You are on page 1of 16

Responsi

ATONIA UTERI

Disusun oleh :

Fenti Endriyani G99152104


Hutami Sri Ummiyati G99152093
Maria Mumtaz G99151037
Sheila Rahmi Ismi F G99152092

Pembimbing :
Dr. dr. Uki Retno, Sp.OG (K)

KEPANITERAAN KLINIK OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2017

Abstrak

Latar Belakang : Perdarahan Post Partum (PPH) menjadi penyebab perburukan kondisi
maternal pasca persalinan. Penyebab terbanyak pada PPH adalah Atonia Uteri. Atonia Uteri
merupakan kondisi uterus yang lunak, dan kontraksi yang buruk pasca persalinan. Atonia
Uteri memiliki etiologi yang terdiri atas beberapa hal. Kejadiannya seringkali tanpa diduga
meskipun sebetulnya dapat dicegah. Alur penatalaksaan terhadap atonia uteri telah dikerjakan
sejak lama, dan beberapa penelitian baru memberikan informasi tentang perbandingan
tatalaksana yang lebih baik dibanding sebelumnya, langkah pencegahan, dan aspek lainnya
mengenai atonia uteri..
Tujuan : Mendapatkan informasi dan penelitian terbaru mengenai atonia uteri sehingga dapat
digunakan secara klinis.

Metode : Tulisan ini merupakan telaah artikel terhadap informasi dan penelitian terbaru sejak
10 tahun terakhir mengenai atonia uteri.

Simpulan : Atonia uteri merupakan penyebab perdarahan post partum tersering yang
menyebabkan perburukan kondisi maternal. Penegakan diagnosis dapat dilakukan secara
klinis, dan tatalaksana yang dapat diberikan dimulai dengan resusitasi, kemudian
mengehentikan perdarahan baik dengan medikamentosa, tindakan intervensi medis
sederhana, hingga intervensi bedah. Upaya tatalaksana atonia uteri terus berkembang seiring
dengan kemajuan pengetahuan medis.

Kata kunci : PPH, Atonia Uteri

I. Definisi

Perdarahan post partus (Post Partum Hemmorhage/PPH) merupakan


(4,6,7,8,21, 22, 23, 26, 27, 28, 29,31, 32)
penyebab utama kesakitan dan kematian maternal dan
merupakan penyebab langsung yang penting terhadap tingginya mortalitas dan
morbiditas di negara berpenghasilan rendah.(2) PPH primer didefinisikan sebagai
kehilangan 500 ml atau lebih darah dari traktus genitalia atau penurunan nilai
(11)
hematokrit hinggal 10% dalam 24 jam pertama setelah bayi lahir sedangkan
PPH sekunder terjadi ada 24 jam hingga 12 minggu setelah kelahiran atau dikenal
(13)
sebagai delayed PPH. PPH masive didefinisikan sebagai kehilangan darah
(21)
hingga 1000 ml lebih sebagian menyebutkan 1500 ml.(33) Insidensi kejadian
(3,11)
PPH berkisar antara 4-6 % pada tahun 2014 dan meningkat hingga 10% dari
(12)
ibu yang melahirkan pada 2015 dengan perkiraan sekitar 125.000 kematian
(11)
setiap tahunnya terjadi di negara berkembang dan merupakan komplikasi
(11)
tersering pada kala 3. Di negara maju, meskipun PPH bukan penyebab utama
(21, 22)
kematian maternal, namun menjadi penyebab terbesar angka kesakitan
Berbagai kondisi seperti plasentasi abnormal, trauma organ genital, atonia uteri,
(12)
dan defek koagulasi diketahui dapat menjadi penyebab PPH. PPH dapat
(15, 31)
bersifat massiv dan terjadi tanpa diketahui. Pada kejadian PPH, atonia uteri
memiliki prevalensi kejadian tertinggi, sekitar 50-90% dari kejadian PPH. (2, 6,9,10, 11,
12, 13, 14, 16, 17, 18, 24)

(2,6, 31)
Atonia uteri adalah kegagalan uterus untuk berkontraksi adekuat setelah
bayi dilahirkan, dikenal sebagai uterus yang “lembut”, “basah/ penuh cairan”
(6)
dengan disertai perdarahan yang terus terjadi melalui jalan lahir. Atonia Uteri
(10)
menjadi penyebab langsung dari 90% kematian maternal pada kejaidan PPH.
Kontraksi miometrium yang kuat dan teratur merupakan hal terpenting dalam
(921)
menghentikan perdarahan yang terjadi. Pengenalan tanda akan adanya atonia
uteri, diikuti oleh masase fundus uteri dan pemberian agen uterotonik dapat
memberikan kondisi yang signifikan untuk menghentikan perdarahan dan
(21)
mencegah terjadinya atonia uteri. Pada perdarahan akibat atonia uteri yang
tidak diketahui, tanda klinis yang dapat muncul pada pasien antara lain munculnya
(31)
ketidakstabilan hemodinamik sekunder akibat hipovolemia. Faktor resiko
utama terjadinya atonia uteri adalah hiperdistensi pada uterus yang dapat
(31)
disebabkan oleh beberapa hal. Kejadian atonia uteri sebetulnya dapat dicegah
dengan penanganan kala 3 yang baik melalui beberapa langkah inti antara lain.
Pemberian obat uterotonik, pengecekan sisa plasenta dengan eksplorasi, masase
(15)
fundus uteri. Namun apabila atonia uteri terjadi maka tatalaksana awal dapat
digunakan medikamentosa, tranfusi komponen darah, dan tindakan aktif medis.
(21)
Atonia Uteri dapat ditandai dengan munculnya perdarahan segera dari jalan
setelah persalinan. (19)

II. Anatomi Uterus


Uterus merupakan salah satu organ genitalia interna feminina. Pada kondisi
tidak hamil uterus terletak di dalam kavitas pelvis diantara kandung kemih bagian
(9)
anterior dan rektum dibagian posterior. Uterus berbentuk seperti pear dan terdiri
atas dua bagian utama yang tidak sama besarnya, yaitu bagian atas berupa bagian
berbentuk triangular berupa bagian tubuh atau korpus, dan di bagian bawahnya
(9)
berupa silindris yang terdiri atas cerviks hingga vagina. Itsmus merupakan
bagian diantara keduanya.(9) Itsmus menjadi bagian yang penting pada ostetri,
karena pada saat usia kandungan aterm, area ini akan menjadi segmen bawah
rahim. Disetiap bagian superolateral batas dari kornu uteri, terdapat tuba falopi
yang menempel pada konveks bagian atas uterus yang dikenal sebagai fundus.
Sebagian besar bagian dari uterus tapi tidak serviks adalah otot. (9) Bagian dalam
antara area anterior dan posterior hampir saling berdekatan, dan kavitas diantara
keduanya sangat kecil. (9) Pada nuligravida uterus dapat berukuran 6 hingga 8 cm
dibandingkan pada multipara 9-10 cm. (9) Dengan berat rata-rata 60 gram. (9) Pada
saat hamil terjadi peningkatan ukuran uterus akibat terjadinya proses hipertropi
pada sel uterus. Pembagian uterus secara struktur anatomis, terdiri atas; (1) fundus
uteri, (2) corpus uteri: menghadapa ke arah abdomen terletak di bawah muara tuba
uterina dan membentuk dua pertiga superior dari keseluruhan uterus, melekat pada
ligamentum latum uteri, terdiri atas facies vesicalis dan facies intestinalis atau
dorsalis, (3) serviks uteri, merupakan bagian terbawah yang menyempit dan
berlanjut sebagai cerviks uteri yang menembus dinding anterior vagina dan dibagi
menjadi: postio supravaginalis uteri dan postio vaginalis serviks uteri. (9) Ruangan
di dalam uterus antara lain; (1) cavum uteri, (2) isthmus uteri dan canalis cervicis
uteri.
Gambar 1. Penampang uterus (A) bagiang depan (B) bagian lateral kanan (C) posterior. a. tuba
fallopi b. ligamentum bundar, c. Ligamentum uteroovarian ur. Ureter (9)

Uterus terdiri atas lapisan endometrium, miometrium dan lapisan serosa.


(9)
Bagian uterus sebagian besar terdiri atas miometrium , yang merupakan lapisan
otot polos yang tersusun satu dengan dikelilingi oleh jaringan penghubung yang
terdiri atas fiber elastis. Diantara miometrium terdapat pembuluh darah dan pada
saat berkontraksinya miometrium, pembuluh darah yang ada akan terkompresi dan
menyempit lumennya. Susunan anatomi ini yang berperan besar pada kala 3 untuk
menghentikan perdarahan sesaat ketika plasenta lepas.(9) Jumlah komponen
miometrium bervariasi sesuai dengan letak miometrium pada uterus.(9) Pada
bagian anterior dan posterior memiliki kandungan sel otot yang lebih tebal
dibandingkan bagian lateral.(9) Pada saat hamil terjadi proses hipertropi pada
bagian atas otot fundus uterus namun tidak dibagian otot serviks. (9) Rongga dalam
uterus terdiri atas endometrium, yang didalamnya terdapat epitel, kelenjar yang
berinvaginasi, dan jaringan pendukung berupa stroma. Kondisi endometrium akan
(9)
berubah seiring dengan fase pada wanita. Menstruasi dan kehamilan
(9)
berpengaruh besar terhadap perubahan struktur pada endometrium. Lapisan
dalm endometrium terbagi menjadi lapisan fungsional yang akan terus berganti
dan luruh pada saat menstruasi dan kaya akan pembuluh darah, serta bagian basal
yang akan tetap berada pada lokasinya, serta tidak terpengaruh oleh kadar hormon
tubuh. (9)
Gambar 2. Serat Otot polos dari miometrium yang mengkompresi pembuluh darah pada posisi
tranversal ketika berkontraksi(9)

Untuk mempertahankan posisinya di dalam cavitas pelvicus, uterus difiksasi oleh


ligamenta. Ligamenta yang penting pada uterus adalah:
a. Diagfragma pelvis (Musculus Levator Ani): merupakan fiksator utama pada uterus
b. Ligamentum latum uteri : adalah jaringan fibrosa yang pada kedua permukaannya
ditutupi oleh peritoneum. Membentang dari sisi samping uterus ke dinding lateral dan
dasar kavitas pelvikus. Ligamentum ini terdiri atas dua lembar.
c. Ligamentum teres uteri (rotundum)
d. Ligamentum sakrouterinum
e. Ligamentum kardinale
f. Plika vesikouterina
g. Plika rectovaginalis
h. Plika sakrogenitale
Uterus divaskularisasi oleh arteri utama beruba a.uterina yang merupakan cabang
utama dari a. illiaka interna atau a. hipogastrika yang menembus ligamentum latum
uteri dan menyentuh bagian luas dari uterus. Sekitar 2 cm dari lateral serviks arteri ini
akan bersilangan dengan ureter. (9) Keadaan ini sangat berpengaruh signifikan dalam
proses histerektomi karna mudah terluka ketika akan melakukan klem pada arteri. (9)
Ketika arteri uterina telah menyentuh bagian supravaginal portio dari serviks, arteri
Gambar 3. Arteri di dalam rongga pelvik(9)

ini terbagi. (9) Bagian kecil dari arteri servikovaginal menyuplai darah untuk bagian
(9)
bawah serviks, dan bagian atas vagina. Bagian cabang utama dari arteri ini
kemudian menuju keatas secara tranvers hingga kebagian lateral batas uterus yang
kemudian menembus lapisan serosa uterus kemudian lapisan miometrium, cabang
arteri ini kemudian menjadi ateri basal atau arteri spiralis yang berada pada bagian
fungsional endometrium serta arteri basal yang disebut juga arteri uang membujur. (9)

III. Etiologi
Kejadian atonia uteri dapat terjadi akibat beberapa hal.(15, 25)
Mengenali resiko
terjadi atonia uteri menjadi sangat penting untuk optimisasi dan memberikan
(21)
pencegahan yag terarah. Seperti yang tertera pada tabel 1 penyebab atonia uteri
dapat dikategorikan kedalam faktor yang berhubungan dengan overdistensi pada
uterus, faktor yang berhubungan dengan proses persalinan, penggunaan preparat
relaksan, dan faktor internal.(15, 12)
Kehamilan multipel, polihodramnion, dan
makrosomia pada fetal dapat menyebabkan overdistensi pada uterus. Kondisi
intrapartum yang dapat memicu terjadinya atonia uteri, seperti induksi dalam
persalinan, persalinan yang lama, pemberian oksitosin dalam kadar yang tidak
normal. Induksi pada persalinan tercatat menjadi penyebab 17% persalinan dengan
(11,21,25)
atonia uteri yang memerlukan tranfusi darah. Penggunaan oksitosin yang lama
selama menjelang persalinan dapat menyebabkan atonia uteri, beberapa penelitian
memberikan hipotesis bahwa memberikan oksitosin dalam jangka waktu lama akan
menyebabkan desensititasi reseptor terhadap oksitosin dan menyebabkan tonus otot
melemah. (21)
Tabel 1. Faktor Resiko terjadinya atonia uteri(5,21, 25)

IV. Patofisiologi
Hemostasis pada keadaan setelah mealahirkan bergantung pada mekanisme yang
(24)
dimediasi oleh hormon yang memicu kontraksi yang kuat pada uterus.
Miometrium dan desidua merupakan agen utama yang menyebabkan kontraksi dapat
terjadi. Arteri spiral yang terdapat pada dinding endometrium pada uterus pada saat
kehamilan berkembang dan membesar, pada saat kala 3 kontraksi uterus
menyebabkan aliran darah pada arteri ini menurun dan perlahan menyebabkan
(24)
lepasanya plasenta. penyebab kontraksi pada uterus antara lain karena oksitosin,
prostaglandin, serta faktor koagulan. Selama proses persalinan, oksitosin dilepaskan
secara pulsatil yang terus meningkat. Penyebab utama yang melatarbelakangi
mekanisme pulsatil ini belum diketahui dengan jelas. Oksitosis meningkatkan
(24)
kontraksi uterus dengan berikatan pada reseptor miometrium. Prostaglandin
merupakan stimulator potensial bagi kontraktilitas miometrum, yang bekerja pada
siklik AMP (adenin monopohospat) yang dimediasi oleh pengeluaran kalsium. Pada
uterus, prostaglandin diproduksi di dalam desidua, jaringan plasenta, dan membran
fetal. Kerja kontraksi ooleh prostaglandin tidak bergantung pada kehamilan. Kadar
prostaglandin meningkat signifikan sesaat sebelum plasenta terlepas dan menurun
dalam 10 menit pasca plasenta lahir. Sebelum dan setelah melahirkan terjadi
perubahan pada kadar fibrinogen dan pembekuan. Konsentrasi plasma terhadap faktor
koagulan menunjukan terjadi kondisi hiperkoagulan pada saat setelah melahirkan. (24)
Setelah plasenta lahir, potensial fibrinolitik pada darah ibu meningkat dan mekanisme
(24)
inilah yang menurunkan terjadinya klot darah. Secara singkat mekanisme
hemostatis pada kondisi selama dan setelah plasenta terlepas kemungkinan terdiri dari
kontraksi oleh sel otot yang terletak disepanjang arteri spiralis, yang menyebabkan
formasi platelet, retraksi uterus menyebabkan mekanisme oklusi dari arteriola dan
difasilitasi oleh pembentukan platelet plak dan aktivitas keduanya kaskade kloting dan
fibrinolisis. (24)
Atonia uteri terjadi ketika fase relaksasi dari uterus gagal untuk melakukan
konstriksi terhadap pembuluh darah di dalam serat otot, dan menyebabkan
(21)
perdarahan. Kegagalan uterus untuk berkontraksi dapat terjadi akibat terdapatnya
sisa jaringan plasenta, atau terdapat plasenta suksenturia, material sisa pada uterus
tersebut bekerja sebagai pembloking terhadap kontraksi. (16) Dalam kondisi sebaliknya
dapat terjadi kontraksi uterus yang lemah menyebabkan plasenta tertinggal di dalam
kavum uterus. Penyebab lainnya pada atonia uteri adalah kondisi hiperdistensi pada
(16)
kala 3 sehingga kontraksi menjadi tidak adekuat. Hiperdistensi dapat terjadi pada
(16)
kondisi kehamilan multipel dan polihidramnion. Pada kondisi yang jarang,
terjadinya abrutio pada palsenta sebelum melahirkan, akan menyebabkan
terkumpulnya darah pada miometrium, dan menyebabkan kegagalan kontraksi uterus,
(16)
yang disebut sebagai uterus Couvelaire. Kondisi korioamnionitis pada keadaan
sebelum melahirkan juga akan menyebabkan kontraksi uterus menurun dan terjadinya
proses persalinan yang lama akan meningkatkan kejadian perdarahan post partum.
(16)
Pada beberapa kejadian yang jarang, kondisi malformasi arteri pada uterus dapat
menyebabkan terjadi terjadinya perdarahan hebat meskipun kontraksi uterus pada
keadaan normal, hal ini terjadi karna diameter dan jumlah arteri pada uterus yang
meningkat pada sebagian orang sehingga terjadi kondisi atonia uteri semu. (16)

V. Tata Laksana

Hal utama yang dilakukan dalam menatalaksana segera pasien pasca persalinan
dengan perdarahan adalah mengenali tanda- tandanya, dapat secara subyektif berupa
keluhan pasien yang merasa dirinya semakin lemah, atau nyeri pada perut dan tanda
objektif, seperti pada vital sign, tanda tensi yang menurun, denyut jantung yang
meningkat dan akral dingin dapat dikenali sejak awal. (1,7,20, 21, 26, 27) Secara pada kondisi
perdarahan post partum, langkah yang dapat dilakukan: (a) memperoleh informasi
detail mengenai pasien untuk mengetahui penyebab perdarahan (b) mengosongkan
kandung kemih pasien (c) memastikan tidak ada laserasi pada traktus genitalia (d)
memperkirakan kehilangan darah yang terjadi (e) memperoleh akses pada pasien
(26)
untuk melakukan resusitasi yang memadai dan mejaga hemodinamik. Hal yang
perlu dimonitor antara lain; monitor EKG, tekanan darah, dan saturasi oksigen,
monitor keluaran urin, disarankan untuk melakukan monitoring invasiv jika kondisi
pasien menjadi tidak stabil, dan pengulangan pungsi vena tidak disarankan dilakukan.
V.1 Resusitasi
Tujuan utama dari resusitasi adalah untuk mengembalikan perfusi jaringan ke
kondisi semula. Diberikan oksigen dengan aliran tinggi 8 liter per menit, posisi
diletakkan lebih rendah dan dimiringkan ke kiri untuk mencegah kompresi aorta
abdominalis, dan vena cava inferior jika tidak dapat dengan segera dibawa ke
pelayanan medis yang lebih lengkap; akses intravena dengan kanul no 14 atau 16
untuk memberikan tranfusi darah, pada studi penelitian dapat diberikan darah dengan
perbandingan 4:4:1 (Red Blood Cell: Fresh Frozen Plasma: Platelet) dengan selalu
menyediakan darah golongan O rhesus negatif untuk memotong waktu untuk proses
(14)
cross match ; pemberian cairan, dapat berupa kristaloid, koloid kecuali dekstran
dapat diberikan dengan maksimal sebanyak 3,5 liter total dengan jumlah darah yang
diberikan, seluruh cairan yang diberikan diupayakan dalam kondisi hangat unruk
mencegah hipotermia pada pasien.
V.2 Penghentian Perdarahan
Langkah berikutnya adalah upaya menghentikan perdarahan. Menghentikan
perdarahan dapat dilakukan dengan menggunakan medikamentosa dan tidakan medis
aktif. Medikamentosa yang dapat diberikan antara lain, tertera pada tabel 2. Oksitosin
menjadi pilhan utama yang diberikan 5-10 IU IV dalam infus. (26, 30)

Tabel 2. Penggunaan uterotonik pada Atonia Uteri(26, 30)


Tindakan intervensi medis yang dapat dilakukan untuk mengehentikan
perdarahan terdiri dari beberapa metode secara sederhana dan tindakan komperhensiv
(26)
dengan bedah. Tindakan medis sederhana yang dapat dilakukan sejak dini antara
lain dengan melakukan masase fundus uteri. (26)Masase fundus uteri dilakukan dengan
mengusap dan menstimulasi fundus uterus. Tindakan ini dihipotesiskan dapat
membuat prostaglandin setempat dikeluarkan dan menyebabkan kontraksi sehingga
dapat mengentikan perdarahan. (26)Dalam penelitian menunjukan bahwa masase uterus
selama 30 menit diikuti dengan pemberian oksitosin dapat meningkatkan kontraksi
uterus. (26) Tindakan lainnya yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan kompresi
aorta, tindakan ini dapat digunakan untuk mengurangi dan mengontrol jumlah
perdarahan yang keluar dengan mengurangi aliran dari ujung distal dari arteri uterina.
(26)
Kompresi aorta dilakukan dengan menekan area diatas batas kontraksi uterus
dengan tangan mengepal kemudian perlahan menuju ke kiri. Keberhasilan tindakan
(26)
ini ditandai dengan absesnsi pulsasi aorteri femoralis. Tindakan kompresi aorta ini
secara intermiten dihentikan setiap 30 menit untuk mengembalikan aliran darah ke
(26)
ekstremitas bawah. Tindakan ini dapat dilakukan untuk tahap awal sebelum
(26)
dilakukan tindakan yang lebih kompleks. Tindakan lainnya adalah kompresi
bimanual, tindakan ini dilakukan dengan memasukkan tangan kanan ke dalam vagina
pada permukaan anterior uterus dan tangan kiri berada pada abdomen bagian atas
tepat pada fundus dan mendorong ke arah posterior, uterus kemudian ditekan dengan
menggunakan kedua tangan sehingga perdarahan dapat dihentikan, tindakan ini hanya
dilakukan bila kondisi pasien stabil. Selain tindakan yang disebutkan sebelumnya,
tamponade uterin dapat dikerjakan. (26)

A B

Gambar 4. Kompresi Aorta (A) Kompresi Bimanual (B) (21)


Tindakan ini menggunakan balon kateter yang dimasukan ke dalam vagina
dan kemudian di isi air hingga membesar, tindakan ini dihipotesiskan dapat
memberikan tekanan hidrostatis pada arteri dalam kavum uterus dan menghentikan
(26)
perdarahan. Tindakan bedah dapat digunakan sebagai terapi definitiv jika
penatalaksanaan awal tidak dapat menghentikan perdarahan yang terjadi akibat atonia
(26)
uteri. Tindakan komperhensiv yang diajukan dapat dilakukan antara lain,
embolisasi arteri uterina, B lynch Sutura, ligasi arteri, dan histerektomi. (26) Embolisasi
arteri uterina menjadi alternatif metode yang dapat digunakan untuk mengurangi
morbiditas akibat dilakukannya histerektomi, dalam beberapa penelitian disebutkan
bahwa penggunaaan embolisasi arteri uterina memberikan keberhasilan 90% pada
kasus PPH (26). (26) Pada kasus PPH embolisasi dapat menyelamatkan tingkat fertilitas
(26)
pada pasien hampir 100 %. Tindakan ini dilakukan di instalasi radiologi setelah
kondisi pasien stabil. Kateter arteri ditempatkan dalam arteri iliaca interna, kemudia
balon kateter dikembangkan hingga mengoklusi diameter kapiler arteri. (26) Embolisasi
juga dapat dilakukan pada arteri mesenterik inferior dengan memasukan kateter
melalui arteri femoralis dan memasukan zat mixed glue yang didilusikan dengan
lipidol. (27)

Gambar 5. Aortografi dengan ekstravasasi dari distal pembuluh darah aoteri mesenterik inferior
(a,b). post embolisasi (c) (27)

Teknik mengatasi perdarahan akibat atonia uteri lainnya adalah dengan


melakukan jahitan kompresi B-Lynch. Teknik B-lynch dilakukan dengan melakukan
kompresi berlawanan arah pada bagian dinding anterior dan posterior melalui jahitan
secara transversal dan vertikal atau dengan jahitan multipel berbentuk segi empat.
Komplikasi dari tindakan ini adalah adanya fibrosis bada jahitan, adhesi abdominal,
dan piometria, namun beberapa penelitian yang dilakukan menunjukan tingkat
kesukses untuk terjadinya kehamilan pada tahun berikutnya setelah tindakan.
(26)
Teknik B-lynch merupakan teknik yang cukup sering digunakan dalam kasus atonia
uteri untuk menghentikan perdarahan (18, 23) dan menjadi teknih pertama yang diajukan
(18, 23)
dan dapat dilakukan dengan alat yang sederhana. Meskipun penggunaannya
belum menjadi protab dasar dalam tatalaksana klinis atonia uteri, namun penggunaan
B-lynch banyak memberikan manfaat serta dapat dibersamai dengan teknik ligasi
(17)
arteri ataupun embolisasi arteri. Teknik B-lynch dapat digunakan untuk
meminimalkan efek pada histerektomi. (28) Teknik lainnya yang dapat diajukan dengan
metode yang sama yaitu memberikan sutura pada uterus untuk menekan perdarahan
adalah teknik haiman, dimana bentuk jahitan sedikit berbeda dengan B-lynch, yang
(33)
memberikan jahitan pada bagian eksternal uterus pada kedua sisi uterus. Intervensi
medis lainnya yang dapat digunakan yaitu ligasi arteri arteri iliaca interna, metode ini
dapat mengurangi perdarahan yang terjadi, namun tidak sepenuhnya dapat
menghentikan, terlebih jika terdapat pembuluh kolateral. Ligasi arteri ini tercatat
mampu menghentikan perdarahan sebesar 84%. Perlakuan bilateral pada arteri tidak
dibuktikan dapat menggangu fertilitas dimasa berikutnya, hal ini mungkin
dikarenakan pembuluh cabang lainnya mampu menyuplai keperluan nutrisi jaringan.
Tindakan akhir dalam mengatasi perdarahan post partum akibat atonia uteri yang
tidak dapat ditangani dengan intervensi medis lainnya adalah dengan histerektomi

Gambar 6. Teknik B-lynch (17,18) (A) Teknik Hayman (B)(33)


Uterus di pisahkan dari ligamentum penggantungnya, kemudian diambil, dan sisa
jalur vagina dapat dipertahnkan atau juga diambil. Tindakan histerektomi dapat
menyelamatkan pasien yang sebelumnya kondisi vitalnya memburuk. (26)

Daftar Pustaka

1. Ahonen J, Stefanovic V, Lassila R, 2010. Management of post-partum haemorrhage,.


Acta Anaesthesiol Scand: Nov;54(10): pp. 1164-78.
2. Alfirevic, Z. et al., 2007. Prevention of postpartum hemorrhage with misoprostol. ,
pp.198–201.

3. Bateman BT, Berman MF, Riley LE, Leffert LR, 2010. Anesth Analg. 110(5):1368-
73. The epidemiology of postpartum hemorrhage in a large, nationwide sample of
deliveries.

4. Bibi S, Danish N, Fawad A, Jamil M, 2007. An audit of primary post partum


hemorrhage.Oct-Dec;19(4):102-6.
5. Blomberg, M., 2011. Maternal Obesity and Risk of Postpartum Hemorrhage. , 118(3),
pp.561–568.

6. Breathnach, F. & Geary, M., 2008. Uterine Atony: Definition, Prevention, Nonsurgical
Management, and Uterine Tamponade. YSPER, 33(2), pp.82–87. Available at:
http://dx.doi.org/10.1053/j.semperi.2008.12.001.

7. Browne JL. et al., 2015. Uterine Tonus Assessment by Midwives versus Patient self-
assessment in the active management of the third stage of labor (UTAMP): study
protocol for a randomized controlled trial.

8. Chelmow, D., 2011. Postpartum haemorrhage : prevention Search date March 2010
Pregnancy and childbirth Postpartum haemorrhage : prevention. , (March 2010), pp.1–
111.

9. Cunningham, FG., et al.,2013. Obstetri Williams (Williams Obstetri). Jakarta : EGC


Depkes RI, Chap 2.,pp. 25-29.

10. Dongol AS, Shrestha A, Chawla CD, 2010. Post partum haemorrhage: prevalence,
morbidity and management pattern in Dhulikhel Hospital.,Kathmandu Univ Med J
(KUMJ).Apr-Jun;8(30):pp.212-5.
11. Factors, R. et al., 2014. Professional Med J 21(6): Atonic Uterus., pp. 1122-1127

12. Farhana, M. et al., 2015. Histological characteristics of the myometrium in the


postpartum hemorrhage of unknown etiology : a possible involvement of local
immune reactions. Journal of Reproductive Immunology, 110, pp.74–80. Available at:
http://dx.doi.org/10.1016/j.jri.2015.04.004.
13. Farina, A. et al., 2017. Elevated maternal placental protein 13 serum levels at term of
pregnancy in postpartum major hemorrhage ( > 1000 mLs ). A prospective cohort
study. , (April), pp.1–6.

14. Gouez, A. Le & Mercier, F.J., 2016. Major obstetric hemorrhage. Transfusion clinique
et biologique, pp.8–11. Available at: http://dx.doi.org/10.1016/j.tracli.2016.08.003.

15. Homer, C. et al., 2009. Maternal mortality : What can we learn from stories of
postpartum haemorrhage?., Women and Birth (22)., pp.97—104.

16. Iwagaki, S. et al., 2015. Novel pathophysiological cause for post-partum hemorrhage :
Case report of post-partum hemorrhage with occult abnormal artery diagnosed on
pelvic angiography. , 41(9), pp.1469–1472.

17. Kaya, B. et al., 2016. Arch Gynecol Obstet: Which uterine sparing technique should
be used for uterine atony during cesarean section ? The Bakri balloon or the B-Lynch
suture ?

18. Kaya, B., Tuten, A. & Daglar, K., 2014. B-Lynch uterine compression sutures in the
conservative surgical management of uterine atony.

19. Kimmich, N. et al., 2015. Case Report Uterus Wrapping : A Novel Concept in the
Management of Uterine Atony during Cesarean Delivery 3 . Technique of Uterus
Wrapping. , 2015, pp.5–8.

20. Kyeong, K. et al., 2017. Delayed postpartum hemoperitoneum due to uterine artery
pseudoaneurysm rupture. , 60(3), pp.303–307.

21. Lim, P.S., 2010. Uterine Atony : Management Strategies Universiti Kebangsaan
Malaysia Medical Center, Universiti Kebangsaan Malaysia Malaysia. . Blood
Transfusion in Clinical Practice, Chap 6., pp: 96-128.

22. Lutomski, J.E., Byrne, B.M. & Devane, D., 2011. Increasing trends in atonic
postpartum haemorrhage in Ireland : an 11-year population-based cohort study. ,
pp.306–314.

23. Mex. Ramírez-Cárdenas A. et al, 2015. Modified technique b-lynch compression


suture with uterine atony., 83(8):471-6.
24. R.-U. Khan and H. El-Refaey, Pathophysiology of Postpartum Hemorrhage and Third
Stage of Labor., https://www.glowm.com/pdf/PPH_2nd_edn_Chap-13.pdf- pp. 94-
100

25. Rahman, S.S. et al., 2008. Post partum haemorrhage secondary to uterine atony ,
complicated by platelet storage pool disease and partial placenta diffusa : a case
report. , 4, pp.1–4.

26. Rudra , A. et al, 2010. Management of obstetric hemorrhage a. , 20(4), pp.499–508.


27. Shin, S.M., Yi, K.W. & Chung, H.H., 2015. Novel Insights from Clinical Practice
Postpartum Uterine Bleeding from the Inferior Mesenteric Artery : Case Report. ,
pp.60–63.

28. Tai, G. et al., 2015. Reflexed Compression Suture for the Management of Atonic
Postpartum Hemorrhage with an Abnormally Adherent Placenta. , pp.228–233.

29. Tort, J. et al., 2016. International Journal of Gynecology and Obstetrics Initial
management of postpartum hemorrhage : A cohort study in Benin and Mali.
International Journal of Gynecology and Obstetrics, 135, pp.S84–S88. Available at:
http://dx.doi.org/10.1016/j.ijgo.2016.08.016.

30. Vallera, C. et al., 2017. Anesthesiology Clin: U t e ro t o n i c M e d i c a t i o n s. ,


pp.1–13.

31. Walfish, M. et al., 2009. Maternal haemorrhage. , 103, pp.47–56.

32. Weeks, A., 2014. The prevention and treatment of postpartum haemorrhage : what do
we know , and where do we go to next ? , pp.1–9.

33. Yoong, W.A.I. et al., 2012. Application of uterine compression suture in association
with intrauterine balloon tamponade (“ uterine sandwich ”) for postpartum
hemorrhage. , 91, pp.147–151.

You might also like