Professional Documents
Culture Documents
NIM : 70100114039
PENGUJI KOMPETENSI :
PENGUJI AGAMA :
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Diabetes mellitus menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat global dan
jumlah penderitanya semakin bertambah. Menurut estimasi IDF tahun 2012, lebih dari
371 juta orang di seluruh dunia mengalami DM, 4,8 juta orang meninggal akibat
penyakit metabolik ini dan 471 miliar dolar Amerika dikeluarkan untuk pengobatannya
(RISKESDAS, 2013).
2
Proporsi penderita diabetes pada usia 15 tahun keatas oleh RISKESDAS pada
Indonesia (3,4%), dibawah Sulawesi Utara (3,6%) dan Sulawesi Tengah (3,7%). Atau
dapat dikatakan penderita diabetes di Provinsi Sulawesi Selatan pada penduduk usia
sendiri, diabetes mellitus berada pada posisi ke-4 sebagai penyakit penyebab kematian
tertinggi pada tahun 2015, dibawah hipertensi, penyakit jantung, dan asma.
Berdasarkan data dari surveilans penyakit tidak menular Bidang P2PL, kasus baru DM
di Kota Makassar tahun 2015 yaitu 21.018 kasus (laki-laki ; 8.457, perempuan ;
12.561), sedangkan kasus lama yaitu 57.087 (laki-laki ; 23.395, perempuan ; 33.692).
Adapun kematian akibat DM terdapat 811 (laki-laki ; 450, perempuan ; 361) sepanjang
akut maupun kronik bila kadar glukosa darah tidak bisa dikontrol dengan baik. Kaki
diabetik dengan ulkus merupakan komplikasi diabetes yang sering terjadi. Ulkus kaki
diabetik adalah luka kronik pada daerah di bawah pergelangan kaki, yang
Ulkus diabetik adalah merupakan klinis yang sering terjadi. namun banyak
pasien perlu menjalani amputasi karena pendekatan diagnostik dan terapi yang tidak
tepat. Infeksi kaki pada penderita diabetes adalah masalah yang semakin umum dan
terkait dengan gejala seketika yang serius. Kenaikan berlanjut pada kejadian diabetes
berkembang, dan bahkan pada tingkat yang lebih tinggi di negara-negara yang kurang
berkembang, meningkatnya jumlah pasien diabetes, dan umur panjang mereka yang
3
lebih besar berkontribusi pada pertumbuhan masalah ini (Lipsky, et al., 2012). Jika
tidak dikelola dengan tepat, Ulkus diabetik dapat memicu infeksi berat yang
menghasilkan amputasi ekstremitas bawah, terutama pada orang dengan penyakit arteri
perifer menyumbang 60% amputasi ekstremitas bawah di negara maju (Rasalam, et al.,
2017).
Diagnosis dini dan inisiasi terapi antimikroba yang cepat sangat penting untuk
meminimalkan hasil pasien yang merugikan yang terkait dengan infeksi kaki, seperti
amputasi (Rasalam, et al., 2017). Namun penggunaan antibiotika yang tidak tepat dapat
menyebabkan kekebalan mikroba dan efek obat yang tidak dikehendaki. Di negara
berkembang, 30-80% pasien yang dirawat di rumah sakit mendapat terapi antibiotika.
Dari persentase tersebut, 20-65% penggunaannya dianggap tidak tepat (Lestari, 2011).
Salah satu faktor penyebab tingginya jumlah amputasi adalah kesalahan pada
antibiotik yang digunakan. Data terbaru dari Centers for Disease Control and
Prevention (CDC) AS menunjukkan bahwa jumlah rawat inap tahunan untuk "luka /
infeksi / pembengkakan" diabetes terus meningkat dengan mantap dari tahun 1980
pemilihan antibiotik dan pemberian dosis serta frekuensi dan durasinya, memicu
timbulnya efek samping lain diluar penyakit yang diderita pasien, dan membuat infeksi
menjadi lebih lama penyembuhannya yang berdampak pada lama perawatan dan biaya
perawatan pasien yang tentunya merugikan (PERMENKES RI, 2011). Hal ini
berpotensi untuk terjadinya Drug Related Problems (DRPs). Drug Related Problems
4
(DRPs) merupakan suatu peristiwa yang tidak diinginkan yang dialami oleh pasien
yang berpotensi atau terbukti dapat mengganggu pencapaian terapi obat. Terjadinya
DRPs dapat mencegah atau menunda pasien dari pencapaian terapi yang diinginkan.
(Nurhalimah, 2012).
antibiotik (Bakker et al., 2016). Semua pengaturan perawatan primer harus memiliki
jalur perawatan untuk mengelola ulkus diabetik dengan rejimen antibiotik spesifik
yang mempertimbangkan setiap masalah penolakan lokal. Pilihan antibiotik harus
didasarkan pada patogen penyebab penyebab yang terbukti, tingkat keparahan infeksi
dan bukti kemanjuran bagi ulkus diabetik dengan mempertimbangkan biaya (Rasalam,
Permasalahan terkait ulkus diabetik ini akan terus menerus berlanjut, sampai
tenaga medis yang terlibat didalamnya paham akan penatalaksanaan infeksi ulkus
diabetik yang tepat. Kunci untuk mengidentifikasi perubahan halus ini adalah
tujuan perawatan dari ulkus diabetik adalah untuk mencapai penyembuhan total.
Namun, pada beberapa pasien ini mungkin tidak sesuai atau realistis. Penting bahwa
tujuan pengobatan didiskusikan dengan pasien dan perawat, dan rencana manajemen
5
ulkus diabetik yang telah sesuai dirumuskan (Dunning, 2016). Allah SWT berfirman
سو ًءا فَ ََل َم َردَّ لَ ُۚهُ َو َما َّ ََّللاَ ََل يُغ َِي ُر َما ِب َق ْو ٍم َحت َّ ٰى يُغ َِي ُروا َما ِبأَنفُ ِس ِه ْۗ ْم َو ِإذَا أ َ َراد
ُ َّللاُ ِب َق ْو ٍم َّ ِإ َّن
)١١( لَ ُهم ِمن د ُونِ ِه ِمن َوا ٍل
Terjemahan :
Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka
merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah
menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat
menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.
ini dapat dilakukan melalui suatu proses pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care).
Untuk menghasilkan mutu pelayanan yang baik dan aman, maka dalam penentuan
terapi obat khususnya antibiotik melalui evaluasi DRPs untuk pasien ulkus diabetik.
Berdasarkan paparan diatas, menunjukkan bahwa pentingnya evaluasi
menurunkan angka Drug Related Problems (DRPs) khususnya pada kategori obat
salah, ketepatan dosis, dan interaksi obat, sehingga diharapkan dapat membantu
B. Rumusan Masalah
ketepatan dosis, dan interaksi obat dari penggunaan antibiotik pada pasien
(DRPs) kategori obat salah, ketepatan dosis, dan interaksi obat dari
penggunaan antibiotik pada pasien ulkus diabetikum di RSUP Dr. Wahidin
Sudirohusodo Makassar.
1. Defenisi Operasional
a. Diabetes mellitus
akibat pankreas tidak memproduksi cukup insulin atau tubuh tidak dapat menggunakan
insulin yang diproduksi secara efektif yang ditandai dengan hiperglikemia dan kelainan
b. Ulkus
Ulkus dapat didefenisikan sebagai adanya luka atau rusaknya barrier kulit
sampai ke seluruh lapisan (full thickness) dari dermis dan proses penyembuhannya
cenderung lambat. Komplikasi ini berhubungan dengan adanya kelainan saraf dan
c. Gangren
aliran darah ke daerah yang terkena. Pada umumnya, gangren diikuti kehilangan
nutrisi, invasi bakieri dan peinbusukan. Pada penderita DM, gangren bersifat basah dan
d. Antibiotik
Antibiotik adalah suatu jenis obat yang dihasilkan oleh mikroorganisme yang
1996).
Drug related problems (DRPs) adalah hal tak diinginkan yang dialami oleh
pasien yang berkaitan dengan terapi pengobatan, dan yang menghalangi tercapainya
tujuan terapi yang diinginkan. DRPs termasuk dalam domain praktisi Pharmaceutical
care, yang bertujuan untuk membantu pasien untuk mencapai tujuan terapi dan
mewujudkan hasil terbaik dari terapi (Cipolle et al., dalam review Adusumilli dan
Adepu, 2014).
f. Obat salah
Obat salah merupakan kategori DRPs dimana obat yang digunakan untuk
mengobati pasien tidak efektif atau terapi yang digunakan bukan yang paling efektif,
pasien alergi dengan obat tersebut, atau obat kotradiksi terhadap pasien (Strand et al.,
1990).
8
g. Ketepatan dosis
Pasien menerima dosis yang sesuai atau obat dilanjutkan cukup lama namun
tidak mencapai efek yang diinginkan disebut dengan dosis dibawah terapi. Sedangkan
keadaan dimana dosis melebihi dosis terapi memberikan efek yang berlawanan dengan
h. Interaksi obat
makanan secara bersamaan sehingga terdapat interaksi (Dipiro et al., 2008). Yang
dapat dilihat pada referensi drugs.com, medscape, dan Drug information handbook.
Ruang lingkup penelitian ini yaitu Drug Related Problems (DRPs) kategori
obat salah, ketepatan dosis, dan interaksi obat dari penggunaan antibiotik pada pasien
D. Kajian Pustaka
1. Sandra Fortuna (2015) meneliti tentang Studi penggunaan antibiotik pada
diberikan pada pasien DM dengan ulkus telah sesuai literatur. DRPs yang
9
teramati pada penelitian ini adalah terapi obat yang tidak efektif dan efek
27,78%, tepat indikasi 38,89%, tidak adanya interaksi obat 72,22%, tepat
pasien 8,33%, dan tepat obat 13,89%. Pada penilaian terhadap jumlah
secara rasional.
mengalami aktual DRPs, yaitu 8 kasus dosis kurang, 6 kasus butuh obat
10
terapi tambahan, 2 kasus obat tidak tepat, tidak perlu obat dan dosis berlebih
masing-masing 1 kasus.
Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui Drug Related Problems (DRPs)
kategori obat salah, ketepatan dosis, dan interaksi obat dari penggunaan antibiotik pada
sebagai sumber informasi dan pedoman bagi RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo
Makassar dalam penggunaan antibiotik pada pasien ulkus diabetikum, sehingga efek
terapi dari antibiotik menjadi optimal. Selain itu, dilakukannya penelitian ini
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
kumpulan gejala yang timbul pada seseorang karena adanya peningkatan kadar glukosa
darah di atas nilai normal. Penyakit ini disebabkan gangguan metabolisme glukosa
akibat kekurangan insulin baik secara absolut maupun relatif. Ada 2 tipe diabetes
melitus yaitu diabetes tipe I/diabetes juvenile yaitu diabetes yang umumnya didapat
(polidipsi, polifagi, poliuri dan penurunan berat badan) dan hasil tesnya memenuhi
1. Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) ≥ 200 mg/dl. Glukosa plasma
2. Kadar glukosa darah puasa (plasma vena) ≥ 160 mg/dl. Puassa didefenisikan
3. Kadar glukosa darah (plasma vena) 2 jam pada TTGO ≥ 200 mg/dl. TTGO
disebabkan kekurangan insulin secara absolut, yaitu sel beta pankreas tidak mampu
memproduksi insulin sama sekali, atau DM tipe 2 yang disebabkan oleh sekresi insuli
yang tidak mencukupi. Diabetes mellitus yang timbul pada wanita saat masa kehamilan
Federation, 2013).
Ulkus dapat didefenisikan sebagai adanya luka atau rusaknya barrier kulit
sampai ke seluruh lapisan (full thickness) dari dermis dan proses penyembuhannya
cenderung lambat. Komplikasi ini berhubungan dengan adanya kelainan saraf dan
pembuluh darah pasien DM akan menurunkan aliran darah serta suplai oksigen ke
13
jaringan. Hal tersebut dapat menyebabkan kematian jaringan atau gangren (Dinh,
2011).
Pada orang dengan diabetes, infeksi kaki adalah masalah yang semakin umum
yang terkait dengan durasi penyakit, dan oleh karena itu kemungkinan komplikasi
biasanya diikuti oleh kerusakan jaringan. Ulkus diabetik didefinisikan secara klinis
sebagai manifestasi dari proses ini di jaringan lunak atau tulang di mana saja di bawah
malleoli pada seseorang dengan diabetes. Infeksi ini biasanya dimulai dengan istirahat
pada lapisan pelindung kulit, biasanya di tempat trauma atau ulserasi (IWGDF, 2015)..
adalah faktor utama yang menyebabkan kerusakan kulit; luka terbuka ini kemudian
menjadi tercemar dan dalam banyak kasus, akhirnya terinfeksi. Kaki iskemia, terkait
dengan penyakit arteri perifer, juga sering terjadi pada pasien dengan Ulkus diabetik.
meningkatkan risiko luka menjadi terinfeksi dan berdampak buruk pada hasil infeksi
(IWGDF, 2015)..
Luka kaki pada pasien diabetes sering menjadi kronis, terkait dengan
apoptosis. Faktor-faktor yang mempengaruhi infeksi kaki termasuk: luka yang dalam,
lama berdiri atau berulang, atau etiologi traumatik; gangguan imunologis terkait
diabetes yang tidak jelas terkait dengan fungsi neutrofil; dan, gagal ginjal kronis
(IWGDF, 2015).
14
Ulkus diabetik adalah suatu komplikasi kronik yang mengenai kaki. Masalah
kaki ini berupa borok di kaki dengan atau tanpa infeksi yang dapat terlokalisasi.
merupakan infeksi yang telah menyebar ke datam kulit dan jaringan di bawah kulit.
Abses merupakan kumpulan nanah setempat dalam rongga yang terbentuk akibat
yang menyebar ke jaringan dasar tulang. Gangren adalah kematian jaringan yang
berhubungan dengan berhentinya aliran darah ke daerah yang terkena. Pada umumnya,
gangren diikuti kehilangan nutrisi, invasi bakieri dan peinbusukan. Pada penderita DM,
fasia, tendon, otot, sendi dan tulang. Anatomi kaki, yang dibagi menjadi beberapa
yang biasanya bergerak dari daerah tekanan tinggi ke bawah. Faktor virulensi bakteri
juga dapat berperan dalam infeksi kompleks ini. Strain Staphylococcus aureus yang
diisolasi dari pembengkakan yang tidak terinfeksi secara klinis telah terbukti memiliki
potensi virulensi yang lebih rendah daripada yang terinfeksi. Demikian pula, klon
kompleks MRSA dengan tropisme untuk tulang telah muncul sebagai patogen
15
al., 2014).
Insiden terjadinya ulkus dan gangren pada pasien diabetes yaitu berkisar 2-10%
dan diperkirakan 15-25% pasien diabetes mengalami ulkus seumur hidupnya. Resiko
terjadinya infeksi dan amputasi masih tinggi yaitu 40-80% pasien akan mengalami
infeksi, dan sekitar 5-24% pasien tersebut memerlukan tindakan amputasi (Richard et
al, 2011).
Faktor resiko utama terjadinya ulkus dan gangren pada pasien diabetes adalah
pasien diabetes dengan ulkus memiliki aliran darah arteri yang tidak memadai, sekitar
50% memiliki neuropati, dan sekitar 80% memiliki kedua komplikasi tersebut (Ahmad,
2015). Selain itu, kontrol glukosa yang buruk, ulkus dan gangren dapat diperburuk oleh
jenis kelamin (laki-laki), komorbid (penyakit jantung, hipertensi), riwayat ulkus atau
2015).
diabetik akan membutuhkan waktu yang lama untuk sembuh dan resiko amputasi
Oleh karena itu penting dilakukan penatalaksanaan iskemik pada kaki (Frykberg, et al.,
2000).
16
Kelainan bentuk pada kaki (deformity) dan adanya riwayat ulserasi dan
amputasi. Kelainan bentuk pada kaki karena neuropati, biomekanik tidak normal, cacat
kaki. Hal ini menyebabkan kecenderungan timbulnya ulkus pada daerah telapak kaki.
Area yang utama adalah pada telapak kaki, juga bagian tengah dan pada punggung kaki
karena pemakaian sepatu yang tidak sesuai. Trauma pada kaki yang dialami oleh
berjalan tiap hari akibat tekanan yang terus berulang-ulang. Manifestasinya adalah
Trauma pada kaki yang dialami oleh penderita DM neuropati perifer merupakan
faktor penting yang menyebabkan ulserasi. Trauma tersebut meliputi luka tusukan,
luka karena benda tumpul, dan yang paling sering adalah tekanan yang berulang-ulang
seperti berjalan setiap hari. Manifestasinya ialah terbentuknya kalus. Pemakaian sepatu
yang tidak sesuai juga dapat menjadi penyebab terjadinya ulkus pada kaki (Frykberg,
et al., 2000).
kaki sehingga tekanan pada telapak kaki meningkat, dan dapat beresiko ulserasi
kontrol glukosa darah, gangguan ginjal kronik dan usia tua (Frykberg, et al., 2000).
17
Klasifikasi yang tepat dan ulkus pada kaki mendasari penilaian, memudahkan
penatalaksanaan dan dapat meramalkan hasil yang diharapkan. Sistern yang paling
ukuran dan kedalaman ulkus dan infeksi. Narnun tidak hanya satu sistem kiasifikasi
yang digunakan secara umum. Sistem klasifikasi yang umum digunakan adalah
menurut Wagner. Wagner membagi ulkus pada kaki ke dalam 6 tingkat berdasarkan
luas luas nekrosis jaringan dan menunjukkan adanya infeksi. Tabel II menunjukkan
klasifikasi Wagner-Megit.
kiasifikasi ulkus diabetik untuk tujuan pcnclitian. Kiasifikasi tersebut diringkas dengan
Kiasifikasi yang ditunjukkan pada Tabel III dapat menjelaskan tingkat keparahan
infeksi yang meliputi grade I (tidak ada infeksi), grade 2 (adanya infeksi pada kulit
dan pada jaringan lunak saja), grade 3 (adanya selulitis, infeksi yang mendalam), grade
Staphylococcus aureus adalah bakteri yang paling sering menignfeksi ulkus dan
gangen pada pasien diabetes melitus yaitu berkisar 23% - 76% (Gardner dan Frantz,
2008).
19
Tabel IV. Profil isolasi bakteri pada pasien ulkus dan gangren diabetik
Kelompok Nama Bakteri Jumlah Persentase (%)
Bakteri Aerob Staphylococcus aureus 23 38,3
(Gram positif)
Staphylococcus 14 23,3
epidermidis
Staphylococcus 7 11,7
saprophyticus
Staphylococcus pyogenes 4 6,7
Staphylococcus mutans 2 3,3
Bakteri aerob Proteus sp 4 6,7
(Gram negatif)
Eschericia coli 6 10
Pseudomonas Aeruginosa 26 43,3
Kleibseilla sp 1 1,7
Peptostreptococcus sp 16 26,7
Bakteri anaerob Anaerobic streptococi 6 10
Bacteriodes fragilis 3 5
Clostridium spp 1 1,7
keparahan ulkus, vaskularisasi dan adanya infeksi. Terapi awal yang diberikan pada
keadaan ulkus dan gangren bertujuan menghindari tindakan amputasi, antara lain
dengan insulin dan Obat Hipoglikemik Oral (OHO), penanganan infeksi dengan
Kuman penginfeksi dan antibiotika yang sensitif terhadap kuman penginfeksi tersebut
pembedahan luka atau amputasi. Antibiotika dan pembedahan penting untuk ulkus
terinfeksi. Perawatan pasien rawat jalan dilakukan dengan merawat dan membersihkan
luka, kultur kuman, dan pemberian antibiotika oral kernudian dievaluasi dalam tiga
sampai lima hari. Terapi antibiotika diberikan apabila kultur dan sensitivitas tes tidak
dilakukan. Terapi definitif diberikan berdasarkan hasil kultur serta uji sensitivitas yang
diperoleh dan spesimen luka. Secara umum, durasi penggunaan antibiotika harus
tidak untuk menyembuhkan luka yang biasanya membutuhkan waktu lebih lama
(Leese et al., 2009). Data beberapa penelitian menunjukkan sebagian besar pasien yang
mengalami infeksi ulkus/gangren akan membaik setelah 1-2 minggu dilakukan terapi.
samping yang tidak diinginkan, resistensi antibiotika, dan tingginya biaya (Lipsky et
al., 2012).
diabetik harus diikuti. Penting untuk mengidentifikasi patogen dan profil kerentanan
dari metode kultur yang sesuai, termasuk sampel jaringan dalam. Pada infeksi jaringan
lunak yang parah, namun non-bedah atau rumit, rujukan ke spesialis penyakit menular
dalam rencana perawatan. Langkah pertama dalam perawatan luka adalah menyeluruh,
jaringan yang mengelupas dan terinfeksi; area nekrosis harus didebahkan ke titik
Mencegah atau mengendalikan infeksi pada ulkus kaki diabetik sangat penhing
infeksi atau data epidemiologi dan resistensi lokal (Leese et al., 2009).
6. Levofloksasin/
Siprofloksasin dengan
Klindamisin**
7. Imipenem-Cilastatin**
8. Meropenem
Infeksi luas Streptococcus; 1. Amoksisilin klavulanat
Staphylococcus;
(infeksi terjadi pada 2. Moksifloksasin
Enterobacteriaceae;
jaringan yang lebih luas obligate anaerob 3. Linezolid
dan dalam, selulitis
yang lebih berat dan 4. Kotrimoksazol
dapat disertai abses 5. Sefotiksin
plantar)
6. Sefalosporin generasi
pertama (sefazolin), kedua
(sefuroksim), ketiga
(seftriakson atau
sefotaksim) +
Metronidazole
7. Piperasilin-tazobactam
8. Klinamisin + Sefalosporin
generasi ketiga
(sefotaksim, sefuroksim,
seftazidim)
Infeksi Berat 1. Linezolid**
MRSA 2. Daptomisin**
(Lipsky et al., 2012) 3. Vankomisin
Pseudomonas 1. Piperasilin-tazobaktam**
aeruginosa
1. Vankomisin
2. Seftazidim
3. Sefepim
4. Piperasilin-Tazobaktam
MRSA;
Enterobacteriaceae; 5. Aztreonam
Pseudomonas; 6. Karbapenem
Obligate anaerob
7. Kloksasilin
8. Sefaleksin
9. Kotrimoksazol
10. Klindamisin
23
11. Amoksisilin-klavuanat
12. Doksisiklin
13. Linezolid
14. Kotrimoksazol +
Metronidazole /
Klindamisin
15. Levofloksasin /
Klindamisin +
Metronidazole /
Klindamisin
16. Piperasilin-Tazobaltam
Klindamisin +
Sefalosporin generasi
ketiga (sefotaksim,
sefuroksim, seftazidim)
17. karbapenem
Infeksi berat desertai 18. Linezolid
osteomielitis
MRSA 19. Vankomisin
(Bowering dan Embil,
2013)
Keterangan :
a. Agen antibiotika yang dicetak tebal merupakan agen yang sering
digunakan untuk perbandingan pada penelitian.
b. ** Antibiotika yang memperlihatkan keefektifan pada uji klinis
termasuk pasien dengan ulkus diabetes
c. Agen berspektrum sempit seperti vankomisin, linezolid. daptomisin
sebaiknya dikombinasi dengan agen lain (misalnya fluorokuinolon)
untuk infeksi polimikrobial (terutama intì.ksi sedang hingga berat).
d. Gunakan agen yang aktif terhadap MRSA pada infeksi berat atau pada
infeksi yang rentan terhadap MRSA.
e. Pemilihan terapi definitif hams berdasarkan kultur bakteri dan
sensitivitas dan spesimen luka, serta respons klinis terhadap terapi
empiris yang diberikan
f. Agen pada kelas/golongan yang sama dapat menjadi pilihan untuk
subtitusi terapi
(Lipsky et al., 2012)
Rujukan awal dan assesment oleh tim multidisiplin ahli merupakan kunci untuk
DFU. Penilaian awal harus mencakup evaluasi: manajemen diabetes dan kendali
glukosa darah, riwayat sebelumnya ulserasi kaki dan operasi, status merokok, gejala
dan tanda-tanda arteri perifer atau penyakit vena, gejala dan tanda neuropati perifer,
dan evaluasi muskuloskeletal, tanda-tanda infeksi sistemik, nyeri (yang terkait dengan
Infeksi merupakan ancaman utama dalam ulkus diabetes, lebih dari pada luka
etiologi lain yang tidak mengalami perubahan diabetes. Ini memiliki implikasi serius
amputasi. Sekitar setengah dari semua ulkus diabetik secara klinis terinfeksi pada saat
presentasi, dan infeksi mendahului sekitar 60% amputasi (Harding, et al., 2016)
atas dasar keberadaan dua atau lebih dari yang berikut: pembengkakan atau indurasi
lokal, eritema, kelembutan atau rasa sakit lokal, kehangatan lokal, dan sekresi purulen
tanda dan gejala infeksi pada ulkus diabetik (Bakker, et al., 2012). Hingga 50% pasien
tidak ditemukan tanda-tanda klasik seperti infeksi, seperti kemerahan, panas dan
pembengkakan (Chadwick, et al., 2015). Dalam kasus seperti itu, diagnosis infeksi
mungkin bergantung pada pengakuan tanda-tanda infeksi lokal yang lebih halus, yang
mungkin termasuk: Peningkatan eksudat Jaringan granulasi pecah atau berubah warna,
termasuk hanya salah satu tanda dalam daftar satu, dikombinasikan dengan dua tanda
25
infeksi lokal. Kunci untuk mengidentifikasi perubahan halus ini adalah kesinambungan
patologi penyakit yang mendasarinya. Pada infeksi berat, tanda-tanda sistemik seperti
demam atau hipotermia, peningkatan denyut jantung dan pernapasan, dan jumlah sel
darah putih yang tinggi atau rendah juga dapat terjadi. Infeksi ulkus diabetik
diklasifikasikan sebagai ringan, sedang atau berat sesuai dengan tingkat dan keparahan
dari tanda-tanda klinis, dan apakah gejala sistemik hadir (Bakker, et al., 2012)
Diagnosis infeksi pada ulkus diabetik sebagian besar dibuat berdasarkan klinis.
Namun, jika infeksi dicurigai, ulkus diabetik harus diambil sampelnya setelah
Kesesuaian pasien dan perawat untuk perawatan di rumah perlu dinilai dengan
hati-hati. Pasien atau perawat perlu memiliki ketajaman penglihatan yang cukup,
fleksibilitas fisik dan ketangkasan untuk mengganti pembalut dan memeriksa luka, dan
memiliki wawasan yang cukup ke dalam penyakit sehingga dapat membantu jika luka
memburuk. Penggunaan buku harian atau rekam medik pasien dapat membantu
penyembuhan total. Namun, pada beberapa pasien ini mungkin tidak sesuai atau
realistis, misalnya karena pasien sangat lemah, memiliki penyakit pembuluh darah
perifer yang tidak bisa dioperasi atau sakit parah. Penting bahwa tujuan pengobatan
didiskusikan dengan pasien dan perawat, dan rencana manajemen yang sesuai
manajemen eksudat, bau dan rasa sakit, memaksimalkan fungsi dan meminimalkan
dampak pada kualitas hidup, dan menyederhanakan perawatan luka (Dunning, 2016).
(bahkan jika mereka adalah spesies mematikan) tidak dapat dianggap sebagai bukti
didefinisikan sebagai ≥105 unit pembentuk koloni per gram per jaringan) harus
menjadi dasar untuk mendiagnosis infeksi, tetapi tidak ada data yang meyakinkan
mendukung konsep ini untuk luka, termasuk di kaki diabetes. Selain itu, mikrobiologi
diabetik harus didiagnosis secara klinis, dengan kultur luka berfungsi untuk
mengevaluasi pasien diabetes yang mengalami luka kaki pada tiga tingkat: pasien
secara keseluruhan (misalnya, kognitif, metabolisme, status cairan), kaki atau anggota
badan yang terkena (misalnya, adanya neuropati, insufisiensi vaskular), dan orang yang
terinfeksi luka. Diagnosis klinis bertumpu pada adanya setidaknya dua temuan lokal
peradangan, yaitu, kemerahan (eritema atau rubor), kehangatan (kalor), nyeri atau nyeri
tekan (dolor), indurasi (pembengkakan atau tumor) atau sekresi purulen. Fitur lain
(kadang-kadang disebut sekunder) yang menandakan infeksi termasuk adanya
nekrosis, jaringan granulasi yang rapuh atau berubah warna, sekresi non-purulen, bau
foetid atau kegagalan luka yang dirawat dengan benar untuk sembuh (IWGDF, 2015).
antibiotik mereka untuk memungkinkan dokter untuk memilih terapi antimikroba yang
paling tepat. Infeksi akut pada pasien yang sebelumnya tidak diobati biasanya
27
disebabkan oleh cocci gram positif aerobik (sering sebagai infeksi monomicrobial),
tetapi luka yang dalam atau kronis sering mengandung flora polymicrobial, termasuk
bakteri gram negatif aerobik dan obligat anaerob. Gangguan kulit, paparan lingkungan,
dan terutama terapi antibiotik baru-baru ini dapat menjadi predisposisi terhadap
patogen yang tidak biasa atau resisten antibiotik. Kultur luka sangat membantu untuk
sebagian besar ulkus diabetik, tetapi sulit diperoleh pada kasus selulitis tanpa ulserasi
(di mana aspirasi kulit memiliki sensitivitas terbatas) dan tidak diperlukan untuk luka
yang tidak terinfeksi secara klinis. Satu pengecualian adalah kultur luka yang tidak
terinfeksi ketika mencari bukti kolonisasi dengan organisme yang sangat resisten untuk
Hasil dari kultur luka hanya berguna jika spesimen dikumpulkan dan diproses
secara tepat. Meskipun apusan luka terbuka mudah dikumpulkan, beberapa penelitian
telah dengan jelas menunjukkan bahwa hasil kultur dengan spesimen ini kurang sensitif
dan spesifik daripada spesimen jaringan. Spesimen jaringan yang diperoleh secara
aseptik biasanya hanya mengandung patogen yang benar, sementara kultur lesi
berkualitas baik (dan terlihat, jika tersedia, pada noda Gram) kemungkinan adalah
patogen sejati. Jika beberapa organisme terisolasi, terutama dari ulkus superfisial, sulit
untuk menentukan patogen. Layanan mikrobiologi klinis harus bekerja erat dengan
dokter dan melaporkan hasilnya dengan cara yang mudah dipahami oleh penerima.
spesies ini terkadang merupakan patogen sejati, terutama jika mereka tumbuh berulang
Di sebagian besar pusat, S. aureus adalah patogen yang paling sering terisolasi,
dan mungkin paling virulen, baik sendiri atau dalam kombinasi. Streptococci (berbagai
adalah isolat yang relatif sering tetapi biasanya memiliki kepentingan klinis sekunder.
Infeksi yang membutuhkan rawat inap sering polimikroba dan mungkin termasuk
berbagai jenis aerob dan anaerob. Bakteri Gram-negatif (terutama Enterobacteriaceae,
bersama dengan cocci gram positif dari pasien dengan infeksi kronis atau sebelumnya
diobati; mereka sering, tetapi tidak selalu, patogen sejati (IWGDF, 2015).
(terutama P. aeruginosa) adalah isolat yang paling sering terjadi di ulkus diabetik yang
terjadi pada pasien dalam iklim hangat, terutama di Asia dan Afrika. Tidak jelas apakah
ini terkait dengan faktor lingkungan, alas kaki, kebersihan pribadi, pra-perawatan
antimikroba atau faktor lainnya. Spesies anaerobik wajib adalah paling sering diisolasi
dari luka iskemik atau nekrotik atau yang melibatkan jaringan dalam; mereka jarang
satu-satunya patogen dan paling sering merupakan bagian dari infeksi campuran
Organisme yang resistan terhadap berbagai obat, terutama MRSA, lebih sering
diisolasi dari pasien yang baru-baru ini menerima terapi antibiotik, sebelumnya telah
dirawat di rumah sakit atau tinggal di fasilitas perawatan kronis atau yang telah
meningkat secara dramatis di banyak negara dimulai pada akhir 1990-an, itu baru-baru
29
ini mulai menurun di sebagian besar negara, seiring dengan peningkatan tindakan
pengendalian infeksi rumah sakit. Ulkus diabetik yang disebabkan oleh MRSA
(cenderung tidak resisten terhadap antibiotik lain dan seringkali lebih ganas)
dibandingkan dengan strain yang terkait dengan perawatan kesehatan menjadi kurang
dapat diandalkan dalam beberapa tahun terakhir. Dalam dekade terakhir, organisme
multi-resisten lainnya, terutama gram negatif dengan spektrum luas ß-laktamase
(ESBL) (Islam, et al., 2013), dan bahkan karbapenamase (Tascini, et al., 2015) telah
kadang pulih dari infeksi kaki pada orang dengan diabetes, tetapi jarang patogen klinis
yang signifikan. Sebagian besar kasus infeksi dengan superu yang sangat langka, tetapi
sangat ditakuti, S. aureus resisten vankomisin, berasal dari pasien dengan infeksi kaki
C. Teori Antibiotika
Antibiotik adalah suatu jenis obat yang dihasilkan oleh mikroorganisme yang
pada tubuh dan disebabkan oleh bakteri. Antibiotika memiliki beberapa mekanisme
polimiksin
Beberapa bakteri sangat berperan dalam infeksi luka, terutama bakteri yang
sering berkembang pada bagian kulit. Hal ini sangat penting untuk peimilihan
antibiotika yang sesuai pada jenis bakteri yang menginfeksi. Berikut di bawah mi yang
merupakan beberapa bakteri penginfeksi luka beserta antibiotik yang tepat digunakan.
Antibiotika umumnya di resepkan untuk lima sampai tujuh hari. Secara umum
terapi dihentikan tiga hari setelah gejala-gejala infeksi hilang. Pemantauan dini tiga
hari setelah permulaan terapi penting untuk menentukan tepat atau tidaknya pemberian
semula. Namun jika belum tepat dapat dilakukan peningkatan atau penurunan
pengobatan antibiotika. Peningkatan pengobatan dilakukan dengan beralih dan
spektrum yang lebih luas. Penurunan pengobatan dilakukan dengan beralih dan
spektrum yang lebih sempit dan spesifik. Pengobatan antibiotika dihentikan apabila
infeksi sembuh yaitu tujuan pengobatan telah dicapai atau bila diagnosisnya berubah
dosis, dan untuk mendapatkan efek sinergistik. Antibiotika yang dipilih harus
berdasarkan pola kepekaan kuman, pengalaman kiinis, tempat aksi, toksisitas, dan
harga. Akibat merugikan yang mungkin timbul perlu diperhatikan pada terapi
Keberhasilan terapi antibiotika dilihat dari kondisi klinis pasien dan hasil uji
tempat infeksi, sputum menjadi jernih, dan air kemih menjadi tidak keruh atau tidak
bau (Juwono dan Prayitno, 2003). Hasil uji hematologi menunjukkan jumlah leukosit
dan laju endap darah (LED) menurun. C reactive protein menurun terlihat dan hash uji
biokimia. Hasil uji mikroskopis tidak tampak kuman pada pus. Tidak ada pertumbuhan
kuman pada biakan dan hasil uji X-ray dinyatakan membaik (Juwono dan Prayitno,
2003).
Sebab-sebab kegagalan terapi antibiotika adalah mikroorganisme penyebab
antibiotika benar tetapi dosis atau rute pemberiannya salah, antibiotika tidak dapat
mencapai tempat infeksi, adanya timbunan pus yang harus dikeluarkan dengan
pembedahan, adanya benda asing atau jaringan nekrotik yang harus disingkirkan.
adanya infeksi sekunder, demam yang diakibatkan oleh penggunaan antibiotika, dan
Pemberian antibiotika untuk penanganan infeksi agar lebih tepat dan efisien
biasanya diberikan sebagai permulaan terapi sambil menunggu hasil kultur dan
sensitivitas tes. Terapi empirik juga diberikan apabila kultur dan sensitivitas tes tidak
dilakukan. Terapi empirik berdasarkan kondisi klinis dan hasil laboratorium pasien
yaitu lekosit, limfosit, monosit. dan neutrofil nilainya melebihi normal. Terapi absolut
diberikan berdasarkan kultur dan sensitivitas tes.
farmasis dalam usahanya untuk mencapai terapi obat rasional yang aman, tepat dan
memastikan bahwa pasien memperoich terapi obat rasional dan untuk memasikan
bahwa terapi yang diberikan adalah yang diinginkan oleh penderita. Pharmaceutical
care menurut Hepler dan Strand (1990) adalali tanggung jawab pemberian terapi obat
yang bertujuan untuk mencapai outcome yang dapat meningkatkan kualitas hidup
obat. Setiap pemberian obat hams diikuti dengan evaluasi terhadap tercapai tidaknya
terapeutik yang dituju dengan efek samping seminimal mungkin. Keberhasilan tersebut
akan tergantung pada beberapa hal, yaitu ketepatan diagnosa, ketepatan pernilihan
obat, aturan dosis, dan cara pemberian serta ketaatan pasien (Krisdaryono, 2002).
33
Drug Related Problems (DRPs) adalah kejadian tidak diinginkan yang dialami
pasien selama terapi obat dan mengganggu outcome yang diharapkan. Drug Related
Problems sering terjadi pada penggunaan obat dalam praktek klinis. Permasalahan
penggunaan obat ini dapat mengakibatkan terapi menjadi tidak rasional dan sering
mencegah. dan mengatasi tujuh macam DRPs yang dapat terjadi pada pasien-pasien
penting untuk mengenali masalah-masalah terapi obat dan untuk memberikan penilaian
kategori Drug Related Problems adalah (Cipolle, et al., dalam review Adusumilli dan
Adepu, 2014) :
itu perlu mencermati apakah ada indikasi penyakit yang tidak diobati. Adanya indikasi
penyakit yang tidak tertangani ini dapat disebabkan oleh; Penderita mengalarni
gangguan medis baru yang memerlukan terapi obat; Penderita inerniliki penyakit
penyakit barn yang dapat dicegah dengan penggunaan terapi obat profilaktik atau
2. Pasien menerima obat tanpa indikasi atau obat yang tidak penting
Pemberian obat tanpa indikasi selain dapat merugikan penderita secara finansial
dapat juga merugikan penderita yang berpotensi pada efek yang tidak dikehendaki.
Pemeberian obat tanpa indikasi dapat disebabkan oleh Penderita menggunakan obat
yang tidak sesuai dengan indikasi penyakit pada saat ini; Penyakit penderita terkait
dengan penyalahgunaan obat, alkohol atau merokok; Kondisi medis penderita lebih
baik ditangani dengan terapi non obat; Penderita memperoleh polifarmasi untuk
kondisi yang indikasinya cukup mendapat terapi obat tunggal; dan Penderita
memperoleh terapi obat untuk mengatasi efek obat yang tidak dikehendaki yang
disebabkan oleh obat lain yang seharusnya dapat diganti dengan obat yang lebih sedikit
Salah obat merupakan keadaan dimana obat yang digunakan untuk mengobati
kondisi pasien tidak efektif atau terapi yang digunakan bukan yang paling efektif.
Selain itu, pasien alergi terhadap obat tersebut, atau obat kontraindikasi terhadap
kondisi pasien. Misalnya, jika obat yang digunakan merupakan obat yang efektif tapi
terdapat obat lainnya sama efektifnya namun lebih murah, hat ini bisa dikatakan salah
obat. Atau, ketika pasien menerima obat kombinasi namun ada obat tunggal yang sama
efektif nya dengan kombinasi, maka pasien dapat dikatakan DRPs salah obat. (Strand,
et.al., 1990).
Pemilihan obat yang tidak tepat dapat mengakibalkan tujuan terapi tidak
tercapai sehingga penderita dirugikan. Penyebab lainnya. pada pemilihan obat yang
35
tidak tepat dapat disebabkan oleh; Obat yang digunakan berkontraindikasi, misalnya
dihindari pada penderita lanjut usia, wanita hamil, penderita dengan gangguan fungsi
hati. atau gangguan fungsi ginjal yang parah; Obat yang digunakan efektiftetapi bukan
yang paling aman; Penderita resisten dengan obat yang digunakan; penderita menolak
terapi obat yang diberikan, misalnya pemilihan bentuk sediaan yang kurang tepat.
Meskipun mendasar, bahwa prinsip dan homeopati dimana jika dosis terlalu
sedikit (suboptimal) obat diklasifikasikan sebagai DRPs, yaitu ketika hasil yang
diinginkan pada pasien tidak tercapai (yaitu, infeksi tidak merespon dengan pengobatan
berdasarkan penyakit, dan informasi riwayat pasien. Dosis dapat dikatakan kurang
optimal jika konsentrasi obat di serum tidak tercapai bersamaan dengan adanya (tanda-
tanda dan gejala) maka hal ini dapat dikatakan DRPs. Terdapat parameter lainnya, jika
terdapat dosis dibawah dosis terapi. Pasien menerima dosis yang sesuai atau obat
dilanjutkan cukup lama namun tidak mencapai efek yang diinginkan maka dapat
dikatakan dosis dibawah dosis terapi. (Strand, et al., 1990).
terapi obat. Hal ini dapat disebabkan oleh; Dosis yang digunakan terlalu rendah untuk
berada di bawah rentang terapi yang dikehendaki; Saat profilaksis tidak tepat bagi
penderita; obat, dosis, rute, dan formulasi tidak sesuai; fleksibilitas dosis dan interval
36
tidak sesuai; terapi obat dialihkan terutama untuk uji klinis (Cipolle, et al., dalarn
dosis yang terlalu tinggi pada salisilat dapat menggantikan ikatan protein pada obat
oral hipoglikemik generasi pertama dan berpotensi hipoglikemik pada pasien (Strand,
et al., 1990).
Interaksi obat yang mungkin timbul dan pemakaian insulin dengan obat
hipoglikemik oral atau dengan obat yang lain dapat dilihat pada referensi yang lebih
detil, misalnya BNF terbaru, Stokley's Drug Interactions dan lain sebagainya. Obat obat
tersebut di bawah ini merupakan contoh obat-obat yang dapat meningkatkan kadar
maupun obat hipoglikemik oral yang diberikan. Obat atau senyawa-senyawa yang
dapat meningkatkan risiko hipoglikemia sewaktu pemberian obat hipoglikemik oral
salisilat, fenilbutazon, dan lain-lain juga memiliki interaksi dengan insulin, sehingga
sebaiknya tidak diberikan bersamaan dengan pemberian insulin, paling tidak perlu
diperhatikan dan diatur saat dan dosis pemberiannya apabila terpaksa diberikan pada
Dapat dikatakan interaksi jika teijadi efek dan sam obat yang dipengaruhi
dengan adanya obat lain, jamu, makanan, minuman atau oleh beberapa bahan kimia.
Hasil interaksi dapat berbahaya jika terjadi peningkatan toksisitas obat. Namun
terdapat juga interaksi obat yang tidak benar-benar mempengaruhi sama sekali seperti
efek aditif dañ kedua obat yang memiliki efek yang sama contohnya: efek gabungan
dan dua atau lebih obat antidepresan atau obat yang mempengaruhi QT interval.
Namun terkadang istilah interaksi obat digunakan ketika teijadi reaksi fisiko-kimia
1) Interaksi Farmakokinetik
Interaksi farmakokinetik adalah interaksi yang dapat terjadi ketika suatu obat
metformin di tubular ginjal sehingga kadar plasma metformin dapat meningkat dan
Ketika obat diberikan secara oral, maka akan terjadi penyerapan melalui
membran mukosa dan saluran pencernaan, dan sebagian besar interaksi terjadi pada
penyerapan diusus.
Pada interaksi ini dapat terj adj melalui beberapa hat, yaitu: interaksi ikatan
Reaksi-reaksi yang dapat teijadi path saat tahap metabolisme yaitu: yang
pertama perubahan pada first pass metabolism salah satu pada perubahan aliran darah
ke hati, dan inhibisi atau induksi first pass metabolism, kedua induksi enzim, ketiga
inhibisi enzim, yang keempat faktor genetik dan yang terakhir adanya interaksi
isoenzirn CYP450.
Sebagian besar obat dieksresikan melalul empedu atau urin, pengecualian untuk
obat anestesi inhalasi. Interaksi dapat dilihat dan perubahan pH, perubahan aliran dara
2) Interaksi Farmakodinamik
Interaksi farmakodinamik adalah interaksi dimana efek dan satu obat tenjadi
perubahan karena adanya obat lain. Terkadang obat bersaing untuk reseptor tertentu
39
misalnya agonis beta2, seperti salbutamol. dan beta bloker seperti propranolol) namun
Jika dua obat memiliki efek farmakologis yang sama dan diberikan secara
bersama-sama maka dapat memberikan efek yang aditif. Misalnya, alkohol menekan
SSP. dan jika dikonsumsi dalam jurnlah yang besar (misalnya ansiolitik, hipnotik, dll.)
Interaksi ini berbeda dengan interaksi aditif, dimana ada beberapa pasang obat
yang bekerja berlawanan satu sama lain. Misalkan kumarin dapat memperpanjang
2008).
1) Keparahan minor
Interaksi obat minor biasanya memberikan potensi yang rendah secara kiinis
dan tidak mcmbutuhkan terapi tambahan. Contoh interaksi minor adalah interaksi
hidralazin dan furosernid. Dirnana efek farmakologis furosemid dapat meningkat jika
40
diberikan bersamaan dengan hidralazin, tetapi secan klinis tidak signifikan. lnteraksi
2) Keparahan moderare
3) Keparahan major
dapat menycbabkan potensi toksisitas yang serius. Contohnya, ketokonazol yang dapat
mengancam jiwa. Sehingga kombinasi ini tidak disarankan untuk digunakan (Atkinson,
et aI., 2007).
Keadaan ini sama halnya dengan dosis terlalu rendah, dimana dosis melebihi
dosis terapi memberikan efek yang berlawanan dengan seharusnya. Keadaan dimana
maka hal ini dapat dinyatakan sebagai DRPs. Hal ini juga memungkinkan adanya
akumulasi obat jangka panjang yang menyebabkan efek toksik pada pasien (Strand, et
al., 1990).
41
kemungkinan munculnya toksisitas. Hal ini dapat disebabkan oleh; Dosis obat terlalu
tinggi untuk penderita; Konsentrasi obat dalam plasma penderita di atas rentang terapi
mengakumulasi obat karena pemberian yang kronis; Obat, dosis, rute, formulasi tidak
sesuai; Fleksibilitas dosis dan interval tidak sesuai (Cipolle, et al., dalarn Depkes RI,
2005).
mengalami keracunan yang ditimbulkan oleh dosis obat yang berlebih merupakan
masalah umum yang terdapat pada praktek kiinis. Pemantauan farmakokinetik dan
penyesuaian dosis tidak bisa terlalu ditekankan atau terlalu cepat hal ini untuk
sesuai dengan aturan yang dibenkan dan pasien memiliki kondisi ekonomi yang tidak
mampu sehingga pasien tidak menebus obat yang telah diresepkan. Kasus ini perlu
bantuan farmasis untuk memberikan informasi obat path pasien sehingga tercapai efek
menerima pengaturan obat yang sesuai sebagai akibat kesalahan medikasi (medication
error) berupa kesalahan peresepan, dispensing, cara pemberian atau monitoring yang
42
meminum obat karena tidak sesuai dengan keyakinan kesehatannya; penderita tidak
Yang perlu mendapat perhatian khusus terhadap masalah terkait obat apabila
gangguan ginjal; penderita gangguan hati; penderita gangguan jantung (stage 3-4);
penderita lanjut usia; penderita anak-anak; penderita yang sedang berpuasa (Cipolle, et
al., dalarn Depkes RI, 2005).
kasus-kasus DRPs dalam praktek klinis disajikan dalam tabel VII berikut.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Drug related problems penggunaan antibiotik pada pasien ulkus diabetikum sebagai
variabel terikat pada suatu waktu tertentu. Analisa dilakukan secara deskriptif yaitu
1. Pedekatan penelitian
deskriptif evaluatif.
2. Lokasi Penelitian
bulan.
1. Populasi
Populasi penelitian ini adalah semua pasien penderita ulkus diabetikum rawat
inap yang menerima terapi antibiotik di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar
2. Sampel
Sampel penelitian ini adalah pasien penderita ulkus diabetikum yang menerima
terapi antibiotik. Dimana jumlah sampel ialah keseluruhan dari jumlah populasi yang
1. Kriteria inklusi
ulkus/gangren, laki-laki dan perempuan usia ≥18 tahun, yang mendapat terapi
antibiotika, dengan data RM lengkap dan mendukung, dan lama perawatan minimal 3
hari.
2. Kriteria Ekslusi
Pasien yang didiagnosa menderita diabetes mellitus dengan ulkus atau gangren
dengan penyakit infeksi lain, data rekam medik tidak lengkap, dan lama perawatan
mengumpulkan rekam medik pasien ulkus diabetikum yang termasuk dalam kriteria
inklusi.
E. Instrumen Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rekam medik pasien ulkus
diabetikum rawat inap dis RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar
46
F. Variabel Penelitian
1. Teknik pengolahan
Pada penelitian ini, dilakukan penelusuran pada data pasien ulkus diabetikum
2017. Proses pemilihan didasarkan pada pasien yang masuk dalam kriteria inklusi.
Pengambilan dan pencatatan data hasil rekam medis diruang administrasi medis berupa
nomor rekam medis, identitas pasien (nama, jenis kelamin, umur, penyakit penyerta,
Pelaksanaan verifikasi data rekam medis dan pola terapi antibiotik pengobatan
ulkus diabetikum yang dilanjutkan dengan transkrip data yang dikumpulkan dalam
a. Editing
Hal ini dengan melakukan penelitian terhadap data mentah, namun terlebih
b. Coding
c. Entry data
d. Cleaning data
2. Analisis data
Analisis data dilakukan berdasarkan data yang didapat dari rekam medik pasien
ulkus diabetikum. Data mengenai pola penyebaran ulkus diabetikum terkait dengan
usia, jenis kelamin, dan lama perawatan disajikan dalam bentuk diagram. Data
Dari lembar pengumpul data, dibuat rekapitulasi dari data-data yang diperoleh
ke dalam sebuah tabel yang meliputi data idetitas pasien, riwayat penyakit, riwayat
pengobatan, tanggal masuk dan keluar rumah sakit, keluhan utama dan diagnosa akhir,
data klinik (suhu, RR, nadi), data laboratorium (leukosit), data mikrobiologi, data terapi
obat yang diterima pasien (jenis obat, dosis, rute pemberian, frekuensi pemberian, dan
48
lama penggunaan) selama menjalani rawat inap di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo
Makassar.
Analisis data yang dilakukan dengan Microsoft Excel 2010 dan program SPSS
(Statisical Packages for Social Sciences) 17.0 crosstabs akan dianalisis secara univariat
a. Analisis univariat
variabel baik terikat maupun bebas yang akan diteliti secara deskriptif. Data yang telah
karakteristik pasien (usia, jenis kelamin, penyakit penyerta, penyakit komplikasi), dan
b. Analisis bivariat
Analisis bivariat adalah analisis yang dilakukan terhadap dua variabel yang
problems (DRPs).