You are on page 1of 20

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ketoasidosis diabetikum adalah kasus kedaruratan endokrinologi yang
disebabkan oleh defisiensi insulin relatif atau absolut.Ketoasidosis diabetik juga
merupakan komplikasi akut diabetes mellitus yang ditandai dengan dehidrasi,
kehilangan elektrolit, dan asidosis.Ketoasidosis diabetik ini diakibatkan oleh
defisiensi berat insulin dan disertai gangguan metabolisme protein, karbohidrat
dan lemak. Keadaan ini merupakan gangguan metabolisme yang paling serius
pada diabetes ketergantungan insulin.
Ketoasidosis diabetukum lebih sering terjadi pada usia<65 tahun.
Ketoasidosis diabetikum lebih sering terjadi pada perempuan dibanding laki-
laki. Surveillance Diabetes Nasional Program Centers for Disease Control
(CDC) memperkirakan bahwa ada 115.000 pasien pada tahun 2003 di Amerika
Serikat, sedangkan pada tahun 1980 jumlahnya 62.000. Di sisi lain, kematian
KAD per 100.000 pasien diabetes menurun antara tahun 1985 dan 2002 dengan
pengurangan kematian terbesar di antara mereka yang berusia 65 tahun atau
lebih tua dari 65 tahun. Kematian di KAD terutama disebabkan oleh penyakit
pengendapan yang mendasari dan hanya jarang komplikasi metabolik
hiperglikemia atau ketoasidosis.
Adanya gangguan dalam regulasi insulin dapat cepat menjadi ketoasidosis
diabetik manakala terjadi diabetik tipe I yang tidak terdiagnosa,
ketidakseimbangan jumlah intake makanan dengan insulin, adolescen dan
pubertas, aktivitas yang tidak terkontrol pada diabetes, dan stress yang
berhubungan dengan penyakit, trauma, atau tekanan emosional.
Perawatan pada pasien yang mengalami KAD antara lain meliputi
rehidrasi, pemberian kalium lewat infus, dan pemberian insulin. Beberapa
komplikasi yang mungkin terjadi selama pengobatan KAD adalah edema paru,
hipertrigliseridemia, infark miokard akut, dan komplikasi iatrogenik.

1
Komplikasi iatrogenik tersebut ialah hipoglikemia, hipokalemia, edema otak,
dan hipokalsemia.

B. Rumusan Masalah
a. Apa definisi ketoasidosis diabetikum (KAD)?
b. Apaetiologi ketoasidosis diabetikum (KAD)?
c. Faktor pencetus ketoasidosis diabetikum (KAD)?
d. Bagaimana patofisiologi dari ketoasidosis diabetikum (KAD)?
e. Apa saja manifestasi klinis ketoasidosis diabetikum (KAD)?
f. Apa saja pemeriksaan penunjang klien dengan ketoasidosis diabetikum
(KAD)?
g. Bagaimana penatalaksanaan klien dengan ketoasidosis diabetikum (KAD)?
h. Apa komplikasi dari ketoasidosis diabetikum (KAD)?
i. Bagaimana prognosis dari klien dengan ketoasidosis diabetikum (KAD)?
j. Bagaimana asuhan keperawatan pasien dengan ketoasidosis diabetikum
(KAD)?

C. Tujuan
a. Tujuan Umum
Mahasiswa dapat menjelaskan dan melakukan asuhan keperawatan pada
klien dengan ketoasidosis diabetikum (KAD).
b. Tujuan Khusus
a. Mengetahui definisi ketoasidosis diabetikum (KAD).
b. Mengetahui etiologi ketoasidosis diabetikum (KAD)
c. Faktor pencetus ketoasidosis diabetikum (KAD).
d. Mengetahui patofisiologi dari ketoasidosis diabetikum (KAD).
e. Menyebutkan manifestasi klinis ketoasidosis diabetikum (KAD).
f. Mengetahui pemeriksaan penunjang pada ketoasidosis diabetikum
(KAD).

2
g. Mengetahui penatalaksanaan klien dengan ketoasidosis diabetikum
(KAD).
h. Mengetahui komplikasi dari ketoasidosis diabetikum (KAD).
i. Mengetahui prognosis klien dengan ketoasidosis diabetikum (KAD).
j. Menjelaskan asuhan keperawatan pasien dengan ketoasidosis
diabetikum (KAD).

D. Manfaat
a. Mendapatkan pengetahuan tentang ketoasidosis diabetikum (KAD).
b. Mendapatkan pengetahuan tentang asuhan keperawatan tentang
ketoasidosis diabetikum (KAD).
c. Dapat menerapkan asuhan keperawatan pada klien dengan
ketoasidosis diabetikum (KAD).

3
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Definisi
Ketoasidosis diabetic merupakan komplikasi akutyang di tandaidengan
perburukan semua gejala diabetes, ketoasidosis diabetikes merupakan
keadaanyang mengancam jiwa dan memerlukan perawatan di rumah sakit agar
dapat dilakukan koreksi terhadap keseimbangan cairan dan elektrolitnya.
(Corwin, 2012)

B. Etiologi
Ada sekitar 20% pasien KAD yang baru diketahui menderita DM untuk
pertama kali.Pada pasien yang sudah diketahui DM sebelumnya, 80% dapat
dikenali adanya faktor pencetus.Mengatasi faktor pencetus ini penting dalam
pengobatan dan pencegahan ketoasidosis berulang.

C. Faktor Pencetus
Faktor pencetus yang berperan untuk terjadinya KAD adalah pankreatitis
akut, penggunaan obat golongan steroid, serta menghentikan atau mengurangi
dosis insulin. Tidak adanya insulin atau tidak cukupnya jumlah insulin yang
nyata, yang dapat disebabkan oleh :

1. Insulin tidak diberikan atau diberikan dengan dosis yang dikurangi.


2. Keadaan sakit atau infeksi.
3. Manifestasi pertama pada penyakit diabetes yang tidak terdiagnosis dan
tidak diobati.

D. Patofisiologi
Ketoasidosis diabetic merupakan komplikasi akut yang di tandai dengan
perburukan semua gejala diabetes. Ketoasidosisdiabetik dapat terjadi setelah
stress fisik seperti kehamilan atau penyakit akut atau trauma. Kadang-kadang
ketoasidosi diabetk merupakan gejala adanya diabetis tipe 1.

4
Pada ketoasidosis diabetic, kadar glukosa darah meningkat dengan cepat
akibat, glukoneogenesis dan peningkatan penguraian lemak yang progresif.
Terjadi poliuria dan dehidrasi. Kadar keton juga meningkat (ketosis) akibat
penggunaan asam lemak yang hamper total untuk menghasilkan ATP. Keton
keluar melalui urine (ketonouria) dan menyebabkan bau napas seperti buah.
Pada ketosis, pH turun di bawah 7,3. pH yang rendah menyebabkan asidosis
metabolic dan menstimulasi hiperventilasi, yang disebut pernapasan
kussmaul, karena individu berusaha untuk mengurangi asidosis dengan
mengeluarkan karbon dioksisa (asam volatile).
Individu dengan ketoasidosis diabetika sering mengalami mual dan nyeri
abdomen.Dapat terjadi muntah, yang memperparah dehidrasi ekstrasel dan
intrasel. Kadar kalium total tubuh turun akibat poliuria dan muntah
berkepanjangan dan untah-muntah.
Ketoasidosis diabetes adalah keadaan yang mengancam jiwa dan
memerlukan perawatan di rumah sakit agar dapat dilakukan koreksi terhadap
keseimbangan cairan dan elektrolitnya.Pemberian insulin diperlukan untuk
mengembalikan hiperglikemia.Karena kepekaan insulin meningkat seiring
dengan penurunan pH, dosis dan kecepatan pemberian insulin harus dipantau
secara hati-hati.Penelitian memperlihatkan bahwa analog insulin kerja
cepatdisebut lispro (Humalog) efektif dan mengurangi biaya pengobatan
untuk ketoasidosis diabetic dibandingkan jenis insulin lainnya.

E. Manifestasi Klinis
Respons neurologis dapat berkisar dari sadar sampai koma.Frekuensi
pernapasan mungkin cepat, atau pernapasan mungkin dalam dan cepat
(kussmaul) dengan disertai napas aseton berbau buah. Pasien akan mengalami
dehidrasi dan dapat mengeluh sangat haus, poliuria, dan kelemahan. Mual,
muntah, nyeri hebat pada abdomen, dan kembung sering kali terjadi dan dapat
keliru dengan gambaran kondisi akut abdomen.Sakit kepala, kedutan otot, atau
tremor dapat juga terjadi.

5
Manifestasi klinis dari KAD adalah :
1. Hiperglikemi
Hiperglikemi pada ketoasidosis diabetik akan menimbulkan;
 Poliuri dan polidipsi (peningktan rasa haus)
 Penglihatan yang kabur
 Kelemahan
 Sakit kepala
 Pasien dengan penurunan volume intravaskuler yang nyata mungkin
akan menderita hipotensi ortostatik (penurunan tekanan darah sistolik
sebesar 20 mmHg atau lebih pada saat berdiri).
 Penurunan volume dapat menimbulkan hipotensi yang nyata disertai
denyut nadi lemah dan cepat.
 Anoreksia, mual, muntah dan nyeri abdomen.
 Pernapasan Kussmaul ini menggambarkan upaya tubuh untuk
mengurangi asidosis guna melawan efek dari pembentukan badan
keton.
 Mengantuk (letargi) atau koma.
 Glukosuria berat.
 Asidosis metabolik.
 Diuresis osmotik, dengan hasil akhir dehidrasi dan penurunan
elektrolit.
 Hipotensi dan syok.
 Koma atau penurunan kesadaran.
F. Pemeriksaan Penunjang
a. Glukosa
Kadar glukosa dapat bervariasi dari 300 hingga 800 mg/dl. Sebagian
pasien mungkin memperlihatkan kadar gula darah yang lebih rendah dan
sebagian lainnya mungkin memiliki kadar sampai setinggi 1000 mg/dl atau
lebih yang biasanya bergantung pada derajat dehidrasi. Harus disadari bahwa

6
ketoasidosis diabetik tidak selalu berhubungan dengan kadar glukosa darah.
Sebagian pasien dapat mengalami asidosis berat disertai kadar glukosa yang
berkisar dari 100 – 200 mg/dl, sementara sebagian lainnya mungkin tidak
memperlihatkan ketoasidosis diabetikum sekalipun kadar glukosa darahnya
mencapai 400-500 mg/dl.
b. Natrium
Efek hiperglikemia ekstravaskuler bergerak air ke ruang intravaskuler.
Untuk setiap 100 mg / dL glukosa lebih dari 100 mg / dL, tingkat natrium
serum diturunkan oleh sekitar 1,6 mEq / L. Bila kadar glukosa turun, tingkat
natrium serum meningkat dengan jumlah yang sesuai.
c. Kalium.
Ini perlu diperiksa sering, sebagai nilai-nilai drop sangat cepat dengan
perawatan.EKG dapat digunakan untuk menilai efek jantung ekstrem di
tingkat potasium.
d. Bikarbonat
Kadar bikarbonat serum adalah rendah, yaitu 0- 15 mEq/L dan pH
yang rendah (6,8-7,3). Tingkat pCO2 yang rendah ( 10- 30 mmHg)
mencerminkan kompensasi respiratorik (pernapasan kussmaul) terhadap
asidosisi metabolik. Akumulasi badan keton (yang mencetuskan asidosis)
dicerminkan oleh hasil pengukuran keton dalam darah dan urin.Gunakan
tingkat ini dalam hubungannya dengan kesenjangan anion untuk menilai
derajat asidosis.
e. Sel darah lengkap (CBC)
Tinggi sel darah putih (WBC) menghitung (> 15 X 109 / L) atau
ditandai pergeseran kiri mungkin menyarankan mendasari infeksi.
f. Gas darah arteri (ABG)
pH sering <7.3. Vena pH dapat digunakan untuk mengulang pH
measurements. Brandenburg dan Dire menemukan bahwa pH pada tingkat
gas darah vena pada pasien dengan KAD adalah lebih rendah dari pH 0,03
pada ABG. Karena perbedaan ini relatif dapat diandalkan dan bukan dari

7
signifikansi klinis, hampir tidak ada alasan untuk melakukan lebih
menyakitkan ABG. Akhir CO2 pasang surut telah dilaporkan sebagai cara
untuk menilai asidosis juga.
g. Keton
Diagnosis memadai ketonuria memerlukan fungsi ginjal.Selain itu,
ketonuria dapat berlangsung lebih lama dari asidosis jaringan yang
mendasarinya.
h. β-hidroksibutirat
Serum atau hidroksibutirat β kapiler dapat digunakan untuk mengikuti
respons terhadap pengobatan. Tingkat yang lebih besar dari 0,5 mmol / L
dianggap normal, dan tingkat dari 3 mmol / L berkorelasi dengan kebutuhan
untuk ketoasidosis diabetik (KAD).
i. Urinalisis (UA)
Cari glikosuria dan urin ketosis.Hal ini digunakan untuk mendeteksi
infeksi saluran kencing yang mendasari.
j. Osmolalitas
Diukur sebagai 2 (Na +) (mEq / L) + glukosa (mg / dL) / 18 + BUN
(mg / dL) / 2.8. Pasien dengan diabetes ketoasidosis yang berada dalam
keadaan koma biasanya memiliki osmolalitis > 330 mOsm / kg H2O.Jika
osmolalitas kurang dari > 330 mOsm / kg H2O ini, maka pasien jatuh pada
kondisi koma.
k. Fosfor
Jika pasien berisiko hipofosfatemia (misalnya, status gizi buruk,
alkoholisme kronis), maka tingkat fosfor serum harus ditentukan.
l. Tingkat BUN meningkat
Anion gap yang lebih tinggi dari biasanya.
m. Kadar kreatinin
Kenaikan kadar kreatinin, urea nitrogen darah (BUN) dan Hb juga
dapat terjadi pada dehirasi. Setelah terapi rehidrasi dilakukan, kenaikan

8
kadar kreatinin dan BUN serum yang terus berlanjut akan dijumpai pada
pasien yang mengalami insufisiensi renal.

G. Temuan Diagnostik
 Glukosa serum >300 mg/dl, tetapi tidak >800 mg/dl
 Keton urine sangat positif
 Keton serum >3 mOsm/L
 pH darah <7,3
 Bikarbonat serum<15 mEq/L
 Osmolalitas serum meningkat, tetapi biasanya <330 mOsm/L
 Gap anion >20 mmol/L
 Kalium serum pada awalnya mungkin normal atau tinggi, tetapi akan
menurun kembali ke dalam kompartemen intraselular.

Pemeriksaan diagnostik untuk ketoasidosis diabetik dapat dilakukan dengan


cara:

1. Tes toleransi Glukosa (TTG) memanjang (lebih besar dari 200mg/dl).


Biasanya tes ini dianjurkan untuk pasien yang menunjukkan kadar
glukosa meningkat dibawah kondisi stress.
2. Gula darah puasa normal atau diatas normal.
3. Essei hemoglobin glikolisat diatas rentang normal.
4. Urinalisis positif terhadap glukosa dan keton.
5. Kolesterol dan kadar trigliserida serum dapat meningkat menandakan
ketidakadekuatan kontrol glikemik dan peningkatan propensitas pada
terjadinya aterosklerosis.

9
H. Terapi Cairan
1. Terapi cairan
Prioritas utama pada penatalaksanaan KAD adalah terapi cairan.Terapi
insulin hanya efektif jika cairan diberikan pada tahap awal terapi dan hanya
dengan terapi cairan saja akan membuat kadar gula darah menjadi lebih
rendah. Studi menunjukkan bahwa selama empat jam pertama, lebih dari
80% penurunan kadar gula darah disebabkan oleh rehidrasi. Oleh karena
itu, hal penting pertama yang harus dipahami adalah penentuan di defisit
cairan yang terjadi. Beratnya kekurangan cairan yang terjadi dipengaruhi
oleh durasi hiperglikemia yang terjadi, fungsi ginjal, dan intake cairan
penderita. Hal ini bisa diperkirakan dengan pemeriksaan klinis atau dengan
menggunakan rumus sebagai berikut:

Fluid deficit =(0,6 X berat badan dalam kg) X (corrected Na/140)

Corrected Na =Na + (kadar gula darah - 5)/3,5

Rumus lain yang dapat dipakai untuk menentukan derajat dehidrasi


adalah dengan menghitung osmolalitas serum total dan corrected serum
sodium concentration.

Osmolalitasserum total= 2 X Na(mEq/l)+ kadar glukosa darah (mg/dl)/18 +


BUN/2,8

Serum sodium concentration dapat dikoreksi dengan menambahkan


1,6 mEq/l tiap kenaikan 100 mg/dl kadar gula darah diatas kadar gula 100
mg/ dl. Nilai corrected serum sodium concentration > 140 dan osmolalitas
serum total > 330 mOsm/kg air menunjukkan deficit cairan yang berat.
Penentuan derajat dehidrasi dengan gejala klinis seringkali sukar
dikerjakan, namun demikian beberapa gejala klinis yang dapat menolong
untuk menentukan derajat dehidrasi adalah

13 : - 5% : penurunan turgor kulit, membran mukosa kering, takikardia

10
10% : capillary refill time ≥ 3 detik,mata cowong –

>10% : pulsus arteri perifer lemah, hipotensi, syok, oliguria

Resusitasi cairan hendaknya dilakukan secara agresif. Targetnya


adalah penggantian cairan sebesar 50% dari kekurangan cairan dalam 8 –
12 jam pertama dan sisanya dalam 12 – 16 jam berikutnya. Menurut
perkiraan banyak ahli,total kekurangan cairan pada pasien KAD sebesar
100ml/kg BB, atau sebesar 5 – 8 liter.2,5. Pada pasien dewasa,terapi cairan
awal langsung diberikan untuk ekspansi volume cairan intravaskular dan
ekstravaskular dan menjaga perfusi ginjal. Terdapat beberapa kontroversi
tentang jenis cairan yang dipergunakan. Tidak ada uji klinik yang
membuktikan kelebihan pemakaian salah satu jenis cairan. Kebanyakan
ahli menyarankan pemakaian cairan fisiologis (NaCl 0,9%) sebagai terapi
awal untuk resusitasi cairan. Cairan fisiologis (NaCl 0,9%) diberikan
dengan kecepatan15 – 20 ml/kgBB/jam atau lebih selama jam pertama (±1
– 1,5 liter). Sebuah sumber memberikan petunjuk praktis pemberian cairan
sebagai berikut : 1 liter pada jam pertama, 1 liter dalam 2 jam
berikutnya,kemudian 1 liter setiap 4 jam sampai pasien terehidrasi. Sumber
lain menyarankan 1 – 1,5 lt pada jam pertama, selanjutnya 250– 500
ml/jam pada jam berikutnya. Petunjuk ini haruslah disesuaikan dengan
status hidrasi pasien. Pilihan cairan selanjutnya tergantung dari status
hidrasi, kadar elektrolit serum,dan pengeluaran urine. Pada
umumnya,cairan NaCl 0,45% diberikan jika kadar natrium serum tinggi
(>150mEq/l), dan diberikan untuk mengkoreksi peningkatan kadar Na+
serum (corrected serum sodium) dengan kecepatan 4 – 14 ml/kgBB/jam
serta agar perpindahan cairan antara intra dan ekstraselular terjadi secara
gradual.

Pemakaian cairan Ringer Laktat (RL) disarankan untuk mengurangi


kemungkinan terjadinya hiperkloremia yang umumnya terjadi pada

11
pemakaian normal saline dan berdasarkan strongion theory untuk asidosis
(Stewarthypothesis). Sampai saat ini tidak didapatkan alasan yang
meyakinkan tentang keuntungan pemakaian RL dibandingkan dengan
NaCl0,9%. Jika kadar Na serum rendah tetaplah mempergunakan cairan
NaCl 0,9%.Setelah fungsi ginjal dinilai, infus cairan harus mengandung
20– 30 mEq/l Kalium (2/3 KCl dan 1/3 KPO4) sampai pasien stabil dan
dapat makan. Keberhasilan terapi cairan ditentukan dengan monitoring
hemodinamik (perbaikan tekanan darah), pengukuran cairan masuk dan
keluar,dan pemeriksaan klinis.

Pemberian cairan harus dapat mengganti perkiraan kekurangan cairan


dalam jangka waktu 24 jam pertama. Perubahan osmolalitas serum tidak
melebihi 3 mOsm/kgH2O/jam. Pada pasien dengan kelainan ginjal, jantung
atau hati terutama orang tua, harus dilakukan pemantauan osmolalitas
serum dan penilaian fungsi jantung,ginjal,dan status mental yang
berkesinambungan selama resusitasi cairan untuk menghindari overload
cairan iatrogenik. Untuk itu pemasangan Central Venous Pressure (CVP)
monitor dapat sangat menolong. Ketika kadar gula darah mencapai
250mg/dl, cairan diganti atau ditambahkan dengan cairan yang
mengandung dextrose seperti (dextrose 5%,dextrose 5% pada NaCl 0,9%,
atau dextrose 5% pada NaCl 0,45%) untuk menghindari hipoglikemia dan
mengurangi kemunginan edema serebral akibat penurunan gula darah yang
terlalu cepat.

2. Terapi Insulin

Terapi insulin harus segera dimulai sesaat setelah diagnosis KAD dan
rehidrasi yang memadai. Sumber lain menyebutkan pemberian insulin
dimulai setelah diagnosis KAD ditegakkan dan pemberian cairan telah
dimulai. Pemakaian insulin akan menurunkan kadar hormon glukagon,
sehingga menekan produksi benda keton di hati, pelepasan asam lemak
bebas dari jaringan lemak, pelepasan asam amino dari jaringan otot dan

12
meningkatkan utilisasi glukosa oleh jaringan. Sampai tahun 1970-an
penggunaan insulin umumnya secara bolus intravena, intramuskular,
ataupun subkutan.
Sejak pertengahan tahun 1970-an protokol pengelolaan KAD dengan
drip insulin intravena dosis rendah mulai digunakan dan menjadi popular.
Cara ini dianjurkan karena lebih mudah mengontrol dosis
insulin,menurunkan kadar glukosa darah lebih lambat, efek insulin cepat
menghilang, masuknya kalium ke intrasel lebih lambat, komplikasi
hipoglikemia dan hipokalemia lebih sedikit. Pemberian insulin dengan
infuse intravena dosis rendah adalah terapi pilihan pada KAD yang
disebutkan oleh beberapa literatur, sedangkan ADA menganjurkan insulin
intravena tidak diberikan pada KAD derajat ringan.
Jika tidak terdapat hipokalemia (K < 3,3 mEq/l), dapat diberikan
insulin regular 0,15 u/kg BB,diikuti dengan infuse kontinu 0,1 u/kgBB/jam
(5 – 7 u/jam). Jika kadar kalium < 3,3 mEq/l, maka harus dikoreksi dahulu
untuk mencegah perburukan hipokalemia yang akan dapat mengakibatkan
aritmia jantung. Insulin dosis rendah biasanya menurunkan gula darah
dengan kecepatan 50 - 75 mg/dl/jam, sama seperti pemberian insulin dosis
lebih tinggi. Jika gula darah tidak menurun sebesar 50 mg/dl dari nilai awal
pada jam pertama, periksa status hidrasi pasien. Jika status hidrasi
mencukupi, infus insulin dapat dinaikkan 2 kali lipat setiap jam sampai
tercapai penurunan gula darah konstan antara 50 - 75 mg/dl/jam. Ketika
kadar gula darah mencapai 250 mg/dl, turunkan infus insulin menjadi 0,05
- 0,1 u/kgBB/jam (3 - 6 u/jam), dan tambahkan infus dextrose 5 - 10%.
Setelah itu kecepatan pemberian insulin atau konsentrasi dextrose
harus disesuaikan untuk memelihara nilai glukosa sampai keadaan asidosis
membaik. Pada kondisi klinik pemberian insulin intravena tidak dapat
diberikan, maka insulin diberikan dengan dosis 0,3 iu (0,4 - 0,6 iu)/ kgBB
yang terbagi menjadi setengah dosis secara intravena dan setengahnya lagi
secara subkutan atau intramuskular, selanjutnya diberikan insulin secara

13
intramuskular atau subkutan 0,1 iu/kgBB/ jam, selanjutnya protokol
penatalaksanaannya sama seperti pemberian drip intravena.
Perbaikan ketonemia memerlukan waktu lebih lama daripada
hiperglikemia. Pengukuran langsung β -OHB (beta hidroksi butirat) pada
darah merupakan metoda yang lebih disukai untuk pemantauan KAD.
Selama terapi β-OHB berubah menjadi asam asetoasetat, yang menandakan
bahwa ketosis memburuk. Selama terapi KAD harus diperiksa kadar
elektrolit, glukosa, BUN, serum kreatinin, osmolalitas, dan derajat
keasaman vena setiap 2 - 4 jam, sumber lain menyebutkan bahwa kadar
glukosa kapiler diperiksa tiap 1 - 2 jam.6. Pada KAD ringan, insulin
regular dapat diberikan secara subkutan atau intramuskular setiap jam
dengan efektifitas yang sama dengan pemberianintravena pada kadar gula
darah yang rendah dan keton bodies yang rendah. Efektifitas pemberian
insulin dengan intramuskular dan subkutan adalah sama, namun injeksi
subkutan lebih mudah dan kurang menyakitkan pasien. Pasien dengan
KAD ringan harus mendapatkan “priming dose” insulin regular 0,4 " 0,6
u/kgBB, setengah dosis sebagai bolus dan setengah dosis dengan subkutan
atau injeksi intramuskular. Selanjutnya diberikan insulin subkutan atau
intramuskular 0,1 u/kgBB/jam.
Kriteria resolusi KAD diantaranya adalah kadar gula darah < 200
mg/dl, serum bikarbonat ≥ 18 mEq/l, pH vena > 7,3, dan anion gap ≤ 12
mEq/l. Saat ini, jika pasien NPO, lanjutkan insulin intravena dan
pemberian cairan dan ditambah dengan insulin regular subkutan sesuai
keperluan setiap 4 jam. Pada pasien dewasa dapat diberikan 5 iu insulin
tambahan setiap kenaikan gula darah 50 mg/dl pada gula darah di atas 150
mg/dl dan dapat ditingkatkan 20 iu untuk gula darah ≥ 300 mg/dl. Ketika
pasien dapat makan, jadwal dosis multipel harus dimulai dengan memakai
kombinasi dosis short atau rapid acting insulin dan intermediate atau long
acting insulin sesuai kebutuhan untuk mengontrol glukosa darah.

14
Lebih mudah untuk melakukan transisi ini dengan pemberian insulin
saat pagi sebelum makan atau saat makan malam. Teruskan insulin
intravena selama 1 - 2 jam setelah pergantian regimen dimulai untuk
memastikan kadar insulin plasma yang adekuat. Penghentian insulin tiba-
tiba disertai dengan pemberian insulin subkutan yang terlambat dapat
mengakibatkan kontrol yang buruk, sehingga diperlukan sedikit
overlapping pemberian insulin intravena dan subkutan. Pasien yang
diketahui diabetes sebelumnya dapat diberikan insulin dengan dosis yang
diberikan sebelum timbulnya KAD dan selanjutnya disesuaikan
seperlunya. Pada pasien DM yang baru, insulin awal hendaknya 0,5 - 1,0 u/
kgBB/hari, diberikan terbagi menjadi sekurangnya 2 dosis dalam regimen
yang termasuk short dan long acting insulin sampai dosis optimal
tercapai, duapertiga dosis harian ini diberikan pagi hari dan sepertiganya
diberikan sore hari sebagai split-mixed dose. Akhirnya pasien DM tipe 2
dapat keluar rumah sakit dengan antidiabetik oral dan terapi diet.

3. Natrium

Penderita dengan KAD kadang-kadang mempunyai kadar natrium


serum yang rendah, oleh karena level gula darah yang tinggi. Untuk tiap
peningkatan gula darah 100 mg/dl di atas 100 mg/dl maka kadar natrium
diasumsikan lebih tinggi 1,6 mEq/l daripada kadar yang diukur.
Hiponatremia memerlukan koreksi jika level natrium masih rendah setelah
penyesuaian efek ini. Contoh, pada orang dengan kadar gula darah 600
mg/dl dan level natrium yang diukur 130, maka level natrium yang
sebenarnya sebesar 130 + (1,6 x 5) = 138, sehingga tidak memerlukan
koreksi dan hanya memerlukan pemberian cairan normal saline (NaCl
0,9%). Sebaliknya kadar natrium dapat meningkat setelah dilakukan
resusitasi cairan dengan normal saline oleh karena normal saline memiliki
kadar natrium lebih tinggi dari kadar natrium ekstraselular saat itu
disamping oleh karena air tanpa natrium akan berpindah ke intraselular

15
sehingga akan meningkatkan kadar natrium. Serum natrium yang lebih
tinggi daripada 150 mEq/l memerlukan koreksi dengan NaCl 0,45%.

4. Kalium
Meskipun terdapat kekurangan kalium secara total dalam tubuh
(sampai 3 - 5 mEq/kgBB), hiperkalemia ringan sampai sedang seringkali
terjadi. Hal ini terjadi karena shift kalium dari intrasel ke ekstrasel oleh
karena asidosis, kekurangan insulin, dan hipertonisitas, sehingga terapi
insulin, koreksi asidosis, dan penambahan volume cairan akan menurunkan
konsentrasi kalium serum. Untuk mencegah hipokalemia, penggantian
kalium dimulai setelah kadar kalium serum kurang dari 5,0, sumber lain
menyebutkan nilai 5,5 mEq/l. Umumnya, 20 - 30 mEq kalium (2/3 KCl dan
1/3 KPO4) pada tiap liter cairan infus cukup untuk memelihara kadar
kalium serum dalam range normal 4 - 5 mEq/l. Kadangkadang pasien
KAD mengalami hipokalemia yang signifikan. Pada kasus tersebut,
penggantian kalium harus dimulai dengan terapi KCl 40 mEq/l, dan terapi
insulin harus ditunda hingga kadar kalium > 3,3 mEq/l untuk menghindari
aritmia atau gagal jantung dan kelemahan otot pernapasan. Terapi kalium
dimulai saat terapi cairan sudah dimulai, dan tidak dilakukan jika tidak ada
produksi urine, terdapat kelainan ginjal, atau kadar kalium > 6 mEq.

5. Bikarbonat
Pemakaian bikarbonat pada KAD masih kontroversial. Pada pH > 7,0,
pengembalian aktifitas memblok lipolisis dan memperbaiki ketoasidosis
tanpa pemberian bikarbonat. Studi random prospektif telah gagal
menunjukkan baik keuntungan atau kerugian pada perubahan morbiditas
atau mortalitas dengan terapi bikarbonat pada pasien KAD dengan pH
antara 6,9 - 7,1. Tidak didapatkan studi random prospektif yang
mempelajari pemakaian bikarbonat pada KAD dengan nilai pH < 6,9.
Mengetahui bahwa asidosis berat menyebabkan banyak efek vaskular yang

16
tidak diinginkan, tampaknya cukup bijaksana menentukan bahwa pada
pasien dewasa dengan pH < 6,9, 100 mmol natrium bikarbonat
ditambahkan ke dalam 400 ml cairan fisiologis dan diberikan dengan
kecepatan 200 ml/jam. Pada pasien dengan pH 6,9 - 7,0, 50 mmol natrium
bikarbonat dicampur dalam 200 ml cairan fisiologis dan diberikan dengan
kecepatan 200 ml/jam. Natrium bikarbonat tidak diperlukan jika pH > 7,0.
Sebagaimana natrium bikarbonat, insulin menurunkan kadar kalium serum,
oleh karena itu pemberian kalium harus terus diberikan secara intravena
dan dimonitor secara berkala. Setelah itu pH darah vena diperiksa setiap 2
jam sampai pH menjadi 7,0, dan terapi harus diulangi setiap 2 jam jika
perlu.

6. Fosfat
Meskipun kadar fosfat tubuh secara keseluruhan mengalami penurunan
hingga 1,0 mmol/kgBB, kadar fosfat serum seringkali normal atau
meningkat. Kadar fosfat menurun dengan terapi insulin. Studi acak
prospektif gagal untuk menunjukkan efek menguntungkan dari pemberian
fosfat pada hasil akhir pasien KAD, dan terapi fosfat berlebihan dapat
menyebabkan hipokalemia berat tanpa bukti adanya tetanus. Bagaimanapun
untuk menghindari lemahnya otot rangka dan jantung serta depres
pernapasan yang disebabkan hipofosfatemia,pemberian fosfat secara hati-
hati mungkin kadangkadang diindikasikan pada pasien dengan kelainan
jantung, anemia, atau depresi pernapasan dan pada mereka dengan kadar
serum posfat < 1,0 mg/dl. Ketika diperlukan, 20 - 30 mEq/l kalium fosfat
dapat ditambahkan pada terapi cairan yang telah diberikan. Untuk itu
diperlukan pemantauan secara kontinu. Beberapa peneliti menganjurkan
pemakaian kalium fosfat rutin karena mereka percaya akan dapat
menurunkan hiperkloremia setelah terapi dengan membatasi pemberian
anion Cl-. Pemberian fosfat juga mencetuskan hipokalsemia simtomatis pada
beberapa pasien.

17
7. Magnesium
Biasanya terdapat defisit magnesium sebesar 1 - 2 mEq/l pada pasien
KAD. Kadar magnesium ini juga dipengaruhi oleh pemakaian obat seperti
dapat menurunkan kadar magnesium darah. Gejala kekurangan magnesium
sangat sulit dinilai dan sering tumpang tindih dengan gejala akibat
kekurangan kalsium, kalium atau natrium. Gejala yang sering dilaporkan
adalah parestesia,tremor, spame karpopedal, agitasi, kejang, dan aritmia
jantung. Pasien biasanya menunjukkan gejala pada kadar ≤ 1,2 mg/dl. Jika
kadarnya di bawah normal disertai gejala, maka pemberian magnesium dapat
dipertimbangkan.

8. Penatalaksaan terhadap Infeksi yang Menyertai


Antibiotika diberikan sesuai dengan indikasi, terutama terhadap faktor
pencetus terjadinya KAD. Jika faktor pencetus infeksi belum dapat
ditemukan, maka antibiotika yang dipilih adalah antibiotika spektrum luas.

18
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Prioritas utama pada penatalaksanaan KAD adalah terapi cairan.Terapi insulin
hanya efektif jika cairan diberikan pada tahap awal terapi dan hanya dengan
terapi cairan saja akan membuat kadar gula darah menjadi lebih rendah.
Resusitasi cairan hendaknya dilakukan secara agresif. Targetnya adalah
penggantian cairan sebesar 50% dari kekurangan cairan dalam 8 – 12 jam
pertama dan sisanya dalam 12 – 16 jam berikutnya. Pemakaian cairan Ringer
Laktat (RL) disarankan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya hiperkloremia
yang umumnya terjadi pada pemakaian normal saline dan berdasarkan strongion
teori untuk asidosis. Pemberian cairan harus dapat mengganti perkiraan
kekurangan cairan dalam jangka waktu 24 jam pertama. Terapi insulin harus
segera dimulai sesaat setelah diagnosis KAD dan rehidrasi yang memadai.

B. Saran
Setelah membaca makalah ini diharapkan mahasiswa dapat memahami dan
mempelajari cairan dan obat-obatan yang dapat diberikan pada pasien dengan
ketoasidosis Diabetik.

19
DAFTAR PUSTAKA
Chernecky, Schumacher . 2005. Critical care & emergency nursing. USA. Elsevier

Science

Boswick, John A. 1998. Kep. Gawat Darurat (Emergency Care). Jakarta: EGC

DR. Paul Belchetic & DR. Peter J Hammond. 2005. Diabetes and Endokrinology.

Gotera, W., & Gde, D.A. (2010). Penatalaksanaan Ketoasidosis Diabetik (Kad), Vol.

11, 130-134

Mosby Prof. DR. H. Tabrani. 2008. Agenda Gawat Darurat (critical care). Bandung.

Soewondo P. Ketoasidosis Diabetik. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,

Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4th ed. Jakarta:

Pusat Penerbitan Departemen IlmU Penyakit Dalam FKUI; 2006.p.1896-9.

20

You might also like