You are on page 1of 28

MODUL

ILMU DASAR PARU DAN SISTEM RESPIRASI

I. Tujuan Pembelajaran
A. Tujuan umum
Modul ini menguraikan tentang proses dan asuhan yang diberikan tentang
ilmu dasar paru dan sistem respirasi. Disini dijelaskan tentang genetika,
embriologi, anatomi fisiologi, gejala dan tanda penyakit paru, farmakologi
obat respirasi, nutrisi dan terapi cairan.

B. Tujuan khusus
Pada akhir pembelajaran modul diharapkan peserta didik mampu
memahami genetika, embriologi, anatomi fisiologi, gejala dan tanda
penyakit paru, farmakologi obat respirasi, nutrisi dan terapi cairan.

II. Kompetensi
A. Kompetensi kognitif
1. Mampu memahami ilmu dasar paru dan sistem respirasi
2. Mampu memahami genetika dalam hubungannya dengan sistem
respirasi
3. Mampu memahami embriologi sistem respirasi
4. Mampu memahami anatomi fisiolgi sistem respirasi
5. Mampu memahami gejala dan tanda penyakit paru
6. Mampu memahami farmakologi obat respirasi, nutrisi dan terapi cairan

B. Kompetensi keterampilan
1. Mampu membuat diagnosis yang benar
2. Mampu menulis terapi obat yang tepat
3. Mempu melakukan terapi cairan dan nutrisi

III. Metode & Strategi Pembelajaran


A. Metoda
1. Kuliah interaktif
2. Curah pendapat dan diskusi
3. Bedside teaching
4. Pendampingan (Coaching)

B. Strategi
Tujuan 1 : Mampu membuat diagnosis yang benar
(metoda 1,2,3,4)
Tujuan 2 : Mampu menulis terapi obat yang tepat
(metoda 1,2,3,4)
Tujuan 3 : Mempu melakukan terapi cairan dan nutrisi
(metoda 1,2,3,4)

IV. Persiapan Sesi


Bahan dan perlalatan yang dibutuhkan :
1. Materi modul ilmu dasar paru dan sistem respirasi
2. Materi presentasi : powerpoint
3. Model :
4. Contoh kasus
5. Daftar tilik kompetensi
6. Audiovisual

V. Referensi buku wajib


Buku wajib yang perlu dibaca:

VI. Gambaran umum


Memberikan penjelasan dan upaya yang akan dilakukan selama modul atau
praktik yang dilakukan terkait dengan modul ini sehingga tujuan pembelajaran
dapat dicapai dalam waktu yang telah dialokasikan dan kompetensi yang
diperoleh adalah sesuai dengan yang diinginkan.

VII. Contoh kasus

VIII. Rangkuman kasus


A. Bahan diskusi

IX. Evaluasi
Kognitif
- Pre-test dan post-test, dalam bentuk lisan, essay dan/atau MCQ
- Self assesment dan peer asisted evaluation
- Curah pendapat dan diskusi

Contoh soal

Psikomotor
- Self Assesment dan Peer Assisted Learning
- Peer Assisted Evaluation (berbasis nilai 0,1 dan 2)
- Penilaian kompetensi (berbasis nilai memuaskan, perlu perbaikan dan
tidak memuaskan)
- Kesempatan untuk perbaikan (Task-based Medical Education)

X. Instrumen penilaian
Instrumen pengukuran kompetensi kognitif & psikomotor
1. Observasi selama proses pembelajaran
2. Log book
3. Hasil penilaian peragaan keterampilan
4. Pretest modul
5. Post-test modul
6. Penilaian kinerja pengetahuan dan keterampilan (ujian akhir semester)
7. Ujian akhir profesi

XI. Penuntun belajar


Skor
Penuntun Belajar
0 1 2 3
1. Melakukan penyapaan, memberikan informasi
dan edukasi pada pasien
2. Melakukan anamnesis :
a. Keluhan utama
b. Keluhan tambahan
c. Riwayat penyakit sekarang
d. Faktor risiko
e. Riwayat penyakit dahulu
f. Riwayat penyakit keluarga
g. Riwayat psikososial
h. Riwayat pekerjaan dan kebiasaan
3. Melakukan pemeriksaan fisik status generalis
a. Keadaan umum
b. Tanda vital
4. Melakukan pemeriksaan fisik status lokalis
secara sistematis
a. Inspeksi
b. Palpasi
c. Perkusi
d. Auskultasi
5. Melakukan pemeriksaan penunjang
6. Menetapkan diagnosis kerja
7. Menetapkan diagnosis banding
8. Menetapkan rencana penatalaksanaan
9. Menentukan prognosis
10. Melakukan evaluasi hasil tindakan (terapi)
11. Mengenali masalah dan penyulit serta
melakukan antisipasi pencegahan
12. Mengenali masalah dan penyulit yang ada dan
melakukan penanganan sesuai kemampuan
serta fasilitas yang tersedia dan/atau melakukan
rujukan apabila diperlukan
Jumlah Skor
Keterangan:
0 : Tidak diamati (TD)
1 : Dikerjakan semua tapi tidak benar, atau tidak berurutan, atau tidak dikerjakan
2 : Dikerjakan, dengan bantuan
3 : Dikerjakan semua dengan lengkap dan benar

Maksimal skor :
Skor akhir : Jumlah skor

Lampiran
1. Form pemeriksaan
2. Modul pemeriksaan faal paru

XII. Daftar Tilik


Kompetensi
Daftar Tilik
Ya Tidak
1. Penyapaan, informasi dan edukasi pada pasien
2. Melakukan anamnesis yang terarah
3. Melakukan pemeriksaan fisik status generalis
4. Melakukan pemeriksaan fisik status lokalis
5. Melakukan pemeriksaan penunjang
6. Menetapkan diagnosis kerja
7. Menetapkan diagnosis banding
8. Menetapkan rencana penatalaksanaan
9. Menentukan prognosis
10. Menjelaskan hasil penanganan yang diharapkan
11. Mengenali masalah dan penyulit yang mungkin terjadi
dan melakukan antisipasi pencegahan
12. Mengenali masalah dan penyulit yang ada dan atau
melakukan rujukan apabila diperlukan
Keterangan:
TD: Tidak diamati
Centang pada kolom yang relevan
Hasil: semua kolom harus tercentang kompeten, bila tidak Peserta didik harus
mengulang

XIII. Materi Baku

Embriologi sistem pernafasan

Saat mudigah berumur 4 minggu, terbentuk divertikulum respiratorium (lung bud,


tunas/bakal paru) sebagai suatu benjolan dari dinding ventral usus depan. Epitel lapisan
dalam laring, trakea dan bronkus, serta paru, seluruhnya berasal dari endoderm.
Komponen tulang rawan, otot dan jaringan ikat trakeal dan paru berasal dari mesoderm
splanknik yang mengelilingi usus depan.
Pada awalnya tunas paru mempunyai hubungan terbuka dengan usus depan. Namun,
ketika divertikulum membesar ke arah kaudal, terbentuk dua hubungan longitudinal,
tracheosophageal ridge yang memisahkannya dari usus depan. Selanjutnya saat kedua
bubungan tersebut menyatu untuk membentuk septum trakeoesofageale, usus depan
dibagi menjadi bagian dorsal, esofagus, dan bagian ventral, trakea dan tunas paru.
Primordium respiratorik mempertahankan hubungan terbukanya dengan faring melalui
aditus laringitis.

HIDUNG
Selama minggu keenam. Fovea nasalis menjadi semakin dalam, sebagian karena
pertumbuhan prominensia nasalis sekitar dan sebagian karena penetrasi ke mesenkim di
bawahnya. Mula-mula membrana oronasalis memisahkan kedua lekukan dari rongga
mulut primitif melalui foramen yang baru terbentuk, koana primitif.
Kedua koana ini terletak di kedua sisi garis tengah dan tepat di belakang palatum primer.
Kemudian, dengan terbentuknya palatum sekunder dan perkembangan lebih lanjut
rongga hidung primitif, terbentuk koana definitif di taut antara rongga hidung dan faring.
Sinus udara paranasal berkembang sebagai divertikulum dinding hidung lateral dan
meluas ke dalam maksila, os etmoidale, os frontale, dan os sfenoidale. Sinus-sinus ini
mencapai ukurannya yang maksimal selama pubertas dan ikut membentuk wajah
definitif.

LARING
Lapisan dalam laring berasal dari endoderm, tetapi kartilago dan otot berasal dari
mesenkim arkus faring (pharyngeal arches) keempat dan keenam. Akibat proliferasi
yang cepat mesenkim ini, penampakan aditus laringis berubah dari celah sagital menjadi
lubang berbentuk T. Selanjutnya, bentuk aditus laringis seperti orang dewasa sudah
dapat dikenali ketika mesenkim dari kedua arkus berubah menjadi kartilago tiroidea,
krikoidea dan aritenoidea.
Pada saat kartilago terbentuk, epitel laring juga berproliferasi dengan cepat sehingga
terjadi oklusi lumen untuk sementara. Kemudian terjadi vakuolisasi dan rekanalisasi yang
menghasilkan sepasang resesus lateral, ventrikulus laringis. Cekungan ini dibatasi oleh
lipatan-lipatan jaringan yang berdiferensiasi menjadi pita suara sejati dan palsu.
Karena perototan laring berasal dari mesenkim arkus faring keempat dan keenam,
semua otot laring dipersarafi oleh cabang-cabang saraf kranial ke sepuluh, nervus vagus.
Nervus laringeus superiormenyarafi turunan arkus faring keempat, dan nervus laringeus
rekurens menyarafi turunan arkus faring keenam.

TRAKEA, BRONKUS dan PARU


Sewaktu terpisah dari usus depan, tunas paru membentuk trakea dan dua kantong luar
lateral, tunas bronkus. Pada awal minggu kelima, masing-masing tunas ini membesar
untuk membentuk bronkus utama kanan dan kiri. Tunas sebelah kanan kemudian
membentuk 3 bronkus sekunder, sedangkan kiri 2 bronkus, 3 lobus di sisi kanan dan 2 di
sisi kiri.
Seiring dengan perkembangan selanjutnya dalam arah kaudal dan lateral, tunas paru
kemudian berkembang ke dalam rongga tubuh. Ruang untuk paru, kanalis perikardio-
peritonealis, cukup sempit. Saluran-saluran ini terletak di kedua sisi usus depan dan
secara bertahap diisi oleh tunas paru yang terus membesar. Akhirnya lipatan
pleuroperitoneum dan pleuroperikardium memisahkan kanalis perikardioperitonealis
masing-masing dari rongga peritoneum dan rongga perikardium, dan ruang sisanya
membentuk rongga pleura primitif. Mesoderm yang menutupi bagian luar paru,
berkembang menjadi pleura viseralis. Lapisan mesoderm somatik, yang menutupi dinding
tubuh dari bagian dalam menjadi pleura parietalis Ruang antara pleura parietalis dan
viseralis adalah rongga pleura.
Selama perkembangan selanjutnya, bronkus sekunder membelah berulang-ulang secara
dikotomis, membentuk sepuluh bronkus tersier (segmentalis) di paru kanan dan delapan
di kiri, menciptakan segmentum bronkopulmonale pada paru dewasa. Pada akhir bulan
keenam telah terbentuk sekitar 17 generasi anak cabang. Namun, sebelum percabangan
bronkus mencapai bentuk akhirnya, terbentuk enam cabang tambahan selama masa
pascanatal. Pembentukan cabang-cabang diatur oleh interaksi epitel-mesenkim antara
endoderm tunas paru dan mesoderm spalnknik yang mengelilinginya.

PEMATANGAN PARU
Sampai bulan ketujuh pranatal, bronkiolus terus bercabang-cabang menjadi saluran yang
semakin banyak dan semakin kecil (periode kanalikular), dan jumlah pembuluh darah
terus meningkat. Pernapasan sudah dapat berlangsung ketika sebagian dari sel
bronkiolus respiratorius yang berbentuk kuboid berubah menjadi sel gepeng tipis. Sel-sel
ini menempel erat dengan sejumlah besar kapiler darah dan limfe, dan ruang di
sekitarnya sekarang dikenal sebagai sakus terminalis atau alveolus primitif. Selama bulan
ketujuh, jumlah kapiler sudah memadai untuk menjamin pertukaran gas yang adekuat,
dan bayi prematur sudah dapat bertahan hidup.
Selama 2 bulan terakhir kehidupan pranatal dan selama beberapa tahun selanjutnya,
jumlah sakus terminalis terus meningkat. Selain itu, sel-sel yang melapisi sakus yang
dikenal dengan sel epitel alveolus tipe I, menjadi lebih tipis sehingga kapiler di sekitarnya
menonjol ke dalam sakulus alveolaris. Hubungan erat antara sel epitel dan endotel ini
membentuk sawar darah-udara. Alveolus matur belum ada sebelum lahir. Selain sel
endotel dan epitel gepeng alveolus, pada akhir bulan keenam terbentuk jenis sel lain. Sel
ini, sel epitel alveolus tipe II menghasilkan surfaktan, suatu cairan kaya fosfolipid yang
dapat menurunkan tegangan permukaan dipertemuan udara-alveolus.

Sebelum lahir, paru dipenuhi oleh cairan yang banyak mengandung klorida, sedikit
protein, sebagian mukus dari kelenjar bronkus, dan surfaktan dari sel epitel alveolus tipe
II. Jumlah surfaktan dalam cairan meningkat, terutama selama 2 minggu terakhir sebelum
lahir.
Gerakan bernapas janin dimulai sebelum lahir dan menyebabkan aspirasi cairan amnion.
Gerakan ini penting untuk merangsang perkembangan paru-paru dan mengkondisikan
otot pernapasan. Ketika pernapasan mulai saat lahir, sebagian besar cairan paru cepat
diserap oleh kapiler darah dan limfe, dan sejumlah kecil mungkin dikeluarkan melalui
trakea dan bronkus selama proses kelahiran. Ketika cairan diserap dari sakulus
alveolaris, surfaktan tetap mengendap sebagai lapisan fosfolipid tipis di membaran sel
alveolus. Saat udara masuk ke alveolus ketika bayi pertama kali bernapas, lapisan
surfaktan mencegah terbentuknya pertemuan antara udara dan air (darah) yang memiliki
tegangan permukaan tinggi. Tanpa lapisan surfaktan yang mengandung lemak ini
alveolus akan kolaps sewaktu ekspirasi (atelektasis).
Gerakan bernapas setelah lahir mambawa udara masuk ke dalam paru yang
mengembangkan dan mengisi rongga pleura. Meskipun ukuran alveolus agak
bertambah, pertumbuhan paru setelah lahir terutama disebabkan oleh meningkatnya
jumlah bronkiolus respiratorius dan alveolus. Diperkirakan bahwa saat lahir terdapat
hanya 1/6 dari jumlah alveolus dewasa. Alveolus sisanya terbentuk selama 10 tahun
pertama kehidupan paskanatal melalui pembentukan alveolus primitif baru yang
berlangsung terus menerus.
Dasar biologi molekuler dan genetika

Tubuh manusia terdiri dari triliunan sel yang memiliki satu atau lebih genom lengkap yang
tersimpan di inti sel. Gen merupakan unit dasar yang diturunkandan tersimpan secara
rapi di dalam kromosom. Semua informasi geneatik baik yang akan diterjemahkan
nantinya maupun informasi yang tidak akan diterjemahkan termasuk protein dan
informasi pendukung lainnya disebut genom. Komposisi kimia dari materi genetika
tersebut kita kenal dengan deoxyribonuclear acid (DNA). Molekul DNA terdiri dari dua
ikatan yang saling bergelung yang berbentuk double helix. DNA terdiri dari empat kimia
basa yang berbeda yaitu adenin(A), guanin(G), cytosine(C), dan thymine(T) yang
berikatan dengan deoxyribose dan fosfat. Komponen basa, gula dan fosfat yang
berikatan tersebut disebut nukleotida. Basa nukleotida mempunyai pasangan basa yang
tetap dalam keadaan normal yaitu basa A selalu berpasangan dengan T dan basa C
berpasangan dengan G. Nukleotida ini tersusun dalam struktur gen yang terdiri atas
beberapa bahkan ribuan asam amino yang dikodekan oleh kodon yaitu susunan
pasangan tiga basa nukleotida. Kombinasi dari struktur asam amino tersebut membentuk
protein yang mempunyai struktur dan fungi spesifik yang diperlukan untuk mengatur
jaringan dalam tubuh.

Proses terbentuknya protein yang berasal dari susunan nukleotida dalam gen tersebut
memerlukan dua proses utama yang disebut transkrip dan translasi. Pada transkripso,
susunan DNA dalam gen tersebut dibawa oleh RNA messenger (mRNA), yang awal
susunannya terdiri atas ekson dan intron. Pada proses akhir transkrip bagian intron akan
dibuang shingga akhirnya akan menghasikan RNA. Setelah terbentuk RNA maka akan
terjadi proses translasi menjadi susunan asam amino yang akhirnya dari kombinasi asam
amino tersebut membentuk protein dengan dungsi tertentu. Proses transmisi informasi
genetik dari DNA menjadi RNA kemudian protein merupakan prinsip dasar dalam
memahami proses biologi molekuler sehingga hal itu dikenal juga sebagai central dogma
of molcular biology.
Anatomi Paru

Paru-paru terletak pada rongga dada, berbentuk kerucut yang ujungnya berada di atas
tulang iga pertama dan dasarnya berada pada diafragma. Paru terbagi menjadi dua
yaitu, paru kanan dan paru kiri. Paru-paru kanan mempunyai tiga lobus sedangkan
paru-paru kiri mempunyai dua lobus. Kelima lobus tersebut dapat terlihat dengan jelas.
Setiap paru-paru terbagi lagi menjadi beberapa subbagian menjadi sekitar sepuluh unit
terkecil yang disebut bronchopulmonary segments. Paru-paru kanan dan kiri
dipisahkan oleh ruang yang disebut mediastinum (Sherwood, 2001)

Paru-paru dibungkus oleh selaput tipis yaitu pleura. Pleura terbagi menjadi pleura
viseralis dan pleura pariental. Pleura viseralis yaitu selaput yang langsung
membungkus paru, sedangkan pleura parietal yaitu selaput yang menempel pada
rongga dada. Diantara kedua pleura terdapat rongga yang disebut kavum pleura
(Guyton, 2007).

Paru manusia terbentuk setelah embrio mempunyai panjang 3 mm. Pembentukan paru
di mulai dari sebuah Groove yang berasal dari Foregut. Pada Groove terbentuk dua
kantung yang dilapisi oleh suatu jaringan yang disebut Primary Lung Bud. Bagian
proksimal foregut membagi diri menjadi 2 yaitu esophagus dan trakea. Pada
perkembangan selanjutnya trakea akan bergabung dengan primary lung bud. Primary
lung bud merupakan cikal bakal bronchi dan cabang-cabangnya. Bronchial-tree
terbentuk setelah embrio berumur 16 minggu, sedangkan alveoli baru berkembang
setelah bayi lahir dan jumlahnya terus meningkat hingga anak berumur 8 tahun. Alveoli
bertambah besar sesuai dengan perkembangan dinding toraks. Jadi, pertumbuhan dan
perkembangan paru berjalan terus menerus tanpa terputus sampai pertumbuhan
somatic berhenti (Evelyn, 2009).

Gambar 3. Anatomi paru (Tortora, 2012)


Sitem pernafasan dapat dibagi ke dalam sitem pernafasan bagian atas dan pernafasan
bagian bawah.
1. Pernafasan bagian atas meliputi, hidung, rongga hidung, sinus paranasal, dan
faring.
2. Pernafasan bagian bawah meliputi, laring, trakea, bronkus, bronkiolus dan alveolus
paru (Guyton, 2007) Pergerakan dari dalam ke luar paru terdiri dari dua proses,
yaitu inspirasi dan ekspirasi. Inspirasi adalah pergerakan dari atmosfer ke dalam
paru, sedangkan ekspirasi adalah pergerakan dari dalam paru ke atmosfer. Agar
proses ventilasi dapat berjalan lancar dibutuhkan fungsi yang baik pada otot
pernafasan dan elastisitas jaringan paru. Otot-otot pernafasan dibagi menjadi dua
yaitu,
3. Otot inspirasi yang terdiri atas, otot interkostalis eksterna, sternokleidomastoideus,
skalenus dan diafragma.
4. Otot-otot ekspirasi adalah rektus abdominis dan interkostalis internus ( Alsagaff
dkk., 2005).

Gambar 4. Otot-otot pernafasan inspirasi dan ekspirasi (Tortora,2012).

Fisiologi Paru

Paru-paru dan dinding dada adalah struktur yang elastis. Dalam keadaan normal
terdapat lapisan cairan tipis antara paru-paru dan dinding dada sehingga paru-paru
dengan mudah bergeser pada dinding dada. Tekanan pada ruangan antara paru-paru
dan dinding dada berada di bawah tekanan atmosfer (Guyton, 2007).

Fungsi utama paru-paru yaitu untuk pertukaran gas antara darah dan atmosfer.
Pertukaran gas tersebut bertujuan untuk menyediakan oksigen bagi jaringan dan
mengeluarkan karbon dioksida. Kebutuhan oksigen dan karbon dioksida terus berubah
sesuai dengan tingkat aktivitas dan metabolisme seseorang, tapi pernafasan harus
tetap dapat memelihara kandungan oksigen dan karbon dioksida tersebut (West,
2004).
Udara masuk ke paru-paru melalui sistem berupa pipa yang menyempit (bronchi dan
bronkiolus) yang bercabang di kedua belah paru-paru utama (trachea). Pipa tersebut
berakhir di gelembung-gelembung paru-paru (alveoli) yang merupakan kantong udara
terakhir dimana oksigen dan karbondioksida dipindahkan dari tempat dimana darah
mengalir. Ada lebih dari 300 juta alveoli di dalam paru-paru manusia bersifat elastis.
Ruang udara tersebut dipelihara dalam keadaan terbuka oleh bahan kimia surfaktan
yang dapat menetralkan kecenderungan alveoli untuk mengempis (McArdle, 2006).

Untuk melaksanakan fungsi tersebut, pernafasan dapat dibagi menjadi empat


mekanisme dasar, yaitu:
1. Ventilasi paru, yang berarti masuk dan keluarnya udara antara alveoli dan atmosfer
2. Difusi dari oksigen dan karbon dioksida antara alveoli dan darah
3. Transport dari oksigen dan karbon dioksida dalam darah dan cairan tubuh ke dan
dari sel
4. Pengaturan ventilasi (Guyton, 2007).

Pada waktu menarik nafas dalam, maka otot berkontraksi, tetapi pengeluaran
pernafasan dalam proses yang pasif. Ketika diafragma menutup dalam, penarikan
nafas melalui isi rongga dada kembali memperbesar paru-paru dan dinding badan
bergerak hingga diafragma dan tulang dada menutup ke posisi semula. Aktivitas
bernafas merupakan dasar yang meliputi gerak tulang rusuk sewaktu bernafas dalam
dan volume udara bertambah (Syaifuddin, 2001).

Inspirasi merupakan proses aktif kontraksi otot-otot. Inspirasi menaikkan volume


intratoraks. Selama bernafas tenang, tekanan intrapleura kira-kira 2,5 mmHg relatif
lebih tinggi terhadap atmosfer. Pada permulaan, inspirasi menurun sampai -6mmHg
dan paru-paru ditarik ke posisi yang lebih mengembang dan tertanam dalam jalan
udara sehingga menjadi sedikit negatif dan udara mengalir ke dalam paru-paru. Pada
akhir inspirasi, recoil menarik dada kembali ke posisi ekspirasi dimana tekanan recoil
paru-paru dan dinding dada seimbang. Tekanan dalam jalan pernafasan seimbang
menjadi sedikit positif sehingga udara mengalir ke luar dari paru-paru (Syaifuddin,
2001).

Selama pernafasan tenang, ekspirasi merupakan gerakan pasif akibat elastisitas


dinding dada dan paru-paru. Pada waktu otot interkostalis eksternus relaksasi, dinding
dada turun dan lengkung diafragma naik ke atas ke dalam rongga toraks,
menyebabkan volume toraks berkurang. Pengurangan volume toraks ini meningkatkan
tekanan intrapleura maupun tekanan intrapulmonal. Selisih tekanan antara saluran
udara dan atmosfir menjadi terbalik, sehingga udara mengalir keluar dari paru-paru
sampai udara dan tekanan atmosfir menjadi sama kembali pada akhir ekspirasi (Price,
2005).

Proses setelah ventilasi adalah difusi yaitu, perpindahan oksigen dari alveol ke dalam
pembuluh darah dan berlaku sebaliknya untuk karbondioksida. Difusi dapat terjadi dari
daerah yang bertekanan tinggi ke tekanan rendah. Ada beberapa faktor yang
berpengaruh pada difusi gas dalam paru yaitu, faktor membran, faktor darah dan faktor
sirkulasi. Selanjutnya adalah proses transportasi, yaitu perpindahan gas dari paru ke
jaringan dan dari jaringan ke paru dengan bantuan aliran darah (Guyton, 2007).

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi fungsi paru adalah,


1. Usia
Kekuatan otot maksimal pada usia 20-40 tahun dan dapat berkurang
sebanyak 20% setelah usia 40 tahun. Selama proses penuan terjadi
penurunan elastisitas alveoli, penebalan kelenjar bronkial, penurunan
kapasitas paru.
2. Jenis kelamin
Fungsi ventilasi pada laki-laki lebih tinggi 20-25% dari pada wanita, karena
ukuran anatomi paru laki-laki lebih besar dibandingkan wanita. Selain itu,
aktivitas laki-laki lebih tinggi sehingga recoil dan compliance paru sudah terlatih.
3. Tinggi badan dan berat badan
Seorang yang memiliki tubuh tinggi dan besar, fungsi ventilasi parunya lebih
tinggi daripada orang yang bertubuh kecil pendek (Guyton, 2007).

Volume dan kapasitas paru

Menurut Guyton (2007) volume paru terbagi menjadi 4 bagian, yaitu:


1. Volume Tidal adalah volume udara yang diinspirasi atau diekspirasi pada
setiap kali pernafasan normal. Besarnya ± 500 ml pada rata-rata orang
dewasa.
2. Volume Cadangan Inspirasi adalah volume udara ekstra yang diinspirasi
setelah volume tidal, dan biasanya mencapai ± 3000 ml.
3. Volume Cadangan Eskpirasi adalah jumlah udara yang masih dapat
dikeluarkan dengan ekspirasi maksimum pada akhir ekspirasi normal, pada
keadaan normal besarnya ± 1100 ml.
4. Volume Residu, yaitu volume udara yang masih tetap berada dalam paru-
paru setelah ekspirasi kuat. Besarnya ± 1200 ml.
Kapasitas paru merupakan gabungan dari beberapa volume paru dan dibagi menjadi
empat bagian, yaitu:
1. Kapasitas Inspirasi, sama dengan volume tidal + volume cadangan inspirasi.
Besarnya ± 3500 ml, dan merupakan jumlah udara yang dapat dihirup
seseorang mulai pada tingkat ekspirasi normal dan mengembangkan paru
sampai jumlah maksimum.
2. Kapasitas Residu Fungsional, sama dengan volume cadangan inspirasi +
volume residu. Besarnya ± 2300 ml, dan merupakan besarnya udara yang
tersisa dalam paru pada akhir eskpirasi normal.
3. Kapasitas Vital, sama dengan volume cadangan inspirasi + volume tidal +
volume cadangan ekspirasi. Besarnya ± 4600 ml, dan merupakan jumlah udara
maksimal yang dapat dikeluarkan dari paru, setelah terlebih dahulu mengisi
paru secara maksimal dan kemudian mengeluarkannya sebanyak-banyaknya.
4. Kapasitas Vital paksa (KVP) atau Forced Vital Capacity (FVC) adalah volume
total dari udara yg dihembuskan dari paru-paru setelah inspirasi maksimum
yang diikuti oleh ekspirasi paksa minimum. Hasil ini didapat setelah seseorang
menginspirasi dengan usaha maksimal dan mengekspirasi secara kuat dan
cepat ( Ganong, 2005).
5. Volume ekspirasi paksa satu detik (VEP1) atau Forced Expiratory Volume in
One Second (FEV1) adalah volume udara yang dapat dikeluarkan dengan
ekspirasi maksimum per satuan detik. Hasil ini didapat setelah seseorang
terlebih dahulu melakukakn pernafasan dalam dan inspirasi maksimal yang
kemudian diekspirasikan secara paksa sekuat-kuatnya dan semaksimal
mungkin, dengan cara ini kapasitas vital seseorang tersebut dapat dihembuskan
dalam satu detik.
6. Kapasitas Paru Total, sama dengan kapasitas vital + volume residu. Besarnya ±
5800ml, adalah volume maksimal dimana paru dikembangkan sebesar mungkin
dengan inspirasi paksa.Volume dan kapasitas seluruh paru pada wanita ± 20 –
25% lebih kecil daripada pria, dan lebih besar pada atlet dan orang yang
bertubuh besar daripada orang yang bertubuh kecil dan astenis (Guyton, 2007)

Tanda Gejala Ciri Ciri Penyakit Paru-Paru serta pengobatannya

Batuk
Batuk bukanlah merupakan penyakit, mekanisme batuk timbul oleh karena paru-paru
mendapatkan agen pembawa penyakit masuk ke dalamnya sehingga menimbulkan batuk
untuk mengeluarkan agen tersebut. Batuk dapat juga menimbulkan berbagai macam
komplikasi seperti pneumotoraks, pneumomediastinum, sakit kepala, pingsan, herniasi
diskus, hernia inguinalis, patah tulang iga, perdarahan subkonjungtiva, dan inkontinensia
urin.Batuk merupakan refleks fisiologis kompleks yang melindungi paru dari trauma
mekanik, kimia dan suhu. Batuk juga merupakan mekanisme pertahanan paru yang
alamiah untuk menjaga agar jalan nafas tetap bersih dan terbuka dengan jalan :
1. Mencegah masuknya benda asing ke saluran nafas.
2. Mengeluarkan benda asing atau sekret yang abnormal dari dalam saluran nafas.

Batuk menjadi tidak fisiologis bila dirasakan sebagai gangguan. Batuk semacam itu
sering kali merupakan tanda suatu penyakit di dalam atau diluar paru dan kadang-kadang
merupakan gejala dini suatu penyakit. Batuk mungkin sangat berarti pada penularan
penyakit melalui udara ( air borne infection ). Batuk merupakan salah satu gejala penyakit
saluran nafas disamping sesak, mengi, dan sakit dada. Sering kali batuk merupakan
masalah yang dihadapi para dokter dalam pekerjaannya sehari-hari. Penyebabnya amat
beragam dan pengenalan patofisiologi batuk akan sangat membantu dalam menegakkan
diagnosis dan penanggulangan penderita batuk.

Pengobatan Batuk
1. Antitusif
Obat antitusif berfungsi menghambat atau menekan batuk dengan menekan pusat batuk
serta meningkatkan ambang rangsang sehingga akan mengurangi iritasi. Secara umum
berdasarkan tempat kerja obat, antitusif dibagi atas antitusif yang bekerja di perifer dan
antitusif yang bekerja di sentral. Antitusif yang bekerja di sentral dibagi atas golongan
narkotik dan nonnarkotik. Contoh : Kodein, DMP, Noskapin dan Uap Menthol.

2. Ekspektoran
Obat ini digunakan untuk meningkatkan sekresi mukus di saluran napas sehingga
bermanfaat untuk mengurangi iritasi dan batuknya akan berkurang dengan sendirinya.
Contoh : Amonium klorida, potasium sitrat, guaifenesin dan gliseril guaiakolat.

3. Mukolitika
Infeksi pernapasan menyebabkan munculnya mukus yg bersifat purulen atau
menyebabkan infeksi, oleh karena itu harus segera dikeluarkan secara alamiah. Obat
golongan ini berkhasiat melarutkan dan mengencerkan dahak yg kental sehingga lebih
mudah dikeluarkan melalui batuk dan sering digunakan pada penderita Bronkhitis.
Contoh : Asetilsistein , Bromheksin.

Asma
Asma adalah keadaan saluran napas yang mengalami penyempitan karena hiperaktivitas
terhadap rangsangan tertentu, yang menyebabkan peradangan dan penyempitan yang
bersifat sementara. Asma menyebabkan episode berulang mengi, sesak napas, sesak
dada, dan batuk pada malam atau dini; episode ini juga dikenal sebagai eksaserbasi atau
serangan. Tingkat keparahan eksaserbasi dapat berkisar dari ringan sampai mengancam
nyawa.

Seseorang bisa diduga terserang penyakit asma jika mengeluarkan tanda atau gejala
seperti di bawah ini.
1. Ketika sedang bernafas sering mengeluarkan bunyi lenguhan. Namun perlu digaris
bawahi bahwa tidak semua penderita asma nafasnya selalu bersuara.
2. Nafas sering menjadi sesak karena organ pernafasan menjadi sempit.
3. Batuk yang tiada henti terutama di waktu malam atau ketika cuaca sedang dingin.
4. Dada terasa sesak dan menjadi sempit, terutama pada bagian paru-paru.
5. Karena nafas terganggu, maka ketika sedang berbicara tidak bisa lancar dan tidak
bisa mengatur jalannya pernafasan dengan baik.

Pengobatan Asma

1. Bronkodilator
Bronkodilator artinya obat yang dapat melebarkan saluran napas dengan jalan
melemaskan otot-otot saluran napas yang sedang mengkerut (asma) .Jalan napas di
saluran pernapasan yang mentransfer udara ke paru-paru disebut “bronchi” (bronki).
Bronki kemudian terbagi lagi menjadi cabang kecil yang disebut „bronchioles
(bronkiolus)‟. Bronkodilator adalah obat yang mempunyai efek antibronkokonstriksi.
Bronkodilator dapat digunakan untuk mengatasi kesulitan bernafas yang disebabkan oleh
asma,bronchitis, bronchiolitis, pneumonia dan emfisema. Ada tiga golongan bronkodilator
yang biasa digunakan, yaitu :
a) Adrenergik
b) Antikolinergik
c) Xantin

Obat Saluran Nafas

A. ANTITUSIF
Obat antitusif berfungsi menghambat atau menekan batuk dengan menekan pusat batuk
serta meningkatkan ambang rangsang sehinggaakan mengurangi iritasi. Secara umum
berdasarkan tempat kerja obat, antitusif dibagi atas antitusif yang bekerja di perifer dan
antitusif yang bekerja di sentral. Antitusif yang bekerja di sentral dibagi atas golongan
narkotik dan non-narkotik.

a) Antitusif yang Bekerja di Perifer


Obat golongan ini menekan batuk dengan mengurangi iritasi lokal di saluran nafas, yaitu
pa da reseptor iritan perifer dengan cara anestesi langsung atau secara tidak langsung
mempengaruhi lendir saluran napas.
 Obat-obat anestesi
Obat anestesi lokal seperti benzokain, benzilalkohol, fenol, dan garam fenol digunakan
dalam pembuatan lozenges. Obat ini mengurangi batuk akibat rangsang reseptor iritan di
faring, tetapi hanya sedikit manfaatnya untuk mengatasi batuk akibat kelainan saluran
napas bawah.
Obat anestesi yang diberikan secara topikal seperti tetrakain, kokain dan lidokain sangat
bermanfaat dalam menghambat batuk akibat prosedur pemeriksaan bronkoskopi.
Beberapa hal harus diperhatikan dalam pemakaian obat anestesi topikal yaitu :
1. Resiko aspirasi beberapa jam sesudah pemakaian obat.
2. Diketahui kemungkinan reaksi alergi terhadap obat anestesi.
3. Peningkatan tekanan jalan nafas sesudah inhalasi zat anestesi.
4. Resiko terjadinya efek toksis sistemik termasuk aritmia dan kejang terutama pada
penderita penyakit hati dan jantung.

 Lidokain
Obat anestesi yang diberikan secara topikal seperti tetrakain, kokain dan lidokain sangat
bermanfaat dalam menghambat batuk akibat prosedur pemeriksaan bronkoskopi.

 Demulcent
Obat ini bekerja melapisi mukosa faring dan mencegah kekeringan selaput lendir. Obat
ini dipakai sebagai pelarut antitusif lain atau sebagai lozenges yang mengandung madu,
akasia, gliserin dan anggur. Secara obyektif tidak ada data yang menunjukkan obat ini
mempunyai efek antitusif yang bermakna, tetapi karena aman dan memberikan
perbaikan subyektif obat ini banyak dipakai.

b) Antitusif yang Bekerja Sentral


Obat ini bekerja menekan batuk dengan meninggikan ambang rangsang yang dibutuhkan
untuk merangsang pusat batuk. Dibagi atas golongan narkotik dan non-narkotik.


Golongan narkotik
Antitusif yang mempunyai potensi untuk mendatangkan adiksi/ ketergantungan, dan
mempunyai potensi untuk disalahgunakan.Opiat dan derivatnya mempunyai beberapa
macam efek farmakologik, sehingga digunakan sebagai analgesik, antitusif, sedatif,
menghilangkan sesak karena gagal jantung kiri dan antidiare. Di antara alkaloid ini,
morfin dan kodein sering digunakan. Efek samping obat ini adalah penekanan pusat
napas, konstipasi, kadang-kadang mual dan muntah, serta efek adiksi. Opiat dapat
menyebabkan terjadinya bronkospasme karena penglepasan histamin, tetapi efek ini
jarang terlihat pada dosis terapeutik untuk antitusif. Di samping itu narkotik juga dapat
mengurangi efek pembersihan mukosilier dengan menghambat sekresi kelenjar mukosa
bronkus dan aktivitas silia. Terapi kodein kurang mempunyai efek tersebut.

a. Kodein

Kodein atau Metilmorfin masih merupakan antitusif dengan uji klinik terkontrol
dalam batuk eksperimen dan batuk patologik akut dan kronis.

Dalam dosis antitusif biasa, kodein memiliki efek analgesic ringan dan sedative.
Efek Analgetik Kodein ini dapat dimanfaatkan untuk batuk yang disertai dengan nyeri dan
ansietas. Dan untuk dapat menimbulkan ketergantungan fisik, Kodein harus diberikan
dalam dosis tinggi dalam beberapa jam dengan jangka waktu satu bulan/lebih (lama).

Kodein diserap baik pada pemberian oral dan puncak efeknya ditemukan 1-2 jam,
dan berlangsung selama 4-6 jam. Metabolisme terutama di hepar, dan diekskresi ke
dalam urin dalam bentuk tidak berubah, diekskresi komplit setelah 24 jam. Dalam jumlah
kecil ditemukan dalam air susu Ibu.

Sediaan terdapat dalam bentuk tablet Kodein Sulfat atau Kodein fosfat berisi 10,
15, dan 20 mg. Dosis biasa dewasa 10-30 mg setiap 4-6 jam. Dosis yang lebih besar
tidak lagi menambah besar efek secara proporsional. Dosis anak: 1-1,5 mg/kg BB/ hari
dalam dosis terbagi.

Kodein dalam dosis kecil (10-30mg) sering digunakan sebagai obat batuk, jarang
ditemukan efek samping, dan kalau ada tidak lebih tinggi dari placebo. Efek samping
dapat berupa mual, pusing, sedasi, anoreksia, dan sakit kepala. Dosis lebih tinggi (60-
80mg) dapat menimbulkan kegelisahan, hipotensi ortostatik, vertigo, dan midriasis. Dosis
lebih besar lagi (100-500mg) dapat menimbulkan nyeri abdomen atau konstipasi. Jarang-
jarang timbul reaksi alergi seperti: dermatitis, hepatitis, trombopenia, dan anafilaksis.
Depresi pernafasan dapat terlihat pada dosis 60 mg dan depresi yang nyata terdapat
pada dosis 120 mg setiap beberapa jam. Karena itu dosis tinggi berbahaya pada
penderita dengan kelemahan pernafasan, khususnya pada penderita retensi CO2.

Dosis fatal kodein ialah 800-1000 mg. Kelebihan dosis paling sering terjadi pada
anak-anak, dan terutama harus diperhatikan pada neonatus dengan perkembangan
hepar dan ginjal yang belum sempurna atau dengan diuresis yang berkurang sehingga
dapat terjadi efek kumulatif yang memperdalam koma atau mempercepat kematian.
Antagonis Opioid seperti nalokson dapat bermanfaat untuk terapi kelebihan dosis.
Morfin
Dihidromorfinon,
Dihidrokodeinon
Morfolinil-etilmorfin (Pholcodine)
Puried Opium Alkaloid (Pantopon)
Meperidin
Levorfanol

Keefektifan antitusif narkotik ini sebagai obat batuk, sedangkan secara klinis yang
digunakan sebagai antitusif yang hanyalah kodein. Narkotik lain diatas tidak lebih baik
dari Kodein dam efektifitas dan keamanannya sebagai penekan batuk.

Kebanyakan obat-obat yang mendepresi SSP dapat mempengaruhi pusat batuk di
Medulla Oblongata. Antitusif yang bekerja sentral juga dapat bekerja melalui serabut
saraf di Cortex serebri dan subcortex, seperti Opioid-opioid dan sedative pada umumnya.

b. Antitusif Narkotik Lain


Dihidrokodein ( paracodin ), cara kerja dan efek samping hamper sama dengan
kodein.Folkodin, penggunaan utama ialah sebagai antitusif. Efek analgetik dan efek efori
hampir tidak ada ( kalau ada kecil sekali ), dan gejala putus obat jauh lebih ringan dari
kodein.
 Hidrokodon
Merupakan derivat sintetik morfin dan kodein, mempunyai efek antitusif yang serupa
dengan kodein. Efek samping utama adalah sedasi, penglepasan histamin, konstipasi
dan kekeringan mukosa. Obat ini tidak lebih unggul dari kodein.

 Golongan non-narkotik
Antitusif non – narkotik ialah antitusif yang tidak mendatangkan adiksi dan potensinya
untuk di salah gunakan kecil sekali. Termasuk dekstrometorfan, noskapin dan lain – lain
antitusif yang bekerja perifer.

a. Dekstrometorfan

Dekstrometorfan adalah derifat morfinan sintetik yang bekerja sentral dengan
meningkatkan ambang rangsang reflek bentuk sama seperti kodein. Potensi antitusifnya
lebih kurang sama dengan kodein. Berbeda dengan kodein dan 1 – metorfan,
dekstrometorfan tidak memiliki efek analgesik, efek sedasi, efek pada saluran cerna dan
tidak mendatangkan adiksi atau ketergantungan. Dekstrometorfan efektif untuk
mengontrol batuk eksperimen maupun batuk patologik akut maupun kronis.
Dekstrometorfan di laporkan juga memiliki efek pengurangan sekret dan efek
antiinflamasi ringan. Kadang – kadang dilaporkan adanya stimulasi ringan pernafasan
pada penggunaanya dalam batas – batas dosis antitusif biasa.

Efek samping dan toksisitas : efek penekanan aktifitas silia bronkhus hanya terjadi
pada dosis tinggi. Toksisitas rendah sekali. Dosis berlebihan menimbulkan pusing,
diplopia, sakit kepala, mual, dan muntah. Dalam dosis sangat besar di temukan depresi
pernafasan yang dapat menimbulkan kematian.
Dosis Umum Dosis rata - rata

Dekstrometorfan 15 – 30 mg

Noskapin 10 – 30 mg

Karbetapentan 15 – 30 mg

Karamifen 10 – 20 mg

Levopropoksifen 50 – 100 mg

Benzonatat 50 – 100 mg

Dimetoksanat 25 mg

Klorfedianol 25 mg

Pipazetat 20 – 40 mg

Difenhidramin ( benadryl 25 – 50 mg
)

Prometazin 5 – 60 mg

Dekstrometorfan tersedia dalam bentuk tablet, sirup berisi 10 – 20 mg / 5 ml. Dosis
dewasa 10 – 20 mg setiap 4 – 6 jam, maksimum 120 mg / hari, Meninggikan dosis tidak
akan menambah kuat efek, tapi dapat memperpanjang kerjanya sampai 10 – 12 jam, dan
ini dapat bermanfaatkan untuk mengontrol batuk malam hari. Dosis anak – anak 1 mg/ kg
BB/ hari dalam dosis terbagi 3 – 4 kali sehari.
b. Noskapin

Noskapin merupakan derivat benzilisokinolin yang di peroleh dari alkaloid opium,
tidak mempunyai efek analgesik. Kecuali efek antitusif, noskapin dalam dosis terapi tidak
memiliki efek terhadap SSP, dan tidak memiliki efek adiksi dan ketergantungan; potensi
antitusif nya lebih kurang sama dengan kodein ( dalam berat yang sama ). Cara kerja
sama dengan kodein.

Efek samping yang menonjol adalah gangguan saluran cerna ( terutama
konstipasi ringan ), terlihat sampai 30 % dari pasien yang di teliti. Efek depresi
pernafasan baru terjadi bila di berikan dosis lebih dari 90 mg. Kelebihan dosis juga
menimbulkan depresi otot jantung dan otot polos lain.

Noskapin tersedia dalam bentuk tablet etau sirup. Dosis dewasa 3 kali sehari 15 –
30 mg.

c. Levopropoksifen
Levopropoksifen adalah senyawa non – narkotik sintetik, isomer dari propoksifen yang
tidak memiliki efek analgesik. Beberapa uji klinik pada pasien dengan batuk patologik
menunjukkan efikasinya dapat menyamai dekstrometorfan. Dosis yang di gunakan untuk
mengontrol batuk adalah 50 – 100 mg.

d. Difenhidramin

Antihistamin H1 dengan efek sedasi dan efek antikolinergik dapat menekan batuk,
misalnya difenhidramin. Sebagai antitusif harus di berikan dalam dosis yang juga
menyebabkan sedasi, dan obat ini sering di berikan dalam bentuk kombinasi dangan obat
lain.

 Lain – lain Antitusif non – Narkotik


a. KLOFEDANOL ( Pectolitan ) di peroleh dengan mengganti gugusan COC 2H5 pada
normectadon dengan gugus OH, hampir tidak menunjukkan efek analgetik lagi, dan tidak
mendatangkan adiksi.

b. KLOBUTINOL ( Silomat 0 dan ISOAMINIL ( Peracon ) mempunyai struktur kimia


mirip dengan klofedanol. Isoaminil dapat menimbulkan gejala psikotomimetik dan telah
banyak di laporkan bahwa obat ini banyak di salahgunakan.

c. PENTOKSIVERIN ( Sedotusin ), Butamirat sitrat ( Sinecod ), OKSELADIN,


oksolamin ( Bredon ) dan PIPIZETAT ( Selvigon ) merupakan ester basa yang tidak
memiliki efek samping depresi yang pernafasan.

B. EKSPEKTORANSIA
Ekspektoran ialah obat yang dapat merangsang pengeluaran dahak dari saluran napas
(ekspetorasi). Penggunaan ekspektoran didasarkan pengalaman empiris. Mekanisme
kerjanya diduga berdasarkan stimulasi mukosa lambung dan selanjutnya secara reflex
merangsang sekresi kelenjar saluran napas lewat N.vagus, sehingga menurunkan
viskositas dan mempermudah pengeluaran dahak. Obat yang termasuk golongan ini,
ialah :

a. Ammonium klorida
Biasanya digunakan dalam bentuk campuran dengan ekspektoran lain atau antitusif.
Ammonium klorida dosis besar dapat menimbulkan asidosis metabolik, dan harus
digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan insufisiensi hati, ginjal, dan paru. Dosis
ammonium klorida sebagai ekspektoran padaorang dewasa ialah 300 mg (5 mL) tiap 2-4
jam.

b. Gliseril guaiakolat
Penggunaan obat ini hanya didasarkan pada tradisi dan kesan subyektif pasien dan
dokter. Efek samping yang mungkin timbul dengan dosis besar, berupa kantuk, mual, dan
muntah. Obat ini tersedia dalam bentuk sirop 100mg/5mL. Dosis dewasa yang dianjurkan
2-4 kali 200-400 mg sehari.

C. BRONKODILATOR
Bronkodilator artinya obat yang dapat melebarkan saluran napas dengan jalan
melemaskan otot-otot saluran napas yang sedang mengkerut (asma) .Jalan napas di
saluran pernapasan yang mentransfer udara ke paru-paru disebut “bronchi” (bronki).
Bronki kemudian terbagi lagi menjadi cabang kecil yang disebut „bronchioles
(bronkiolus)‟. Bronkodilator adalah obat yang mempunyai efek anti bronkokonstriksi.
Bronkodilator dapat digunakan untuk mengatasi kesulitan bernafas yang disebabkan oleh
asma, bronchitis, bronchiolitis, pneumonia dan emfisema.

Penggolongan Bronkodilator
1. Berdasarkan waktu kerja obat
Ada dua jenis bronkodilator berdasarkan waktu kerja obatnya, yaitu short-acting dan
long-acting. Short-acting merupakan bronkodilator kerja cepat yang dapat meredakan
gejala asma. Bronkodilator jenis ini digunakan sebagai obat penyelamat dalam kasus
serangan asma. Sedangkan long-acting merupakan bronkodilator kerja lama yang
digunakan setiap hari untuk mengontrol asma.

2. Berdasarkan tipe utama bronkodilator


Ada tiga jenis bronkodilator berdasarkan tipe utamanya yaitu agonis β-adrenergik,
antikolinergik dan derivat xanthin.

Agonis β-adrenergik
Beberapa senyawa adrenergik yang mengaktifkan β-reseptor, mempunyai kekhasan
tinggi terhadap β2-reseptor dan dapat menyebabkan relaksasi otot polos bronki sehingga
digunakan sebagai bronkodilator. Oleh karena dapat menyebabkan relaksasi otot polos
bronkiola, bronkodilator digunakan sebagai penunjang pada pengobatan asma, bronkitis,
emfisema dan lain-lain gangguan pada paru. Obat ini menimbulkan bronkodilatasi. Hal ini
dikarenakan β-reseptor berhubungan erat dengan adenil siklase, yaitu substansi penting
yang menghasilkan siklik AMP yang menyebabkan bronkodilatasi. Contoh :

1. Salbutamol sulfat
Bekerja secara dominan sebagai perangsang β 2-reseptor pada otot bronki sehingga
digunakan sebagai bronkodilator yang khas, dengan efek terhadap reseptor pada jantung
sangat kecil. Salbutamol digunakan untuk meringankan bronkospasma pada asma
bronki, bronkitis kronik dan emfisema.

2. Terbutalin sulfat
Bekerja secara dominan sebagai perangsang β 2-reseptor pada otot bronki sehingga
digunakan sebagai bronkodilator yang khas, dengan efek terhadap reseptor pada jantung
sangat kecil. Terbutalin digunakan untuk meringankan bronkospasma pada asma bronki,
bronkitis kronik dan emfisema.

3. Klenbuterol
Bekerja secara dominan sebagai perangsang β 2-reseptor pada otot bronki sehingga
digunakan sebagai bronkodilator yang khas, dengan efek terhadap reseptor pada jantung
sangat kecil. Klenbuterol digunakan untuk meringankan bronkospasma pada asma
bronki, bronkitis kronik dan emfisema.

4. Metaproterenol sulfat
Bekerja sebagai perangsang reseptor β-adrenergik yang kuat. Reseptor pada otot bronki
lebih sensitif terhadap obat ini dibandingkan pada jantung dan pembuluh darah sehingga
digunakan sebagai bronkodilator untuk meringankan bronkospasma pada asma bronki,
bronkitis kronik dan emfisema.

5. Fenoterol HBr
Digunakan sebagai bronkodilator untuk meringankan bronkospasma pada asma bronki,
bronkitis kronik dan emfisema. Dapat untuk profilaksis karena efek anti alerginya.

6. Heksoprenalin sulfat
Digunakan sebagai bronkodilator untuk meringankan bronkospasma pada asma bronki,
bronkitis kronik dan emfisema.

7. Prokaterol HCl
Bekerja secara dominan sebagai perangsang β 2-reseptor pada otot bronki sehingga
digunakan sebagai bronkodilator yang lebih khas dibandingkan dengan salbutamol.
Prokaterol juga mempunyai efek anti alergi yang cukup kuat. Prokaterol digunakan untuk
meringankan bronkospasma pada asma bronki, bronkitis kronik dan emfisema.

8. Efedrin HCl
Mempunyai 4 bentuk optis aktif dan yamg paling aktif adalah bentuk isomer D (-). Efedrin
merupakan senyawa simpatomimetik dengan efek langsung dan tak langsung terhadap α
dan β-adrenoseptor. Karena sifat vasokonstriksinya, efedrin digunakan untuk
bronkodilator, dekongestan hidung dan dekongestan mata.

9. Salmeterol xinafoat
Bekerja sebagai perangsang β 2-reseptor pada otot bronki, dengan efek terhadap reseptor
pada jantung sangat kecil. Salmeterol merupakan bronkodilator kuat yang dikembangkan
untuk pemakaian inhalasi, mempunyai derajat kekhasan tinggi, dan dapat menghambat
saraf vagus yang bertanggung jawab terhadap spasma bronkus. Digunakan secara
inhalasi untuk meringankan bronkospasma pada asma bronki, bronkitis kronik dan
emfisema.
10. Epinefrin
Digunakan sebagai bronkodilator untuk meringankan akibat serangan asma bronki, untuk
pengobatan glaukoma kronik, sebagai bahan tambahan pada anestesi setempat dan
untuk mengurangi tekanan dalam mata.

11. Metoksifenamin HCl


Adalah senyawa simpatomimetik dengan efek utama bronkodilator dan menghambat otot
polos. Efek obat terhadap tekanan darah, jantung, dan sistem saraf pusat lebih rendah
dibandingkan dengan efedrin atau adrenalin. Metoksifenamin digunakan untuk
pengobatan asma, alergi rinitis, dan urtikaria.

Antikolinergik
Di dalam sel-sel otot polos terdapat keseimbangan antara sistem adrenergis dan sistem
kolinergis. Bila karena sesuatu sebab reseptor β 2 dari sistem adrenergis terhambat, maka
sistem kolinergis akan berkuasa dengan akibat bronkokonstriksi. Antikolinergik memblok
reseptor muskarin dari saraf-saraf kolinergis di otot polos bronki, hingga aktivitas saraf
adrenergis menjadi dominan dengan efek bronkodilatasi. Contoh :

1. Ipratropium bromida
Ipratropium bromida merupakan antikolinergik yang paling luas digunakan, dimana
berfungsi sebagai bronkodilator yan dikembangkan untuk pemakaian inhalasi,
mempunyai derajat kekhasan tinggi, dan dapat menghambat saraf vagus yang
bertanggung jawab terhadap spasma bronkus. Ipratropium digunakan untuk pengobatan
gangguan jalan udara yang berhubungan dengan bronkitis kronik.

Derivat xanthin
Senyawa-senyawa turunan xanthin diketahui memiliki beberapa aktivitas farmakologis,
diantaranya sebagai bronkodilator. Meskipun penggunaannya sebagai obat anti asma
telah cukup dikenal, tetapi turunan xanthin diketahui memiliki efek samping yang kurang
menguntungkan yaitu penekanan pada jantung dan sistem saraf pusat. Beberapa
penelitian mengenai modifikasi struktur xanthin telah dilakukan guna mendapatkan
turunan yang lebih poten dan selektif. Berdasarkan penelitian terdahulu, diketahui bahwa
substitusi pada atom N‟ xanthin dapat meningkatkan aktivitas dan selektivitasnya sebagai
bronkodilator. Contoh :

1. Teofilin
Bekerja sebagai bronkodilator dengan menghambat secara kompetitif enzim siklik
nukleotida fosfodiesterase menghasilkan peningkatan kadar cAMP sehingga terjadi
relaksasi langsung otot polos bronki. Seperti turunan xanthin yang lain, teofilin juga
mempunyai efek vasodilator koroner, rangsangan jantung, rangsangan otot rangka,
rangsangan sistem saraf pusat dan diuretik.

2. Aminofilin
Adalah kompleks teofilin dan etilendiamin di-HCl yang mempunyai kelarutan dalam air
lebih besar dibandingkan dengan teofilin.
DASAR-DASAR TERAPI CAIRAN DAN ELEKTROLIT

Elektrolit merupakan molekul terionisasi yang terdapat di dalam darah,


jaringan, dan sel tubuh. Molekul tersebut, baik yang positif (kation) maupun yang
negatif (anion) menghantarkan arus listrik dan membantu mempertahankan pH
dan level asam basa dalam tubuh. Elektrolit juga memfasilitasi pergerakan cairan
antar dan dalam sel melalui suatu proses yang dikenal sebagai osmosis dan
memegang peraran dalam pengaturan fungsi neuromuskular, endokrin, dan sistem
ekskresi.
Jumlah asupan air dan elektrolit melalui makan dan minum akan
dikeluarkan dalam jumlah relatif sama. Ketika terjadi gangguan homeostasis
dimana jumlah yang masuk dan keluar tidak seimbang, harus segera diberikan
terapi untuk mengembalikan keseimbangan tersebut.

Terapi Cairan
Penatalaksanaan terapi cairan meliputi dua bagian dasar yaitu ;
 Resusitasi cairan
Ditujukan untuk menggantikan kehilangan akut cairan tubuh, sehingga
seringkali dapat menyebabkan syok. Terapi ini ditujukan pula untuk
ekspansicepat dari cairan intravaskuler dan memperbaiki perfusi jaringan.
 Terapi rumatan
Bertujuan untuk memelihara keseimbangan cairan tub uh dan nutrisi yang
diperlukan oleh tubuh
Hal ini digambarkan dalam diagram berikut :

Terapi cairan

Resusitas Rumatan
Kristaloid Koloid Elektrolit Nutrisi

Prinsip pemilihan cairan dimaksudkan untuk :



Mengganti kehilangan air dan elektrolit yang normal melaui urine, IWL, dan
feses

Membuat agar hemodinamik agar tetap dalam keadaan stabil

Pada penggantian cairan, maka jenis cairan yang digunakan didasarkan pada :

Cairan pemeliharaan ( jumlah cairan yang dibutuhkan selama 24 jam )

Cairan defisit ( jumlah kekurangan cairan yang terjadi )

Caitran pengganti ( replacement )
c. Sekuestrasi ( cairan third space )
 Pengganti darah yang hilang
 Pengganti cairan yang hilang melalui fistel, maag slang dan drainase
Untuk mengganti cairan tubuh yang hilang dapat dilakukan
penghitungan untuk menghitung berapa besarnya cairan yang hilang
tersebut :
b. Refraktometer
Defisit cairan : BD plasma – 1,025 x BB x
4 ml Ket. BD plasma = 0,001
c. Dari serum Na+
Air yang hilang : 0,6 Berat Badan x BB (Plasma Natrium
– 1 ) Ket. Plasma Na = 140
d. Dari Hct
Defisit plasma (ml) = vol.darah normal – (vol.darah normal x nilai Hct awal )
Hct erukur
Sementara kehilangan darah dapat diperkirakan besarnya melalui
beberapa kriteria klinis seperti pada tabel di bawah ini ;

Klas I Klas II Klas III Klas IV

Kehilangan darah Sampai 750 750-1500 1500-2000 >2000


( ml)

Kehilangan darah Sampai 15% 15-30% 30-40% >40%


( %EBV)

Denyut nadi <100 >100 >120 >140

Tek. Darah Normal Normal Menurun Menurun


(mmHg)

Tek. Nadi Normal atau Menurun Menurun Menurun


(mmHg) meningkat

Frek. Napas 14-20 20-3- 30-35 >35

Produksi urin >30 20-30 5-15 Tidak ada


(ml/jam)

SSP / status Gelisah ringan Gelisah sedang Gelisah dan Bingung dan

mental bingung letargi

Cairan pengganti Kristaloid Kristaloid Kristaloid dan Kristaloid dan


( rumus 3 :1) darah darah

Pemilihan Cairan
Cairan intravena diklasifikasikan menjadi kristaloid dan koloid. Kristaloid
merupakan larutan dimana molekul organik kecil dan inorganik dilarutkan dalam
air. Larutan ini ada yang bersifat isotonik, hipotonik, maupun hipertonik. Cairan
kristaloid memiliki keuntungan antara lain : aman, nontoksik, bebas reaksi, dan
murah. Adapun kerugian dari cairan kristaloid yang hipotonik dan isotonik adalah
kemampuannya terbatas untuk tetap berada dalam ruang intravaskular.

Kristaloid
Cairan kristaloid yang paling banyak digunakan adalah normal saline dan
ringer laktat. Cairan kristaloid memiliki komposisi yang mirip cairan ekstraselular.
Karena perbedaan sifat antara kristaloid dan koloid, dimana kristaloid akan lebih
banyak menyebar ke ruang interstitial dibandingkan dengan koloid maka
kristaloid sebaiknya dipilih untuk resusitasi defisit cairan di ruang intersisial.
Penggunaan cairan normal salin dalam jumlah yang besar dapat
menyebabkan timbulnya asidosis hiperkloremik, sedangkan penggunaan cairan
ringer laktat dengan jumlah besar dapat menyebabkan alkalosis metabolik yang
disebabkan adanya peningkatan produksi bikarbonat akibat metabolisme laktat.
Larutan dekstrose 5% sering digunakan jika pasien memiliki gula darah
yang rendah atau memiliki kadar natrium yang tinggi. Namun penggunaannya
untuk resusitasi dihindarkan karena komplikasi yang diakibatkan antara lain
hiperomolalitas-hiperglikemik, diuresis osmotik, dan asidosis serebral.

Tabel 6. Komposisi Cairan Kristaloid


5
Solution Glucose Sodium Chloride Potassium Kalsium Lactate (mOsmol/L)
(mg/dL) (mEq/L) (mEq/L) (mEq/L) (mEq/L) (mEq/L)

14
5% 5000 253
Dextrose
in
water

D5 ½ NS 5000 77 77 406

D5 NS 5000 154 154 561

0,9% NaCl 154 154 308

Ringer 130 109 4.0 3.0 28 273


Laktat

D5 RL 5000 130 109 4.0 3.0 28 525

5% NaCl 855 855 1171

Koloid
Cairan koloid disebut juga sebagai cairan pengganti plasma atau biasa
disebut “plasma expander”. Di dalam cairan koloid terdapat zat/bahan yang
mempunyai berat molekul tinggi dengan aktivitas osmotik yang menyebabkan
cairan ini cenderung bertahan agak lama dalam ruang intravaskuler.
Koloid dapat mengembalikan volume plasma secara lebih efektif dan
efisien daripada kristaloid, karena larutan koloid mengekspansikan volume
vaskuler dengan lebih sedikit cairan dari pada larutan kristaloid. Sedangkan
larutan kristaloid akan keluar dari pembuluh darah dan hanya 1/4 bagian tetap
tinggal dalam plasma pada akhir infus. Koloid adalah cairan yang mengandung
partikel onkotik dan karenanya menghasilkan tekanan onkotik. Bila diberikan
intravena, sebagian besar akan menetap dalam ruang intravaskular.
Meskipun semua larutan koloid akan mengekspansikan ruang
intravaskular, namun koloid yang mempunyai tekanan onkotik lebih besar
daripada plasma akan menarik pula cairan ke dalam ruang intravaskular. Ini
dikenal sebagai ekspander plasma, sebab mengekspansikan volume plasma
lebih dari pada volume yang diberikan. Albumin
Albumin merupakan larutan koloid murni yang berasal dari plasma
manusia. Albumin dibuat dengan pasteurisasi pada suhu 60 0C dalam 10 jam
untuk meminimalisir resiko transmisi virus hepatitis B atau C atau pun virus
imunodefisiensi. Waktu paruh albumin dalam plasma adalah sekitar 16 jam,
dengan sekitar 90% tetap bertahan dalam intravascular 2 jam setelah
pemberian.

Dekstran
Dekstran merupakan semisintetik koloid yang secara komersial dibuat dari
sukrose oleh mesenteroides leukonostok strain B 512 dengan menggunakan enzim
dekstran sukrose. Ini menghasilkan dekstran BM tinggi yang kemudian dilengketkan
oleh hidrolisis asam dan dipisahkan dengan fraksionasi etanol berulang untuk
menghasilkan produk akhir dengan kisaran BM yang relatif sempit. Dekstran untuk
pemakaian klinis tersedia dalam dekstran 70 (BM 70.000) dan dekstran 40 (BM
40.000) dicampur dengan garam faal, dekstrosa atau Ringer laktat.
Dekstran 70 6 % digunakan pada syok hipovolemik dan untuk profilaksis
tromboembolisme dan mempunyai waktu paruh intravaskular sekitar 6 jam.
Pemakaian dekstran untuk mengganti volume darah atau plasma hendaknya
dibatasi sampai 1 liter (1,5 gr/kgBB) karena risiko terjadi perdarahan abnormal.
Batas dosis dekstran yaitu 20 ml/kgBB/hari.
Sekitar 70% dosis dekstran 40 yang diberikan akan dieksresikan ke dalam urine
dalam 24 jam. Molekul- molekul yang lebih besar dieksresikan lewat usus atau
dimakan oleh sel-sel sistem retikoloendotelial. Volume dekstran melebihi 1 L dapat
mengganggu hemostasis. Disfungsi trombosit dan penurunan fibrinogen dan faktor
VIII merupakan alasan timbulnya perdarahan yang meningkat. Reaksi alergi
terhadap dekstran telah dilaporkan, tetapi kekerapan reaksi anafilaktoid mungkin
kurang dari 0,02 %. Dekstran 40 hendaknya jangan dipakai pada syok hipovolemik
karena dapat menyumbat tubulus ginjal dan mengakibatkan gagal ginjal akut.

Gelatin
Gelatin dibuat dengan jalan hidrolisis kolagen sapi. Preparat yang umum
dipasaran adalah gelatin yang mengalami suksinasi seperti Gelofusin dengan
pelarut NaCL isotonik. Gelatin dengan ikatan urea-poligelin ( Haemaccel )
dengan pelarut NaCL isotonik dengan Kalium 5,1 mmol/l dan Ca 6,25 mmol/ L.
Pemberian gelatin agaknya lebih sering menimbulkan reaksi alergik
daripada koloid yang lain. Berkisar dari kemerahan kulit dan pireksia sampai
anafilaksis yang mengancam nyawa. Reaksi-reaksi tersebut berkaitan dengan
pelepasan histamine yang mungkin sebagai akibat efek langsung gelatin pada
sel mast.
Gelatin tidak menarik air dari ruang ekstravaskular sehingga bukan
termasuk ekspander plasma seperti dekstran. Larutan gelatin terutama
diekskresikan lewat ginjal dalam urin, sementara itu gelatin dapat menghasilkan
diuresis yang bagus. Sebagian kecil dieliminasikan lewat usus. Karena gelatin
tidak berpengaruh pada sistem koagulasi, maka tidak ada pembatasan dosis.
Namun, bila terlalu banyak infus, pertimbangkan adanya efek dilusi. Gelatin
dapat diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal bahkan pada pasien
yang menjalani hemodialisis. Indikasi gelatin : Penggantian volume primer pada
hipovolemia, stabilisasi sirkulasi perioperatif. Sedangkan kontraindikasi
adalah infark miokard yang masih baru terjadi, gagal jantung kongestif dan
syok normovolemik.

Hydroxylethyl Starch (HES)


Senyawa kanji hidroksietil ( HES ) merupakan suatu kelompok koloid
sintetik polidisperse yang mempunyai glikogen secara struktural. Kurang dapat
diterima kanji hidroksi (HES ) untuk pengantian volume paling mungkin akibat
laporan-laporan adanya koagulasi abnormal yang menyertai subtitusi plasma ini.
Laporan laporan tentang HES yang memperlihatkan koagulasi darah yang
terganggu dan kecenderungan perdarahan yang meningkat sebagian besar
berdasarkan pemakaian preparat HES berat molekul tinggi ( HMW-HES ). Waktu
paruh dari 90% partikel HES adalah 17 hari.
Seperti semua koloid lainnya, kanji hidroksietil juga berkaitan dengan
reaksi anafilaktoid yang ringan dengan kekerapan kira-kira 0,006 %. Indikasi
pemberian HES adalah :Terapi dan profilaksis defisiensi volume (hipovolemia)
dan syok (terapi penggantian volume) berkaitan dengan pembedahan (syok
hemoragik), cedera (syok traumatik), infeksi (syok septik), kombustio (syok
kombustio). Sedangkan kontra indikasi adalah : Gagal jantung kongestif berat,
Gagal ginjal (kreatinin serum >2 mg/dL dan >177 mikromol/L).Gangguan
koagulasi berat (kecuali kedaruratan yang mengancam nyawa). Dosis
penggunaan HES adalah 20 ml/kgBB/hari.

You might also like