You are on page 1of 15

SYOK KARDIOGENIK

Pendahuluan
Syok kardiogenik merupakan kegawat-daruratan di bidang kardiovaskuler yang
memerlukan penanganan cepat dan tepat. Kondisi ini dapat disebabkan oleh berbagai macam
etiologi yang memerlukan penatalaksanaan segera. Keterlambatan dalam menegakkan
diagnosis kegawatan dan kesalahan dalam melakukan terapi dapat berakibat fatal, karena
pasien akan jatuh dalam gagal sirkulasi yang berkepanjangan. Pengenalan dini dan
penatalaksanaan yang tepat akan memberikan prognosis yang baik.
Syok kardiogenik merupakan penyebab kematian paling sering pada pasien-pasien
yang dirawat dengan infark miokard. Tindakan revaskularisasi dini terbukti mampu
menurunkan kejadian syok kardiogenik pada kasus infark miokard akut. Tingkat kejadian
syok kardiogenik telah banyak berkurang belakangan ini, mulai dari 20% pada tahun 1960an,
hingga saat ini tinggal + 8% saja. Insidensi syok kardiogenik lebih tinggi pada pria daripada
wanita (3:2). Perbedaan ini disebabkan karena semakin meningkatnya kejadian penyakit
jantung koroner pada pria. Namun demikian persentase kejadian syok kardiogenik yang
mengikuti infark miokard lebih banyak pada wanita dibanding pria. Umur rata-rata pasien
dewasa yang mengalami syok kardiogenik adalah 65-66 tahun.

Definisi
Syok kardiogenik adalah gangguan fungsi sirkulasi mendadak dan kompleks
yang mengakibatkan hipoksia jaringan akibat berkurangnya curah jantung
pada keadaan volume intravaskular yang cukup.

Kinerja Jantung
Jantung sebagai pompa, berfungsi untuk memompa darah ke seluruh tubuh untuk memenuhi
kebutuhan metabolisme tubuh. Jumlah darah yang dipompakan jantung setiap kali jantung
kontraksi disebut dengan isi sekuncup, sedangkan jumlah darah yang dipompakan jantung
setiap menit adalah curah jantung. Fungsi inilah yang disebut dengan fungsi sistolik. Selain
itu, jantung juga mempunyai fungsi diastolik, yaitu kemampuan jantung untuk berelaksasi
agar jantung dapat menerima darah dari vena paru atau vena sistemik. Jika terjadi gagal
jantung kedua fungsi ini terganggu. Gangguan fungsi sistolik mengakibatkan curah jantung
akan menurun yang akan menimbulkan asidosis, aliran darah ke ginjal berkurang, dan
sebagainya. Akibat gangguan fungsi diastolik, darah dari paru atau sistemik tidak dapat
mengalir ke jantung sehingga terjadi bendungan di paru dan sistemik sehingga timbul sesak
napas, edema di tungkai, dan tekanan vena jugular yang meningkat. Kinerja jantung sebagai
pompa, ditentukan oleh beberapa faktor yaitu: preload, afterload, kontraksi, dan laju jantung.
Preload adalah beban pada saat diastolik, ini sesuai dengan tekanan pengisian ventrikel.
Afterload adalah beban pada saat sistolik, yaitu saat darah dipompakan ke luar ventrikel.
Kontraksi adalah kemampuan otot jantung berkontraksi. Terakhir adalah laju jantung yaitu
kecepatan atau frekuensi jantung dalam berkontraksi. Gangguan dari salah satu atau lebih
kinerja jantung ini akan menyebabkan gagal jantung.
Pada jantung berlaku hukum Starling. Menurut Starling jika tekanan pengisian ditingkatkan,
maka isi sekuncup akan bertambah sampai pada suatu titik tertentu, dan jika titik ini dilewati
maka peningkatan tekanan pengisian tidak lagi diikuti dengan meningkatnya isi sekuncup.
Bahkan kalau tekanan pengisian ditingkatkan lagi, isi sekuncup malah sebaliknya akan
berkurang, dan keadaan inilah yang terjadi pada gagal jantung.

Etiologi
Syok kardiogenik dapat disebabkan oleh berbagai macam kelainan yang terjadi pada jantung
seperti: disfungsi sistolik, disfungsi diastolik, disfungsi katup, aritmia, penyakit jantung
koroner, komplikasi mekanik. Karena besarnya angka kejadian ACS, maka ACS pun menjadi
etiologi terhadap syok kardiogenik yang paling dominan pada orang dewasa. Selain itu,
banyak pula kasus syok kardiogenik yang terjadi akibat medikasi yang diberikan, contohnya
pemberian penyekat beta dan penghambat ACE yang tidak tepat dan tidak terpantau pada
kasus ACS. Pada anak-anak penyebab tersering adalah miokarditis oleh karena infeksi virus,
kelainan congenital dan konsumsi bahan-bahan yang toksik terhadap jantung.
Secara fungsional penyebab syok kardiogenik dapat dibagi menjadi 2 yakni:
1. Kegagalan Jantung kiri dan kegagalan Jantung kanan.
Penyebab-penyebab kegagalan jantung kiri antara lain :
a. Disfungsi sistolik yakni, berkurangnya kontraktilitas miokardium. Penyebab yang
paling sering adalah infark miokard akut khususnya infark anterior. Penyebab lainnya
adalah hipoksemia global, penyakit katup, obat-obat yang menekan miokard
(penyekat beta, penghambat gerbang kalsium, serta obat-obat anti aritmia), kontusio
miokard, asidosis respiratorius, kelainan metabolic (asidosis metabolic,
hipofosfatemia, hipokalsemia), miokarditis severe, kardiomiopati end-stage, bypass
kardiopulmonari yang terlalu lama pada operasi pintas jantung, obat-obatan yang
bersifat kardiotoksin (mis. Doxorubicin, adriamycin).
b. Disfungsi diastolik. Hal ini dapat terjadi akibat meningkatnya kekakuan ruang
ventrikel kiri, dapat pula terjadi pada tahap lanjut syok hipovolemik dan syok septik.
Hal-hal yang dapat menyebabkannya antara lain: iskemik, hipertrofi ventrikel,
kardiomiopati restriktif, syok hipovolemik dan syok septik yang berlama-lama,
kompresi eksternal akibat tamponade jantung
c. Peningkatan afterload yang terlalu besar. Hal ini dapat terjadi pada keadaan stenosis
aorta, kardiomiopati hipertrofik, koarktasio aorta, hipertensi maligna.
d. Abnormalitas katup dan struktur jantung. Hal ini dapat terjadi pada keadaan mitral
stenosis, endokarditis, regurgitasi mitral dan aorta, obstruksi yang disebabkan oleh
atrial myxoma atau thrombus, ruptur ataupun disfungsi otot-otot papilaris, ruptur
septum dan tamponade.
e. Menurunnya kontraktilitas jantung. Hal ini terjadi pada keadaan, infark ventrikel
kanan, iskemia, hipoksia dan asidosis.
2. Kegagalan ventrikel kanan dapat disebabkan oleh berbagai peristiwa antara lain:
a. Peningkatan afterload yang terlalu besar misalnya, emboli paru, penyakit pembuluh
darah paru (hipertensi arteri pulmonalis dan penyakit oklusif vena), vasokonstriksi
pulmonal hipoksik, tekanan puncak akhir ekspirasi, fibrosis pulmonaris, kelainan
pernafasan saat tidur, PPOK.
b. Artimia. Ventrikel takiaritmia sering berkaitan dengan syok kardiogenik. Sementara
bradiaritmia dapat menyebabkan atau memperburuk syok yang disebabkan oleh
etiologi lain. Sinus takikardia dan takiaritmia atrial dapat menyebabkan hipoperfusi
dan memperburuk syok.
Penyebab syok kardiogenik dapat pula dibedakan berdasarkan infark miokard akut atau non-
infark miokard seperti berikut ini :
1. Infark miokard akut
a. Kegagalan pompa jantung
 Infark luas, > 40% ventrikel kiri
 Infark kecil namun dengan riwayat disfungsi ventrikel kiri atau riwayat infark
sebelumnya
 Infark yang meluas
 Reinfark
b. Komplikasi mekanik
 Mitral regurgitasi akut akibat/disfungsi ruptur otot papilari atau korda tendine
 Defek septum ventrikel yang disebabkan roleh ruptum septum intraventrikular
 Ruptur dinding ventrikel kiri
 Tamponade perikard
c. Infark ventrikel kanan
2. Kondisi lain
a. Kardiomiopati tahap akhir (end stage)
b. Miokarditis
c. Syok septik dengan depresi miokard berat
d. Obstruksi jalan keluar ventrikel kiri
 Stenosis aorta
 Kardiomiopati obstruktif hipertrofik
e. Obstruksi jalan masuk (pengisian) ventrikel kiri
 Stenosis mitral
 Myxoma atrium kiri
f. Regurgitasi mitral akut (ruptur korda)
g. Insufisiensi katup aorta akut
h. Kontusio miokardial
i. Bypass kardiopulmonari yang berkepanjangan
Menentukan etiologi syok kardiogenik merupakan suatu tantangan yang tidak mudah.
Anamnese dan pemeriksaan klinis dapat memberikan informasi penting dalam menentukan
etiologi syok kardiogenik. Misalnya, jika keluhan utama pasien yang masuk adalah nyeri
dada, maka hal yang dapat diperkirakan adalah adanya infark miokard akut, miokarditis, atau
tamponade perikard. Selanjutnya, jika ditemukan murmur pada pemeriksaan fisik, maka
dapat dipikirkan kemungkinan adanya ruptur septum ventrikel, ruptur otot-otot papillaris,
penyakit akut katup mitral atau aorta. Adanya murmur pada syok kardiogenik merupakan
suatu indikasi untuk segera dilakukan pemeriksaan echocardiography.

Patofisiologi
Syok kardiogenik merupakan akibat dari gangguan dari keseluruhan system sirkulasi baik
yang besifat temporer maupun permanen. Kegagalan ventrikel kiri atau ventrikel kanan
(akibat disfungsi miokardium) memompakan darah dalam jumlah yang adekuat merupakan
penyebab primer syok kardiogenik pada infark miokard akut. Akibatnya adalah hipotensi,
hipoperfusi jaringan, serta kongesti paru atau kongesti vena sistemik. Kegagalan ventrikel
kiri merupakan bentuk yang paling sering dari syok kardiogenik, namun bagian lain dari
sistem sirkulasi juga ikut bertanggung jawab terhadap gagalnya mekanisme kompensasi.
Kebanyakan abnormalitas ini sifatnya reversibel sehingga bagi pasien-pasien yang selamat,
fungsi jantung mungkin masih dapat dipertahankan. Hipotensi sistemik, merupakan tanda
yang terjadi pada hampir semua syok kardiogenik. Hipotensi terjadi akibat menurunnya
volume sekuncup/stroke volume serta menurunnya indeks kardiak. Turunnya tekanan darah
dapat dikompensasi oleh peningkatan resistensi perifer yang diperantarai oleh pelepasan
vasopresor endogen seperti norepinefrin dan angiotensin II. Namun demikian gabungan dari
rendahnya curah jantung dan meningkatnya tahanan perifer dapat menyebabkan
berkurangnya perfusi jaringan. Sehubungan dengan itu, berkurangnya perfusi pada arteri
koroner dapat menyebabkan suatu lingkaran setan iskemik, perburukan disfungsi
miokardium, dan disertai dengan progresivitas hipoperfusi organ serta kematian. Hipotensi
dan peningkatan tahanan perifer yang disertai dengan peningkatan PCWP terjadi jika
disfungsi ventrikel kiri merupakan kelainan jantung primernya. Meningkatnya tekanan
pengisian ventrikel kanan terjadi jika syok akibat kegagalan pada ventrikel kanan, misalnya
pada gagal infark luas ventrikel kanan. Namun pada kenyataannya sebuah penelitian SHOCK
trial menunjukkan pada beberapa pasien post MI, syok malahan disertai oleh vasodilatasi.
Hal ini mungkin terjadi sebagai akibat adanya respon inflamasi sistemik seperti yang terjadi
pada sepsis. Respon inflamasi akut pada infark miokard berkaitan dengan peningkatan
konsentrasi sitokin. Aktivasi sitokin menyebabkan induksi nitrit oksida (NO) sintase dan
meningkatkan kadar NO sehingga menyebabkan vasodilatasi yang tidak tepat dan
berkurangnya perfusi koroner dan sistemik. Sekuens ini mirip dengan yang terjadi pada syok
septik yang juga ditandai dengan adanya vasodilatasi sistemik.
Manifestasi Klinis
Syok kardiogenik merupakan kasus kegawatdaruratan. Penilaian klinis yang lengkap sangat
penting untuk mendapatkan penyebabnya dan menetapkan sasaran terapi untuk mengatasi
penyebabnya. Syok kardiogenik yang muncul akibat infark miokard biasanya muncul setelah
pasien masuk ke rumah sakit, namun demikian, sebagian kecil pasien datang ke rumah sakit
sudah dalam keadaan syok. Pada pasien terlihat tanda-tanda hipoperfusi (curah jantung yang
rendah) yang terlihat dari adanya sinus takikardia, volume urine yang sedikit, serta
ekstremitas dingin. Hipotensi sistemik ( TDS < 90mmHg atau turunnnya TD < 30 mmHg dari
TD rata-rata) belakangan akan muncul dan meyebabkan hipoperfusi jaringan. Kebanyakan
pasien yang datang dengan infark miokard akut merasakan nyeri dada yang muncul tiba-tiba
seperti diperas atau ditimpa beban berat di substernal. Nyeri ini dapat menyebar hingga ke
lengan kiri atau leher. Nyeri dada bisa saja tidak khas, terutama jika lokasinya hanya di
epigastrium, leher atau lengan. Kualitas nyerinya bisa seperti terbakar, seperti ditusuk-tusuk
atau seperti ditikam. Bahkan nyeri bisa saja tidak dirasakan pada pasien-pasien diabetes dan
usia tua. Gejala-gejala autonomik lain bisa juga muncul seperti mual, muntah, serta
berkeringat. Riwayat penyakit jantung sebelumnya, riwayat penggunaan kokain, riwayat
infark miokard sebelumnya, atau riwayat pembedahan jantung sebelumnya perlu ditanyakan.
Faktor resiko penyakit jantung perlu dinilai pada pasien yang disangkakan mengalami
iskemik miokardial. Evaluasinya antara lain mencakup riwayat hiperlipidemia, hipertrofi
ventrikel kiri, hipertensi, riwayat merokok, serta riwayat keluarga yang mengalami penyakit
jantung koroner premature. Keberadaan 2 atau lebih faktor resiko meningkatkan
kecenderungan suatu infark miokard. Gejala-gejala lain yang berkaitan antara lain:
diaphoresis, sesak nafas saat beraktifitas, sesak nafas saat beristrahat. Presinkop, sinkop,
palpitasi, ansietas generalisata serta depresi. Syok kardiogenik didiagnosa jika ditemukan
adanya disfungsi miokardium setelah mengeksklusikan penyebab lain yang mungkin
misalnya hipovolemia, perdarahan, sepsis, emboli paru, tamponade perikard, diseksi aorta
atau penyakit katup jantung. Dikatakan syok jika terdapat bukti adanya hipoperfusi organ
yang dapat dideteksi pada pemeriksaan fisik. Adapun karakteristik pasien-pasien syok
Kardiogenik antara lain:
 Kulit berwarna keabu-abuan atau bisa juga sianosis. Suhu kulit dingin dan bisa muncul
gambaran mottled skin pada ekstremitas.
 Nadi cepat dan halus/lemah serta dapat juga disertai dengan irama yang tidak teratur jika
terdapat aritmia
 Distensi vena jugularis dan ronkhi basah di paru biasanya ada namun tidak harus selalu.
Edema perifer juga biasanya bisa dijumpai
 Suara jantung terdengar agak jauh, bunyi jantung III dan IV bisa terdengar
 Tekanan nadi lemah dan pasien biasanya dalam keadaan takikardia
 Tampak pada pasien tanda-tanda hipoperfusi misalnya perubahan status mental dan
penurunan jumlah urine
 Murmur sistolik biasanya terdengar pada pasien dengan regurgitasi mitral, murmur
biasanya terdengar di awal sistol
 Dijumpainya thrill parasternal menandakan adanya defek septum ventrikel.
Syok kardiogenik perlu dibedakan dengan jenis syok yang lain yaitu syok
hipovolemik dan syok septik. Ketiga jenis syok ini mungkin mempunyai gejala
klinis yang hampir sama namun berbeda dalam hal, patofisiologi, pemeriksaan
laboratorium, dan tata laksananya. Pada syok hipovolemik pasien tampak pucat,
lemas, kulit dingin, takikardia, oliguria, dan kolaps pembuluh darah. Pada
pemeriksaan laboratorium dijumpai hematokrit yang meningkat. Jenis syok ini
disebabkan karena kehilangan volume darah, dan tata laksana utamanya adalah
dengan pemberian cairan.
Pada syok kardiogenik gejala klinis hampir mirip dengan syok hipovolemik yaitu
anak tampak pucat, lemas, kulit dingin, aritmia, oliguria dan kolaps pembuluh
darah. Pada pemeriksaan jantung mungkin ditemukan adanya kelainan pada
EKG, foto Rontgen torak ataupun ekokardiografi. Secara patofisiologi, syok
kardiogenik terjadi akibat berkurangnya curah jantung. Tata laksana adalah
pemberian inotropik, diuretik, vasodilator ataupun antiaritmia untuk
memperbaiki kinerja jantung.
Pada syok septik gejala klinis agak sedikit berbeda dengan kedua jenis syok di
atas, yaitu anak panas, menggigil, kulit hangat, takikardia, oliguria, kolaps,
kesadaran menurun. Pemeriksaan laboratorium yang penting adalah kultur darah
dan terapinya meliputi pemberian antibiotika bahkan terkadang
mungkin perlu steroid atau ekspansi cairan.

Pemeriksaan Laboratorium
Seperti telah disampaikan sebelumnya, kunci keberhasilan penatalaksanaan pasien syok
kardiogenik adalah diagnosis yang cepat, terapi suportif sesegera mungkin, serta
revaskularisasi arteri koroner yang tepat pada kasus iskemik dan infark miokard. Seluruh
pasien yang datang dengan syok harus dijajaki untuk tujuan diagnosis kerja dengan cepat,
resusitasi segera dan konfirmasi selanjutnya terhadap diagnosa kerja. Selain pemeriksaan
laboratorium, pemeriksaan pencitraan seperti echocardiography, toraks foto, angiografi,
elektrokardiografi serta monitoring hemodinamik invasif. Pemeriksaan laboratorium meliputi
pemeriksaan darah lengkap terutama berguna untuk mengeksklusikan anemia. Peningkatan
jumlah leukosit hitung menandakan kemungkinan adanya infeksi, sedangkan jumlah platelet
yang rendah mungkin disebabkan oleh koagulopati yang disebabkan oleh sepsis. Pemeriksaan
biokimia darah termasuk elektrolit, fungsi ginjal, fungsi hati, bilirubin, aspartate
aminotransferase (AST), alanine aminotransferase (ALT), laktat dehidrogenase (LDH), dapat
dilakukan untuk menilai fungsi organ-organ vital. Pemeriksaan enzim jantung perlu
dilakukan termasuk kreatinin kinase dan subklasnya, troponin, myoglobin, dan LDH untuk
mendiagnosa infark miokard. Kreatinin kinase merupakan pemeriksaan yang paling spesifik
namun dapat menjadi positif palsu pada keadaan myopathy, hipotroidisme, gagal ginjal, serta
injuri pada otot rangka. Nilai myoglobin merupakan pemeriksaan yang sensitif pada infark
miokard, nilainya dapat meningkat 4 kali lipat dalam 2 jam. Nilai LDH dapat meningkat pada
10 jam pertama setelah onset infark miokard dan mencapai kadar puncak pada 24-48 jam,
selanjutnya kembali ke kadar normal dalam 6-8 hari. Troponin T dan I banyak digunakan
dalam mendiagnosa infark miokard. Jika kadar troponin meningkat namun tidak dijumpai
adanya bukti klinis iskemik jantung, maka harus segera dicari kemungkinan lain dari
kerusakan jantung misalnya miokarditis. Kadar troponin T meningkat dalam beberapa jam
setelah onset infark miokard. Kadar puncak dicapai dalam 14 jam setelah onset, mencapai
kadar puncak kembali pada beberapa hari setelah onset (kadar puncak bifasik) dan tetap akan
menunjukkan nilai abnormal dalam 10 hari. Hal ini menyebabkan kombinasi troponin T dan
CK-MB menjadi parameter diagnostik retrospektif yang amat bermanfaat bagi pasien yang
datangnya terlambat dari onset penyakit. Troponin T juga merupakan suatu indikator
prognostik independen sehingga dapat digunakan sebagai stratifikator resiko pada pasien
angina tidak stabil dan infark miokard gelombang non-Q. pemerksaan analisa gas darah dapat
melihat homeostasis asam basa secara keseluruhan serta tingkat oksigenasi darah di arteri.
Peningkatan defisit basa di darah berhubungan dengan keparahan syok dan sebagai marker
dalam pemantauan selama resusitasi terhadap pasien syok. Pemeriksaan laktat serial
bermanfaat sebagai marker hipoperfusi dan indikator dari prognosis. Meningkatnya kadar
laktat pada pasien dengan adanya gejala hipoperfusi menunjukkan prognosis yang buruk.
Meningkatnya kadar laktat selama proses resusitasi menunjukkan mortalitas yang sangat
tinggi. Kadar brain natriuretic peptide (BNP) berguna sebagai pertanda adanya gagal jantung
kongestif dan merupakan suatu indikator prognostik yang independen. Nilai BNP yang
rendah dapat menyingkirkan syok kardiogenik pada keadaan hipotensi. Namun demikian,
nilai BNP yang meningkat tidak serta merta dikatakan syok kardiogenik. Pemeriksaan
saturasi oksigen juga bermanfaat khusunya dapat mendeteksi defek septum ventrikel.

Pemeriksaan Pencitraan
Echocardiography : harus dilakukan secepatnya untuk menetapkan penyebab syok
kardiogenik. Echocardiography mampu memberikan informasi tentang fungsi sistolik global
dan regional serta disfungsi diastolik. Selain itu, pemeriksaan ini juga dapat mendiagnosa
dengan cepat penyebab mekanik syok seperti defek septum ventrikel akut, ruptur dinding
miokardium, tamponade perikard, serta ruptur muskulus papilaris yang menyebabkan
regurgitasi miokardial akut. Selain itu, dapat pula ditentukan area yang mengalami diskinetik
atau akinetik pada pergerakan dinding ventrikular atau dapat juga memperlihatkan disfungsi
katup-katup. Fraksi ejeksi juga dapat dinilai pada echocardiography. Jika ditemukan
hiperdinamik pada ventrikel kiri, maka penyebab lain harus ditelusuri seperti syok sepsis atau
anemia.
Radiografi toraks : sangat penting dilakukan untuk mengeksklusikan penyebab lain syok
atau nyeri dada. Mediastinum yang melebar mungkin adalah suatu diseksi aorta. Tension
pneumothorax atau pneumomediastinum yang mudah ditemukan pada foto toraks dapat
bermanifestasi syok dengan low-output. Gambaran radiologis pasien syok kardiogenik
kebanyakan memperlihatkan gambaran kegagalan ventrikel kiri berupa redistribusi pembuluh
darah peulmonal, edema paru interstisial, bayangan hilus melebar, dijumpai garis kerley-B,
kardiomegali serta effusi pleura bilateral. Edema alveolar tampak pada foto toraks berupa
opasitas perihilar bilateral (butterfly distribution).
Ultrasonografi : dapat menjadi panduan dalam manajemen cairan. Pada pasien yang
bernafas spontan, vena kava inferior yang kolaps saat respirasi menandakan adanya dehidrasi.
Sedangkan jika tidak maka status cairan intravaskular adalah euvolume
Angiografi arteri koroner : perlu dilakukan segera pada pasien dengan iskemik atau infark
miokard yang mengalami syok kardiogenik. Angiografi penting untuk menilai anatomi arteri
koroner dan tindakan revaskularisasi segera jika diperlukan. Pada kasus dimana ditemukan
kelainan yang luas pada angiografi, maka respon kompensasi berupa hiperkinetik tidak dapat
berlangsung akibat beratnya aterosklerosis arteri koroner. Penyebab tersering syok
kardiogenik adalah infark miokard yang luas atau infark yang lebih kecil pada pasien yang
sebelumnya telah mengalami dekompensasi ventrikel kiri
Elektrokardiografi Iskemik miokard akut didiagnosa berdasarkan munculnya elevasi
segmen ST, depresi segmen ST, gelombang Q. Inversi gelombang T, meskipun paling tidak
sensitif, dapat pula terlihat pada orang-orang dengan iskemik miokard. EKG pada dada kanan
dapat memperlihatkan adanya infark pada ventrikular kanan selain sebagai diagnostik juga
dapat berguna sebagai faktor prognostik. Hasil EKG yang normal tidak menyingkirkan
kemungkinan infark miokard akut
Monitoring Hemodinamik Secara Invasif Monitoring hemodinamik secara invasif
(kateterisasi Swan-Ganz) sangat bermanfaat untuk mengeksklusi penyebab dan jenis syok.
Pemeriksaan hemodinamik pada syok kardiogenik adalah PCWP lebih dari 18 mmHg dan
indeks kardiak < 2,2 L/mnt/m2. Meningkatnya tekanan pengisian jantung kanan tanpa adanya
peningkatan PCWP, menandakan infark pada ventrikel kanan jika disertai dengan kriteria dari
EKG. Meningkatnya saturasi darah pada ventrikel dan atrium kanan merupakan diagnostik
suatu ruptur septum ventrikel.

Penatalaksanaan
Syok kardiogenik merupakan suatu kegawatdaruratan yang memerlukan tindakan resusitasi
sesegera mungkin sebelum syok menjadi ireversibel dan merusak organ-organ vital. Kunci
keberhasilan penatalaksanaan syok kardiogenik adalah pendekatan yang terorganisir untuk
mendapatkan diagnosis secara tepat dan cepat serta terapi farmakologik sesegera mungkin
untuk mempertahankan tekanan darah dan curah jantung. Seluruh pasien syok kardiogenik
harus dirawat di ruang perawatan intensif.
Hipoperfusi sistemik berat yang terjadi dapat menyebabkan hipoksemia dan asidosis laktat
yang dapat lebih jauh lagi memperberat miokardium baik secara langsung maupun sebagai
akibat dari berkurangnya respon sistemik terhadap vaspresor seperti dopamin dan
norepinefrin. Oleh karena itu, jika memungkinkan koreksi terhadap kondisi metabolik seperti
yang disebutkan diatas sangatlah penting.
Penanganan Suportif (Resusitasi dan Ventilasi)
Manajemen awal berupa resusitasi cairan bila dijumpai hipovolemia dan hipotensi, kecuali
dijumpai adanya edema paru. Pemasangan jalur vena sentral dan arteri, katetrisasi Swan
Ganz, serta pulse oksimeter perlu dilakukan. Oksigenasi dan proteksi jalan nafas merupakan
hal yang penting di awal penanganan khususnya pada kondisi hipoksemia (SpO2 <90% atau
PaO2 < 60 mmHg), oksigen dapat diberikan mulai dari 40-60% selanjutnya dapat dititrasi
sampai SpO2 > 90%. Jika diperlukan, intubasi jalan nafas dan ventilasi mekanik dapat
dilakukan. Selain itu monitoring tekanan darah juga harus dilakukan. Hipovolemia dapat
terjadi pada kasus syok kardiogenik misalnya dengan riwayat penggunaan diuretik atau jika
ada muntah. Pemberian terapi pengganti cairan harus dipantau dengan pemeriksaan PCWP,
saturasi oksigen arteri (SaO2), tekanan arteri sistemik, serta curah jantung. Pemberian
challenge volume intravaskular yakni saline isotonik sebanyak sekurangnya 250 mL dalam
10 menit dapat dilakukan sebelum tindakan kateterisasi pada jantung kanan jika tidak ada
bukti bendungan paru pada pemeriksaan fisik maupun rontgen torak serta pasien tidak dalam
keadaan distres pernafasan. Pada beberapa kondisi dukungan cairan yang lebih besar kadang-
kadang diperlukan misalnya pada syok kardiogenik akibat infark ventrikular kanan, dimana
tekanan pengisian yang tinggi diperlukan untuk memaksimalkan aliran ke ventrikel kiri.
Infark pada ventrikel kanan dapat disangkakan jika dijumpai gambaran infark inferior,
lapangan paru bersih pada pemeriksaan auskultasi serta syok. Pemberian cairan dalam jumlah
banyak diindikasikan dalam kasus ini sepanjang tidak dijumpai peningkatan tekanan vena
jugularis/sentral. Pasien yang datang dengan overload cairan dan edema paru kardiogenik
tanpa adanya hipotensi dapat diterapi dengan diuretik, morfin, suplemen oksigenm serta
vasodilator.
Manajemen Hemodinamik
Kateterisasi arteri pulmonalis (Swan-Ganz) saat ini tidak begitu sering dilakukan karena
adanya kontroversi dimana disebutkan dalam suatu studi prospektif observasional bahwa
kateterisasi arteri pulmonalis dapat memperburuk hasil pengobatan. Saat ini penilaian klinis
lebih banyak dilakukan dengan echocardiography. Melalui modalitas ini, tekanan sistolik
arteri pulmonalis dan tekanan baji dapat dihitung secara akurat dengan echocardiography
dopler.
Dukungan farmakologi (inotropik dan vasopresor) harus digunakan dengan dosis sekecil
mungkin yang memberi efek terapeutik. Semakin tinggi dosis vasopresor, makan semakin
kecil angka keselamatannya. Hal ini disebabkan pada kenyataan bahwa keadaan penyakit
yang mendasarinya sudah sedemikian berat serta efek toksik obat itu sendiri. Pemberian
inotropik merupakan hal yang penting dalam penatalaksanaan syok kardiogenik. Namun
sayangnya dengan pemberian inotropik, konsumsi ATP miokardium juga meningkat,
sehingga perbaikan hemodinamik yang membaik dalam sesaat harus dibayar dengan
peningkatan kebutuhan oksigen jantung dimana pada saat yang sama jantung sendiri sudah
mengalami kegagalan ditambah lagi ketersediaan kebutuhan sudah terbatas. Namun demikian
inotropik dan vasopresor saat ini tetap dibutuhkan untuk mempertahankan perfusi koroner
dan sistemik sambil menunggu pemasangan IABP (Intra-aortic balloon pump) atau sampai
syok berhasil ditangani. Data yang membandingkan efektifitas penggunaan beberapa agen
vasopresor masih sedikit. Dopamine, norepinefrin dan epinefrin merupakan vaskonstriktor
yang dapat digunakan untuk mempertahankan tekanan darah yang adekuat dan membantu
memperbaiki tekanan perfusi pada hipotensi yang mengancam jiwa. Target tekanan arteri
rata-rata (MAP) yakni 60-65 mmHg.
Pada Pasien dengan status perfusi jaringan tidak adekuat dan volume intravaskular yang
adekuat, inisiasi permberian obat inotropik dan atau vasopresor dapat mulai diberikan. Yang
termasuk obat vasopresor adalah dopamin, norepinefrin, epinefrin dan levosimendan Dosis
reguler dopamine adalah 5-10 mcg/kg/min namun dapat ditingkatkan hingga 20 mcg/kg/min.
Dosis norepinefrin adalah 8-12 mcg/min dapat ditingkatkan dan dalam keadaan sepsis dapat
ditingkatkan hingga 3,3 mcg/kg/min. obat-obat inotropik antara lain : dobutamin dan
fosfodiesterasi inhibitor (PDIs). Dosis dobutamin adalah 2,5-10 mcg/kg/min. Dalam keadaan
hipotensi ringan (TDS > 70-100 mmHg tanpa klinis syok), Dobutamin dapat digunakan,
namun dalam kondisi hipotensi berat dengan klinis syok yang nyata, pilihan yang terbaik
adalah dopamin (TDS 70-100 mmHg dengan klinis syok) dan norepinefrin (TD < 70 mmHg).
Terapi Farmakologi lain
Pemberian terapi antitrombotik yakni aspirin dan heparin harus diberikan sebagaimana yang
telah direkomendasikan pada infark miokard. Clopidogrel dapat ditunda setelah tindakan
angiografi emergensi sebab, bisa saja setelah dilakukan angiografi, pasien selanjutnya
diputuskan akan segera menjalani bedah pintas jantung / CABG (coronary artery bypass
grafting). Clopidogrel dianjurkan bagi semua pasien yang menjalani PCI (pada pasien infark
miokard yang dalam keadaan syok ataupun tidak). Pemberian inotropik negatif dan
vasodilator (termasuk nitrogliserin) harus dihindari. Oksigenasi arteri dan pH darah harus
dipertahankan dalam batas normal untuk meminimalisasi iskemia. Pemberian insulin dapat
meningkatkan angka keselamatan pada pasien kritis yang mengalami hiperglikemia.
Pemberian ventilasi mekanik perlu dipertimbangkan baik melalui sungkup ataupun pipa
endotrakeal. Hal ini bermanfaat untuk menurunkan preload dan afterload serta mengurangi
kerja pernafasan.
Terapi Mekanikal : IABP (Intra-aortic balloon pump)
Intra-aortic ballon pump merupakan terapi mekanik yang sudah sejak lama digunakan pada
syok kardiogenik. IABP dapat memperbaiki perfusi koroner dan perifer melalui deflasi balon
pada saat sistole dan inflasi balon saat diastol sehingga afterload menjadi sangat berkurang
dan aliran ke koroner menjadi semakin baik. Namun tidak semua pasien dapat memberikan
respon hemodinamik terhadap pemasangan IABP, hal ini selanjutnya menjadi salah satu
faktor prognostik. IABP semestinya dilakuan secepatnya bahkan jika ada operator yang
terlatih dan prosedur memungkinkan untuk dilakukan secepatnya, maka IABP dapat
dilakukan sebelum pasien dikirim untuk tidakan revaskularisasi. Komplikasi dari tindakan ini
semakin jarang sejalan dengan dengan kemajuan zaman yakni sebesar 7,2% untuk komplikasi
secara keseluruhan dan 2,8%9
Reperfusi
Reperfusi koroner dapat dilakukan dengan fibrinolisis, PCI (percutaneous coronary
intervention), atai CABG (coronary artery grafting baypass). Semakin cepat reperfusi
dilakukan, maka hasil yang didapat semakin baik. Keuntungan tindakan revaskularisasi dini
pada syok kardiogenik jelas terlihat pada beberapa studi observasional terutama pada
SHOCK trial yakni sebesar peningkatan angka keselamatan pada 1 tahun pertama sebesar
13% pada pasien syok kardiogenik yang menjalani reperfusi dini. ACC/AHA
merekomendasikan dalam guideline agar revaskularisasi dilakukan pada pasien syok
kardiogenik dengan usia <75 tahun. Terapi trombolitik kurang efektif dibanding PCI namun
dapat diindikasikan jika transport pasien menuju sarana PCI tidak memungkinkan ataupun
membutuhkan waktu yang lama dan jika onset infark miokard dan syok kardiogenik terjadi
dalam rentang waktu kurang dari atau sama dengan 3 jam. Waktu yang terbaik untuk PCI dini
adalah 0-6 jam sejak onset. CABG diindikasikan pada pasien dengan oklusi pada arteri left
main atau sembatan terjadi pada 3 pembuluh darah. Stenting dan pemberian obat golongan
glikoprotein IIb/IIIa inhibitor memperlihatkan peningkatan akan keberhasilan pada beberapa
studi. Algoritma rencana revaskularisasi pada syok kardiogenik dari ACC/AHA guidelines ;
IRA : infark related artery (circulation) dibawah ini
Bantuan Sirkulasi Total
Bantuan sirkulasi total mencakup pemasangan LVADs (Left ventricular assist devices) dan
ECLS (Extra corporeal life support). Prinsip kerja kedua alat ini adalah mengalirkan darah
keluar dari ventrikel kiri dan memompakannya ke sistemik sehingga memungkinkan jantung
untuk istrahat, memulihkan miokard, memperbaiki kondisi neurohormonal, mencegah
hipotensi, iskemik dan disfungsi miokard. Namun pada prakteknya, aplikasi dari alat ini
sangat terbatas karena komplikasi yang disebabkan oleh alat itu sendiri serta adanya
kerusakan organ yang ireversibel.

Kesimpulan
 Syok kardiogenik merupakan suatu keadaan penurunan curah jantung dan
perfusi sistemik pada kondisi volume intravaskular yang adekuat, sehingga
menyebabkan hipoksia jaringan dimana TDS <90 mmHg selama sekurangnya
1 jam dimana :
(1) Tidak respon dengan pemberian tunggal terapi cairan
(2) Akibat sekunder dari disfungsi jantung
(3) Memiliki hubungan dengan tanda-tanda hipoperfusi atau indeks kardiak
<2,2 L/mnt/m2 dan tekanan baji arteri pulmonalis (PAWP) >15mmHg
 Penyebab syok kardiogenik tersering adalah kegagalan ventrikel kiri akibat
infark miokard akut
 Mortalitas syok kardiogenik di era modern saat ini ≈ 50%
 Revaskularisasi dini pada syok kardiogenik memberikan harapan hidup lebih baik dibandingkan
stabilisasi kondisi medis terlebih dahulu
 Diagnosa syok kardiogenik dapat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis dan penunjang
(radiografi toraks, echocardiography dan data hemodinamik)
 Manajemen syok kardiogenik meliputi penganan suportif (resusitasi dan ventilasi), manajemen
hemodinamik termasuk pemberian agen inotropik atau dan vasopresor, terapi farmakologi lain
(aspirin, heparin, clopidogrel), terapi mekanik (IABP), terapi reperfusi (fibrinolitik, PCI, CABG)
serta alat bantu sirkulasi (LVADs dan ECLS).
 Seluruh pasien syok kardiogenik harus dirawat di ruang intensif
Daftar Pustaka

Harahap, Sari.2016.Syok Kardiogenik. Makalah. Dikutip dari


www.repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/041%20.pdf?sequence=1 tanggal 20
Agustus 2018
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan LXIV.2016. Tata Laksana Berbagai Keadaan Gawat
Darurat Pada Anak.Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Anak FIKUI-RSCM

You might also like