You are on page 1of 33

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Fraktur femur adalah hilangnya kontinuitas tulang femur tanpa disertai kerusakan
jaringan kulit yang dapat disebabkan oleh trauma langsung atau kondisi tertentu
(Muttaqin, 2011). Fraktur dapat di sebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk,
gerakan puntir mendadak, dan bahkan kontraksi otot eksterm (Smeltzer, 2012). Pada
umumnya pada pasien yang mengalami fraktur femur mengalami kesulitan gerak
ekstremitas atas, hal ini disebabkan akibat terputusnya suatu jaringan fragmen tulang,
selain terjadi defisit perawatan diri juga terjadi nyeri, hambatan mobilitas fisik, risiko
tinggi trauma (Muttaqin, 2012). Berdasarkan Hasil wawancara yang dilakukan pada
tanggal 3 Juli 2013 pukul 12.30 WIB kepada perawat Ruang Bougenville RSUD Nganjuk
di dapatkan 4 pasien post operasi fraktur femur H ke 2, di antaranya 2 pasien
mengeluhkan nyeri pada daerah luka bekas post operasi, namun di antara 2 pasien lainnya
tidak mampu memenuhi kebutuhan dirinya seperti tidak dapat mandi sendiri yang
meliputi membasuh keseluruhan tubuh, menyisir rambut, menggosok gigi, melakukan
perawatan kulit serta menggunakan tatarias karena keadaan tersebut menyebabkan
penampilan pasien terlihat lusuh dan kotor sehingga muncul masalah keperawatan defisit
perawatan diri.
Fraktur lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan dengan umur di bawah
45 tahun dan sering berhubungan dengan olahraga, pekerjaan atau luka yang disebabkan
oleh kecelakaan kendaraan bermotor (Lukman dan Nurma, 2009). Badan kesehatan dunia
(WHO) mencatat tahun 2009 terdapat lebih dari 7 juta orang meninggal dikarenakan
insiden kecelakaan dan sekitar 2 juta orang mengalami kecacatan fisik. Salah satu insiden
kecelakaan yang memiliki prevalensi cukup tinggi yakni insiden fraktur ekstremitas
bawah yakni sekitar 46,2% dari insiden kecelekaan yang terjadi. Fraktur merupakan suatu
keadaan dimana terjadi diistegritas tulang. Penyebab terbanyak adalah insiden kecelakaan,
tetapi faktor lain seperti proses degeneratif juga dapat berpengaruh terhadap kejadian
fraktur (Lukman, 2009). Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) oleh
Badan Penelitian dan Pengembangan Depkes RI tahun 2007 di Indonesia terjadi kasus
fraktur yang disebabkan oleh cedera antara lain karena jatuh, kecelakaan lalu lintas dan
trauma benda tajam / tumpul. Dari 45.987 peristiwa terjatuh yang mengalami fraktur
sebanyak 1.775 orang (3,8%), dari 20.829 kasus kecelakaan lalu lintas, yang mengalami
fraktur sebanyak 1.770 orang (8,5%), dari 14.127 trauma benda tajam/tumpul, yang
mengalami fraktur sebanyak 236 orang (1,7%). Data yang diperoleh dari Rekam Medis di

1
2

RSUD Nganjuk data kasus fraktur anggota gerak tahun 2009-2012 yaitu tahun 2009
terjadi sebanyak 456 kasus, tahun 2010 terjadi 522 kasus, tahun 2011 terjadi 399 kasus,
dan tahun 2012 terjadi 211 kasus (RSUD Nganjuk, 2012).
Pada kondisi trauma diperlukan gaya yang besar untuk mematahkan batang femur
pada orang dewasa. Kebanyakan fraktur ini terjadi pada pria muda yang mengalami
kecelakaan kendaraan bermotor atau mengalami jatuh dari ketinggian. Biasanya pasien ini
mengalami trauma multipel yang menyertainya (Helmi, 2012). Kerusakan fragmen tulang
femur menyebabkan hambatan mobilitas fisik sehingga pada pasien dengan fraktur femur
dilakukan imobilisasi. Karena pasien pada fraktur femur dilakukan imobilisasi maka
pasien tidak dapat memenuhi kebutuhan personal higiene sehingga pasien mengalami
defisit perawatan diri. Masalah keperawatan yang sering terjadi pada pasien fraktur
femur selain defisit perawatan diri yang berhubungan dengan kelemahan fisik ekstremitas
bawah diantaranya adalah nyeri akut yang berhubungan dengan kompresi saraf,
kerusakan neuromuskuloskeletal, pergerakan fragmen tulang, hambatan mobilitas fisik
yang berhubungan dengan respons nyeri, kerusakan neuromuskuloskeletal, pergerakan
fragmen tulang, risiko tinggi tehadap infeksi, kerusakan integritas kulit berhubungan
dengan tekanan, kerusakan sirkulasi, penurunan sensasi dibuktikan oleh
terdapatnyaluka/ulserasi, turgor kulit buruk, terdapat jaringan nekrotis (Muttaqin, 2011)
Untuk intervensi pada defisit perawatan diri pada fraktur femur ialah pada tindakan
mandiri mengkaji kemampuan dan tingakat penurunan dalam skala 0-4 untuk melakukan
ADL, menghindari apa yang tidak dapat dilakukan klien dan bantu jika perlu,
mendekatkan alat dan sarana yang dibutuhkan klien, menyadarkan tingkah laku/sugesti
tindakan pada perlindungan kelemahan, mempertahankan dukungan pola pikir,
mengizinkan klien melakukan tugas, memberi umpan balik positif untuk usahanya,
mengidentifikasi kebiasaan defekasi, menganjurkan minum dan meningkatkan aktivitas.
Dan untuk tindakan kolaborasi ialah pemberian supositoria dan pelunak feses/pencahar,
konsul ke dokter terapi okupasi (Muttaqin, 2011). Dari uraian diatas peneliti tertarik untuk
meneliti “Asuhan Keperawatan pada Sdr. “A” (28 tahun) dengan defisit perawatan diri
pada pre operasi fraktur femur di ruang Bougenville RSUD Nganjuk”.
B. TUJUAN PENULISAN
1. Tujuan Umum
Penulis mampu melakukan asuhan keperawatan pada pre operasi fraktur femur
secara komprehensif dengan proses keperawatan di ruang Bougenvile RSUD Nganjuk.
2. Tujuan Khusus
a. Mampu melakukan pengajian pada pasien pre operasi fraktur femur pada pasien
dengan defisit perawatan diri.
3

b. Mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada pasien pre operasi fraktur femur
dengan defisit perawatan diri.
c. Mampu merumuskan intervensi pada pasien pre operasi fraktur femur dengan defisit
perawatan diri.
d. Mampu melakukan rencana tindakan keperawatan pada pasien pre operasi fraktur
femur dengan defisit perawatan diri..
e. Mampu melaksanakan evaluasi tindakan keperawatan pada pasien pre operasi
fraktur femur dengan defisit perawatan diri.
C. PENGUMPULAN DATA
Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penyusunan asuhan
keperawatan pada pasien fraktur femur adalah :
1. Wawancara
Wawancara adalah pola komunikasi yang dilakukan untuk tujuan spesifik
dan difokuskan pada area dengan isi yang spesifik (Potter dan Perry, 2005).
2. Observasi
Observasi adalah kegiatan pemuatan perhatian terhadap sesuatu objek dengan
menggunakan seluruh indra (Suharsimi, 2006).
3. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik adalah mengukur tanda-tanda vital dan pengukuran lainnya
serta pemeriksaan semua bagian tubuh dengan menggunakan teknik inspeksi,
palpasi, perkusi, dan auskultasi (Potter dan Perry, 2005).
4. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik adalah pemeriksaan lanjutan yang dipesan oleh
dokter atau perawat yang biasanya berupa pemeriksaan laboratorium (Poter dan
Perry, 2005).

D. SISTEMATIKA PENULISAN
a. BAB I : Pendahuluan
Merupakan gambaran tentang isi studi kasus ini secara menyeluruh yang
terdiri dari latarbelakang, tujuan umum, tujuan khusus, metode pengumpulan
data, serta sistematika penulisan. Sehingga pembaca dapat memperoleh informasi
secara ringkas dari studi kasus.
b. BAB II : Tinjauan Dasar
Bab ini terdiri dari teori medis dan teori manajemen keperawatan. Pada
teori medis akan di jelaskan mengenai kerangka konsep berorientasi kepada
kebutuhan penulis, komponen yang biasa di tulis antara lain : definisi, etiologi,
4

klasifikasi, patofisiologi, manifestasi klinis, penatalaksanaan, pathways (WOC), dan


manajemen asuhan keperawatan.
c. BAB III : Pembahasan
Pada bab ini akan membahas kasus tentang pre operasi fraktur femur yang
berdasarkan pada teori dari sumber–sumber sesuai dengan masalah dan juga
hambatan–hambatan selama pengambilan kasus beserta alternatif
penyelesaiannya.
d. BAB IV: Penutup
Penulisan pada bab ini berisi kesimpulan dan saran. Kesimpulan
merupakan jawaban dari tujuan penulisan dan merupakan tanggapan dari
kesimpulan alternatif pemecahan masalah yang realistis dan operasional.
5

BAB II

KONSEP DASAR

A. Konsep Dasar
1. Pengertian
Fraktur femur adalah hilangnya kontinuitas tulang paha tanpa di sertai
kerusakan jaringan kulit yang dapat disebabkan oleh trauma langsung atau kondisi
tertentu, seperti degenerasi tulang (osteoporosis) dan tumor atau keganasan tulang
paha yang menyebabakan fraktur patologis (Muttaqin, 2012) .
Menurut Smeltzer (2002), Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan
ditentukan sesuai jenis dan luasnya. Demikian pula menurut Sjamsuhidayat (2005) ,
fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang
rawan yang umumnya di sebabkan oleh rudapaksa.
2. Etiologi
Fraktur di sebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan puntir
mendadak, dan bahkan kontraksi otot ekstrem(Smeltzer, 2002 ). Umumnya fraktur
femur di sebabkan oleh trauma di mana terdapat tekanan yang berlebihan pada
tulang. Fraktur cenderung terjadi pada laki – laki, biasanya fraktur terjadi pada
umur di bawah 45 tahun dan sering berhubungan dengan olahraga, pekerjaan,
atau luka yang di sebabakan oleh kecelakaan kendaraan bermotor (Lukman &
Nurna, 2011).
3. Klasifikasi fraktur
Menurut Padila (2012). Penampila fraktur dapat sangat bervariasi tetapi
untuk alasan yang praktis, di bagi menjadi beberapa, yaitu :
a. Berdasarkan sifat fraktur
1) Fraktur tertutup, bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang
dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih utuh)
tanpa komplikasi.
2) Fraktur terbuka, bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan
dunia luar karena adanya perlukaan kulit.
b. Berdasarkan komplit atau ketidakkomplitan fraktur.
1) Fraktur komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang
atau melalui kedua korteks tulang seperti terlihat pada foto.
2) Fraktur inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang
tulang seperti:
a) Hair line fraktur ( patah ketidak rambut).
6

b) Buckle atau torus fraktur, bila tidak terjadi lipatan dari satu korteks
dengan kompresi tulang spongiosa dibawahnya.
c) Green stick fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi korteks
lainnya yang terjadi pada tulang panjang.
c. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubunganya dengan mekanisme trauma.
1) Fraktur transversal : fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan
merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
2) Fraktur oblik : fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut
tehadap sumbu tulang dan merupakan dan merupakan akibat trauma
angulasi juga.
3) Fraktur spiral : Fraktur yang arah garis patanya berbentuk spiral yang
disebabkan trauma rotasi.
4) Fraktur kompresi : fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang
mendorong tulang ke arah permukaan lain.
5) Fraktur avulasi : fraktur yang di sebabkan karena trauma tarikan atau
traksi otot pada inersinya pada tulang.
4. Patofisiologi
Pada kondisi trauma, diperlukan gaya besar untuk mematahkan batang
femur individu dewasa. Kebanyakan fraktur ini terjadi pada pria muda yang
mengalami kecelakaan kendaraan bermotor atau jatuh dari ketinggian. Biasanya
klien mengalami trauma multiple yang menyertainya (Muttaqin, 2012)
Kerusakan fragmen tulang femur menyebabkan hambatan mobilitas fisik dan
diikuti dengan spasme otot paha yang menimbulkan deformitas khas pada paha,
yaitu pemendekan tungkai bawah. Apabila kondisi ini berlanjut tanpa dilakukan
intervensi yang optimal, akan menimbulkan risiko terjadinya malunion pada
tulang femur (Muttaqin, 2012)
Kondisi klinis fraktur femur menyebabkan berbagai masalah keperawatan
pada klien, meliputi respon nyeri hebat akibat kerusakan jaringan lunak dan
kompresi saraf, risiko tinggi trauma jaringan akibat kerusakan vaskular dengan
pembengkakan lokal yang suprakondilus, risiko syok hipovolemik sekunder
akibat cedera vaskular dengan perdarahan hebat, hambatan mobilitas fisik
sekunder akibat kerusakan fragmen tulang dan risiko tinggi infeksi sekunder
(Muttaqin, 2012)
5. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas,
pemendekan ekstremitas, krepitus, pembengkakan lokal, dan perubahan warna
7

(Smeltzer, 2002). Gejala umum fraktur menurut Reeves (2001) adalah rasa sakit,
pembengkakan, dan kelainan bentuk.
a. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidal
alamiah yang di rancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen
tulang.
b. Setelah terjadi fraktur, bagian–bagian yang tak dapat digunakan dan
cenderung bergerak secara tidak alamiah (gerakan luar biasa) bukannya tetap
rigid seperti normalnya. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau
tungkai menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ekstremitas yang
bisa diketahui dengan membandingkan ekstremitas normal. Ekstremitas tak
dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada
integritas tulang tempat melengketnya otot.
c. Pada fraktur tulang panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya
karena kontraksi otot yang melekat di atas dan di bawah tempat fraktu.
Fragmen sering saling melingkupi satu sama alin sampai 2,5 - 5 cm (1-2
inchi).
d. Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan
lainnya. Uji krepitus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan lunak yang
lebih berat.
e. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat
trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa baru sestelah
beberapa jam atau hari setelah cedera.
6. Komplikasi fraktur
a. Trauma syaraf
b. Trauma pembuluh darah
Indikasi ischemia post trauma: pain, pulseless, parasthesia, pale,
paralise: kompartemen syndrome : kumpulan gejala yang terrjadi karena
kerusakan akibat trauma dalam gejala yang terjadi karena kerusakan akibat
trauma dalam jangka waktu 6 jam pertama, kalau tidak di bersihkan maka
sampai terjadi nekrose (amputasi)
c. Komplikasi tulang :
1) Delayed union : penyatuan tulang lambat
2) Non union ( tidak bisa menyambung )
3) Mal union (salah sambung)
4) Kekakuan sendi
8

5) Nekrosis avaskuler
6) Osteoarthritis
7) Reflek simpatik distrofi
d. Stress pasca traumatik
e. Dapat timbul embolik lemak setelah patah tulang, terutama tulang
panjang.
7. Penatalaksanaan
Menurut (Smeltzer, 2002) Prinsip penanganan fraktur meliputi :
a. Reduksi fraktur adalah mengembalikan fragmen tulang ke posisinya (ujung-
ujungnya saling berhubungan) dengan manipulasi dan traksi manual.
b. Imobilisasi fraktur adalah Mempertahankan fragmen tulang dalam posisi
dan kesejajaran yang benar samapai terjadi penyatuan.
c. Mempertahankan dan mengembalikan fragmen tulang, dapat dilakukan
dengan mempertahankan reduksi dan mobilisasi.
9

8. Pathway

Manajemen Asuhan Keperawatan


1. Konsep Dasar Kebutuhan Personal Higiene
Menurut Tarwoto & Wartonah (2011) dan Alimul Aziz (2012), Konsep dasar
perawatan diri yaitu :
a. Pengertian
Personal hygiene berasal dari bahasa Yunani, yaitu personal yang artinya
perorangan adalah suatu tindakan untuk memelihara kebersihan dan kesehatan
seseorang untuk kesejahteraan fisik dan psikis.
b. Anatomi dan fisiologi kulit
Kulit merupakan organ tubuh yang paling besar yaitu sekitar 15-20 persen dari
berat badan. Kulit mempunyai tiga lapisan, yaitu epidermis, dermis, dan
subkutaneus.
10

1) Epidermis
Epidermis adalah lapisan tipis pada bagian terluar kulit dan langsung
berhubungan dengan dunia luar. Tersusun atas sel-sel tanduk (keratonosit)
dan sel melanosit.
2) Dermis
Lapisan dermis lebih tebal sekitar 1-4 mm berada di bawah epidermis. Pada
lapisan ini membentuk jaringan kompleks serabut sensorik yang sensitif
terhadap nyeri, sentuhan, dan temperature. Ada empat tipe utama dari
sensasi, yaitu nyeri, sentuhan, panas, dan dingin.
3) Subkutaneus
Lapisan ini merupakan lapisan khusus dari jaringan penghubung atau disebut
lapisan adipose karena mengandung lemak. Fungsi dari jaringan ini yaitu
untuk simpanan lemak, pencegahan trauma, dan pengaturan temperatur.
c. Kelenjar-kelenjar pada Kulit
Kulit mempunyai kelenjar-kelenjar seperti kelenjar keringat, kelenjar sebasea,
dan kelenjar mamae.
1) Kelenjar keringat
Hampir diseluruh kulit terdapat kelenjar keringat, kecuali pada kulit bagian
dasar kuku, batas bibir, glans penis, dan gendang telinga, kelenjar ini banyak
terdapat pada telapak tangan dan kaki. Kelenjar-kelenjar keringat dibagi
menjadi dua yaiutu kelenjar keringat ekrin dan apokrin. Kelenjar keringat
ekrin menyekresi air dan membantu pendinginan evaporatif tubuh untuk
mempertahankan temperatur tubuh, kelenjar ini erdapat diseluruh tubuh dan
lebih banyak pada area telapak tangan, telapak kaki, dan dahi. Kelenjar
apokrin merupakan kelenjar keringat khusus dan aktif mulai masa pubertass
dan terletak pada area khusus seperti pada aksila , areola payudara, dan
anogenital. Kelenjar ini memproduksi cairan yang tidak berbau dan akan
berbau jika berhubungan dengan bakteri.
2) Kelenjar sebasea
Kelenjar sebasea mengahasilkan sebum yang merupakan campuran lemak,
zat lilin, mimyak, dan pecahan sel yang berfungsi pelembut kulit dan bersifat
bakterisida. Klenjar ini bermuara pada folikel rambut pada area glans penis,
labium minus, dan kelenjar pada kelopak mata.
3) Kelenjar mamae
Merupakan kelenjar apokrin yang termodifikasi yang khusus menghasilka
susu. Kelenjar ini berperan dalam proses menyusui.
11

d. Fungsi Kulit
Kulit berperan dalam perlindungan terhadap ancaman dari luar tubuh,
homeostasis, sensasi, pengaturan temperature, keseimbangan cairan, prduksi
vitamin D, respon imun, dan fungsi komunikasi.
1) Proteksi
Kulit melindungi tubuh dari ancaman seperti invasi bakteri, panas, benda
asing, trauma, zat kimia, radiasi.
2) Sensasi
Stimulus dari luar akan diterima oleh reseptor-reseptor kulit sesuai dengan
jenisnya. Ujung reseptor dikulit selalu memonitor kondisi lingkungan.
Fungsi reseptor adalah mendeteksi sensasi suhu, nyeri, raba, dan tekanan
untuk dihantarkan ke susunan saraf pusat.
3) Homeostasis dan keseimbangan cairan
Stratum korneum yang merupakan lapisan paling luar dari epidermis
memiliki kemampuan untuk mengabsorpsi air dan mencegah pengeluaran air
dan elektrolit dari tubuh. Kulit juga sebagai media pengeluaran cairan atau
keringat melalui evaporasi atau insersible water loss.
4) Produksi vitamin D
Jika kulit terpapar sinar ultraviolet atau sinar matahari, vitamin D sangat
penting dalam pertumbuhan dan perkembangan tulang.
5) Pengaturan temperature tubuh
Pada keadaan lingkungan yang panas tubuh akan banyak mengeluarkan
keringat untuk melembabkan dan mendinginkan badan.
6) Komunikasi
Adanya reseptor-reseptor pada kulit yang mampu mendeteksi berbagai
stimulus sehingga kita dapat membedakan berbagai jenis sensasi. Perubahan
warna kulit dan perubahan ekspresi wajah memberikan informasi tertentu.
e. Jenis Personal Higiene
1) Berdasarkan waktu dan pelaksanaan
Berdasarkan waktu pelaksanaan, personel higiene dapat dibagi menjadi
empat jenis, diantaranya: Pertama, perawatan dini hari, merupakan
perawatan diri yang dilakukan pada waktu bangun dari tidur, untuk
melakukan tindakan, seperti persiapan dalam pengambilan bahan
pemeriksaan (urine atau feces). Kedua, perawatan pagi hari, perawatan yang
dilakukan setelah melakukan makan pagi dengan melakukan perawatan diri,
seperti melakukan pertolongan dalam pemenuhan kebutuhan eliminasi
(buang air besar dan kecil). Ketiga, perawatan siang hari, perawatan diri
12

yang dilakukan setelah melakukan berbagai tindakan pengobatan atau


pemeriksaan dan setelah makan siang. Keempat, perawatan menjelang tidur,
perawatan diri yang dilakukan pada saat menjelang tidur yang dilakukan
untuk mempersiapkan istirahat dn tidur malam agar tidur malam agar tidur
atau istirahat dalam keadaan tenang.
2) Berdasarkan tempat
a) Perawatan kulit kepala dan rambut.
b) Perawatan mata
c) Perawatan hidung.
d) Perawatan telinga.
e) Perawatan kuku kaki dan tangan.
f) Perawatan genitalia.
g) Perawatan kulit seluruh tubuh.
h) Perawatan tubuh secara keseluruhan.
f. Tujuan perawatan personal hygiene
1) Meningkatkan derajat kesehatan seseorang.
2) Memelihara kebersihan diri seseorang.
3) Memperbaiki personal hygiene yang kurang.
4) Pencegahan penyakit.
5) Meningkatkan percaya diri seseorang.
6) Menciptakan keindahan.
g. Faktor-faktor yang mempengaruhi personal hygiene
1) Citra tubuh
Gambaran individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi kebersihan diri.
Misalnya, karena adanya perubahan fisik sehingga individu tidak peduli
terhadap kebersihannya.
2) Praktik sosial
Pada anak-anak yang selalu dimanja dalam hal kebersihan diri, maka
kemungkinan akan terjadi perubahan pola personal higiene.
3) Status sosioekonomi
Personal hygiene memerlukan alat dan bahan seperti sabun, pasta gigi, sikat
gigi, sampo, dan alat mandi yang semuanya memerlukan uang untuk
menyediakannya.
4) Pengetahuan
Pengetahuan tentang personal higiene sangat penting karena pengetahuan
yang baik dapat meningkatkan kesehatan. Misalnya pada pasien penderita
dianetes melitusyang harus selalu menjaga kebersihan
13

5) Budaya
Di sebagian masyarakat, jika individu memiliki penyakit tertentu tidak boleh
dimandikan.
6) Kebiasaan seseorang
Ada kebiasaan orang yang menggunakan produk tertentu dalam perawatan
diri, seperti penggunaan sabun, sampo dan lain-lain.
7) Kondisi fisik
Pada keadaan sakit tentu kemampuan untuk merawat diri berkurang dan
perlu bantuan untuk melakukannya.
h. Dampak yang Sering Timbul pada Masalah Personal Higiene
1) Dampak fisik
Banyak gangguan kesehatan yang diderita seseorang karena tidak
terpeliharanya kebersihan perorangan denga baik. Gangguan fisik yang
sering terjadi adalah gangguan intregitas kulit, gangguan membran mukosa
mulut, infeksi pada mata dan telinga, serta gangguan fisik pada kuku.
2) Dampak psikososial
Masalah sosial yang berhubungan dengan personal hygiene adalah gangguan
kebutuhan rasa nyaman, kebutuhan akan dicintai dan mencintai, kebutuhan
harga diri, aktualisasi diri, dan gangguan interaksi sosial.
i. Pelaksanaan keperawatan
1) Cara merawat Kulit
Tindakan keperawatan dengan melakukan perawatan pada kulit
yang mengalami atau berisiko terjadi kerusakan jaringan lebih lanjut
khususnya pada daerah yang mengalami tekanan (tonjolan). Tujuannya
adalah mencegah dan mengatasi terjadinya luka dekubitus akibat tekanan
lama dan tidak hilang.
a) Alat dan Bahan :
(1) Baskom cuci
(2) Sabun
(3) Air
(4) Agen pembersih
(5) Balutan
(6) Pelindung kulit
(7) Pelindung kulit
(8) Plester
(9) Sarung tangan
14

b) Prosedur Kerja :
(1) Jelaskan prosedur pada pasien.
(2) Cuci tangan dan gunakan sarung tangan.
(3) Tutup pintu ruangan.
(4) Atur posisi pasien.
(5) Kaji luka/kulit tertekan dengan memperhatikan warna,
kelembapan, penampilan sekitar kulit, ukur diameter kulit, ukur
kedalaman.
(6) Cuci kulit sekitar luka dengan air hangat atau sabun cuci
secara menyeluruh.
(7) Perlahan-lahan keringkan kulit secara menyeluruh dan di sertai
dengan pijatan.
(8) Bersihkan luka secara menyeluruh dengan cairan normal atau
larutan pembersih, gunakan semprit irigasi luka pada luka
yang dalam.
(9) Setelah selesai berikan obat atau agen topikal.
(10) Catat hasil.
(11) Cuci tangan.
2) Cara memandikan Pasien di Tempat Tidur
Tindakan keperawatan dilakukan pada pasien yang tidak mampu
mandi secara sendiri dengan cara memandikan di tempat tidur.
Tujuannya adalah menjaga kebersihan tubuh, mengurangi infeksi akibat
kulit kotor, memperlancar sistem peredaran darah, dan menambah
kenyamanan pasien.
a) Alat dan Bahan :
(1) Baskom mandi dua buah, masing-masing berisi air dingin dan
air hangat.
(2) Pakaian pengganti.
(3) Kain penutup.
(4) Handuk, sarung tangan pengusap badan.
(5) Tempat untuk pakaian kotor.
(6) Sampiran.
(7) Sabun
b) Prosedur Kerja :
(1) Jelaskan prosedur pada pasien.
(2) Cuci tangan.
(3) Atur posisi pasien.
15

(4) Lakukan tindakan memandikan pasien yang diawali dengan


membentangkan handuk di bawah kepala, kemudian bersihkan
muka, telinga, dana leher dengan sarung tangan pengusap.
Keringkan dengan handuk.
(5) Kain penutup di turunkan, kedua tangan pasien di angkat dan
pindahkan handuk di atas dada pasien, lau bentangkan.
Kemudian, kembalikan kedua tangan ke posisi awal di atas
handuk, lalu basahi kedua tangan dengan air bersih. Keringkan
dengan handuk.
(6) Kedua tangan di angkat, handuk di pindahkan di sisi pasien,
bersihkan daerah dada dan perut, lalu keringkan dengan
handuk.
(7) Miringkan pasien ke kiri, handuk di bentangkan di bawah
punggung sampai glutea dan basahi punggung hingga glutea,
lalu keringkam dengan handuk. Selanjutnya, miringkan pasien
ke kanan dan lakukan hal yang sama. Kemudian, kembalikan
pasien pada posisi terlentang dan pasangkan pakaian dengan
rapi.
(8) Letakkan handuk di bawah lutut lalu bersihkan kaki. Kaki yang
paling jauh di dahulukan dan di keringkan dengan handuk.
(9) Ambil handuk dan letakkan di bawah glutea. Pakaian bawah
perut di buka, lalu bersihkan daerah lipatan paha dan genitalia.
Setelah selesai, pasang kembalikan pakaian dengan rapi.
(10) Cuci tangan.
3) Cara merawat Kuku
Tindakan keperawatn pada pasien yang tidak mampu merawat
kuku sendiri. Tujuannya adalah menjaga kebersihan kuku dan mencegah
timbulnya luka atau infeksi akibat garukan dari kuku.
a) Alat dan Bahan :
(1) Alat pemotong kuku
(2) Handuk
(3) Baskom berisi air hangat
(4) Bengkok
(5) Sabun
(6) Kapas
(7) Sikat Kuku
16

b) Prosedur Kerja :
(1) Jelaskan prosedur pada pasien,
(2) Cuci tangan.
(3) Atur posisi pasien dengan duduk atau tidur.
(4) Tentukan kuku yang akan di potong.
(5) Rendamkan kuku dengan air hangat kurang lebih 2 menit dan
lakukan sikat dengan beri sabun bila kotor.
(6) Keringkan dengan handuk.
(7) Letakkan tangan di atas bengkok dan lakukan pemotongan
kuku.
(8) Cuci tangan.
4) Cara Merawat Rambut
Tindakan keperawatan pada pasien yang tidak mampu memenuhi
kebutuhan perawatan diri dengan cara mencuci dan menyisir rambut.
Tujuannya adalah membersihkan kuman-kuman yang ada pada kulit
kepala, menambah rasa nyaman, membasmi kutu atau ketombe yang
melekat pada kulit, serta memperlancar sistem peredaran darah di bawah
kulit.
a) Alat dan Bahan :
(1) Handuk secukupnya
(2) Perlak atau pengalas
(3) Baskom berisi air hangat.
(4) Sampo atau sabun dalam tempatnya.
(5) Kasa dan kapas
(6) Sisir
(7) Bengkok
(8) Gayung
(9) Ember kosong.
b) Prosedur Kerja :
(1) Jelaskan prosedur pada pasien.
(2) Cuci tangan.
(3) Tutup jendela atau pasang sampiran.
(4) Kondisikan pasien dalam posisi tidur.
(5) Letakkan baskom di bawah tempat tidur tepat di bawah kepala
pasien.
(6) Pasang perlak atau pengalas di bawah kepala dan sambungkan
ke arah bagian baskom dengan pinggir di gulung.
17

(7) Tutup telinga dengan kapas.


(8) Tutup dada dengan handuk sampai ke leher.
(9) Kemudian, sisir rambut dan lakukan pencucian dengan air
hangat, selanjutnya gunakan sampo dan bilas dengan air hangta
sambil di pijat.
(10) Setelah selesai keringkan.
(11) Cuci tangan.
5) Cara merawat Mulut dan Gigi
Tindakan keperawatan pada pasien yang tidak mampu
mempertahankan kebersihan mulut dan gigi dengan cara membersihkan
serta menyikat gigi dan mulut secara teratur. Tujuan perawaatan ini
adalah mencegah infeksi pada mulut akibat kerusakan pada daerah gigi
dan mulut, membantu menambah nafsu makan, serta menjaga kebersihan
gigi dan mulut.
a) Alat dan Bahan :
(1) Handuk dan kain pengalas
(2) Gelas kumur berisi
(a) Air masak/Nacl
(b) Obat kumur
(c) Boraks gliserin
(3) Spatel lidah telah di bungkus dengan kain kasa.
(4) Kapas lidi
(5) Bengkok
(6) Kain kasa
(7) Pinset atau arteri klem
(8) Sikat gigi dan pasta gigi
b) Prosedur Kerja:
(1) Jelaskan prosedur kepada paaien.
(2) Cuci tangan.
(3) Atur posisi klien.
(4) Pasang handuk di bawah dagu dan pipi pasien.
(5) Ambil pinset dan bungkus dengan kain kasa yang berisi air
dan Nacl.
(6) Anjurkan pasien untuk membuka mulut dengan sudip lidah
bila pasien tidak sadar.
(7) Pembersihan di mulai dari dinding rongga mulut, gusi, gigi,
lidah, bibir dan bila sudah kotor letakkan di bengkok.
18

(8) Lakukan hingga bersih, setelah itu oleskan boraks gliserin.


(9) Untuk perawatn gigi, lakukan penyikatan dengan gerakan naik
turun dan bilas lalu keringkan.
(10) Cuci tangan.
6) Cara Vulva Higiene
Tindakan keperawatan pada pasien yang tidak mampu
membersihkan vulva sendiri. Tujuannya adalah mencegah terjadinya
infeksi pada vulva dan menjaga kebersihan vulva.
a) Alat dan Bahan:
(1) Kapas sublimat atau disinfektan
(2) Pinset
(3) Bengkok
(4) Pispot
(5) Tempat membersihkan (cebok) yang berisi larutan
(6) Disinfektan sesuai dengan kebutuhan
(7) Pengalas
(8) Sarung tangan
b) Prosedur Kerja:
(1) Jelaskan prosedur pada pasien.
(2) Cuci tangan.
(3) Atur posisi pasien dengan posisi dorsal recumbert
(4) Pasang pengalas dan pispot di letakkan di bawah glutea pasien.
(5) Gunakan sarung tangan.
(6) Lakukan tindakan perawatan kebersihan vulva dengan
meletakkan tangan kiri untuk membuka vulva dengan memakai
kapas sublimat dan tangan kanan menyiram vulva dengan
larutan disinfektan.
(7) Kemudian, ambil kapas sublimat dengan pinset, bersihkan vulva
dari atas ke bawah dan kapas kotor di buang ke bengkok.
Lakukan hingga bersih.
(8) Setelah selesai, ambil pispot dan atur posisi pasien.
(9) Cuci tangan.
19

2. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


a. Pengkajian
1) Identitas pasien
Fraktur cenderung terjadi pada laki-laki, biasanya fraktur terjadi pada umur di
bawah 45 tahun dan sering berhubungan dengan olahraga, pekerjaan, atau luka
yang disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor. Sedangkan pada orang
tua, perempuan lebih sering mengalami fraktur daripada laki-laki yang
berhubungan dengan meningkatnya insiden osteoporosis yang terkait dengan
perubahan hormone pada menopause (Lukman & Nurna, 2011).
2) Keluhan utama
Menurut Suratun dkk (2008) keluhan utama pada kasus fraktur adalah
keterbatasan aktivitas. Kebutuhan sehari-hari pasien masih dibantu seperti
mandi, menyisir rambut, menggosok gigi, melakukan perawatan kulit serta
menggunakan tatarias, gangguan sirkulasi, rasa nyeri dan gangguan
neurosensori. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang keterbatasan
aktivitas digunakan derajat kekuatan otot yang dapat ditentukan dengan
(Hidayat, 2006).
3) Riwayat kesehatan sekarang
Kapan timbul masalah, riwayat trauma, penyebab, gejala, timbul tiba-
tiba/perlahan, lokasi, obat yang diminum, dan cara penanggulangan (Suratun
dkk, 2008). Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari
fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap
klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya
bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena.
Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui
luka kecelakaan yang lain (Padila, 2012).
4) Riwayat kesehatan masa lalu
Menurut Suratun dkk (2008) kelainan muskuloskeletal (jatuh, infeksi, trauma
dan fraktur), cara penanggulangan, dan penyakit (diabetes melitus). Meunurut
Padila (2012) ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi petunjuk
berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit tertentu
seperti kanker tulang dan penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur patologis
yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka
dikaki sangat beresiko terjadinya osteomielitis akut maupun kronik dan juga
diabetes menghambat proses penyambuhan tulang.
20

5) Riwayat penyakit keluarga


Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah
satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang
serig terjadi pada bebarapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung
diturunkan secara genetik (Padila, 2012).
6) Riwayat psikososial
Reaksi emosional, citra tubuh, dan sistem pendukung (Suratun dkk, 2008).
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan peran
klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam
kehidupan sehari-hari baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat (Padila,
2012).
7) Pola-pola fungsi kesehatan
Menurut Padila (2012), pola-pola fungsi kesehatan meliputi :
a) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan pada
dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu
penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan
hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu
metabolisme kalsium, pengkomsumsian alkohol yang bisa mengganggu
keseimbangannya dan apakah klien melakukukan olah raga atau tidak.
b) Pola nutrisi dan metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-
harinya melebihi kalsium, zat besi, protein, vit C dan lainnya untuk
membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien
bisa membantu menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan
mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium
atau protein dan terpapar sinar matahari yang kurang merupakan faktor
predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga
obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien.
c) Pola tidur dan istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini
dapat megganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga.
Pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan,
kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur.
d) Pola aktifitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan
klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien menjadi berkurang dan
21

kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain seperti mandi,
menyisir rambut, menggosok gigi, melakukan perawatan kulit serta
menggunakan tatarias, . Hal lain yang pelu dikaji adalah bentuk aktivitas
klien terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan
beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding pekejaan yang lain.
e) Pola hubungan dan peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat.
Karena klien harus menjalani rawat inap.
f) Pola persepsi dan konsep diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan
kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk
melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang
salah.
g) Pola sensori dan kognitif
Pola klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal
fraktur, sedang pada indra yang lain tidak timbul gangguan. Begitu juga
pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa
nyeri akibat fraktur.
h) Pola reproduksi seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan
seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa
nyeri yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya
termasuk jumlah anak, lama perkawinannya.
i) Pola penanggulangan stress
Pada klien frakur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu
ketidakuatan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme
koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif.
j) Pola tata nilai dan keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan
baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena
nyeri dan keterbatasan gerak klien.
8) Pemeriksaan fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk
mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini
perlu untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana
spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih
mendalam (Padila, 2012).
22

a) Keadaan umum : baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda,


seperti :
(1) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis
tergantung pada keadaan klien.
(2) Kesakitan, keadaan penyakit : akut, kronik ringan, sedang, berat dan
pada kasus fraktur biasanya akut.
(3) Tanda-tanda vital tidak nomal karena ada gangguan baik fungsi
maupun bentuk.
b) Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
(1) Kepala
Pada pemeriksaan kepala tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik,
simetris, tidak ada penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
(2) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek
menelan ada.
(3) Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena tidak
terjadi perdarahan).
(4) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal.
(5) Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada perafasan cuping hidung.
(6) Mulut dan faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa
mulut tidak pucat.
(7) Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
(8) Paru
(a) Inspeksi
Pernafasan meningkat, regular atau tidaknya tergantung pada
riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru.
(b) Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
(c) Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada redup atau suara tambahan lainnya.
(d) Auskultasi
23

Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan


lainnya seperti stridor dan ronchi.
(9) Jantung
(a) Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung.
(b) Palpasi
Jika nyeri muncul nadi dapat meningkat.
(c) Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tidak ada mur-mur.
(10) Abdomen
(a) Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
(b) Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskular, hepar tidak teraba.
(c) Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
(d) Auskultasi
Peristaltik usus normal normal kurang lebih 20 kali/ menit.
(11) Sistem integumen
Terdapat eritema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak,
edema, nyeri tekan.
(12) Inguinal genetalia anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran limfe, tak ada kesulitan BAB.
c) Keadaan lokal
Menurut Muttaqin (2011) harus diperhitungkan keadaan proksimal serta
bagian distal terutama mengenai status neurovaskuler. Pemeriksaan
pada sistem muskuloskeletal adalah:
(1) Inspeksi
Pada fase awal cedera, perlu dikaji adanya keluhan nyeri lokal hebat
disertai perubahan nadi, perfusi yang tidak baik (akral dingin pada
sisi lesi), CRT >3 detk pada bagian distal kaki yang merupakan
respons terhadap pembengkakan pada bagian proksimal betis. Hal
ini merupakan tanda-tanda penting terjadinya sindrom
kompartemen yang harus dihindari perawat. Apabila tidak segera
dilakukan intervensi lebih dari 6 jam dalam batas waktu
kemempuan jaringan perifer, akan terjadi nekrosis jaringan distal.
Klien fraktur femur mengalami komplikasi delayed union, non-
24

union, dan mal-union. Kondisi yang paling sering ditemukan di


klinik adalah malunion tertama pada klien fraktur femur yang telah
lama dan mendapat intervensi dari dukun patah. Pada pemeriksaan
ini, akan ditemukan adanya pemendekan ekstermitas dan derajat
pemendekan akan lebih jelas dengan cara mengukur kedua sisi
tungkai dari spina iliaka ke maleolus.
(2) Palpasi
Adanya nyeri tekan (tenderness) dan krepitasi pada daerah paha.
(3) Pergerakan terutama lingkup gerak
Hasil pemeriksaan yang didapat adalah adanya
gangguan/keterbatasan gerak tungkai. Didapatkan ketidakmampuan
menggerakkan kaki dan penurunan kekuatan otot ekstremitas bawah
dalam melakukan pergerakan. Karena timbulnya nyeri dan
keterbatasan gerak, semua bentuk kegiatan klienmenjadi berkurang
dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain.
9) Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Lukman & Nurna (2011) :
a) Pemeriksaan rontgen: menentukan lokasi/luasnya fraktur/trauma, dan jenis
fraktur.
b) Hitung darah lengkap : Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau
menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada
multipel trauma). Peningkatan jumlah SDP adalah proses stres normal
setelah trauma.
c) Kreatinin : trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.
d) Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfuse
multiple atau cedera hati.
e) Scan tulang, tomogram, CT Scan/MRI : memperlihatkan tingkat keparahan
fraktur, juga dapat mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
f) Arteriogram : dilakukan bila dicurigai adanya kerusakan vascular.
a. Diagnosa Keperawatan
1) Nyeri akut yang berhubungan dengan kompresi saraf, kerusakan
neuromuskuloskeletal, pergerakan fragmen tulang.
2) Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan respons nyeri, kerusakan
neuromuskuloskeletal, pergerakan fragmen tulang.
3) Defisit perawatan diri yang berhubungan dengan kelemahan fisik ekstremitas
bawah.
4) Risiko tinggi tehadap infeksi.
25

5) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tekanan, kerusakan sirkulasi,


penurunan sensasi dibuktikan oleh terdapatnyaluka/ulserasi, turgor kulit buruk,
terdapat jaringan nekrotis.
26

BAB III

PEMBAHASAN

Pembahasan merupakan bagian dari studi kasus yang akan membahas hambatan dan
keberhasilan selama melakukan asuhan keperawatan pada pasien. Hambatan tersebut
menyangkut kesenjangan antara tinjauan pustaka dengan tinjauan kasus.
Pada pembahasan kasus ini, penulis akan menguraikan kesenjangan yang ditemukan
antara tinjauan pustaka dan tinjauan nyata yang dilaksanakan penulis dalam memberikan
asuhan keperawatan pada Sdr. “A” (28 tahun) dengan defisit perawatan diri pada fraktur femur
di ruang Bougenvile RSUD Nganjuk, selama 3 hari yang dimulai tanggal 04 – 06 September
2014, sehingga dapat diketahui sejauh mana keberhasilan proses asuhan keperawatan yang
telah dilaksanakan. Kesenjangan tersebut dilihat dengan memperlihatkan aspek – aspek
tahapan keperawatan dimulai dari tahap pengkajian, diagnosa, intervensi, implementasi
sampai pada tahap evaluasi keperawatan.
A. Pengkajian
Berdasarkan hasil pengkajian pada Sdr. A didapatkan jenis kelamin pasien perempuan.
Menurut teori Lukman & Nurna (2011) Fraktur cenderung terjadi pada laki-laki. Sehingga
penulis menyimpulkan pada kasus fraktur dapat dialami oleh siapapun tanpa memandang
jenis kelamin.
Pada pemeriksaan tanda-tanda vital Sdr. “A” didapatkan frekuensi napas normal dan
suhu tubuh normal. Pada pemeriksaan fisik di integumen tidak didapatkan odema dan
peningkatan suhu tubuh pada daerah fraktur, CRT Ny. “A” < 2 detik, dan akral hangat.
Sedangkan menurut Padila (2012) pada penderita fraktur femur terjadi peningkatan
frekuensi napas, peningkatan suhu tubuh dan pada pemeriksaan integumen didapatkan
odema, peningkatan suhu tubuh pada daerah fraktur, akral dingin dan CRT >2 detik.
Sehingga dapat disimpulkan oleh penulis gangguan pada pemeriksaan fisik tidak muncul
pada Ny. A saat dilakukan pemeriksaan, dibuktikan dengan tidak adanya peningkatan
frekuensi napas dan suhu serta odema pada daerah fraktur, akral hangat, dan CRT <2
detik, hal tersebut dikarenakan pasien tidak disertai adanya penyakit penyulit paru yang
dialami pasien sehingga frekuensi normal. Peningkatan suhu dan odema tidak terjadi
karena pasien tidak sampai mengalami infeksi pada fraktur femur yang dialami, pasien
tidak mengalami pendarahan yang hebat sehingga CRT pada Sdr. “A” normal, serta akral
hangat. Dimana akral dingin dan CRT > 2 detik merupakan salah satu akibat dari
perdarahan.
Pada pemeriksaan penunjang Sdr. “A” didapatkan nilai normal yaitu 12,6 g/dL
sedangkan pada tinjauan teori penderita fraktur femur terjadi penurunan hemoglobin.
Penulis menyimpulkan gangguan pada pemeriksaan penunjang tidak terjadi karena pasien
27

tidak mengalami perdarahan hebat, dimana penurunan hemoglobin merupakan akibat dari
perdarahan hebat.
B. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan pada fraktur femur menurut Muttaqin (2011) ada 5 diagnosa,
yaitu :
1. Nyeri akut yang berhubungan dengan kompresi saraf, kerusakan neuromuskuloskeletal,
pergerakan fragmen tulang.
2. Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan respons nyeri, kerusakan
neuromuskuloskeletal, pergerakan fragmen tulang.
3. Defisit perawatan diri yang berhubungan dengan kelemahan fisik ekstremitas bawah.
4. Risiko tinggi tehadap infeksi
5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tekanan, kerusakan sirkulasi,
penurunan sensasi dibuktikan oleh terdapatnyaluka/ulserasi, turgor kulit buruk,
terdapat jaringan nekrotis.
Hasil pengkajian Sdr. “A” (28 tahun) tanggal 04-06 September 2014 pukul 08.30
WIB di Ruang Bougenvile RSUD Nganjuk didapatkan diagnosa yang muncul yaitu :
1. Nyeri akut berhubungan dengan kompresi saraf, kerusakan neuromuskuloskeletal,
pergerakan fragmen tulang. Penulis mengambil diagnosa ini karena pasien
mengeluhkan nyeri pada kaki sebelah kanan, nyeri seperti ditusuk-tusuk, skala nyeri 6,
nyeri sedang, frekuensi nyeri sering. Hal tersebut di dukung dengan data objektif dari
pasien antara lain keadaan umum lemah, wajah kadang terlihat menyeringai, tampak
adanya deformitas dan kontraktur pada ekstremitas bawah kanan, pergerakan terbatas,
pasien fraktur femur.
2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan respon nyeri, kerusakan
neuromuskuloskeletal, pergerakan fragmen tulang. Penulis mengambil diagnosa ini
karena pasien mengatakan aktivitasnya hanya terbaring ditempat tidur. Hal tersebut di
dukung dengan data objektif dari pasien antara lain keadaan umum lemah, pasien
fraktur femur, pasien bedrest, adanya kontraktur pada sendi ekstremitas bawah,
penurunan kekuatan otot pada ekstremitas bawah, kebutuhan pasien dibantu oleh
keluarga.
3. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan fisik ekstremitas bawah. Penulis
mengambil diagnosa ini karena Pasien mengatakan badan terasa tidak nyaman. Hal
tersebut di dukung dengan data objektif dari pasien antara lain keadaan umum lemah,
Kesadaran composmentis, pasien hanya bed rest di tempat tidur, ADL Pasien dibantu
perawat dan keluarga, kulit pasien tampak kotor, mulut tampak kotor, rambut kotor,
berminyak, pasien tidak memotong kukunya.
28

Diagnosa keperawatan yang ada di tinjauan teori tetapi tidak muncul dalam
tinjauan kasus yaitu :
1. Risiko tinggi tehadap infeksi. Penulis tidak mengambil diagnosa ini karena pada
pemeriksaan fisik tidak di dapatkan faktor pendukung dari risiko tinggi infeksi seperti
peningkatan suhu tubuh pada daerah fraktur, peningkatan leukosit dan odema.
2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tekanan, kerusakan sirkulasi,
penurunan sensasi dibuktikan oleh terdapatnya luka/ulserasi, turgor kulit buruk,
terdapat jaringan nekrotis. Penulis tidak mengambil diagnosa ini karena pada
pemeriksaan fisik tidak di dapatkan faktor pendukung dari kerusakan integritas kulit
seperti adanya luka, perdarahan, turgor kulit, adanya jaringan nekrotis.
C. Perencanaan keperawatan
Setelah penulis menemukan diagnosa keperawatan yang muncul pada tinjauan kasus,
maka penulis kemudian membuat intervensi asuhan keperawatan sesuai prioritas masalah
yang dialami pasien. Dalam intervensi keperawatan penulis mengacu tinjauan pustaka
yang disesuaikan dengan keadaan pasien di ruangan, sedangkan urutan diagnosa
keperawatan penulis sesuaikan dengan prioritas masalah yang ditemukan berdasarkan
masalah aktual yang sering dikeluhkan pasien.
Pada rencana yang ditegakkan pada kasus nyeri akut yaitu : Kaji nyeri dengan skala
0-4, lakukan manajemen nyeri keperawatan, atur imobilisasi pada paha, lakukan
pemasangan traksi kuli secara sistematis, manajemen lingkungan: lingkungan tenang,
batasi pengunjung, dan istirahatkan klien, ajarkan teknik relaksasi pernapasan dalam ketika
nyeri muncul, ajarkan teknik distraksi pada saat nyeri, lakukan manajemen sentuhan,
berikan kesempatan waktu istirahat jika terasa nyeri dan berikan posisi yang nyaman,
misalnya waktu tidur, bagian belakangnya diberi bantal kecil, kolaborasi pemberian
analgetik. Menurut Muttaqien (2011) rencana untuk diagnosa nyeri akut yaitu : Kaji nyeri
dengan skala 0-4, lakukan manajemen nyeri keperawatan, atur imobilisasi pada paha,
lakukan pemasangan traksi kuli secara sistematis, manajemen lingkungan: lingkungan
tenang, batasi pengunjung, dan istirahatkan klien, ajarkan teknik relaksasi pernapasan
dalam ketika nyeri muncul, ajarkan teknik distraksi pada saat nyeri, lakukan manajemen
sentuhan, berikan kesempatan waktu istirahat jika terasa nyeri dan berikan posisi yang
nyaman, misalnya waktu tidur, bagian belakangnya diberi bantal kecil, kolaborasi
pemberian analgetik, pemasangan traksi tulang, operasi untuk pemasangan fiksasi interna.
Pada rencana yang ditegakkan pada kasus hambatan mobilitas fisik yaitu : Kaji
mobilitas yang ada dan observasi peningkatan kerusakan . kaji secara teratur fungsi
motorik, atur posisi imobilisasi pada paha, ajarkan klien untuk melakukan latihan gerak
aktif pada ekstremitas yang tidak sakit, bantu klien melakukan latihan ROM, perawatan
diri sesuai toleransi, kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian terapi. Menurut
29

Muttaqien (2011) rencana untuk diagnosa hambatan mobilitas fisik yaitu : Kaji mobilitas
yang ada dan observasi peningkatan kerusakan . kaji secara teratur fungsi motorik, atur
posisi imobilisasi pada paha, ajarkan klien untuk melakukan latihan gerak aktif pada
ekstremitas yang tidak sakit, bantu klien melakukan latihan ROM, perawatan diri sesuai
toleransi, kolaborasi dengan ahli fisioterapiuntuk latihan fisik klien.
Pada rencana yang ditegakkan pada kasus defisit perawatan diri yaitu : Kaji
kemampuan dan tingakat penurunan dalam skala 0-4 untuk melakukan ADL, hindari apa
yang tidak dapat dilakukan klien dan bantu jika perlu, dekatkan alat dan sarana yang
dibutuhkan klien, sadarkan tingkah laku/sugesti tindakan pada perlindungan kelemahan.
Pertahankan dukungan pola pikir, izinkan klien melakukan tugas, beri umpan balik positif
untuk usahanya, identifikasi kebiasaan defekasi. Anjurkan minum dan tingkatkan
aktivitas, kolaborasi dalam pemberian supositoria dan pelunak feses/pencahar. Menurut
Muttaqien (2011) rencana untuk diagnosa defisit perawatan diri yaitu : Kaji kemampuan
dan tingakat penurunan dalam skala 0-4 untuk melakukan ADL, hindari apa yang tidak
dapat dilakukan klien dan bantu jika perlu, dekatkan alat dan sarana yang dibutuhkan
klien, sadarkan tingkah laku/sugesti tindakan pada perlindungan kelemahan. Pertahankan
dukungan pola pikir, izinkan klien melakukan tugas, beri umpan balik positif untuk
usahanya, identifikasi kebiasaan defekasi. Anjurkan minum dan tingkatkan aktivitas,
kolaborasi dalam pemberian supositoria dan pelunak feses/pencahar, konsul ke dokter
terapi okupasi.
D. Pelaksanaan keperawatan
Pada tahap implementasi keperawatan tanggal 04-06 September 2014 penulis tidak
mengalami masalah ketika melakukan implementasi kepada pasien. Dalam pelaksanaan
asuhan keperawtan pasien dan keluarga pasien bersikap kooperatif dengan perawat,
sehingga hal itu memudahkan perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan pada
pasien. Dalam implementasi keperawatan penulis sesuaikan dengan intervensi yang telah
di buat sebelumnya.
Pelaksanaan untuk diagnosa nyeri akut berhubungan dengan kompresi saraf,
kerusakan neuromuskuloskeletal, pergerakan fragmen tulang yaitu :
1. Mengobservasi skala nyeri, lokasi, karakterisik serta frekuensi nyeri
2. Memberikan lingkungan yang tenang
3. Mengatur posisi yang nyaman untuk pasien dan mobilisasi.
4. Mengajarkan teknik managemen nyeri yaitu relaksasi.
5. Memberikan penjelasan tentang penyebab nyeri.
6. Mengobservasi tanda-tanda vital.
7. Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian terapi.
30

Dari uraian diatas penulis menyimpulkan tindakan diatas belum memenuhi


perencanaan yang sebelumnya sudah dibuat oleh penulis yaitu penulis tidak melakukan
pemasangan traksi kuli secara sistemis hal tersebut dikarenakan belum adanya fasilitas
dan bimbingan dari rumah sakit dalam tindakan tersebut.
Implementasi untuk diagnosa hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan respon
nyeri, kerusakan neuromuskuloskeletal, pergerakan fragmen tulang yaitu :
1. Mengobservasi mobilitas pasien dan fungsi motorik pasien
2. Mengatur posisi imobilitas pada kaki kanan pasien
3. Membantu dan mengajarkan pasien dalam melakukan ROM pasif.
4. Memberikan penjelasan pada pasien pentingnya latihan ROM secara teratur
5. Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian terapi
Dari uraian diatas penulis menyimpulkan tindakan diatas belum memenuhi
perencanaan yang sebelumnya sudah dibuat oleh penulis yaitu penulis tidak melakukan
kolaborasi dengan ahli fisioterapitis medis dalam pemberian terapi hal tersebut
dikarenakan belum adanya fasilitas dan bimbingan dari rumah sakit dalam tindakan
tersebut.
Implementasi untuk diagnosa defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan
fisik ekstremitas bawah yaitu :
1. Mengobservasi tingkat kemampuan pasien dalam memenuhi ADL pasien.
2. Menghindarkan segala sesuatu yang tidak dapat dilakukan pasien.
3. Mendekatkan alat dan prasana yang dibutuhkan pasien.
4. Membantu pasien dalam membersihkan dan merapikan rambut
5. Membantu memenuhi ADL pasien
6. Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian terapi
Dari uraian diatas penulis menyimpulkan tindakan diatas sudah memenuhi
perencanaan yang sebelumnya sudah dibuat oleh penulis. Terbukti dengan tindakan diatas
masalah defisit perawatan diri dapat teratasi.
E. Evaluasi keperawatan
Setelah penulis melakukan tindakan keperawatan maka langkah terakhir dari proses
keperawatan adalah mengevaluasi sejauh mana keberhasilan intervensi dan implementasi
yang telah diberikan kepada psien.
Pada diagnosa nyeri akut berhubungan dengan kompresi saraf, kerusakan
neuromuskuloskeletal, pergerakan fragmen tulang, evaluasi yang didapatkan pada hari
ketiga 07 September 2014 masalah nyeri akut dianggap teratasi sebagian dari proses
keperawatan yang dilakukan. Hal ini dibuktikan dengan tercapainya kriteria evaluasi
diantaranya nyeri pada kaki kanan berkurang, skala nyeri berkurang menjadi 3, nyeri
ringan, keadaan umum cukup, wajah rileks. Berdasarkan perencanaan keperawatan
31

Muttaqien, 2011 pada hari ketiga masalah nyeri akut dapat teratasi. Hal ini tidak sama
antara fakta dimana masalah teratasi sebagian pada hari ketiga, dapat disimpulkan nyeri
akut memerlukan waktu lebih dari 3x24 jam dalam mengatasinya dikarenakan beberapa
faktor diantaranya tidak semua rencana keperawatan dilakukan dalam tindakan seperti
melakukan pemasangan traksi kuli secara sistemis sehingga berpengaruh terhadap
evaluasi pasien.
Pada diagnosa hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan respon nyeri,
kerusakan neuromuskuloskeletal, pergerakan fragmen tulang, evaluasi yang didapatkan
pada hari ketiga 07 September 2014 masalah hambatan mobilitas fisik dianggap teratasi
sebagian dari proses keperawatan yang dilakukan. Hal ini dibuktikan dengan tercapainya
sebagian kriteria evaluasi seperti aktivitas pasien masih terbaring ditempat tidur, keadaan
umum cukup, pasien dapat gerak ROM aktif pada daerah yang tidak fraktur, pasien
mengikuti latihan dengan baik, kebutuhan ADL pasien hanya sebagian yang dibantu
keluarga. Menurut Muttaqien, 2011 pada hari ketiga masalah hambatan mobilitas fisik
dapat teratasi. Hal ini tidak sama antara fakta dimana masalah teratasi sebagian pada hari
ketiga, dapat disimpulkan hambatan mobilitas fisik memerlukan waktu lebih dari 3x24
jam dalam mengatasinya dikarenakan beberapa faktor diantaranya tidak semua rencana
keperawatan dilakukan dalam tindakan seperti kolaborasi dengan ahli fisioterapi medis
dalam pemberian terapi sehingga berpengaruh terhadap evaluasi pasien.
Pada diagnosa Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan fisik
ekstremitas bawah, evaluasi yang didapatkan pada hari ketiga 07 September 2014 masalah
defisit perawatan diri dianggap teratasi dari proses keperawatan yang dilakukan. Hal ini
dibuktikan pasien nyaman dengan badannya, keadaan umum cukup, kulit pasien bersih,
mulut bersih, rambut bersih dan kuku sudah dipotong. Berdasarkan perencanaan
keperawatan Muttaqien, 2011 pada hari kedua masalah defisit perawatan diri dapat
teratasi. Hal ini sama antara fakta dimana masalah teratasi sebagian pada hari kedua,
ditandai dengan keadaan umum pasien cukup, kulit pasien bersih, mulut bersih, rambut
bersih dan kuku sudah dipotong.
.
32

BAB IV

PENUTUP

Setelah penulis melakukan Asuhan Keperawatan Sdr. “A” (28 tahun) dengan defisit
perawatan diri pada fraktur femur di Ruang Bougenvile RSUD Nganjuk, maka pada bab ini
dapat ditarik kesimpulan dan saran sebagai berikut :
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil Asuhan Keperawatan Sdr. “A” (28 tahun) dengan defisit perawatan
diri pada fraktur femur di Ruang Bougenvile RSUD Nganjuk dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut :
1. Pengkajian
Sdr. “A” (28 tahun) mengalami masalah defisit perawatan diri dengan keadaan umum
lemah, pasien hanya bed rest di tempat tidur, ADL Pasien dibantu perawat dan
keluarga, kulit pasien tampak kotor, mulut tampak kotor, rambut kotor, berminyak,
pasien tidak memotong kukunya.

2. Diagnosa Keperawatan
Didapatkan 3 diagnosa keperawatan pada Sdr. “A” (28 tahun) yaitu Nyeri akut
berhubungan dengan kompresi saraf, kerusakan neuromuskuloskeletal, pergerakan
fragmen tulang, hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan respon nyeri, kerusakan
neuromuskuloskeletal, pergerakan fragmen tulang, dan defisit perawatan diri
berhubungan dengan kelemahan fisik ekstremitas bawah.
3. Intervensi Keperawatan
Sdr. “A” dengan defisit perawatan diri direncanakan dengan kaji kemampuan dan
tingakat penurunan dalam skala 0-4 untuk melakukan ADL, hindari apa yang tidak
dapat dilakukan klien dan bantu jika perlu, dekatkan alat dan sarana yang dibutuhkan
klien, sadarkan tingkah laku/sugesti tindakan pada perlindungan kelemahan.
Pertahankan dukungan pola pikir, izinkan klien melakukan tugas, beri umpan balik
positif untuk usahanya, identifikasi kebiasaan defekasi. Anjurkan minum dan
tingkatkan aktivitas, kolaborasi dalam pemberian supositoria dan pelunak
feses/pencahar.
4. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan dilaksanakan berdasarkan perencanaan keperawatan
yaitu selama 3x24 jam, sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan.
1. Evaluasi Keperawatan
Setelah 3x24 jam melakukan asuhan keperawatan pada 07 September 2014 pukul
14.00 WIB dilakukan evaluasi dan didapatkan hasil masalah teratasi.
33

B. Saran
Setelah melakukan Asuhan Keperawatan Sdr. “A” (28 tahun) dengan defisit
perawatan diri pada Pre operasi fraktur femur di Ruang Bougenvile RSUD Nganjuk,
maka penulis memberikan saran kepada :

1. Lahan Praktik
a. Agar meningkatkan kerja sama antar tim kesehatan atau pihak terkait lainnya guna
memberikan mutu pelayanan kesehatan yang berkualitas dan meningkatkan fasilitas
sesuai standar pelayanan kesehatan.
2. Institusi Pendidikan
a. Agar lebih melengkapi literatur tentang ilmu keperawatan terbaru sehingga
mahasiswa tidak tertinggal dalam pengetahuan dan teknologi yang mutakhir.
b. Agar staf pengajar lebih meningkatkan kualitas bimbingan dan mampu membuka
wawasan pengetahuan mahasiswa.
3. Penulis
Agar meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam memberikan asuhan
keperawatan khususnya pada kasus fraktur femur.
4. Pasien
a. Meningkatkan pengetahuan agar pasien mematuhi anjuran yang telah diinstruksikan
oleh dokter dan tenaga medis lainnya.
b. Pemberian Health Education agar pasien sering memeriksakan kesehatannya ke
pusat pelayanan kesehatan secara rutin.
5. Keluarga Pasien
Agar selalu memberikan dukungan baik moral maupun spiritual pada pasien dan
turut serta dalam mendukung perawatan saat dirumah.

You might also like