Professional Documents
Culture Documents
Disusun oleh :
Pembimbing :
Dr. Deyna P. Pahlevy, Sp.OG
Sampai saat ini ketuban pecah dini (KPD) masih merupakan masalah di
dunia termasuk Indonesia, yang terkait dengan prevalensi, prematuritas, morbiditas
dan mortalitas perinatal. Ketuban pecah dini (PROM, premature rupture of
membrane) adalah kondisi dimana ketuban pecah sebelum proses persalinan dan
usia gestasi ≥ 37 minggu. Jika ketuban pecah pada usia gestasi <37 minggu maka
disebut ketuban pecah dini pada kehamilan premature (PPROM, preterm premature
rupture of membrane) (POGI, 2016).
Ketuban pecah dini (KPD) diduga terjadi karena adanya pengurangan
kekuatan selaput ketuban, peningkatan tekanan intrauterine maupun keduanya.
Sebagian besar penelitian menyebutkan bahwa KPD terjadi karena berkurangnya
kekuatan selaput ketuban. Selaput ketuban dapat kehilangan elastisitasnya karena
bakteri maupun his. Pada beberapa penelitian diketahui bahwa bakteri penyebab
infeksi adalah bakteri yang merupakan flora normal vagina maupun servix.
Mekanisme infeksi ini belum diketahui pasti. Namun diduga hal ini terjadi karena
aktivitas uteri yang tidak diketahui yang menyebabkan perubahan servix yang dapat
memfasilitasi terjadinya penyebaran infeksi. Faktor lainnya yang membantu
penyebaran infeksi adalah serviks inkompeten, vaginal toucher (VT) yang
berulang-ulang dan koitus (Wrdhani, 2014). Moegni (1999) mengemukakan bahwa
banyak teori yang menyebabkan KPD, mulai dari defek kromosom, kelainan
kolagen sampai infeksi. Namun sebagian besar kasus disebabkan oleh infeksi.
Ketuban Pecah Dini (KPD) merupakan salah satu penyebab terjadinya
infeksi pada kehamilan (Caughey et al., 2008). KPD terjadi pada sekitar 10%
kehamilan (Jazayeri, 2015). Risiko infeksi pada KPD meningkat seiring dengan
lamanya kejadian KPD. Risiko terjadinya korioamnitis pada KPD <24 jam adalah
<10%, dan meningkat hingga 40% jika KPD terjadi >24 jam (Seaward et al., 1997).
Walaupun infeksi menjadi perhatian utama, komplikasi lainnya pada KPD
termasuk solusio plasenta, hipoplasia paru janin, fetal hipoksia akibat kompresi tali
pusat atau prolaps tali pusat, fetal deformation syndrome, persalinan prematur,
2
meningkatnya insiden seksio sesarea, atau gagalnya persalinan normal perlu
diwaspadai (Garite, 2004 dan Soewarto, 2007).
3
BAB II
STATUS PASIEN
A. ANAMNESIS
1. Identitas Penderita
Nama : Ny. W
Umur : 23 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
BB : 53 kg
TB : 147 cm
Alamat : Petahanan, Kebumen
Status Perkawinan : Kawin
Agama : Islam
Tanggal Masuk : 10 Agustus 2018
Tanggal Periksa : 10 Agustus 2018
No RM : 389xxx
2. Keluhan Utama
Rembes-rembes
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Seorang G1P0A0, 23 tahun, usia kehamilan: 39 minggu datang
sendiri dengan keluhan rembes-rembes. Pasien merasa hamil 9 bulan. Gerak
janin masih dirasakan. Kenceng-kenceng teratur belum dirasakan. Pasien
mengeluhkan keluarnya rembes-rembes dirasakan sudah sejak 2 hari
SMRS. Lendir darah (-).
4
Riwayat sakit ginjal : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat alergi obat/ makanan : disangkal
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat DM : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat jantung : disangkal
6. Riwayat Haid
Menarche : 13 tahun
Lama menstruasi : 5-7 hari
Siklus menstruasi : 28 hari
7. Riwayat Obstetri
Hamil I : Hamil Sekarang
HPMT : 10 November 2017
HPL : 17 Agustus 2018
UK : 39 minggu
8. Riwayat Perkawinan
Menikah 1x, telah menikah sejak berusia 21 tahun, usia pernikahan 1 tahun.
9. Riwayat KB
Belum pernah KB sebelumnya.
B. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalis
a. Keadaan Umum : Sedang, compos mentis, gizi kesan cukup
b. Tanda Vital :
Tensi : 129/80 mmHg
Nadi : 93x/menit
Respiratory Rate : 20 x/menit
5
Suhu : 36,50C
c. Kepala : normocephal
d. Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
e. THT : discharge (-/-)
f. Leher : kelenjar getah bening tidak membesar
g. Thorak :
1) Cor
Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
Palpasi : iktus kordis tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : Bunyi Jantung I-II intensitas normal, reguler,
bising (-)
2) Pulmo
Inspeksi : pengembangan dada kanan = kiri
Palpasi : fremitus raba dada kanan = kiri
Perkusi : sonor // sonor
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), suara napas tambahan
(-/-), wheezing (-)
h. Abdomen :
Inspeksi : striae gravidarum (+)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi :supel, nyeri tekan (-), teraba janin tunggal
intrauterine, TFU 35 cm, melintang kepala di kanan,
punggung di bawah, HIS (-), DJJ
153x/menit/regular.
Perkusi : Timpani
i. Genital :Vaginal Touche: Vulva dan urethra tenang, dinding
vagina dalam batas normal, portio livide mecucu di
belakang, pembukaan 0 cm, tampak cairan bening
mengalir dari OUE, AK (+), KK (+), STLD (-),
nitrazin test (+).
6
j. Ekstremitas :
oedema akral dingin
- - - -
- - - -
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. LABORATORIUM (10/08/2018 11:57):
Hb : 12.4 g/dL HbsAg non reaktif
Hct : 37 %
AL : 9.9 x103/uL
AT : 285 x103/uL
AE : 4.0 x106/uL
Golongan Darah: B
Index Eritrosit
MCV : 91/um
MCH : 31 pg
MCHC : 34 g/dl
Hitung Jenis
Eosinophil : 2.10%
Basophil : 0.30%
Netrofil : 70.90%
Limfosit : 19.40%
Monosit : 7.30%
Hemostasis
BT : 2.00 menit
CT : 3.30 menit
Kimia Klinik
GDS : 111 mg/dl
SGOT : 19 U/L
SGPT : 13 U/L
Albumin : 2.6 g/dL
7
2. Ultrasonografi (USG) tanggal 10 Agustus 2018
8
Kesimpulan: janin dalam keadaan baik
D. SIMPULAN
Seorang G1P0A0, 23 tahun, usia kehamilan: 39 minggu, riwayat obstetri
dan fertilitas belum dapat dinilai, teraba janin tunggal intrauterine, melintang
kepala di kanan, punggung di bawah. HIS (-), DJJ 153x/menit/regular, portio
livide mecucu di belakang, pembukaan 0 cm, AK (+), KK (+), STLD (-).
9
E. DIAGNOSIS AWAL
Ketuban pecah dini 2 hari letak lintang pada primigravida hamil aterm belum
dalam persalinan
F. PROGNOSIS
Dubia
G. TERAPI
1. Pro-SCTP emergency
2. Informed consent
3. KIE keluarga
4. Injeksi Ampicillin 1gr
5. Injeksi Ranitidin 50 mg
H. LAPORAN OPERASI
Ruang : OK IGD
Tanggal, jam : 10 Agustus 2018, 16.45-17.30
Nama tindakan/Jenis operasi : SCTP/emergency
Tim operasi
Leader : dr. Nurdiana, Sp.OG
Asisten : Wahyu
Tim anestesi
Leader : dr. Elisma, Sp. An
Jenis anestesi : Regional anastesi
Diagosis preoperasi : Ketuban pecah dini 2 hari letak lintang pada
primigravida hamil aterm belum dalam
persalinan
Diagnosis postoperasi : Post SCTP emergency atas indikasi ketuban
pecah dini 2 hari letak lintang pada
primigravida hamil aterm
Jumlah perdarahan : 250 cc
10
Prosedur operasi :
1. Prosedur operasi rutin.
2. Pasien dibaringkan di atas meja operasi dalam keadaan narkose.
3. Dilakukan desinfeksi daerah operasi dan sekitarnya, lalu dipasang duk
steril.
4. Dilakukan insisi pada bekas operasi lama di linea mediana.
5. Insisi diperdalam lapis demi lapis hingga peritoneum parietal. Tampak
perlekatan uterus anterior dengan peritoneum parietalis, tampak SBR
perlekatan dengan VU. Diputuskan dilakukan insisi semilunar di atas
SBR (corpus uteri).
6. Air ketuban habis, operator menarik kaki terjauh. Lahir bayi perempuan,
berat 2000 gram, AS 5-6-7 anus (+)
7. Tali pusat diklem, plasenta dilahirkan lengkap berbentuk cakram ukuran
20x20x1.5 cm
8. Bloody angle diklem,perdarahan teratasi
9. SPR dijahit secara jelujur terkunci
10. Dilakukan reperitonealisasi viscerale dan parietale
11. Dinding abdomen dijahit lapis demi lapis sampai kutis
12. Operasi selesai
13. KU ibu sebelum, saat, dan sesudah operasi baik.
I. FOLLOW UP
1. 10 Agustus 2018
Post Operasi
P1A0, 23 tahun
Instruksi post operasi :
1. Awasi keadaan umum, vital sign s.d 24 jam post operasi
2. Awasi tanda-tanda perdarahan sampai 24 jam post operasi
3. Puasa sampai peristaltik usus (+)
11
4. Terapi :
a. Injeksi Ceftriaxon 2 gram/ 12 jam
b. Injeksi ketorolac 1 amp/ 8 jam
c. Etabion 2x1
d. Awasi KUVS/ tanda perdarahan
2 jam Post Operasi
P1A0, 23 tahun
Keluhan : nyeri post op (+), ASI (+)
Keadaan Umum : baik, compos mentis
Tanda Vital : Tekanan darah: 120/90 mmHg RR : 20 x/menit
Nadi : 80 x/menit Suhu : 36,80C
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Thorak : Cor dan Pulmo dalam batas normal
Abdomen : supel, nyeri tekan (-), TFU : 2 jari dibawah pusat, tampak
luka operasi tertutup verban, kontraksi baik.
Genital : darah (-), lochea (+), discharge (-)
Diagnosis : Post SCTP em ai letak lintang KPD pada primigravida
hamil aterm
Rencana Terapi
a. Mobilisasi
b. Diet TKTP
c. ASI
d. Injeksi ketorolac 1 ampul/8 jam
e. Injeksi ceftriaxone 2 gr /12 jam
f. Etabion 2x1
2. 11 Agustus 2018
06.00 DPH 1
P1A0, 23 tahun
Keluhan : nyeri post op (+)
Keadaan Umum : baik, compos mentis
12
Tanda Vital : Tekanan darah: 111/65 mmHg RR : 17 x/menit
Nadi : 108 x/menit Suhu : 360C
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Thorak : Cor dan Pulmo dalam batas normal
Abdomen : supel (+), nyeri tekan (-)
Genital : darah (-), lokia (+)
Diagnosis : Post SCTP em ai letak lintang KPD pada primigravida
hamil aterm DPH 1
Terapi
a. Injeksi ketorolac 1 ampul/8 jam
b. Injeksi ceftriaxone 2 gr /12 jam
c. Etabion 2x1
b. 12 Agustus 2018
06.00 DPH 2
P1A0, 23 tahun
Keluhan : nyeri post op (+)
Keadaan Umum : baik, compos mentis
Tanda Vital : Tekanan darah: 104/74 mmHg RR : 20 x/menit
Nadi : 112 x/menit Suhu : 36,20C
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Thorak : Cor dan Pulmo dalam batas normal
Abdomen : supel (+), nyeri tekan (-)
Genital : darah (-), lokia (+)
Diagnosis : Post SCTP em ai letak lintang KPD pada primigravida
hamil aterm DPH 2
Terapi
a. Cefadroxil 2x500mg
b. Asam mefenamat 3x500mg
c. Etabion 2x1
13
c. 13 Agustus 2018
06.00 DPH 3
P1A0, 23 tahun
Keluhan : nyeri post op (+)
Keadaan Umum : baik, compos mentis
Tanda Vital : Tekanan darah: 100/61 mmHg RR : 18 x/menit
Nadi : 85 x/menit Suhu : 36,20C
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Thorak : Cor dan Pulmo dalam batas normal
Abdomen : supel (+), nyeri tekan (-)
Genital : darah (-), lokia (+)
Diagnosis : Post SCTP em ai letak lintang KPD pada primigravida
hamil aterm DPH 3
Terapi
a. Cefadroxil 2x500mg
b. Asam mefenamat 3x500mg
c. Etabion 2x1
d. Boleh pulang
14
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
15
pendataran serviks, mendapatkan sampel dan mendiagnosis KPD aterm
secara visual. Jika cairan amnion jelas terlihat mengalir dari serviks,
tidak diperlukan lagi pemeriksaan lainnya untuk mengkonfirmasi
diagnosis (Wardhani, 2014; POGI, 2016).
Jika diagnosis tidak dapat dikonfirmasi, lakukan tes pH dari
forniks posterior vagina (pH cairan amnion biasanya ~ 7.1-7.3
sedangkan sekret vagina ~ 4.5 -6) dan cari arborization of fluid dari
forniks posterior vagina. Jika tidak terlihat adanya aliran cairan amnion,
pasien tersebut dapat dipulangkan dari rumah sakit, kecuali jika terdapat
kecurigaan yang kuat ketuban pecah dini. Semua presentasi bukan
kepala yang datang dengan KPD aterm harus dilakukan pemeriksaan
digital vagina untuk menyingkirkan kemungkinaan adanya prolaps tali
pusat (Medina, 2006; Wardhani, 2014).
2. Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan USG dapat berguna untuk melengkapi diagnosis
untuk menilai indeks cairan amnion. Jika didapatkan volume cairan
amnion atau indeks cairan amnion yang berkurang tanpa adanya
abnormalitas ginjal janin dan tidak adanya pertumbuhan janin terhambat
(PJT) maka kecurigaan akan ketuban pecah sangatlah besar, walaupun
normalnya volume cairan ketuban tidak menyingkirkan diagnosis.
Selain itu USG dapat digunakan untuk menilai taksiran berat janin, usia
gestasi dan presentasi janin, dan kelainan kongenital janin (Wardhani,
2014; POGI, 2016).
3. Pemeriksaan Laboratorium
Pada beberapa kasus, diperlukan tes laboratorium untuk
menyingkirkan kemungkinan lain keluarnya cairan/ duh dari vagina/
perineum. Jika diagnosis KPD aterm masih belum jelas setelah
menjalani pemeriksaan fisik, tes nitrazin dan tes fern, dapat
dipertimbangkan. Pemeriksaan seperti insulin-like growth factor
binding protein 1 (IGFBP-1) sebagai penanda dari persalinan
preterm,kebocoran cairan amnion, atau infeksi vagina terbukti memiliki
16
sensitivitas yang rendah. Penanda tersebut juga dapat dipengaruhi
dengan konsumsi alkohol. Selain itu, pemeriksaan lain seperti
pemeriksaan darah ibu dan CRP pada cairan vagina tidak memprediksi
infeksi neonatus pada KPD preterm (Medina, 2006; Wardhani, 2014).
C. Faktor Resiko
1. Kehamilan Preterm
2. Riayat Infeksi Seksual
3. Keadaan Sosioekonomi rendah
4. Riwayat persalinan imatur
5. Riwayat KPD kehamilan selanjutnya
6. Kehamilan multipel
7. Polihidramnion
8. Perdarahan pervaginam
9. Prosedur pemeriksaan sirklase dan amniocentesis
(Medina, 2006)
17
D. Tatalaksana
18
E. Komplikasi
1. Komplikasi Ibu
Komplikasi pada ibu yang terjadi biasanya berupa infeksi
intrauterin.Infeksi tersebut dapat berupa endomyometritis, maupun
korioamnionitis yang berujung pada sepsis (POGI, 2016).
2. Komplikasi Janin
Salah satu komplikasi yang paling sering terjadi adalah persalinan
lebih awal. Bila KPD terjadi sangat cepat, neonatus yang lahir hidup dapat
mengalami sekuele seperti malpresentasi, kompresi tali pusat,
oligohidramnion, necrotizing enterocolitis, gangguan neurologi, perdarahan
intraventrikel, dan sindrom distress pernapasan. Kortikosteroid
(betametason 12 mg IM 2x 24 jam) diberikan kepada perempuan dengan
persalinan prematur sebelumnya pada 24-<34 minggu efektif dalam
mencegah sindrom distres pernapasan, perdarahan intraventrikel,
enterokolitis nekrotikans dan mortalitas neonatal (POGI, 2016).
19
2. HIPOKSIA JANIN (FETAL HIPOKSIA)
A. Definisi
Hipoksia janin adalah suatu keadaan rendahnya kadar oksigen
dan meningkatnya kadar karbon dioksida dalam darah janin. Keadaan
tersebut dapat terjadi pada antepartum maupun intrapartum.
B. Etiologi
Hipoksia intrauteri berhubungan dengan kondisi ibu, placenta, dan
fetus, dengan manifestasi yang berbeda-beda (Hutter et al, 2010). Kondisi
hipoksia pada kehamilan dapat dibagi menjadi 3 subtipe: (1) hipoksia
preplacental, di mana ibu dan janin mengalami hipoksia, misal pada ibu
yang tinggal di dataran tinggi atau ibu dengan penyakit jantung sianotik; (2)
hipoksia uteroplacental, di mana oksigenasi maternal normal tetapi sirkulasi
uteroplacenta terganggu, contohnya pada preeklampsia dan insufisiensi
placenta; (3) hipoksia postplacental, di mana hanya fetus yang mengalami
hipoksia (Kingdom dan Kaufmann, 1997).
C. Klasifikasi
Menurut Manning (1999), berdasarkan respon biofisikal, kondisi
hipoksia terbagi menjadi 2 kategori yaitu respons akut/intermediat dan
respons kronik. Respons akut adalah perubahan atau hilangnya aktivitas
yang diregulasi oleh sistem saraf pusat, seperti: gerakan nafas, gerakan
tubuh, dan tonus fleksor janin. Respons kronik misal berkurangnya
produksi air ketuban (oligohidramnion), gangguan pertumbuhan,
pewarnaan mekonium, dan meningkatnya risiko komplikasi neonatal.
D. Pemeriksaan
Auskultasi bunyi jantung janin secara berkala merupakan metode
pengawasan janin yang direkomendasikan untuk wanita hamil tanpa faktor
risiko terhadap hasil kehamilan yang merugikan. Pada metode ini,
dibutuhkan kemampuan untuk membedakan suara jantung ibu dengan
jantung janin. Untuk membedakannya dapat dilakukan dengan cara meraba
denyut nadi ibu.
20
Denyut jantung dasar dinilai dengan mendengarkan dan menghitung
antara kontraksi rahim. Hasil akurasi terbesar ketika DJJ dihitung selama 60
detik. Denyut jantung janin normal adalah110-160 bpm. Takikardia
didefinisikan sebagai denyut jantung janin di atas160 bpm selama >10 menit
dan bradikardia didefinisikan sebagai denyut jantung janin di bawah 110
bpm selama >10 menit. Bila denyut jantung janin meningkat menjadi lebih
dari 160 bpm dalam persalinan, perlu dicurigai terjadi fetal hipoksia.
E. Tatalaksana
Ketika janin menunjukan tanda distress, terdapat beberapa tata laksana
umum, terutama resusitasi intrauterin dan terminasi kehamilan. Resusitasi
intrauterin dilakukan dengan tujuan memperbaiki sirkulasi darah dalam
rahim, perbaikan sirkulasi darah tali pusat, dan perbaikan oksigenasi janin.
Beberapa manuver yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan vagina untuk
melihat adanya kelainan pada tali pusat seperti prolaps atau kompresi tali
pusat. Kelainan tersebut dapat diatasi dengan pembebasan tali pusat. Kedua,
memiringkan ibu pada salah satu sisi untuk mengurangi kompresi
aortocaval. Ketiga, pemberian oksigen kepada ibu. Keempat, penghentian
oksitosin dan pemberian tokolitik untuk menghentikan aktivitas uterus.
Terakhir adalah pemberian cairan infus untuk menambah volume plasma
ibu, cairan yang biasa digunakan adalah cairan resusitasi kristaloid atau
dekstrose 5% (Thurlow dan Kinsella, 2002). Terakhir adalah
pertimbangan terminasi kehamilan yang tergantung pada keadaan hipoksia
dan keadaan janin (van Eerden et al, 2014).
21
BAB IV
ANALISIS KASUS
22
menunjukkan bahwa pasien belum dalam persalinan. Selain itu, hasil nitrazin test
(+) menunjukkan bahwa air ketuban telah mengalir keluar. Pada hasil pemeriksaan
USG didapatkan air ketuban kesan cukup.
Pada pasien ini, dilakukan Sectio Caesaria Transperitoneal Parietal
(SCTP) Emergensi pada DPH 0 dikarenakan adanya letak lintang dan usia
kehamilan pasien yang sudah cukup bulan. Persalinan spontan janin yang tumbuh
sempurna tidak mungkin terjadi pada letak lintang persisten dan dapat
menyebabkan rupture uterus (Cunningham et al, 2006).
Setelah tindakan SC, pada pasien diberikan terapi antibiotik, analgesik serta
etabion. Tujuan pemberian antibiotik adalah untuk mengurangi risiko terjadinya
infeksi. Nyeri sedang hingga berat sering terjadi pada 48 jam setelah tindakan SC.
Tujuan pemberian analgesik setelah operasi adalah untuk memberikan kenyamanan
pada pasien, menghambat impuls nosiseptif, dan menumpulkan respon
neuroendokrin terhadap nyeri sehingga akan meningkatkan pengembalian fungsi
normal. Selain itu, analgesik diberikan karena mobilisasi dini merupakan faktor
kunci dalam mencegah terjadinya tromboemboli yang meningkat selama kehamilan
dan juga agar pasien pasien dapat merawat serta memberikan ASI terhadap bayinya
secara efektif (Ismail, 2012). Tujuan pemberian etabion setelah operasi adalah
untuk mempercepat terjadinya penyembuhan luka bekas operasi karena adanya
vitamin C berperan sebagai ko-faktor dalam pembentukan kolagen oleh beberapa
enzim (Fukushima & Yamazaki, 2010) serta mencegah terjadinya anemia yang
sering menyebabkan terjadinya perdarahan post partum.
Pada tindakan SC prognosisnya baik dan rata-rata lama perawatan di rumah
sakit yaitu sekitar 2-3 hari. Pemulihan pasca SC lebih lama dibandingkan persalinan
per vaginam. Untuk mempercepat pemulihan pasien pasca SC dianjurkan untuk
mobilisasi dini untuk mencegah terjadinya konstipasi dan tromboemboli.
23
DAFTAR PUSTAKA
Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap III LC, Hauth JC, Wenstrom KD.
Perdarahan Obstetri. Dalam : Profitasari, Hartanto H, Suyono YJ, Yusna D,
Kosasih AA, Prawira J, dkk, editor. Obstetri Williams Vol 1. Edisi 21.
Jakarta : EGC; 2006: 716-23.
Medina TM, Hill DA. Preterm Premature Rupture of Membranes: Diagnosis and
Management. Am Fam Physician. 2006 Feb 15;73(4):659-664.
Nagaya K, Fetters MD, Ishikawa M, Kubo T, Konayagi T, Saito Y, Seishima H,
Sugimoto M, Takagi K, Chiba Y, Honda H, Mukubo M, Kawamura M, Satoh
S, Neki R. Causes of maternal mortality in Japan. JAMA, 2000; 283:2661.
Wardhani DF, Kayika IPG. 2014. Ketuban pecah dini. Dalam Kapita Selekta
Kedokteran. Jilid 1 Edisi IV. Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradipta ES
(eds). Jakarta: Meda Aesculapis.
24
WHO. 2013. Ketuban Pecah Dini. Dalam Pelayanan Kesehatan Ibu Di Fasilitas
Kesehatan Dasar Dan Rujukan. Moegni EM, Ocviyanti D (eds). Jakarta:
Kementrian Kesehatan RI.
25