Professional Documents
Culture Documents
Diagnosis prenatal adalah ilmu dan seni untuk mengidentifikasi kelainan struktur
dan fungsi pada perkembangan janin. Sekitar 2-3% bayi baru lahir mempunyai masalah
dengan kelainan kongenital mayor yang ditemukan pada saat lahir. Kelainan kongenital
mayor merupakan salah satu penyebab utama kematian neonatus, dan kelainan genetik
merupakan empat besar kasus rawat inap di bagian anak.1
Alasan utama untuk melakukan diagnosis prenatal adalah faktor usia maternal (>35
tahun), abnormalitas maternal serum alfa fetoprotein (MSAFP) dan hasil skrining test lain
yang positif. Secara singkat indikasi untuk diagnosis prenatal adalah sebagai berikut :1-3
Wanita yang berusia lebih dari 35 tahun perlu ditawarkan untuk menjalani
pemeriksaan diagnosis prenatal karena pada usia 35 tahun insidens trisomi mulai
meningkat dengan cepat. Hal ini berhubungan dengan non-disjunction pada miosis. Pada
usia 35 tahun kemungkinan untuk mendapat bayi lahir hidup dengan kelainan kromosom
adalah 1:192, sehingga ada beberapa ahli yang menawarkan diagnosis prenatal pada usia
33 tahun namun hal ini belum menjadi konsensus.1, 2
RIWAYAT KELUARGA
Riwayat keluarga dengan defek gen tunggal, yang memerlukan diagnosis prenatal
tergantung dari banyak faktor, seperti berapa jauh hubungan kekerabatan antara anggota
keluarga yang sakit dengan individu yang meminta konseling, demikian juga halnya
frekuensi dari penyakit tersebut dalam populasi.
Pasangan keluarga yang mempunyai anak dengan kelanan gen, akan mempunyai
risiko berulang, tetapi risiko ini akan menurun dengan bertambah jauhnya jarak dengan
individu yang berisiko. Sebagai contoh orang tua dengan anak kelainan autosomal resesif
mempunyai risiko kelainan berulang 25% setiap kehamilannya, sebaliknya keturunan dari
saudara kandungnya mempunyai risiko 2/3 x risiko bila partnernya karier (frekuensi karier
dalam populasi bila tidak ada riwayat dalam keluarga) x risiko untuk mendapat keturunan
yang sakit bila kedua orang tuanya karier( 1/4). Untuk penyakit kistik fibrosis dengan
frekuensi karier dikalangan kaukasian Amerika adalah 1 dari 25, maka risiko untuk saudara
kandung yang tidak sakit dari penderita kistik fibrosis adalah: 2/3 X 25 X ¼ = 1/150.
Skrining karier saat ini telah digunakan secara luas terhadap beberapa penyakit resesif,
seperti sickle cell anemia, penyakit Tay-Sachs dan terakhir penyakit Canavan. 2
Hemoblobinopati Sickle
Kelompok ini meliputi anemia sel sabit, penyakit hemoglobin sel sabit, dan sel sabit β-
thalassemia Anemia sel sabit adalah penyakit pengendur seumur hidup yang paling umum terjadi
pada masa kanak-kanak onset di Amerika Serikat. Hemoglobin dewasa normal terdiri dari dua
rantai α dan dua rantai β, hemoglobin S dihasilkan dari satu titik mutasi pada gen itu mengkodekan
rantai β. Individu heterozigot memiliki satu salinan setiap hemoglobin A dan S, yaitu, hemoglobin
AS atau sifat sel sabit. Individu homozigot mewarisi satu salinan hemoglobin S dari setiap orang
tua mengekspresikan hemoglobin SS atau anemia sel sabit. Hemoglobin C diwarisi dengan cara
yang sama cara dan penyakit SC dihasilkan dari satu salinan masing-masing hemoglobin S dan C.
Pasien Afrika dan Afrika Amerika berisiko tinggi membawa hemoglobin S dan lainnya
hemoglobinopati dan harus ditawarkan skrining prekonsial atau prenatal. Satu dari 12 orang Afrika
Orang Amerika memiliki sifat sel sabit, satu dari 40 orang membawa hemoglobin C, dan satu dari
40 orang membawa sifat β- thalassemia Hemoglobin S juga lebih sering terjadi pada individu
Mediterania, Tengah Timur, dan keturunan India Asia (Davies, 2000). American College of
Obstetricians dan Ginekolog (2013a) merekomendasikan agar pasien keturunan Afrika ditawarkan
hemoglobin elektroforesis. Jika pasangan berisiko memiliki anak dengan hemoglobinopati sabit,
genetik konseling harus ditawarkan. Diagnosis prenatal dapat dilakukan dengan vili chorionic
sampling atau amniosentesis.
Thalassaemia
Sindrom ini adalah kelainan gen tunggal yang paling umum di seluruh dunia, dan sampai
200 juta Orang membawa gen untuk salah satu hemoglobinopathies ini. Beberapa individu dengan
thalassemia memiliki anemia mikrositik sekunder akibat penurunan sintesis rantai α- atau β-
hemoglobin. Secara umum, penghapusan rantai α-globin menyebabkan α-thalassemia, sedangkan
mutasi pada rantai β-globin menyebabkan β- thalassemia Yang kurang umum, mutasi rantai α-
globin juga menyebabkan talasemia thalasemia. Merawat wanita hamil dengan talasemia.
Alpha-Thalassemia
Jumlah gen α-globin yang terhapus bisa berkisar dari satu sampai ke empat. Jika dua gen
a-globin dihapus, keduanya dapat dihapus dari konfigurasi kromosom-cis yang sama (αα / -), atau
satu mungkin Dihapus dari setiap konfigurasi kromosom-trans (α- / α-). Alfa talasemia sifatnya
biasa terjadi antara individu Afrika, Mediterania, Timur Tengah, India Barat, dan Asia Tenggara
keturunan dan menyebabkan anemia ringan. Konfigurasi cis lebih banyak terjadi di antara orang
Asia Tenggara, sedangkan keturunan Afrika lebih cenderung mewarisi konfigurasi trans. Yang
klinis Pentingnya perbedaan ini adalah bahwa ketika kedua orang tua membawa penghapusan cis,
keturunan berisiko tidak adanya α-hemoglobin, disebut penyakit Hb Barts, yang biasanya
menyebabkan hidrops dan kehilangan janin. Deteksi thalasemia atau α-talasemia berdasarkan pada
pengujian genetik molekuler dan tidak terdeteksi menggunakan elektroforesis hemoglobin. Karena
itu, screening rutin tidak ditawarkan. Jika ada anemia mikrositik dengan tidak adanya defisiensi
besi, dan elektroforesis hemoglobin tersebut normal, maka uji thalasemia harus dipertimbangkan,
khususnya di kalangan individu Keturunan Asia Tenggara (American College of Obstetricians and
Gynecologists, 2013a).
Beta-Thalassemia
Mutasi gen β-globin dapat menyebabkan produksi rantai β-globin berkurang atau tidak ada.
Jika mutasi mempengaruhi satu gen, itu menghasilkan β-talasemia minor. Jika kedua salinan
terpengaruh, hasilnya adalah baik β-talasemia mayor-disebut Cooley anemia-atau β-thalassemia
intermedia. Karena mengurangi produksi hemoglobin A di antara pembawa, elektroforesis
menunjukkan peningkatan hemoglobin yang tidak mengandung rantai β, termasuk hemoglobin F
dan A2. Beta-talasemia minor lebih sering terjadi pada individu Afrika, Mediterania, dan
Keturunan Asia Tenggara American College of Obstetricians and Gynecologists (2013a)
merekomendasikan agar mereka ditawari skrining pembawa dengan elektroforesis hemoglobin,
terutama jika ditemukan memiliki anemia mikrositik tanpa defisiensi zat besi. Tingkat hemoglobin
A2 melebihi 3,5 persen mengkonfirmasi diagnosisnya. Suku lain pada peningkatan risiko termasuk
di Timur Tengah, India Barat, dan keturunan Hispanik.
Skrining harus ditawarkan sebelum kehamilan jika kedua anggota pasangan tersebut berasal
dari Ashkenazi Jewish, Keturunan Prancis-Kanada, atau Cajun, atau jika ada riwayat keluarga
penyakit Tay-Sachs.
Bila hanya satu anggota pasangan dari salah satu etnis di atas, pasangan berisiko tinggi itu
mungkin Disaring terlebih dahulu, dan jika ditemukan sebagai carrier, pasangan lainnya juga
harus ditawari skrining. Jika Pasangan sudah hamil, maka kedua pasangan bisa diskrining
secara bersamaan.
Analisis mutasi yang ditargetkan terhadap gen HEXA memiliki sensitivitas 94 persen pada
Ashkenazi Jewish individu namun tidak disarankan untuk skrining pada kelompok berisiko
rendah karena tingkat deteksi mungkin berada di bawah 50 persen.
Analisis biokimia dengan menentukan heksosaminidase Tingkat serum memiliki sensitivitas
98 persen dan merupakan ujian yang harus dilakukan pada individu dari etnis berisiko rendah.
Leukosit Pengujian harus digunakan jika wanita tersebut sudah hamil atau minum kontrasepsi
oral.
Hasil uji skrining yang ambigu atau positif harus dikonfirmasi dengan biokimia dan DNA
analisis untuk mutasi yang paling umum. Ini akan mendeteksi pasien yang membawa gen
terkait penyakit ringan atau keadaan pseudodeficiency. Rujukan ke pakar genetika mungkin
sangat membantu kasus.
Jika kedua pasangan ditemukan sebagai pembawa penyakit Tay-Sachs, konseling genetik dan
prenatal diagnosis harus ditawarkan. Aktivitas heksosaminidase dapat diukur dari villi
chorionic sampel atau spesimen amniosentesis.
PEMERIKSAAN ULTRASONOGRAFI
1. Skrining universal lebih dapat dipercaya untuk menentukan kelainan pada janin
dibanding dengan pemeriksaan scanning selektif.
2. Skrining kelainan pada janin menurunkan angka kematian perinatal karena mampu
mengidentifikasi kelainan dan melakukan terminasi kehamilan.
3. Berdasarkan bukti terkini, scanning pada usia kehamilan 18-20 minggu merupakan
metode yang paling efektif untuk mendeteksi kelainan pada janin.
4. Walaupun tidak memerlukan persetujuan tertulis sebelum pemeriksaan namun
wanita perlu diberi kesempatan untuk memilih apakah mau
diperiksa. Harus tersedia informasi tertulis dan lisan sebelum pemeriksaan.
Ketetapan mengenai konseling dan informasi yang memadai harus merupakan
bagian dari program skrining.
5. Bila terdeteksi adannya suatu kelainan maka harus diskusi mengenai dampaknya.
Orang tua mendapat manfaat dari diskusi yang melibatkan ahli lain selain
ultrasonografer dan spesialis kebidanan seperti ahli anak, ahli genetik dan ahli
bedah anak.
6. Pemeriksaan ultrasonografi hanya dilakukan oleh tenaga yang sudah terlatih.
Pemeriksaan skrining rutin harus dilakukan dengan dengan
menggunakan protokol atau daftar tilik yang telah disetujui.
Diagnosis kelainan janin dilakukan dengan tiga cara yaitu :
1. Dengan visualisasi langsung dari defek struktural, misalnya tidak adanya tulang
tengkorak pada anencephali.
2. Dengan menunjukkan disproporsi ukuran atau pertumbuhan dari bagian tubuh
tertentu pada janin misalnya, anggota gerak yang pendek pada dwarfism.
3. Dengan mengenali dampak dari anomali terhadap organ yang berdekatan, misalnya
adanya katup pada uretra posterior terdiagnosis dengan adanya dilatasi pada
saluran ginjal.
AMNIOSINTESIS MIDTRIMESTER
Amniosintesis adalah tindakan mengeluarkan cairan amnion yang
mengandung sel-sel janin dan unsur biokimia dari rongga amnion. Pertama kali dilakukan
pada tahun 1880 untuk dekompresi polihidramnion. Pada tahun 1950 amniosintesis
menjadi alat diagnostik ketika mulai dilakukan pengukuran kadar bilirubin dalam cairan
amnion untuk memantau isoimunisasi rhesus. Amniosintesis untuk deteksi kelainan
kromosom prenatal pertama kali dilaporkan pada tahun 1967. Sejak itu amniosintesis
diterima secara luas menjadi metode untuk diagnosis prenatal untuk kelainan kromosom,
penyakit-penyakit yang diturunkan, dan beberapa infeksi kongenital.2, 3
Indikasi utama untuk tindakan amniosintesis adalah pemeriksaan karyotype
janin. Sel-sel dalam cairan amnion berasal dari kulit janin yang mengalami deskuamasi
dan dikeluarkan dari saluran gastrointestinal, urogenital, saluran pernafasan dan amnion.
Sel-sel ini dipersiapkan untuk analisis pada tahap metafase maupun untuk pemeriksaan
FISH. Namun laboratorium lebih senang bila mendapat sampel dari darah atau villi
korialis karena banyak mengandung DNA yang diperlukan untuk kultur.5
Dahulu cairan amnion juga dipakai untuk pemeriksaan kadar enzym untuk
menentukan adanya gangguan metabolisme dan analisis metabolit untuk mendeteksi
penyakit kistik fibrosis, namun saat ini telah digantikan dengan pemeriksaan yang lebih
akurat yaitu dengan pemeriksaan mutasi DNA yang bertanggung jawab tehadap kondisi
ini.5
Dapat dilakukan dengan teknik “free hand” dimana tangan operator yang satu
memegang tranduser dan tangan lainnya memegang jarum, atau dapat dipasang pengantar
jarum pada tranduser. Cara ini mempunyai keuntungan karena dapat menghindari gerakan
jarum ke arah lateral yang dapat meningkatkan ukuran tusukan jarum. Cairan amnion yang
pertama diaspirasi dibuang sebanyak 1-2 ml untuk menghindari kontaminasi dengan sel-
sel maternal. Dilakukan aspirasi cairan amnion sebanyak 15 ml ke dalam tabung untuk
analisa sitogenetika.3, 5
Bila pada kesempatan pertama gagal untuk mengaspirasi cairan maka dapat
dilakukan pada lokasi lain setelah terlbih dahulu menilai kembali keadaan janin dan letak
plasenta.
AMNIOSITESIS DINI
Teknik pemeriksaan villi korialis pertama kali diperkenalkan di Cina pada tahun
1975 yang bertujuan untuk menentukan jenins kelamin janin dengan cara memasukkan
kateter halus ke dalam uterus dengan hanya dituntun perasaan taktil. Bila terasa ada
hambatan, kemudian pengisap dipasang dan dilakukan aspirasi potongan villi.3
Pemeriksaan villi korialis biasanya dilakukan pada usia kehamilan antara 10-12
minggu, untuk pemeriksaan sitogenetik, molekuler (analisis DNA) dan atau metode
biokimia yang dapat diaplikasikan pada jaringan villii. Pemeriksaan ini dapat mendeteksi
anomali kromosom, defek gen spesifik dan aktivitas enzym yang abnormal dalam
kehamilan terutama pada penyakit turunan.2, 3
Pasien dibaringkan dalam posisis litotomi, antisepsis vulva dan vagina kemudian
masukkan spekulum dan lakukan hal yang sama pada serviks. Ujung distal kateter (3-5 cm)
sedikit ditekuk untuk membentuk lengkungan dan kateter dimasukkan kedalam uterus
dengan tuntunan USG sampai terasa tahanan menghilang pada endoserviks. Operator
menunggu sampai sonographer menvisualisasi ujung kateter, kemudian kateter
dimasukkan sejajar dengan selaput korion ke tepi distal plasenta. Keluarkan stylet dan
pasang tabung pengisap 20 ml yang mengandung medium nutrien. Jaringan villi yang
terisap ke dalam tabung dapat dilihat dengan mata telanjang sebagai struktur putih yang
terapung dalam media. Kadang kala diperlukan pemeriksaan mikroskop untuk
mengkonfirmasi jaringan villi. Sering jaringan desidua ibu ikut terambil namun mudah
dikenali sebagai stuktur yang amorf (tak berbentuk). Bila tidak berhasil mendapat jaringan
villi yang cukup maka dapat dilakukan insersi kedua.3, 6
Pada tahun 1983, Daffos dkk memperkenalkan metode pengambilan darah janin
dengan tuntunan USG menggunakan jarum spinal ukuran 20-22 melalui perut ibu ke dalam
tali pusat. Teknik ini disebut juga kordosentesis, PUBS (percutaneous umbilical blood
sampling), fetal blood sampling atau furnipuncture. Kordosintesis adalah istilah yang
sering digunakan.7
Indikasi pemeriksaan ini dapat dibagi atas indikasi diagnostik dan terapeutik.
Umumnya, pemeriksaan darah janin diindikasikan bila keuntungannya lebih banyak dari
kerugiannya. Sebelumnya pemeriksaan darah janin dilakukan untuk karyotype cepat
namun dengan teknik sitogenetik yang baru memakai metode FISH sampel dari villi
korialis dan amniosit juga dapat diperiksa dengan cepat. Indikasi lain untuk pemeriksaan
ini adalah bila ditemukan mosaik atau kegagalan kultur pada amniosintesis dan biopsi
plasenta. Pemeriksaan darah janin juga dilakukan pada wanita yang datang terlambat (usia
kehamilan lanjut) pada kunjungan antenatal dan menginginkan pemeriksaan karyotype
atau untuk diagnosis prenatal retardasi mental fragile-X.3, 7
Komplikasi yang dapat terjadi pada janin pasca kordosintesis adalah : terjadinya
hematoma atau perdarahan pada tempat tusukan jarum, bradikardi, infeksi. Kemungkinan
untuk terjadinya kematian janin berkisar 1% untuk itu perlu dilakukan pemantauan denyut
jantung janin dengan kardiotokografi selama paling sedikit 30 menit. Pada ibu komplikasi
yang dapat terjadi adalah isoimunisasi rhesus, sehingga harus diberikan anti-D
immunoglobulin pada ibu dengan rhesus negatif.7
BIOPSI JANIN
Indikasi pemeriksaan jaringan janin sampai saat ini masih terus berkembang.
Teknik yang invasif ini digunakan hanya untuk kelainan dengan morbiditas tinggi, dimana
diagnosis dengan pemeriksaan amniosintesis, villi khorialis atau darah janin tidak
memuaskan. Jaringan yang diambil dari janin untuk prenatal diagnosis antara lain : kulit,
otot, liver, ginjal dan otak.2, 3
Indikasi yang paling sering digunakan untuk pemeriksaan jaringan janin adalah
untuk diagnosis genodermatosis, yang merupakan penyakit berat turunan pada kulit dengan
angka morbiditas dan mortalitas tinggi.
Pada awalnya biopsi janin dilakukan dengan fetoskopi, tetapi saat ini telah diganti
dengan memakai USG. Prosedur ini dilakukan pada kehamilan 17-20 minggu dengan
memakai forsep biopsi yang dimasukkan melalui jarum angiocath no 14. Biopsi jaringan
janin untuk diagnosis genodermatosis hanya dapat dilakukan dengan biopsi kulit, hasil
biopsi ini dapat diperiksa dengan teknik morfologi, immunohistokimia, dan biokimia.2, 3
DIAGNOSIS PRAIMPLANTASI
Dengan teknologi PCR, sekarang telah diketahui bahwa hampir semua wanita
mempunyai sedikit sel –sel janin dalam aliran darahnya. Bila sel-sel janin ini dapat
dianalisa untuk diagnosis prenatal maka prosedur yang invasif sudah tidak diperlukan lagi.
1
Untuk mengidentifikasi sel-sel janin, telah dikembangkan antibodi monoclonal
terhadap berbagai antigen sel janin meliputi antibodi terhadap trofoblas, antigen
permukaan sel eritrosit janin dan antigen HLA paternal.2
Teknik analisa genetik yang juga dipakai untuk isolasi sel janin dari maternal
sirkulasi adalah PCR dan insitu hibridisasi. Terhadap sel-sel janin yang diisolasi telah
dilakukan pemeriksaan untuk penyakit autosom resesif seperti b-thalasemia. Juga telah
dilakukan karyotype sel janin dengan teknik FISH. Bianchii dkk (1997) melaporkan bahwa
pada janin dengan aneuploidy ditemukan peningkatan jumlah sel-sel janin dalam sirkulasi
maternal sebesar 6 kali. Penelitian multisenter yang disponsori oleh National Institutes of
Health diharapkan dapat menyempurnakan teknik untuk aplikasi yang lebih luas.1, 2
DAFTAR PUSTAKA
editors. High risk pregnancy management option. 2 nd ed. New York: W.B Saunders;
2000. p. 215-23.
6. Holzgreve W, Miny P. Chorionic villus sampling and placental biopsy. In: James D,
Steer P, Weiner C, Gonik B, editors. High risk pregnancy management option. 2 nd ed.
New York: W.B Saunders; 2000. p. 207-13.
7. Soothill P. Fetal blood sampling before labor. In: James D, Steer P, Weiner C, Gonik
B, editors. High risk pregnancy management option. 2 nd ed. New York: W.B
Saunders; 2000. p. 225-33.