Professional Documents
Culture Documents
I. Tujuan Pembelajaran
A. Tujuan umum
Modul ini menguraikan tentang proses dan asuhan yang diberikan tentang
ilmu dasar paru dan sistem respirasi. Disini dijelaskan tentang genetika,
embriologi, anatomi fisiologi, gejala dan tanda penyakit paru, farmakologi
obat respirasi, nutrisi dan terapi cairan.
B. Tujuan khusus
Pada akhir pembelajaran modul diharapkan peserta didik mampu
memahami genetika, embriologi, anatomi fisiologi, gejala dan tanda
penyakit paru, farmakologi obat respirasi, nutrisi dan terapi cairan.
II. Kompetensi
A. Kompetensi kognitif
1. Mampu memahami ilmu dasar paru dan sistem respirasi
2. Mampu memahami genetika dalam hubungannya dengan sistem
respirasi
3. Mampu memahami embriologi sistem respirasi
4. Mampu memahami anatomi fisiolgi sistem respirasi
5. Mampu memahami gejala dan tanda penyakit paru
6. Mampu memahami farmakologi obat respirasi, nutrisi dan terapi cairan
B. Kompetensi keterampilan
1. Mampu membuat diagnosis yang benar
2. Mampu menulis terapi obat yang tepat
3. Mempu melakukan terapi cairan dan nutrisi
B. Strategi
Tujuan 1 : Mampu membuat diagnosis yang benar
(metoda 1,2,3,4)
Tujuan 2 : Mampu menulis terapi obat yang tepat
(metoda 1,2,3,4)
Tujuan 3 : Mempu melakukan terapi cairan dan nutrisi
(metoda 1,2,3,4)
IX. Evaluasi
Kognitif
- Pre-test dan post-test, dalam bentuk lisan, essay dan/atau MCQ
- Self assesment dan peer asisted evaluation
- Curah pendapat dan diskusi
Contoh soal
Psikomotor
- Self Assesment dan Peer Assisted Learning
- Peer Assisted Evaluation (berbasis nilai 0,1 dan 2)
- Penilaian kompetensi (berbasis nilai memuaskan, perlu perbaikan dan
tidak memuaskan)
- Kesempatan untuk perbaikan (Task-based Medical Education)
X. Instrumen penilaian
Instrumen pengukuran kompetensi kognitif & psikomotor
1. Observasi selama proses pembelajaran
2. Log book
3. Hasil penilaian peragaan keterampilan
4. Pretest modul
5. Post-test modul
6. Penilaian kinerja pengetahuan dan keterampilan (ujian akhir semester)
7. Ujian akhir profesi
Maksimal skor :
Skor akhir : Jumlah skor
Lampiran
1. Form pemeriksaan
2. Modul pemeriksaan faal paru
HIDUNG
Selama minggu keenam. Fovea nasalis menjadi semakin dalam, sebagian karena
pertumbuhan prominensia nasalis sekitar dan sebagian karena penetrasi ke mesenkim di
bawahnya. Mula-mula membrana oronasalis memisahkan kedua lekukan dari rongga
mulut primitif melalui foramen yang baru terbentuk, koana primitif.
Kedua koana ini terletak di kedua sisi garis tengah dan tepat di belakang palatum primer.
Kemudian, dengan terbentuknya palatum sekunder dan perkembangan lebih lanjut
rongga hidung primitif, terbentuk koana definitif di taut antara rongga hidung dan faring.
Sinus udara paranasal berkembang sebagai divertikulum dinding hidung lateral dan
meluas ke dalam maksila, os etmoidale, os frontale, dan os sfenoidale. Sinus-sinus ini
mencapai ukurannya yang maksimal selama pubertas dan ikut membentuk wajah
definitif.
LARING
Lapisan dalam laring berasal dari endoderm, tetapi kartilago dan otot berasal dari
mesenkim arkus faring (pharyngeal arches) keempat dan keenam. Akibat proliferasi
yang cepat mesenkim ini, penampakan aditus laringis berubah dari celah sagital menjadi
lubang berbentuk T. Selanjutnya, bentuk aditus laringis seperti orang dewasa sudah
dapat dikenali ketika mesenkim dari kedua arkus berubah menjadi kartilago tiroidea,
krikoidea dan aritenoidea.
Pada saat kartilago terbentuk, epitel laring juga berproliferasi dengan cepat sehingga
terjadi oklusi lumen untuk sementara. Kemudian terjadi vakuolisasi dan rekanalisasi yang
menghasilkan sepasang resesus lateral, ventrikulus laringis. Cekungan ini dibatasi oleh
lipatan-lipatan jaringan yang berdiferensiasi menjadi pita suara sejati dan palsu.
Karena perototan laring berasal dari mesenkim arkus faring keempat dan keenam,
semua otot laring dipersarafi oleh cabang-cabang saraf kranial ke sepuluh, nervus vagus.
Nervus laringeus superiormenyarafi turunan arkus faring keempat, dan nervus laringeus
rekurens menyarafi turunan arkus faring keenam.
PEMATANGAN PARU
Sampai bulan ketujuh pranatal, bronkiolus terus bercabang-cabang menjadi saluran yang
semakin banyak dan semakin kecil (periode kanalikular), dan jumlah pembuluh darah
terus meningkat. Pernapasan sudah dapat berlangsung ketika sebagian dari sel
bronkiolus respiratorius yang berbentuk kuboid berubah menjadi sel gepeng tipis. Sel-sel
ini menempel erat dengan sejumlah besar kapiler darah dan limfe, dan ruang di
sekitarnya sekarang dikenal sebagai sakus terminalis atau alveolus primitif. Selama bulan
ketujuh, jumlah kapiler sudah memadai untuk menjamin pertukaran gas yang adekuat,
dan bayi prematur sudah dapat bertahan hidup.
Selama 2 bulan terakhir kehidupan pranatal dan selama beberapa tahun selanjutnya,
jumlah sakus terminalis terus meningkat. Selain itu, sel-sel yang melapisi sakus yang
dikenal dengan sel epitel alveolus tipe I, menjadi lebih tipis sehingga kapiler di sekitarnya
menonjol ke dalam sakulus alveolaris. Hubungan erat antara sel epitel dan endotel ini
membentuk sawar darah-udara. Alveolus matur belum ada sebelum lahir. Selain sel
endotel dan epitel gepeng alveolus, pada akhir bulan keenam terbentuk jenis sel lain. Sel
ini, sel epitel alveolus tipe II menghasilkan surfaktan, suatu cairan kaya fosfolipid yang
dapat menurunkan tegangan permukaan dipertemuan udara-alveolus.
Sebelum lahir, paru dipenuhi oleh cairan yang banyak mengandung klorida, sedikit
protein, sebagian mukus dari kelenjar bronkus, dan surfaktan dari sel epitel alveolus tipe
II. Jumlah surfaktan dalam cairan meningkat, terutama selama 2 minggu terakhir sebelum
lahir.
Gerakan bernapas janin dimulai sebelum lahir dan menyebabkan aspirasi cairan amnion.
Gerakan ini penting untuk merangsang perkembangan paru-paru dan mengkondisikan
otot pernapasan. Ketika pernapasan mulai saat lahir, sebagian besar cairan paru cepat
diserap oleh kapiler darah dan limfe, dan sejumlah kecil mungkin dikeluarkan melalui
trakea dan bronkus selama proses kelahiran. Ketika cairan diserap dari sakulus
alveolaris, surfaktan tetap mengendap sebagai lapisan fosfolipid tipis di membaran sel
alveolus. Saat udara masuk ke alveolus ketika bayi pertama kali bernapas, lapisan
surfaktan mencegah terbentuknya pertemuan antara udara dan air (darah) yang memiliki
tegangan permukaan tinggi. Tanpa lapisan surfaktan yang mengandung lemak ini
alveolus akan kolaps sewaktu ekspirasi (atelektasis).
Gerakan bernapas setelah lahir mambawa udara masuk ke dalam paru yang
mengembangkan dan mengisi rongga pleura. Meskipun ukuran alveolus agak
bertambah, pertumbuhan paru setelah lahir terutama disebabkan oleh meningkatnya
jumlah bronkiolus respiratorius dan alveolus. Diperkirakan bahwa saat lahir terdapat
hanya 1/6 dari jumlah alveolus dewasa. Alveolus sisanya terbentuk selama 10 tahun
pertama kehidupan paskanatal melalui pembentukan alveolus primitif baru yang
berlangsung terus menerus.
Dasar biologi molekuler dan genetika
Tubuh manusia terdiri dari triliunan sel yang memiliki satu atau lebih genom lengkap yang
tersimpan di inti sel. Gen merupakan unit dasar yang diturunkandan tersimpan secara
rapi di dalam kromosom. Semua informasi geneatik baik yang akan diterjemahkan
nantinya maupun informasi yang tidak akan diterjemahkan termasuk protein dan
informasi pendukung lainnya disebut genom. Komposisi kimia dari materi genetika
tersebut kita kenal dengan deoxyribonuclear acid (DNA). Molekul DNA terdiri dari dua
ikatan yang saling bergelung yang berbentuk double helix. DNA terdiri dari empat kimia
basa yang berbeda yaitu adenin(A), guanin(G), cytosine(C), dan thymine(T) yang
berikatan dengan deoxyribose dan fosfat. Komponen basa, gula dan fosfat yang
berikatan tersebut disebut nukleotida. Basa nukleotida mempunyai pasangan basa yang
tetap dalam keadaan normal yaitu basa A selalu berpasangan dengan T dan basa C
berpasangan dengan G. Nukleotida ini tersusun dalam struktur gen yang terdiri atas
beberapa bahkan ribuan asam amino yang dikodekan oleh kodon yaitu susunan
pasangan tiga basa nukleotida. Kombinasi dari struktur asam amino tersebut membentuk
protein yang mempunyai struktur dan fungi spesifik yang diperlukan untuk mengatur
jaringan dalam tubuh.
Proses terbentuknya protein yang berasal dari susunan nukleotida dalam gen tersebut
memerlukan dua proses utama yang disebut transkrip dan translasi. Pada transkripso,
susunan DNA dalam gen tersebut dibawa oleh RNA messenger (mRNA), yang awal
susunannya terdiri atas ekson dan intron. Pada proses akhir transkrip bagian intron akan
dibuang shingga akhirnya akan menghasikan RNA. Setelah terbentuk RNA maka akan
terjadi proses translasi menjadi susunan asam amino yang akhirnya dari kombinasi asam
amino tersebut membentuk protein dengan dungsi tertentu. Proses transmisi informasi
genetik dari DNA menjadi RNA kemudian protein merupakan prinsip dasar dalam
memahami proses biologi molekuler sehingga hal itu dikenal juga sebagai central dogma
of molcular biology.
Anatomi Paru
Paru-paru terletak pada rongga dada, berbentuk kerucut yang ujungnya berada di atas
tulang iga pertama dan dasarnya berada pada diafragma. Paru terbagi menjadi dua
yaitu, paru kanan dan paru kiri. Paru-paru kanan mempunyai tiga lobus sedangkan
paru-paru kiri mempunyai dua lobus. Kelima lobus tersebut dapat terlihat dengan jelas.
Setiap paru-paru terbagi lagi menjadi beberapa subbagian menjadi sekitar sepuluh unit
terkecil yang disebut bronchopulmonary segments. Paru-paru kanan dan kiri
dipisahkan oleh ruang yang disebut mediastinum (Sherwood, 2001)
Paru-paru dibungkus oleh selaput tipis yaitu pleura. Pleura terbagi menjadi pleura
viseralis dan pleura pariental. Pleura viseralis yaitu selaput yang langsung
membungkus paru, sedangkan pleura parietal yaitu selaput yang menempel pada
rongga dada. Diantara kedua pleura terdapat rongga yang disebut kavum pleura
(Guyton, 2007).
Paru manusia terbentuk setelah embrio mempunyai panjang 3 mm. Pembentukan paru
di mulai dari sebuah Groove yang berasal dari Foregut. Pada Groove terbentuk dua
kantung yang dilapisi oleh suatu jaringan yang disebut Primary Lung Bud. Bagian
proksimal foregut membagi diri menjadi 2 yaitu esophagus dan trakea. Pada
perkembangan selanjutnya trakea akan bergabung dengan primary lung bud. Primary
lung bud merupakan cikal bakal bronchi dan cabang-cabangnya. Bronchial-tree
terbentuk setelah embrio berumur 16 minggu, sedangkan alveoli baru berkembang
setelah bayi lahir dan jumlahnya terus meningkat hingga anak berumur 8 tahun. Alveoli
bertambah besar sesuai dengan perkembangan dinding toraks. Jadi, pertumbuhan dan
perkembangan paru berjalan terus menerus tanpa terputus sampai pertumbuhan
somatic berhenti (Evelyn, 2009).
Fisiologi Paru
Paru-paru dan dinding dada adalah struktur yang elastis. Dalam keadaan normal
terdapat lapisan cairan tipis antara paru-paru dan dinding dada sehingga paru-paru
dengan mudah bergeser pada dinding dada. Tekanan pada ruangan antara paru-paru
dan dinding dada berada di bawah tekanan atmosfer (Guyton, 2007).
Fungsi utama paru-paru yaitu untuk pertukaran gas antara darah dan atmosfer.
Pertukaran gas tersebut bertujuan untuk menyediakan oksigen bagi jaringan dan
mengeluarkan karbon dioksida. Kebutuhan oksigen dan karbon dioksida terus berubah
sesuai dengan tingkat aktivitas dan metabolisme seseorang, tapi pernafasan harus
tetap dapat memelihara kandungan oksigen dan karbon dioksida tersebut (West,
2004).
Udara masuk ke paru-paru melalui sistem berupa pipa yang menyempit (bronchi dan
bronkiolus) yang bercabang di kedua belah paru-paru utama (trachea). Pipa tersebut
berakhir di gelembung-gelembung paru-paru (alveoli) yang merupakan kantong udara
terakhir dimana oksigen dan karbondioksida dipindahkan dari tempat dimana darah
mengalir. Ada lebih dari 300 juta alveoli di dalam paru-paru manusia bersifat elastis.
Ruang udara tersebut dipelihara dalam keadaan terbuka oleh bahan kimia surfaktan
yang dapat menetralkan kecenderungan alveoli untuk mengempis (McArdle, 2006).
Pada waktu menarik nafas dalam, maka otot berkontraksi, tetapi pengeluaran
pernafasan dalam proses yang pasif. Ketika diafragma menutup dalam, penarikan
nafas melalui isi rongga dada kembali memperbesar paru-paru dan dinding badan
bergerak hingga diafragma dan tulang dada menutup ke posisi semula. Aktivitas
bernafas merupakan dasar yang meliputi gerak tulang rusuk sewaktu bernafas dalam
dan volume udara bertambah (Syaifuddin, 2001).
Proses setelah ventilasi adalah difusi yaitu, perpindahan oksigen dari alveol ke dalam
pembuluh darah dan berlaku sebaliknya untuk karbondioksida. Difusi dapat terjadi dari
daerah yang bertekanan tinggi ke tekanan rendah. Ada beberapa faktor yang
berpengaruh pada difusi gas dalam paru yaitu, faktor membran, faktor darah dan faktor
sirkulasi. Selanjutnya adalah proses transportasi, yaitu perpindahan gas dari paru ke
jaringan dan dari jaringan ke paru dengan bantuan aliran darah (Guyton, 2007).
Batuk
Batuk bukanlah merupakan penyakit, mekanisme batuk timbul oleh karena paru-paru
mendapatkan agen pembawa penyakit masuk ke dalamnya sehingga menimbulkan batuk
untuk mengeluarkan agen tersebut. Batuk dapat juga menimbulkan berbagai macam
komplikasi seperti pneumotoraks, pneumomediastinum, sakit kepala, pingsan, herniasi
diskus, hernia inguinalis, patah tulang iga, perdarahan subkonjungtiva, dan inkontinensia
urin.Batuk merupakan refleks fisiologis kompleks yang melindungi paru dari trauma
mekanik, kimia dan suhu. Batuk juga merupakan mekanisme pertahanan paru yang
alamiah untuk menjaga agar jalan nafas tetap bersih dan terbuka dengan jalan :
1. Mencegah masuknya benda asing ke saluran nafas.
2. Mengeluarkan benda asing atau sekret yang abnormal dari dalam saluran nafas.
Batuk menjadi tidak fisiologis bila dirasakan sebagai gangguan. Batuk semacam itu
sering kali merupakan tanda suatu penyakit di dalam atau diluar paru dan kadang-kadang
merupakan gejala dini suatu penyakit. Batuk mungkin sangat berarti pada penularan
penyakit melalui udara ( air borne infection ). Batuk merupakan salah satu gejala penyakit
saluran nafas disamping sesak, mengi, dan sakit dada. Sering kali batuk merupakan
masalah yang dihadapi para dokter dalam pekerjaannya sehari-hari. Penyebabnya amat
beragam dan pengenalan patofisiologi batuk akan sangat membantu dalam menegakkan
diagnosis dan penanggulangan penderita batuk.
Pengobatan Batuk
1. Antitusif
Obat antitusif berfungsi menghambat atau menekan batuk dengan menekan pusat batuk
serta meningkatkan ambang rangsang sehingga akan mengurangi iritasi. Secara umum
berdasarkan tempat kerja obat, antitusif dibagi atas antitusif yang bekerja di perifer dan
antitusif yang bekerja di sentral. Antitusif yang bekerja di sentral dibagi atas golongan
narkotik dan nonnarkotik. Contoh : Kodein, DMP, Noskapin dan Uap Menthol.
2. Ekspektoran
Obat ini digunakan untuk meningkatkan sekresi mukus di saluran napas sehingga
bermanfaat untuk mengurangi iritasi dan batuknya akan berkurang dengan sendirinya.
Contoh : Amonium klorida, potasium sitrat, guaifenesin dan gliseril guaiakolat.
3. Mukolitika
Infeksi pernapasan menyebabkan munculnya mukus yg bersifat purulen atau
menyebabkan infeksi, oleh karena itu harus segera dikeluarkan secara alamiah. Obat
golongan ini berkhasiat melarutkan dan mengencerkan dahak yg kental sehingga lebih
mudah dikeluarkan melalui batuk dan sering digunakan pada penderita Bronkhitis.
Contoh : Asetilsistein , Bromheksin.
Asma
Asma adalah keadaan saluran napas yang mengalami penyempitan karena hiperaktivitas
terhadap rangsangan tertentu, yang menyebabkan peradangan dan penyempitan yang
bersifat sementara. Asma menyebabkan episode berulang mengi, sesak napas, sesak
dada, dan batuk pada malam atau dini; episode ini juga dikenal sebagai eksaserbasi atau
serangan. Tingkat keparahan eksaserbasi dapat berkisar dari ringan sampai mengancam
nyawa.
Seseorang bisa diduga terserang penyakit asma jika mengeluarkan tanda atau gejala
seperti di bawah ini.
1. Ketika sedang bernafas sering mengeluarkan bunyi lenguhan. Namun perlu digaris
bawahi bahwa tidak semua penderita asma nafasnya selalu bersuara.
2. Nafas sering menjadi sesak karena organ pernafasan menjadi sempit.
3. Batuk yang tiada henti terutama di waktu malam atau ketika cuaca sedang dingin.
4. Dada terasa sesak dan menjadi sempit, terutama pada bagian paru-paru.
5. Karena nafas terganggu, maka ketika sedang berbicara tidak bisa lancar dan tidak
bisa mengatur jalannya pernafasan dengan baik.
Pengobatan Asma
1. Bronkodilator
Bronkodilator artinya obat yang dapat melebarkan saluran napas dengan jalan
melemaskan otot-otot saluran napas yang sedang mengkerut (asma) .Jalan napas di
saluran pernapasan yang mentransfer udara ke paru-paru disebut “bronchi” (bronki).
Bronki kemudian terbagi lagi menjadi cabang kecil yang disebut „bronchioles
(bronkiolus)‟. Bronkodilator adalah obat yang mempunyai efek antibronkokonstriksi.
Bronkodilator dapat digunakan untuk mengatasi kesulitan bernafas yang disebabkan oleh
asma,bronchitis, bronchiolitis, pneumonia dan emfisema. Ada tiga golongan bronkodilator
yang biasa digunakan, yaitu :
a) Adrenergik
b) Antikolinergik
c) Xantin
A. ANTITUSIF
Obat antitusif berfungsi menghambat atau menekan batuk dengan menekan pusat batuk
serta meningkatkan ambang rangsang sehinggaakan mengurangi iritasi. Secara umum
berdasarkan tempat kerja obat, antitusif dibagi atas antitusif yang bekerja di perifer dan
antitusif yang bekerja di sentral. Antitusif yang bekerja di sentral dibagi atas golongan
narkotik dan non-narkotik.
Lidokain
Obat anestesi yang diberikan secara topikal seperti tetrakain, kokain dan lidokain sangat
bermanfaat dalam menghambat batuk akibat prosedur pemeriksaan bronkoskopi.
Demulcent
Obat ini bekerja melapisi mukosa faring dan mencegah kekeringan selaput lendir. Obat
ini dipakai sebagai pelarut antitusif lain atau sebagai lozenges yang mengandung madu,
akasia, gliserin dan anggur. Secara obyektif tidak ada data yang menunjukkan obat ini
mempunyai efek antitusif yang bermakna, tetapi karena aman dan memberikan
perbaikan subyektif obat ini banyak dipakai.
Golongan narkotik
Antitusif yang mempunyai potensi untuk mendatangkan adiksi/ ketergantungan, dan
mempunyai potensi untuk disalahgunakan.Opiat dan derivatnya mempunyai beberapa
macam efek farmakologik, sehingga digunakan sebagai analgesik, antitusif, sedatif,
menghilangkan sesak karena gagal jantung kiri dan antidiare. Di antara alkaloid ini,
morfin dan kodein sering digunakan. Efek samping obat ini adalah penekanan pusat
napas, konstipasi, kadang-kadang mual dan muntah, serta efek adiksi. Opiat dapat
menyebabkan terjadinya bronkospasme karena penglepasan histamin, tetapi efek ini
jarang terlihat pada dosis terapeutik untuk antitusif. Di samping itu narkotik juga dapat
mengurangi efek pembersihan mukosilier dengan menghambat sekresi kelenjar mukosa
bronkus dan aktivitas silia. Terapi kodein kurang mempunyai efek tersebut.
a. Kodein
Kodein atau Metilmorfin masih merupakan antitusif dengan uji klinik terkontrol
dalam batuk eksperimen dan batuk patologik akut dan kronis.
Dalam dosis antitusif biasa, kodein memiliki efek analgesic ringan dan sedative.
Efek Analgetik Kodein ini dapat dimanfaatkan untuk batuk yang disertai dengan nyeri dan
ansietas. Dan untuk dapat menimbulkan ketergantungan fisik, Kodein harus diberikan
dalam dosis tinggi dalam beberapa jam dengan jangka waktu satu bulan/lebih (lama).
Kodein diserap baik pada pemberian oral dan puncak efeknya ditemukan 1-2 jam,
dan berlangsung selama 4-6 jam. Metabolisme terutama di hepar, dan diekskresi ke
dalam urin dalam bentuk tidak berubah, diekskresi komplit setelah 24 jam. Dalam jumlah
kecil ditemukan dalam air susu Ibu.
Sediaan terdapat dalam bentuk tablet Kodein Sulfat atau Kodein fosfat berisi 10,
15, dan 20 mg. Dosis biasa dewasa 10-30 mg setiap 4-6 jam. Dosis yang lebih besar
tidak lagi menambah besar efek secara proporsional. Dosis anak: 1-1,5 mg/kg BB/ hari
dalam dosis terbagi.
Kodein dalam dosis kecil (10-30mg) sering digunakan sebagai obat batuk, jarang
ditemukan efek samping, dan kalau ada tidak lebih tinggi dari placebo. Efek samping
dapat berupa mual, pusing, sedasi, anoreksia, dan sakit kepala. Dosis lebih tinggi (60-
80mg) dapat menimbulkan kegelisahan, hipotensi ortostatik, vertigo, dan midriasis. Dosis
lebih besar lagi (100-500mg) dapat menimbulkan nyeri abdomen atau konstipasi. Jarang-
jarang timbul reaksi alergi seperti: dermatitis, hepatitis, trombopenia, dan anafilaksis.
Depresi pernafasan dapat terlihat pada dosis 60 mg dan depresi yang nyata terdapat
pada dosis 120 mg setiap beberapa jam. Karena itu dosis tinggi berbahaya pada
penderita dengan kelemahan pernafasan, khususnya pada penderita retensi CO2.
Dosis fatal kodein ialah 800-1000 mg. Kelebihan dosis paling sering terjadi pada
anak-anak, dan terutama harus diperhatikan pada neonatus dengan perkembangan
hepar dan ginjal yang belum sempurna atau dengan diuresis yang berkurang sehingga
dapat terjadi efek kumulatif yang memperdalam koma atau mempercepat kematian.
Antagonis Opioid seperti nalokson dapat bermanfaat untuk terapi kelebihan dosis.
Morfin
Dihidromorfinon,
Dihidrokodeinon
Morfolinil-etilmorfin (Pholcodine)
Puried Opium Alkaloid (Pantopon)
Meperidin
Levorfanol
Keefektifan antitusif narkotik ini sebagai obat batuk, sedangkan secara klinis yang
digunakan sebagai antitusif yang hanyalah kodein. Narkotik lain diatas tidak lebih baik
dari Kodein dam efektifitas dan keamanannya sebagai penekan batuk.
Kebanyakan obat-obat yang mendepresi SSP dapat mempengaruhi pusat batuk di
Medulla Oblongata. Antitusif yang bekerja sentral juga dapat bekerja melalui serabut
saraf di Cortex serebri dan subcortex, seperti Opioid-opioid dan sedative pada umumnya.
Golongan non-narkotik
Antitusif non – narkotik ialah antitusif yang tidak mendatangkan adiksi dan potensinya
untuk di salah gunakan kecil sekali. Termasuk dekstrometorfan, noskapin dan lain – lain
antitusif yang bekerja perifer.
a. Dekstrometorfan
Dekstrometorfan adalah derifat morfinan sintetik yang bekerja sentral dengan
meningkatkan ambang rangsang reflek bentuk sama seperti kodein. Potensi antitusifnya
lebih kurang sama dengan kodein. Berbeda dengan kodein dan 1 – metorfan,
dekstrometorfan tidak memiliki efek analgesik, efek sedasi, efek pada saluran cerna dan
tidak mendatangkan adiksi atau ketergantungan. Dekstrometorfan efektif untuk
mengontrol batuk eksperimen maupun batuk patologik akut maupun kronis.
Dekstrometorfan di laporkan juga memiliki efek pengurangan sekret dan efek
antiinflamasi ringan. Kadang – kadang dilaporkan adanya stimulasi ringan pernafasan
pada penggunaanya dalam batas – batas dosis antitusif biasa.
Efek samping dan toksisitas : efek penekanan aktifitas silia bronkhus hanya terjadi
pada dosis tinggi. Toksisitas rendah sekali. Dosis berlebihan menimbulkan pusing,
diplopia, sakit kepala, mual, dan muntah. Dalam dosis sangat besar di temukan depresi
pernafasan yang dapat menimbulkan kematian.
Dosis Umum Dosis rata - rata
Dekstrometorfan 15 – 30 mg
Noskapin 10 – 30 mg
Karbetapentan 15 – 30 mg
Karamifen 10 – 20 mg
Levopropoksifen 50 – 100 mg
Benzonatat 50 – 100 mg
Dimetoksanat 25 mg
Klorfedianol 25 mg
Pipazetat 20 – 40 mg
Difenhidramin ( benadryl 25 – 50 mg
)
Prometazin 5 – 60 mg
Dekstrometorfan tersedia dalam bentuk tablet, sirup berisi 10 – 20 mg / 5 ml. Dosis
dewasa 10 – 20 mg setiap 4 – 6 jam, maksimum 120 mg / hari, Meninggikan dosis tidak
akan menambah kuat efek, tapi dapat memperpanjang kerjanya sampai 10 – 12 jam, dan
ini dapat bermanfaatkan untuk mengontrol batuk malam hari. Dosis anak – anak 1 mg/ kg
BB/ hari dalam dosis terbagi 3 – 4 kali sehari.
b. Noskapin
Noskapin merupakan derivat benzilisokinolin yang di peroleh dari alkaloid opium,
tidak mempunyai efek analgesik. Kecuali efek antitusif, noskapin dalam dosis terapi tidak
memiliki efek terhadap SSP, dan tidak memiliki efek adiksi dan ketergantungan; potensi
antitusif nya lebih kurang sama dengan kodein ( dalam berat yang sama ). Cara kerja
sama dengan kodein.
Efek samping yang menonjol adalah gangguan saluran cerna ( terutama
konstipasi ringan ), terlihat sampai 30 % dari pasien yang di teliti. Efek depresi
pernafasan baru terjadi bila di berikan dosis lebih dari 90 mg. Kelebihan dosis juga
menimbulkan depresi otot jantung dan otot polos lain.
Noskapin tersedia dalam bentuk tablet etau sirup. Dosis dewasa 3 kali sehari 15 –
30 mg.
c. Levopropoksifen
Levopropoksifen adalah senyawa non – narkotik sintetik, isomer dari propoksifen yang
tidak memiliki efek analgesik. Beberapa uji klinik pada pasien dengan batuk patologik
menunjukkan efikasinya dapat menyamai dekstrometorfan. Dosis yang di gunakan untuk
mengontrol batuk adalah 50 – 100 mg.
d. Difenhidramin
Antihistamin H1 dengan efek sedasi dan efek antikolinergik dapat menekan batuk,
misalnya difenhidramin. Sebagai antitusif harus di berikan dalam dosis yang juga
menyebabkan sedasi, dan obat ini sering di berikan dalam bentuk kombinasi dangan obat
lain.
B. EKSPEKTORANSIA
Ekspektoran ialah obat yang dapat merangsang pengeluaran dahak dari saluran napas
(ekspetorasi). Penggunaan ekspektoran didasarkan pengalaman empiris. Mekanisme
kerjanya diduga berdasarkan stimulasi mukosa lambung dan selanjutnya secara reflex
merangsang sekresi kelenjar saluran napas lewat N.vagus, sehingga menurunkan
viskositas dan mempermudah pengeluaran dahak. Obat yang termasuk golongan ini,
ialah :
a. Ammonium klorida
Biasanya digunakan dalam bentuk campuran dengan ekspektoran lain atau antitusif.
Ammonium klorida dosis besar dapat menimbulkan asidosis metabolik, dan harus
digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan insufisiensi hati, ginjal, dan paru. Dosis
ammonium klorida sebagai ekspektoran padaorang dewasa ialah 300 mg (5 mL) tiap 2-4
jam.
b. Gliseril guaiakolat
Penggunaan obat ini hanya didasarkan pada tradisi dan kesan subyektif pasien dan
dokter. Efek samping yang mungkin timbul dengan dosis besar, berupa kantuk, mual, dan
muntah. Obat ini tersedia dalam bentuk sirop 100mg/5mL. Dosis dewasa yang dianjurkan
2-4 kali 200-400 mg sehari.
C. BRONKODILATOR
Bronkodilator artinya obat yang dapat melebarkan saluran napas dengan jalan
melemaskan otot-otot saluran napas yang sedang mengkerut (asma) .Jalan napas di
saluran pernapasan yang mentransfer udara ke paru-paru disebut “bronchi” (bronki).
Bronki kemudian terbagi lagi menjadi cabang kecil yang disebut „bronchioles
(bronkiolus)‟. Bronkodilator adalah obat yang mempunyai efek anti bronkokonstriksi.
Bronkodilator dapat digunakan untuk mengatasi kesulitan bernafas yang disebabkan oleh
asma, bronchitis, bronchiolitis, pneumonia dan emfisema.
Penggolongan Bronkodilator
1. Berdasarkan waktu kerja obat
Ada dua jenis bronkodilator berdasarkan waktu kerja obatnya, yaitu short-acting dan
long-acting. Short-acting merupakan bronkodilator kerja cepat yang dapat meredakan
gejala asma. Bronkodilator jenis ini digunakan sebagai obat penyelamat dalam kasus
serangan asma. Sedangkan long-acting merupakan bronkodilator kerja lama yang
digunakan setiap hari untuk mengontrol asma.
Agonis β-adrenergik
Beberapa senyawa adrenergik yang mengaktifkan β-reseptor, mempunyai kekhasan
tinggi terhadap β2-reseptor dan dapat menyebabkan relaksasi otot polos bronki sehingga
digunakan sebagai bronkodilator. Oleh karena dapat menyebabkan relaksasi otot polos
bronkiola, bronkodilator digunakan sebagai penunjang pada pengobatan asma, bronkitis,
emfisema dan lain-lain gangguan pada paru. Obat ini menimbulkan bronkodilatasi. Hal ini
dikarenakan β-reseptor berhubungan erat dengan adenil siklase, yaitu substansi penting
yang menghasilkan siklik AMP yang menyebabkan bronkodilatasi. Contoh :
1. Salbutamol sulfat
Bekerja secara dominan sebagai perangsang β 2-reseptor pada otot bronki sehingga
digunakan sebagai bronkodilator yang khas, dengan efek terhadap reseptor pada jantung
sangat kecil. Salbutamol digunakan untuk meringankan bronkospasma pada asma
bronki, bronkitis kronik dan emfisema.
2. Terbutalin sulfat
Bekerja secara dominan sebagai perangsang β 2-reseptor pada otot bronki sehingga
digunakan sebagai bronkodilator yang khas, dengan efek terhadap reseptor pada jantung
sangat kecil. Terbutalin digunakan untuk meringankan bronkospasma pada asma bronki,
bronkitis kronik dan emfisema.
3. Klenbuterol
Bekerja secara dominan sebagai perangsang β 2-reseptor pada otot bronki sehingga
digunakan sebagai bronkodilator yang khas, dengan efek terhadap reseptor pada jantung
sangat kecil. Klenbuterol digunakan untuk meringankan bronkospasma pada asma
bronki, bronkitis kronik dan emfisema.
4. Metaproterenol sulfat
Bekerja sebagai perangsang reseptor β-adrenergik yang kuat. Reseptor pada otot bronki
lebih sensitif terhadap obat ini dibandingkan pada jantung dan pembuluh darah sehingga
digunakan sebagai bronkodilator untuk meringankan bronkospasma pada asma bronki,
bronkitis kronik dan emfisema.
5. Fenoterol HBr
Digunakan sebagai bronkodilator untuk meringankan bronkospasma pada asma bronki,
bronkitis kronik dan emfisema. Dapat untuk profilaksis karena efek anti alerginya.
6. Heksoprenalin sulfat
Digunakan sebagai bronkodilator untuk meringankan bronkospasma pada asma bronki,
bronkitis kronik dan emfisema.
7. Prokaterol HCl
Bekerja secara dominan sebagai perangsang β 2-reseptor pada otot bronki sehingga
digunakan sebagai bronkodilator yang lebih khas dibandingkan dengan salbutamol.
Prokaterol juga mempunyai efek anti alergi yang cukup kuat. Prokaterol digunakan untuk
meringankan bronkospasma pada asma bronki, bronkitis kronik dan emfisema.
8. Efedrin HCl
Mempunyai 4 bentuk optis aktif dan yamg paling aktif adalah bentuk isomer D (-). Efedrin
merupakan senyawa simpatomimetik dengan efek langsung dan tak langsung terhadap α
dan β-adrenoseptor. Karena sifat vasokonstriksinya, efedrin digunakan untuk
bronkodilator, dekongestan hidung dan dekongestan mata.
9. Salmeterol xinafoat
Bekerja sebagai perangsang β 2-reseptor pada otot bronki, dengan efek terhadap reseptor
pada jantung sangat kecil. Salmeterol merupakan bronkodilator kuat yang dikembangkan
untuk pemakaian inhalasi, mempunyai derajat kekhasan tinggi, dan dapat menghambat
saraf vagus yang bertanggung jawab terhadap spasma bronkus. Digunakan secara
inhalasi untuk meringankan bronkospasma pada asma bronki, bronkitis kronik dan
emfisema.
10. Epinefrin
Digunakan sebagai bronkodilator untuk meringankan akibat serangan asma bronki, untuk
pengobatan glaukoma kronik, sebagai bahan tambahan pada anestesi setempat dan
untuk mengurangi tekanan dalam mata.
Antikolinergik
Di dalam sel-sel otot polos terdapat keseimbangan antara sistem adrenergis dan sistem
kolinergis. Bila karena sesuatu sebab reseptor β 2 dari sistem adrenergis terhambat, maka
sistem kolinergis akan berkuasa dengan akibat bronkokonstriksi. Antikolinergik memblok
reseptor muskarin dari saraf-saraf kolinergis di otot polos bronki, hingga aktivitas saraf
adrenergis menjadi dominan dengan efek bronkodilatasi. Contoh :
1. Ipratropium bromida
Ipratropium bromida merupakan antikolinergik yang paling luas digunakan, dimana
berfungsi sebagai bronkodilator yan dikembangkan untuk pemakaian inhalasi,
mempunyai derajat kekhasan tinggi, dan dapat menghambat saraf vagus yang
bertanggung jawab terhadap spasma bronkus. Ipratropium digunakan untuk pengobatan
gangguan jalan udara yang berhubungan dengan bronkitis kronik.
Derivat xanthin
Senyawa-senyawa turunan xanthin diketahui memiliki beberapa aktivitas farmakologis,
diantaranya sebagai bronkodilator. Meskipun penggunaannya sebagai obat anti asma
telah cukup dikenal, tetapi turunan xanthin diketahui memiliki efek samping yang kurang
menguntungkan yaitu penekanan pada jantung dan sistem saraf pusat. Beberapa
penelitian mengenai modifikasi struktur xanthin telah dilakukan guna mendapatkan
turunan yang lebih poten dan selektif. Berdasarkan penelitian terdahulu, diketahui bahwa
substitusi pada atom N‟ xanthin dapat meningkatkan aktivitas dan selektivitasnya sebagai
bronkodilator. Contoh :
1. Teofilin
Bekerja sebagai bronkodilator dengan menghambat secara kompetitif enzim siklik
nukleotida fosfodiesterase menghasilkan peningkatan kadar cAMP sehingga terjadi
relaksasi langsung otot polos bronki. Seperti turunan xanthin yang lain, teofilin juga
mempunyai efek vasodilator koroner, rangsangan jantung, rangsangan otot rangka,
rangsangan sistem saraf pusat dan diuretik.
2. Aminofilin
Adalah kompleks teofilin dan etilendiamin di-HCl yang mempunyai kelarutan dalam air
lebih besar dibandingkan dengan teofilin.
DASAR-DASAR TERAPI CAIRAN DAN ELEKTROLIT
Terapi Cairan
Penatalaksanaan terapi cairan meliputi dua bagian dasar yaitu ;
Resusitasi cairan
Ditujukan untuk menggantikan kehilangan akut cairan tubuh, sehingga
seringkali dapat menyebabkan syok. Terapi ini ditujukan pula untuk
ekspansicepat dari cairan intravaskuler dan memperbaiki perfusi jaringan.
Terapi rumatan
Bertujuan untuk memelihara keseimbangan cairan tub uh dan nutrisi yang
diperlukan oleh tubuh
Hal ini digambarkan dalam diagram berikut :
Terapi cairan
Resusitas Rumatan
Kristaloid Koloid Elektrolit Nutrisi
Pada penggantian cairan, maka jenis cairan yang digunakan didasarkan pada :
Cairan pemeliharaan ( jumlah cairan yang dibutuhkan selama 24 jam )
Cairan defisit ( jumlah kekurangan cairan yang terjadi )
Caitran pengganti ( replacement )
c. Sekuestrasi ( cairan third space )
Pengganti darah yang hilang
Pengganti cairan yang hilang melalui fistel, maag slang dan drainase
Untuk mengganti cairan tubuh yang hilang dapat dilakukan
penghitungan untuk menghitung berapa besarnya cairan yang hilang
tersebut :
b. Refraktometer
Defisit cairan : BD plasma – 1,025 x BB x
4 ml Ket. BD plasma = 0,001
c. Dari serum Na+
Air yang hilang : 0,6 Berat Badan x BB (Plasma Natrium
– 1 ) Ket. Plasma Na = 140
d. Dari Hct
Defisit plasma (ml) = vol.darah normal – (vol.darah normal x nilai Hct awal )
Hct erukur
Sementara kehilangan darah dapat diperkirakan besarnya melalui
beberapa kriteria klinis seperti pada tabel di bawah ini ;
SSP / status Gelisah ringan Gelisah sedang Gelisah dan Bingung dan
Pemilihan Cairan
Cairan intravena diklasifikasikan menjadi kristaloid dan koloid. Kristaloid
merupakan larutan dimana molekul organik kecil dan inorganik dilarutkan dalam
air. Larutan ini ada yang bersifat isotonik, hipotonik, maupun hipertonik. Cairan
kristaloid memiliki keuntungan antara lain : aman, nontoksik, bebas reaksi, dan
murah. Adapun kerugian dari cairan kristaloid yang hipotonik dan isotonik adalah
kemampuannya terbatas untuk tetap berada dalam ruang intravaskular.
Kristaloid
Cairan kristaloid yang paling banyak digunakan adalah normal saline dan
ringer laktat. Cairan kristaloid memiliki komposisi yang mirip cairan ekstraselular.
Karena perbedaan sifat antara kristaloid dan koloid, dimana kristaloid akan lebih
banyak menyebar ke ruang interstitial dibandingkan dengan koloid maka
kristaloid sebaiknya dipilih untuk resusitasi defisit cairan di ruang intersisial.
Penggunaan cairan normal salin dalam jumlah yang besar dapat
menyebabkan timbulnya asidosis hiperkloremik, sedangkan penggunaan cairan
ringer laktat dengan jumlah besar dapat menyebabkan alkalosis metabolik yang
disebabkan adanya peningkatan produksi bikarbonat akibat metabolisme laktat.
Larutan dekstrose 5% sering digunakan jika pasien memiliki gula darah
yang rendah atau memiliki kadar natrium yang tinggi. Namun penggunaannya
untuk resusitasi dihindarkan karena komplikasi yang diakibatkan antara lain
hiperomolalitas-hiperglikemik, diuresis osmotik, dan asidosis serebral.
14
5% 5000 253
Dextrose
in
water
D5 ½ NS 5000 77 77 406
Koloid
Cairan koloid disebut juga sebagai cairan pengganti plasma atau biasa
disebut “plasma expander”. Di dalam cairan koloid terdapat zat/bahan yang
mempunyai berat molekul tinggi dengan aktivitas osmotik yang menyebabkan
cairan ini cenderung bertahan agak lama dalam ruang intravaskuler.
Koloid dapat mengembalikan volume plasma secara lebih efektif dan
efisien daripada kristaloid, karena larutan koloid mengekspansikan volume
vaskuler dengan lebih sedikit cairan dari pada larutan kristaloid. Sedangkan
larutan kristaloid akan keluar dari pembuluh darah dan hanya 1/4 bagian tetap
tinggal dalam plasma pada akhir infus. Koloid adalah cairan yang mengandung
partikel onkotik dan karenanya menghasilkan tekanan onkotik. Bila diberikan
intravena, sebagian besar akan menetap dalam ruang intravaskular.
Meskipun semua larutan koloid akan mengekspansikan ruang
intravaskular, namun koloid yang mempunyai tekanan onkotik lebih besar
daripada plasma akan menarik pula cairan ke dalam ruang intravaskular. Ini
dikenal sebagai ekspander plasma, sebab mengekspansikan volume plasma
lebih dari pada volume yang diberikan. Albumin
Albumin merupakan larutan koloid murni yang berasal dari plasma
manusia. Albumin dibuat dengan pasteurisasi pada suhu 60 0C dalam 10 jam
untuk meminimalisir resiko transmisi virus hepatitis B atau C atau pun virus
imunodefisiensi. Waktu paruh albumin dalam plasma adalah sekitar 16 jam,
dengan sekitar 90% tetap bertahan dalam intravascular 2 jam setelah
pemberian.
Dekstran
Dekstran merupakan semisintetik koloid yang secara komersial dibuat dari
sukrose oleh mesenteroides leukonostok strain B 512 dengan menggunakan enzim
dekstran sukrose. Ini menghasilkan dekstran BM tinggi yang kemudian dilengketkan
oleh hidrolisis asam dan dipisahkan dengan fraksionasi etanol berulang untuk
menghasilkan produk akhir dengan kisaran BM yang relatif sempit. Dekstran untuk
pemakaian klinis tersedia dalam dekstran 70 (BM 70.000) dan dekstran 40 (BM
40.000) dicampur dengan garam faal, dekstrosa atau Ringer laktat.
Dekstran 70 6 % digunakan pada syok hipovolemik dan untuk profilaksis
tromboembolisme dan mempunyai waktu paruh intravaskular sekitar 6 jam.
Pemakaian dekstran untuk mengganti volume darah atau plasma hendaknya
dibatasi sampai 1 liter (1,5 gr/kgBB) karena risiko terjadi perdarahan abnormal.
Batas dosis dekstran yaitu 20 ml/kgBB/hari.
Sekitar 70% dosis dekstran 40 yang diberikan akan dieksresikan ke dalam urine
dalam 24 jam. Molekul- molekul yang lebih besar dieksresikan lewat usus atau
dimakan oleh sel-sel sistem retikoloendotelial. Volume dekstran melebihi 1 L dapat
mengganggu hemostasis. Disfungsi trombosit dan penurunan fibrinogen dan faktor
VIII merupakan alasan timbulnya perdarahan yang meningkat. Reaksi alergi
terhadap dekstran telah dilaporkan, tetapi kekerapan reaksi anafilaktoid mungkin
kurang dari 0,02 %. Dekstran 40 hendaknya jangan dipakai pada syok hipovolemik
karena dapat menyumbat tubulus ginjal dan mengakibatkan gagal ginjal akut.
Gelatin
Gelatin dibuat dengan jalan hidrolisis kolagen sapi. Preparat yang umum
dipasaran adalah gelatin yang mengalami suksinasi seperti Gelofusin dengan
pelarut NaCL isotonik. Gelatin dengan ikatan urea-poligelin ( Haemaccel )
dengan pelarut NaCL isotonik dengan Kalium 5,1 mmol/l dan Ca 6,25 mmol/ L.
Pemberian gelatin agaknya lebih sering menimbulkan reaksi alergik
daripada koloid yang lain. Berkisar dari kemerahan kulit dan pireksia sampai
anafilaksis yang mengancam nyawa. Reaksi-reaksi tersebut berkaitan dengan
pelepasan histamine yang mungkin sebagai akibat efek langsung gelatin pada
sel mast.
Gelatin tidak menarik air dari ruang ekstravaskular sehingga bukan
termasuk ekspander plasma seperti dekstran. Larutan gelatin terutama
diekskresikan lewat ginjal dalam urin, sementara itu gelatin dapat menghasilkan
diuresis yang bagus. Sebagian kecil dieliminasikan lewat usus. Karena gelatin
tidak berpengaruh pada sistem koagulasi, maka tidak ada pembatasan dosis.
Namun, bila terlalu banyak infus, pertimbangkan adanya efek dilusi. Gelatin
dapat diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal bahkan pada pasien
yang menjalani hemodialisis. Indikasi gelatin : Penggantian volume primer pada
hipovolemia, stabilisasi sirkulasi perioperatif. Sedangkan kontraindikasi
adalah infark miokard yang masih baru terjadi, gagal jantung kongestif dan
syok normovolemik.