You are on page 1of 16

1

BAB I

1. PENDAHULUAN

Stunting didefinisikan sebagai indeks tinggi badan menurut umur (TB/U)


kurang dari minus dua standar deviasi (-2 SD) atau dibawah rata-rata standar yang
ada (ACC/SCN, 2000). Stunting pada anak merupakan hasil jangka panjang
konsumsi kronis diet berkualitas rendah yang dikombinasikan dengan morbiditas,
penyakit infeksi, dan masalah lingkungan (Semba, et al., 2008).

Menurut UNICEF, tahun 2011 ada 165 juta (26%) balita dengan stunting di
seluruh dunia. Indonesia termasuk dalam 5 negara dengan angka balita stunting
tertinggi yaitu ada 7,5 juta balita (UNICEF, 2013). Berdasarkan hasil Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, prevalensi pendek secara nasional adalah
37,2%, yang berarti terjadi peningkatan dibandingkan tahun 2010 (35,6%) dan 2007
(36,8%) (Kemenkes, 2013). Prevalensi stunting di Indonesia lebih tinggi daripada
negara-negara lain di Asia Tenggara, seperti Myanmar (35%), Vietnam (23%), dan
Thailand (16%) (Millennium Challenga Account Indonesia, 2014).

Data pemantauan status gizi nasional terakhir tahun 2016 menyebutkan daerah
di Jawa Timur dengan stunting tinggi atau prevalensi lebih 40% hanya Kabupaten
Sampang, yakni sebesar 44 persen. Sedangkan lima daerah lainnya, yakni Jember,
Sumenep, dan Bangkalan dalam kategori persentase sedang, rentang antara 30 s.d.
39,2 persen. "Jember sebesar 39,2 persen, Sumenep 32,5 persen dan Bangkalan
sebesar 32,1 persen," ujar Benny. Dua daerah lain, yakni Kabupaten Probolinggo
dan Lamongan masuk kategori ringan, yakni dalam rentang 20-29 persen.
Probolinggo tercata sebesar 25,5 persen dan Lamongan 25,2 persen.

di Jawa Timur daerah yang bervalensi sedang sebanyak 8 kabupaten/kota.


Selain Jember, Sumenep, dan Bangkalan, juga Bondowoso (34.6%), Pamekasan
(33.2%), Lumajang (30.6%) dan Bojonegoro (30.1 %). Sementara, untuk wilayah
2

perkotaan prevalensi sedang hanya di Kota Batu (32.7 %). "Daerah yang
mengalami masalah prevalensi stunting ringan sebanyak 23 kabupaten/kota.
Tercatat enam kabupaten tidak bermasalah dengan stunting. Daerah-daerah adalah
Kota Mojokerto (11.9%), Blitar (12 %), Madiun (14.7%). Juga Kabupaten Gresik
(17.6 %), Jombang (19.2 %), dan Blitar (19.7) (PSG 2016)

Angka kasus stunting pada 2015 di Kota Madiun mencapai 1.504 anak atau
17,46 persen. Jumlah tersebut menurun pada 2016 menjadi 1.345 anak atau 16,61
persen dan di tahun 2017 menurun lagi hingga tersisa 14,72 persen. Pada tahun
2018, hingga bulan ini tercatat tinggal 855 anak atau 9,79 persen kasus anak yang
tumbuh kembangnya di bawah normal (kominfo jatim 2018).

Pola pengasuhan, pelayanan kesehatan, dan Pola pengasuhan berupa


pemberian ASI eksklusif turut berkontribusi dalam kejadian stunting (Oktavia,
2011). Selanjutnya, status imunisasi pada anak adalah salah satu indikator kontak
dengan pelayanan kesehatan, berdasarkan penelitian Neldawati (2006) status
imunisasi memiliki hubungan signifikan terhadap indeks status gizi TB/U. Hal
senada juga dipaparkan dalam penelitian Milman, et al. (2005) dan Taguri, et al.
(2007) bahwa status imunisasi memiliki hubungan signifikan terhadap kejadian
stunting pada anak < 5 tahun.

Menurut World Health Organization (2001) pemberian ASI kepada bayi


memberikan kontribusi pada status gizi dan kesehatan bayi. Semua zat gizi yang
dibutuhkan bayi pada enam bulan pertama kehidupannya dapat dipenuhi dari ASI,
dan ASI dapat memenuhi setengah dari kebutuhan zat gizi bayi umur 7-12 bulan.
Pada tahun kedua kehidupan bayi, ASI menyumbang sepertiga zat gizi yang
dibutuhkan. Tidak diragukan lagi, bahwa ASI mengandung zat imunitas yang
melindungi bayi dari penyakit infeksi. Efek perlindungan tersebut lebih besar pada
enam bulan pertama umur bayi.

Pemberian ASI juga berhubungan dengan pertumbuhan panjang badan anak.


Durasi menyusui positif berhubungan dengan pertumbuhan panjang, semakin lama
3

anak-anak disusui, semakin cepat mereka tumbuh baik pada kedua dan tahun ketiga
kehidupan. Penelitian Kramer et al (2003) menunjukkan pertumbuhan panjang
badan bayi umur 9 – 12 bulan yang mendapat ASI eksklusif 6 bulan, lebih cepat
dibandingkan dengan bayi ASI eksklusif 3 bulan (perbedaan panjang badan 0,9
mm/bulan). Hasil penelitian Syarif (2008) menunjukkan proporsi anak yang tidak
mendapat ASI eksklusif dengan kejadian stunting pada anak umur 2-3 tahun lebih
tinggi dibandingkan

Berdasarkan laporan puskesmas Tawangrejo pada tahun 2018, terdapat 30


balita di wilayah kerja puskesmas pembantu rejomulyo dengan stunting. Maka dari
itu, dalam penelitian peneliti ingin melihat hubungan pemberian asi eksklusif
dengan kejadian stunting pada balita usia balita di wilayah kerja puskesmas
pembantu Rejomulyo

2. RUMUSAN MASALAH

Di Indonesia,penurunan kejadian stunting pada balita tidak memperlihatkan


perubahan yang bermakna. Data Riskesdas menunjukkan prevalensi stunting secara
nasional pada tahun 2007 sebesar 36,8% dan pada tahun 2010 hanya terjadi
penurunan sebesar 1,2% menjadi 35,6%.

Penelitian ini akan dilakukan di wilayah kerja puskesmas pembantu


Rejomulyo karena berdasarkan laporan yang diperoleh dari puskesmas Tawangrejo
terdapat 30 balita dengan stunting di wilayah kerja puskesmas pembantu
Rejomulyo.

3. TUJUAN
A. Tujuan umum
Untuk mengetahui hubungan pemberian ASI ekslusif terhadap kejadian
stunting pada balita di wilayah kerja puskesmas pembantu Rejomulyo
4

B. Tujuan khusus
1) Mengetahui factor resiko kejadian stunting di wilayah kerja
puskesmas pembantu Rejomulyo
2) Mengetahui pola pemberian ASI ekslusif di wilayah kerja
puskesmas pembantu Rejomulyo
3) Mengetahui hubungan pemberian ASI ekslusif terhadap kejadian
stunting pada balita di wilayah kerja puskesmas pembantu
Rejomulyo

4. MANFAAT
A. Pemerintah
Memberikan informasi tentang hubungan pemberian ASI ekskusif
dengan angka kejadian stunting pada balita sehingga pemerintah dapat
melakukan upaya-upaya pencegahan untuk menurunkan prevalensi
stunting pada balita
B. Masyarakat
Penelitian ini dapat digunakan sebagai tambahan informasi bagi
masyarakat tentang hubungan pemberian ASI ekslusif terhadap
kejadian stunting
C. Peneliti lain
Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dan
masukan untuk penelitian lain atau penelitian lanjutan.
5

BAB II
1. Tinjauan Pustaka
A. Stunting Pada Balita

Status gizi adalah salah satu indikator yang digunakan untuk mengetahui
status kesehatan masyarakat+. Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat
konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi (Almatsier, 2004).

Status gizi anak adalah keadaan kesehatan anak yang ditentukan oleh derajat
kebutuhan fisik energi dan zat-zat gizi lain yang diperoleh dari pangan dan
makanan yang dampak fisiknya diukur secara antropometri (Suharjo, 1996), dan
dikategorikan berdasarkan standar baku WHO dengan indeks BB/U, TB/U dan
BB/TB. Masalah gizi anak secara garis besar merupakan dampak dari
ketidakseimbangan antara asupan dan keluaran zat gizi (nutritional imbalance),
yaitu asupan yang melebihi keluaran atau sebaliknya, di samping kesalahan dalam
memilih bahan makanan untuk disantap (Arisman, 2009).

Menurut laporan The Lancet’s Series on Maternal and Child Undernutrition


Executive Summary, gizi harus menjadi prioritas di semua tingkat, baik sub-
nasional, nasional maupun global karena merupakan komponen utama bagi
manusia, sosial, dan pembangunan ekonomi. Gizi merupakan faktor kunci dalam
perkembangan anak, kesehatan ibu, dan produktivitas. Pencegahan malnutrisi pada
gizi ibu dan anak adalah investasi jangka panjang yang akan menguntungkan
generasi sekarang dan anak-anak mereka. Berinvestasi pada kesehatan anak sama
halnya dengan berinvestasi pada kemajuan suatu negara (Hunt, 2001). Pendek dan
sangat pendek adalah status gizi yang didasarkan pada indeks Panjang Badan
menurut Umur (PB/U) atau Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) yang merupakan
istilah lain untuk stunted dan severely stunted (Kemenkes, 2011).

Stunting didefinisikan sebagai indeks tinggi badan menurut umur (TB/U)


kurang dari minus dua standar deviasi (-2 SD) atau dibawah rata-rata standar yang
ada dan severe stunting didefinisikan kurang dari -3 SD (ACC/SCN, 2000).
6

Stunting pada anak merupakan hasil jangka panjang konsumsi kronis diet
berkualitas rendah yang dikombinasikan dengan morbiditas, penyakit infeksi, dan
masalah lingkungan. Di negara berpendapatan menengah kebawah, stunting
merupakan masalah kesehatan masyarakat yang utama (The Lancet, 2008).

Kependekan mengacu pada anak yang memiliki indeks TB/U rendah. Pendek
dapat mencerminkan baik variasi normal dalam pertumbuhan ataupun defisit dalam
pertumbuhan. Stunting yaitu pertumbuhan linear yang gagal mencapai potensi
genetik sebagai hasil dari kesehatan atau kondisi gizi suboptimal. Pengerdilan
adalah proxy populasi untuk kekurangan yang beragam. Penelitian terbaru
menemukan bahwa pertumbuhan tulang linear terjadi dalam proses episodik seperti
periode stasis dari satu hari atau lebih dari tidak adanya pertumbuhan yang diselingi
oleh perubahan harian pertumbuhan .Penelitian menunjukkan bahwa stunting
berasal dari penurunan frekuensi waktu pertumbuhan, penurunan amplitudo
pertumbuhan ketika sebuah peristiwa terjadi, ataupun gabungan dari keduanya (The
Lancet, 2008).

Stunting merupakan hasil dari kekurangan gizi kronis dan sering terjadi
antargenerasi ditambah dengan penyakit yang sering. Hal tersebut adalah ciri khas
endemik kemiskinan. Stunting terkait dengan lebih rendahnya perkembangan
kognitif dan produktivitas. Stunting adalah masalah kesehatan masyarakat utama di
hampir semua provinsi di Indonesia, dan peringatan telah diberikan oleh Presiden
RI, yang tertantang untuk mengurangi stunting di Indonesia (USAID, 2010).

Stunting pada anak merupakan indikator utama dalam menilai kualitas modal
sumber daya manusia di masa mendatang. Gangguan pertumbuhan yang diderita
anak pada awal kehidupan, pada hal ini stunting, dapat menyebabkan kerusakan
yang permanen. Keberhasilan perbaikan ekonomi yang berkelanjutan dapat dinilai
dengan berkurangnya kejadian stunting pada anak-anak usia dibawah 5 tahun
(UNSCN, 2008).
7

Prevalensi stunting pada umumnya menurun di seluruh dunia. WHO


melaporkan bahwa antara tahun 1990 dan 2000, prevalensi global stunting pada
anak-anak turun dari 34% menjadi 29%. Namun, di Afrika Timur, jumlah anak
dengan stunting meningkat pada periode ini dari 40 juta menjadi 45 juta. Stunting
didefinisikan oleh WHO 2 standar deviasi di bawah nilai z untuk tinggi badan
menurut umur. Anak-anak yang underweight atau stunting mungkin tidak
menunjukkan catch-up growth di masa kecil, dengan demikian mereka membawa
risiko kesehatan yang buruk ke dalam kehidupan saat dewasa. Di beberapa negara,
Afrika Selatan misalnya, anak-anak yang stunting hidup berdampingan dengan
mereka yang overweight atau obesitas. Hal ini tentu saja memiliki implikasi yang
kompleks bagi para pembuat kebijakan (Branca, 2006).

Dalam komunitas yang sulit mendapatkan akses dan kontak dengan pelayanan
kesehatan, anak-anak lebih rentan terhadap kekurangan gizi sebagai akibat dari
pengobatan penyakit yang tidak memadai, tingkat imunisasi rendah, dan perawatan
kehamilan yang buruk. Sanitasi lingkungan yang buruk, termasuk pasokan air
bersih, juga menempatkan anak pada risiko infeksi yang meningkatkan kerentanan
terhadap kekurangan gizi. Pola asuh bayi dan anak, bersama dengan ketahanan
pangan rumah tangga, pelayanan kesehatan yang memadai dan lingkungan yang
sehat adalah prasyarat yang diperlukan untuk gizi yang cukup (Branca, 2006).

B. ASI EKSKLUSIF

ASI merupakan bentuk makanan yang ideal untuk memenuhi gizi anak,
karena ASI sanggup memenuhi kebutuhan gizi bayi untuk hidup selama 6 bulan
pertama kehidupan. Meskipun setelah itu, makanan tambahan yang dibutuhkan
sudah mulai dikenalkan kepada bayi, ASI merupakan sumber makanan yang
penting bagi kesehatan bayi. Sebagian besar bayi di negara yang berpenghasilan
rendah, membutuhkan ASI untuk pertumbuhan dan tak dipungkiri agar bayi dapat
bertahan hidup, karena merupakan sumber protein yang berkualitas baik dan mudah
8

didapat. ASI dapat memenuhi tiga perempat dari kebutuhan protein bayi usia 6 – 12
bulan, selain itu ASI juga mengandung semua asam amino essensial yang
dibutuhkan bayi (Paramitha, 2012)

ASI eksklusif adalah memberikan hanya ASI saja bagi bayi sejak lahir sampai
usia 6 bulan. Namun ada pengecualian, bayi diperbolehkan mengonsumsi obat-
obatan, vitamin, dan mineral tetes atas saran dokter. Selama 6 bulan pertama
pemberian ASI eksklusif, bayi tidak diberikan makanan dan minuman lain (susu
formula, jeruk, madu, air, teh, dan makanan padat seperti pisang, pepaya, bubur
susu, bubur nasi, biskuit, nasi tim). Sedangkan ASI predominan adalah memberikan
ASI kepada bayi, tetapi pernah memberikan sedikit air atau minuman berbasis air,
misalnya teh, sebagai makanan/ minuman prelakteal sebelum ASI keluar
(Kemenkes, 2010).

Pemberian ASI memiliki berbagai manfaat terhadap kesehatan, terutama


dalam hal perkembangan anak. Komposisi ASI banyak mengandung asam lemak
tak jenuh dengan rantai karbon panjang (LCPUFA, long-chain polyunsaturated
fatty acid) yang tidak hanya sebagai sumber energi tapi juga penting untuk
perkembangan otak karena molekul yang dominan ditemukan dalam selubung
myelin.

ASI juga memiliki manfaat lain, yaitu meningkatkan imunitas anak terhadap
penyakit, berdasarkan penilitian pemberian ASI dapat menurunkan frekuensi diare,
konstipasi kronis, penyakit gastrointestinal, infeksi traktus respiratorius, serta
infeksi telinga. Secara tidak langsung, ASI juga memberikan efek terhadap
perkembangan psikomotor anak, karena anak yang sakit akan sulit untuk
mengeksplorasi dan belajar dari sekitarnya. Manfaat lain pemberian ASI adalah
pembentukan ikatan yang lebih kuat dalam interaksi ibu dan anak, sehingga berefek
positif bagi perkembangan dan perilaku anak (Henningham & McGregor, 2008).

Risiko menjadi stunting 3,7 kali lebih tinggi pada balita yang tidak diberi
ASI Eksklusif (ASI < 6 bulan) dibandingkan dengan balita yang diberi ASI
9

Eksklusif (≥ 6 bulan) (Hien dan Kam, 2008). Penelitian yang dilakukan oleh
Teshome menunjukkan bahwa anak yang tidak mendapatkan kolostrum lebih
berisiko tinggi terhadap stunting. Hal ini mungkin disebabkan karena kolostrum
memberikan efek perlindungan pada bayi baru lahir dan bayi yang tidak menerima
kolostrum mungkin memiliki insiden, durasi dan keparahan penyakit yang lebih
tinggi seperti diare yang berkontribusi terhadap kekurangan gizi. Penelitian lain
juga menyebutkan pemberian kolostrum pada bayi berhubungan dengan
kejadian stunting (Kumar, et al., 2006). Selain itu, durasi pemberian ASI yang
berkepanjangan merupakan faktor risiko untuk stunting (Teshome, 2009).
Pemberian makanan tambahan yang terlalu dini secara signifikan berkaitan dengan
peningkatan risiko infeksi pernafasan dan insiden yang lebih tinggi mordibitas
malaria dan infeksi mata (Teshome, 2009)

Di Indonesia, perilaku ibu dalam pemberian ASI ekslusif memiliki


hubungan yang bermakna dengan indeks PB/U, dimana 48 dari 51 anak stunted
tidak mendapatkan ASI eksklusif (Oktavia, 2011). Penelitian lain menunjukan
bahwa umur pertama pemberian MP-ASI berhubungan signifikan dengan indeks
status gizi PB/U pada balita (Istiftiani, 2011)
10

III. METODE PENELITIAN

A. Kerangka Konsep

Variabel Terikat
Variabel bebas
Kejadian stunting pada
Pemberian ASI eksklusif
balita

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian

B. Variabel Penelitian
Variabel penelitian adalah suatu ciri, sifat atau ukuran yang dimiliki oleh
suatu anggota kelompok dan tidak didapatkan dari anggota kelompok lain
(Notoadmojo, 2010). Pada penelitian ini variabel yang diteliti yaitu:
1. Variabel bebas
Variabel bebas adalah variabel yang dapat mempengaruhi variabel lain,
artinya apabila variabel bebas berubah maka akibatnya perubahan pada
variabel yang lain. Variabel bebas dapat menjadi sebab timbulnya variabel
terikat (Sugiyono, 2010). Variabel bebas yang diteliti pada penelitian ini
adalah .
2. Variabel terikat
Variabel terikat pada penelitian ini adalah kejadian stunting pada balita.
C. Hipotesis Penelitian
Terdapat hubungan antara Pemberian ASI eksklusif dengan kejadian
stunting pada balita di wilayah kerja puskesmas pembantu Rejomulyo
11

D. Definisi Operasional Variabel

Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel

No Variabel Definisi Operasional Variabel Alat Kategori Skala


Ukur Pengukuran
1 Pemberian ASI memberikan hanya ASI saja bagi Kuesioner 1. Ya Kategorikal
eksklusif bayi sejak lahir sampai usia 6 2. Tidak nominal
bulan
2 Kejadian indeks tinggi badan menurut umur Z-score 1. Ya Kategorikal
stunting pada (TB/U) kurang dari minus dua 2. Tidak Nominal
balita standar deviasi (-2 SD)

E. Jenis dan Rancangan Penelitian


Jenis penelitian ini termasuk penelitian analitik observasional dengan
pendekatan cross sectional yaitu peneliti ingin mengetahui hubungan variabel satu
dengan variabel lainnya yang mempengaruhi perilaku pemberian ASI eksklusif
terhadap kejadian stunting pada balita.

1. Populasi dan Sampel


a. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh balita usia 25 – 60 bulan di


wilayah kerja puskesmas pembantu Rejomulyo

b. Sampel
Besar atau kecilnya sampel pada suatu penelitian yang
terpenting dapat mewakili populasi, atau sampel tersebut representatif.
Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah consecutive
sampling.
Pada penelitian ini, kriteria responden yang dijadikan sampel
penelitian sebagai berikut:
1. Kriteria Inklusi
a. Balita berusia 25 – 60 bulan yang bertempat tinggal di wilayah
12

penelitian.
b. Ibu balita bersedia menjadi responden dalam penelitian ini.
2. Kriteria Eksklusi
a. balita yang tidak tinggal menetap di wilayah penelitian
b. Balita yang mengalami gangguan fisik dan mental
c. Jika terdapat balita yang telah terpilih namun pindah domisili di
wilayah lain, maka akan digantikan dengan balita yang memenuhi
kriteria inklusi

Besar sampel ditentukan dengan rumus berikut:

Keterangan:
n : besar sampel
N : besar populasi
d : tingkat ketepatan/kepercayaan yang diinginkan

n= 30
1+ 30 (0.05)2
n= 30
1+ 30 (0.05)2

N= 27.90 = 28

Maka besar sampel minimal yang diperlukan untuk mengetahui proporsi


balita stunting sebesar 28
13

2. Instrumen Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data


a. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah alat-alat yang digunakan selama
penelitian untuk bahan pengumpulan data (Notoadmojo, 2010). Instrumen
yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner, microtoise, table
Z-score. Kuesioner yang disediakan berisi tentang identitas responden
(nama, umur, pekerjaan, tingkat pendidikan), perilaku pemberian ASI
eksklusif. Selanjutnya menggunakan microtoise dan z-score untuk
mengukur tinggi badan dan mengetahui status stunting pada anak tersebut.
b. Teknik Pengumpulan Data
1. Data Primer
Untuk memperoleh data primer yang diperlukan, maka teknik
yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara langsung
dengan pedoman kuesioner penelitian dan pengukuran menggunakan
microtoise serta table z-score. Selain itu, dokumentasi juga dilakukan
guna pengambilan gambar responden saat memberikan informasi.
2. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data yang diperoleh selain dari
responden penelitian. Data sekunder pada penelitian ini berasal dari
data profil kesehatan Puskesmas Tawangrejo tahun 2018 dan melihat
literatur terkait.

3. Prosedur Penelitian
a. Tahap Persiapan
Tahap persiapan merupakan tahap mempersiapkan segala sesuatu
yang dibutuhkan dalam penelitian, yaitu mempersiapkan lembar kuesioner
yang berisi pertanyaan, alat ukur microtoise serta table z-score dan
perlengkapan untuk dokumentasi.
b. Tahap Pelaksanaan
− Menetapkan responden penelitian sesuai jumlah sampel.
14

− Peneliti mendatangi calon responden penelitian menjelaskan


maksud dan tujuan peneliti serta menanyakan kesediaan menjadi
responden penelitian.
− Peneliti memberikan lembar persetujuan kepada responden apabila
bersedia menjadi responen penelitian.
− Peneliti membacakan pertanyaan dalam kuesioner
− Peneliti melakukan pengukuran menggunakan microtoise
− Peneliti melakukan pengolahan dan analisis data berdasarkan seluruh
informasi yang telah dikumpulkan.

4. Teknik Analisis Data


a. Teknik Pengolahan Data
Data yang telah terkumpul kemudian diolah agar dapat dianalisis dalam
penelitian ini.
1. Editing
Peneliti melakukan pengecekan kemungkinan terjadi kesalahan pada
data yang sudah terkumpul dan kuesioner yang akan digunakan dalam
penelitian.
2. Coding
Peneliti memberikan kode-kode tertentu sehingga mempermudah
dalam proses pengolahan data.
3. Tabulating
Penyusunan data dalam bentuk tabel agar mudah dijumlah, disusun,
dan ditata untuk disajikan dan dianalisis.
4. Processing
Memasukan data dan memproses data agar dapat dianalisa ke
dalam program komputer
5. Cleaning
Pengecekan kembali data data yang sudah di entry apakah
terdapat kesalahan atau tidak.
15

b. Analisis Data
1. Analisis univariat
Analisis univariat menjelaskan tentang distribusi dan frekuensi
serta data karakteristik subyek penelitian yang meliputi usia, tinggi
badan, pekerjaan dan tingkat pendidikan orang tua disajikan dalam
tabel mean.

2. Analisis bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk melihat hubungan antar
dua variable (bebas dan terikat). Apakah variabel tersebut
mempunyai hubungan yang signifikan atau hubungan secara
kebetulan. Dalam analisis ini digunakan uji chi- square, uji signifikan
menggunakan batas kemaknaaan α =0,05 dengan taraf signifikan 95%.
Aturan yang berlaku untuk interpretasi uji Chi-Square pada analisis
menggunakan SPSS adalah sebagai berikut :
− Jika pada tabel silang 2x2 dijumpai Expected Count kurang dari
5 >20% jumlah sel, maka uji hipotesis yang digunakan adalah
uji alternatif Chi- Square, yaitu uji Fisher. Hasil yang dibaca pada
bagian Fisher’s Exact Test.
− Pada tabel selain 2x2 atau 2Xk maka dilakukan
penggabungan sel, kemudian kembali ulangi analisis dengan uji
Chi-Square.
− Jika pada tabel silang 2x2 tidak dijumpai Expected Count kurang
dari 5 atau dijumpai tetapi tidak lebih dari 20% jumlah sel, maka
uji hipotesis yang digunakan adalah uji Chi-Square. Hasil yang
dibaca pada bagian Continuity Correction.
− Jika tabel silang selain 2x2 tidak dijumpai Expected Count kurang
dari 5 atau dijumpai tetapi tidak lebih dari 20% jumlah sel,
16

maka uji hipotesis yang digunakan adalah uji Chi-Square. Hasil


yang dibaca pada bagian Pearson Chi- Square.
− Hasil uji Chi-Square dilihat dengan nilai p. Jika nilai p<0,05
maka Ho ditolak dan Ha diterima, yang menyimpulkan bahwa
terdapat hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat.

F. Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2018- Oktober 2018
bertempat di wilayah kerja puskesmas pembantu Rejomulyo.
.

You might also like