You are on page 1of 11

Anatomi Dan Mekanisme Berkemih

Anatomi saluran kemih


Saluran kemih terdiri dari kandung kemih dan uretra, yang merupakan satu kesatuan
fungsional yang berfungsi menampung urin dan mengeluarkannya secara periodik.

Gambar 1. Anatomi kandung kemih. Kandung kemih dari posisi anteroposterior. Inset: dinding
kandung kemih terdari dari tunika mukosa, submukosa, muskularis dan adventitia.

Kandung kemih
Kandung kemih merupakan kantung yang diselimuti otot polos, berfungsi untuk
menampung dan mengalirkan urin secara volunter. Fungsi ini terutama diperantarai oleh
sistem saraf simpatik. Selama pengisian kandung kemih, terjadi peningkatan resistensi
outlet. Otot detrusor tetap inaktif selama pengisian kandung kemih, tanpa kontraksi
involunter. Ketika kandung kemih telah mencapai volume tertentu, peregangan kandung
kemih merangsang reseptor tension-stretch dan diinterpretasikan oleh otak sebagai sensasi
penuh. Sensasi ini memicu refleks berkemih dari otak. Refleks ini diatur oleh mekanisme
kontrol dari korteks, tergantung pada keadaan lingkungan dan kondisi sistem saraf. Proses
berkemih yang normal dilakukan secara volunteer dengan relaksasi otot panggul dan
uretra, disertai dengan kontraksi kontinyu dari otot detrusor, sehingga dapat mengosongkan
kandung kemih dengan sempurna.(24, 28)
Uretra
Uretra wanita berbentuk seperti tabung dengan panjang 3-5 cm dan lumennya berdiameter
0,6 cm. Dinding uretra tersusun atas beberapa lapis sebagai berikut:
 Lapisan Mukosa. Lapisan paling dalam dengan epitel yang tebal, bagian proksimal
terdiri dari epitel transisional sedangkan bagian distal terdiri dari epitel skuamosa.
Epitel yang tebal ini bersifat kedap air.
 Lapisan Submukosa. Lapisan submukosa banyak mengandung pembuluh darah yang
membentuk pleksus-pleksus pembuluh darah. Kondisi ini menyebabkan lapisan mukosa
terdorong ke dalam lumen uretra sehingga makin kedap air. Selain itu, pada lapisan
submukosa bagian distal dapat ditemukan kelenjar skene.
 Lapisan otot polos destrusor (sirkular-longitudinal). Otot polos detrusor berjalan
sepanjang uretra, merupakan kelanjutan dari otot polos di kandung kemih. Otot polos
ini mengandung reseptor-α yang sensitif terhadap rangsangan simpatis. Otot polos dari
permukaan trigonum juga bersambung ke uretra proksimal, bersatu dengan otot detrusor
uretra. Saat otot destrusor uretra berkontraksi, otot uretra akan memendek dan lumen
akan terbuka atau melebar.
 Lapisan otot lurik rabdosfingter atau otot urogenital. Lapisan ini terdiri dari 3 otot,
yaitu sfingter uretra (mengelilingi 20% uretra bagian proksimal), uretrovagina
(mengelilingi 40% bagian tengah uretra dan vagina) dan otot kompresor (mengelilingi
20% bagian bawah uretra); sedangkan 20% distal uretra terbuka pada vestibulum
vagina.(24, 28)

Gangguan berkemih dan retensio urin


Fisiologi berkemih
Kandung kemih dan struktur sekitarnya memiliki fungsi yang sederhana, yaitu sebagai
tempat penyimpanan urin dan sebagai pengatur fungsi berkemih. Pada keadaan normal,
fungsi tersebut berjalan dengan otomatis, dapat dikendalikan secara volunter, tidak nyeri
dan sempurna. Untuk menjalankan fungsi normalnya, kandung kemih memerlukan
struktur anatomi serta fungsi neurofisiologis yang normal.

Penutupan uretra normal


Penutupan uretra normal dipertahankan oleh faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor
ekstrinsik meliputi otot levator ani, fasia endopelvik, dan perlekatannya ke dinding
panggul dan uretra. Struktur ini membentuk sebuah ‘ayunan’ yang menyelubungi uretra
dan berespons terhadap peningkatan tekanan intra-abdominal dengan menegangkan
uretra sehingga memungkinkan penutupan uretra ke arah posterior. Apabila terjadi
gangguan pada mekanisme ini (mis. terlepasnya fasia endopelvik dari titik fiksasi normal,
lemahnya kekuatan otot, atau kombinasi keduanya), maka tahanan normal akan menurun
sehingga terjadi overactive bladder dan hipermobilitas uretra.
Faktor-faktor intrinsik yang berperan dalam penutupan uretra yaitu otot lurik dalam
dinding uretra, kongesti pembuluh darah pada pleksus vena submukosa, otot halus dalam
dinding uretra, kerapatan lipatan epitel uretra, elastisitas uretra, dan tonus uretra yang
diperantarai oleh reseptor α-adrenergik dari sistem saraf simpatik. Penutupan uretra yang
efektif dipertahankan oleh interaksi antara kekuatan faktor ekstrinsik dan integritas faktor
intrinsik, yang masing-masing dipengaruhi oleh beberapa faktor (tonus dan kekuatan otot,
persarafan, integritas fasia, elastisitas uretra, kerapatan lipatan urotelial, dan vaskularisasi
uretra).(28)

Persarafan
Saluran kemih bawah menerima persarafan dari tiga sistem, yaitu (i) simpatik, (ii)
parasimpatis, dan (iii) sistem saraf somatik (sfingter uretra eksternal). Sistem saraf
simpatik terutama mengendalikan proses penampungan dalam kandung kemih, dan
sistem saraf parasimpatis mengendalikan pengosongan kandung kemih. Sistem saraf
somatik berperan dalam mengendalikan sfingter uretra eksternal dan otot dasar panggul
secara volunter.(28)
Sistem saraf simpatik berasal dari medula spinalis segmen torakolumbalis, setinggi
T11 hingga L2 atau L3. Ganglion dari sistem saraf simpatik terletak dekat dengan korda
spinalis, dimana asetilkolin berfungsi sebagai neurotransmitter praganglionik.
Neurotransmiter pascaganglionik di sistem saraf simpatik adalah norepinefrin, dan
bekerja pada dua jenis reseptor, yaitu reseptor α yang terletak terutama di uretra dan
kandung kemih, dan reseptor β, yang terletak terutama dalam kandung kemih. Stimulasi
reseptor α meningkatkan tonus uretra dan dengan demikian memicu penutupannya,
sedangkan penyekat reseptor α-adrenergik memiliki efek sebaliknya. Stimulasi reseptor β
menurunkan tonus kandung kemih.(24, 28)
Sistem saraf parasimpatis mengendalikan fungsi motorik dari kandung kemih, yaitu
kontraksi kandung kemih dan pengosongan kandung kemih. Sistem saraf parasimpatis
berasal dari medulla spinalis segmen sakral, setinggi S2 hingga S4; sama dengan
persarafan somatik ke dasar panggul, uretra, dan sfingter anal eksternal. Sensasi di
perineum juga dikendalikan oleh serabut sensorik yang terhubung dengan medulla
spinalis pada tingkat yang sama. Oleh karena itu, pemeriksaan refleks perineum, refleks
otot panggul, dan tonus otot panggul atau sfingter anal dapat digunakan untuk evaluasi
klinis saluran kemih bagian bawah. Neuron parasimpatis memiliki bagian praganglionik
yang panjang dan bagian pascaganglionik yang pendek. Baik neuron praganglionik dan
pascaganglionik menggunakan neurotransmitter asetilkolin yang bekerja pada reseptor
muskarinik. Oleh karena asetilkolin merupakan neurotransmitter utama dalam kontraksi
otot detrusor, maka hampir semua obat yang digunakan untuk mengontrol otot detrusor
memiliki sifat antikolinergik.(24, 28)
Gambar 2. Proses berkemih. Saat kandung kemih terisi, sinyal sensorik aferen berjalan melalui
nervus pelvikus dan hipogastrikus ke korda spinalis, kemudian diteruskan ke pusat berkemih di
pons melalui traktus spinotalamikus lateral dan kolumna dorsalis. Stimulasi simpatik dihantarkan
melalui nervus hipogastrikus untuk mempertahankan kerja otot polos di sfinter uretra dan
relaksasi detrusor dalam rangka penampungan urin. Selain itu, sinyal somatik eferen berjalan ke
otot lurik di dasar panggul melalui nervus pudendalis yang berkaitan dengan kendali volunter dari
sfingter uretra eksterna dan peningkatan resistansi uretra yang cepat sebagai respons dari
peningkatan tekanan intravesika. Saat sinyal aferen semakin bertambah seiring dengan pengisian
kandung kemih, maka sinyal akan mencapai ambang batas dimana seseorang menyadari kandung
kemihnya sudah penuh dan disertai dengan kesempatan berkemih. Pada titik tersebut, sinyal dari
pusat berkemih di pons akan berjaan ke korda spinalis segmen sakral melalui traktus
retikulospinais dan kortikospinalis. Stimulasi kolinergik dari detrusor dan relaksaan otot dasar
panggul terjadi setelah ada rangsangan tersebut. Akhirnya proses berkemih dimulai. Beberapa
obat farmakologis memeliki efek pada lokasi yang dilingkari.

Penampungan dan pengosongan kandung kemih melibatkan interaksi dari sistem saraf
simpatik dan parasimpatik. Berbagai perubahan dalam proses ini dipengaruhi oleh berbagai
neurotransmiter nonadrenergik, nonkolinergik dan neuropeptida, yang menyempurnakan impuls
saraf dengan mekanisme fasilitasi atau di korda spinalis dan atau pada tingkat yang lebih tinggi
dari sistem saraf pusat. Dengan demikian, kelainan neurologi pada berbagai tingkat di korda
spinalis dapat mengganggu fungsi saluran kemih bagian bawah.(24, 28)

Proses berkemih
Proses berkemih dipicu oleh sistem saraf perifer di bawah kendali dari sistem saraf pusat. Proses
ini dimulai saat sudah tercapai ambang volume urin dalam kandung kemih, di mana terjadi akan
refleks kontraksi detrusor. Ambang volume ini tidak menetap, dan dapat berubah tergantung pada
sensasi dari perineum, kandung kemih, usus besar, dan rektum serta impuls dari sistem saraf
pusat.

Bagan 1. Sistometrogram pada individu dewasa normal

Korda spinalis dan tingkatan yang lebih tinggi dalam sistem saraf memiliki sifat
inhibisi dan fasilitasi. Pusat fasilitatif yang paling penting di atas korda spinalis adalah
pons, yang merupakan substansia grisea di daerah mesensefalon dan batang otak. Pusat
ini sering disebut pusat bekemih, yang berfungsi sebagai jaras akhir untuk semua neuron
motorik ke kandung kemih. Kerusakan pada korda spinalis di bawah pons dapat
menyebabkan gangguan pengosongan kandung kemih, sedangkan kerusakan di atas pons
mengarah ke obveraktivitas detrusor. Serebelum juga memiliki peran penting, yaitu
sebagai pusat koordinasi antara relaksasi otot dasar panggul dan kontraksi detrusor.
Di atas tingkat ini, korteks serebri dan struktur terkait menginhibisi refleks berkemih.
Dengan demikian, saat ada rangsangan untuk berkemih, korteks melepaskan inhibisi,
sehingga pusat berkemih pons dapat mengirim impuls eferen melalui korda spinalis ke
pusat berkemih di segmen sakral, yang akhirnya menimbulkan kontraksi detrusor dan
berakhir dengan pengosongan kandung kemih.(24, 27, 28)

II.3.2. Gangguan berkemih


Gangguan berkemih adalah gangguan pada proses pengosongan kandung kemih.
Gangguan ini dapat berupa tidak sempurnanya pengosongan kandung kemih, ataupun
berupa pola pengosongan kandung kemih yang tidak normal karena adanya kelainan
sensorimotorik. Ketidaksempurnaan pengosongan kandung kemih dapat disebabkan oleh
abnormalitas pengosongan volunter seperti pada retensio urin. Secara umum, gangguan
berkemih dan retensio urin dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu penurunan
kontraktilitas kandung kemih oleh karena penurunan aktivitas otot detrusor, peningkatan
tahanan otot sfingter uretra, dan penurunan kemampuan relaksasi otot panggul secara
adekuat selama proses berkemih.(32)
Menurut International Continence Society (ICS), proses berkemih yang normal
memerlukan inisiasi kontraksi volunter otot detrusor yang kontinyu serta relaksasi
volunter dari otot dasar panggul dan uretra. Jika kedua proses tersebut berjalan dengan
baik, maka pengosongan kandung kemih akan berjalan dengan sempurna, tanpa
obstruksi. Lebih jauh lagi, Stanton, mengemukakan bahwa gangguan berkemih pada
wanita dapat diukur menggunakan uroflowmetri, dimana akan ditemukan gambaran peak
flow rate yang berulang setelah mencapai 15 ml/detik, dan juga volume residual urin
yang melebihi 200 ml. Stanton menyarankan sebuah klasifikasi gangguan berkemih yang
mempertimbangkan aspek anatomis, fungsional dan neurologis dari proses berkemih
serta aspek relaksasi otot dasar panggul.(33)

II.4. Retensio Urin

II.4.1. Definisi
Retensio urin adalah gangguan proses berkemih, yang disebabkan oleh
ketidakmampuan dalam mengosongkan kandung kemih secara sempurna setelah proses
berkemih yang volunter. Retensio urin dapat dikelompokkan menjadi retensio urin akut
dan kronik. Retensio urin akut, merupakan distensi kandung kemih yang menimbulkan
rasa nyeri, terkadang nyeri hebat yang membutuhkan penanganan segera. Retensio urin
akut dapat mereda sendiri atau dapat berkelanjutan menjadi kronik. Secara kuantitatif,
retensio urin akut didefinisikan sebagai rasa nyeri yang muncul tiba-tiba atau riwayat
tidak berkemih tanpa rasa sakit selama 12 jam dengan bukti adanya distensi kandung
kemih, dan membutuhkan kateterisasi dengan pengeluaran volume urin sama dengan atau
lebih dari kapasitas kandung kemih normal.(34, 35)
Retensio urin kronik merupakan distensi kandung kemih yang tidak menimbulkan rasa
nyeri, dapat menimbulkan inkontinensia overflow dan meningkatkan risiko kerusakan
saluran kemih bagian atas. Secara kuantitaif, retensio urin kronik didefinisikan sebagai
kegagalan pengosongan kandung kemih secara sempurna, dimana dengan kateterisasi
dapat dikeluarkan lebih dari 50 persen kapasitas kandung kemih normal. Urin residu
dalam jumlah besar pada retensio urin kronik merupakan faktor risiko terjadi infeksi
saluran kemih, dimana akan timbul gejala disuria, peningkatan frekuensi serta nyeri
abdomen bagian bawah.(34, 35)
Pengosongan kandung kemih yang tidak sempurna menunjukkan adanya residu
pascaberkemih (postvoid residual/PVR) yang bermakna. Hingga saat ini, penanda adanya
PVR bermakna masih belum disepakati bersama, namun dalam beberapa institusi sudah
dideskripsikan mengenai volume absolute, proporsi kapasitas kandung kemih, atau
adanya gejala yang relevan. Secara patofisiologi, retensio urin disebabkan oleh satu atau
lebih faktor – faktor terkait, yaitu penurunan kontraktilitas kandung kemih, penurunan
kontraksi detrusor, melemahnya anatomi outlet, melemahnya relaksasi outlet, atau
kerusakan neurologis yang terkait proses berkemih.(34)
Secara kuantitatif, retensio urin didefinisikan sebagai tidak adanya proses berkemih
spontan, enam jam setelah berkemih yang terakhir atau kateter tetap dilepaskan, atau
dapat berkemih spontan dengan urin sisa > 200 ml untuk kasus obstetrik.(36, 37) Sedangkan
retensio urin pada kasus ginekologi adalah jika tidak dapat berkemih spontan enam jam
setelah kateter tetap dilepaskan atau dapat berkemih spontan dengan urin sisa > 100
ml.(33)

Tabel 1. Penyebab retensio urin dan obstruksi collum vesika pada wanita
(diadaptasi dari referensi (34))

Anatomik Fungsional

Ekstrinsik Gangguan koordinasi

Prolaps organ panggul Primary bladder neck obstruction

Penyebab ginekologis (mis. fibroid Fowler’s syndrome


uterus, tumor)
Pseudo-dyssynergia
Pesarium yang tidak terpasang
dengan benar Detrusor-external sphincter
dyssynergia
Prosedur bedah anti-inkontinens
Neurological disease (upper motor
neurone lesions)

Uretra Perioperatif

Striktur uretra Nyeri

Stenosis meatus Analgesik atau anestesi ( epidural


atau spinal)
Karunkulus uretra trombotik

Divertikulum

Kista atau abses kelenjar Skene

Luminal Infeksi atau inflamasi

Vesikolitiasis atau uretrolitiasis Infeksi saluran kemih


Tumor vesika atau uretra Vulvovaginitis akut

Ureterokel Liken planus/liken sklerosis vagina

Benda asing Herpes genitalis

Gangguan kontraktilitas detrusor Farmakologis

Perubahan degeneratif (senilis) Opiat

Diabetes mellitus Antipsikotik dan antidepresan

Penyakit neurologis (lesi lower motor Antimuskarinik


neuron/LMN)
Agonis adrenergic-α

II.4.2.Retensio urin pasca bedah


Retensio urin juga dapat terjadi pascabedah. Faktor – faktor yang diduga berperan adalah
adanya trauma terkait instrument bedah, overdistensi kandung kemih, penurunan
kontraktilitas kandung kemih, peningkatan resistansi outlet, efek nyeri (inhibisi
nosiseptif), pengaruh obat-obatan, adanya kelainan outlet prabedah dan penurunan
aktivitas refleks berkemih.(34)

Peran anestesi dalam terjadinya retensio urin pascabedah


Berkaitan dengan anestesi, banyak penelitian yang mengemukakan jenis anestesi dan
analgesik tertentu yang berperan dalam terjadinya retensio urin pascabedah. Pada bedah
anti-inkontinensia, ternyata prosedur anestesi regional (spinal dan epidural) memiliki
risiko lebih tinggi dibandingkan anestesi umum untuk terjadinya retensio urin
pascabedah.(38) Anestesi umum dapat menyebabkan atonia pada kandung kemih melalui
penekanan impuls pada sistem saraf otonom. Beberapa penelitian pada binatang
percobaan telah menunjukkan bahwa agen sedatif-hipnotik dan anestesi volatil dapat
menekan refleks berkemih. Sementara itu, anestesi lokal seperti anestesi spinal dapat
menyebabkan retensio dengan menghambat transmisi serabut aferen dan eferen yang
berjalan dari dan menuju kandung kemih, pada neuron setinggi S2 hingga S4.(14, 31)

Tabel 2. Efek anestesi terhadap fungsi vesika dan uretra

Jenis anestesi Jenis obat Efek terhadap Efek terhadap tonus


detrusor uretra

Intravena Thiopental Menurunkan kontraksi Menurunkan tonus


Ketamin
Volatil Halotan Menurunkan kontraksi Tidak ada efek

Benzodiazepin Diazepam Menurunkan kontraksi Tidak ada efek

Morfin Morfin Menurunkan kontraksi Meningkatkan tonus uretra


Fentanyl Menurunkan kontraksi Menurunkan tonus
Alfentanyl Menurunkan kontraksi Menurunkan tonus
Kurare Suksinilkolin Tidak ada efek Tidak ada efek
Pancuronium

Peran jenis tindakan bedah dalam terjadinya retensio urin pascabedah


Selain peran anestesi, mekanisme retensio urin pascabedah, bergantung dengan prosedur
bedah yang digunakan. Retensio urin akut muncul lebih sering setelah operasi radikal
dibanding operasi kelainan jinak; hal ini disebabkan oleh cedera pada persarafan pelvis,
terutama jalur parasimpatis eferen ke kandung kemih, yang terjadi selama diseksi ligamen
kardinal. Walaupun begitu, semua tindakan bedah rekonstruksi panggul memiliki risiko
menyebabkan retensio urin. Tindakan levator plication dan Kelly plication merupakan
contoh tindakan yang meningkatkan risiko terjadinya retensio urin pasca bedah.(15) Faktor
risiko lain yang diduga berperan terhadap terjadinya retensio urin pasca bedah adalah usia
pasien, indeks massa tubuh (IMT), jenis sistokel derajat tinggi, banyaknya kehilangan
cairan intra operatif, serta adanya infeksi saluran kemih pasca bedah.(17,39,40).

Peran obat-obatan dalam terjadinya retensio urin pascabedah


Setidaknya 10% penyebab retensio urin adalah penggunaan obat-obatan tertentu. Di
dalamnya termasuk pasien – pasien ginekologis yang mengkonsumsi berbagai obat-
obatan anti-inkontinensia atau jenis obat lainnya. Retensio urin paling sering terjadi pada
penggunaan obat – obat dengan efek antikolinergik, opioid, agonis reseptor α-adrenergik,
benzodiazepin, dan obat lainnya (Tabel 4). Pasien yang lebih tua memiliki risiko lebih
tinggi, terutama pada pasien prolaps yang rata-rata lanjut usia. Setiap obat ini terutama
bekerja baik secara langsung terhadap vesika dan ureter maupun melalui persarafan
terkait proses berkemih.(41)

Tabel 3. Obat-obatan yang dapat menyebabkan retensio urin

Obat – obatan dengan efek antikolinergik


Antipsikotik (klorpromazin, thioridazin)
Antidepresan trisiklik
Antiaritmia kelas I (disopyramide, flecainide)
Antispasmodik (hyoscine butylbromida, scopolamine)
Antiparkinson (biperiden, dexetimide)
Atropin
Antogonis reseptor H1 (difenhidramin, klorfeniramin)
Antikolinergik untuk asma dan PPOK (ipratropium, oxitropium)
Antikolinergik untuk overactive bladder (tolterodine, tamsulosine)

Obat – obatan analgetik (morfin)


Agonis reseptor α-adrenergik (efedrin, noradrenalin)
OAINS (Celecoxib)
Benzodiazepin (diazepam)
Relaksan detrusor
Antagonis kanal kalsium
Antidepresan selain trisiklik (SSRI, SNRI)
Antiparkinson tanpa efek antikolinergik

ISK dan retensio urin pasca bedah


ISK merupakan salah satu penyebab terjadinya retensio urin pasca bedah. Infeksi dalam
saluran kemih bagian bawah, termasuk ke dalamnya sistitis dan uretritis, memiliki
dampak langsung dan tidak langsung terhadap proses terjadinya retensio urin pasca
bedah. Secara langsung, efek inflamasi yang terjadi pada organ terkait (vesika dan
uretra), dapat menimbulkan edema dan nyeri. Edema pada outlet dapat menimbulkan
obstruksi, sehingga terjadi retensio urin. Begitu juga dengan nyeri, yang dapat
merangsang penutupan sfingter uretra.(42, 43)
Secara tidak langsung, proses inflamasi dan infeksi yang terjadi memicu pelepasan
berbagai macam mediator inflamasi. Mediator inflamasi ini dapat secara langsung
menghambat aktivitas kontraksi otot detrusor dan uretra. Selain itu, mediator – mediator
inflamasi ini juga dapat menghambat penghantaran impuls yang berperan dalam refleks
berkemih. Oleh karena itu, infeksi saluran kemih merupakan faktor penting dalam
terjadinya retensio urin pasca bedah, terutama pada bedah ginekologi yang melibatkan
struktur vesikovagina. (42, 43)
Diagnosis dari infeksi saluran kemih dimulai dapat dimulai dari keluhan pasien, ataupun dari
pemeriksaan skrining. Pasien dengan keluhan nyeri berkemih dan anyang-anyangan dapat
mengarahkan ke ISK. Pemeriksaan skrining yang dapat dilakukan adalah dengan urinalisis
sederhana dan uji dipstik. Hasil pemeriksaan yang menunjukkan adanya ISK adalah apabila
ditemukan uji Nitrit positif atau Leukosit Esterase (LE) positif. Sebagian besar bakteri penyebab
ISK merupakan produsen Nitrit dalam jumlah besar, dimana dalam keadaan normal, tidak akan
ditemukan nitrit. Selain itu LE adalah enzim khas dalam neutrofil, sehingga bila terjadi ISK, LE
akan meningkat tajam. Diagnosis menggunakan Nitrit dan LE memiliki spesifisitas 94% hingga
98% dan sensitivitas bergantung pada jumlah bakteri. Baku emas diagnosis ISK adalah kultur
urin. Namun, mengingat efisiensi waktu dan biaya, uji dipstik dan urinalisis sederhana cukup
dapat membantu mengarahkan diagnosis ISK. Metoda diagnostik lain untuk menemukan ISK
adalah dengan sistoskopi dan pemeriksaan radiologis.(27)
Penggunaan material jahitan untuk bedah prolaps organ panggul
Bedah prolaps paling sering menggunakan benang absorbable yang cepat diserap. Prosedur
bedah prolaps berkaitan dengan menyambungkan dan melekatkan jaringan ikat seperti fasia. Oleh
karena itu, seperti pada bedah terkait fasia lainnya (mis. hernia inguinalis), maka benang yang
paling baik digunakan adalah benang absorbable yang lambat diserap atau benang
nonabsorbable. Bagaimanapun, benang permanen di vagina, dapat menyebabkan infeksi,
granulasi, perdarahan dan pembentukan fistula. Benang yang diserap lambat dapat menjadi
pilihan dalam kasus ini.
Untuk bedah prolaps yang rekuren, termasuk fiksasi ligamen sakrospinosum, baik benang
absorbable maupun nonabsorbable digunakan dalam frekuensi yang sama. Beberapa penelitian
observasional menyarankan penggunaan benang nonabsorbable seperti polyester, propylene dan
PTFE. Namun, hingga kini, benang yang paling sering digunakan dan memiliki kemungkinan
kecil komplikasi, seperti disebut di atas, adalah benang absorbable yang cepat diserap (mis.
polyglactin) dan yang lambat diserap (mis. catgut). Pemilihan benang tidak hanya terkait dengan
efek terapeutik pascabedah, tetapi juga kemungkinan terjadinya komplikasi akut. Pemilihan
benang yang lambat diserap atau nonabsorbable diperkirakan menimbulkan efek tegangan lebih
lama. Apabila tegangan yang terjadi melibatkan struktur outlet vesika, maka akan terjadi retensio
urin. Oleh karena itu, seringkali untuk mencegah terjadinya retensio urin pascabedah, benang
yang dipakai adalah yang diserap dengan cepat.(44, 45)

Diagnosis retensio urin pascabedah


Sebagian besar penelitian tidak menyebutkan secara spesifik kriteria diagnosis untuk retensio urin
pasca bedah, tetapi hanya menggunakan penilaian klinis saja. Selain itu, belum ada kesepakatan
antar ahli untuk menentukan batas volume urin residu yang menunjukkan adanya retensio urin.
Hingga saat ini, beberapa metode telah dikembangkan untuk mendiagnosis retensio urin pasca
bedah, yaitu dengan penilaian klinis (anamnesis dan pemeriksaan fisik), kateterisasi kandung
kemih, serta dengan ultrasonografi.
1. Penilaian klinis
Retensio urin pasca bedah secara konvensional ditandai oleh nyeri dan rasa tidak nyaman di
bagian bawah abdomen yang tidak berkaitan dengan luka operasi. Namun gejala ini seringkali
tidak dirasakan oleh pasien yang mendapatkan anestesi umum, memiliki komorbiditas seperti
cedera tulang belakang dan stroke, atau masih dalam pengaruh sedasi, sehingga tidak dapat
mengutarakan gejala yang dirasakannya secara efektif.
Adanya retensio urin dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan fisik, berupa palpasi dan perkusi
di area suprapubis.. Pada perkusi kandung kemih di daerah umbilikus dapat ditemukan bunyi
pekak; dimana diperkirakan volume urin dalam kandung kemih mencapai 500 ml. Bila bunyi
pekak melebihi bagian atas umbilikus, maka volume urin diperkirakan mencapai 1.000 ml atau
lebih. Kekurangan dari teknik ini adalah rasa tidak nyaman serta dapat memicu refleks vagal yang
dirangsang oleh rasa nyeri.
Selain itu, metode ini memiliki sensitivitas yang rendah untuk pengukuran yang akurat dari
volume urin residu. Pavlin et al mengemukakan bahwa sebanyak 61 persen dari pasien yang
menjalani operasi dan dirawat di unit perawatan pascaanestesia, tidak mengeluhkan gejala
distensi kandung kemih, padahal volume urin berdasarkan pengukuran ultrasonografi sudah
melewati 600 mL. Penelitian lain menemukan bahwa hampir seperempat pasien rawat inap tidak
menunjukkan gejala klinis, walaupun ultrasonografi sudah menunjukkan adanya peregangan yang
berlebihan. Oleh karena itu, penilaian klinis dengan perkusi dan palpasi untuk diagnosis sudah
lama ditinggalkan.

2. Kateterisasi kandung kemih


Kateterisasi kandung kemih dapat digunakan baik sebagai alat diagnostik maupun sebagai
terapi untuk retensio urin pascabedah. Sebagai alat diagnostik, kateterisasi dapat menentukan
volume urin residu pada pasien yang asimtomatik dan simtomatik. Sebagai alat terapeutik,
kateterisasi dapat dilakukan sebagai prosedur pascabedah untuk mencegah dan mengatasi retensio
urin. Namun, prosedur kateterisasi pascabedah masih belum rutin dilakukan di seluruh pusat
penanganan prolaps, oleh karena kateterisasi merupakan prosedur invasif dengan berbagai
komplikasi yang dapat terjadi, seperti infeksi saluran kemih, trauma uretra dan rasa tidak nyaman
bagi pasien.

3. Ultrasonografi
Meskipun ultrasonografi sudah sering digunakan untuk mengevaluasi fungsi kandung kemih,
penggunaannya sebagai alat diagnostik retensio urin pascabedah baru populer pada dua dekade
terakhir. Sebagian besar penelitian mengenai retensio urin pascabedah menggunakan
ultrasonografi untuk memperkirakan volume urin residu. Walaupun begitu, seperti yang
dikemukakan sebelumnya, hingga saat ini setiap penelitian menggunakan batas volume urin
residu yang berbeda – beda; ada yang menggunakan 200 mL, ada pula yang menggunakan 300
mL sebagai batas. International Continence Society menyatakan bahwa retensio urin pada kasus –
kasus bukan pascapartus adalah jika melebihi atau sama dengan 100 mL.
Pemeriksaan USG untuk kandung kemih sering dilakukan transabdominal menggunakan probe di
region suprapubik untuk memperlihatkn potongan transversal dan sagital. Pada wanita, kandung
kemih berada di depan dan bawah uterus, sehingga jumlah urin residu yang kecil seringkali
disalahinterpretasikan sebagai vagina. Setelah proses berkemih selesai, seharusnya tidak
ditemukan urin residu pada kandung kemih.
Ultrasonografi lebih baik dibandingkan dengan kateterisasi, karena dapat mencegah ISK terkait
kateter. Selain itu, pasien juga lebih merasa nyaman. Namun, seringkali pemeriksaan
ultrasonografi tidak akurat pada pasien pascabedah uroginekologi, terutama bila ditemukan
kelainan pelvis.(46)
Retensio urin merupakan salah satu komplikasi yang umum terjadi pasca persalinan dan memiliki
dampak yang luas. Berbagai dampak yang ditimbulkan adalah dampak klinis, psikologis dan
finansial yang menyebabkan morbiditas dan mortalitas akibat RUPP. Retensio urin pasca
persalinan gejala klinisnya dapat berupa keluhan Keluhannya dapat berupa buang air kecil
sedikit, buang air kecil tidak lampias, kandung kemih terasa penuh, waktu berkemih yang lama,
tingginya frekuensi berkemih dan dapat berakhir dengan ketidakmampuan pasien untuk
berkemih. TSedangkan tanda klinisnya adalah tingginya residu urin menjelang dan saat
persalinan kala II. Beberapa faktor risiko yang mungkin menyebabkan retensio urin antara lain
persalinan primigravida, partus kala II lama, robekan jalan lahir yang luas, serta persalinan
dengan menggunakan alat seperti forsep atau vakum.
PadahalDan jika kita dapat memprediksi kemungkinan terjadinya suatu retensio urin kita akan
dapat melakukan penatalaksanaan dengan memasang kateter menetap selama 24 jam dan setelah
itu 6 jam kemudian kita dapat mengetahuimengukur volume residu urinnya dan jika kurang dari
200 ccmL dikatakan normal dengan kata lain akhirnya tidak terjadi retensio urin. Atau kita dapat
mengobservasi pasien hingga 6 jam pasca persalinan dengan mengukur volume residu urin. Jika
kurang dari 200 ccmL, berarti volume residu urin dikatakan normal. Dengan kata lain tidak ada
retensio urin. Akan tetapi, tatalaksana ini tidak dilakukan oleh penolong persalinan (dokter
obstetri dan ginekologi atau bidan) karena ketidakmampuan mereka dalam memprediksi
kemungkinan terjadinya retensio urin pasca persalinan, sehingga akhirnya terjadi retensio urin di
kemudian waktu yang dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas.

Berdasarkan uraian di atas, perlu ditentukan metode non-invasif diagnosis retensio urin berupa
scoring system, mengingat banyaknya pasien gagal dan terlambat didiagnosis adanya retensio
urin. Hal itu tentu dapat itu menimbulkan dampak morbiditas berupa distensi kandung kemih
yang berlebih, ruptur kandung kemih, sampai menyebabkan mortalitas berupa kematian karena
uremia dan sepsis. Dengan sistem skoring ini diharapkan angka morbiditas dan mortalitas RUPP
dapat diturunkan secara signifikan karena kita dapat melakukan diagnosis lebih awal dan
tatalaksana pencegahan terjadinya retensio urin dengan baik.

You might also like