitung dengan hati-hati
7) Latihan fisik
Latihan fisik direkomendasikan kepada semua pasien gagal jantung kronik
stabil. Program latihan fisik memberikan efek yang sama baik dikerjakan di
rumah sakit atau di rumah
22

8) Aktvitas seksual
Penghambat 5-phosphodiesterase (contoh: sildenafil) mengurangi tekanan
pulmonal tetapi tidak direkomendasikan pada gagal jantung lanjut dan tidak boleh
dikombinasikan dengan preparat nitrat

b. Tata Laksana Farmakologi


Tujuan diagnosis dan terapi gagal jantung yaitu untuk mengurangi morbiditas
dan mortalitas. Tindakan preventif dan pencegahan perburukan penyakit jantung tetap
merupakan bagian penting dalam tatalaksana penyakit jantung. Strategi pengobatan
dengan mengunakan obat dan alat pada pasien gagal jantung simtomatik dan
disfungsi sistolik. Sangatlah penting untuk mendeteksi dan mempertimbangkan
pengobatan terhadap kormorbid kardiovaskular dan non kardiovaskular yang sering
dijumpai.

Tabel 5 Tujuan pengobatan gagal jantung kronik


23
24

1) Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitors (ACEI)


Kecuali kontraindikasi, ACEI harus diberikan pada semua pasien gagal
jantung simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %. ACEI memperbaiki
fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah sakit karena
perburukan gagal jantung, dan meningkatkan angka kelangsungan hidup. ACEI
kadang-kadang menyebabkan perburukanfungsi ginjal, hiperkalemia, hipotensi
simtomatik, batuk dan angioedema (jarang), oleh sebab itu ACEI hanya diberikan
pada pasien dengan fungsi ginjal adekuat dan kadar kalium normal.
Indikasi pemberian ACEI:
a) Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %, dengan atau tanpa gejala
Kontraindikasi pemberian ACEI:
a) Riwayat angioedema
b) Stenosis renal bilateral
c) Kadar kalium serum > 5,0 mmol/L
d) Serum kreatinin > 2,5 mg/dL
e) Stenosis aorta berat
Cara pemberian ACEI pada gagal jantung (Tabel 6)
a) Inisiasi pemberian ACEI
b) Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit
c) Periksa kembali fungsi ginjal dan serum elektrolit 1 - 2 minggu setelah terapi
ACEI
d) Naikan dosis secara titrasi
e) Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 2 - 4 minggu.
f) Jangan naikan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau hiperkalemia.
Dosis titrasi dapat dinaikan lebih cepat saat dirawat di rumah sakit
g) Jika tidak ada masalah diatas, dosis dititrasi naik sampai dosis target atau
dosis maksimal yang dapat di toleransi
h) Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit 3 dan 6 bulan setelah mencapai
dosis target atau yang dapat ditoleransi dan selanjutnya tiap 6 bulan sekali
25

2) Penyekat β
Kecuali terdapat kontraindikasi, penyekat β harus diberikan pada semua
pasien gagal jantung simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %. Penyekat
β memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah
sakit karena perburukan gagal jantung, dan meningkatkan kelangsungan hidup
Indikasi pemberian penyekat β
a) Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %
b) Gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II - IV NYHA)
c) ACEI / ARB (dan antagonis aldosteron jika indikasi) sudah diberikan
d) Pasien stabil secara klinis (tidak ada perubahan dosis diuretik, tidak ada
kebutuhan inotropik i.v. dan tidak ada tanda retensi cairan berat)
Kontraindikasi pemberian penyekat β
a) Asma
b) Blok AV (atrioventrikular) derajat 2 dan 3, sindroma sinus sakit (tanpa pacu
jantung permanen), sinus bradikardia (nadi < 50 x/menit)
Cara pemberian penyekat β pada gagal jantung (Tabel 9)
a) Inisiasi pemberian penyekat β
b) Penyekat β dapat dimulai sebelum pulang dari rumah sakit pada pasien
dekompensasi secara hati-hati.
Naikan dosis secara titrasi
a) Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 2 – 4 minggu. Jangan
naikan dosis jika terjadi perburukan gagal jantung, hipotensi simtomatik atau
bradikardi (nadi < 50 x/menit)
b) Jika tidak ada masalah diatas, gandakan dosis penyekat β sampai dosis target
atau dosis maksimal yang dapat di toleransi
Efek samping yang dapat timbul akibat pemberian penyekat β:
a) Hipotensi simtomatik
b) Perburukan gagal jantung
c) Bradikardia
26

3) Antagonis Aldosteron
Kecuali kontraindikasi, penambahan obat antagonis aldosteron dosis kecil
harus dipertimbangkan pada semua pasien dengan fraksi ejeksi ≤ 35 % dan gagal
jantung simtomatik berat (kelas fungsional III - IV NYHA) tanpa hiperkalemia
dan gangguan fungsi ginjal berat. Antagonis aldosteron mengurangi perawatan
rumah sakit karena perburukan gagal jantung dan meningkatkan kelangsungan
hidup.
Indikasi pemberian antagonis aldosteron
a) Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %
b) Gejala sedang sampai berat (kelas fungsional III- IV NYHA)
c) Dosis optimal penyekat β dan ACEI atau ARB (tetapi tidak ACEI dan ARB)
Kontraindikasi pemberian antagonis aldosteron
a) Konsentrasi serum kalium > 5,0 mmol/L
b) Serum kreatinin> 2,5 mg/dL
c) Bersamaan dengan diuretik hemat kalium atau suplemen kalium
d) Kombinasi ACEI dan ARB

Cara pemberian spironolakton (atau eplerenon) pada gagal jantung


Inisiasi pemberian spironolakton
a) Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit.
b) Naikan dosis secara titrasi
c) Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 4 – 8 minggu. Jangan
naikan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau hiperkalemia.
d) Periksa kembali fungsi ginjal dan serum elektrolit 1 dan 4 minggu setelah
menaikan dosis
e) Jika tidak ada masalah diatas, dosis dititrasi naik sampai dosis target atau
dosis maksimal yang dapat di toleransi
Efek samping yang dapat timbul akibat pemberian spironolakton:
a) Hiperkalemia
b) Perburukan fungsi ginjal
c) Nyeri dan/atau pembesaran payudara
27

Tabel. 6 Penggunaan ACEI pada gagal jantung simtomatik (NYHA fc II-IV)

Tabel. 6 Penggunaan ARB pada gagal jantung simtomatik (NYHA fc II-IV)

Tabel 9 Rekomendasi terapi farmakologis untuk semua pasien gagal


4) Angiotensin Receptor Blockers (ARB)
Kecuali kontra indikasi, ARB direkomendasikan pada pasien gagal
jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 % yang tetap simtomatik
walaupun sudah diberikan ACEI dan penyekat β dosis optimal, kecuali juga
mendapat antagonis aldosteron. Terapi dengan ARB memperbaiki fungsi
ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi angka perawatan rumah sakit karena
perburukan gagal jantung ARB direkomedasikan sebagai alternative pada pasien
intoleran ACEI. Pada pasien ini, ARB mengurangi angka kematian karena
penyebab kardiovaskular.
28

Indikasi pemberian ARB


a) Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %
b) Sebagai pilihan alternatif pada pasien dengan gejala ringan sampai berat
(kelas fungsional II - IV NYHA) yang intoleran ACEI
c) ARB dapat menyebabkan perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia, dan
hipotensi simtomatik sama sepert ACEI, tetapi ARB tidak menyebabkan batuk
Kontraindikasi pemberian ARB
a) Sama seperti ACEI, kecuali angioedema
b) Pasien yang diterapi ACEI dan antagonis aldosteron bersamaan
c) Monitor fungsi ginjal dan serum elektrolit serial ketika ARB digunakan
bersama ACEI
Cara pemberian ARB pada gagal jantung
Inisiasi pemberian ARB
a) Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit.
b) Dosis awal lihat Tabel 7
c) Naikan dosis secara titrasi
d) Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 2 – 4 minggu. Jangan
naikan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau hiperkalemia
e) Jika tidak ada masalah diatas, dosis dititrasi naik sampai dosis target atau
dosis maksimal yang dapat ditoleransi
f) Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit 3 dan 6 bulan setelah mencapai
dosis target atau yang dapat ditoleransi dan selanjutnya tiap 6 bulan sekali
Efek samping yang dapat timbul akibat pemberian ARB:
a) Sama sepertiACEI, kecuali ARB tidak menyebabkan batuk

5) Hydralazine Dan Isosorbide Dinitrate (H-ISDN)


Pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %,
kombinasi H-ISDN digunakan sebagai alternatif jika pasien intoleran terhadap
ACEI dan ARB.
29

Indikasi pemberian kombinasi H-ISDN


a) Pengganti ACEI dan ARB dimana keduanya tidak dapat ditoleransi
b) Sebagai terapi tambahan ACEI jika ARB atau antagonis aldosteron tidak
dapat ditoleransi
c) Jika gejala pasien menetap walaupun sudah diterapi dengan ACEI, penyekat β
dan ARB atau antagonis aldosteron
Kontraindikasi pemberian kombinasi H-ISDN
a) Hipotensi simtomatik
b) Sindroma lupus
c) Gagal ginjal berat
Cara pemberian kombinasi H-ISDN pada gagal jantung
Inisiasi pemberian kombinasi H-ISDN
a) Dosis awal: hydralazine 12,5 mg dan ISDN 10 mg, 2 - 3 x/hari
b) Naikan dosis secara titrasi
c) Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 2 – 4 minggu.
d) Jangan naikan dosis jika terjadi hipotensi simtomatik
e) Jika toleransi baik, dosis dititrasi naik sampai dosis target (hydralazine 50 mg
dan ISDN 20 mg, 3-4 x/hari)
Efek samping yang dapat timbul akibat pemberian kombinasi H-ISDN:
a) Hipotensi simtomatik
b) Nyeri sendi atau nyeri otot
30

Tabel. 7 Dosis obat

6) Digoksin
Pada pasien gagal jantung dengan fibrilasi atrial, digoksin dapat digunakan
untuk memperlambat laju ventrikel yang cepat, walaupun obat lain (seperti
penyekat beta) lebih diutamakan. Pada pasien gagal jantung simtomatik, fraksi
ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 % dengan irama sinus, digoksin dapat mengurangi
gejala, menurunkan angka perawatan rumah sakit karena perburukan gagal
jantung,tetapi tidak mempunyai efek terhadap angkakelangsungan hidup
31

Cara pemberian digoksin pada gagal jantung


Inisiasi pemberian digoksin
a) Dosis awal: 0,25 mg, 1 x/hari pada pasien dengan fungsi ginjal normal. Pada
pasien usia lanjut dan gangguan fungsi ginjal dosis diturunkan menjadi 0,125
atau 0,0625 mg, 1 x/hari
b) Periksa kadar digoksin dalam plasma segera saat terapi kronik. Kadar terapi
digoksin harus antara 0,6 - 1,2 ng/mL
c) Beberapa obat dapat menaikan kadar digoksin dalam darah (amiodaron,
diltiazem, verapamil, kuinidin)
Efek samping yang dapat timbul akibat pemberian digoksin:
a) Blok sinoatrial dan blok AV
b) Aritmia atrial dan ventrikular, terutama pada pasien hipokalemia
c) Tanda keracunan digoksin: mual, muntah, anoreksia dan gangguan melihat
warna
7) Diuretik
Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan tanda klinis
atau gejala kongesti. Tujuan dari pemberian diuretik adalah untuk mencapai status
euvolemia (kering dan hangat) dengan dosis yang serendah mungkin, yaitu harus
diatur sesuai kebutuhan pasien, untuk menghindari dehidrasi atau reistensi.
Cara pemberian diuretik pada gagal jantung:
a) Pada saat inisiasi pemberian diuretik periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit
b) Dianjurkan untuk memberikan diuretik pada saat perut kosong
c) Sebagain besar pasien mendapat terapi diuretik loop dibandingkan tiazid
karena efisiensi diuresis dan natriuresis lebih tinggi pada diuretik loop.
32

Kombinasi keduanya dapat diberikan untuk mengatasi keadaan edema yang


resisten:
a) Mulai dengan dosis kecil dan tingkatkan sampai perbaikan gejala dan
tanda kongesti
b) Dosis harus disesuaikan, terutama setelah tercapai berat badan kering
(tanpa retensi cairan),untuk mencegah risiko gangguan ginjal dan
dehidrasi.
Tujuan terapi adalah mempertahankan berat badan kering dengan dosis
diuretik minimal
Tabel. 8 Dosis obat

Tabel 14 Pertimbangan praktis terapi gagal jantung dengan diuretik loop


c. Terapi Farkamologis Pada Gagal Jantung Dengan Ef Normal (Gagal Jantung
Diastolik )
Sampai saat ini belum ada terapi yang terbukti secara khusus, dapat
menurunkan mortalitas dan morbiditas pada pasien dengan gagal jantung diastolik.
Diuretik digunakan untuk mengatasi retensi garam dan cairan serta mengatasi keluhan
sesak nafas. Terapi iskemia miokard dan hipertensi yang adekuat sangat penting
dalam penting dalam tatalaksana kelainan ini, termasuk tatalaksana pengaturan laju
nadi, terutam pada pasien dengan fibrilasi atrial. Semua obat yang tidak dianjurkan
pemberiannya ataupun yang harus dihindari pada pasien dengan gagal jantung
sistolik, juga berlaku pada gagal jantung diastolik, terkecuali CCB dihidropiridin,
karena mempunyai efek kontrol laju nadi.
33

d. Terapi aritmia, bradikardia dan blok atrioventrikular


Aritmia yang paling sering terjadi pada gagal jantung adalah fibrilasi atrium.
Pada tatalaksana fibrilasi atrium, ada tiga hal yang harus dipikirkan yaitu :
1) Mencari penyebab yang dapat diobati ( misalnya hipertiroid)
2) Mencari kemungkinan faktor pencetus (misalnya infeksi, dll)
3) Tatalaksana pencegahan tromboemboli
Kontrol irama tidak lebih memperbaiki hasil pengobatan dibandinglan dengan
kontrol laju ventrikel, dan hanya ditujukan bagi pasien dengan fibrilasi atrium yang
riversibel atau dengan penyebab yang jelas dan pada sebagian kecil pasien yang tidak
toleran terhadap kondisi firilasi atrium walaupun dengan laju ventricular yang
terkontrol.
Tabel. 9 Pengobatan fibrilasi atrium
Tabel 19 Rekomendasi fibrillasi atrium pada gagal jantung NYHA fc II-IV
34
35

e. Angina
Penyekat β merupakan pilihan utama dalam tatalaksana penyakit penyerta
ini.Revaskularisasi dapat menjadi pendekatan alternatif untuk pengobatan kondisi ini.
Tabel 10 terapi angina stabil
Tabe

f. HIPERTENSI
Hipertensi berhubungan dengan peningkatan risiko menjadi gagal jantung.
Terapi antihipertensi secara jelas menurunkan angka kejadian gagal jantung ( kecuali
penghambat adrenoreseptor alfa, yang kurang efektif disbanding antihipertensi lain
dalam pencegahan gagal jantung). Penghambat kanal kalsium (CCB) dengan
inotropic negative (verapamil dan diltiazem) seharusnya tidak digunakan utnuk
mengobatai hipertensi pada pasien gagal jantung sistolik (tetapi masih dapat
digunakan pada gagal jantung diastolik). Bila tekanan darah belum terkontrol dengan
36

pemberian ACE/ ARB, penyekat β, MRA dan diuretic, maka hidralazin dan
amlodipine dapat diberikan.Pada pasien dengan gaal jantung akut, direkomndasikan
pemberian nitart untuk menurunkan tekanan darah.
Table 11 Terapi hipertensi
Tabel 21 Rekomendasi terapi hipertensi pasien gagal jantung NYHA fc II-IV

g. Diabetes
Diabetes merupakan penyakit penyerta yang sangat sering terjadi pada gagal
jantung, dan berhubungan dengan perburukan prognosis dan status fungsional.
Diabetes dapat dicegahkandengan pemberian ACE/ ARB. Penyekat β bukan
merupakan kontraindikasi pada diabetes dan memiliki efek yang sama dalam
memperbaiki prognosis pada pasien diabetes maupun non diabetes. Golongan
Tiazolidindion (glitazon) menyebabkan retensi garam dan cairan serta meningkatkan
perburukan gagal jantung dan hospitlisasi, sehingga pemberiannya harus dihindarkan.
Metformin tidak direkomendasikan bagi pasien dengan gangguan ginjal atau hati
yang berat, karena risiko asidosis laktat, tetapi sampai saat ini merupakan terapi yang
paling sering digunakan dan aman bagi pasien gagal jantung lain. Obat anti diabetik
yang baru belum diketahui keamanannya bagi pasien gagal jantung.
Tabel 22 Rekomendasi tatalaksana gagal jantung pada pasien diabetes
37

Tabel 12 terapi gagal jantung pada penderita DM

h. Disfungsi Ginjal Dan Sindroma Kardiorenal


Laju fitrasi glomerulus akan menurun pada sebagian besar pasien gagal
jantung, terutama pada stadium gagal jantung yang lanjut ( advanced ). Fungsi
renal merupakan predictor independen yang kuat bagi prognosis pasien gagal
jantung. Penghambat renin-angiotensin-aldosteron (ACE/ ARB, MRA) biasanya
akan menyebabkan penurunan ringan laju filtrasi glomerulus, namun hal ini
jangan dijadikan penyebab penghentian terapi obat-obat tersebut, kecuali terjadi
penurunan yang sangat signifikan. Sebaliknya, bila terjadi penurunan laju filtrasi
glomerulus yang signifikan, makan harus dipikirkan adanya stenosis arteri
renalis.Hipotensi, hiponatremia dan dehidrasi juga dapat menyebabkan penurunan
fungsi ginjal. Hal lain yang juga dapat menurunkan fungsi ginjal, yang kurang
dipahami, adalah hipervolum, gagal jantung kanan dan kongesti vena ginajl.
Sedangkan obat-obatn yag dapat menyebabkan gangguan fungsi ginjal antara lain
NSAID, beberapa antibiotic (gentamicin, trimethoprim), digoxin,tiazid.
i. KOMORBIDITAS LAIN
a) Anemia dan defisiensi besi
Anemia, didefiniskan sebagai konsentrasi hemoglobin < 13 g/dL pada
pria dan < 12 g/dL pada perempuan, merupakan suatu kondisi yang sering
ditemukan pada gagal jantung. Kondisi ini lebih sering dijumpai pada usia
lanjut, perempuan dan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Anemia
berhubungan dengan status fungsional dan prognosis yang lebih buruk, serta
risiko rehospitalisasi yang lebih tinggi. Defisiensi besi dapat menyebabkan
38

disfungsi muscular dan anemia pada gagal jantung. Beberapa studi


menunjukan terapi dengan stimulan eritropoetin memberikan perbaikan status
fungsional pasien, akan tetapi hal ini masih dalam penelitian yang lebih lanjut.
b) Penyakit paru obstuktif kronis dan asma
PPOK dan asma dapat mengakibatkan kesulitan dalam mendiagnosa gagal
jantung terutama pada gagal jantung diastolik. Kondisi ini berhubungan erat
dengan prognosis dan status fungsional yang lebih buruk.Penyekat β
merupakan kontraindikasi pada asma yang sedang-berat tetapi tidak pada
PPOK.Penyekat β selektif (bisoprolol, metoprolol, nebivolol) lebih
dianjurkan. Kortikosteroid oral dapat menyebabkan retensi natrium dan cairan
dan akan memperburuk gagal jantung, tetapi hal ini tidak terjadi pada
pemberian secara inhalasi. PPOK juga menyebabkan perburukan prognosis.
c) Hiperlipidemia
Peningkatan LDL jarang terjadi pada gagal jantung sistolik. Pasien
agagal jantung sistolik lanjut, biasanya akan mmiliki kadar LDL yang sangat
rendah yang berhubungan dengan prognosis yang lebih buruk.
d) Hiperurisemia
Hiperurisemia dan gout sering terjadi pada gagal jantung dan biasanya
disebabkan karena pemberian diuretik yang berlebihan.Hiperurisemia
berhubungan dengan prognosis yang lebih buruk pada gagal jantung
sistolik.Allupurinol dapat digunakan untuk pencegahan gout walaupun dengan
tingkat keamanan yang belum jelas.Pada gout yang simtomatik, pemberian
kolkisin lebih baik daripada NSAID, tetapi pemberiannya pada pasien dengan
gangguan ginjal harus berhati-hati dan dapat menyebabkan diare.Dapat juga
diberikan kortikosteroid intra-artikular, tetapi pemberian kortikosteroid secara
sistemik tidak dianjurkan karena dapat menyebakan retensi garam dan cairan.
e) Kanker
Beberapa obat kemoterapi (antrasiklin dan trastuzumab) dapat
menyebabkan atau memperburuk disfungsi ventrikel kiri dan gagal jantung.
Deksrazon dapat memberikan proteksi jantung bagi pasien yang menerima
terapi antrasiklin. Evaluasi fraksi ejeksi pra dan paska kemoterapi merupakan
39

hal yang penting untuk dikerjakan.Pada pasien kemoterapi yang mengalami


gagal jantung maka kemoterapi harus dihentikan dan mendapat terapi standar
gagal jantung sebagaimana seharusnya.
f) Disfungsi erektil
Disfungsi erektil harus diterapi sebagaimana mestinya. Pemberian
penghambat fosfordiesterase V ( sildenafil ) bukan merupakan kontraindikasi,
terkecuali pada pasien yang mendapat nitrat rutin. Beberapa studi menunjukan
bahwa obat itu juga dapat efek hemodinamik yang menguntungkan bagi
pasien gagl jantung sistolik, namun pada gagal jantung diastolik, pemberian
obat ini harus berhati-hati, karena beberapa studi menyatakan bahwa obat ini
dapat menyebabkan gangguan pada LVOT ( Left Ventricle OutflowTract ).
40

BAB III

KESIMPULAN

Jantung merupakan suatu organ tubuh yang berfungsi untuk memompa darah keseluruh
tubuh agar perfusi jaringan tubuh tetap baik. Bila mana terjadi gangguan dalam struktur
maupun fungsi dari jantung yang dapat menimbulkan gangguan pompa jantung maka darah
yang di suplaynya pun menjadi terganggu sehingga kebutuhan perfusi organ tidak mampu
tercukupi dimana keadaan itu disebut sebagai gagal jantung.

Gagal jantung itu sendiri memiliki beberapa klasifikasi yang menurut NYHA dibagi
menjadi klas I, Klas II, klas III dan kelas IV dan menurut AHA sendiri lebih melihat tentang
risiko dan ada tidaknya penyakit structural beserta dengan gejalanya yang dibagi menjadi
empat juga yaitu A, B, C, D. Berdasarkan letaknya gagal jantung dapat mengenai jantung
kiri, kanan, maupun kiri dan kanan, dimana paling umum disebabkan oleh karena adanya
gagal jantung kiri terlebih dahulu yang selanjutnya menimbulkan bendungan pada pembuluh
darah paru sehingga dapat menimbulkan edem pulmonal dan akhirnya di ikuti dengan
terjadinya gagal jantung kanan. Dilihat dari onsetnya gagal jantung dibagi menjadi dua yaitu
gagal jantung akut dan gagal jantung kronis, dimana gagal jantung akut itu merupakan suatu
gejala gagal jantung yang pertama kali timbul pada pasien baru, atau perburukan keluhan
yang timbul tiba-tiba pada gagal jantung kronik pada pasien lama.

Untuk menegakkan dari diagnosis gagal jantung maka kita harus melakukan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Dimana pada dasarnya criteria diagnosis
gagal jantung itu sendiri harus memenuhi 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor menurut
klasifikasi Framingham dan khususnya pada gagal jantung kronik tentunya kita harus
mengetahui seberapa ejeksi yang masih mampu di ejeksikan oleh jantung yang dapat kita
nilai dengan modalitas ekokardiografi. Dari hasil pemeriksaan echo maka kita dapat
menentukan gagal jantung fraksi ejeksi menurun yang dimana ejeksinya ≤40% dan gagal
jantung fraksi ejeksi normal dengan ejeksi masih ≥50%.

You might also like