Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bell’s palsy (BP) atau Idiopathic Facial Paralysis (IFP) adalah
penyebab paling sering dari kelumpuhan wajah unilateral dan penyebab
paling umum dari kelumpuhan wajah di seluruh dunia. Bell’s palsy adalah
kelumpuhan nervus fasialis perifer, terjadi secara akut. Sir Charles Bell
(1821) adalah orang yang pertama meneliti beberapa penderita dengan
wajah asimetrik, sejak itu semua kelumpuhan nervus fasialis perifer yang
tidak diketahui sebabnya disebut Bell's palsy. Kelumpuhan ini adalah salah
satu gangguan neurologis yang paling umum dari saraf kranial dan hingga
(1-2)
saat ini penyebabnya tidak diketahui.
Insidensi Bell’s palsy di Amerika Serikat adalah sekitar 23 kasus per
100.000 orang, dimana setiap tahunnya terdapat 40.000 orang di Amerika
Serikat yang menderita penyakit ini. Insiden Bell’s palsy tampak cukup
tinggi pada orang-orang keturunan Jepang, dan tidak ada perbedaan
distribusi jenis kelamin pada pasien-pasien dengan Bell’s palsy. Di dunia,
insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan insiden
terendah ditemukan di Swedia pada tahun 1997. Penyakit ini dapat
mengenai semua umur, namun lebih sering terjadi pada umur 20-40 tahun.
Bell’s palsy lebih jarang pada orang-orang yang berusia di bawah 15 tahun
dan yang berusia di atas 60 tahun. Peluang untuk terjadinya Bell’s palsy
pada laki-laki sama dengan wanita. Pada kehamilan trimester ketiga dan 2
minggu pasca persalinan kemungkinan timbulnya Bell’s palsy lebih tinggi
dari pada wanita tidak hamil, dimana kemungkinan terkena Bell’s palsy
(2-5)
dapat mencapai 3,3 kali lipat.
Dalam sebagian besar kasus, Bell’s palsy secara bertahap membaik
dari waktu ke waktu namun pada beberapa diantara mereka kelumpuhannya
sembuh dengan meninggalkan gejala sisa. Gejala sisa ini berupa kontraktur
dan spasme spontan. Permasalahan yang ditimbulkan Bell’s palsy cukup
kompleks, diantaranya masalah fungsional, kosmetika dan psikologis
sehingga dapat merugikan tugas profesi penderita, permasalahan kapasitas
fisik (impairment) antara lain berupa asimetris wajah, rasa kaku dan tebal
pada wajah sisi lesi, penurunan kekuatan otot wajah pada sisi lesi, dan
potensial terjadi iritasi pada mata sisi lesi. Sedangkan permasahan
fungsional (fungsional limitation) berupa gangguan fungsi yang melibatkan
otot-otot wajah, seperti makan dan minum, berkumur, gangguan menutup
mata, gangguan bicara dan gangguan ekspresi wajah. Semua hal ini dapat
menyebabkan individu tersebut menjadi tidak percaya diri, terutama bagi
penderita wanita. Oleh karena itu, diperlukan terapi secara cepat dan tepat
untuk mencapai pemulihan terbaik fungsi saraf wajah dan penderita dapat
kembali melakukan aktivitas kerja sehari-hari serta bersosialisasi dengan
(2-5)
masyarakat.
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Bell’s palsy (BP) atau Idiopathic Facial Paralysis (IFP) adalah
kelumpuhan nervus fasialis perifer (N.VII), terjadi secara akut, penyebabnya
tidak diketahui (idiopatik) dan tidak menyertai penyakit lain yang dapat
mengakibatkan lesi nervus fasialis atau kelumpuhan fasialis perifer. Sir
Charles Bell (1821), seorang dokter bedah yang berasal dari Skotlandia
adalah orang yang pertama meneliti beberapa penderita dengan wajah
asimetrik, sejak itu semua kelumpuhan nervus fasialis perifer yang tidak
diketahui sebabnya disebut Bell's palsy. Kelumpuhan ini adalah salah satu
gangguan neurologis yang paling umum dari saraf kranial.(1-2)
2.2 Epidemiologi
Insidensi Bell’s palsy di Amerika Serikat adalah sekitar 23 kasus per
100.000 orang, dimana setiap tahunnya terdapat 40.000 orang di Amerika
Serikat yang menderita penyakit ini. Insiden Bell’s palsy rata-rata 15-30
kasus per 100.000 populasi. Insiden Bell’s palsy tampak cukup tinggi pada
orang-orang keturunan Jepang, dan tidak ada perbedaan distribusi jenis
kelamin pada pasien-pasien dengan Bell’s palsy. Di dunia, insiden tertinggi
ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan insiden terendah ditemukan di
Swedia pada tahun 1997. Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun
lebih sering terjadi pada umur 20-40 tahun.(2-3)
Bell’s palsy lebih jarang pada orang-orang yang berusia di bawah 15
tahun dan yang berusia di atas 60 tahun. Peluang untuk terjadinya Bell’s
palsy pada laki-laki sama dengan wanita. Akan tetapi, wanita muda yang
berumur 10-19 tahun lebih rentan terkena daripada laki-laki pada kelompok
umur yang sama. Pada kehamilan trimester ketiga dan 2 minggu pasca
persalinan kemungkinan timbulnya Bell’s palsy lebih tinggi dari pada
wanita tidak hamil, dimana kemungkinan terkena Bell’s palsy dapat
mencapai 3,3 kali lipat. Pada wanita hamil dengan preeklampsia juga sering
terkena Bell’s palsy.(2-3)
Bell’s palsy diperkirakan menyebabkan sekitar 60-75% dari total
kasus kelumpuhan wajah unilateral akut, dengan 63% terkena di sisi kanan.
Bell's palsy juga dapat mengalami kekambuhan, dengan kejadian rekurensi
dilaporkan antara 4- 14%. Bell's palsy bilateral dapat terjadi meski sangat
langka. Bell's palsy menyumbang hanya 23% dari kelumpuhan wajah
bilateral dan memiliki tingkat kejadian yang kurang dari 1% dibanding
kelumpuhan saraf wajah unilateral. Sebagian besar pasien dengan bilateral
facial palsy menderita Guillain-Barré syndrome, sarkoidosis, penyakit
Lyme, meningitis (neoplastik atau infeksi), atau neurofibroma bilateral
(pada pasien dengan neurofibromatosis tipe 2).(2-3)
Penderita diabetes mempunyai resiko 29% lebih tinggi, dibanding
non- diabetes. Dengan demikian, mengukur kadar glukosa darah pada saat
diagnosis Bell's palsy dapat mendeteksi diabetes yang belum terdiagnosis.
Penderita diabetes 30% lebih mungkin mengalami pemulihan parsial
dibandingkan pasien non diabetes dengan tingkat rekurensi pada penderita
diabetes melitus juga lebih tinggi. Bell’s palsy juga lebih sering mengenai
penderita immunocompromised.(2-3)
2.3 Struktur Anatomi
Pada tahun 1550, Fallopius menemukan foramen sempit di tulang
temporal dimana tempat dari nervus kranialis ketujuh lewat; foramen ini
sekarang disebut kanalis falopii atau kanalis fasialis. Pada tahun 1828,
Charles Bell membuat perbedaan antara nervus kranialis kelima dan
ketujuh; ia mencatat bahwa saraf ketujuh terlibat terutama dalam fungsi
motorik wajah dan saraf kelima terutama dilakukan sensasi dari wajah.(2-3,6)
Nervus intermedius terdiri dari serat sensorik dari lidah, mukosa, dan
kulit postaurikular, serta serat parasimpatis ke kelenjar ludah dan lakrimal.
Serat ini kemudian bersinaps dengan ganglion submandibula, yang memiliki
serat yang memasok glandula sublingual dan submandibula. Serat dari
nervus intermedius juga terdiri dari ganglion pterygopalatina, yang memiliki
serat parasimpatis yang memasok hidung, palatum, dan glandula lakrimalis.
Serabut-serabut rasa pengecapan pertama-tama melintasi nervus lingual,
yaitu cabang dari nervus mandibularis lalu masuk ke korda timpani dimana
ia membawa sensasi pengecapan melalui nervus fasialis ke nukleus traktus
solitarius.(2-3,6)
d) Serabut somato-sensorik, rasa nyeri dan mungkin juga rasa suhu dan
rasa raba dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh
nervus trigeminus.(5)
2.4 Etiologi
Hingga saat ini Bell’s palsy masih belum diketahui penyebabnya.
Diperkirakan, penyebab Bell’s palsy adalah edema dan iskemia akibat
penekanan (kompresi) pada nervus fasialis. Penyebab edema dan iskemia ini
sampai saat ini masih diperdebatkan. Penyebab yang saat ini dipercaya
sebagai penyebab antara lain.(3-5)
1. Suhu.
Dahulu, paparan suasana/suhu dingin (misalnya hawa dingin, AC,
atau menyetir mobil dengan jendela yang terbuka) dianggap sebagai satu-
satunya pemicu Bell’s palsy. Akan tetapi, sekarang mulai diyakini bahwa
terdapat penyebab lain yang dapat menyebabkan Bell’s palsy.(3-5)
2. Infeksi.
HSV dianggap sebagai virus utama penyebab Bell’s palsy, karena
telah diidentifikasi HSV pada ganglion geniculata pada beberapa
penelitian otopsi. Murakami et all juga melakukan tes PCR (Polymerase
Chain Reaction) pada cairan endoneural N.VII penderita Bell’s palsy
berat yang menjalani pembedahan dan menemukan HSV dalam cairan
endoneural. Virus ini diperkirakan dapat berpindah secara axonal dari
saraf sensorik dan menempati sel ganglion, pada saat adanya stress, akan
terjadi reaktivasi virus yang akan menyebabkan kerusakan lokal pada
myelin. Infeksi lain seperti infeksi herpes zoster, Borrelia burgdorferi,
syphilis, Epstein-Barr, cytomegalovirus, human immunodeficiency virus
(HIV), dan mycoplasma juga dipercaya dapat menyebabkan Bell’s
palsy.(3-5)
3. Autoimun.
Dikatakan bahwa Bell’s palsy terjadi akibat reaksi imunologi
terhadap infeksi virus yang timbul sebelumnya atau sebelum pemberian
imunisasi. Kelainan autoimun menyebabkan demyelinisasi dari nervus
fasialis dan menghasilkan paralisis nervus fasialis unilateral.(4)
4. Herediter.
Riwayat keluarga pada Bell's palsy telah dilaporkan pada sekitar
4% kasus. Kelainan genetik dalam kasus ini mungkin autosomal dominan
dengan tingkat penetrasi yang rendah. Namun, faktor-faktor predisposisi
terjadinya penurunan secara genetik belum jelas. Sejarah keluarga
mungkin juga positif bagi saraf lainnya, gangguan radix atau pleksus
(misalnya, trigeminal neuralgia) pada saudara kandung. Selain itu, ada
laporan tersendiri dari familial Bell's palsy yang disertai dengan defisit
neurologis, termasuk oftalmoplegia dan tremor esensial. Familial Bell's
palsy merupakan manifestasi Bell's palsy yang langka dan memiliki
kecenderungan mengenai perempuan remaja.(2)
2.5 Patofisiologi
Patofisiologi persis timbulnya Bell‘s palsy masih dalam perdebatan.
Teori yang paling diyakini adalah adanya edema dan iskemia menyebabkan
kompresi dari nervus fasialis dalam kanalis fasialis, karena itu ia terjepit di
dalam foramen stilomastoideum dan menimbulkan kelumpuhan LMN N.
VII. Penyebab terjadinya edema dan iskemi masih belum dapat ditegakkan,
diperkirakan edema dan iskemia disebabkan oleh berbagai faktor seperti
autoimun dan infeksi. Kompresi nervus fasialis ini dapat dilihat dengan
pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging (MRI).(1-2,7)
Bagian pertama dari kanalis fasialis yang disebut dengan segmen
labirin adalah bagian yang paling sempit, meatus foramien ini memiliki
diameter hanya 0,66 mm. Lokasi inilah yang diduga merupakan tempat
paling sering terjadinya kompresi pada N.VII pada Bell‘s Palsy, karena
bagian ini merupakan tempat yang paling sempit maka terjadinya inflamasi,
demielinisasi, ischemia, ataupun proses kompresi paling mungkin terjadi. (1-
2,7)
c. Pemeriksaan laboratorium.
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk
menegakkan diagnosis Bell’s palsy. Namun pemeriksaan kadar gula
darah atau HbA1c dapat dipertimbangkan untuk mengetahui apakah
pasien tersebut menderita diabetes atau tidak. Pemeriksaan kadar serum
HSV juga bisa dilakukan namun ini biasanya tidak dapat menentukan
dari mana virus tersebut berasal.
d. Pemeriksaan radiologi.
Karena pasien-pasien dengan Bell’s palsy umumnya akan
mengalami perbaikan dalam 8-10 minggu. Bila tidak ada perbaikan
ataupun mengalami perburukan, pencitraan mungkin akan membantu.
MRI mungkin dapat menunjukkan adanya tumor (misalnya
Schwannoma, hemangioma, meningioma). Bila pasien memiliki riwayat
trauma maka pemeriksaan CT-Scan harus dilakukan.(1-8)
2.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada Bell’s palsy dapat dilakukan dengan beberapa
cara, yaitu dengan terapi antivirus, kortikosteroid, rehabilitasi medis,
maupun tindakan operatif.
Gambar 7. Algoritma Penatalaksanaan Bell’s palsy(8)
a. Terapi medikamentosa
1. Agen antiviral.
Hampir semua ahli percaya pada etiologi virus. Penemuan
genom virus disekitar nervus fasialis memungkinkan digunakannya
agen-agen antivirus pada penatalaksanaan Bell’s palsy. Oleh karena
itu, pemberian antivirus merupakan pilihan yang logis sebagai
penatalaksaan. Acyclovir 400 mg selama 10 hari dapat digunakan
dalam penatalaksanaan Bell’s palsy. Akan tetapi, penelitian saat ini
menunjukkan bahwa pengobatan Bell’s palsy menggunakan
antivirus tidak memberikan hasil akhir yang lebih baik pada
penderita Bell’s palsy, baik penggunaan antiviral sebagai
monoterapi ataupun sebagai terapi kombinasi dengan steroid.(2,8)
Penelitian Numthavaj P et al menyimpulkan dalam
mengobati Bell’s palsy dengan antiviral ditambah kortikosteroid
dapat menyebabkan tingkat pemulihan sedikit lebih tinggi
dibandingkan dengan mengobati dengan prednison saja tapi ini
tidak cukup bermakna secara statistik, prednisone merupakan
pengobatan berbasis bukti terbaik. (2,8)
Berbeda dengan Frank M et al yang menyatakan pasien
dengan Bell’s palsy, perawatan dini dengan prednisolon secara
signifikan meningkatkan kemungkinan pemulihan lengkap pada 3
dan 9 bulan. Tidak ada bukti dari manfaat mengingat pengobatan
tunggal atau manfaat tambahan dalam kombinasi dengan
prednisolon atau asiklovir. (2,8)
Goudakos JK and Markou KD pada penelitian meta-analisis,
berdasarkan bukti yang tersedia menunjukkan bahwa agen antivirus
untuk kortikosteroid pengobatan Bell’s palsy tidak terkait
meningkat dalam tingkat pemulihan lengkap dari fungsi motorik
wajah.(2,8)
Tabel 1. Farmakologi dan Farmakodinamik Acyclovir
2. Kortikosteroid.
Para peneliti lebih cenderung memilih menggunakan steroid
untuk memperoleh hasil yang lebih baik. Bila telah diputuskan
untuk menggunakan steroid, maka harus segera dilakukan
konsensus. Penelitian saat ini juga menyebutkan bahwa pemberian
prednisone sebagai kortikosteroid selama 10 hari menyebabkan
pemulihan Bell’s palsy lebih baik dibandingkan dengan pemberian
plasebo dalam 1 sampai 3 bulan. Baugh et al melakukan suatu
penelitian secara metaanalisis dan mendapatkan bahwa Prednison
dengan dosis besar setidaknya selama 5 hari pertama (25mg dua
kali sehari selama 10 hari atau pemberian 60mg/ hari selama 5 hari
lalu dilakukan tapering off) selama 3 hari pertama onset
meningkatkan peluang kesembuhan pasien. Pemberian terapi
setelah 3 hari paska onset belum memberikan hasil yang jelas.
b. Perawatan mata.
Mata sering tidak terlindungi pada pasien-psien dengan Bell’s
palsy. Sehingga pada mata beresiko terjadinya kekeringan kornea dan
terpapar benda asing. Atasi dengan pemberian air mata pengganti,
lubrikan, dan pelindung mata.
• Air mata pengganti: digunakan selama pasien terbangun untuk
mengganti air mata yang kurang atau tidak ada.
• Lubrikan digunakan saat sedang tidur. Dapat juga digunakan saat
terbangun jika air mata pengganti tidak cukup melindungi mata.
Salah satu kerugiannya adalah pandangan kabur selama pasien
terbangun.
• Kaca mata atau pelindung yang dapat melindungi mata dari jejas dan
mengurangi kekeringan dengan menurunkan jumlah udara yang
mengalami kontak langsung dengan kornea.
c. Rehabilitasi medik
Rehabilitasi medik menurut WHO adalah semua tindakan yang
ditujukan guna mengurangi dampak cacat dan handicap serta
meningkatkan kemampuan penyandang cacat mencapai integritas
sosial.
Tujuan rehabilitasi medik adalah :
• Meniadakan keadaan cacat bila mungkin
• Mengurangi keadaan cacat sebanyak mungkin
• Melatih orang dengan sisa keadaan cacat badan untuk dapat hidup
dan bekerja dengan apa yang tertinggal.
Untuk mencapai keberhasilan dalam tujuan rehabilitasi yang
efektif dan efisien maka diperlukan tim rehabilitasi medik yang terdiri
dari dokter, fisioterapis, okupasi terapis, ortotis prostetis, ahli wicara,
psikolog, petugas sosial medik dan perawat rehabilitasi medik. (2)
Sesuai dengan konsep rehabilitasi medik yaitu usaha gabungan
terpadu dari segi medik, sosial dan kekaryaan, maka tujuan rehabilitasi
medik pada Bell’s palsy adalah untuk mengurangi/mencegah paresis
menjadi bertambah dan membantu mengatasi problem sosial serta
psikologinya agar penderita tetap dapat melaksanakan aktivitas kegiatan
sehari-hari. Program-program yang diberikan adalah program
fisioterapi, okupasi terapi, sosial medik, psikologi dan ortotik prostetik,
sedang program perawat rehabilitasi dan terapi wicara tidak banyak
berperan. (2)
1) Program Fisioterapi
• Stimulasi listrik
Tujuan pemberian stimulasi listrik yaitu menstimulasi otot
untuk mencegah/memperlambat terjadi atrofi sambil menunggu
proses regenerasi dan memperkuat otot yang masih lemah.
Misalnya dengan faradisasi yang tujuannya adalah untuk
menstimulasi otot, reedukasi dari aksi otot, melatih fungsi otot
baru, meningkatkan sirkulasi serta mencegah/meregangkan
perlengketan. Diberikan 2 minggu setelah onset.
• Latihan otot-otot wajah dan massage wajah
Latihan gerak volunter otot wajah diberikan setelah fase
akut. Latihan berupa mengangkat alis tahan 5 detik,
mengerutkan dahi, menutup mata dan mengangkat sudut mulut,
tersenyum, bersiul/meniup (dilakukan didepan kaca dengan
konsentrasi penuh).(2,4,8)
Massage adalah manipulasi sitemik dan ilmiah dari
jaringan tubuh dengan maksud untuk perbaikan/pemulihan. Pada
fase akut, Bell’s palsy diberi gentle massage secara perlahan dan
berirama. Gentle massage memberikan efek mengurangi edema,
memberikan relaksasi otot dan mempertahankan tonus otot.
Setelah lewat fase akut diberi Deep Kneading Massage sebelum
latihan gerak volunter otot wajah. Deep Kneading Massage
memberikan efek mekanik terhadap pembuluh darah vena dan
limfe, melancarkan pembuangan sisa metabolik, asam laktat,
mengurangi edema, meningkatkan nutrisi serabut-serabut otot
dan meningkatkan gerakan intramuskuler sehingga melepaskan
perlengketan. Massage daerah wajah dibagi 4 area yaitu dagu,
mulut, hidung dan dahi. Semua gerakan diarahkan keatas,
lamanya 5-10 menit. (2,4,8)
2) Program Terapi
Pada dasarnya terapi disini memberikan latihan gerak pada
otot wajah. Latihan diberikan dalam bentuk aktivitas sehari-hari
atau dalam bentuk permainan. Perlu diingat bahwa latihan secara
bertahap dan melihat kondisi penderita, jangan sampai melelahkan
penderita. Latihan dapat berupa latihan berkumur, latihan minum
dengan menggunakan sedotan, latihan meniup lilin, latihan
menutup mata dan mengerutkan dahi di depan cermin. (2,4,8)
3) Program Sosial Medik
Penderita Bell’s palsy sering merasa malu dan menarik diri
dari pergaulan sosial. Problem sosial biasanya berhubungan dengan
tempat kerja dan biaya. Petugas sosial medik dapat membantu
mengatasi dengan menghubungi tempat kerja, mungkin untuk
sementara waktu dapat bekerja pada bagian yang tidak banyak
berhubungan dengan umum. Untuk masalah biaya, dibantu dengan
mencarikan fasilitas kesehatan di tempat kerja atau melalui
keluarga. Selain itu memberikan penyuluhan bahwa kerja sama
penderita dengan petugas yang merawat sangat penting untuk
kesembuhan penderita. (2,4,8)
4) Program Psikologik
Untuk kasus-kasus tertentu dimana ada gangguan psikis amat
menonjol, rasa cemas sering menyertai penderita terutama pada
penderita muda, wanita atau penderita yang mempunyai profesi
yang mengharuskan ia sering tampil di depan umum, maka bantuan
seorang psikolog sangat diperlukan. (2,4,8)
5) Program Ortotik – Prostetik
Dapat dilakukan pemasangan “Y” plester dengan tujuan agar
sudut mulut yang sakit tidak jatuh. Dianjurkan agar plester diganti
tiap 8 jam. Perlu diperhatikan reaksi intoleransi kulit yang sering
terjadi. Pemasangan “Y” plester dilakukan jika dalam waktu 3
bulan belum ada perubahan pada penderita setelah menjalani
fisioterapi. Hal ini dilakukan untuk mencegah teregangnya otot
Zygomaticus selama parese dan mencegah terjadinya kontraktur.
(2,4,8)
d. Operatif
Indikasi terapi operatif yaitu:(2)
• Produksi air mata berkurang menjadi < 25%
• Aliran saliva berkurang menjadi < 25%
• Respon terhadap tes listrik antara sisi sehat dan sakit berbeda 2,5
mA.
Beberapa terapi bedah yang dapat dilakukan antara lain
dekompresi nervus Fasialis, Subocularis Oculi Fat Lift (SOOF),
Implantasi alat ke dalam kelopak mata, tarsorrhapy, transposisi otot
muskulus temporalis, facial nerve graftingdan direct brow lift.
Tiemstra JD and Khathare N dalam American Academy of
Neurology saat ini tidak merekomendasikan dekompresi bedah untuk
Bell’s palsy. Komplikasi yang paling umum dari pembedahan adalah
pasca operasi yaitu berkurangnya pendengaran yang mempengaruhi 3
sampai 15 persen pasien. Berdasarkan potensi yang signifikan untuk
kerugian dan kurangnya manfaat data pendukung, American Academy
of Neurology saat ini tidak merekomendasikan dekompresi bedah untuk
Bell’s palsy. (2,4,8)
2.10 Prognosis
Penderita Bell’s palsy dapat sembuh total atau meninggalkan gejala
sisa. Faktor resiko yang memperburuk prognosis Bell’s palsy adalah:
a. Usia di atas 60 tahun.
b. Paralisis komplit.
c. Menurunnya fungsi pengecapan atau aliran saliva pada sisi yang lumpuh.
d. Nyeri pada bagian belakang telinga.
e. Berkurangnya air mata.
3.1 Kesimpulan
Bell’s palsy didefinisikan sebagai suatu keadaan paresis atau
kelumpuhan yang akut dan idiopatik akibat disfungsi nervus facialis perifer.
Penyebab Bell’s palsy adalah edema dan iskemia akibat penekanan
(kompresi) pada nervus fasialis. 2. Ada beberapa teori yang dihubungkan
dengan etiologi Bell’s palsy yaitu teori iskemik vaskuler, teori infeksi virus,
teori herediter, teori imunologi.
Kelumpuhan perifer N.VII memberikan ciri yang khas hingga dapat
didiagnosa dengan inspeksi. Otot muka pada sisi yang sakit tak dapat
bergerak. Lipatan-lipatan di dahi akan menghilang dan nampak seluruh
muka sisi yang sakit akan mencong tertarik ke arah sisi yang sehat. Gejala
kelumpuhan perifer ini tergantung dari lokalisasi kerusakan.
Pengobatan pasien dengan Bell’s palsy adalah dengan kombinasi obat-
obatan antiviral dan kortikosteroid serta perawatan mata yang
berkesinambungan. Antara 80- 85% penderita akan sembuh sempurna
dalam waktu 3 bulan. Paralisis ringan atau sedang pada saat gejala awal
terjadi merupakan tanda prognosis baik sehingga prognosis pasien dengan
Bell’s palsy relatif baik meskipun pada beberapa pasien gejala sisa dan
rekurensi dapat terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ropper AH, Brown RH., 2005, Bell’s Palsy Disease Of The Cranial Nerve.
Adams and Victor’s Principles of Neurology. 8th ed. New York : McGraw
Hill, p.1181-4.
2. Taylor DC, Zachariah, S., Khoromi, S. Bell’s Palsy. in: Benbadis SR, editor.
Available at: http://emedicine.medscape.com/article/1146903. Diakses pada
10 Juli 2018
3. Bell’s palsy, Available at: http://www.nhs.uk/Conditions/Bells-
palsy/Pages/Symptoms.aspx. Diakses pada 10 Juli 2018
4. Greco A, Gallo A, Fusconi M, Marinelli C, Macri GF, de Vincentiis M.
2012, Bell's palsy and autoimmunity. Elsevier: Autoimmunity Reviews:
12:323–328.
5. Lumbantobing SM., 2008, Neurologi Klinik: Pemeriksaan Fisik dan Mental,
Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
6. Mardjono M. Sidharta P., 2005, Nervus Fasialis dan Patologinya. Neurologi
Klinis Dasar, 5th ed. Jakarta : PT Dian Rakyat
7. Baehr M, Frotscher, 2005, Facial Nerve and Nervus Intermedius. M. Duus’
Topical Diagnosis in Neurology. Stuttgart: Thieme
8. Baugh RF, Basura GJ, Ishii LE, Schwartz SR, Drumheller CM, Burkholder
R, et al., 2013, Clinical Practice Guideline: Bell’s Palsy. SAGE: American
Academy of Otolaryngology—Head and Neck Surgery Foundation:149:1-
27.