Professional Documents
Culture Documents
ATONIA UTERI
Disusun oleh :
Pembimbing :
Dr. dr. Uki Retno, Sp.OG (K)
Abstrak
Latar Belakang : Perdarahan Post Partum (PPH) menjadi penyebab perburukan kondisi
maternal pasca persalinan. Penyebab terbanyak pada PPH adalah Atonia Uteri. Atonia Uteri
merupakan kondisi uterus yang lunak, dan kontraksi yang buruk pasca persalinan. Atonia
Uteri memiliki etiologi yang terdiri atas beberapa hal. Kejadiannya seringkali tanpa diduga
meskipun sebetulnya dapat dicegah. Alur penatalaksaan terhadap atonia uteri telah dikerjakan
sejak lama, dan beberapa penelitian baru memberikan informasi tentang perbandingan
tatalaksana yang lebih baik dibanding sebelumnya, langkah pencegahan, dan aspek lainnya
mengenai atonia uteri..
Tujuan : Mendapatkan informasi dan penelitian terbaru mengenai atonia uteri sehingga dapat
digunakan secara klinis.
Metode : Tulisan ini merupakan telaah artikel terhadap informasi dan penelitian terbaru sejak
10 tahun terakhir mengenai atonia uteri.
Simpulan : Atonia uteri merupakan penyebab perdarahan post partum tersering yang
menyebabkan perburukan kondisi maternal. Penegakan diagnosis dapat dilakukan secara
klinis, dan tatalaksana yang dapat diberikan dimulai dengan resusitasi, kemudian
mengehentikan perdarahan baik dengan medikamentosa, tindakan intervensi medis
sederhana, hingga intervensi bedah. Upaya tatalaksana atonia uteri terus berkembang seiring
dengan kemajuan pengetahuan medis.
I. Definisi
(2,6, 31)
Atonia uteri adalah kegagalan uterus untuk berkontraksi adekuat setelah
bayi dilahirkan, dikenal sebagai uterus yang “lembut”, “basah/ penuh cairan”
(6)
dengan disertai perdarahan yang terus terjadi melalui jalan lahir. Atonia Uteri
(10)
menjadi penyebab langsung dari 90% kematian maternal pada kejaidan PPH.
Kontraksi miometrium yang kuat dan teratur merupakan hal terpenting dalam
(921)
menghentikan perdarahan yang terjadi. Pengenalan tanda akan adanya atonia
uteri, diikuti oleh masase fundus uteri dan pemberian agen uterotonik dapat
memberikan kondisi yang signifikan untuk menghentikan perdarahan dan
(21)
mencegah terjadinya atonia uteri. Pada perdarahan akibat atonia uteri yang
tidak diketahui, tanda klinis yang dapat muncul pada pasien antara lain munculnya
(31)
ketidakstabilan hemodinamik sekunder akibat hipovolemia. Faktor resiko
utama terjadinya atonia uteri adalah hiperdistensi pada uterus yang dapat
(31)
disebabkan oleh beberapa hal. Kejadian atonia uteri sebetulnya dapat dicegah
dengan penanganan kala 3 yang baik melalui beberapa langkah inti antara lain.
Pemberian obat uterotonik, pengecekan sisa plasenta dengan eksplorasi, masase
(15)
fundus uteri. Namun apabila atonia uteri terjadi maka tatalaksana awal dapat
digunakan medikamentosa, tranfusi komponen darah, dan tindakan aktif medis.
(21)
Atonia Uteri dapat ditandai dengan munculnya perdarahan segera dari jalan
setelah persalinan. (19)
ini terbagi. (9) Bagian kecil dari arteri servikovaginal menyuplai darah untuk bagian
(9)
bawah serviks, dan bagian atas vagina. Bagian cabang utama dari arteri ini
kemudian menuju keatas secara tranvers hingga kebagian lateral batas uterus yang
kemudian menembus lapisan serosa uterus kemudian lapisan miometrium, cabang
arteri ini kemudian menjadi ateri basal atau arteri spiralis yang berada pada bagian
fungsional endometrium serta arteri basal yang disebut juga arteri uang membujur. (9)
III. Etiologi
Kejadian atonia uteri dapat terjadi akibat beberapa hal.(15, 25)
Mengenali resiko
terjadi atonia uteri menjadi sangat penting untuk optimisasi dan memberikan
(21)
pencegahan yag terarah. Seperti yang tertera pada tabel 1 penyebab atonia uteri
dapat dikategorikan kedalam faktor yang berhubungan dengan overdistensi pada
uterus, faktor yang berhubungan dengan proses persalinan, penggunaan preparat
relaksan, dan faktor internal.(15, 12)
Kehamilan multipel, polihodramnion, dan
makrosomia pada fetal dapat menyebabkan overdistensi pada uterus. Kondisi
intrapartum yang dapat memicu terjadinya atonia uteri, seperti induksi dalam
persalinan, persalinan yang lama, pemberian oksitosin dalam kadar yang tidak
normal. Induksi pada persalinan tercatat menjadi penyebab 17% persalinan dengan
(11,21,25)
atonia uteri yang memerlukan tranfusi darah. Penggunaan oksitosin yang lama
selama menjelang persalinan dapat menyebabkan atonia uteri, beberapa penelitian
memberikan hipotesis bahwa memberikan oksitosin dalam jangka waktu lama akan
menyebabkan desensititasi reseptor terhadap oksitosin dan menyebabkan tonus otot
melemah. (21)
Tabel 1. Faktor Resiko terjadinya atonia uteri(5,21, 25)
IV. Patofisiologi
Hemostasis pada keadaan setelah mealahirkan bergantung pada mekanisme yang
(24)
dimediasi oleh hormon yang memicu kontraksi yang kuat pada uterus.
Miometrium dan desidua merupakan agen utama yang menyebabkan kontraksi dapat
terjadi. Arteri spiral yang terdapat pada dinding endometrium pada uterus pada saat
kehamilan berkembang dan membesar, pada saat kala 3 kontraksi uterus
menyebabkan aliran darah pada arteri ini menurun dan perlahan menyebabkan
(24)
lepasanya plasenta. penyebab kontraksi pada uterus antara lain karena oksitosin,
prostaglandin, serta faktor koagulan. Selama proses persalinan, oksitosin dilepaskan
secara pulsatil yang terus meningkat. Penyebab utama yang melatarbelakangi
mekanisme pulsatil ini belum diketahui dengan jelas. Oksitosis meningkatkan
(24)
kontraksi uterus dengan berikatan pada reseptor miometrium. Prostaglandin
merupakan stimulator potensial bagi kontraktilitas miometrum, yang bekerja pada
siklik AMP (adenin monopohospat) yang dimediasi oleh pengeluaran kalsium. Pada
uterus, prostaglandin diproduksi di dalam desidua, jaringan plasenta, dan membran
fetal. Kerja kontraksi ooleh prostaglandin tidak bergantung pada kehamilan. Kadar
prostaglandin meningkat signifikan sesaat sebelum plasenta terlepas dan menurun
dalam 10 menit pasca plasenta lahir. Sebelum dan setelah melahirkan terjadi
perubahan pada kadar fibrinogen dan pembekuan. Konsentrasi plasma terhadap faktor
koagulan menunjukan terjadi kondisi hiperkoagulan pada saat setelah melahirkan. (24)
Setelah plasenta lahir, potensial fibrinolitik pada darah ibu meningkat dan mekanisme
(24)
inilah yang menurunkan terjadinya klot darah. Secara singkat mekanisme
hemostatis pada kondisi selama dan setelah plasenta terlepas kemungkinan terdiri dari
kontraksi oleh sel otot yang terletak disepanjang arteri spiralis, yang menyebabkan
formasi platelet, retraksi uterus menyebabkan mekanisme oklusi dari arteriola dan
difasilitasi oleh pembentukan platelet plak dan aktivitas keduanya kaskade kloting dan
fibrinolisis. (24)
Atonia uteri terjadi ketika fase relaksasi dari uterus gagal untuk melakukan
konstriksi terhadap pembuluh darah di dalam serat otot, dan menyebabkan
(21)
perdarahan. Kegagalan uterus untuk berkontraksi dapat terjadi akibat terdapatnya
sisa jaringan plasenta, atau terdapat plasenta suksenturia, material sisa pada uterus
tersebut bekerja sebagai pembloking terhadap kontraksi. (16) Dalam kondisi sebaliknya
dapat terjadi kontraksi uterus yang lemah menyebabkan plasenta tertinggal di dalam
kavum uterus. Penyebab lainnya pada atonia uteri adalah kondisi hiperdistensi pada
(16)
kala 3 sehingga kontraksi menjadi tidak adekuat. Hiperdistensi dapat terjadi pada
(16)
kondisi kehamilan multipel dan polihidramnion. Pada kondisi yang jarang,
terjadinya abrutio pada palsenta sebelum melahirkan, akan menyebabkan
terkumpulnya darah pada miometrium, dan menyebabkan kegagalan kontraksi uterus,
(16)
yang disebut sebagai uterus Couvelaire. Kondisi korioamnionitis pada keadaan
sebelum melahirkan juga akan menyebabkan kontraksi uterus menurun dan terjadinya
proses persalinan yang lama akan meningkatkan kejadian perdarahan post partum.
(16)
Pada beberapa kejadian yang jarang, kondisi malformasi arteri pada uterus dapat
menyebabkan terjadi terjadinya perdarahan hebat meskipun kontraksi uterus pada
keadaan normal, hal ini terjadi karna diameter dan jumlah arteri pada uterus yang
meningkat pada sebagian orang sehingga terjadi kondisi atonia uteri semu. (16)
V. Tata Laksana
Hal utama yang dilakukan dalam menatalaksana segera pasien pasca persalinan
dengan perdarahan adalah mengenali tanda- tandanya, dapat secara subyektif berupa
keluhan pasien yang merasa dirinya semakin lemah, atau nyeri pada perut dan tanda
objektif, seperti pada vital sign, tanda tensi yang menurun, denyut jantung yang
meningkat dan akral dingin dapat dikenali sejak awal. (1,7,20, 21, 26, 27) Secara pada kondisi
perdarahan post partum, langkah yang dapat dilakukan: (a) memperoleh informasi
detail mengenai pasien untuk mengetahui penyebab perdarahan (b) mengosongkan
kandung kemih pasien (c) memastikan tidak ada laserasi pada traktus genitalia (d)
memperkirakan kehilangan darah yang terjadi (e) memperoleh akses pada pasien
(26)
untuk melakukan resusitasi yang memadai dan mejaga hemodinamik. Hal yang
perlu dimonitor antara lain; monitor EKG, tekanan darah, dan saturasi oksigen,
monitor keluaran urin, disarankan untuk melakukan monitoring invasiv jika kondisi
pasien menjadi tidak stabil, dan pengulangan pungsi vena tidak disarankan dilakukan.
V.1 Resusitasi
Tujuan utama dari resusitasi adalah untuk mengembalikan perfusi jaringan ke
kondisi semula. Diberikan oksigen dengan aliran tinggi 8 liter per menit, posisi
diletakkan lebih rendah dan dimiringkan ke kiri untuk mencegah kompresi aorta
abdominalis, dan vena cava inferior jika tidak dapat dengan segera dibawa ke
pelayanan medis yang lebih lengkap; akses intravena dengan kanul no 14 atau 16
untuk memberikan tranfusi darah, pada studi penelitian dapat diberikan darah dengan
perbandingan 4:4:1 (Red Blood Cell: Fresh Frozen Plasma: Platelet) dengan selalu
menyediakan darah golongan O rhesus negatif untuk memotong waktu untuk proses
(14)
cross match ; pemberian cairan, dapat berupa kristaloid, koloid kecuali dekstran
dapat diberikan dengan maksimal sebanyak 3,5 liter total dengan jumlah darah yang
diberikan, seluruh cairan yang diberikan diupayakan dalam kondisi hangat unruk
mencegah hipotermia pada pasien.
V.2 Penghentian Perdarahan
Langkah berikutnya adalah upaya menghentikan perdarahan. Menghentikan
perdarahan dapat dilakukan dengan menggunakan medikamentosa dan tidakan medis
aktif. Medikamentosa yang dapat diberikan antara lain, tertera pada tabel 2. Oksitosin
menjadi pilhan utama yang diberikan 5-10 IU IV dalam infus. (26, 30)
A B
Gambar 5. Aortografi dengan ekstravasasi dari distal pembuluh darah aoteri mesenterik inferior
(a,b). post embolisasi (c) (27)
Daftar Pustaka
3. Bateman BT, Berman MF, Riley LE, Leffert LR, 2010. Anesth Analg. 110(5):1368-
73. The epidemiology of postpartum hemorrhage in a large, nationwide sample of
deliveries.
6. Breathnach, F. & Geary, M., 2008. Uterine Atony: Definition, Prevention, Nonsurgical
Management, and Uterine Tamponade. YSPER, 33(2), pp.82–87. Available at:
http://dx.doi.org/10.1053/j.semperi.2008.12.001.
7. Browne JL. et al., 2015. Uterine Tonus Assessment by Midwives versus Patient self-
assessment in the active management of the third stage of labor (UTAMP): study
protocol for a randomized controlled trial.
8. Chelmow, D., 2011. Postpartum haemorrhage : prevention Search date March 2010
Pregnancy and childbirth Postpartum haemorrhage : prevention. , (March 2010), pp.1–
111.
10. Dongol AS, Shrestha A, Chawla CD, 2010. Post partum haemorrhage: prevalence,
morbidity and management pattern in Dhulikhel Hospital.,Kathmandu Univ Med J
(KUMJ).Apr-Jun;8(30):pp.212-5.
11. Factors, R. et al., 2014. Professional Med J 21(6): Atonic Uterus., pp. 1122-1127
14. Gouez, A. Le & Mercier, F.J., 2016. Major obstetric hemorrhage. Transfusion clinique
et biologique, pp.8–11. Available at: http://dx.doi.org/10.1016/j.tracli.2016.08.003.
15. Homer, C. et al., 2009. Maternal mortality : What can we learn from stories of
postpartum haemorrhage?., Women and Birth (22)., pp.97—104.
16. Iwagaki, S. et al., 2015. Novel pathophysiological cause for post-partum hemorrhage :
Case report of post-partum hemorrhage with occult abnormal artery diagnosed on
pelvic angiography. , 41(9), pp.1469–1472.
17. Kaya, B. et al., 2016. Arch Gynecol Obstet: Which uterine sparing technique should
be used for uterine atony during cesarean section ? The Bakri balloon or the B-Lynch
suture ?
18. Kaya, B., Tuten, A. & Daglar, K., 2014. B-Lynch uterine compression sutures in the
conservative surgical management of uterine atony.
19. Kimmich, N. et al., 2015. Case Report Uterus Wrapping : A Novel Concept in the
Management of Uterine Atony during Cesarean Delivery 3 . Technique of Uterus
Wrapping. , 2015, pp.5–8.
20. Kyeong, K. et al., 2017. Delayed postpartum hemoperitoneum due to uterine artery
pseudoaneurysm rupture. , 60(3), pp.303–307.
21. Lim, P.S., 2010. Uterine Atony : Management Strategies Universiti Kebangsaan
Malaysia Medical Center, Universiti Kebangsaan Malaysia Malaysia. . Blood
Transfusion in Clinical Practice, Chap 6., pp: 96-128.
22. Lutomski, J.E., Byrne, B.M. & Devane, D., 2011. Increasing trends in atonic
postpartum haemorrhage in Ireland : an 11-year population-based cohort study. ,
pp.306–314.
25. Rahman, S.S. et al., 2008. Post partum haemorrhage secondary to uterine atony ,
complicated by platelet storage pool disease and partial placenta diffusa : a case
report. , 4, pp.1–4.
28. Tai, G. et al., 2015. Reflexed Compression Suture for the Management of Atonic
Postpartum Hemorrhage with an Abnormally Adherent Placenta. , pp.228–233.
29. Tort, J. et al., 2016. International Journal of Gynecology and Obstetrics Initial
management of postpartum hemorrhage : A cohort study in Benin and Mali.
International Journal of Gynecology and Obstetrics, 135, pp.S84–S88. Available at:
http://dx.doi.org/10.1016/j.ijgo.2016.08.016.
32. Weeks, A., 2014. The prevention and treatment of postpartum haemorrhage : what do
we know , and where do we go to next ? , pp.1–9.
33. Yoong, W.A.I. et al., 2012. Application of uterine compression suture in association
with intrauterine balloon tamponade (“ uterine sandwich ”) for postpartum
hemorrhage. , 91, pp.147–151.