You are on page 1of 9

PEDOMAN KEGAWATDARURATAN OBSTETRI DAN NEONATUS

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Semua wanita hamil beresiko komplikasi obstetri. Komplikasi yang mengancam jiwa
kebanyakan terjadi selama persalinan, dan ini semua tidak dapat diprediksi. Prenatal
screening tidak mengidentifikasi semua wanita yang akan mengembangkan komplikasi
selama kehamilan maupun persalinan, salah satunya adalah kasus kegawatdaruratan obstetri
yang terjadi secara tiba-tiba.
Kasus gawat darurat obstetri adalah kasus obstetri yang apabila tidak segera ditangani
akan berakibat kematian ibu dan janinnya, yaitu perdarahan yang mengancam nyawa selama
kehamilan dan dekat cukup bulan meliputi perdarahan yang terjadi pada minggu awal
kehamilan (abortus, mola hidatidosa, kista vasikuler, kehamilan ekstrauteri/ ektopik) dan
perdarahan pada minggu akhir kehamilan dan mendekati cukup bulan (plasenta previa,
solusio plasenta, ruptur uteri, perdarahan persalinan per vagina setelah seksio sesarea,
retensio plasentae/ plasenta inkomplet), perdarahan pasca persalinan, hematoma, dan
koagulopati obstetri. (Saifuddin, 2002).
Pada saat ini angka kematian ibu dan angka kematian perinatal di Indonesia masih
sangat tinggi. Menusut survei demografi dan kesehatan indonesia (SDKI) tahun 2011 Angka
Kematian Ibu (AKI) masih cukup tinggi, yaitu 228 per 100.000 kelahiran hidup, dan Angka
Kematian Balita di Indonesia tahun 2007 sebesar 44/10.000 Kelahiran Hidup. Jika
dibandingkan dengan negara-negara lain, maka angka kematian ibu di Indonesia adalah 15
kali angka kematian ibu di Malaysia, 10 kali lebih tinggi dari pada thailan atau 5 kali lebih tinggi
dari pada Filipina.
Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan kegawatdaruratan obsteri yaitu
perdarahan pada kehamilan muda, perdarahan pada kehamilan tua, perdarahan post partum
dan penyakit yang menyertai kehamilan dan persalinan.
Dari berbagai faktor yang berperan pada kematian ibu dan bayi, kemampuan kinerja
petugas kesehatan berdampak langsung pada peningkatan kualitas pelayanan kesehatan
maternal dan neonatal terutama kemampuan dalam mengatasi masalah yang bersifat
kegawatdaruratan. Semua penyulit kehamilan atau komplikasi yang terjadi dapat dihindari
apabila kehamilan dan persalinan direncanakan, diasuh dan dikelola secara benar. Untuk
dapat memberikan asuhan kehamilan dan persalinan yang cepat tepat dan benar diperlukan
tenaga kesehatan yang terampil dan profesional dalam menanganan kondisi
kegawatdaruratan.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini, adalah sebagai berikut:
1. Apa saja masalah kegawatdaruratan obsteri dan neonatus?
2. Bagaimana etiologi dari masing-masing kegawatdaruratan obsteri dan neonatus?
3. Bagaimana penanganan dari masing-masing kegawatdaruratan obsteri dan neonatus?

C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan umum
Agar mahasiswa mampu mengetahui dan memahami tentang penanganan
kegawatdaruratan obsteri dan neonatus
2. Tujuan khusus
a. Menjelaskan tentang masalah-masalah kegawatdaruratan obsteri dan neonatus
b. Menjelaskan etiologi dari masing-masing masalah kegawatdaruratan obsteri dan
neonatus
c. Menjelaskan penanganan dari masing-masing masalah kegawatdaruratan
obsteri dan neonatus
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kegawatdaruratan Obstetri
Perdarahan yang mengancam nyawa selama kehamilan dan dekat cukup bulan
meliputi perdarahan yang terjadi pada minggu awal kehamilan (abortus, mola hidatidosa, kista
vasikuler, kehamilan ekstrauteri/ ektopik) dan perdarahan pada minggu akhir kehamilan dan
mendekati cukup bulan (plasenta previa, solusio plasenta, ruptur uteri, perdarahan persalinan
per vagina setelah seksio sesarea, retensio plasentae/ plasenta inkomplet), perdarahan pasca
persalinan, hematoma, dan koagulopati obstetri.
1. Abortus
Abortus adalah pengeluaran hasil konsepsi yang usia kehamilannya kurang dari 20
minggu. Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya amenore, tanda-tanda kehamilan,
perdarahan hebat per vagina, pengeluaran jaringan plasenta dan kemungkinan kematian
janin.
Pada abortus septik, perdarahan per vagina yang banyak atau sedang, demam
(menggigil), kemungkinan gejala iritasi peritoneum, dan kemungkinan syok. Terapi untuk
perdarahan yang tidak mengancam nyawa adalah dengan Macrodex, Haemaccel, Periston,
Plasmagel, Plasmafundin (pengekspansi plasma pengganti darah) dan perawatan di rumah
sakit. Terapi untuk perdarahan yang mengancam nyawa (syok hemoragik) dan memerlukan
anestesi, harus dilakukan dengan sangat hati-hati jika kehilangan darah banyak. Pada syok
berat, lebih dipilih keretase tanpa anestesi kemudian Methergin. Pada abortus pada demam
menggigil, tindakan utamanya dengan penisilin, ampisilin, sefalotin, rebofasin, dan pemberian
infus.
2. Mola hidatidosa (Kista Vesikular)
Penyebab gangguan ini adalah pembengkakan/ edematosa pada vili (degenerasi
hidrofik) dan proliferasi trofoblast. Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis yang ditemukan
amenore, keluhan kehamilan yang berlebihan, perdarahan tidak teratur, sekret per vagina
berlebihan. Pada hasil pemeriksaan, biasanya uterus lebih besar dari pada usia kehamilannya
Karen ada pengeluaran kista. Kista ovarium tidak selalu dapat dideteksi. Pada mola kistik,
hanya perdarahan mengancam yang boleh dianggap kedaruratan akut, akibatnya tindakan
berikut tidak dapat dilakukan pada kejadian gawat-darurat.
Terapi untuk gangguan ini adalah segera merawat pasien di rumah sakit, dan pasien
diberi terapi oksitosin dosis tinggi, pembersihan uterus dengan hati-hati, atau histerektomi
untuk wanita tua atau yang tidak menginginkan menambah anak lagi, transfuse darah, dan
antibiotika.
3. Kehamilan Ekstrauteri (Ektopik)
Penyebab gangguan ini adalah terlambatnya transport ovum karena obstruksi mekanis
pada jalan yang melewati tuba uteri. Kehamilan tuba terutama di ampula, jarang terjadi
kehamilan di ovarium. Diagnosis ditegakkan melalui adanya amenore 3-10 minggu, jarang
lebih lama, perdarahan per vagina tidak teratur (tidak selalu).
Nyeri yang terjadi serupa dengan nyeri melahirkan, sering unilateral (abortus tuba),
hebat dan akut (rupture tuba), ada nyeri tekan abdomen yang jelas dan menyebar. Kavum
douglas menonjol dan sensitive terhadap tekanan. Terapi untuk gangguan ini adalah dengan
infuse ekspander plasma (Haemaccel, Macrodex) 1000 ml atau merujuk ke rumah sakit
secepatnya.
4. Plasenta previa
Plasenta previa adalah tertanamnya bagian plasenta ke dalam segmen bawah uterus.
Penyebab gangguan ini adalah terjadi fase pergeseran/ tumpang tindihnya plasenta di atas
ostium uteri internum yang menyebabkan pelepasan plasenta. Diagnosis ditegakkan dengan
menemukan gejala utama. Pasien ini mungkin tidak mengalami nyeri, perdarahan berulang
atau kontinu dalam trimester tiga atau selama persalinan tanpa penyebab yang jelas.juga
ditemukan uterus selalu lunak, abdomen tidak tegang, umumnya tanpa kontraksi persalina
atau hanya sedikit. Keadaan umum pasien berhubungan dengan kehilangan darah. Sebagian
besar bunyi jantung janin tetap baik, bunyi jantung yang tidak memuaskan atau tidak ada
hanya pada kasus rupture plasenta atau pelepasan yang luas.
Terapi atau tindakan terhadap gangguan ini dilakukan di tempat praktik. Pada kasus
perdarahn yang banyak, pengobatan syok adalah dengan infuse Macrodex, Periston,
Haemaccel, Plasmagel, Plasmafudin. Pada kasus pasien gelisah, diberikan 10 mg valium
(diazepam) IM atau IV secara perlahan.
5. Solusio (Abrupsio) Plasenta
Solusio plasenta adalah lepasnya plasenta yang tertanam normal pada dinding uterus baik
lengkap mauppun parsial, pada usia kehamilan 20 minggu atau lebih. Penyebabnya adalah
hematoma retroplasenta akibat perdarahan dari uteri (perubahan dinding pembuluh darah),
peningkatan tekanan di dalam ruangan intervillus ditingkatkan oleh hipertensi atau toksemia.
Diagnosis ditegakkan melalui temuan nyeri (akibat kontraksi peralinan sering ada sebagai nyeri
kontinu, uterus tetanik), perdarahan per vagina (jarang ada dan dalam kasus berat, perdarahan
eksternal bervariasi), bunyi jantung jani berfluktuasi (hampir selalu melebihi batas-batas norma,
umumnya tidak ada pada kasus berat), syok (nadi lemah, cepat, tekanan darah rendah, pucat,
berkeringat dingin, ekstremitas dingin, kuku biru).
Tindakan yang dilakukan di tempat praktik dokter harus hati-hati ketika melakukan
pemeriksaan luar, harus menghindari pemeriksaan vagina. Di tempat praktik dokter, biasanya
sangat sulit membedakan dengan jelas solusio plasenta dari plasenta previa. Pasien diberi infuse
Macrodex, Periston, Haemaccel, Plasmagel, dan Plasmafudin, serta petidin (Dolantin) 100 mg IM.
Tindakan di rumah sakit meliputi pemeriksaan umum yang teliti (nadi, tekanan darah, jumlah
perdarahan per vagina, penentuan hemoglobin, hematokrit dan pemantauan pengeluaran urin).
Tindakan tambahan pada janin yang hidup dan dapat hidup adalah dengan seksio sesaria. Pada
janin yang mati, usahakan persalinan spontan. Jika perlu, ekstraksi vakum atau kraniotomi pada
perdarahan yang mengancam nyawa (juga pada janin yang mati atau tidak dapat hidup).
6. Retensio Plasenta (Plasenta Inkompletus)
Penyebab gangguan ini adalah retensio (nyeri lahir yang kurang kuat atau perlengkapan
patologi) dan inkarserasi (spasme pada daerah isthmus serviks, sering disebabkan oleh kelebihan
dosis analgesik). Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya plasenta tidak lahir spontan dan tidak
yakin apakah plasenta lengkap. Terapi untuk retensio atau inkarserasi adalah 35 unit Syntocinon
(oksitosin) IV yang diikuti oleh usaha pengeluaran secara hati-hati dengan tekanan pada fundus.
Jika plasenta tidak lahir, usahakan pengeluaran secara manual setelah 15 menit. Jika ada keraguan
tentang lengkapnya plasenta,lakukan palpasi sekunder.
7. Ruptur Uteri
Penyebab rupture uteri meliputi tindakan obstetric (versi), ketidakseimbangan fetopelvik,
letak lintang yang diabaikan kelebihan dosis obat untuk nyeri persalinan atau induksi persalinan,
jaringan parut pada uterus (keadaan setelah seksio sesaria, meomenukleasi, operasi Strassman,
eksisi baji suetu tuba), kecelakaan (kecelakaan lalu lintas), sangat jarang.
Terapi untuk gangguan ini meliputi hal-hal berikut.
a. Histerektomi total, umumnya rupture meluas ke segmen bawah uteri, sering ke dalam
serviks.
b. Hesterektomi supra vagina hanya dalam kasus gawat darurat.
c. Membersihkan uterus dan menjahit rupture, bahaya rupture baru pada kehamilan berikutnya
sangat tinggi.
d. Pada hematoma parametrium dan angioreksis (ruptur pembuluh darah). Buang hematoma
hingga bersih, jika perlu ikat arteri iliaka hipogastrikum.
e. Pengobatan antisyok harus dimulai bahkan sebelum dilakukan operasi.
8. Perdarahan Pascapersalinan
Penyebab gangguan ini adalah kelainan pelepasan dan kontraksi, rupture serviks dan
vagina (lebih jarang laserasi perineum), retensio sisa plasenta, dan koagulopati. Perdarahan
pascapersalinan tidak lebih dari 500 ml selama 24 jam pertama, kehilangan darah 500 ml atau lebih
berarti bahaya syok. Perdarahan yang terjadi bersifat mendadak sangat parah (jarang), perdarahan
sedang (pada kebanyakan kasus), dan perdarahan sedang menetap (terutama pada ruptur).
Terapinya bergantung penyebab perdarahan, tetapi selalu dimulai dengan pemberian infuse
dengan ekspander plasma, sediakan darah yang cukup untuk mengganti yang hilang, dan jangan
memindahkan penderita dalam keadaan syok yang dalam. Pada perdarahan sekunder atonik:
a. Beri Syntocinon (oksitosin) 5-10 unit IV, tetes oksitosin dengan dosis 20 unit atau lebih dalam
larutan glukosa 500 ml.
b. Pegang dari luar dan gerakkan uterus ke arah atas.
c. Kompresi uterus bimanual.
d. Kompresi aorta abdominalis.
e. Lakukan hiserektomi sebagai tindakan akhir.
9. Syok Hemoragik
Setiap penderita syok hemoragik di rawat di rumah sakit. Terapi awal syok bertujuan
mengembalikan hubungan normal antara volume kecepatan denyutjantung dan kebutuhan perifer
yang sebenarnya.
10. Syok Septik (Bakteri, Endotoksin)
Penyebab gangguan ini adalah masuknya endotoksin bakteri gram negative (coli, proteus,
pseudomonas, aerobakter, enterokokus). Toksin bakteri gram positif (streptokokus, Clostridium
welchii) lebih jarang terjadi. Pada abortus septic, sering terjadi amnionitis atau pielonefritis. Adanya
demam sering didahului dengan menggigil, yang diikuti penurunan suhu dalam beberapa jam,
jarang terjadi hipotermi.
Terapi untuk gangguan ini adalah tindakan segera selama fase awal. Terapi tambahan untuk
pengobatan syok septic (bakteri) selalu bersifat syok hipovolemik (hipovolemia relatif) adalah terapi
infuse secepat mungkin yang diarahkan pada asidosis metabolik. Terapi untuk infeksi adalah
antibiotika (Leucomycin, kloramfenikol 2-3 mg/hari, penisilin sampai 80 juta satuan/ hari).
Pengobatan insufisiensi ginjal dengan pengenalan dini bagi perkembangan insufisiensi ginjal,
manitol (Osmofundin). Jika insufisiensi ginjal berlanjut 24 jam setelah kegagalan sirkulasi, diperlukan
dialysis peritoneal.
11. Preeklamsia Berat
Pada wanita yang menderita eklamsia timbul serangan kejang yang diikuti oleh koma.
Bergantung pada saat timbulnya, eklamsia dibedakan menjadi eklamsia gravidarum, eklamsia
parturientum, dan eklamsia puerperalis.
Jika salah satu diantara gejala atau tanda berikut ditemukan pada ibu hamil, dapat diduga
ibu tersebut mengalami preeklamsia berat.

1. Tekanan darah 160/110 mmHg.


2. Oligouria, urin kurang dari 400 cc/ 24 jam.
3. Proteinuria, lebih dari 3g/ liter.
4. Keluhan subyektif (nyeri epigastrium, gangguan penglihatan, nyeri kepala, edema paru,
sianosis, gangguan kesadaran).
5. Pada pemeriksaan, ditemukan kadar enzim hati meningkat disertai ikterus, perdarahan pada
retina, dan trombosit kurang dari 100.000/ mm.
Sebagai pengobatan untuk mencegah timbulnya kejang dapat diberikan :
1. Larutan magnesium sulfat 40% sebanyak 10 ml (4 gram) disuntikkan intra muskulus pada
bokong kiri dan kanan sebagai dosis permulaan, dan dapat diulang 4 gram tiap jam menurut
keadaan. Obat tersebut selain menenangkan juga menurunkan tekanan darah dan
meningkatkan dieresis.
2. Klorpomazin 50 mg intramuskulus.
3. Diazepam 20 mg intramuskulus.
Penanganan kejang dengan memberi obat anti-konvulsan, menyediakan perlengkapan
untuk penanganan kejang (jalan napas, masker,dan balon oksigen), memberi oksigen 6 liter/menit,
melindungi pasien dari kemungkinan trauma tetapi jangan diikat terlalu keras, membaringkan pasien
posisi miring kiri untuk mengurangi resiko respirasi. Setelah kejang, aspirasi mulut dan tenggorok
jika perlu.

B. Kegawatdaruratan Neonatus
Neonatus adalah organisme yang berada pada periode adaptasi kehidupan intrauterin ke
ekstrauterin. Masa neonatus adalah periode selama satu bulan(lebih tepat 4 minggu atau 28 hari
setelah lahir).
Kondisi neonatus yang memerlukan resusitasi :
1. Sumbatan jalan napas akibat lender/ darah/mekonium atau akibat lidah yang jatuh ke posterior.
2. Kondisi depresi pernapasan akibat obat-obatan yang diberikan kepada ibu. Misalnya, obat
anestesik, analgetik lokal, narkotik, diazepam, magnesium sulfat, dan sebagainya.
3. Kerusakan neurologis.
4. Kelainan/ kerusakan saluran napas atau kardiovaskular atau susunan saraf pusat, dan/ atau
kalainan kongenital yang dapat menyebabkan gangguan pernapasan/ sirkulasi.
5. Syok hipovolemik, misalnya akibat kompresi tali pusat atau perdarahan.
Penyebab kematian yang paling cepat pada neonates adalah asfiksia dan perdarahan.
Asfiksia perinatal merupakan penyebab mortalitas dan morbiditas yang penting. Akibat jangka
panjang, asfiksia perinatal dapat diperbaiki secara bermakna jika gangguan ini diketahui sebelum
kelahiran (mis; pada keadaan gawat janin) sehingga dapat diusahakan memperbaiki sirkulasi/
oksigenasi janin intrauterine atau segera melahirkan janin untuk mempersingkat masa hipoksemia
janin yang terjadi.
Asfiksia yang terdeteksi sesudah lahir, prosesnya berjalan dalam beberapa fase/ tahapan.
1. Janin bernapas megap-megap (gasping), diikuti dengan
2. Masa henti napas (fase henti napas primer).
3. Jika asfiksia berlanjut terus, timbul pernapasan megap-megap yang kedua selama 4-5 menit
(fase gasping kedua) diikuti masa henti napas kedua (henti napas sekunder).
Semua neonates dalam keadaan apapun mempunyai kesukaran untuk beradaptasi dengan
suhu lingkungan yang dingin. Neonates yang mengalami asfiksia khususnya, mempunyai system
pengaturan suhu yang lebih tidak stabil dan hipotermia ini dapat memperberat/ memperlambat
pemulihan keadaan asidosis yang terjadi.
Keadaan bayi pada menit ke-1 dan ke-5 sesudah lahir dinilai dengan skor Apgar
(appearance, pulse, grimace, activity, respiration). Nilai pada menit pertama untuk menentukan
seberapa jauh diperlukan tindakan resusitasi. Nilai ini berkaitan dengan keadaan asidosis dan
kelangsungan hidup. Nilai pada menit kelima untuk menilai prognosis neurologis.
Pencegahan hipotermia merupakan komponen asuhan neonatus dasar bayi baru lahir tidak
mengalami hipotermia. Hipotermia terjadi jika suhu tubuh di bawah 36,5°C (suhu mormal pada
neonates adalah 36,5-37,5°C) pada pengukuran suhu melalui ketiak. Bayi baru lahir mudah sekali
terkena hipotermi. Hal ini disebabkan oleh hal-hal berikut.
1. Pusat pengaturan suhu tubuh pada bayi belum berfungsi dengan sempurna.
2. Permukaan tubuh bayi relatif luas.
3. Tubuh bayi terlalu kecil untuk memproduksi dan menyimpan panas.
4. Bayi belum mampu mengatur posisi tubuh dan pakaiannya agar ia tidak kedinginan.
Hipotermia pada bayi baru lahir timbul karena ada penurunan suhu tubuh yang dapat terjadi
akibat:
1. Radiasi, yaitu panas tubuh bayi memancar ke lingkungan di sekitar bayi yang lebih dingin.
Misalnya, bayi baru lahir diletakkan di tempat yang dingin.
2. Evaporasi, yaitu cairan ketuban yang membasahi kulit bayi menguap. Misalnya, bayi lahir tidak
langsung dikeringkan dari air ketuban.
3. Konduksi, yaitu pidahnya panas tubuh bayi karena kulit bayi langsung kontak dengan
permukaan yang lebih dingin. Misalnya, popok/ celana bayi basah yang tidak langsung diganti.
4. Konveksi, yaitu hilangnya panas tubuh bayi karena aliran udara sekeliling bayi. Misalnya, bayi
diletakkan dekat pintu/ jendela terbuka.
Tindakan pencegahan hipotermia meliputi ibu melahirkan di ruangan yang hangat, segera
mengeringkan tubuh bayi yang lahir, segera meletakkan bayi di dada ibu dan kontak langsung kulit
ibu dan bayi, dan menunda memandikan bayi baru lahir sampai suhu tubuh stabil.
Kejang dalam 1 jam pertama kehidupan jarang terjadi. Kejang dapat disebabkan oleh
meningitis ensefalopati atau hipoglikemia berat. Pastikan bayi dijaga tetap hangat dengan
membungkus bayi menggunakan selimut lembut, kering, dan mengenakan topi untuk menghindari
kehilangan panas. Rujuk bayi segera ke tempat pelayanan kesehatan yang mempunyai NICU. Jika
bayi sianosis (biru) atau sukar bernapas (frekuensi <30>60 kali/ menit) beri oksigen melalui kateter
hidung atau nasal prong. Jika suhu aksila turun di bawah 35°C, hangatkan bayi segera.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kasus gawat darurat obstetri dan neonatus adalah kasus obstetri yang apabila tidak
segera ditangani akan berakibat kematian ibu dan janinnya, yaitu perdarahan yang
mengancam nyawa selama kehamilan dan dekat cukup bulan meliputi perdarahan yang terjadi
pada minggu awal kehamilan (abortus, mola hidatidosa, kista vasikuler, kehamilan ekstrauteri/
ektopik) dan perdarahan pada minggu akhir kehamilan dan mendekati cukup bulan (plasenta
previa, solusio plasenta, ruptur uteri, perdarahan persalinan per vagina setelah seksio
sesarea, retensio plasentae/ plasenta inkomplet), perdarahan pasca persalinan, hematoma,
dan koagulopati obstetri.

B. Saran
1. Untuk menurunkan angka kematian ibu (AKI) diperlukan ANC secara tertur agar dapat
mendeteksi secara dini komplikasi yang terjadi pada ibu maupun bayi.
2. Untuk mencegah kegawatdaruratan obstetri dan neonatus, peran bidan dikomunitas
dengan memberikan health education mengenai masalah-masalah yang bisa
menyebabkan bahaya kehamilan maupun persalinan.

DAFTAR PUSTAKA

Syaifrudin & Hamidah. 2009. Kebidanan Komunitas. Jakarta : EGC.


Winkjosastro, Hanifa. 2005. Ilmu Kebidanan. Cet ke 7, Ed ke 3. Jakarta: Yayasan Bina
Pustaka.
Heller Luz. 1997. Gawat Darurat Ginekologi dan Obstetri, Ed. 1. Jakarta: EGC Buku
Kedokteran.
Basari Saifuddin. 2002. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatus. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo

You might also like