Professional Documents
Culture Documents
Oleh:
Pembimbing:
dr. Imam Suprianto, Sp.PD, K-GEH
Laporan Kasus
Judul
Systemic Lupus Eritematosus
Oleh:
Telah diterima sebagai salah satu syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik Junior di
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/RSUP dr.
Mohammad Hoesin Palembang, Periode 9 Juli - 17 September 2018.
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kepada Allah SWT, yang telah melimpahkan berkat
dan karunia-Nya sehingga penyusun dapat menyeSLEaikan laporan kasus yang
berjudul “Systemic Lupus Eritematosus”. Laporan kasus ini merupakan salah satu
syarat mengikuti ujian pada Kepaniteraan Klinik Senior Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya RSUP dr. Mohammad Hoesin
Palembang.
Penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada dr. Imam Suprianto,
Sp.PD, K-GEH selaku pembimbing dalam penulisan laporan kasus ini, serta kepada
semua pihak yang telah membantu hingga tulisan ini dapat diseSLEaikan.
Penyusun menyadari masih banyak kekurangan dalam laporan kasus ini. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat diharapkan
demi perbaikan di masa yang akan datang. Mudah-mudahan tulisan ini dapat
memberi ilmu dan manfaat bagi yang membacanya.
Penyusun
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.................................................................................................. i
HALAMAN PENGESAHAN.................................................................................... ii
KATA PENGANTAR................................................................................................. iii
DAFTAR ISI.............................................................................................................. iv
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................... 1
BAB II STATUS PASIEN........................................................................................ 2
BAB III TINJAUAN PUSTAKA............................................................................... 9
3.1 Definisi SLE........................................................................................ 9
3.2 Epidemiologi....................................................................................... 9
3.3 Etiologi................................................................................................11
3.4 Patogenesis..........................................................................................11
3.5 Manifestasi Klinis...............................................................................12
3.6 Penegakkan Diagnosis........................................................................16
3.7 Pemeriksaan Penunjang......................................................................18
3.8 Klasifikasi SLE...................................................................................20
3.9 Tatalaksana Umum SLE......................................................................21
3.10 SLE dalam Keadaan Khusus...............................................................31
3.11 Prognosis.............................................................................................37
3.12 Pemantauan.........................................................................................37
BAB IV ANALISIS MASALAH...............................................................................39
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................41
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
STATUS PASIEN
I. IDENTIFIKASI PASIEN
a. Nama : Tn. AS
b. Umur : 30 tahun
c. Tanggal Lahir : 04 Maret 1988
d. Jenis Kelamin : Laki-laki
e. Agama : Islam
f. Pekerjaan : Petani
g. Alamat : OKU Timur
h. No. Med Rec/ Reg : 0001068762
i. Tanggal masuk RS : 09 Juli 2018
II. ANAMNESIS
(dilakukan autoanamnesis dengan pasien dan alloanamnesis dengan bapak
pasien pada 19 Juli 2018, pukul 10.00 WIB)
KeluhanUtama
Wajah dan lengan semakin kemerahan dan bertambah gatal sejak 1 minggu
SMRS
Keluhan Tambahan
-
2
±1 minggu SMRS pasien mengeluh kulitnya semakin kemerahan dan
bertambah gatal dari sebelumnya jika terkena sinar matahari, sariawan yang
tidak sembuh-sembuh, gusi berdarah (+), gusi bengkak (-), mimisan (-), badan
lemas (+), nyeri sendi (+), mual muntah (-), rambut rontok (+) nafsu makan
menurun, BB dirasakan menurun, demam (-), kejang (-) BAB dan BAK tidak
ada kelainan. Kemudian pasien dibawa ke Graha Spesialis RSMH dan dirawat
inap.
Riwayat Pengobatan
Riwayat minum obat metilprednisolone 3 x 16 mg
3
III. PEMERIKSAAN FISIK
(Dilakukan pada tanggal 19 Juli 2018)
a. Keadaan Umum
1. Keadaan umum : Tampak sakit sedang
2. Kesadaran : Kompos mentis
3. Tekanan darah : 120/80 mmHg
4. Nadi : 98 x/menit, irama irreguler, isi kurang, dan tegangan
lemah.
5. Pernapasan : 22 x/menit, regular, abdominotorakal
6. Suhu tubuh : 36,8oC
7. Berat badan : 56 kg
8. Tinggi badan : 168 cm
9. IMT : 19,84 kg/m2
10. Status gizi : Normal
b. Keadaan Spesifik
1. Kepala
Normosefali, simetris, warna rambut hitam, mudah dicabut, alopesia (+)
distribusi tidak merata. Malar rash (+).
2. Mata
Edema palpebra (-), konjungtiva palpebra pucat (+/+), sklera ikterik (-),
pupil bulat isokor, visus baik
3. Hidung
Tampak luar tidak ada kelainan, septum deviasi (-), kavum nasi lapang,
sekret (-), epistaksis (-)
4. Mulut
Bibir kering, sianosis (-), sariawan (+), gusi berdarah (+), lidah
berselaput (-), atrofi papil (-), Tonsil T1-T1, faring hiperemis (-)
5. Telinga
Tampak luar tidak ada kelainan, keluar cairan telinga (-), sekret (-),
nyeri tekan mastoid (-)
6. Leher
JVP (5-2) cmH2O, pembesaran KGB (-), pembesaran kelenjar tiroid (-).
7. Thoraks
Inspeksi : Simetris, venektasi (-), retraksi (-), scar (-)
4
Paru
Inspeksi : Statis dan dinamis, simetris kanan = kiri
Palpasi : Stem fremitus kanan=kiri, nyeri tekan (-)
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru, nyeri ketok (-)
Batas paru hepar ICS VI, peranjakan 1 jari
Auskultasi : vesikuler (+) Normal, ronkhi (-), wheezing (-)
Jantung
Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus cordis tidak teraba, thrill tidak teraba
Perkusi : Batas jantung atas ICS II sinistra
Batas jantung kiri linea aksilaris anterior ICS V
sinistra
Batas jantung kanan linea parasternalis dekstra ICS
VI
Auskultasi : HR = 120x/menit, reguler, murmur (-), gallop (-)
8. Abdomen
Inspeksi : Datar, venektasi (-), caput medusae (-), striae (-),
umbilicus tidak menonjol
Palpasi : lemas, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba,
nyeri tekan suprapubik (-), ballotement (-)
Perkusi : Timpani, shifting dullness (-), nyeri ketok CVA (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
9. Genitalia : Tidak diperiksa
10. Ekstremitas : Akral hangat (+), palmar pucat (+), vaskulitis (+),
edema(-), sianosis (-), clubbing finger (-), nyeri sendi
(+), kulit ekstremitas atas tampak kemerahan.
5
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Laboratorium (16 Juli 2018)
Pemeriksaan Hasil Unit Nilai rujukan
HEMATOLOGI
Hemoglobin 8.9 g/dL 13-18
Leukosit 13.5* 103/µL 4.8-10.8
Eritrosit 3.2 106/µL 4.7-6.1
Hematokrit 28 % 42-52
Trombosit 156 103/µL 150-450
Hitung jenis
Basofil 0 0-1 Normal
Eosinofil 0* 1-6 Menurun
Neutrofil 75* 50-70 Meningkat
Limfosit 23 20-40 Normal
Monosit 2 2-8 Normal
KIMIA KLINIK
Albumin 2.4 g/dL 3.5-5.0
SGOT 129* U/L 0-38
SGPT 137* U/L 0-41
IMUNOSEROLOGI HEPATITIS
HbsAg Non S/CO Non reaktif <1.0
reaktif Reaktif >=1.0
Anti HCV Non S/CO Non reaktif <1.0
reaktif Reaktif >=1.0
IMUNOSEROLOGI LUPUS
ANA test > IU/ml Negatif : <1/100
1/3200 Moderate : 1/100
Positif Kuat : >1/100
Anti ds-DNA 220.04 IU/ml Negatif : 0-200
Equivocal : 201-300
Positif sedang : 301-800
Positif Kuat : >=801
V. Diagnosis
Sistemic Lupus Erythematosus manifestasi Mukokutaneus
6
Sindrom Steven Johnson
Artritis Rematoid
VIII. Tatalaksana
Non Farmakologis
Istrirahat
EKG
Edukasi
Farmakologis
Metil prednisolon 3x16mg
Klorokuin 1x250mg
IX. Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad malam
7
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) adalah penyakit reumatik autoimun
ditandai dengan adanya inflamasi yang tersebar luas, mempengaruhi setiap organ
atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan
kompleks imun sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan.1
Sistemik Lupus Eritematosus adalah penyakit autoimun sistemik yang
ditandai dengan adanya autoantibodi terhadap autoantigen, pembentukan kompleks
imun, dan disregulasi sistem imun, menyebabkan kerusakan pada beberapa organ
tubuh4. Perjalanan penyakitnya bersifat episodik (berulang) yang diselingi periode
sembuh. Pada setiap penderita, peradangan akan mengenai jaringan dan organ yang
berbeda. SLE adalah penyakit peradangan kronis yang memiliki manifestasi protean
yang dapat mengalami kekambuhan dan remisi. SLE dapat mempengaruhi sistem
organ apapun, terutama kulit, sendi, ginjal, sel darah, dan sistem saraf.13
3.2 Epidemiologi
Dalam 30 tahun terakhir, SLE menjadi salah satu penyakit rematik utama
didunia. Prevalensi SLE diberbagai negara sangat bervariasi dan lebih sering
ditemukan pada ras tertentu seperti Negro, Cina dan Filipina. Faktor ekonomi dan
geografi tidak mempengaruhi distribusi penyakit. Penyakit ini dapat ditemukan pada
semua usia, tetapi paling banyak pada usia 15-40 tahun (masa reproduksi). Lebih dari
90% kasus SLE terjadi pada wanita, sering dimulai pada usia subur. Frekuensi pada
wanita dibanding dengan pria berkisar antara 5,5-9:1.1,13
8
Gambar 1. Proporsi Pasien Rawat Inap dengan Diagnosis Lupus Menurut Jenis Kelamin di Rumah
Sakit di Indonesia Tahun 2014-201615
Insiden SLE mencapai 1:1000 populasi di Inggris pada tahun 2012 dan paling
sering pada keturunan Afrika-Karibia dan Asia Selatan. Kejadian SLE mencapai
8,3:100 000 per tahun untuk wanita dan 1,4:100 000 per tahun untuk pria di Inggris,
dan tingkat insiden tertinggi terdapat pada keturunan Afrika-Karibia 31,4:100 000
per tahun, dibandingkan dengan keturunan Eropa yaitu 6,7:100 000 per tahun.14
Beberapa data yang diperoleh di Indonesia dari pasien yang dirawat dirumah
sakit. Dari 3 peneliti di RSCM Jakarta yang melakukan penelitian pada periode
1969-1990 didapatkan rerata insidensi ialah 37,7 per 10.000 perawatan. Departemen
IKA RSCM, selama periode 1997–2007 terdapat 36 kasus dan 29 di antaranya adalah
anak perempuan dengan rasio anak perempuan dibandingkan laki-laki adalah 3,6:1.
Insidensi di Yogyakarta antara tahun 1983-1986 ialah 10,1 per 10.000 perawatan,
sedangkan di Medan didapatkan insidensi sebesar 1,3 per 10.000 perawatan.1
Pada tahun 2016, Perhimpunan SLE Indonesia (PESLI) mendapatkan rata-
rata insiden kasus baru SLE dari data 8 rumah sakit adalah sebesar 10,5%, dengan
rincian sebagai berikut:
Tabel 1. Insiden Kasus Baru di Delapan Rumah Sakit di Indonesia Tahun 201616
9
3.3 Etiologi
SLE adalah gangguan autoimun yang ditandai dengan peradangan
multisistem dengan pembentukan autoantibodi. Meskipun penyebab spesifik SLE
tidak diketahui, banyak faktor yang terkait dengan perkembangan penyakit termasuk
faktor genetik, epigenetik, etnis, imunoregulator, hormonal, dan faktor lingkungan.
Hasil akhirnya adalah gangguan imunitas yang ditandai oleh peningkatan aktivitas
limfosit B dan T. Keluarga dari anak-anak yang mengalami SLE banyak memiliki
kelainan serologis, hal ini menunjukkan bahwa faktor genetik atau herediter berperan
dalam patogenesis penyakit ini.13
3.4 Patogenesis
Patogenesis dari SLE masih belum diketahui secara jelas, dimana terdapat
banyak bukti bahwa patogenesis SLE bersifat multifaktoral seperti faktor genetik,
faktor lingkungan, dan faktor hormonal terhadap respons imun. Faktor genetik
memegang peranan pada banyak penderita lupus dengan resiko yang meningkat pada
saudara kandung dan kembar monozigot. Diduga berhubungan dengan gen respons
imun spesifik pada kompleks histokompabilitas mayor kelas II, yaitu HLA-DR2 dan
HLA-DR3 serta dengan komponen komplemen yang berperan dalam fase awal
reaksi ikat komplemen (yaitu C1q, C1r, C1s, C4, dan C2) telah terbukti. Gen-gen lain
yang mulai ikut berperan adalah gen yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin
dan sitokin.6
Studi lain mengenai faktor genetik ini yaitu studi yang berhubungan dengan
HLA (Human Leucocyte Antigens) yang mendukung konsep bahwa gen MHC
(Major Histocompatibility Complex) mengatur produksi autoantibodi spesifik.
Penderita lupus (kira-kira 6%) mewarisi defisiensi komponen komplemen, seperti
C2, C4, atau C1q. Kekurangan komplemen dapat merusak pelepasan sirkulasi
kompleks imun oleh sistem fagositosit mononuklear sehingga membantu terjadinya
deposisi jaringan. Defisiensi C1q menyebabkan sel fagosit gagal membersihkan sel
apoptosis sehingga komponen nuklear akan menimbulkan respon imun.6
Faktor lingkungan dapat menjadi pemicu pada penderita lupus, seperti radiasi
ultra violet, tembakau, obat-obatan, virus. Sinar UV mengarah pada self-immunity
dan hilangnya toleransi karena menyebabkan apoptosis keratinosit. Selain itu sinar
10
UV menyebabkan pelepasan mediator imun pada penderita lupus, dan memegang
peranan dalam fase induksi yanng secara langsung mengubah sel DNA, serta
mempengaruhi sel imunoregulator yang bila normal membantu menekan terjadinya
kelainan pada inflamasi kulit. Faktor lingkungan lainnya yaitu kebiasaan merokok
yang menunjukkan bahwa perokok memiliki resiko tinggi terkena lupus,
berhubungan dengan zat yang terkandung dalam tembakau yaitu amino lipogenik
aromatik. Pengaruh obat juga memberikan gambaran bervariasi pada penderita lupus.
Pengaruh obat salah satunya yaitu dapat meningkatkan apoptosis keratinosit. Faktor
lingkungan lainnya yaitu peranan agen infeksius terutama virus dapat ditemukan
pada penderita lupus. Virus rubella, sitomegalovirus, dapat mempengaruhi ekspresi
sel permukaan dan apoptosis.6
Faktor ketiga yang mempengaruhi patogenesis lupus yaitu faktor hormonal.
Mayoritas penyakit ini menyerang wanita muda dan beberapa penelitian
menunjukkan terdapat hubungan timbal balik antara kadar hormon estrogen dengan
sistem imun. Estrogen mengaktivasi sel B poliklonal sehingga mengakibatkan
produksi autoantibodi berlebihan pada pasien SLE.7 Autoantibodi pada lupus
kemudian dibentuk untuk menjadi antigen nuklear (ANA dan anti-DNA). Selain itu,
terdapat antibodi terhadap struktur sel lainnya seperti eritrosit, trombosit dan
fosfolipid. Autoantibodi terlibat dalam pembentukan kompleks imun, yang diikuti
oleh aktivasi komplemen yang mempengaruhi respon inflamasi pada banyak
jaringan, termasuk kulit dan ginjal.9
11
karena banyak kondisi lain yang menyebabkan kelelahan seperti pada anemia,
meningkatya beban kerja, konflik kejiwaan, serta pemakaian obat seperti perdnison.
Apabila kelelahan disebabkan oleh aktivitas penyakit SLE, diperlukan pemeriksaan
penunjang lain yaitu kadar C3 serum yang rendah. Kelelahan akibat penyakit ini
memberikan respons terhadap pemberian steroid atau latihan.
Penurunan berat badan juga dijumpai pada penderita SLE dan terjadi dalam
beberapa bulan sebelum diagnosis ditegakan. Penurunan berat badan ini disebabkan
oleh menurunnya nafsu makan atau akibat gejala gastrointestinal.
Demam sebagai salah satu gejala konstitusional sulit dibedakan dari sebab
lain seperti infeksi, karena suhu tubuh dapat lebih dari 400C tanpa adanya bukti
infeksi lain seperti leukositosis, demam akibat SLE biasanya tidak disertai
menggigil.
2. Manifestasi Muskuloskeletal1
Keluhan muskuloskeletal merupakan manifesasi klinik yang paling sering
terjadi pada penderita SLE, lebih dari 90%. Keluhan dapat terjadi berupa nyeri otot
(myalgia), nyeri sendi (atralgia) atau merupakan suatu artitis dimana tampak jelas
bukti inflamasi sendi. Keluhan ini sering kali dianggap sebagai manifestasi Artritis
Rematoid karena keterlibatan sendi yang banyak dan simetris. Pada SLE tidak
ditemukan adanya deformitas , kaku sendi yang berlangsung beberapa menit dan
sebagainya. Osteoporosis juga ditemukan dan berhubungan dengan aktifitas penyakit
dan terapi steroid.
3. Manifestasi Kulit9
Kelainan kulit yang sering didapatkan pada SLE adalah fotosensitivitas,
butterfly rash, ruam malar, SLEi diskoid kronik, alopesia, panikulitis, SLEi
psoriaform dan lain sebagainya. Selain itu, pada kulit juga dapat ditemukan tanda-
tanda vaskulitis kulit, misalnya fenomena Raynaud, livedo retikularis, ulkus jari,
gangren.
12
Gambar 2. Malar rash klasik (butterfly rash) tersebar pada pipi dan nasal bridge13
Gambar 3. Fotosensitivitas ruam SLE biasanya pada wajah atau ekstremitas, merupakan daerah yang sering
terkena sinar matahari. 13
4. Manifestasi Paru9
Berbagai manifestasi klinik pada paru-paru dapat terjadi baik berupa radang
interstitial parenkim paru (pneumonitis), emboli paru, hipertensi pulmonal, atau
perdarahan paru. Pneumonitis lupus dapat terjadi secara akut dan berlanjut secara
kronik, pada keadaan akut biasanya penderita akan merasa sesak, batuk kering dan
mulai dijumpai ronkhi di basal. Keadaan ini sebagai akibat deposisi kompleks imun
pada alveolus atau pembuluh darah paru, baik disertai vaskulitis atau tidak.
Pneumonitis lupus ini memberikan respon baik terhadap pemberian streroid.
5. Manifestasi Kardiologis1,9
Kelainan kardiovaskular pada SLE antara lain penyakit perikardial, dapat
13
berupa perikarditis ringan, efusi perikardial sampai penebalan perikardial.
Miokarditis dapat ditemukan pada 15% kasus, ditandai oleh takikardia, aritmia,
interval PR yang memanjang, kardiomegali sampai gagal jantung.
Penyakit jantung koroner dapat pula dijumpai pada penderita SLE dan
bermanifestasi sebagai angina pectoris, infark miokard atau gagal jantung kongestif.
Keadaan ini semakin banyak dijumpai pada penderita SLE usia muda dengan jangka
penyakit yang panjang serta penggunaan steroid jangka panjang.
6. Manifestasi Renal1
Gejala dan tanda keterlibatan ginjal pada umumnya tidak nampak sebelum
terjadi kegagalan ginjal atau sindroma nefrotik. Untuk menilai keterlibatan ginjal
pada penderita SLE perlu dilakukan biopsi ginjal.
7. Manifestasi Gastrointestinal1,9
Manifestasi klinis gastrointestinal tidak spesifik pada penderita SLE, secara
klinis tampak adanya keluhan penyakit pada esofagus, mesenteric valkulitis,
inflamantory bowel disease (IBS), pankreatitis dan penyakit hati. Dapat berupa
hepatomegali, nyeri perut yang tidak spesifik, splenomegali, peritonitis aseptik.
Selain itu, ditemukan juga peningkatan SGOT dan SGPT harus dievaluasi terhadap
kemungkinan hepatitis autoimun.
8. Manifestasi Hemopoetik9
Pada SLE, terjadi peningkatan Laju Endap Darah (LED) yang disertai dengan
anemia normositik normokrom yang terjadi akibat anemia akibat penyakit kronik,
penyakit ginjal kronik, gastritis erosif dengan perdarahan dan anemia hemolitik
autoimun.
Selain itu, ditemukan juga lekopenia dan limfopenia pada 50-80% kasus.
Adanya leukositosis harus dicurigai kemungkinan infeksi. Trombositopenia pada
SLE ditemukan pada 20% kasus. Pasien yang mula-mula menunjukkan gambaran
trombositopenia idiopatik (ITP), seringkali kemudian berkembang menjadi SLE
setelah ditemukan gambaran SLE yang lain.
9. Manifestasi Susunan Saraf9
Keterlibatan Neuropsikiatri SLE sangat bervariasi, dapat berupa migrain,
neuropati perifer, sampai kejang dan psikosis. Kelainan tromboembolik dengan
14
antibodi anti-fosfolipid dapat merupakan penyebab terbanyak kelainan
serebrovaskular pada SLE. Neuropati perifer, terutama tipe sensorik ditemukan pada
10% kasus.
Keterlibatan saraf otak, jarang ditemukan. Kelainan psikiatrik sering
ditemukan, mulai dari anxietas, depresi sampai psikosis. Kelainan psikiatrik juga
dapat dipicu oleh terapi steroid. Analisis cairan serebrospinal seringkali tidak
memberikan gambaran yang spesifik, kecuali untuk menyingkirkan kemungkinan
infeksi. Elektroensefalografi (EEG) juga tidak memberikan gambaran yang spesifik.
CT scan otak kadang-kadang diperlukan untuk membedakan adanya infark atau
perdarahan.
15
6) Gastrointestinal: mual, muntah, nyeri abdomen
7) Paru-paru: pleurisy, hipertensi pulmonal, SLEi parenkhim paru.
8) Jantung: perikarditis, endokarditis, miokarditis
9) Retikulo-endotel: limfadenopati, splenomegali, hepatomegali
10) Hematologi: anemia, leukopenia, dan trombositopenia
11) Neuropsikiatri: psikosis, kejang, mielitis transversus, gangguan
kognitif neuropati kranial dan perifer.
Diagnosis SLE dapat ditegakan berdasarkan gambaran klinik dan
laboraturium. American College of Rheumatology (ACR), pada tahun 1982,
mengajukan 11 kriteria untuk klasifikasi SLE, dimana bila didapatkan 4 kriteria,
maka diagnosis SLE dapat ditegakan;
4. Ulkus mulut Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan dilihat oleh
dokter pemeriksa.
5. Artitritis Artritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih sendi perifer, ditandai
oleh nyeri tekan, bengkak atau efusia.
6. Serositis
a. Pleuritis Riwayat nyeri pleuritik atau pleuritc friction rub yang didengar oleh
dokter pemeriksa atau terdapat bukti efusi pleura.
b. Pericarditis Terbukti dengan rekaman EKG atau pericardial friction rub atau
terdapat bukti efusi perikardium
7. Gangguan renal Proteinuria menetap >0.5 gram per hari atau >3+ bila tidak dilakukan
pemeriksaan kuantitatif. Atau Silinder seluler : - dapat berupa silinder
eritrosit, hemoglobin, granular, tubular atau campuran
8. Gangguan Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan
Neurologi misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidak seimbangan elektrolit
Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan
Metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidak seimbangan
elektrolit.)
9. Gangguan a. Anemia hemolitik dengan retikulosis. Atau
hematologi b. Lekopenia <4.000/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau lebih.
Atau
16
c. Limfopenia <1.500/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau lebih.
Atau
d. Trombositopenia <100.000/mm3 tanpa disebabkan oleh obat-
obatan
10. Gangguan a. Anti -DNA: antibodi terhadap native DNA dengan titer yang
imunologik abnormal. Atau
b. Anti-Sm: terdapatnya antibodi terhadap antigen nuklear Sm. Atau
c. Temuan positif terhadap antibodi anti fosfolipid yang didasarkan
atas :
1. kadar serum antibodi anti kardiolipin abnormal baik IgG atau
IgM,
2. Tes lupus anti koagulan positif menggunakan metoda
standard,
3. hasil tes serologi positif palsu terhadap sifi lis sekurang-
kurangnya selama 6 bulan dan dikonfirmasi dengan test
imobilisasi Treponema pallidum atau tes fluoresensi absorpsi
an• bodi treponema.
11. Antibodi Titer abnormal dari antibodi anti-nuklear berdasarkan pemeriksaan
Anti Nuklear imunofluoresensi atau pemeriksaan setingkat pada setiap kurun waktu
(ANA) positif perjanan penyakit tanpa keterlibatan obat yang diketahui hubungan
dengan sindroma lupu yang diinduksi obat.
Bila didapatkan 4 kriteria dari 11 kriteria, maka bisa ditegakkan SLE yang
memiiki sensitifitas 85% dan spesi•isitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan
salah satunya ANA positif, maka sangat mungkin SLE dan diagnosis bergantung
pada pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan SLE.
Apabila hanya tes ANA positif dan manifestasi klinis lain tidak ada maka belum
tentu SLE, dan observasi jangka panjang diperlukan.13
3.7 Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Darah Rutin dan Urin Rutin
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada SLE adalah pemeriksaan darah
rutin dan pemeriksaan urin. Hasil pemeriksaan darah pada penderita SLE
menunjukkan adanya anemia hemolitik, trombositopenia, limfopenia, atau
leukopenia; erytrocytesedimentation rate (ESR) meningkat selama penyakit aktif,
Coombs test mungkin positif, level IgG mungkin tinggi, ratio albumin-globulin
terbalik, dan serum globulin meningkat. Selain itu, hasil pemeriksaan urin pada
penderita SLE menunjukkan adanya proteinuria, hematuria, peningkatan kreatinin,
dan ditemukannya Cast, heme granular atau sel darah merah pada urin.
2. Pemeriksaan imunologik
Tes imunologik awal yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis SLE
adalah tes ANA generik (ANA IF dengan Hep 2 Cell). Tes ANA dikerjakan/diperiksa
17
hanya pada pasien dengan tanda dan gejala mengarah pada SLE. Pada penderita SLE
ditemukan tes ANA yang positif sebesar 95-100%, akan tetapi hasil tes ANA dapat
positif pada beberapa penyakit lain yang mempunyai gambaran klinis menyerupa
SLE misalnya infeksi kronis (tuberkulosis), penyakit autoimun (misalnya Mixed
connective tissue disease (MCTD), artritis rematoid, tiroiditis autoimun) , keganasan
atau pada orang normal. Jika hasil tes ANA negatif, pengulangan segera tes ANA
tidak diperlukan, tetapi perjalanan penyakit reumatik sistemik termasuk SLE
seringkali dinamis dan berubah, mungkin diperlukan pengulangan tes ANA pada
waktu yang akan datang terutama jika didapatkan gambaran klinis yang
mencurigakan. Bila tes ANA dengan menggunakan sel Hep-2 sebagai substrat;
negatif, dengan gambaran klinis tidak sesuai SLE umumnya diagnosis SLE dapat
disingkirkan.
Beberapa tes lain yang perlu dikerjakan setelah tes ANA positif adalah tes
antibodi terhadap antigen nuklear spesifik, termasuk anti-dsDNA, Sm, nRNP,
Ro(SSA), La (SSB), Scl-70 dan anti-Jo. Pemeriksaan ini dikenal sebagai profil
ANA/ENA. Antibodi anti-dsDNA merupakan tes spesifik untuk SLE, jarang
didapatkan pada penyakit lain dan spesifitasnya hampir 100%. Titer anti-dsDNA
yang tinggi hampir pasti menunjukkan diagnosis SLE dibandingkan dengan titer
yang rendah. Jika titernya sangat rendah mungkin dapat terjadi pada pasien yang
bukan SLE.
Kesimpulannya, pada kondisi klinik adanya anti-dsDNA positif menunjang
diagnosis SLE sementara bila anti ds-DNA negatif tidak menyingkirkan adanya SLE.
Meskipun anti-Sm didapatkan pada 15% - 30% pasien SLE, tes ini jarang dijumpai
pada penyakit lain atau orang normal. Tes anti-Sm relatif spesifik untuk SLE, dan
dapat digunakan untuk diagnosis SLE. Titer anti-Sm yang tinggi lebih spesifik untuk
SLE. Seperti anti-dsDNA, anti-Sm yang negatif tidak menyingkirkan diagnosis.12
3. Pemeriksaan penunjang minimal untuk diagnosis dan monitoring12
1) Hemoglobin, lekosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED)*
2) Urin rutin dan mikroskopik, protein kwantitatif 24 jam, dan bila diperlukan
kreatinin urin.
3) Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsi hati, profil lipid)*
18
4) PT, aPTT pada sindroma antifosfolipid
5) Serologi ANA§, anti-dsDNA†, komplemen †(C3,C4))
6) Foto polos thorax
§
pemeriksaan hanya untuk awal diagnosis, tidak diperlukan untuk monitoring.
* Setiap 3-6 bulan bila stabil
†
Setiap 3-6 bulan pada pasien dengan penyakit ginjal aktif.
19
d. Ginjal: nefritis proliferatif dan atau membranous.
e. Kulit: vaskulitis berat, ruam difus disertai ulkus atau melepuh (blister).
f. Neurologi: kejang, acute confusional state, koma, stroke, mielopati transversa,
mononeuritis, polineuritis, neuritis optik, psikosis, sindroma demielinasi
g. Hematologi: anemia hemolitik, neutropenia (leukosit<1.000/mm3),
trombositopenia < 20.000/mm3 , purpura trombotik trombositopenia,
trombosis vena atau arteri.12
20
Sebelum penderita SLE diberi pengobatan, harus diputuskan dulu apakah
penderita tergolong yang memerlukan terapi konservatif, atau imunosupresif yang
agresif. Pada umumnya, penderita SLE yang tidak mengancam nyawa dan tidak
berhubungan dengan kerusakan organ, dapat diterapi secara konservatif. Bila
penyakit ini mengancam nyawa dan mengenai organ-organ mayor, maka
dipertimbangkan pemberian terapi agresif yang meliputi kortikosteroid dosis tinggi
dan imunosupresan lainnya.
2. Program Rehabilitasi
Terdapat berbagai modalitas yang dapat diberikan pada pasien dengan SLE
tergantung maksud dan tujuan dari program ini. Salah satu hal penting adalah
pemahaman akan turunnya masa otot hingga 30% apabila pasien dengan SLE
dibiarkan dalam kondisi immobilitas selama lebih dari 2 minggu. Disamping itu
penurunan kekuatan otot akan terjadi sekitar 1-5% per hari dalam kondisi imobilitas.
Berbagai latihan diperlukan untuk mempertahankan kestabilan sendi. Modalitas
•fisik seperti pemberian panas atau dingin diperlukan untuk mengurangi rasa nyeri,
menghilangkan kekakuan atau spasme otot. Demikian pula modalitas lainnya seperti
transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS) memberikan manfaat yang
cukup besar pada pasien dengan nyeri atau kekakuan otot.12
3. Terapi Konservatif
1
a) Athritis, athralgia dan myalgia
Arthritis, Arthralgia, dan Mialgia merupakan keluhan yang sering dijumpai
pada penderita SLE. Pada keluhan yang ringan dapat diberikan analgetik sederhana
atau obat antiinflamasi nonsteroid. Yang harus diperhatikan pada penggunaan obat-
obat ini adalah efek sampingnya agar tidak memperberat keadaan umum penderita.
Efek samping terhadap sistem gastrointestinal, hepar dan ginjal haru diperhatikan,
misalnya dengan memeriksa kreatinin serum secara berkala.
Apabila analgetik dan obat antiinflamasi nonsteroid tidak memberikan
respons yang baik, dapat dipertimbangkan pemberian obat antimalaria, misalnya
hidroksiklorokuin 400 mg/hari. Bila dalam waktu 6 bulan, obat ini tidak
memberikan efek yang baik, harus segera distop. Pemberian klorokuin lebih dari 3
bulan atau hidroksiklorokuin lebih dari 6 bulan memerlukan evaluasi oftalmologik,
21
karena obat ini mempunyai efek toksik terhadap retina.
Pada beberapa penderita yang tidak menunjukkan respons adekuat dengan
analgetik atau obat antiinflamasi non steroid atau obat antimalaria, dapat
dipertimbangkan pemberian kortikosteroid dosis rendah, dengan dosis tidak lebih
dari 15 mg, setiap pagi. Metotreksat dosis rendah (7,5-15 mg/minggu), juga dapat
dipertimbangkan untuk mengatasi arthritis pada penderita SLE.
1
b) Lupus Kutaneus
Sekitar 70% penderita SLE akan mengalami fotosensitivitas. Eksaserbasi
akut SLE dapat timbul bila penderita terpapar oleh sinar ultraviolet, sinar
inframerah, panas dan kadang-kadang juga sinar fluoresensi. Penderita
fotosensitivitas harus berlindung terhadap paparan sinar-sinar tersebut dengan
menggunakan baju pelindung, kaca jendela yang digelapkan, menghindari paparan
langsung dan menggunakan sunscreen. Sebagian besar sunscreen topikal berupa
krem, minyak, lotion atau gel yang mengandung PABA dan esternya, benzofenon,
salisilat dan sinamat yang dapat menyerap sinar ultraviolet A dan B. Sunscreen ini
harus selalu dipakai ulang setelah mandi atau berkeringat.
Glukokortikoid lokal, seperti krem, salep atau injeksi dapat
dipertimbangkan pada dermatitis lupus. Pemilihan preparat topikal harus hati-hati,
karena glukokortikoid topikal, terutama yang bersifat diflorinasi dapat
menyebabkan atrofi kulit, depigmentasi teleangiektasis dan fragilitas. Untuk kulit
muka dianjurkan penggunaaan preparat steroid lokal berkekuatan rendah dan tidak
diflorinasi, misalnya hidrokortison. Untuk kulit badan dan lengan dapat digunakan
steroid topikal berkekuatan sedang, misalnya betametason valerat dan triamsinolon
asetonid. Untuk SLEi hipertrofik, misalnya di daerah palmar dan plantar pedis,
dapat digunakan glukokortikoid topikal berkekuatan tinggi, misalnya betametason
dipropionat. Penggunaan krem glukokortikoid berkekuatan tinggi harus dibatasi
selama 2 minggu, untuk kemudian diganti dengan yang berkekuatan lebih rendah.
Obat-obat antimalaria sangat baik untuk mengatasi lupus kutaneus, baik
lupus kutaneus subakut, maupun lupus diskoid. Antimalaria mempunyai efek
sunsblocking, antiinflamasi dan imunosupresan. Pada penderita yang resisten
terhadap antimalaria, dapat dipertimbangkan pemberikan glukokortikoid sistemik.
22
Dapson dapat dipertimbangkan pemberiannya pada penderita lupus diskoid,
vaskulitis dan SLEi SLE berbula. Efek toksik obat ini terhadap sistem
hematopoetik adalah methemoglobinemia, sulfhemoglobinemia, dan anemia
hemolitik, yang kadang-kadang memperburuk ruam SLE di kulit.
1
c) Kelelahan dan Keluhan Sistemik
Kelelahan merupakan keluhan yang sering didapatkan pada penderita SLE,
demikian juga penurunan berat badan dan demam. Kelelahan juga dapat timbul
akibat terapi glukokortikoid, sedangkan penurunan berat badan dan demam dapat
juga diakibatkan oleh pemberian quinakrin. Dokter harus bersikap simpati dalam
mengatasi masalah ini. Seringkali hal ini tidak memerlukan terapi spesifik, cukup
menambah waktu istirahat dan mengatur jam kerja. Pada keadaan yang berat dapat
menunjukkan peningkatan aktivitas penyakit SLE dan pemberian glukokortikoid
sistemik dapat dipertimbangkan.
d) Serositis
Nyeri dada dan nyeri abdomen pada penderita SLE dapat merupakan tanda
serositis. Pada beberapa penderita, keadaan ini dapat diatasi dengan salisilat, obat
antiinflamasi non-steroid, antimalaria atau glukokortikoid dosis rendah (15
mg/hari). Pada keadaan yang berat, harus diberikan glukokortikoid sistemik untuk
mengontrol penyakitnya
4. Terapi Agresif
12
a) Kortikosteroid
Kortikosteroid digunakan sebagai pengobatan utama pada pasien dengan
SLE. Meski dihubungkan dengan munculnya banyak laporan efek samping,
kortikosteroid tetap merupakan obat yang banyak dipakai sebagai antiin•lamasi
dan imunosupresi. Dosis kortikosteroid yang digunakan juga bervariasi. Untuk
meminimalkan masalah interpretasi dari pembagian ini maka dilakukanlah
standarisasi berdasarkan patofisiologi dan farmakokinetiknya.
Pembagian dosis kortikosteroid membantu dalam menatalaksana kasus
rematik. Dosis rendah sampai sedang digunakan pada SLE yang relatif tenang.
23
Dosis sedang sampai tinggi berguna untuk SLE yang aktif. Dosis sangat tinggi
dan terapi pulse diberikan untuk krisis akut yang berat seperti pada vaskulitis luas,
nephritis lupus, lupus cerebral. Pulse terapi kortikosteroid digunakan untuk
penyakit rematik yang mengancam nyawa, induksi atau pada kekambuhan. Dosis
tinggi ini ini biasanya diberikan intravena dengan dosis 0,5-1 gram
metilprednisolon diberikan selama 3 hari berturut-turut.
24
selama 2 tahun. Selama pemberian siklofosfamid, dosis steroid diturunkan
secara bertahap dengan memperhatikan aktifitas lupusnya. Pada penderita
dengan penurunan fungsi ginjal sampai 50%, dosis siklofosfamid diturunkan
sampai 500-750 mg/m2.
Setelah pemberian siklofosfamid, jumlah leukosit darah harus
dipantau. Bila jumlah leukosit mencapai 1500/ml, maka dosis siklofosfamid
berikutnya diturunkan 25%. Kegagalan menekan jumlah leukosit sampai
4000/ml menunjukkan dosis siklofosfamid yang tidak adekuat sehingga
dosisnya harus ditingkatkan 10% pada pemberian berikutnya. Toksisitas
siklofosfamid meliputi mual dan muntah, alopesia, sistitis hemoragika,
keganasan kulit, penekanan fungsi ovarium dan azoospermia.
1
2) Azatioprin
Azatioprin merupakan analog purin yang dapat digunakan sebagai
alternatif terhadap siklofosfamid dengan dosis 1-3 mg/kgBB/hari dan
diberikan secara per oral. Obat ini dapat diberikan selama 6-12 bulan pada
penderita SLE, setelah penyakitnya dapat dikontrol dan dosis steroid sudah
seminimal mungkin, maka dosis azatioprin juga dapat diturunkan perlahan dan
dihentikan setelah penyakitnya betul-betul terkontrol dengan baik.
Toksisitas azatioprin meliputi penekanan sistem hemopoetik,
peningkatan enzim hati dan mencetuskan keganasan.
1
3) Siklosporin
Imunosupresan lain yang dapat digunakan untuk pengobatan SLE
adalah Siklosporin dosis rendah (3-6 mg/kgBB/hari). Obat ini dapat digunakan
pada SLE baik tanpa manifestasi renal maupun dengan nefropati membranosa.
Selama pemberian harus diperhatikan tekanan darah penderita dan kadar
kreatinin darah. Bila kadar kreatinin darah meningkat 20% dari kadar kreatinin
darah sebelum pemberian siklosporin, maka dosisnya harus diturunkan.
25
Tabel 4. Jenis dan Dosis Obat pada SLE12
26
5. Pengobatan SLE Berdasarkan Aktivitas Penyakitnya12
a) SLE Ringan
- Penghilang nyeri seperti paracetamol 3 x 500 mg, bila diperlukan.
- Obat anti inflamasi non steroid (OAINS), sesuai panduan diagnosis dan
pengelolaan nyeri dan inflamasi.
- Glukokortikoid topikal untuk mengatasi ruam (gunakan preparat dengan
potensi ringan)
- Klorokuin basa 3,5-4,0 mg/kg BB/hari (150-300 mg/hari) (1 tablet klorokuin
250 mg mengandung 150 mg klorokuin basa) catatan periksa mata pada saat
awal akan pemberian dan dilanjutkan setiap 3 bulan, sementara
hidroksiklorokuin dosis 5-6,5 mg/kg BB/ hari (200-400 mg/hari) dan periksa
mata setiap 6-12 bulan.
- Kortikosteroid dosis rendah seperti prednison < 10 mg / hari atau yang setara.
Tabir surya: Gunakan tabir surya topikal dengan sun protection factor
sekurangkurangnya 15 (SPF 15)
b) SLE Sedang
Pilar penatalaksanaan SLE sedang sama seperti pada SLE ringan kecuali pada
pengobatan. Pada SLE sedang diperlukan beberapa rejimen obat-obatan tertentu
27
serta mengikuti protokol pengobatan yang telah ada. Misal pada serosistis yang
refrakter: 20 mg / hari prednison atau yang setara
c) SLE Berat atau mengancam nyawa
- Glukokortikoid dosis tinggi: Lupus nefritis, serebritis atau trombositopenia:
40 – 60 mg/hari (1 mg/kgBB) prednison atau yang setara selama 4-6 minggu
yang kemudian diturunkan secara bertahap, dengan didahului pemberian
metilprednisolon intra vena 500 mg sampai 1g/hari selama 3 hari bertutut-
turut.
- Obat Imunosupresan atau Sitotoksik: azatioprin, siklofosfamid, metotreksat,
siklosporin, mikofenolat mofetil. Pada keadaan tertentu seperti lupus nefritis,
lupus serebritis, perdarahan paru atau sitopenia, seringkali diberikan
gabungan antara kortikosteroid dan imunosupresan/sitotoksik karena
memberikan hasil pengobatan yang lebih baik.
Terapi Lain12
Beberapa obat lain yang dapat digunakan pada keadaan khusus SLE mencakup:
- Intra vena imunoglobulin terutama IgG, dosis 400 mg/kgBB/hari selama 5 hari,
terutama pada pasien SLE dengan trombositopenia, anemia hemilitik, nefritis,
neuropsikiatrik SLE, manifestasi mukokutaneus, atau demam yang refrakter
dengan terapi konvensional.
- Plasmaferesis pada pasien SLE dengan sitopeni, krioglobulinemia dan lupus
serberitis.
- Thalidomide 25-50 mg/hari pada lupus diskoid.
- Danazol pada trombositopenia refrakter.
- Dehydroepiandrosterone (DHEA) dikatakan memiliki steroid-sparring eff ect
pada SLE ringan.
- Dapson dan derivat retinoid pada SLE dengan manifestasi kulit yang refrakter
dengan obat lainnya.
- Rituximab suatu monoklonal antibodi kimerik dapat diberikan pada SLE yang
berat.
28
- Belimumab suatu monoklonal antibodi yang menghambat aktivitas stimulator
limfosit sel B telah dilaporkan efektif dalam terapi SLE42 (saat ini belum
tersedia di Indonesia)
- Terapi eksperimental diantaranya antibodi monoklonal terhadap ligan CD40
(CD40LmAb).
- Dialisis, transplantasi autologus stem-cell.
Algoritma penatalaksanaan SLE dapat dilihat dibawah ini
Keterangan :
TR : Tidak respon CYC : Siklofosfamid
RS : Respon sebagian AZA : Azatioprin
RP : Respon penuh MP : Metilprednisolon
OAINS : Obat anti inflamasi non steroid NPSLE: Neuropsikiatri SLE
KS : Kortikosteroid setara prednison
29
3.10 Lupus Eritematosus Sistemik dalam keadaan khusus
12
1. Lupus dalam Kehamilan
Kesuburan penderita SLE sama dengan populasi wanita bukan SLE.
Beberapa penelitian mendapatkan kekambuhan lupus selama kehamilan namun
umumya ringan, tetapi jika kehamilan terjadi pada saat nefritis masih aktif maka
50-60% eksaserbasi, sementara jika nefritis lupus dalam keadaan remisi 3-6 bulan
sebelum konsepsi hanya 7-10% yang mengalami kekambuhan. Kemungkinan
untuk mengalami preeklampsia dan eklampsia juga meningkat pada penderita
dengan nefritis lupus dengan faktor predisposisi yaitu hipertensi dan sindroma anti
fosfolipid (APS).
Penanganan penyakit SLE sebelum, selama kehamilan dan pasca
persalinan sangat penting. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah:
a. Jika penderita SLE ingin hamil dianjurkan sekurang-kurangnya setelah 6 bulan
aktivitas penyakitnya terkendali atau dalam keadaan remisi total. Pada lupus
nefritis jangka waktu lebih lama sampai 12 bulan remisi total. Hal ini dapat
mengurangi kekambuhan lupus selama hamil.
12
b. Kontrasepsi untuk SLE
Kontrasepsi yang dapat dianjurkan kepada para penderita lupus sangatlah
terbatas, dan masing-masing harus diberikan secara individual, tergantung
kondisipenderita. Kontrasepsi oral merupakan pilihan bagi penderita dengan
keadaan yang stabil, tanpa sindrom antifospolipid (APS). Kekhawatiran
penggunaan kontrasepsi oral ini sebelumnya adalah kekambuhan penyakit
akibat hormon estrogen yang ada dalam pil kontrasepsi, namun penelitian
mendapatkan bukti ini sangat lemah. Kontrasepsi oral merupakan
kontraindikasi pada penderita SLE dengan APS karena dapat mengakibatkan
trombosis. Sementara penggunaan intra uterine device (IUD) pada penderita
yang mendapat kortikosteroid atau obat imunosupresan tidak
direkomendasikan, karena risiko terhadap infeksi, sehingga pilihan hanya
terbatas pada kondom. Depomedroxy progesteron acetate (DMPA) dapat
merupakan suatu pilihan, namun akhir-akhir ini dikhawatirkan adanya
kemungkinan efek negatifnya pada masa tulang (menimbulkan osteoporosis),
sehingga hanya diberikan berdasarkan indikasi tiap-tiap individu, contohnya
mereka dengan kelainan perdarahan dan keterbelakangan mental, DPMA
30
merupakan pilihan yang terbaik.
c. Medikamentosa
1) Dosis kortikosteroid diusahakan sekecil mungkin yaitu tidak
melebihi 7,5 mg/hari prednison atau setara.
2) DMARDs atau obat-obatan lain seyogyanya diberikan
dengan penuh kehati-hatian. Perhatikan rekomendasi sebelum memberikan
obat-obat tersebut seperti tertera pada tabel 3.
Tabel 5. Obat-obatan pada kehamilan dan menyusui12
No Nama obat Kehamilan Menyusui
1. NSAID Boleh (hindari setelah minggu ke 32 boleh
2. Anti malaria Boleh boleh
3. Kortikosteroid Boleh sebaiknya dosis tidak lebih Boleh sampai 20
dari 7.5 mg/hari mg/hari
4. Siklosporin Boleh boleh
5. Azitosprin Boleh, dosis sebaiknya tidak lebih boleh
dari 1,5-2 mg/kgBB/hari
6. Metrotrexat Tidak, dan harus dihentikan Tidak
minimal 3 bulan sebelum konsepsi
7. Siklofosfamid Tidak Tidak
8. Wafarain Tidak boleh
9. Heparin Boleh boleh
10. Aspirin dosis rendah Boleh boleh
12
2. Sistemik dengan Antifosfolipid (APS)
Sindroma anti fosfolipid (APS) atau yang dikenal sebagai sindroma
Hughes merupakan suatu kondisi autoimun yang patologik di mana terjadi
akumulasi dari bekuan darah oleh antibodi antifosfolipid. Penyakit ini
merupakan suatu kelainan trombosis, abortus berulang atau keduanya disertai
peningkatan kadar antibodi antifosfolipid yang menetap yaitu antibodi
antikardiolipin (ACA) atau lupus antikoagulan (LA). Diagnosis APS ditegakkan
berdasarkan konsensus internasional kriteria klasifikasi sindroma anti fosfolipid
(Sapporo) yang disepakati tahun 2006, apabila terdapat 1 gejala klinis dan 1
kelainan laboratorium sebagaimana tertera di bawah ini:
Kriteria Klinis:
a) Trombosis vaskular: Penyakit tromboembolik vena (Trombosis vena
dalam, emboli pulmonal)
b) Penyakit tromboemboli arteri : Trombosis pembuluh darah kecil
c) Gangguan pada kehamilan:
- >1 kematian fetus normal yang tak dapat dijelaskan pada usia ≥ 10 minggu
31
kehamilan atau
- > 1 kelahiran prematur neonatus normal pada usia kehamilan ≤ 34 minggu
atau
- > 3 abortus spontan berturut-turut yang tak dapat dijelaskan pada usia
kehamilan < 10 minggu
Kriteria Laboratorium:
a) Positif lupus antikoagulan
b) Meningkatnya titer IgG atau IgM antibodi antikardiolipin (sedang atau
tinggi).
c) Meningkatnya titer IgG atau IgM antibodi anti-beta2 glikoprotein (anti β2
GP) I (sedang atau tinggi). Perbedaan waktu antara pemeriksaan yang satu
dengan yang berikutnya adalah 12 minggu untuk melihat persistensinya
12
3. Neuropsikiatri Lupus Eritematosus (NPSLE)
Prevalensi NPSLE bervariasi antara 15%-91% tergantung pada kriteria
diagnosis dan seleksi penderita.14,59,60 Manifestasi klinis NPSLE sangat
beragam mulai dari disfungsi saraf pusat sampai saraf tepi dan dari gejala kognitif
ringan sampai kepada manifestasi neurologik dan psikiatrik yang berat seperti
stroke dan psikosis. Sulitnya mempelajari kasus NPSLE akibat tidak adanya
kesepakatan dalam definisi penyakit, karena itu American College of
Rheumatology (ACR) mengeluarkan suatu klasifikasi untuk membuat
keseragaman tersebut.
Tabel 6. Sindrom neuropsikiatrik pada SLE menurut ACR
Sistem Saraf Pusat Sistem Saraf Perifer
Acute confusional state Polineuropati
Disfungsi kognitif Pleksopati
Psikosis Mononeuropati (tunggal/ multipleks)
Gangguan mood Sindrom Guillain-Barre
Gangguan cemas Gangguan otonom
Nyeri kepala (termasuk migrain dan hipertensi Mistenia gravis
intrakranial ringan)
Penyakit serebrovaskular
Mielopati
Gangguan gerak
Sindrom demielinisasi
Kejang
Meningitis aseptik
Neuropati kranial
32
manifestasi terbanyak NPSLE adalah disfungsio gknitif dan sakit ekpala.
Patogenesis NPSLE sampai sekarang masih belum diketahui dengan pasti, namun
tampaknya NPSLE bukan disebabkan oleh satu mekanisme saja, namun berbagai
mekanisme. Sekitar 60% kasus NPSLE tidak ditemukan penyebabnya sehingga
disimpulkan SLE sendiri sebagai penyebab manifestasi tersebut (NPSLE primer)
sedangkan sisanya 40% disebabkan oleh faktor sekunder yang berhubungan
dengan SLE seperti infeksi, efek samping obat atau gangguan metabolik akibat
kerusakan pada organ lain dalam tubuh.
Pemeriksaan penunjang untuk NPSLE
Tidak ada suatu pemeriksaan ataupun gejala khusus yang dapat
membedakan NPSLE primer atau sekunder. Pada penelitian didapatkan 47%
penderita dengan NPSLE primer tidak menunjukan abnormalitas pada MRI
konvensional. Namun demikian MRI ini dipelurkan untuk menyingkirkan
penyebab lain NPSLE59. Suatu teknik baru yang disebut Magnetization Transfer
Imaging (MTI) yaitu teknik MRI yang dapat memberikan informasi secara
kuantitatif. Alat inilebih sensitif dari MRI konvensional dalam mendeteksi
NPSLE primer, termasuk mendeteksi kelainan otak pada mereka dengan riwayat
NPSLE tanpa gejala aktif NP saat pemeriksaan dilakukan.
12
3. Lupus Nefritis
Ginjal merupakan organ yang sering terlibat pada pasien dengan SLE.
Lebih dari 70% pasien SLE mengalami keterlibatan ginjal sepanjang perjalanan
penyakitnya. Lupus nefritis memerlukan perhatian khusus agar tidak terjadi
perburukan dari fungsi ginjal yang akan berakhir dengan transplantasi atau cuci
darah.
Bila tersedia fasilitas biopsi dan tidak terdapat kontra indikasi, maka
seyogyanya biopsi ginjal perlu dilakukan untuk konfirmasi diagnosis, evaluasi
aktivitas penyakit, klasifikasi kelainan histopatologik ginjal, dan menentukan
prognosis dan terapi yang tepat. Klasifikasi kriteria World Health Organization
(WHO) untuk lupus nefritis sudah diperbaharui oleh International Society of
Nephrolog dan Renal Pathology Society (ISN/RPS) tahun 2003 Klasfikasi WHO
dinilai berdasarkan pola histologi dan lokasi dari imun kompleks, sementara klasi
ikasi ISN/RPS juga membagi menjadi SLEi fokal, difus, aktif, tidak aktif, dan
kronis.
33
Pemeriksaan penepis lupus nefritis penting dilakukan karena gejala sering
tidak diketahui oleh pasien, misalnya terdapat hematuria, proteinuria atau
hipertensi. Pemeriksaan penepis dan pemantauan lupus nephritis tersebut
adalah pemeriksaan urin analisis, proteinuria, serum kreatinin, serologi anti
dsDNA dan C3. Terdapat beberapa variabel klinis yang dapat mempengaruhi
prognosis. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hasil akhir tersebut adalah ras
hitam, azotemia, anemia, sindroma antiphospholipid, gagal terhadap terapi
imunosupresi awal, kambuh dengan fungsi ginjal yang memburuk.
Tabel 7. Klasifikasi lupus nefritis oleh International Society of Nephrology/Renal Pathology
Society 2003 (ISN/RPS)12
Kelas I Minimal mesangial lupus nefritis
Kelas II Mesangial proliferative lupus nefritis
Kelas III Fokal lupus nefritis
III(A) : SLEi aktif : fokal proliferatif lupus nefritis
III (A/C) : SLEi aktif dan kronis : fokal proliferatif dan sklerosing lupus
nefritis
III (C) : SLEi kronis tidak aktif dengan skar
Kelas IV Difuse lupus nefritis
IV-S(A) : SLEi aktif : difus segmental proliferatif lupus nefritis
IV-G(A) : SLEi aktif: difus global prolifertif lupus nefritis
IV-S (A/C) : SLEi aktif dan kronis
IV-G (A/C) : SLEi aktif dan kronis
IV-S (C) : SLEi kronis tidak aktif dengan skar
IV-G (C) : SLEi kronis tidak aktif dengan skar
Kelas V Membranous lupus nefritis
Kelas VI Advanced sklerotik lupus nefritis
12
Tatalaksana Lupus Nefritis
a. Semua pasien lupus nefritis seyogyanya menjalani biopsi ginjal bila tidak
terdapat kontra indikasi (trombositopeni berat, reaksi penolakan terhadap
komponen darah, koagulopati yang tidak dapat dikoreksi) dan tersedianya
dokter ahli dibidang biopsi ginjal, oleh karena terapi akan sangat berbeda pada
kelas histopatologi yang berbeda. Pengulangan biopsi ginjal diperlukan pada
pasien dengan perubahan gambar klinis dimana terapi tambahan agresif
diperlukan.
b. Pemantauan aktivitas ginjal melalui pemeriksaan urin rutin terutama
sedimen, kadar kreatinin, tekanan darah, albumin serum, C3 komplemen, anti-
ds DNA, proteinuria dan bersihan kreatinin. Monitor tergantung situasi klinis.
Pada penyakit rapidly progressive glomerulonephritis diperlukan pemeriksaan
kreatinin serum harian, untuk parameter lain diperlukan waktu 1 sampai 2
minggu untuk berubah.
34
c. Obati hipertensi seagresif mungkin. Target tekanan darah pada pasien
dengan riwayat glomerulonefritis adalah < 120/80 mmHg. Beberapa obat
antihipertensi banyak digunakan untuk pasien lupus, tetapi pemilihan
angiotensin-converting enzim (ACE) inhibitor lebih diutamakan terutama
untuk pasien dengan proteinuria menetap. Pemberian ACE inhibitor saja atau
dengan kombinasi. Diet rendah garam direkomendasikan pada seluruh pasien
hipertensi dengan lupus nefritis aktif. Bila diperlukan loop diuretik dipakai
untuk mengurangi edema dan mengontrol hipertensi dengan monitor elektrolit
yang baik.
d. HiperkoSLEterolemia harus dikontrol untuk mengurangi risiko prematur
aterosklerosis dan mencegah penurunan fungsi ginjal. Asupan lemak juga harus
dikurangi bila terdapat hiperlipidemia atau pasien nefrotik. Target terapi
menurut Guidelines American Heart Association (AHA) adalah koSLEterol
serum < 180 mg/dL, risiko kardiovaskular pada pasien dengan SLE masih
meningkat pada koSLEterol serum 200 mg/dL. Pasien lupus dengan
hiperlipidemia yang menetap diobati dengan obat penurun lemak
seperti HMG Co-A reductase inhibitors
e. Deteksi dini dan terapi agresif terhadap infeksi pada pasien lupus, karena
infeksi merupakan penyebab 20% kematian pada pasien SLE
f. Pasien lupus yang mendapat kortikosteroid, diperlukan penilaian risiko
osteoporosis. Pemberian kalsium bila memakai kortikosteroid dalam dosis
lebih dari 7,5 mg/hari dan diberikan dalam jangka panjang (lebih dari 3 bulan).
Suplemen vitamin D, latihan pembebanan yang ditoleransi, obat-obatan seperti
calcitonin bila terdapat gangguan ginjal, bisfosfonat (kecuali terdapat
kontraindikasi) atau rekombinan PTH perlu diberikan.
g. Memonitor toksisitas kortikosteroid, dan agen sitotoksik dengan parameter
berikut : tekanan darah, pemeriksaan darah lengkap, trombosit, kalium, gula
darah, koSLEterol, fungsi hati, berat badan, kekuatan otot, fungsi gonad, dan
densitas massa tulang. Hal ini dimonitor sesuai dengan situasi klinis dimana
dapat diperkirakan dampak buruk dari kortokosteroid.
h. Pasien dianjurkan untuk menghindari obat anti inflamasi non steroid,
karena dapat mengganggu fungsi ginjal, mencetuskan edema dan hipertensi
serta meningkatkan risiko toksisitas gastrointestinal (apalagi bila dikombinasi
dengan kortikosteroid dan obat imunosupresan lainnya). Bila sangat
35
diperlukan, maka diberikan dengan dosis rendah dan dalam waktu singkat,
dengan pemantauan yang ketat.
i. Kehamilan pada pasien lupus nefritis aktif harus ditunda mengingat risiko
morbiditas dan mortalitas bagi ibu dan janin, termasuk gagal ginjal meningkat.
3.11 Prognosis
Prognosis penyakit ini sangat tergantung pada organ mana yang terlibat.
Apabila mengenai organ vital, mortalitasnya sangat tinggi. Mortalitas pada pasien
dengan SLE telah menurun selama 20 tahun terakhir. Sebelum 1955, tingkat
kelangsungan hidup penderita mencapai 5 tahun pada SLE kurang dari 50%. Saat
ini, tingkat kelangsungan hidup penderita pada 10 tahun terakhir rata-rata
melebihi 90% dan tingkat kelangsungan hidup penderitapada 15 tahun terakhir
adalah sekitar 80%. Tingkat kelangsungan hidup penderita pada 10 tahun terakhir
di Asia dan Afrika secara signifikan lebih rendah, mulai dari 60-70%. Penurunan
angka kematian yang berhubungan dengan SLE dapat dikaitkan dengan diagnosis
yang terdeteksi secara dini, perbaikan dalam pengobatan penyakit SLE, dan
kemajuan dalam perawatan medis umum.
3.12 Pemantauan12
Batasan operasional pemantauan adalah dilakukannya observasi secara
aktif menyangkut gejala dan tanda baru terkait dengan perjalanan penyakit dan
efek pengobatan/efek sampingnya, baik yang dapat diperkirakan maupun tidak
memerlukan pemantauan yang tepat. Proses ini dilakukan seumur hidup pasien
dengan SLE. Beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah:
a. Anamnesis:
Demam, penurunan berat badan, kelelahan, rambut rontok meningkat,
nyeri dada pleuritik, nyeri dan bengkak sendi. Pemantauan ini dilakukan setiap
kali pasien SLE datang berobat.
b. Fisik:
Pembengkakan sendi, ruam, lesi diskoid, alopesia, ulkus membran
mukosa, lesi vaskulitis, fundus, dan edema. Lakukanlah pemeriksaan fisik yang
baik. Bantuan pemeriksaan dari ahli lain seperti spesialis mata perlu dilakukan
bila dicurigai adanya perburukan fungsi mata atau jika klorokuin/
hidroksiklorokuin diberikan.
c. Penunjang:
36
Hematologi (darah rutin), analisis urin, serologi, kimia darah dan radiologi
tergantung kondisi klinis
d. Penilaian Aktifitas Penyakit
Perjalanan penyakit SLE yang ditandai dengan eksaserbasi dan remisi,
memerlukan pemantauan yang ketat akan aktivitas penyakitnya. Evaluasi aktivitas
penyakit ini berguna sebagai panduan dalam pemberian terapi. Indeks untuk
menilai aktivitas penyakit seperti SLEDAI, MEX-SLEDAI, SLAM, BILAG
Score, dsb. Dianjurkan untuk menggunakan MEX-SLEDAI atau SLEDAI. MEX-
SLEDAI lebih mudah diterapkan pada pusat kesehatan primer yang jauh dari
tersedianya fasilitas laboratorium canggih.12
37
38
BAB IV
ANALISIS KASUS
39
hasil temuan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang,
pasien pada kasus ini didiagnosis dengan SLE manifestasi mukokutaneus.
Tujuan penatalaksaan SLE adalah untuk mengurangi gejala dan
melingdungi organ. Pasien SLE dengan keterlibatan organ biasanua diberikan
kortikosteroid untuk menekan inflamasi sehingga tidak terdapat kerusakan organ
lebih slanjut. Kortikosteroid lebih baik dari NSAID dalam mengurangkan
peradangan terutama jika melibatkan organ dalam. Kortikosteroid dapat diberikan
peroral, injeksi langsung ke persendian atau intravena. Pada pasien diberikan
kortokosteroid dosis tingggi, methylprednisolone 3x16mg per oral. monitoring
pasien karena efek samping yang ditimbulkan akibat penggunaan obat ini. Pasien
perlu dilakukan KIE agar melindungi diri dari paparan sinar matahari dan
menghindari aktivitas kerja yang berat.
Angka bertahan hidup pada pasien SLE adalah 90-95% setelah 2 tahun,
82-90% setelah 5 tahun, 71-80% setelah 10 tahun, dan 63-75%setelah 20 tahun.
Prognosis buruk (sekitar 50% mortalitas dalam 10 tahun) dikaitkan dengan
ditemukannya kadar kreatinin serum tinggi [>124 µmol/l (>1,4 mgdl)], hipertensi,
sindrom nefrotik (eksresi protein urin 24 jam >2,6 g), anemia (hemoglobin <12,4
g/dL) dan hypoalbuminemia. Pada pasien ini didapatkan prognosis dubia ad
malam dengan sifat dari penyakit ini yang progresif. Pada pasien didapatkan
anemia dan hypoalbuminemia.
40
DAFTAR PUSTAKA
5. Urowitz MB, Bookman AAM, Koehler BE, Gordon DA, Smythe HA,
Ogryzlo MA. 1976. The Bimodal Mortality Pattern of Systemic Lupus
Erythematosus. Am J Med;60:221-225.
6. Mok CC, Lau CS. 2003. Pathogenesis of systemic lupus erythematosus page.
J Clin Pathol; 481-490.
10. Tan EM, Cohen AS, Fries JF, Masi AT, McShane DJ, Roth•ield NF, et al.
1982. The 1982 revised criteria for the classification of systemic lupus
erythematosus. Arthritis Rheum; 1271-1277
11. American College of Rheumatology Ad Hoc Committee on systemic lupus
erythematosus guidelines. Arthritis Rheum 1999;42(9):1785-96
14. Gordon, C., M.B.A. Arthur, M. Gayed, S. Brown, I.N. Bruce, D.C. cruz, B.
41
Empson, B. Griffiths, D. Jayne, M. Khamashta. The Britihs Society for
Rheumatology Guideline for The Management of Systemic Lupus
Erythematosus in Adults. Oxford Academic. 2018. Vol 57 (1). Pg e1-e45.
42