Professional Documents
Culture Documents
Fisiologi Reproduksi
1. Control of gonadal and gamete development
2. Control of ovulation and the corpus luteum
3. Reproductive cycle
4. Pregnancy and parturition
Organisasi Seks Genitalia dan Otak Bergantung pada Ada Tidaknya Testoteron
• Perkembangan sistem tubulus genital dan genitalia eksterna di bawah kontrol gonad yang
sedang berkembang. Jika hewannya betina, gonad yang berkembang adalah ovari, duktus mulleri
berkembang menjadi oviduk, uterus, serviks dan vagina, sedangkan duktus wolfi mengecil; tidak
adanya testoteron penting untuk kedua perubahan itu. Jika hewannya jantan, rete testis
menghasilkan faktor penghambat muller, yang menyebabkan pengecilan duktus mulleri. Pada
hewan jantan duktus wolfi dipelihara oleh pengaruh hormon androgen yang dihasilkan oleh
testis. Kesimpulannya, duktus mulleri merupakan struktur “pemanen”, sedangkan duktus wolfi
struktur “sementara”, kecuali jika ada hormon jantan yang mempengaruhinya. Terdapatnya
enzim 5a - reduktase penting untuk pengaruh androgen, karena testoteron di dalam sel harus
diubah menjadi dihidro-testoteron agar terjadi maskulinisasi jaringan.
• Perkembangan genitalia eksterna mengikuti pengembangan dan pengarahan gonad. Jika
hewannya bergenotip betina, lipatan jaringan yang bernama labia membentuk vulva, dan klitoris
berkembang. Jika hewannya jantan, androgen dari testis mengarahkan pembentukan penis
(pasangan klitoris) dan skrotum (pasangan labia). Sekali lagi, ada tidaknya androgen merupakan
faktor penting yang mempengaruhi pembentukan genitalia eksterna.
• Organisasi final hewan yang menyangkut jantina (jenis kelamin, gender) tergantung pada
diferensiasi seks hipotalamus. Pemaparan hipotalamus kepada androgen pada saat janin akan
lahir menyebabkan hipotalamus diorganisasi menjadi jantan. Ironisnya ialah bahwa konversi
(aromatisasi) androgen menjadi estrogen esensial agar hewan menjadi jantan; ini diperantarai
oleh enzim di dalam jaringan saraf. Tidak adanya androgen menyebabkan hipotalamus
diorganisasi menjadi betina.
• Konsep mendasar organisasi sistem reproduksi yang menyangkut genotip ialah bahwa sistem
betina diorganisasi jika testis tidak ada. Jika hewan akan menjadi jantan, harus ada intervensi
aktif oleh testes lewat terbentuknya androgen dan enzim-enzim jaringan yang serasi di dalam
dua lingkungan: (1) di dalam genitalia interna untuk mengubahnya menjadi androgen lebih
poten; dan (2) di dalam hipotalamus untuk mengubahnya menjadi estrogen.
• Proliferasi oosit yang terjadi dengan pembelahan mitosis selama perkembangan fetus pada
kebanyakan spesies mamal berakhir kira-kira menjelang saat kelahiran. Oosit memulai proses
pengurangan jumlah kromoson sehingga menjadi haploid secara meiosis segera sesudah lahir di
bawah pengaruh faktor penginisiasi meiosis yang diduga dihasilkan oleh rete ovari. Proses ini
segera diinterupsi saat diploten atau diktiat atau stadium diktiat meiosis I oleh faktor penghambat
meiosis yang tampaknya dihasilkan oleh sel folikel yang sedang berkembang. Oosit tetap dalam
stadium ini sampai folikel mengalami perkembangan finalnya, yang pada manusia dapat sampai
50 tahun lebih. Dalam posisi demikian ini, folikel dibatasi oleh membrana propria atau
membrana basalis yang disekresikan oleh sel-sel folikel.
• Perkembangan awal folikel melibatkan pertumbuhan oosit yang diiringi aktivitas sintesis intensif
dengan menyintesis sejumlah besar RNA. Sel-sel folikel mulai berbelah dan membentuk
granulosa sampai beberapa sel tebalnya, kemudian menyekresikan zat pembatas lainnya, zona
pelusida, yang letaknya lebih dalam ketimbang granulosa dan mengelilingi oosit. Sel granulosa
memelihara kontak dengan oosit melalui zona pelusida lewat pengembangan tonjolan
sitoplasma. Interaksi antara sel-sel granulosa dipermudah oleh pengembangan gap junction.
Bentuk komunikasi seperti ini penting, karena granulosa tidak disuplai oleh darah; pembuluh
darah hanya sampai membrana basalis. Lapisan teka folikel terbentuk mengelilingi membrana
basalis untuk melengkapi lapisan folikel. Folikel dalam stadium ini disebut folikel primer, atau
folikel preantrum. Faktor yang mengontrol awal pertumbuhan folikel tidak diketahui. Faktor
eksternal, seperti gonadotropin, tidak diperlukan karena hewan yang diambil hipofisisnya dapat
mengembangkan folikel preantrum.
• Pada spesies seperti sapi dan kuda (mungkin juga kambing dan domba) yang beberapa folikel
dominannya berkembang selama siklus estrus, beberapa folikel tumbuh setiap hari. Pada hewan
yang beberapa folikelnya berkembang secara serentak (babi, kucing, anjing), tampaknya kurang
cenderung memiliki gelombang pertumbuhan folikel yang bersaingan selama fase luteal (babi),
dan hanya sejumlah folikel saja selama periode praovulasi (kucing dan anjing). Jadi,
pengembangan sejumlah folikel dapat mengekang, atau membatasi, perkembangan folikel dari
keadaan primordia, paling tidak selama periode perkembangan aktif folikel yang menjurus
kepada ovulasi.
• Jelas bahwa perkembangan folikel awal di bawah kontrol gen, dan polanya mencerminkan
kebutuhan spesies tertentu.
Di Dalam Folikel Preantrum, Reseptor Gonadotropin Untuk LH Berkembang pada Teka, dan
Ini Mengakibatkan Sintesis Androgen; Arahan FSH Pada Sel Granulosa Menyebabkan Sel
Itu Mengubah Androgen Menjadi Estrogen
• Agar folikel dapat terus berkembang melebihi stadium preantrum, granulosa dan teka perlu
mengembangkan reseptor untuk gonadotropin. Reseptor FSH berkembang pada granulosa,
sedangkan reseptor LH berkembang pada teka. Mulainya timbul folikel antral ditandai dengan
munculnya cairan yang mulai membagi granulosa. Cairan folikel, suatu produk granulosa,
melebur untuk membentuk rongga yang makin lama makin besar (antrum) di dalam granulosa.
Pada perkembangan selanjutnya folikel antral, oosit tetap dikelilingi oleh lapisan sel granulosa
diberi nama kumulus ooforus dan terikat ke dinding folikel oleh tangkai kecil sel-sel granulosa.
• Terdapatnya reseptor yang berbeda untuk gonadotropin pada sel teka dan sel granulosa
mengakibatkan adanya upaya kerja sama terkait dengan sintesis estrogen. Teka menghasilkan
androgen (testoteron dan androstendion) di bawah pengaruh LH, yang berdifusi melintasi
membrana basalis menuju ke granulosa; di sini androgen diubah menjadi estrogen (estradiol-17).
Dalam perkembangan saat itu, granulosa tidak mampu membentuk androgen, yakni prekursor
untuk biosintesis estrogen, dan kapasitas teka untuk menghasilkan estrogen terbatas. Konsep ini
yang diberi nama mekanisme dua sel untuk sekresi estrogen yang mempunyai efek umpan balik
positif pada granulosa; yakni merangsang sel untuk mengalami pembelahan mitosis sehingga
ukuran folikel bertambah sementara granulosa berproliferasi menanggapi produk sekresinya
sendiri (estrogen).
• Salah satu efek estrogen ialah pembentukan reseptor-reseptor tambahan teruntuk FSH sementara
perkembangan folikel berlanjut shg folikel antral makin lama makin sensitif terhadap FSH dan
mampu tumbuh di bawah pengaruh FSH yang sekresinya relatif ajek.
Pada Akhir Fase Folikolar Ovari, Berkembanglah Reseptor LH Pada Granulosa yang
Menimbulkan Lonjakan Pra-ovulasi LH Untuk Menyebabkan Ovulasi
• Pada akhir perkembangan folikel antral, FSH dan estrogen memulai pembentukan reseptor LH
pada granulosa, sementara reseptor FSH jumlahnya berkurang. Meningkat-nya sekresi estrogen
oleh folikel antral akhirnya mengakibatkan dimulainya lonjakan gonadotropin pra-ovulasi. Jadi,
pada stadium akhir perkembangan, berangsur-angsur folikel berkurang jumlahnya di bawah
kontrol LH sementara folikel itu tumbuh atau melakukan pertumbuhan cepat terakhir sampai
terjadi ovulasi
•
PENGONTROLAN OVULASI DAN KORPUS LUTEUM
• Ovulasi
– Folikel ovulatori dipilih pada saat timbulnya luteolisis (ternak besar)
– Ovulasi ditimbulkan oleh lonjakan gonadotropin praovulasi yang diinduksi oleh
estrogen
• Korpus Luteum
– Korpus luteum menyekresikan progesteron yang esensial untuk kebuntingan
– LH penting untuk pemeliharaan korpus luteum
– Regresi korpus luteum pada ternak besar nirbunting dikontrol oleh sekresi
prostaglandin F2a
– Perubahan umur korpus luteum pada ternak besar terjadi karena ada perubahan
sintesis prostaglandin F2a oleh uterus
• Siklus Ovari
– Pada hewan yang ovulasinya spontan, siklus ovari mempunyai dua fase: folikular dan
luteal; hewan yang memerlukan kopulasi agar terjadi ovulasi hanya dapat mempunyai
fase folikular saja
– Pada beberapa spesies fase luteal dapat dipengaruhi oleh kopulasi
OVULASI: Folikel ovulatori dipilih pada saat timbulnya luteolisis (ternak besar).
• folikel ovulatori yang dipilih, secara kebetulan, adalah folikel dominan yang sedang berkembang
pada saat korpusluteum mulai lisis. Durasi yang diperlukan untuk perkembangan folikel antral
sampai ovulasi telah ditaksir dengan berbagai teknik kira-kira 10 hari pada hewan ternak, pada
primata sedikit lebih banyak. Folikel yang tumbuh cepat memerlukan pemaparan kepada laju
pulsa gonadotropin yang lebih cepat pada hari ketiga atau keempat agar folikel dapat
menyelesaikan pola pertumbuhan normalnya dan berovulasi. Keadaan ini biasanya terjadi dalam
kaitannya dengan mulainya regresi korpusluteum, yang secara pasif memungkinkan
meningkatnya laju pulsatil sekresi gonadotropin.
• Salah satu cara folikel dominan memelihara statusnya ialah menghasilkan zat yang menghambat
perkembangan folikel antral lainnya. Salah satu zatnya ialah inhibin, suatu hormon peptid yang
dihasilkan oleh granulosa, yang menghambat sekresi FSH. Folikel yang dominan mampu
mengimbangi kadar FSH yang lebih rendah ini dan terus tumbuh oleh adanya penambahan
reseptor FSH yang telah dibuatnya. Pertumbuhan folikel ini dinamis setelah fase pertumbuhan
cepat tercapai; folikel harus dipelihara oleh rangsangan gonadotropin yang wajar dalam beberapa
hari; jika tidak, folikel mati. Jika folikel antral yang tumbuh cepat tidak terpapar kepada
lingkungan gonadotropin yang wajar, hampir serta merta terjadilah atresia (regresi). Folikel yang
beregresi diserbu oleh sel-sel radang, dan daerah yang dulunya diduduki oleh folikel antral
akhirnya dipenuhi jaringan pengikat sehingga folikel diganti oleh jejas ovari.
• Lonjakan LH praovulasi yang mulai terjadi kira-kira 24 jam sebelum ovulasi pada kebanyakan
spesies ternak (sapi, anjing, kambing, babi, dan domba) menginisiasi perubahan kritis pada
folikel sehingga mempengaruhi status organ endokrin dan berakibatkan dilepaskannya oosit.
Dua jaringan penting oosit dan granulosa, sudah dijaga oleh produksi zat penghambat yang
barangkali asalnya dari granulosa. Salah satunya ialah faktor penghambat oosit yang mencegah
oosit meneruskan meiosis. Zat lainnya ialah faktor penghambat luteinisasi yang mencegah
granulosa secara prematur diubah menjadi jaringan luteal. Dampak lonjakan LH ialah blokade
terhadap produksi dua faktor penghambat itu. Pada kebanyakan hewan, diteruskannya meiosis
berakibat terjadinya pembelahan pertama meiosis (meiosis I), atau terbentuknya benda kutub
pertama, yang selesai sebelum ovulasi. Pada hewan dengan potensi reproduksi yang cukup
panjang, misalnya sapi, inisiasi proses meiosis dapat dimulai 10 tahun atau lebih sebelum
prosesnya selesai.
• Pengaruh lonjakan LH pada granulosa ialah dimungkinkannya inisiasi proses luteinisasi, yaitu
proses yang mengubah sel dari pemroduksi estrogen menjadi pemroduksi progesteron. Proses ini
terjadi sebelum ovulasi. Dengan datangnya lonjakan LH, secara serentak sekresi estrogen
menurun dengan dimulainya sekresi progesteron.
• Fungsi lain lonjakkan LH praovulasi ialah dibuatnya granulosa membentuk zat seperti relaksin
dan prostaglandin F2a yang mempengaruhi kesinambungan jaringan pengikat lapisan teka
folikel.
• estrogen dipakai oleh folikel (1) untuk merangsang pertumbuhan dan perkembangan granulosa;
dan (2) untuk memberi sinyal kepada hipotalamus dan pituitari anterior bahwa folikel sudah siap
untuk berovulasi
KORPUS LUTEUM
Regresi Korpus Luteum pada Hewan Ternak Besar Nirbunting Dikontrol oleh
Prostaglandin F2a dari Sekresi Uterus
• Regresi korpus luteum pada hewan ternak besar nirbunting penting, agar hewan memasuki
kembali status fertilnya sesegera mungkin. Umur kehidupan korpus luteum sesudah ovulasi
harus cukup panjang sampai konseptus mampu menyintesis dan melepas faktor yang
mempertahankan korpus luteum, tetapi harus cukup pendek agar hewan nirbunting dapat
kembali ke status fertilnya. Pada hewan ternak besar durasi fase luteal kira-kira 14 hari jika tidak
bunting. Ini memungkinkan hewan ternak mempunyai siklus estrus dengan interval relatif sering,
yakni kira-kira 3 mingguan
• PGF2a –suatu asam amino 20-C nirjenuh– merupakan zat yang dikeluarkan uterus dan
menyebabkan regresi korpus luteum pada hewan ternak besar, termasuk sapi, kambing, kuda,
babi dan domba. Pada kucing, anjing dan primata PGF2a tidak menimbulkan regresi korpus
luteum. Terapi prostaglandin telah dipakai secara klinis untuk menyebabkan luteolisis pada
anjing betina, untuk mengobati piometra atau untuk menimbulkan keguguran. Pada spesies
ternak besar regresi korpus luteum diinisiasi oleh sintesis dan pelepasan PGF2a oleh uterus
(asalnya dari endometrium) kira-kira 14 hari pascaovulasi. Pemindahan PGF2a dari uterus ke
ovari diduga terjadi secara arus balik lokal atau sistemik umum. Transfer secara arus balik
(counter current) yang melibatkan gerakan molekul melintaasi sistem pembuluh darah dari kadar
lebih tinggi dalam vena (vena otero-ovaria) ke daerah berkonsentrasi lebih rendah (arteri-ovaria).
Transfer sistemik melibatkan pelintasan molekul lewat sirkulasi umum. Pada beberapa spesies
(sapi dan domba), sintesis PGF2a dari suatu tanduk uterus hanya mempengaruhi umur korpus
luteum pada ovari ipsilateral. Pada spesies lain (babi dan barangkali kuda), sintesis PGF2a dari
satu tanduk sudah cukup untuk menimbulkan regresi korpusluteum pada kedua ovari. Efek ini
dapat terjadi barangkali karena produksi PGF2a yang lebih besar oleh uterus; juga karena
perbedaan laju metabolisme PGF2a. PGF2a dengan cepat dimetabolisasi secara sistemik; sekali
melintasi paru 90% PGF2a rusak. Jadi, sistem yang memerlukan PGF2a sebagai zat yang
menimbulkan luteolisis pada spesies ternak besar mewajibkan PGF2a dihemat lewat sistem
transfer khusus, atau PGF2a diproduksi dalam jumlah yang relatif besar.
• Pola sintesis dan pelepasan PGF2a penting untuk efek luteolisisnya. Misalnya, sintesis dan
pelepasan PGF2a harus pulsatil, dengan pulsa berinterval kira-kira 6 jam, agar terjadi luteolisis.
Telah berkembang konsep bahwa ada minimal 4 sampai 5 pulsa dalam 24 jam jika ingin terjadi
luteolisis sempurna. Jika interval pulsa bertambah lama sebelum terjadi luteolisis sempurna,
misalnya 12 jam, korpus luteum dapat sembuh dan terus berfungsi, meskipun hanya menyintesis
sedikit saja steroid. Uterus harus terpapar kepada estrogen dan progesteron agar terjadi sintesis
dan pelepasan PGF2a. Meskipun inisiasi sintesis PGF2a yang berakhir dengan luteolisis tidak
sepenuhnya dipahami, salah satu penjelasannya ialah bahwa estrogen (dari folikel antral)
menyebabkan sintesis awal dan pelepasan PGF2a. Pada domba, diduga terjadi permainan antara
uterus dan ovari setelah timbul pulsa PGF2a awal. PGF2a mempengaruhi korpus luteum untuk
mengurangi produksi progesteron dan melepaskan oksitosin luteal. Oksitosin kemudian
berinteraksi dengan reseptor di dalam uterus untuk memulai lagi sintesis PGF2a. Sintesis PGF2a
berhenti 6 – 12 jam sesudah kadar progesteron mencapai kadar basal, yakni setelah luteolisis
selesai. Pada anjing dan kucing terkait dengan regresi korpus luteum tidak ada sistem untuk
membuat siklus estrus terjadi awal; fase luteal kira-kira 70 hari pada anjing, sedangkan pada
kucing 35 hari.
Perubahan umur korpus luteum pada ternak besar terjadi àkarena adanya perubahan sintesis
PGF 2α
• Perubahan penting dalam usia korpus luteum pada spesies ternak besar nirbunting terjadi hanya
oleh perubahan di dalam uterus. Terdapatnya embrio mengakibatkan blokade terhadap sintesis
PGF2a dan dilanjutkannya aktivitas korpus luteum. Bertambah panjangnya fase luteal lazim
juga terjadi pada kuda betina meskipun tak ada infeksi. Keanehan pada kuda betina ini
tampaknya ditimbulkan oleh kecenderungan genetik, yakni sintesis dan pelepasan PGF2a
kurang mencukupi
• Pada hewan ternak besar nirbunting, tanggapan endometrium terhadap radang yang ditimbulkan
oleh bakteri dapat mengakibatkan disintesis dan dilepaskannya PGF2a secara signifikan,
sehingga timbul luteolisis prematur dan pemendekan siklus estrus. Harus disadari bahwa
aktivitas korpus luteum hampir selalu normal jika tidak ada keabnormalan uterus pada spesies
ternak besar. Jadi, siklus estrus yang lebih pendek pada hewan ternak besar merupakan pertanda
adanya infeksi uterus.
SIKLUS OVARI
• Pada hewan yang berovulasi secara spontan, siklus ovari punya 2 fase: folikular dan luteal
• Hewan yang memerlukan kopulasi agar terjadi ovulasi hanya dapat punya fase folikuler
• Fase luteal pada beberapa spesies diubah-ubah oleh kopulasi
Pada Hewan yang Beroperasi Secara Spontan, Siklus Ovari Punya Dua Fase: Folikular dan
Luteal; Hewan yang Memerlukan Kopulasi Agar Terjadi Ovulasi Hanya Dapat Punya
Fase Folikular
• Siklus ovari pada hewan nirbunting didefinisikan sebagai interval antara dua ovulasi yang
berturutan. Siklus terdiri atas dua fase, yakni fase folikular (awal) dan fase luteal (lanjutannya),
dengan ovulasi memisahkan kedua fase itu. Pada kebanyakan hewan ternak dan primata, proses
ovulasi diatur oleh mekanisme internal: estrogen dari folikel antral menginisiasi dilepaskannya
gonadotropin untuk ovulasi. Hewan demikian ini diberi nama ovulator spontan.
• Terdapat perbedaan mendasar antar-hewan berkaitan dengan hubungan antara fase folikular dan
fase luteal siklus estrus. Pada primata terdapat pemisahan sempurna fase folikular dari fase
luteal, tanpa adanya pertumbuhan folikel yang terjadi sampai luteolisis terjadi. Pada hewan
ternak besar, terjadi pertumbuhan folikel yang signifikan selama fase luteal siklus. Misalnya,
pada sapi ada folikel antral ketika mulai terjadi luteolisis, dan pada kuda betina dapat terjadi
pertumbuhan folikel yang berakhir dengan ovulasi selama fase luteal (± 5% siklus). Jadi, pada
ternak besar, banyak pertumbuhan folikel timbul pada fase luteal. Keadaan demikian ini
berakibat lebih pendeknya siklus pada hewan ternak besar dibanding primata (17 –21 hari vs 28
hari). Interval dari luteolisis ke ovulasi lebih pendek pada hewan ternak besar (5 –10 hari)
ketimbang pada primata (12 – 13 hari). Periode pertumbuhan folikel antral yang berlanjut ke
ovulasi tidak banyak berbeda, tetapi dengan pertumbuhan final folikel antral memerlukan waktu
± 10 hari pada hewan ternak besar dan ± 12 –13 hari primata.
• Hewan yang memerlukan kopulasi untuk timbulnya ovulasi diberi nama ovulator terinduksi.
Hewan-hewan ini termasuk kucing, kelinci, onta, alpaka dan llama. Kopulasi menggantikan
estrogen sebagai perangsang dilepaskannya gonadotropin untuk ovulasi. Akan tetapi, hewan-
hewan itu memerlukan paparan terhadap kadar estrogen tinggi sebelum dapat menanggapi
kopulasi dengan dilepaskannya gonadotropin. Ovulator terinduksi mempunyai pola pertumbuhan
folikel (jika tak ada kopulasi) yang ditandai dengan berkembangnya sejumlah folikel dan
dipeliharanya dalam keadaan masak selama beberapa hari, kemudian mengalami regresi. Pola
pertumbuhan folikel dapat dipisah secara jelas, misalnya pada kucing, yang folikelnya
berkembang dan meregresi setelah 6 – 7 hari, dan minimal 8 – 9 hari antara gelombang
pertumbuhan folikel. Gelombang folikel juga dapat mengalami tumpang tindih sedikit (pada
alpaka dan llama), atau sangat bertumpang tindih (kelinci).
Anestrus
120
Metestrus terjadi
Kawin dengan selama estrus
pejantan subur
Psedudopre
gnancy Pregnancy
Metestrus
63
3-5
Diestrus
Kawin dg pejantan tidak
57 subur atau tidak ada
kawin
Anjing
Kuda
SIKLUS REPRODUKSI
Dua Tipe Siklus Reproduksi ialah Siklus Estrus dan Siklus Menstruasi
• Pubertas dan Senilisasi Reproduksi
– Pubertas adalah saat hewan pertama kali melepas sel induk masak
– Senilisasi reproduksi pada primata terjadi karena ketakcukupan ovari, bukan
ketakcukupan sekresi gonadotropin
• Perilaku Seks
– Kesediaan seks pada hewan betina diatur oleh estrogen dan GnRH, pada hewan
jantan oleh testoteron.
• Faktor Eksternal Pengontrol Siklus Reproduksi
– Foto periode, laktasi, nutrisi, dan interaksi hewan merupakan faktor penting yang
mempengaruhi reproduksi
– Nutrisi yang tak cukup berakibatkan ketakaktifan ovari, terutama pada sapi
• Dikenal dua tipe siklus reproduksi, siklus estrus dan siklus menstruasi, dan interval antara kedua
ovulasi berturut-turut diberi nama siklus ovari. Terminologi ini berkembang agar dapat dipakai
ciri tertentu untuk mengidentifikasi secara akurat stadium tertentu siklus reproduksi, dan yang
terpenting mengaitkannya dengan waktu ovulasi.
• Pada hewan ternak, yang siklus estrusnya terbatas (kesediaan perkelamin) dipakai istilah siklus
estrus, dan mulainya pro-estrus didefinisikan sebagai awal mulainya siklus. Pada primata, yang
bersedia kawin selama sebagian besar siklus reproduksi, dipakai istilah siklus menstruasi, dan
mulainya menstruasi (keluarnya kotoran vagina berupa cairan dan jaringan bersimbah darah)
ditandai sebagai awal siklus. Pada banyak spesies, hari pertama siklus menstruasi maupun estrus,
dimulai segera sesudah fase luteal berakhir. Pada anjing, periode anestrus normal berakhir kira-
kira 3 bulan; ini memisahkan diestrus dari porestrus (stadium akan diuraikan di belakang).
• Pada hewan ternak, proestrus biasanya dimulai dalam 40 jam setelah fase luteal berakhir; anjing
dan babi merupakan kekecualian, yakni proestrus babi tidak terjadi selama 5 – 6 hari. Pada
primata, mentruasi biasanya dimulai dalam 24 jam pada akhir fase luteal. Meskipun kedua siklus
dimulai pada saat yang bersamaan dalam kaitannya dengan fase luteal (yakni segera sesudah
berakhir), saat ovulasinya berbeda. Ini lantaran fase luteal dan folikular pada primata terpisah;
ovulasi terjadi minimal 12 – 13 hari sesudah dimulainya mens. Pada kebanyakan hewan ternak,
fase folikular tumpang tindih dengan fase luteal, dan sebagai akibatnya ovulasi terjadi relatif
pada awal siklus estrus. Dibanding primata, ovulasi lebih mudah diramal pada hewan ternak,
karena estrus biasanya sangat terkait dengan pelepasan gonadotropin praovulasi dan ovulasi.
Mulainya perkembangan folikel pada primata dapat ditunda oleh berbagai alasan, termasuk stres,
sehingga saat ovulasi kurang dapat diramal pada primata.
• Siklus estrus telah dibagi ke dalam stadium-stadium yang mewakili peristiwa perilaku atau
gonad. Istilah itu awalnya dikembangkan untuk marmut, tikus dan mencit. Urutannya demikian:
proestrus –periode pengembangan folikel yang terjadi mengikuti regresi korpus luteum dan
berakhir pada estrus; estrus –periode kesediaan kawin; metestrus –periode pengembangan awal
korpos luteum; dan diestrus –periode fase masaknya korpus luteum.
• Untuk hewan ternak istilah tersebut tidak begitu bermanfaat. Istilah umum yang dipakai untuk
hewan ternak melibatkan aktivitas perilaku atau gonad. Siklus dapat dilukiskan secara perilaku
dengan menunjukkan apakah hewan itu dalam keadaan estrus (bersedia berkelamin) atau tidak,
termasuk stadium proestrus, metestrus, dan diestrus. Siklus juga dapat dilukiskan dengan
merujuk kepada aktivitas gonad, jika diferensiasi folikel dan korpus luteum dapat ditunjukkan.
Hewan dapat disebut dalam fase folikular (proestrus dan estrus) atau fase luteal (metestrus dan
diestrus). Karena korpus luteum kuda relatif sulit diidentifikasi secara palpasi rektal, kuda
biasanya diklasifikasi berdasar perilaku seksnya, yakni estrus atau nonestrus. Klasifikasi
berdasar perilaku juga dipakai pada spesies ternak lain, termasuk kambing, domba, dan babi
karena sulitnya menentukan status ovari. Status ovari sapi dapat ditentukan secara akurat dengan
palpasi rektal sehingga sapi biasanya diklasifikasi berdasar status ovari, yakni folikular atau
luteal. Status ovari anjing dan kucing dapat ditentukan dengan mengukur kadar progesteron
serum. Jika korpus luteum dapat diidentifikasi, penetapan dapat dibuat bahwa aktivitas ovari
normal pada hewan tertentu, karena korpus luteum merupakan kulminasi pertumbuhan folikel
dan ovulasi.
Pubertas: Waktu Ketika Hewan Pertama Kali Melepas Sel Induk Masak
• Agar hewan betina dapat memulai siklus reproduksi, dia harus mengalami proses yang disebut
pubertas. Istilah pubertas dipakai untuk memberi definisi dimulainya kehidupan reproduksi.
Meskipun pada hewan betina datang aktivitas seks (pada hewan ternak) atau pendarahan mens
pertama (pada primata) sering dipakai sebagai permulaan pubertas, definisi yang paling tepat
ialah saat ovulasi pertama.
• Untuk semua spesies terdapat persyaratan kritis menyangkut ukuran tubuhnya: tubuh harus
mencapai ukuran tertentu agar pubertas dapat diinisiasi, misalnya pada sapi berat badannya
harusa kira-kira 275 kg, dan pada domba kira-kira 40 kg. Jika persyaratan kritis ini tidak
dipenuhi karena hewan kekurangan nutrisi, pubertas tertunda. Umur pubertas pada hewan ternak
adalah sbb.: kucing, 6 – 12 bulan; sapi, 8 – 12 bulan; anjing, 6 – 12 bulan; kambing, 7 – 8 bulan;
kuda, 12 – 18 bulan; dan domba, 7 – 8 bulan.
• Mekanisme fisiologi yang melibatkan pengontrolan pubertas pada hewan ternak diketahui paling
banyak pada domba. Salah satu konsep mendasar dimulainya pubertas melibatkan peningkatan
sintesis dan pelepasan GnRH dari hipotalamus, yang mendorong sekresi gonadotropin (dalam
bentuk pulsatil) dan pertumbuhan folikel. Sebelum pubertas, sekresi GnRH dan gonadotropin
belum ada, karena hipotalamus sangat peka terhadap hambatan umpan balik estrogen. Salah satu
kunci timbulnya pubertas pada domba ialah matangnya hipotalamus, yang menjadikannya
kurang peka terhadap estrogen. Dimulainya pubertas tidak dihalang-halangi oleh ketiadaan
tanggapan gonad prapubertas, karena perkembangan folikel ovari dapat ditimbulkan oleh
pemberian gonadotopin.
• Perubahan fotoperiode penting bagi domba untuk memasuki pubertas. Telah ditunjukkan bahwa
domba harus pernah terpapar pada fotoperiode panjang selama perkembangan prapubertasnya.
Periode ini cukup 1 – 2 minggu saja (di bawah kondisi eksperimen). Berakhirnya fotoperiode
panjang, yang terjadi selama musim panas, memungkinkan kepekaan hipotalamus menurun
dalam menanggapi umpan balik negatif estrogen. Interval minimal dari akhir paparan kepada
fotoperiode sampai dimulainya pubertas adalah 10 minggu (di bawah kondisi eksperiman). Ini
sesuai dengan pubertas spontan: ovulasi pertama sering terjadi pada minggu terakhir September
atau kira-kira 13 minggu dari berakhirnya musim panas. Perhatikan bahwa konsep inisiasi
pubertas tidak melibatkan menurunnya fotoperiode itu sendiri. Tekanannya ialah pada titik balik,
yakni berhentinya paparan terhadap fotoperiode panjang.
• Dengan paparan yang wajar terhadap fotoperiode, sekresi gonadotropin pada domba
menyebabkan pertumbuhan folikel yang signifikan. Pertumbuhan ini dipelihara oleh
menurunnya kepekaan hipotalamus terhadap estrogen yang dihasilkan oleh folikel. Peristiwa
endokrin pertama pubertas pada domba betina ialah munculnya lonjakan gonadotropin tipe
praovulasi, barangkali diinduksi oleh estrogen yang dihasilkan oleh folikel. Lonjakan
gonadotropin mengakibatkan produksi struktur korpusluteum, lewat luteinisasi folikel yang
mempunyai umur pendek, yakni 3 – 4 hari sesudah kematian struktur korpus luteum awal, timbul
lonjakan gonadotropin lainnya, yang menimbulkan ovulasi dan pembentukan korpus luteum,
lazimnya berumur normal. Pada saat ini, aktivitas ovari siklis akhirnya terjadi pada domba
betina.
• Fotoperiode dapat mempunyai efek supresif terhadap saat datangnya pubertas pad hewan yang
siklus ovarinya dikontrol oleh cahaya. Anak kucing yang lahir pada musim semi, pada akhir
musim gugur sudah cukup besar untuk memasuki pubertas, tetapi pubertas dapat ditunda
beberapa bulan jika anak kucing itu ada di bawah fotoperiode alami.
• Fotoperiode mempengaruhi saat timbulnya pubertas pada monyet makakus, tergantung pada
kematangan fisiologi individu. Ovulasi pertama, atau mulai timbulnya pubertas, dapat terjadi
pada akhir musim gugur atau awal musim dingin, ketika umurnya kira-kira 30 bulan (20%
hewan) atau 12 bulan kemudian, atau umur kira-kira 42 bulan (80% hewan). Hewan yang
timbulnya pubertas pada umur kira-kira 30 bulan sistem neuroendokrinnya masak lebih awal,
dan sekresi gonadotropin yang signifikan dimulai pada musim semi sebelumnya. nampaknya
dimulainya pubertas lebih awal ditentukan oleh nutrisi dan pertumbuhan.
• Dimulainya pubertas biasanya mengakibatkan terjadinya aktivitas ovari yang siklis dalam waktu
yang relatif dekat, yakni pada domba dalam beberapa minggu sampai satu bulan. Umumnya,
dimulainya siklus ovari lebih lambat dan berakhirnya lebih awal pada domba muda
dibandingkan dengan domba dewasa pada hewan yang rasnya sama. Lebih awalnya aktivitas
ovari berhenti disebabkan oleh tanggapan lebih awal terhadap umpan balik negatif estrogen.
• Inisiasi aktivitas ovari siklis pada primata dewasa terjadi lebih lama; pertumbuhan folikel
pertama yang signifikan biasanya diakhiri dengan kegagalan ovulasi. Pada monyet, waktu 3 – 6
bulan biasanya diperlukan sesudah dimulainya menarke (keluarnya darah dari vagina untuk
pertama kali), sebelum terjadinya ovulasi pertama. Pada manusia, pertumbuhan folikel tanpa
ovulasi dapat terjadi sampai 1 tahun sebelum timbulnya siklus ovari normal, yakni ovulasi dan
pembentukan korpus luteum.
Senilitas Reproduksi pada Primata Terjadi karena Ketakcukupan Ovari, Bukan Ketak-
cukupan Sekresi Gonadotropin
• Akhir aktivitas ovari yang terjadi pada primata diberi nama menopause. Pada manusia, ini
lazimnya terjadi antara usia 45 dan 50 tahun. Menopause timbul karena habisnya oosit, yang
timbul selama proses kehidupan reproduksi wanita. Pada hakikatnya ini merupakan kegagalan
ovari. Tidak jelas apakah folikel gagal berkembang dari keadaan primordialnya lantaran jumlah
absolut folikel, jumlah relatif folikel, atau tidak adanya reseptor gonadotropin mencegah folikel
untuk tidak memasuki stadium pertumbuhan yang tergantung pada gonadotropin. Inisiasi
menopause sering melibatkan ketakteraturan siklus lantaran terjadinya kegagalan perkembangan
folikel dan ovulasi. Sekresi gonadotropin dapat bertambah, atau normal saja, karena kekurangan
estrogen sehingga tidak ada umpan balik negatif terhadap sekresi gonadotropin. Akhirnya,
aktivitas folikel ovari berhenti, kadar estrogen menurun, dan dengan tidak adanya hambatan
umpan balik negatif, kadar gonadotropin sangat meningkat.
• Senilitas reproduksi tidak dikenal pada hewan ternak. Ini mungkin karena beberapa spesies
ternak umurnya diperpendek untuk alasan ekonomi atau perikehewanan. Meskipun demikian,
tampaknya jelas bahwa fenomena menopause tidak terjadi pada hewan ternak. Satu-satunya efek
umur dapat dilihat pada anjing; siklus estrus anjing intervalnya makin lama makin bertambah
dari keadaan normal 7,5 bulan menjadi 12 – 15 bulan ke arah berkhirnya siklus.
Kesediaan Kawin Ditentukan oleh Estrogen dan GnRH pada Hewan Betina dan Testosteron
pada Hewan Jantan
• Timbulnya perilaku seks tergantung pada ada tidaknya pemaparan hipotalamus kepada
testosteron selama periode neonatal. Testosteron menimbulkan maskulinisasi pusat seks di
hipotalamus. Tidak adanya testosteron menyebabkan hipotalamus menjadi betina. Suatu area di
dalam hipotalamus –area preoptika media– telah diidentifikasi pada tikus sebagai area yang
strukturnya dimodifikasi oleh pemaparan kepada testosteron.
• Ada beberapa asas berkaitan dengan efek hormon terhadap perilaku seks hewan ternak. Pertama,
besarnya perubahan kadar hormon yang mempengaruhi perilaku seks kecil saja; misalnya pada
kucing, peningkatan kadar estradiol–17b dari 10 menjadi 20 pg/ml plasma menimbulkan gejala
proestrus. Kedua, sinergisme antar-hormon sering penting untuk terjadinya kesediaan kawin;
misalnya pada anjing pemaparan kepada estrogen diikuti oleh progesteron penting. Ketiga,
runtutan pemaparan terhadap hormon penting; misalnya pemaparan terhadap progesteron lebih
dulu diperlukan sebelum pemaparan kepada estrogen agar timbul estrus pada domba.
• Estrogen dari folikel antral yang berkembang merupakan hormon yang diperlukan untuk
kesediaan kawin pada semua ternak. Pada beberapa spesies hewan progesteron yang berasal dari
granulosa folikel atau dari korpus luteum juga penting untuk timbulnya estrus.
• Pada domba estrus terjadi hanya menanggapi estrogen jika hewan sebelumnya sudah terpapar
kepada progesteron (lewat adanya korpus luteum sebelumnya). Estrus biasanya mulai terjadi
segera sesudah akhir fase luteal, yakni 24 – 36 jam, karena terdapatnya folikel besar antral saat
terjadinya luteolisis. Maka, periode dari pemaparan terakhir periode kepada progesteron dan
mulai timbulnya estrus singkat saja. Perlunya progesteron untuk reseptivitas seks (kesediaan
kawin) berarti bahwa fase folikular pertama musim kawin –yang berlanjut dengan ovulasi pada
domba betina– tidak disertai estrus. Kebanyakan domba betina dewasa menunjukkan estrus
sesudah fase luteal pertama. Domba betina muda sering memerlukan pemaparan kepada fase
luteal dua kali atau lebih sebelum menunjukkan estrus.
• Di antara spesies hewan piara, anjing luar biasa karena kesediaannya kawin ditentukan oleh
progesteron,yang dihasilkan mula-mula oleh granulosa ketika terjadi lonjakan LH praovulasi,
dilanjutkan oleh korpus luteum yang berkembang. Sebelum pemaparan terhadap estrogen
membuat anjing betina menarik bagi anjing jantan, tetapi tidak menghasilkan kesediaan kawin;
estrus memerlukan pemaparan tambahan kepada progesteron. Estrus sering dipelihara sampai
seminggu jika ada fase luteal yang berkembang. Pada spesies hewan piara lain, progesteron
menghambat aktivitas estrus.
• Pentingnya pemaparan lebih dulu kepada progesteron untuk manifestasi estrus adalah dinyatakan
berlaku untuk sapi perah dengan temuan bahwa kejadian estrus berkurang pada ovulasi pertama
pasca lahir (hari ke-15 saampai ke 20). Penarikan progesteron secara sempurna terjadi pada sapi
segera sebelum melahirkan, dan dalam situasi begini hewan tidak akan terpapar kepada
progesteron selama 2 – 3 minggu. Babi betina juga menunjukkan berkurangnya kejadian estrus
pada ovulasi pertama, yang biasanya tidak terjadi sampai anaknya disapih; lazimnya paling
sedikit 45 hari pascalahir. Spesies hewan piara lain, yakni kucing, kambing, dan kuda semuanya
menunjukkan estrus pada ovulasi pertama musim kawin tanpa perlu pemaparan terlebih dahulu
kepada progesteron.
• Testosteron penting untuk libido pada primata betina. Lapisan teka dari folikel yang
berdegenerasi menunjukkan sel interstisial yang aktif yang menyekresikan androstendion dan
testosteron. Kedua androgen itu juga penting untuk pemeliharaan libido pada hewan jantan.
• Pada kesediaan kawin menunjukkan bahwa GnRH memegang peranan penting. Pemberian
GnRH kepada tikus yang mengalami ovariektomi menghasilkan tanggapan seks (lordosis),
sedangkan pada babi dara prapubertas, pemberian GnRH menimbulkan esrtus dalam waktu 24
jam. Bukti tak langsungnya ialah bahwa awal kesediaan kawin pada hewan terkait erat dengan
timbulnya lonjakan gonadotropin praovulasi. Karena lonjakan gonadotropin praovulasi
merupakan hasil meningkatnya laju pelepasan pulsatil gonadotropin yang didorong oleh sintesis
dan pelepasan GnRH, maka ada dugaan bahwa meningkatnya aktivitas sekresi GnRH
mempengaruhi pusat seks di hipotalamus untuk menimbulkan kesediaan kawin. Ini
memungkinkan mulainya proses ovulasi –yang dipicu oleh lonjakan gonadotropin– terkait erat
dengan kesediaan kawin
Fotoperiode
• Fotoperiode mengontrol terjadinya siklus reproduksi pada sejumlah spesies hewan piara,
termasuk kucing, kambing, kuda dan domba. Hasilnya ialah bahwa hewan-hewan ini mempunyai
periode tahunan dengan aktivitas ovari terus-menerus (siklis) dan periode lain tanpa aktivitas
ovari, diberi nama anestrus. Tanggapan terhadap fotoperiode berbeda antar-spesies; kucing dan
kuda dipengaruhi secara positif oleh meningkatnya pencahayaan, sedangkan kambing dan
domba dipengaruhi secara positif oleh berkurangnya pencahayaan (fotoperiode).
• Tanggapan positif terhadap perubahan fotoperiode lazimnya terjadi relatif segera sesudah
munculnya musim panas atau musim dingin, yakni dalam 1 – 2 bulan. Tanggapan negatif
terhadap perubahan fotoperiode lazimnya membutuhkan waktu yang lebih lama, yakni 2 – 4
bulan untuk menekan aktivitas ovari sesudah timbulnya musim tertentu. Hasil nettonya ialah
bahwa jika tak ada kebuntingan, aktivitas ovari siklis biasanya menduduki waktu lebih dari
setengah tahun pada spesies yang punya musim kawin.
• Pada kucing aktivitas ovari siklis dapat berkisar dari minggu akhir Januari sampai Oktober
(di belahan bumi utara). Pada kuda, kisaran aktivitas ovarinya ialah dari Maret sampai Oktober.
Sebaliknya, kambing dan domba punya aktivitas ovari dari minggu akhir Juli sampai Februari
atau Maret (tergantung pada ras). Seperti sudah dibicarakan, pemaparan kepada progesteron
segera sebelum perkembangan folikel diperlukan agar terjadi reseptivitas seks pada domba.
Panjangnya musim reproduksi pada domba tidak kentara secara eksternal karena (1) ovulasi
pertama tidak didahului oleh adanya korpus luteum; dan (2) fase folikular terakhir dapat ditunda
oleh fotoperiode negatif dengan efek pemaparan terhadap progesteron sudah hilang sebelum
folikel tumbuh.
• Penerjemah utama fotoperiode ialah kelenjar pineal, yang menghasilkan melatonin dalam
menanggapi kegelapan. Jalur sistem saraf sentral yang terlibat dalam penerjemahan cahaya
termasuk retina, nukleus suprakiasmatikus, ganglion servikalis superior dan kelenjar pineal.
Sementara melatonin dulu dilukiskan sebagai zat anti-gonad, sekarang ternyata tidak betul,
karena hasil fase kegelapan pendek dan panjang sekresi melatonin dapat mempunyai efek positif
pada siklus reproduksi. Akan tetapi, pada domba pemaparan kepada bertambahnya kegelapan
jadi penting hanya untuk memelihara aktivitas ovari. Dimulainya aktivitas ovari diduga terjadi
untuk menanggapi perkembangan sifat refrakter terhadap fotoperiode panjang.
Dikembangkannya sifat refrakter terhadap cahaya untuk fotoperiode panjang merupakan syarat
untuk siklisitas seiring dengan kenyataan bahwa domba dapat memulai aktivitas ovari siklis
bahkan sebelum dimulainya musim panas.
• Di antara hewan-hewan yang kawin musiman, kucing merupakan hewan yang paling peka
terhadap perubahan fotoperiode: estrus –jika disertai adanya folikel antral yang masak– dapat
terjadi pada tanggal 15 Januari. Kelihatan di sini bahwa aktivitas folikel sudah dimulai paling
tidak 10 hari sebelum estrus menampakkan diri, atau 15 hari sesudah mulainya musim dingin.
Maka perubahan total fotoperiode 15 menit saja dapat ditangkap oleh kucing dan diterjemahkan
ke dalam aktivitas ovari.
• Efek supresif fotoperiode dapat diatasi oleh pemaparan kepada dosis pencahayaan. Ini relatif
mudah pada kucing dan kuda yang lingkungannya berfotoperiode senada dengan aktivitas ovari,
yakni paling sedikit 12 jam cahaya per hari. Jika fotoperiode ditentukan sebelum akhir aktivitas
ovari pada musim gugur, aktivitas ovari siklis berlanjut sampai tiba pada keadaan estrus. Jika
kuda dibuat anestrus pada musim gugur, dia dapat mengambil paling tidak pemaparan 2 bulan
terhadap meningkatnya pencahayaan untuk menggiatkan kembali aktivitas ovari. Saat yang
lazim dipakai untuk menempatkan kuda betina di bawah pencahayaan ialah tanggal 1 Desember
(pada belahan bumi utara), dan aktivitas ovari siklis diharap terjadi awal Februari.
• Biasanya tidak mungkin menempatkan kambing dan domba di dalam kandang yang kedap
cahaya untuk meningkatkan pemaparannya kepada kegelapan agar efek supresif pencahayaan
dapat diatasi. Perkembangan terbaru berkaitan dengan masalah ini ialah pemberian secara oral
atau sistemik (implan) melatonin kepada domba selama musim semi. Pemaparan kepada
melatonin ini mengakibatkan dimulainya lebih awal aktivitas ovari dan ditingkatkannya jumlah
ovulasi ganda di atas yang biasanya terjadi pada awal musim kawin.
Laktasi
• Laktasi dapat mempunyai efek supresif pada aktivitas ovari. Pada babi, supresi aktivitas ovari
sempurna: babi betina tidak mengalami estrus sampai genjik disapih. Kucing dapat mengalami
supresi aktivitas ovarinya selama berlaktasi, meskipun kucing kadang-kadang dapat juga
mengalami estrus pada bagian akhir laktasi. Aktivitas ovari cenderung ditekan pada sapi perah
yang berlaktasi, dan estrus maupun ovulasi pertama tidak terjadi sebelum 45 hari pascalahir.
Proses penyusuan tampaknya penting untuk supresi ovari; sapi perah tidak ditekan oleh laktasi
kecuali jika ada defisiensi nutrisi yang hebat.
• Kambing dan domba biasanya memulai laktasi selama fotoperiode yang makin supresif
terhadap aktivitas ovari sehingga berlangsungnya kembali aktivitas ovari pada spesies ini
diganggu oleh fotoperiode. Akan tetapi, ditemukan bahwa domba yang melahirkan anaknya pada
musim gugur berovulasi pada hari ke-12 pascalahir, padahal rata-rata ovulasi pascalahir terjadi
pada hari ke-23. Dengan demikian nyata bahwa laktasi hanya sedikit saja mempunyai efek
supresif terhadap aktivitas ovari pada domba. Kuda betina biasanya berovulasi 10 – 13 hari
pascalahir, dan laktasi tidak punya efek supresif pada aktivitas ovari dalam kaitannya dengan
interval ovulasi ini.
• Salah satu konsep tentang supresi laktasi terhadap aktivitas ovari melibatkan pentingnya
penyusuan dalam kaitannya dengan rangsangan terhadap sintesis prolaktin. Faktor penghambat
terhadap sintesis prolaktin, termasuk dopamin dan peptid terkait GnRH, perlu ditekan agar
sintesis prolaktin dapat berlangsung. Input sensori dari penyusuan menekan faktor penghambat
dari prolaktin ini. karena dopamin dan GnRH tadi penting dalam sintesis gonadotropin,
berkurangnya output mengakibatkan berkurangnya aktivitas ovari dengan cara mengurangi
sintesis dan pelepasan gonadotropin.
Feromon
Nutrisi
• Kekurangan nutrisi berakibatkan inaktivitas ovari, terutama pada sapi
• Pada sapi perah yang secara genetis diseleksi untuk produksi tinggi, kemapuan menghasilkan
kira-kira 45 kg air susu per hari merupakan pretasi gemilang. Hampir pasti tidak mungkin sapi
perah mengkonsumsi cukup pakan selama bagian pertama siklus laktasi untuk memelihara berat
badannya dan sapi sering mengalami keseimbangan nutrisi negatif sampai 100 hari pascalahir.
Karena hewan harus mempunyai kadar nutrisi yang cukup untuk menginisiasi aktivitas ovari,
aktivitas ovari ditekan sampai diperoleh kesetimbangan energi yang positif. Jika orang ingin agar
sapi perah memroduksi sejumlah besar air susu, dia harus mau menuggu sampai nutrisi dapat
mengejar produksi air susu.
• Nutrisi yang kurang cukup dapat mempengaruhi aktivitas ovari pada periode pascalahir.
Praktek manajemen yang terkadang dipakai untuk meningkatkan efisiensi produksi ialah dalam
musim dingin sapi pedaging dipelihara dengan dosis makanan marginal. Pendekatan ini
bermaksud untuk memaksa hewan memakai lemaknya yang sudah disintesis dan disimpan
selama musim merumput. Jika sapi pedaging yang bunting tidak dikembalikan kepada
kesetimbangan nutrisi positif pada bulan terakhir kebuntingannya, datangnya siklus ovari yang
biasanya terjadi antara hari ke-45 dan ke-60 pascalahir, akan tertunda. Situasi lain yang dapat
mempengaruhi aktivitas ovari melibatkan sapi pedaging dara yang bunting. Sapi-sapi dara
tersebut sering memerlukan nutrisi ekstra selama periode pascalahir, karena sapi-sapi itu
mempunyai keperluaan untuk pertumbuhan anaknya dan untuk laktasi.
After a248.e.akamai.net/.../pubs/mmanual_home/
illus/i232_1.gif
Kebuntingan dan kelahiran
• Kebuntingan
1. Perkembangan embrio meliputi bersatunya oosit dan spermatozoon dalam oviduk
2. Kelanjutan kehidupan korpus luteum pada hewan besar dan kucing penting untuk
mempertahankan kebuntingan
3. Plasenta beraksi sebagai organ endokrin
• Kelahiran
1. Kortisol fetus mengawali kelahiran melalui peningkatan sekresi estrogen dan
prostaglandin F2α
• Perkembangan individu baru membutuhkan transfer gamet jantan ke saluran reproduksi betina
untuk fertilisasi gamet betina
• Sperma diejakulasikan di vagina, pada anjing, kuda danbabidiejakulasi langsung didalam cervik
dan kedalam uterus
• Gerakan sperma dibantu oleh rangsangan estrogen dalam mukus servik yang memberikan
informasi saluran yg memfasilitasi gerakan sperma, primata mukus ada saat sebelum ovulasi
• Ada reservoir sperma dalam saluran reproduksi betina, servik dan oviduk, uterotubule junction
dan dalam ampulla
• Sperma mengalami “kapasitasi” pelepasan glikoprotein dari permukaan sperma à reaksi
akrosom saat kontak dengan oosit
• Reaksi akrosome meliputi:
– Pelepasan enzim hidrolitik dari akrosom à penting untuk menerobos sel granulosa dan
zona pelusida pada membran oosit
– Hyaluronidase à penghancuran asam hyaluronik, komponen penting matrik interseluler
granulosa sel
– Acrosin à enzim proteolitik yg mencerna selimut aselluler yg mengelilingi oosit
– Merubah permukaan sperma shg dapat menyatu dengan oosit
– Pergerakan ekor sperma shg gerakan sperma lurus kedepan
• Gamet jantan sudah ada sebelum gamet betina menunjukkan bahwa oosit siap untuk
fertilisasi begitu datang di ampulla, sebuah persyaratan sebelum fertilisasi “pembelahan
meiotik” yang terjadi sebelum ovulasi kecuali pada kuda dan anjing
• Fertilisasi à embrio à morula à blastosis dalam oviduk 4-5 hari à uterus : glandula
endometrium mensekresi nutrien dibawah pengaruh progesteron
Kelanjutan kehidupan korpus luteum pada hewan besar dan kucing penting untuk
mempertahankan kebuntingan
• Untuk hewan domestik (sapi, domba, kuda, babi dan kambing) aktivitas luteal dikontrol oleh
uterus, modifikasi sintesa PGF2a uterus dan pelepasannya kritis untuk kelangsungan
kebuntingan
• Embrio memproduksi zat yg memodifikasi produksi PGF uterus. Sintesa estrogen salah satu
jalan untuk mengenalkan adanya embrio di uterus
• Protein khusus dari embrio “trophoblastin” diproduksi sebelum hari ke-14 kebuntingan
(postovulasi) pada domba dan sapi yg struktur mirip interferon penting untuk adanya
kebuntingan
• Gerakan embrio dalam saluran/uterus juga penting untuk penandaan kebuntingan; pada kuda
embrio bergerak dikedua tanduk uteri sebelum implantasi hari ke 16. pada babi minimal 4
embrio à proses kebuntingan
• Hasil akhir ditekannya sintesa PGF atau modus sekresinya spt pada kambing è perpanjangan
fungsi CL
• Kucing CL akhir 35-40 hari setelah ovulasi, modifikasi awal aktivitas luteal tidak penting untuk
kebuntingan.
• Implantasi hari ke 13 diikuti dg fetoplasenta dan aktivitas luteal yg panjang, LH yg bertanggung
jawab untuk menjaga kerja luteal tidak diketahui. Relaksin bersinergi dengan progesteron untuk
mensuport kebuntingan, reaksin diproduksi sekitar heri ke 20 kebuntingan
• Pada anjing fase lutealtidak diperpanjang selama kebuntingan; tidak bunting fase luteal 70 hari,
bunting 56-58 hari. Aktivitas luteal terjadi melalui relaksin, progesteron sekresi 20 hari atai
beberapa setelah implantasi
• Pada primata diproduksi luteotropin “chorionik gonadotropin (hCG)” oleh sel trophoblas embrio
à interstitial implantation, embrio memasuki endometrium ± 8-9 hari setelah fertilisasi di
manusia dan primata. Sekresi hCG mulai 24-48 jam setelah implantasi dengan peningkatan
progesteron
• Hewan domestik lebih tergantung pada sekresi endometrium untuk mendukung kebuntingan
daripada primata. Kuda dan sapi indikasi pertama kebuntingan ± 25-30 hari setelah fertilisasi dan
butuh 7-10 hari sebelumdapat nutrisi penuh melalui tempat implantasi
• Type plasenta anjing, kucing eccentric, ruminansia caruncle, vilus pada babi dan kuda
• Bentuk servik merupakan penahan thd kontaminasi uterus baik bunting ataupun tidak bunting à
seal servik
• Selain berperan penting untuk penyediaan nutrisi dan oksigen untuk metabolisme embrio,
plasenta juga berfungsi sbg organ endokrin
• Penghasil progesteron. Primata awal kebuntingan s/d 2-3 minggu setelah implantasi dan di akhir
pada hewan domestik (kambing 50 dari 150 hari; kuda hari ke 70 dari 340 hari kebuntingan;
kucing hari ke 45 dari 65 hari)
• Pregnenolone (prekursor P4 –fetus– adrenal cortek—androgen, dehydroepiandrosterone à
plasenta – estrogen/estriol )
• Relaksin
• Chorionic gonadotrophin, eCG/PMSG (35 hari) à peningkatan P4 oleh CL
• Laktogen : domba dan kambing à growth hormon dan prolaktin-like properties. Pada sapi
penting untuk pertumbuhan alveolus glandula
• Prolaktin
Kortisol fetus mengawali kelahiran melalui peningkatan sekresi estrogen dan PGF2α
• Selama kebuntingan, uterus secara progresif membesar dan meregang karena perkembangan
fetus. P4 berperan penting utk menjaga ketenangan myometrium dan kontraksi servik
• Akhir kebuntingan, estrogen mempengaruhi otot uterus dg merangsang memproduksi kontraktil
protein dan pembentukan gap junction; bentukan peningkatan potensi kontraksi uterus yang
akhirnya memfasilitasi proses kontraksi melalui peningkatan hubungan diantara otot polos. OKI,
Perubahan penting terjadi dalam pengaturan stadium kelahiran dimulai minggu sebelum proses
sebenarnya dimulai
• Pada akhirnya, uterus dari tenang menjadi organ kontraktil dan servik relaksasi dan membuka
diikuti fetus untuk dilahirkan
• Awal prosesnya bagaimana?
• Kuncinya ada pada adrenal kortek fetus, hypothalamus dan adenohypofise berperan mensuport
• Sekresi kortisol fetus à sintesa dan pelepasan PGF2α dari uterus à kontraksi otot dan relaksasi
servik
• Pemasakan kortek adrenal fetus menjadi sensitif thd ACTH. Kortisol fetus menginduksi
enzim plasenta (17-hydroksilase dan C17-20 lyase) yang langsung disintesa dari P4 ke
estrogen
• dimulai pada 25-30 hari prepartus pada sapi, 7-10 pada babi 2-3 hari pada doba
• Sekresi prostaglandin PGF2α pada myometrium melepaskan Ca dalam sel yg berikatan aktin
dan myosin untuk inisiasi proses kontraksi, relaksasi dan dilatasi servik
• Pada sapi, domba, anjing dan kucing sintesa dan pelepasan PGF menginisiasi regresi CL
mulai 24-36 jam sebelum kelahiran, P4 hilang 12-24 jam sebelum kelahiran. Pada kuda spt
pada primata kelahiran tjd walaupun P4 tinggi
• Oksitosin disekresi karena fetus melalui saluran kelahiran – kontraksi uterus
• Relaksin : relaksasi ligamen pubis
Refleks sintesa dan sekresi oksitosin