You are on page 1of 48

RENCANA PENELITIAN

JUDUL PENELITIAN : EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS

(DRPs) KATEGORI OBAT SALAH,

KETEPATAN DOSIS, DAN INTERAKSI OBAT

DARI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA

PASIEN ULKUS DIABETIKUM RAWAT INAP

DI RSUP. Dr. WAHIDIN SUDIROHUSODO


NAMA MAHASISWA : ADHE ERIKSTIADE BAHAR

NIM : 70100114039

PEMBIMBING I : Dra. Hj. FARIDHA YENNY NONCI, M.Si., Apt.

PEMBIMBING II : ASRUL ISMAIL, S.Farm, M.Sc., Apt.

PENGUJI KOMPETENSI :

PENGUJI AGAMA :

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Diabetes mellitus menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat global dan

menurut International Diabetes Federation (IDF) pemutakhiran ke-5 tahun 2012,

jumlah penderitanya semakin bertambah. Menurut estimasi IDF tahun 2012, lebih dari

371 juta orang di seluruh dunia mengalami DM, 4,8 juta orang meninggal akibat

penyakit metabolik ini dan 471 miliar dolar Amerika dikeluarkan untuk pengobatannya

(RISKESDAS, 2013).
2

Proporsi penderita diabetes pada usia 15 tahun keatas oleh RISKESDAS pada

tahun 2013 menempatkan provinsi Sulawesi Selatan di posisi ketiga tertinggi di

Indonesia (3,4%), dibawah Sulawesi Utara (3,6%) dan Sulawesi Tengah (3,7%). Atau

dapat dikatakan penderita diabetes di Provinsi Sulawesi Selatan pada penduduk usia

15 tahun keatas ialah 195.124 penduduk (RISKESDAS, 2013). Di kota Makassar

sendiri, diabetes mellitus berada pada posisi ke-4 sebagai penyakit penyebab kematian

tertinggi pada tahun 2015, dibawah hipertensi, penyakit jantung, dan asma.
Berdasarkan data dari surveilans penyakit tidak menular Bidang P2PL, kasus baru DM

di Kota Makassar tahun 2015 yaitu 21.018 kasus (laki-laki ; 8.457, perempuan ;

12.561), sedangkan kasus lama yaitu 57.087 (laki-laki ; 23.395, perempuan ; 33.692).

Adapun kematian akibat DM terdapat 811 (laki-laki ; 450, perempuan ; 361) sepanjang

tahun 2015 (Dinas Kesehatan Makassar, 2016).

Penyakit DM ini bisa mengakibatkan komplikasi yang fatal, baik komplikasi

akut maupun kronik bila kadar glukosa darah tidak bisa dikontrol dengan baik. Kaki

diabetik dengan ulkus merupakan komplikasi diabetes yang sering terjadi. Ulkus kaki

diabetik adalah luka kronik pada daerah di bawah pergelangan kaki, yang

meningkatkan morbiditas, mortalitas, dan mengurangi kualitas hidup pasien


(PERKENI, 2015).

Ulkus diabetik adalah merupakan klinis yang sering terjadi. namun banyak

pasien perlu menjalani amputasi karena pendekatan diagnostik dan terapi yang tidak

tepat. Infeksi kaki pada penderita diabetes adalah masalah yang semakin umum dan

terkait dengan gejala seketika yang serius. Kenaikan berlanjut pada kejadian diabetes

berkembang, dan bahkan pada tingkat yang lebih tinggi di negara-negara yang kurang

berkembang, meningkatnya jumlah pasien diabetes, dan umur panjang mereka yang
3

lebih besar berkontribusi pada pertumbuhan masalah ini (Lipsky, et al., 2012). Jika

tidak dikelola dengan tepat, Ulkus diabetik dapat memicu infeksi berat yang

menghasilkan amputasi ekstremitas bawah, terutama pada orang dengan penyakit arteri

perifer menyumbang 60% amputasi ekstremitas bawah di negara maju (Rasalam, et al.,

2017).

Diagnosis dini dan inisiasi terapi antimikroba yang cepat sangat penting untuk

meminimalkan hasil pasien yang merugikan yang terkait dengan infeksi kaki, seperti
amputasi (Rasalam, et al., 2017). Namun penggunaan antibiotika yang tidak tepat dapat

menyebabkan kekebalan mikroba dan efek obat yang tidak dikehendaki. Di negara

berkembang, 30-80% pasien yang dirawat di rumah sakit mendapat terapi antibiotika.

Dari persentase tersebut, 20-65% penggunaannya dianggap tidak tepat (Lestari, 2011).

Salah satu faktor penyebab tingginya jumlah amputasi adalah kesalahan pada

antibiotik yang digunakan. Data terbaru dari Centers for Disease Control and

Prevention (CDC) AS menunjukkan bahwa jumlah rawat inap tahunan untuk "luka /

infeksi / pembengkakan" diabetes terus meningkat dengan mantap dari tahun 1980

sampai 2003. (Lipsky, et al., 2012).

Peresepan antibiotik yang kurang tepat akan menimbulkan masalah diantaranya


akan meningkatkan angka kejadian resistensi baik resistensi mikroba terhadap

antibiotik tunggal maupun kombinasi, peningkatan toksisitas akibat kesalahan

pemilihan antibiotik dan pemberian dosis serta frekuensi dan durasinya, memicu

timbulnya efek samping lain diluar penyakit yang diderita pasien, dan membuat infeksi

menjadi lebih lama penyembuhannya yang berdampak pada lama perawatan dan biaya

perawatan pasien yang tentunya merugikan (PERMENKES RI, 2011). Hal ini

berpotensi untuk terjadinya Drug Related Problems (DRPs). Drug Related Problems
4

(DRPs) merupakan suatu peristiwa yang tidak diinginkan yang dialami oleh pasien

yang berpotensi atau terbukti dapat mengganggu pencapaian terapi obat. Terjadinya

DRPs dapat mencegah atau menunda pasien dari pencapaian terapi yang diinginkan.

(Nurhalimah, 2012).

Terapi empiris antibiotik tidak boleh diambil untuk menentukan kebutuhan

antibiotik (Bakker et al., 2016). Semua pengaturan perawatan primer harus memiliki

jalur perawatan untuk mengelola ulkus diabetik dengan rejimen antibiotik spesifik
yang mempertimbangkan setiap masalah penolakan lokal. Pilihan antibiotik harus

didasarkan pada patogen penyebab penyebab yang terbukti, tingkat keparahan infeksi

dan bukti kemanjuran bagi ulkus diabetik dengan mempertimbangkan biaya (Rasalam,

et al., 2017). Allah SWT berfirman dalam QS Al Baqarah/2: 216.

َّ ‫ش ْيئًا َو ُه َو ش ٌَّر لَّ ُك ْۗ ْم َو‬


‫َّللاُ َي ْعلَ ُم‬ َ ‫س ٰى أَن ت ُ ِحبُّوا‬ َ ‫ش ْيئًا َو ُه َو َخي ٌْر لَّ ُك ْۖ ْم َو‬
َ ‫ع‬ َ ‫س ٰى أَن تَ ْك َر ُهوا‬
َ ‫ع‬
َ ‫َو‬
)٢١٦( َ‫َوأَنت ُ ْم ََل تَ ْعلَ ُمون‬
Terjemahan :
Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi
(pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah
mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.

Permasalahan terkait ulkus diabetik ini akan terus menerus berlanjut, sampai

tenaga medis yang terlibat didalamnya paham akan penatalaksanaan infeksi ulkus

diabetik yang tepat. Kunci untuk mengidentifikasi perubahan halus ini adalah

kesinambungan perawatan lintas multidisiplin (MDT) dan perawatan spesialis untuk

memahami patologi penyakit yang mendasarinya (Harding, et al., 2016). Umumnya,

tujuan perawatan dari ulkus diabetik adalah untuk mencapai penyembuhan total.

Namun, pada beberapa pasien ini mungkin tidak sesuai atau realistis. Penting bahwa
tujuan pengobatan didiskusikan dengan pasien dan perawat, dan rencana manajemen
5

ulkus diabetik yang telah sesuai dirumuskan (Dunning, 2016). Allah SWT berfirman

dalam Ar Ra’d/13: 11.

‫سو ًءا فَ ََل َم َردَّ لَ ُۚهُ َو َما‬ َّ َ‫َّللاَ ََل يُغ َِي ُر َما ِب َق ْو ٍم َحت َّ ٰى يُغ َِي ُروا َما ِبأَنفُ ِس ِه ْۗ ْم َو ِإذَا أ َ َراد‬
ُ ‫َّللاُ ِب َق ْو ٍم‬ َّ ‫ِإ َّن‬
)١١( ‫لَ ُهم ِمن د ُونِ ِه ِمن َوا ٍل‬
Terjemahan :
Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka
merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah
menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat
menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.

Apoteker memegang peranan penting dalam meningkatkan mutu pelayanan

kesehatan yang berorientasi. Sebagai seorang apoteker, peningkatan mutu pelayanan

ini dapat dilakukan melalui suatu proses pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care).

Untuk menghasilkan mutu pelayanan yang baik dan aman, maka dalam penentuan

kebutuhan tenaga harus mempertimbangkan kompetensi yang disesuaikan dengan jenis

pelayanan, tugas, fungsi, wewenang, dan tanggung jawabnya (PERMENKES RI,

2014). Dengan demikian diperlukan penelitian tentang keberhasilan penatalaksanaan

terapi obat khususnya antibiotik melalui evaluasi DRPs untuk pasien ulkus diabetik.
Berdasarkan paparan diatas, menunjukkan bahwa pentingnya evaluasi

penggunaan antibiotika pada pasien ulkus diabetik untuk menghindari atau

menurunkan angka Drug Related Problems (DRPs) khususnya pada kategori obat

salah, ketepatan dosis, dan interaksi obat, sehingga diharapkan dapat membantu

meningkatkan kualitas pelayanan di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar agar

tercapai suatu keberhasilan terapi.


6

B. Rumusan Masalah

1. Apakah terdapat Drug Related Problems (DRPs) kategori obat salah,

ketepatan dosis, dan interaksi obat dari penggunaan antibiotik pada pasien

ulkus diabetikum di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar.

2. Berapakah persentase kejadian masing-masing Drug Related Problems

(DRPs) kategori obat salah, ketepatan dosis, dan interaksi obat dari
penggunaan antibiotik pada pasien ulkus diabetikum di RSUP Dr. Wahidin

Sudirohusodo Makassar.

C. Defenisi Operasional dan Ruang Lingkup

1. Defenisi Operasional

a. Diabetes mellitus

Diabetes melitus (DM) merupakan kelompok kelainan metabolik menahun

akibat pankreas tidak memproduksi cukup insulin atau tubuh tidak dapat menggunakan

insulin yang diproduksi secara efektif yang ditandai dengan hiperglikemia dan kelainan

pada metabolisme karbohidrat, lemak dan protein (Dipiro et al., 2011).

b. Ulkus

Ulkus dapat didefenisikan sebagai adanya luka atau rusaknya barrier kulit

sampai ke seluruh lapisan (full thickness) dari dermis dan proses penyembuhannya

cenderung lambat. Komplikasi ini berhubungan dengan adanya kelainan saraf dan

pembuluh darah pada pasien DM (Agale, 2013).


7

c. Gangren

Gangren adalah kematian jaringan yang berhubungan dengan berhentinya

aliran darah ke daerah yang terkena. Pada umumnya, gangren diikuti kehilangan

nutrisi, invasi bakieri dan peinbusukan. Pada penderita DM, gangren bersifat basah dan

berbau khas (Anonim, 1998).

d. Antibiotik

Antibiotik adalah suatu jenis obat yang dihasilkan oleh mikroorganisme yang

dapat menghambat pertumbuhan atau dapat membunuh mikroorganisrne lain (Anief,

1996).

e. Drug Related Problem

Drug related problems (DRPs) adalah hal tak diinginkan yang dialami oleh

pasien yang berkaitan dengan terapi pengobatan, dan yang menghalangi tercapainya

tujuan terapi yang diinginkan. DRPs termasuk dalam domain praktisi Pharmaceutical

care, yang bertujuan untuk membantu pasien untuk mencapai tujuan terapi dan

mewujudkan hasil terbaik dari terapi (Cipolle et al., dalam review Adusumilli dan

Adepu, 2014).

f. Obat salah

Obat salah merupakan kategori DRPs dimana obat yang digunakan untuk

mengobati pasien tidak efektif atau terapi yang digunakan bukan yang paling efektif,

pasien alergi dengan obat tersebut, atau obat kotradiksi terhadap pasien (Strand et al.,

1990).
8

g. Ketepatan dosis

Pasien menerima dosis yang sesuai atau obat dilanjutkan cukup lama namun

tidak mencapai efek yang diinginkan disebut dengan dosis dibawah terapi. Sedangkan

keadaan dimana dosis melebihi dosis terapi memberikan efek yang berlawanan dengan

yang seharusnya (Strand et al., 1990).

h. Interaksi obat

Interaksi obat merupakan keadaan dimana pasien mengonsumsi obat atau

makanan secara bersamaan sehingga terdapat interaksi (Dipiro et al., 2008). Yang

dapat dilihat pada referensi drugs.com, medscape, dan Drug information handbook.

2. Ruang lingkup penelitian

Ruang lingkup penelitian ini yaitu Drug Related Problems (DRPs) kategori

obat salah, ketepatan dosis, dan interaksi obat dari penggunaan antibiotik pada pasien

ulkus diabetikum rawat inap di RSUP Wahidin Sudirohusodo, Makassar.

D. Kajian Pustaka
1. Sandra Fortuna (2015) meneliti tentang Studi penggunaan antibiotik pada

pasien DM dengan ulkus dan gangren. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

penggunaan antibiotika pada pasien DM dengan ulkus umumnya diberikan

secara empiris. Lama penggunaan antibiotika dimulai dari 3 hari sampai 12

hari tergantung pada keadaan pasien. Regimen dosis antibiotika yang

diberikan pada pasien DM dengan ulkus telah sesuai literatur. DRPs yang
9

teramati pada penelitian ini adalah terapi obat yang tidak efektif dan efek

samping aktual dari metronidazol yaitu mual dan muntah.

2. Yusi Anggriani (2015) melakukan penelitian tentang Clinical outcomes

penggunaan antibiotik pada pasien infeksi kaki diabetik dirumah sakit X.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan antibiotik masih belum

efektif dalam mencapai tujuan terapi. Berdasarkan Clinical outcomes, 11

pasien membaik, 15 memburuk, dan 4 meninggal dunia.


3. Corry Shirleyana Putri (2012) melakukan penelitian tentang rasionalitas

penggunaan antibiotika pada pasien DM tipe 2 dengan komplikasi Ulkus

diabetika. pada hasil penyajian data secara deskriptif, penilaian ketepatan

berdasarkan pemberian antibiotik pada pasien terdapat tepat dosis sebesar

27,78%, tepat indikasi 38,89%, tidak adanya interaksi obat 72,22%, tepat

pasien 8,33%, dan tepat obat 13,89%. Pada penilaian terhadap jumlah

pasien gangren kaki diabetik, terdapat 16,67% pasien sudah mendapatkan

dosis yang tepat, 16,67% pasien mendapatkan antibiotik sesuai indikasi,

55,56% pasien tidak mengalami interaksi obat, 11,11% pasien mendapatkan

terapi antibiotik tepat dengan kondisi pasien, dan 0% pasien mendapatkan


antibiotik tepat obat. Berdasarkan hasil penelitian, disimpulkan bahwa tidak

ada pasien gangren kaki diabetik yang mendapatkan pengobatan antibiotik

secara rasional.

4. Antonia Ari Susanti (2007) melakukan penelitian tentang evaluasi

pengobatan pasien DM dengan komplikasi ulkus/gangren di instalasi rawat

inap RS Bethesda Yogyakarta. Dari evaluasi DRPs, ditemukan 13 kasus

mengalami aktual DRPs, yaitu 8 kasus dosis kurang, 6 kasus butuh obat
10

terapi tambahan, 2 kasus obat tidak tepat, tidak perlu obat dan dosis berlebih

masing-masing 1 kasus.

E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui Drug Related Problems (DRPs)

kategori obat salah, ketepatan dosis, dan interaksi obat dari penggunaan antibiotik pada

pasien ulkus diabetikum rawat inap di RSUP Wahidin Sudirohusodo, Makassar.


Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah dapat dijadikan

sebagai sumber informasi dan pedoman bagi RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo

Makassar dalam penggunaan antibiotik pada pasien ulkus diabetikum, sehingga efek

terapi dari antibiotik menjadi optimal. Selain itu, dilakukannya penelitian ini

diharapkan dapat mendukung pelayanan asuhan kefarmasian.


11

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Teori Diabetes Mellitus

Diabetes melitus adalah penyakit metabolisme yang merupakan suatu

kumpulan gejala yang timbul pada seseorang karena adanya peningkatan kadar glukosa

darah di atas nilai normal. Penyakit ini disebabkan gangguan metabolisme glukosa

akibat kekurangan insulin baik secara absolut maupun relatif. Ada 2 tipe diabetes

melitus yaitu diabetes tipe I/diabetes juvenile yaitu diabetes yang umumnya didapat

sejak masa kanak-kanak dan diabetes tipe II yaitu diabetes yang

didapat setelah dewasa (RISKESDAS. 2013).

Kriteria diagnostik untuk diabetes mellitus yaitu terdapat gejala klasik DM

(polidipsi, polifagi, poliuri dan penurunan berat badan) dan hasil tesnya memenuhi

salah satu kriteria berikut :

1. Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) ≥ 200 mg/dl. Glukosa plasma

sewaktu (acak) merupakan hasil pemeriksaan sesaat (waktu tertentu) tanpa


memperhatikan jangka waktu makan terakhir.

2. Kadar glukosa darah puasa (plasma vena) ≥ 160 mg/dl. Puassa didefenisikan

sebagai pasien tidak mendapat kalori selama minimal 8 jam.

3. Kadar glukosa darah (plasma vena) 2 jam pada TTGO ≥ 200 mg/dl. TTGO

yang dilakukan sesuai standar WHO, menggunakan beban glukosa yang

setara 75 g glukosa anhidrus yang dilarutkan dalam air.

4. HbA1C ≥ 6,5%. Tes harus dilakukan dilaboratorium yang menggunakan

metode yang telah tersertifikasi oleh NGSP (National Glycohemoglobin


12

Standarization Program) dan distandarisasi oleh DCCT (Diabetes Control

and Complication Trial) (American Diabetes Association, 2014).

Pasien DM digolongkan dalam 1 dari 2 kategori besar yaitu DM tipe 1

disebabkan kekurangan insulin secara absolut, yaitu sel beta pankreas tidak mampu

memproduksi insulin sama sekali, atau DM tipe 2 yang disebabkan oleh sekresi insuli

yang tidak mencukupi. Diabetes mellitus yang timbul pada wanita saat masa kehamilan

disebut diabetes gestasional. Tipe DM lain yang disebabkan oleh infeksi,


endokrinopati, dan rusaknya kelenjar beta pankreas (International Diabetes

Federation, 2013).

Standar manajemen untuk diabetes telah dikembangkan oleh American

Diabetes Association (ADA), American College of Endocrinology (ACE), American

Association of Clinical Endocrinologists (AACE), yag dapat disajikan dalam tabel I

Tabel I. Standar Manajemen Diabetes oleh ADA, ACE, dan AACE.


Parameter ADA ACE/AACE

Glukosa preprandial 70-130 mg/dl. <110 mg/dl


Glukosa postprandial <180mg/dl <140 mg/dl
HbA1C <7% <6,5%

(Dipiro et al., 2011)

B. Teori Ulkus / Gangren Diabetik

Ulkus dapat didefenisikan sebagai adanya luka atau rusaknya barrier kulit

sampai ke seluruh lapisan (full thickness) dari dermis dan proses penyembuhannya

cenderung lambat. Komplikasi ini berhubungan dengan adanya kelainan saraf dan

pembuluh darah pada pasien DM (Agale, 2013). Adanya asterosklerosis pada

pembuluh darah pasien DM akan menurunkan aliran darah serta suplai oksigen ke
13

jaringan. Hal tersebut dapat menyebabkan kematian jaringan atau gangren (Dinh,

2011).

Pada orang dengan diabetes, infeksi kaki adalah masalah yang semakin umum

yang terkait dengan durasi penyakit, dan oleh karena itu kemungkinan komplikasi

diabetes. Infeksi paling baik didefinisikan sebagai invasi dan multiplikasi

mikroorganisme dalam jaringan inang yang menginduksi respons inflamasi host,

biasanya diikuti oleh kerusakan jaringan. Ulkus diabetik didefinisikan secara klinis
sebagai manifestasi dari proses ini di jaringan lunak atau tulang di mana saja di bawah

malleoli pada seseorang dengan diabetes. Infeksi ini biasanya dimulai dengan istirahat

pada lapisan pelindung kulit, biasanya di tempat trauma atau ulserasi (IWGDF, 2015)..

Neuropati perifer (kebanyakan sensorik, tetapi juga motorik dan otonom)

adalah faktor utama yang menyebabkan kerusakan kulit; luka terbuka ini kemudian

menjadi tercemar dan dalam banyak kasus, akhirnya terinfeksi. Kaki iskemia, terkait

dengan penyakit arteri perifer, juga sering terjadi pada pasien dengan Ulkus diabetik.

Meskipun jarang penyebab utama luka kaki, kehadiran iskemia ekstremitas

meningkatkan risiko luka menjadi terinfeksi dan berdampak buruk pada hasil infeksi

(IWGDF, 2015)..
Luka kaki pada pasien diabetes sering menjadi kronis, terkait dengan

hyperglycemia induced advanced glycation end-products, peradangan persisten dan

apoptosis. Faktor-faktor yang mempengaruhi infeksi kaki termasuk: luka yang dalam,

lama berdiri atau berulang, atau etiologi traumatik; gangguan imunologis terkait

diabetes yang tidak jelas terkait dengan fungsi neutrofil; dan, gagal ginjal kronis

(IWGDF, 2015).
14

Ulkus diabetik adalah suatu komplikasi kronik yang mengenai kaki. Masalah

kaki ini berupa borok di kaki dengan atau tanpa infeksi yang dapat terlokalisasi.

menyerang seluruh kaki. maupun kematian berbagai jaringan tubuh. Selulitis

merupakan infeksi yang telah menyebar ke datam kulit dan jaringan di bawah kulit.

Abses merupakan kumpulan nanah setempat dalam rongga yang terbentuk akibat

kerusakan jaringan, sebagai perkembangan dan selulitis. Osteomielitis, yaitu infeksi

yang menyebar ke jaringan dasar tulang. Gangren adalah kematian jaringan yang
berhubungan dengan berhentinya aliran darah ke daerah yang terkena. Pada umumnya,

gangren diikuti kehilangan nutrisi, invasi bakieri dan peinbusukan. Pada penderita DM,

gangren bersifat basah dan berbau khas (Anonim, 1998).

Sementara sebagian besar ulkus diabetik relatif dangkal pada presentasi,

mikroorganisme dapat menyebar secara berdekatan ke jaringan subkutan, termasuk

fasia, tendon, otot, sendi dan tulang. Anatomi kaki, yang dibagi menjadi beberapa

kompartemen yang kaku tetapi interkomunikasi, memupuk penyebaran proksimal

infeksi (IWGDF, 2015).

Respon inflamasi yang disebabkan oleh infeksi dapat menyebabkan tekanan

kompartemen untuk melebihi tekanan kapiler, yang menyebabkan nekrosis jaringan


iskemik. Tendon dalam kompartemen memfasilitasi penyebaran proksimal infeksi,

yang biasanya bergerak dari daerah tekanan tinggi ke bawah. Faktor virulensi bakteri

juga dapat berperan dalam infeksi kompleks ini. Strain Staphylococcus aureus yang

diisolasi dari pembengkakan yang tidak terinfeksi secara klinis telah terbukti memiliki

potensi virulensi yang lebih rendah daripada yang terinfeksi. Demikian pula, klon

kompleks MRSA dengan tropisme untuk tulang telah muncul sebagai patogen
15

staphylococcal utama dalam penanganan osteomyelitis kaki diabetik (Senneville, et

al., 2014).

Insiden terjadinya ulkus dan gangren pada pasien diabetes yaitu berkisar 2-10%

dan diperkirakan 15-25% pasien diabetes mengalami ulkus seumur hidupnya. Resiko

terjadinya infeksi dan amputasi masih tinggi yaitu 40-80% pasien akan mengalami

infeksi, dan sekitar 5-24% pasien tersebut memerlukan tindakan amputasi (Richard et

al, 2011).
Faktor resiko utama terjadinya ulkus dan gangren pada pasien diabetes adalah

hiperglikemia yang menyebabkan insufisiensi vaskular dan neuropati. Sekitar 20%

pasien diabetes dengan ulkus memiliki aliran darah arteri yang tidak memadai, sekitar

50% memiliki neuropati, dan sekitar 80% memiliki kedua komplikasi tersebut (Ahmad,

2015). Selain itu, kontrol glukosa yang buruk, ulkus dan gangren dapat diperburuk oleh

faktor-faktor lain, diantaranya adalah bertambahnya usia, lamanya mengidap diabetes,

jenis kelamin (laki-laki), komorbid (penyakit jantung, hipertensi), riwayat ulkus atau

amputasi sebelumnya, deformasi struktural, infeksi, dan HbA1C (Wangnoo, et al.,

2015).

Gangguan pembuluh darah perifer (Pheriferal vascular disease) jarang menjadi


faktor utama penyebab ulkus secara langsung. Walaupun demikian, penderita ulkus

diabetik akan membutuhkan waktu yang lama untuk sembuh dan resiko amputasi

meningkat karena insufisiensi arterial. Usaha untuk menghentikan infeksi akan

terhambat karena kurangnya oksigenasi dan penghantaran antibiotik ke area infeksi.

Oleh karena itu penting dilakukan penatalaksanaan iskemik pada kaki (Frykberg, et al.,

2000).
16

Kelainan bentuk pada kaki (deformity) dan adanya riwayat ulserasi dan

amputasi. Kelainan bentuk pada kaki karena neuropati, biomekanik tidak normal, cacat

bawaan, atau akibat pembedahan sebelumnya mengakibatkan tingginya tekanan pada

kaki. Hal ini menyebabkan kecenderungan timbulnya ulkus pada daerah telapak kaki.

Area yang utama adalah pada telapak kaki, juga bagian tengah dan pada punggung kaki

karena pemakaian sepatu yang tidak sesuai. Trauma pada kaki yang dialami oleh

penderita DM neuropati perifer merupakan faktor penting penyebab ulserasi. Trauma


tersebut dapat meliputi luka tusukan dan luka karena benda tumpul lain yang sering

berjalan tiap hari akibat tekanan yang terus berulang-ulang. Manifestasinya adalah

terbentuk kalus (Frykberg, et al., 2000).

Trauma pada kaki yang dialami oleh penderita DM neuropati perifer merupakan

faktor penting yang menyebabkan ulserasi. Trauma tersebut meliputi luka tusukan,

luka karena benda tumpul, dan yang paling sering adalah tekanan yang berulang-ulang

seperti berjalan setiap hari. Manifestasinya ialah terbentuknya kalus. Pemakaian sepatu

yang tidak sesuai juga dapat menjadi penyebab terjadinya ulkus pada kaki (Frykberg,

et al., 2000).

Keterbatasan pergerakan tulang baru diketahui sebagai faktor resiko penyebab


ulserasi. Glikosilasi kolagen sebagai akibat dari penderita DM yang menyebabkan

ligamen menjadi kaku. Keadaan tersebut menyebabkan keterbatasan pergerakan sendi

kaki sehingga tekanan pada telapak kaki meningkat, dan dapat beresiko ulserasi

(Frykberg, et al., 2000).

Gangguan lain yang dapat menyebabkan ulserasi adalah gangguan penglihatan,

kontrol glukosa darah, gangguan ginjal kronik dan usia tua (Frykberg, et al., 2000).
17

Klasifikasi yang tepat dan ulkus pada kaki mendasari penilaian, memudahkan

penatalaksanaan dan dapat meramalkan hasil yang diharapkan. Sistern yang paling

sederhana adalah neuropatik, iskernik dan neuroiskemik yang dideskripsikan dengan

ukuran dan kedalaman ulkus dan infeksi. Narnun tidak hanya satu sistem kiasifikasi

yang digunakan secara umum. Sistem klasifikasi yang umum digunakan adalah

menurut Wagner. Wagner membagi ulkus pada kaki ke dalam 6 tingkat berdasarkan

luas luas nekrosis jaringan dan menunjukkan adanya infeksi. Tabel II menunjukkan
klasifikasi Wagner-Megit.

Tabel II. Klasifikasi Wagner-Megit


Stadium Keterangan
0 Tidak ada ulkus, pembentukan kalus
1 Ulkus superfisial, secara klinis tidak ada infeksi
Ulkus dalam, sering dengan selulitis, tak ada abses atau
2 infeksi tulang
3 Tukak dalam yang melibatkan tulang atau pembentukan abses
4 Gangren lokal (ibu jari, kaki, tumit)
5 Gangren seluruh kaki

(Lipsky, et al., 2012)

The International consensus on Diabetic Foot (2017) juga membuat sistem

kiasifikasi ulkus diabetik untuk tujuan pcnclitian. Kiasifikasi tersebut diringkas dengan

akronim PEDIS (perfusion, extent/size, depth/tissue loss. infection and sensation).

Kiasifikasi yang ditunjukkan pada Tabel III dapat menjelaskan tingkat keparahan

infeksi yang meliputi grade I (tidak ada infeksi), grade 2 (adanya infeksi pada kulit

dan pada jaringan lunak saja), grade 3 (adanya selulitis, infeksi yang mendalam), grade

4 (adanya sindrom respon inflamasi secara sistemik)


18

Tabel III. Klasifikasi tingkat keparahan infeksi menurut IDF


Keparahan PEDIS
Manifestasi Klinik Infeksi Grade
Tidak
Luka atau ada tanda inflamasi 1
Terinfeksi
Terdapat >2 tanda (erithema, nyeri, panas), dan
ada selulitis dengan ukuran < 2 cm mengelilingi Ringan 2
ulkus, infeksi pada kulit dan jaringan lunak,
tidak ada komplikasi lokal atau kelainan sistemik
Adanya tanda infeksi (seperti tanda diatas) pada
pasien yang sistemik dan metabolik yang
normal, tetapi mempunyai > 1 tanda berikut : Sedang 3
selulitis > 2 cm, adanya cairan limfa, abses
jaringan yang dalam, gangren dan melibatkan
otot, tendon, tulang, dan tulang sendi.
Infeksi pada pasien dengan adanya gangguan
sistemik dan metabolik, seperti demam,
kedinginan, takikardia, hipotensi, kebingungan, Berat 4
mual muntah, leukositosis, asidosis,
hiperglikemia berat, atau azotemia

(Lipsky, et al., 2012).

Infeksi pada ulkus dan gangren diabetik umumnya disebabkan oleh

polimikrobial. Dan beberapa penelitian menunjukkan bakteri aerob (Staphylococcus

aureus, Pseudomonas aeruginosa) dan bakteri anaerob (Peptostreptococcus sp)

merupakan penyebab utama infeksi pada ulkus/gangren dan memperlambat


penyembuhan. (Kannan et al., 2014). Berbagai penelitian menunjukkan

Staphylococcus aureus adalah bakteri yang paling sering menignfeksi ulkus dan

gangen pada pasien diabetes melitus yaitu berkisar 23% - 76% (Gardner dan Frantz,

2008).
19

Tabel IV. Profil isolasi bakteri pada pasien ulkus dan gangren diabetik
Kelompok Nama Bakteri Jumlah Persentase (%)
Bakteri Aerob Staphylococcus aureus 23 38,3
(Gram positif)
Staphylococcus 14 23,3
epidermidis
Staphylococcus 7 11,7
saprophyticus
Staphylococcus pyogenes 4 6,7
Staphylococcus mutans 2 3,3
Bakteri aerob Proteus sp 4 6,7
(Gram negatif)
Eschericia coli 6 10
Pseudomonas Aeruginosa 26 43,3
Kleibseilla sp 1 1,7
Peptostreptococcus sp 16 26,7
Bakteri anaerob Anaerobic streptococi 6 10
Bacteriodes fragilis 3 5
Clostridium spp 1 1,7

(Kannan et al., 2014)

Penatalaksanaan ulkus diabetes secara garis besar ditentukan oleh derajat

keparahan ulkus, vaskularisasi dan adanya infeksi. Terapi awal yang diberikan pada

keadaan ulkus dan gangren bertujuan menghindari tindakan amputasi, antara lain

dengan melakukan debridernent, dressing, off-loading, pengendalian glukosa darah

dengan insulin dan Obat Hipoglikemik Oral (OHO), penanganan infeksi dengan

antibiotika, serta memperbaiki kelainan vaskular dan sirkulasi dengan revaskularisasi

(Lipsky et al., 2012).

Sasaran terapi ulkus DM adalah kuman penginfeksi. Infeksi biasanya

disebabkan oleh Staphylococcus aureus, bakteri Gram-negatif aerob seperti

Enterobacter sp., Escherichia coli, Kliebsiella sp., Proteus mirabilis, Pseudomonas


aeruginosa, dan bakteri anaerob seperti Peptostreptococcus (Guglielmo, et al., 2001).
20

Kuman penginfeksi dan antibiotika yang sensitif terhadap kuman penginfeksi tersebut

dapat diketahui dengan kultur dan sensitivitas tes.

Terapi farmakologis dilakukan dengan pemberian antibiotika dan tindakan

pembedahan luka atau amputasi. Antibiotika dan pembedahan penting untuk ulkus

terinfeksi. Perawatan pasien rawat jalan dilakukan dengan merawat dan membersihkan

luka, kultur kuman, dan pemberian antibiotika oral kernudian dievaluasi dalam tiga

sampai lima hari. Terapi antibiotika diberikan apabila kultur dan sensitivitas tes tidak
dilakukan. Terapi definitif diberikan berdasarkan hasil kultur serta uji sensitivitas yang

diperoleh dan spesimen luka. Secara umum, durasi penggunaan antibiotika harus

seminimal mungkin. Terapi antibiotika hanya digunakan untuk penanganan infeksi,

tidak untuk menyembuhkan luka yang biasanya membutuhkan waktu lebih lama

(Leese et al., 2009). Data beberapa penelitian menunjukkan sebagian besar pasien yang

mengalami infeksi ulkus/gangren akan membaik setelah 1-2 minggu dilakukan terapi.

Penggunaan antibiotika yang terlalu panjang akan meningkatkan terjadinya efek

samping yang tidak diinginkan, resistensi antibiotika, dan tingginya biaya (Lipsky et

al., 2012).

Seringkali pasien yang mengalami infeksi berat memerlukan intervensi bedah


darurat. Jika ini tidak tepat, pedoman IDSA pada pengobatan antibiotik infeksi kaki

diabetik harus diikuti. Penting untuk mengidentifikasi patogen dan profil kerentanan

dari metode kultur yang sesuai, termasuk sampel jaringan dalam. Pada infeksi jaringan

lunak yang parah, namun non-bedah atau rumit, rujukan ke spesialis penyakit menular

mungkin diperlukan untuk memastikan keterlibatan penyakit menular aktif termasuk

dalam rencana perawatan. Langkah pertama dalam perawatan luka adalah menyeluruh,

pembersihan rutin, ini termasuk menghilangkan semua puing-puing permukaan,


21

jaringan yang mengelupas dan terinfeksi; area nekrosis harus didebahkan ke titik

jaringan yang bersih dan sehat (Harding, et al., 2016).

Mencegah atau mengendalikan infeksi pada ulkus kaki diabetik sangat penhing

untuk mencegah komplikasi seperti osteomielitis (Infeksi tulang) atau amputasi.

Penanganan awal biasanya dilakukan secara empiris, berdasarkan tingkat keparahan

infeksi atau data epidemiologi dan resistensi lokal (Leese et al., 2009).

Tabel V. Terapi empiris antibiotika pada pasien infeksi ulkus/gagren diabetik


Tingkat keparahan Bakteri penyebab Antibiotika
infeksi
Infeksi ringan atau Staphylococcus 1. Dikloksasilin
Mild (biasanya agen per aureus (MSSA); 2. Klindamisin**
oral) Streptococcus spp
3. Sefaleksin**
4. Levofloksasin**
5. Amoksisilin-
klavulanat**
1. Doksisiklin
(Lipsky et al., 2012) Methicillin
ressistant S.aureus 2. Trimetropim/
(MRSA) 3. Sulfametoksazol
Infeksi lokal (tanpa ada Staphylococcus 1. Kloksasilin
limb/life threatening aureus , β– 2. Sefaleksin
dapat disertai selulitis) hemolytic
streptococci 3. Kotrimoksazol
4. Klindamisin
(Bowering dan Embing,
2013) 5. Amoksisilin-Klavulanat
6. Doksisiklin
7. Linezolid
Infeksi sedang atau Streptococcus spp; 1. Seftriakson
Moderate (dapat Enterobacteriaceae; 2. Ampisilin-sulbaktam**
diberikan agen oral obligate anaerob
maupun parenteral) dan 3. Moksifloksasin**
infeksi berat (Severe) 4. Ertapenem**
(Lipsky et al., 2012) 5. Tigesiklin**
22

6. Levofloksasin/
Siprofloksasin dengan
Klindamisin**
7. Imipenem-Cilastatin**
8. Meropenem
Infeksi luas Streptococcus; 1. Amoksisilin klavulanat
Staphylococcus;
(infeksi terjadi pada 2. Moksifloksasin
Enterobacteriaceae;
jaringan yang lebih luas obligate anaerob 3. Linezolid
dan dalam, selulitis
yang lebih berat dan 4. Kotrimoksazol
dapat disertai abses 5. Sefotiksin
plantar)
6. Sefalosporin generasi
pertama (sefazolin), kedua
(sefuroksim), ketiga
(seftriakson atau
sefotaksim) +
Metronidazole
7. Piperasilin-tazobactam
8. Klinamisin + Sefalosporin
generasi ketiga
(sefotaksim, sefuroksim,
seftazidim)
Infeksi Berat 1. Linezolid**
MRSA 2. Daptomisin**
(Lipsky et al., 2012) 3. Vankomisin
Pseudomonas 1. Piperasilin-tazobaktam**
aeruginosa
1. Vankomisin
2. Seftazidim
3. Sefepim
4. Piperasilin-Tazobaktam
MRSA;
Enterobacteriaceae; 5. Aztreonam
Pseudomonas; 6. Karbapenem
Obligate anaerob
7. Kloksasilin
8. Sefaleksin
9. Kotrimoksazol
10. Klindamisin
23

11. Amoksisilin-klavuanat
12. Doksisiklin
13. Linezolid
14. Kotrimoksazol +
Metronidazole /
Klindamisin
15. Levofloksasin /
Klindamisin +
Metronidazole /
Klindamisin
16. Piperasilin-Tazobaltam
Klindamisin +
Sefalosporin generasi
ketiga (sefotaksim,
sefuroksim, seftazidim)
17. karbapenem
Infeksi berat desertai 18. Linezolid
osteomielitis
MRSA 19. Vankomisin
(Bowering dan Embil,
2013)

Keterangan :
a. Agen antibiotika yang dicetak tebal merupakan agen yang sering
digunakan untuk perbandingan pada penelitian.
b. ** Antibiotika yang memperlihatkan keefektifan pada uji klinis
termasuk pasien dengan ulkus diabetes
c. Agen berspektrum sempit seperti vankomisin, linezolid. daptomisin
sebaiknya dikombinasi dengan agen lain (misalnya fluorokuinolon)
untuk infeksi polimikrobial (terutama intì.ksi sedang hingga berat).
d. Gunakan agen yang aktif terhadap MRSA pada infeksi berat atau pada
infeksi yang rentan terhadap MRSA.
e. Pemilihan terapi definitif hams berdasarkan kultur bakteri dan
sensitivitas dan spesimen luka, serta respons klinis terhadap terapi
empiris yang diberikan
f. Agen pada kelas/golongan yang sama dapat menjadi pilihan untuk
subtitusi terapi
(Lipsky et al., 2012)
Rujukan awal dan assesment oleh tim multidisiplin ahli merupakan kunci untuk

meningkatkan hasil. Assesment menyeluruh mendukung manajemen pasien dengan


24

DFU. Penilaian awal harus mencakup evaluasi: manajemen diabetes dan kendali

glukosa darah, riwayat sebelumnya ulserasi kaki dan operasi, status merokok, gejala

dan tanda-tanda arteri perifer atau penyakit vena, gejala dan tanda neuropati perifer,

dan evaluasi muskuloskeletal, tanda-tanda infeksi sistemik, nyeri (yang terkait dengan

luka), keadaan sosial ekonomi, ketangkasan, ketajaman penglihatan dan wawasan

pasien (Miller, et al., 2014).

Infeksi merupakan ancaman utama dalam ulkus diabetes, lebih dari pada luka
etiologi lain yang tidak mengalami perubahan diabetes. Ini memiliki implikasi serius

karena kemampuannya untuk menghancurkan jaringan, dan hubungannya dengan

amputasi. Sekitar setengah dari semua ulkus diabetik secara klinis terinfeksi pada saat

presentasi, dan infeksi mendahului sekitar 60% amputasi (Harding, et al., 2016)

Pedoman merekomendasikan bahwa infeksi pada ulkus diabetik didiagnosis

atas dasar keberadaan dua atau lebih dari yang berikut: pembengkakan atau indurasi

lokal, eritema, kelembutan atau rasa sakit lokal, kehangatan lokal, dan sekresi purulen

(Harding, et al., 2016)

Neuropati dan penyakit vaskular perifer dapat menumpulkan atau menutupi

tanda dan gejala infeksi pada ulkus diabetik (Bakker, et al., 2012). Hingga 50% pasien
tidak ditemukan tanda-tanda klasik seperti infeksi, seperti kemerahan, panas dan

pembengkakan (Chadwick, et al., 2015). Dalam kasus seperti itu, diagnosis infeksi

mungkin bergantung pada pengakuan tanda-tanda infeksi lokal yang lebih halus, yang

mungkin termasuk: Peningkatan eksudat Jaringan granulasi pecah atau berubah warna,

merusak tepi luka, dan bau busuk (Harding, et al., 2016).

Penting untuk mengenali tanda-tanda infeksi yang halus yang mungkin

termasuk hanya salah satu tanda dalam daftar satu, dikombinasikan dengan dua tanda
25

infeksi lokal. Kunci untuk mengidentifikasi perubahan halus ini adalah kesinambungan

perawatan lintas multidisiplin (MDT) dan perawatan spesialis untuk memahami

patologi penyakit yang mendasarinya. Pada infeksi berat, tanda-tanda sistemik seperti

demam atau hipotermia, peningkatan denyut jantung dan pernapasan, dan jumlah sel

darah putih yang tinggi atau rendah juga dapat terjadi. Infeksi ulkus diabetik

diklasifikasikan sebagai ringan, sedang atau berat sesuai dengan tingkat dan keparahan

dari tanda-tanda klinis, dan apakah gejala sistemik hadir (Bakker, et al., 2012)
Diagnosis infeksi pada ulkus diabetik sebagian besar dibuat berdasarkan klinis.

Namun, jika infeksi dicurigai, ulkus diabetik harus diambil sampelnya setelah

debridemen untuk analisis mikrobiologi (Chadwick, et al., 2015). Hasilnya harus

digunakan untuk memandu pemilihan antibiotik (Harding et al., 2016).

Kesesuaian pasien dan perawat untuk perawatan di rumah perlu dinilai dengan

hati-hati. Pasien atau perawat perlu memiliki ketajaman penglihatan yang cukup,

fleksibilitas fisik dan ketangkasan untuk mengganti pembalut dan memeriksa luka, dan

memiliki wawasan yang cukup ke dalam penyakit sehingga dapat membantu jika luka

memburuk. Penggunaan buku harian atau rekam medik pasien dapat membantu

melacak perawatan dan memantau lukanya untuk mendeteksi perubahan (Harding et


al., 2016).

Umumnya, tujuan perawatan dari ulkus diabetik adalah untuk mencapai

penyembuhan total. Namun, pada beberapa pasien ini mungkin tidak sesuai atau

realistis, misalnya karena pasien sangat lemah, memiliki penyakit pembuluh darah

perifer yang tidak bisa dioperasi atau sakit parah. Penting bahwa tujuan pengobatan

didiskusikan dengan pasien dan perawat, dan rencana manajemen yang sesuai

dirumuskan. Tujuan rencana dapat mencakup pencegahan infeksi atau deteriorasi,


26

manajemen eksudat, bau dan rasa sakit, memaksimalkan fungsi dan meminimalkan

dampak pada kualitas hidup, dan menyederhanakan perawatan luka (Dunning, 2016).

Karena semua luka kulit mengandung mikroorganisme, keberadaan mereka

(bahkan jika mereka adalah spesies mematikan) tidak dapat dianggap sebagai bukti

infeksi. Beberapa berpendapat bahwa kehadiran sejumlah besar bakteri (biasanya

didefinisikan sebagai ≥105 unit pembentuk koloni per gram per jaringan) harus

menjadi dasar untuk mendiagnosis infeksi, tetapi tidak ada data yang meyakinkan
mendukung konsep ini untuk luka, termasuk di kaki diabetes. Selain itu, mikrobiologi

kuantitatif jarang tersedia di luar laboratorium penelitian. Dengan demikian, ulkus

diabetik harus didiagnosis secara klinis, dengan kultur luka berfungsi untuk

menentukan organisme penyebab dan kepekaan antibiotik mereka. Dokter harus

mengevaluasi pasien diabetes yang mengalami luka kaki pada tiga tingkat: pasien

secara keseluruhan (misalnya, kognitif, metabolisme, status cairan), kaki atau anggota

badan yang terkena (misalnya, adanya neuropati, insufisiensi vaskular), dan orang yang

terinfeksi luka. Diagnosis klinis bertumpu pada adanya setidaknya dua temuan lokal

peradangan, yaitu, kemerahan (eritema atau rubor), kehangatan (kalor), nyeri atau nyeri

tekan (dolor), indurasi (pembengkakan atau tumor) atau sekresi purulen. Fitur lain
(kadang-kadang disebut sekunder) yang menandakan infeksi termasuk adanya

nekrosis, jaringan granulasi yang rapuh atau berubah warna, sekresi non-purulen, bau

foetid atau kegagalan luka yang dirawat dengan benar untuk sembuh (IWGDF, 2015).

Karena infeksi didiagnosis secara klinis, tujuan pengambilan sampel

mikrobiologi adalah untuk mengidentifikasi kemungkinan patogen dan kerentanan

antibiotik mereka untuk memungkinkan dokter untuk memilih terapi antimikroba yang

paling tepat. Infeksi akut pada pasien yang sebelumnya tidak diobati biasanya
27

disebabkan oleh cocci gram positif aerobik (sering sebagai infeksi monomicrobial),

tetapi luka yang dalam atau kronis sering mengandung flora polymicrobial, termasuk

bakteri gram negatif aerobik dan obligat anaerob. Gangguan kulit, paparan lingkungan,

dan terutama terapi antibiotik baru-baru ini dapat menjadi predisposisi terhadap

patogen yang tidak biasa atau resisten antibiotik. Kultur luka sangat membantu untuk

sebagian besar ulkus diabetik, tetapi sulit diperoleh pada kasus selulitis tanpa ulserasi

(di mana aspirasi kulit memiliki sensitivitas terbatas) dan tidak diperlukan untuk luka
yang tidak terinfeksi secara klinis. Satu pengecualian adalah kultur luka yang tidak

terinfeksi ketika mencari bukti kolonisasi dengan organisme yang sangat resisten untuk

menentukan apakah isolasi pasien yang dilembagakan diperlukan (IWGDF, 2015).

Hasil dari kultur luka hanya berguna jika spesimen dikumpulkan dan diproses

secara tepat. Meskipun apusan luka terbuka mudah dikumpulkan, beberapa penelitian

telah dengan jelas menunjukkan bahwa hasil kultur dengan spesimen ini kurang sensitif

dan spesifik daripada spesimen jaringan. Spesimen jaringan yang diperoleh secara

aseptik biasanya hanya mengandung patogen yang benar, sementara kultur lesi

superfisial sering menghasilkan campuran patogen, organisme kolonisasi dan

kontaminan, dan kehilangan organisme fakultatif dan anaerobik (IWGDF, 2015).


Spesies bakteri tunggal atau dominan yang diidentifikasi pada kultur spesimen

berkualitas baik (dan terlihat, jika tersedia, pada noda Gram) kemungkinan adalah

patogen sejati. Jika beberapa organisme terisolasi, terutama dari ulkus superfisial, sulit

untuk menentukan patogen. Layanan mikrobiologi klinis harus bekerja erat dengan

dokter dan melaporkan hasilnya dengan cara yang mudah dipahami oleh penerima.

Menargetkan pengobatan antibiotik terhadap kemungkinan penjajah (misalnya,

staphylococci koagulase-negatif, corynebacteria) mungkin tidak diperlukan. Namun,


28

spesies ini terkadang merupakan patogen sejati, terutama jika mereka tumbuh berulang

kali atau dari spesimen yang dapat diandalkan (IWGDF, 2015).

Di sebagian besar pusat, S. aureus adalah patogen yang paling sering terisolasi,

dan mungkin paling virulen, baik sendiri atau dalam kombinasi. Streptococci (berbagai

kelompok β-hemolitik dan lain-lain) juga merupakan patogen penting. Enterococci

adalah isolat yang relatif sering tetapi biasanya memiliki kepentingan klinis sekunder.

Infeksi yang membutuhkan rawat inap sering polimikroba dan mungkin termasuk
berbagai jenis aerob dan anaerob. Bakteri Gram-negatif (terutama Enterobacteriaceae,

kadang-kadang P. aeruginosa, atau spesies gram negatif lainnya) biasanya diisolasi

bersama dengan cocci gram positif dari pasien dengan infeksi kronis atau sebelumnya

diobati; mereka sering, tetapi tidak selalu, patogen sejati (IWGDF, 2015).

Banyak penelitian terbaru telah melaporkan bahwa organisme gram negatif

(terutama P. aeruginosa) adalah isolat yang paling sering terjadi di ulkus diabetik yang

terjadi pada pasien dalam iklim hangat, terutama di Asia dan Afrika. Tidak jelas apakah

ini terkait dengan faktor lingkungan, alas kaki, kebersihan pribadi, pra-perawatan

antimikroba atau faktor lainnya. Spesies anaerobik wajib adalah paling sering diisolasi

dari luka iskemik atau nekrotik atau yang melibatkan jaringan dalam; mereka jarang
satu-satunya patogen dan paling sering merupakan bagian dari infeksi campuran

dengan aerob (IWGDF, 2015).

Organisme yang resistan terhadap berbagai obat, terutama MRSA, lebih sering

diisolasi dari pasien yang baru-baru ini menerima terapi antibiotik, sebelumnya telah

dirawat di rumah sakit atau tinggal di fasilitas perawatan kronis atau yang telah

mengalami amputasi sebelumnya (Ertugrul, et al., 2012). Setelah prevalensi MRSA

meningkat secara dramatis di banyak negara dimulai pada akhir 1990-an, itu baru-baru
29

ini mulai menurun di sebagian besar negara, seiring dengan peningkatan tindakan

pengendalian infeksi rumah sakit. Ulkus diabetik yang disebabkan oleh MRSA

dianggap berhubungan dengan yang lebih parah (IWGDF, 2015).

Perbedaan yang bermanfaat sebelumnya dari komunitas yang didapat

(cenderung tidak resisten terhadap antibiotik lain dan seringkali lebih ganas)

dibandingkan dengan strain yang terkait dengan perawatan kesehatan menjadi kurang

dapat diandalkan dalam beberapa tahun terakhir. Dalam dekade terakhir, organisme
multi-resisten lainnya, terutama gram negatif dengan spektrum luas ß-laktamase

(ESBL) (Islam, et al., 2013), dan bahkan karbapenamase (Tascini, et al., 2015) telah

dilaporkan menyebabkan ulkus diabetik. Enterococci resisten Vancomycin kadang-

kadang pulih dari infeksi kaki pada orang dengan diabetes, tetapi jarang patogen klinis

yang signifikan. Sebagian besar kasus infeksi dengan superu yang sangat langka, tetapi

sangat ditakuti, S. aureus resisten vankomisin, berasal dari pasien dengan infeksi kaki

diabetik.(Dezfulian, et al., 2012).

C. Teori Antibiotika

Antibiotik adalah suatu jenis obat yang dihasilkan oleh mikroorganisme yang

dapat menghambat pertumbuhan atau dapat membunuh mikroorganisrne lain (Anief,


1996). Antibiotik secara umum digunakan untuk mengobati suatu infeksi yang terjadi

pada tubuh dan disebabkan oleh bakteri. Antibiotika memiliki beberapa mekanisme

kerja pada kuman, antara lain (Jawetz, 1987):

1. Antibiotika yang bekerja menghambat sintesis dinding sel kuman, contoh:

sefalosporin, sikioserin, penisilin, ristosetin


30

2. Antibiotika yang merubah permeabilitas membran sel atau mekanisme

transport aktif sel, contoh : amfoterisin, kolistin, imidazol, nistatin, dan

polimiksin

3. Antibiotika yang bekerja dengan menghambat sintesis protein, contoh :

kloramfenikol, eritromisin, linkomisin, tetrasikiin, dan aminoglikosida

4. Antibiotika yang bekerja melalui penghambatan sintesis asam nukleat,

contoh : asam nalidiksat, novobiosin, pirimetamin, rifampisin, sulfonamida.


Trimetoprim.

Beberapa bakteri sangat berperan dalam infeksi luka, terutama bakteri yang

sering berkembang pada bagian kulit. Hal ini sangat penting untuk peimilihan

antibiotika yang sesuai pada jenis bakteri yang menginfeksi. Berikut di bawah mi yang

merupakan beberapa bakteri penginfeksi luka beserta antibiotik yang tepat digunakan.

Antibiotika umumnya di resepkan untuk lima sampai tujuh hari. Secara umum

terapi dihentikan tiga hari setelah gejala-gejala infeksi hilang. Pemantauan dini tiga

hari setelah permulaan terapi penting untuk menentukan tepat atau tidaknya pemberian

antibiotika. Jika pemberian antibiotika tepat maka pengobatan dilanjutkan seperti

semula. Namun jika belum tepat dapat dilakukan peningkatan atau penurunan
pengobatan antibiotika. Peningkatan pengobatan dilakukan dengan beralih dan

pengobatan oral ke parenteral, menaikkan dosis, atau beralih ke antibiotika dengan

spektrum yang lebih luas. Penurunan pengobatan dilakukan dengan beralih dan

pengobatan parenteral ke oral, menurunkan dosis, atau beralih ke antibiotika dengan

spektrum yang lebih sempit dan spesifik. Pengobatan antibiotika dihentikan apabila

infeksi sembuh yaitu tujuan pengobatan telah dicapai atau bila diagnosisnya berubah

(Juwono dan Prayitno, 2003).


31

Kombinasi antibiotika dapat digunakan pada berbagai keadaan seperti

pengobatan permulaan pada pasien dengan infeksi berat, infeksi polimikroba,

mencegah resistensi mikroorganisme, mengurangi toksisitas yang berkaitan dengan

dosis, dan untuk mendapatkan efek sinergistik. Antibiotika yang dipilih harus

berdasarkan pola kepekaan kuman, pengalaman kiinis, tempat aksi, toksisitas, dan

harga. Akibat merugikan yang mungkin timbul perlu diperhatikan pada terapi

kombinasi seperti antagonisme, meningkatnya efek samping. superinfeksi, dan


kenaikan biaya (Juwono dan Prayitno, 2003).

Keberhasilan terapi antibiotika dilihat dari kondisi klinis pasien dan hasil uji

laboratorium. Kondisi klinis pasien ditandai dengan menurunnya suhu badan,

berkurangnya nyeri, berkurangnya warna merah, berkurangnya pembengkakan pada

tempat infeksi, sputum menjadi jernih, dan air kemih menjadi tidak keruh atau tidak

bau (Juwono dan Prayitno, 2003). Hasil uji hematologi menunjukkan jumlah leukosit

dan laju endap darah (LED) menurun. C reactive protein menurun terlihat dan hash uji

biokimia. Hasil uji mikroskopis tidak tampak kuman pada pus. Tidak ada pertumbuhan

kuman pada biakan dan hasil uji X-ray dinyatakan membaik (Juwono dan Prayitno,

2003).
Sebab-sebab kegagalan terapi antibiotika adalah mikroorganisme penyebab

infeksi resisten terhadap antibiotika yang digunakan, salah diagnosis, pemilihan

antibiotika benar tetapi dosis atau rute pemberiannya salah, antibiotika tidak dapat

mencapai tempat infeksi, adanya timbunan pus yang harus dikeluarkan dengan

pembedahan, adanya benda asing atau jaringan nekrotik yang harus disingkirkan.

adanya infeksi sekunder, demam yang diakibatkan oleh penggunaan antibiotika, dan

pasien tidak mematuhi pengobatan (Juwono dan Prayitno, 2003).


32

Pemberian antibiotika untuk penanganan infeksi agar lebih tepat dan efisien

sebaiknya berdasarkan basil pemeriksaan mikrobiologi yang lengkap dan ditunjang

dengan suatu penelitian terkait dengan obat-obatan vaskular. Antibiotika empirik

biasanya diberikan sebagai permulaan terapi sambil menunggu hasil kultur dan

sensitivitas tes. Terapi empirik juga diberikan apabila kultur dan sensitivitas tes tidak

dilakukan. Terapi empirik berdasarkan kondisi klinis dan hasil laboratorium pasien

yaitu lekosit, limfosit, monosit. dan neutrofil nilainya melebihi normal. Terapi absolut
diberikan berdasarkan kultur dan sensitivitas tes.

D. Teori Drug Related Problems (DRPs)

Farmasi klinik didefinisikan sebagai aktivitas yang dilakukan oleh seorang

farmasis dalam usahanya untuk mencapai terapi obat rasional yang aman, tepat dan

cost effective. Pharmaceutical care (asuhan kefarmasian) bertanggung jawab untuk

memastikan bahwa pasien memperoich terapi obat rasional dan untuk memasikan

bahwa terapi yang diberikan adalah yang diinginkan oleh penderita. Pharmaceutical

care menurut Hepler dan Strand (1990) adalali tanggung jawab pemberian terapi obat

yang bertujuan untuk mencapai outcome yang dapat meningkatkan kualitas hidup

pasien (Cipolle et al., dalam review Adusumilli dan Adepu, 2014).


Permasalahan dalam farmasi klinis terulama muncul karena penggunaan terapi

obat. Setiap pemberian obat hams diikuti dengan evaluasi terhadap tercapai tidaknya

efek terapeuti k yang diharapkan. Keberhasilan pengobatan adalah tercapainya efek

terapeutik yang dituju dengan efek samping seminimal mungkin. Keberhasilan tersebut

akan tergantung pada beberapa hal, yaitu ketepatan diagnosa, ketepatan pernilihan

obat, aturan dosis, dan cara pemberian serta ketaatan pasien (Krisdaryono, 2002).
33

Drug Related Problems (DRPs) adalah kejadian tidak diinginkan yang dialami

pasien selama terapi obat dan mengganggu outcome yang diharapkan. Drug Related

Problems sering terjadi pada penggunaan obat dalam praktek klinis. Permasalahan

penggunaan obat ini dapat mengakibatkan terapi menjadi tidak rasional dan sering

menimbulkan permasalahan bagi pasien. Farmasis seharusnya dapat mengenali,

mencegah. dan mengatasi tujuh macam DRPs yang dapat terjadi pada pasien-pasien

tersebut (Cipolle, et al., dalam review Adusumilli dan Adepu, 2014).


Drug Related Problems digolongkan menjadi tujuh kategori. Penggolongan ini

penting untuk mengenali masalah-masalah terapi obat dan untuk memberikan penilaian

secara umum mengenal permasalahan-permasalahan terapi obat yang terjadi. Tujuh

kategori Drug Related Problems adalah (Cipolle, et al., dalam review Adusumilli dan

Adepu, 2014) :

1. Pasien mengalami kondisi medis yang membutuhkan obat baru atau

terapi tambahan obat (Need for additional drug related)

Penderita DM bisa mengalarni komplikasi yang tidak diharapkan, oleh karena

itu perlu mencermati apakah ada indikasi penyakit yang tidak diobati. Adanya indikasi

penyakit yang tidak tertangani ini dapat disebabkan oleh; Penderita mengalarni
gangguan medis baru yang memerlukan terapi obat; Penderita inerniliki penyakit

kronis lain yang mernerlukan keberlanjutan terapi obat; Penderita mengalarni

gangguan medis yang mernerlukan kombinasi farmakoterapi untuk menjaga efek

sinergi/potensiasi obat; dan Penderita berpotensi untuk mengalami risiko gangguan

penyakit barn yang dapat dicegah dengan penggunaan terapi obat profilaktik atau

prernedikasi (Cipolle, et al., dalam Depkes RI, 2005).


34

2. Pasien menerima obat tanpa indikasi atau obat yang tidak penting

untuk kondisinya saat itu atau (Unnecessary drug related)

Pemberian obat tanpa indikasi selain dapat merugikan penderita secara finansial

dapat juga merugikan penderita yang berpotensi pada efek yang tidak dikehendaki.

Pemeberian obat tanpa indikasi dapat disebabkan oleh Penderita menggunakan obat

yang tidak sesuai dengan indikasi penyakit pada saat ini; Penyakit penderita terkait
dengan penyalahgunaan obat, alkohol atau merokok; Kondisi medis penderita lebih

baik ditangani dengan terapi non obat; Penderita memperoleh polifarmasi untuk

kondisi yang indikasinya cukup mendapat terapi obat tunggal; dan Penderita

memperoleh terapi obat untuk mengatasi efek obat yang tidak dikehendaki yang

disebabkan oleh obat lain yang seharusnya dapat diganti dengan obat yang lebih sedikit

efek sampîngnya (Cipolle, et al., dalarn Depkes RI, 2005).

3. Pasien mendapatkan obat yang salah (Inefective drug)

Salah obat merupakan keadaan dimana obat yang digunakan untuk mengobati

kondisi pasien tidak efektif atau terapi yang digunakan bukan yang paling efektif.

Selain itu, pasien alergi terhadap obat tersebut, atau obat kontraindikasi terhadap
kondisi pasien. Misalnya, jika obat yang digunakan merupakan obat yang efektif tapi

terdapat obat lainnya sama efektifnya namun lebih murah, hat ini bisa dikatakan salah

obat. Atau, ketika pasien menerima obat kombinasi namun ada obat tunggal yang sama

efektif nya dengan kombinasi, maka pasien dapat dikatakan DRPs salah obat. (Strand,

et.al., 1990).

Pemilihan obat yang tidak tepat dapat mengakibalkan tujuan terapi tidak

tercapai sehingga penderita dirugikan. Penyebab lainnya. pada pemilihan obat yang
35

tidak tepat dapat disebabkan oleh; Obat yang digunakan berkontraindikasi, misalnya

penggunaan obat-obat hipoglikemik oral golongan sulfonilurea hams hati-hati atau

dihindari pada penderita lanjut usia, wanita hamil, penderita dengan gangguan fungsi

hati. atau gangguan fungsi ginjal yang parah; Obat yang digunakan efektiftetapi bukan

yang paling aman; Penderita resisten dengan obat yang digunakan; penderita menolak

terapi obat yang diberikan, misalnya pemilihan bentuk sediaan yang kurang tepat.

(Cipolle, et al., dalarn Depkes RI, 2005).

4. Pasien menerima dosis yang terlalu rendah (Dosage too low)

Meskipun mendasar, bahwa prinsip dan homeopati dimana jika dosis terlalu

sedikit (suboptimal) obat diklasifikasikan sebagai DRPs, yaitu ketika hasil yang

diinginkan pada pasien tidak tercapai (yaitu, infeksi tidak merespon dengan pengobatan

antibiotik yang suboptimal). Pada dasarnya, dosis semua obat dipertimbangkan

berdasarkan penyakit, dan informasi riwayat pasien. Dosis dapat dikatakan kurang

optimal jika konsentrasi obat di serum tidak tercapai bersamaan dengan adanya (tanda-

tanda dan gejala) maka hal ini dapat dikatakan DRPs. Terdapat parameter lainnya, jika

terdapat dosis dibawah dosis terapi. Pasien menerima dosis yang sesuai atau obat

dilanjutkan cukup lama namun tidak mencapai efek yang diinginkan maka dapat
dikatakan dosis dibawah dosis terapi. (Strand, et al., 1990).

Pemberian obat dengan dosis sub terapeutik mengakibatkan ketidakefektifan

terapi obat. Hal ini dapat disebabkan oleh; Dosis yang digunakan terlalu rendah untuk

menghasilkan respon yang dikehendaki; Konsentrasi obat dalarn plasma penderita

berada di bawah rentang terapi yang dikehendaki; Saat profilaksis tidak tepat bagi

penderita; obat, dosis, rute, dan formulasi tidak sesuai; fleksibilitas dosis dan interval
36

tidak sesuai; terapi obat dialihkan terutama untuk uji klinis (Cipolle, et al., dalarn

Depkes RI, 2005).

5. Pasien mengalami reaksi samping dan interaksi obat yang digunakan

(Adverse drug reaction)

Keadaan DRPs kategori interaksi obat dapat terjadi, ketika pasien

mengkonsumsi obatl makanan secara bersamaan. Contohnya, susu menghambat


absorbsi sediaan oral yang mengandung besi. Pergeseran pada ikatan protein obat dapat

mengakibatkan masalah yang serius, sehingga perlu perhatian khusus. Contohnya,

dosis yang terlalu tinggi pada salisilat dapat menggantikan ikatan protein pada obat

oral hipoglikemik generasi pertama dan berpotensi hipoglikemik pada pasien (Strand,

et al., 1990).

Interaksi obat yang mungkin timbul dan pemakaian insulin dengan obat

hipoglikemik oral atau dengan obat yang lain dapat dilihat pada referensi yang lebih

detil, misalnya BNF terbaru, Stokley's Drug Interactions dan lain sebagainya. Obat obat

tersebut di bawah ini merupakan contoh obat-obat yang dapat meningkatkan kadar

glukosa darah sehingga memungkinkan adanya kebutuhan peningkatan dosis insulin

maupun obat hipoglikemik oral yang diberikan. Obat atau senyawa-senyawa yang
dapat meningkatkan risiko hipoglikemia sewaktu pemberian obat hipoglikemik oral

golongan sulfonilurea antara lain: insulin, alkohol, fenformin, sulfonamida, salisilat

dosis besar, fenilbutazon, oksifenbutazon, dikumarol, kloramfenikol. senyawa-

senyawa penghambat MAO (Mono Amin Oksigenase), guanetidin, steroida anabolik,

fenfluramin, dan kiofibrat, Hormon pertumbuhan, hormon adrenal, tiroksin, estrogen,

progestin dan glukagon bekerja berlawanan dengan efek hipoglikemik insulin.


37

Disamping itu, beberapa jenis obat seperti guanetidin, kioramfenikol, tetrasikiin,

salisilat, fenilbutazon, dan lain-lain juga memiliki interaksi dengan insulin, sehingga

sebaiknya tidak diberikan bersamaan dengan pemberian insulin, paling tidak perlu

diperhatikan dan diatur saat dan dosis pemberiannya apabila terpaksa diberikan pada

periode yang sama (Cipolle, et al., dalam Depkes RI, 2005).

a. Mekanisme lnteraksi Obat

Dapat dikatakan interaksi jika teijadi efek dan sam obat yang dipengaruhi

dengan adanya obat lain, jamu, makanan, minuman atau oleh beberapa bahan kimia.

Hasil interaksi dapat berbahaya jika terjadi peningkatan toksisitas obat. Namun

terdapat juga interaksi obat yang tidak benar-benar mempengaruhi sama sekali seperti

efek aditif dañ kedua obat yang memiliki efek yang sama contohnya: efek gabungan

dan dua atau lebih obat antidepresan atau obat yang mempengaruhi QT interval.

Namun terkadang istilah interaksi obat digunakan ketika teijadi reaksi fisiko-kimia

antara obat yang dicampur dalam suatu infus (Baxter, 2008).

Mekanisme interaksi that dapa dibagi menjadi 2 secara umum yaitu:

1) Interaksi Farmakokinetik

Interaksi farmakokinetik adalah interaksi yang dapat terjadi ketika suatu obat

mempengaruhi absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi (ADME). Contohnya:

Ranitidin mengurangi pembersihan ginjal metformin dengan menghambat sekresi

metformin di tubular ginjal sehingga kadar plasma metformin dapat meningkat dan

dapat meningkatkan efek farmakologisnya (farmakokinetik, moderat). Interaksi

farmakokinetik terdiri dañ dan beberapa tipe:


38

a) Interaksi pada absorbsi

Ketika obat diberikan secara oral, maka akan terjadi penyerapan melalui

membran mukosa dan saluran pencernaan, dan sebagian besar interaksi terjadi pada

penyerapan diusus.

b) Interaksi pada distribusi obat

Pada interaksi ini dapat terj adj melalui beberapa hat, yaitu: interaksi ikatan

protein dan induksi atau inhibisi transpor protein obat.

c) Interaksi pada metabolisme obat

Reaksi-reaksi yang dapat teijadi path saat tahap metabolisme yaitu: yang

pertama perubahan pada first pass metabolism salah satu pada perubahan aliran darah

ke hati, dan inhibisi atau induksi first pass metabolism, kedua induksi enzim, ketiga

inhibisi enzim, yang keempat faktor genetik dan yang terakhir adanya interaksi

isoenzirn CYP450.

d) interaksi pada ekskresi obat

Sebagian besar obat dieksresikan melalul empedu atau urin, pengecualian untuk

obat anestesi inhalasi. Interaksi dapat dilihat dan perubahan pH, perubahan aliran dara

diginjal, ekskresi empedu dan ekskresi tubulus ginjal (Baxter, 2008).

2) Interaksi Farmakodinamik

Interaksi farmakodinamik adalah interaksi dimana efek dan satu obat tenjadi

perubahan karena adanya obat lain. Terkadang obat bersaing untuk reseptor tertentu
39

misalnya agonis beta2, seperti salbutamol. dan beta bloker seperti propranolol) namun

seringkali reaksi teijadi secara langsung dan mempengaruhi mekanime fisiologi.

lnteraksi ini diklasifikasikan menjadi beberapa tipe:

a) lnteraksi aditif atau sinergis

Jika dua obat memiliki efek farmakologis yang sama dan diberikan secara

bersama-sama maka dapat memberikan efek yang aditif. Misalnya, alkohol menekan
SSP. dan jika dikonsumsi dalam jurnlah yang besar (misalnya ansiolitik, hipnotik, dll.)

dapat meningkatkan efek ngantuk.

b) Interaksi antagonis atau berlawanan

Interaksi ini berbeda dengan interaksi aditif, dimana ada beberapa pasang obat

yang bekerja berlawanan satu sama lain. Misalkan kumarin dapat memperpanjang

waktu pembekuan darah dengan menghambat kompetitif efek vitamin K (Baxter,

2008).

b. Tingkat Keparahan Interaksi Obat

Keparahan interaksi dapat diklasifikasikan ke berdasarkan tingkatan


keparahanan : minor, moderate, atau major

1) Keparahan minor

Interaksi obat minor biasanya memberikan potensi yang rendah secara kiinis

dan tidak mcmbutuhkan terapi tambahan. Contoh interaksi minor adalah interaksi

hidralazin dan furosernid. Dirnana efek farmakologis furosemid dapat meningkat jika
40

diberikan bersamaan dengan hidralazin, tetapi secan klinis tidak signifikan. lnteraksi

obat minor dapat diatasi dengan menilai rejimen pengobatan.

2) Keparahan moderare

lnteraksi moderate sering membutuhkan pengaturan dosis atau dilakukan

pemantauan. Contohnya, obat rifampisin dan isoniazid yang dapat menyebabkan

peningkatan terjadinya hepatotoksisitas. Nainun, kombinasi ini masih sering digunakan


dan diiringi dengan melakukan pemantauan enzim hati.

3) Keparahan major

Interaksi major pada umumnya harus dihindari bila rnemungkinkan. Karena

dapat menycbabkan potensi toksisitas yang serius. Contohnya, ketokonazol yang dapat

rnenyebabkan peningkatan cisaprid sehingga dapat memperpanjang interval QT dan

mengancam jiwa. Sehingga kombinasi ini tidak disarankan untuk digunakan (Atkinson,

et aI., 2007).

6. Pasien menerima dosis yang terlalu tinggi (Dosage too high)

Keadaan ini sama halnya dengan dosis terlalu rendah, dimana dosis melebihi
dosis terapi memberikan efek yang berlawanan dengan seharusnya. Keadaan dimana

dosis ditingkatkan secara cepat dan peningkatan menyebabkan komplikasi lainnya

maka hal ini dapat dinyatakan sebagai DRPs. Hal ini juga memungkinkan adanya

akumulasi obat jangka panjang yang menyebabkan efek toksik pada pasien (Strand, et

al., 1990).
41

Pemberian obat dengan dosis berlebih mengakibatkan efek hipoglikemia dan

kemungkinan munculnya toksisitas. Hal ini dapat disebabkan oleh; Dosis obat terlalu

tinggi untuk penderita; Konsentrasi obat dalam plasma penderita di atas rentang terapi

yang dikehendaki; Dosis obat penderita dinaikkan terlalu cepat; Pendenta

mengakumulasi obat karena pemberian yang kronis; Obat, dosis, rute, formulasi tidak

sesuai; Fleksibilitas dosis dan interval tidak sesuai (Cipolle, et al., dalarn Depkes RI,

2005).

Dapat disimpulkan bahwa, pasien yang mengalami atau berpotensi untuk

mengalami keracunan yang ditimbulkan oleh dosis obat yang berlebih merupakan

masalah umum yang terdapat pada praktek kiinis. Pemantauan farmakokinetik dan

penyesuaian dosis tidak bisa terlalu ditekankan atau terlalu cepat hal ini untuk

mencegah terjadinya DRPs (Strand, et al., 1990).

7. Pasien mengalami kondisi medis karena tidak patuh dalam

penggunaan obat (Noncompliance)

Ketidakpatuhan pasien dapat terjadi ketika pasien menggunakan obat tidak

sesuai dengan aturan yang dibenkan dan pasien memiliki kondisi ekonomi yang tidak
mampu sehingga pasien tidak menebus obat yang telah diresepkan. Kasus ini perlu

bantuan farmasis untuk memberikan informasi obat path pasien sehingga tercapai efek

terapi yang diinginkan. (Strand, et al., 1990).

Penderita gagal menerima obat dapat disebabkan oleh; Penderita tidak

mematuhi aturan yang direkomendasikan dalam penggunaan obat; Penderita tidak

menerima pengaturan obat yang sesuai sebagai akibat kesalahan medikasi (medication

error) berupa kesalahan peresepan, dispensing, cara pemberian atau monitoring yang
42

dilakukan; penderita tidak meminum obat karena ketidakpahaman; penderita tidak

meminum obat karena tidak sesuai dengan keyakinan kesehatannya; penderita tidak

mampu menebus obat karena alasan ekonomi.

Yang perlu mendapat perhatian khusus terhadap masalah terkait obat apabila

penderita berada dalam kondisi khusus, seperti; pendeita hamil/menyusui; penderita

gangguan ginjal; penderita gangguan hati; penderita gangguan jantung (stage 3-4);

penderita lanjut usia; penderita anak-anak; penderita yang sedang berpuasa (Cipolle, et
al., dalarn Depkes RI, 2005).

Drug related problems timbul akibat permasalahan penggunaan obat. Uraian

kasus-kasus DRPs dalam praktek klinis disajikan dalam tabel VII berikut.

Tabel VII. Penyebab-penyebab Drug related problems


Kategori Penyebab umum
Terapi obat yang tidak 1. Tidak adanya indikasi medik yang valid untuk
diperlukan (Unnecessary terapi pada saat itu
drug related) 2. Berbagai obat digunakan untuk kondisi yang
hanya membutuhkan satu obat
3. Kondisi medis yang lebih tepat menggunakan
terapi non-obat
4. Terapi untuk pencegahan efek samping
5. Penyalahgunaan obat
Dibutuhkan tambahan obat 1. Kondisi yang membutuhkan terapi baru
(Need for additional drug 2. Terapi obat pencegahan untuk mengurangi
related) resiko timbulnya resiko baru
3. Membutuhkan tambahan terapi untuk
mencapai efek sinergis dan aditif
Obat tidak efektif 1. Obat tidak efektif untuk kondisi pasien
(Inefective drug) 2. Kondisi medis tidak dapat disembuhkan
dengan obat yang diberikan
3. Bentuk sediaan obat tidak sesuai
4. Obat tidak efektif untuk indikasi
Dosis terlalu rendah 1. Dosis terlalu rendah untuk mendapatkan
(Dosage too low) respon atau hasil yang dinginkan
2. Interval dosis terlalu besar untuk
menghasilkan respon yang diinginkan
3. Interaksi obat mengurangi jumlah obat aktif
yang tersedia
43

4. Durasi obat dalam tubub terlalu singkat untuk


menghasilkan respon yang diinginkan
Efek samping obat 1. Obat menyebabkan reaksi yang tidak
(Adverse drug reaction) diinginkan yang tidak berhubungan dengan
dosis
2. Diperlukan obat yang aman karena faktor
resiko
3. Interaksi obat menyebabkan reaksi yang tidak
diinginkan
4. Regimen dosis yang diberikan berubah terlalu
cepat
5. Obat menyebabkan reaksi alergi
6. Obat merupakan kontraindikasi karena adanya
faktor resiko
Dosis terlalu tinggi 1. Dosis terlalu tinggi
(Dosage too high) 2. Frekuensi obat terlalu sering
3. Durasi obat terlalu panjang
4. Interaksi obat menyebabkan reaksi toksik
5. Dosis obat diberikan terlalu cepat
Ketidakpatuhan 1. Pasien tidak memahami instruksi
(Noncompliance) 2. Pasien memilih untuk tidak mengonsumsi obat
3. Pasien lupa mengonsumsi obat
4. Obat terlalu mahal bagi pasien
5. Pasien tidak dapat menelan atau mengelola
obat sendiri dengan tepat
6. Obat tidak tersedia untuk pasien

(Cipolle, et al., dalam review Adusumilli dan Adepu, 2014)


44

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental, dengan desain cross

sectional, yaitu pengumpulan data variabel untuk mendapatkan gambaran evaluasi

Drug related problems penggunaan antibiotik pada pasien ulkus diabetikum sebagai
variabel terikat pada suatu waktu tertentu. Analisa dilakukan secara deskriptif yaitu

menggambarkan frekuensi obat salah, ketepatan dosis, dan interaksi obat.

1. Pedekatan penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental, dengan rancangan

deskriptif evaluatif.

2. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di RSUP Dr Wahidin Sudirohusodo Makassar selama 1

bulan.

B. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi penelitian ini adalah semua pasien penderita ulkus diabetikum rawat

inap yang menerima terapi antibiotik di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar

selama periode penelitian.


45

2. Sampel

Sampel penelitian ini adalah pasien penderita ulkus diabetikum yang menerima

terapi antibiotik. Dimana jumlah sampel ialah keseluruhan dari jumlah populasi yang

termasuk kriteria inklusi.

C. Kriteria Inklusi dan Eksklusi

1. Kriteria inklusi

Pasien yang didiagnosa menderita diabetes mellitus dengan komplikasi

ulkus/gangren, laki-laki dan perempuan usia ≥18 tahun, yang mendapat terapi

antibiotika, dengan data RM lengkap dan mendukung, dan lama perawatan minimal 3

hari.

2. Kriteria Ekslusi

Pasien yang didiagnosa menderita diabetes mellitus dengan ulkus atau gangren

dengan penyakit infeksi lain, data rekam medik tidak lengkap, dan lama perawatan

kurang dari 3 hari.

D. Metode Pengumpulan Data

Pelaksanaan pengambilan data secara Retrospketif yaitu dilakukan dengan

mengumpulkan rekam medik pasien ulkus diabetikum yang termasuk dalam kriteria

inklusi.

E. Instrumen Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rekam medik pasien ulkus
diabetikum rawat inap dis RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar
46

F. Variabel Penelitian

Variabel Penelitian ini meliputi

1. Variabel tergantung : Drug related Problems kategori obat salah, ketepatan

dosis, dan interaksi obat

2. Variabel bebas : penggolongan karakteristik pasien ulkus diabetikum, profil

penggunaan antibiotik, dan jumlah penggunaan antibiotik.

G. Teknik Pengolahan dan Analisis Data

1. Teknik pengolahan

Pada penelitian ini, dilakukan penelusuran pada data pasien ulkus diabetikum

rawat inap RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar periode September-November

2017. Proses pemilihan didasarkan pada pasien yang masuk dalam kriteria inklusi.

Pengambilan dan pencatatan data hasil rekam medis diruang administrasi medis berupa

nomor rekam medis, identitas pasien (nama, jenis kelamin, umur, penyakit penyerta,

penyakit komplikasi), tanggal perawatan, diagnosa penyakit, riwayat penyakit,

keluhan pasien, hasil laboratorium, dan data penggunaan obat.

Pelaksanaan verifikasi data rekam medis dan pola terapi antibiotik pengobatan
ulkus diabetikum yang dilanjutkan dengan transkrip data yang dikumpulkan dalam

logbook dan komputer. Pengolahan data dilakukan dengan tahap-tahap berikut:

a. Editing

Hal ini dengan melakukan penelitian terhadap data mentah, namun terlebih

dahulu dilakukan pemeriksaan kembali kebenaran data yang diperoleh dan

mengeluarkan data yang tidak memenuhi kriteria penelitian.


47

b. Coding

Dengan melakukan pengkodean untuk mempermudah peneliti memasukkan

data yang diperoleh dari laboratorium dan rekam medis.

c. Entry data

Setelah dilakukan coding, lalu dimasukkan data dalam program Microsoft

Excel dalam bentuk tabel.

d. Cleaning data

Dengan melakukan pemeriksaan kembali data yang sudah dimasukkan kedalam

sistem komputer untuk menghindari terjadinya ketidaklengkapan atau kesalahan data.

2. Analisis data

Analisis data dilakukan berdasarkan data yang didapat dari rekam medik pasien

ulkus diabetikum. Data mengenai pola penyebaran ulkus diabetikum terkait dengan

usia, jenis kelamin, dan lama perawatan disajikan dalam bentuk diagram. Data

mengenai penyakit penyerta, hasil kultur mikrobiologi, pola penggunaan antibiotika

termasuk jenis antibiotika, antibiotika tunggal/kombinasi, frekuensi, dosis, rute


pemberian yang disajikan dalam bentuk tabel. Sedangkan analisis Drug related

problems (DRPs) disajikan dalam bentuk tabel dan deskriptif.

Dari lembar pengumpul data, dibuat rekapitulasi dari data-data yang diperoleh

ke dalam sebuah tabel yang meliputi data idetitas pasien, riwayat penyakit, riwayat

pengobatan, tanggal masuk dan keluar rumah sakit, keluhan utama dan diagnosa akhir,

data klinik (suhu, RR, nadi), data laboratorium (leukosit), data mikrobiologi, data terapi
obat yang diterima pasien (jenis obat, dosis, rute pemberian, frekuensi pemberian, dan
48

lama penggunaan) selama menjalani rawat inap di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo

Makassar.

Analisis data yang dilakukan dengan Microsoft Excel 2010 dan program SPSS

(Statisical Packages for Social Sciences) 17.0 crosstabs akan dianalisis secara univariat

dan bivariat sebagai berikut :

a. Analisis univariat

Analisis univariat adalah analisis yang digunakan untuk menganalisis setiap

variabel baik terikat maupun bebas yang akan diteliti secara deskriptif. Data yang telah

dikategorikan ditampilkan sebagai frekuensi kejadian.

Adapun pengolahan data yang menggunakan analisis univariat adalah

karakteristik pasien (usia, jenis kelamin, penyakit penyerta, penyakit komplikasi), dan

profil penggunaan antibiotik (jenis antibiotika, antibiotika tunggal/kombinasi,

frekuensi, dosis, rute pemberian).

b. Analisis bivariat

Analisis bivariat adalah analisis yang dilakukan terhadap dua variabel yang

diduga berhubungan/berkorelasi dan untuk melihat kemaknaan antara variabel.


Adapun pengolaha data yang menggunakan analisis bivariat adalah :

1) Karakteristik pasien (usia, jenis kelamin, penyakit penyerta, peyakit

komplikasi) terhadap Drug related problems (DRPs).

2) Profil Penggunaan antibiotik (jenis antibiotika, antibiotika

tunggal/kombinasi, frekuensi, dosis, rute pemberian) terhadap Drug related

problems (DRPs).

You might also like